1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Estetika
bukanlah
bahasan
yang
hanya
fasih
diperbincangkan di ranah kajian seni murni, dalam kajian seni terapan (desain) pun seringkali menyinggung istilah tersebut.
Namunsampai
kini,
istilah
estetika
oleh
kebanyakan orang dipahami secara sempit dan juga terlalu dikotomis, yaitu tertuju pada pengertian keindahanvisual semata.
Sudah
menjadi
hal
biasa
ketika
keindahan
dinikmati lewat visualisasi bentuk dan struktur/ elemen yang tampak pada kulit bangunan. Bagaimana dengan keindahan rasa interiornya. Desain interior dikenal oleh masyarakat sebagai ilmu seni menata ruang yang sarat dengan nilai fungsi dan estetika ruang. Namun sayangnya orang memandang estetika ruang hanya dalam tampilan wajah dan struktur bangunan atau ruang itu sendiri sehingga keindahannya seolah berada di luar diri manusia sebagai penghuni ruang. Di sisi lain Dondis berbagi
2
pengetahuan tentang keindahan seni1, menurutnya wujud keindahan tidak semata lahir untuk tujuan tampilan visual tetapi justru diawali oleh pemenuhan kebutuhan dasar diri manusia akan benda utilitarian (benda pakai yang memiliki fungsi dalam hidup). Sedangkan menurut Archer, desain sendiri merupakan suatu metode sistematis pemecahan masalah. Untuk menghasilkan penilaian solusi desain tentu ini sangat erat dengan apa yang dialami tubuh manusia.2 Sejenak
menyimak
pengalaman
manusia
atas
keindahan ruang yang dihuninya akan menghantarkan pada pemahaman tentang „rasa meruang‟ itu sendiri. Manusia sebagai penghuni ruang tidak hanya membangun persepsi tentang
keindahan
melainkan
dari
bagaimana
penataan
mereka
ruang
merasakan
yang
ada,
pengalaman
keruangan secara lebih mendalam. Ruang yang ditata sedemikian rupa berpengaruh terhadap munculnya rasa sakit, gusar, gairah, dan nyaman bagi manusia selaku penghuni ruang. Menurut Simatupang, segala macam rasa yang muncul merupakan tanggapan manusia yang diperoleh lewat indra penglihatan, peraba, penciuman, pengecap, dan
Donis A. Dondis dalam M. Dwi Marianto, Menempa Quanta Mengurai Seni, Badan Penerbit ISI Yogyakarta, 2011, 12. 2 Archer dalam Murty and Purcell, Discovery processes in designing. Proceedings of ANZAASCA 2002. 1
3
pendengarnya.3 Kalau begitu lantas bagaimana bila yang mengalami rasa meruang yakni mereka yang memiliki keterbatasan penglihatan (tunanetra)? Perspektif dan pengalaman penyandang tunanetra tentu akan sangat berbeda dengan para arsitek dan desainer interior.
Tunanetra
berdasarkan
PERTUNI
(Persatuan
Tunanetra Indonesia) terbagi menjadi dua: 1) mereka yang kurang awas (low vision), 2) mereka yang buta total (total blind). Bagi tunanetra yang mengalami buta total bukan berarti
telah
kehilangan
penglihatannya
sejak
lahir.4
Menurut World Health Organization (WHO) bahwa seseorang yang dikatakan buta ketika memiliki bidang penglihatan maksimum 10 derajat atau memiliki akurasi visual kurang dari
1/20
mengoreksi
pada
mata
(untuk
dengan
melihat
kemungkinan
sesuatu
detail
terbaik
umumnya
seseorang dapat melihat dari jarak 20 meter, sedangkan mereka yang buta harus berada pada jarak tidak lebih dari 1 meter).5 Pada penelitian ini pun demikian, yang menjadi informan
utama
adalah
penyandang
tunanetra
yang
mengalami kebutaan total namun sebelumnya mereka
Lono Simatupang, Pergelaran: Sebuah Mozaik Penelitian SeniBudaya, Yogyakarta: Jalasutra, 2013, 07. 4 PERTUNI, 2008. http://pertuni.idp-europe.org/ 5 J. Herssens and A. Heylighen, Blind Body Language: Haptics in the Homes of Congenitally Blind, European Community's Seventh Framework Programme, FP7/2007-2013, 2. 3
4
sempat melihat. Tipikal ini dipilih karena mereka yang sempat
melihat
kemudian
mengalami
kebutaan
total,
memiliki referensi visual yang masih ada dalam ingatan yang dapat membantu mereka dalam memaknai estetika ruang yang mereka huni. Disamping itu, penyandang tunanetra memanfaatkan indra-indra
lain
untuk
menggantikan
fungsi
indra
penglihatan dalam memaknai estetika ruang, seperti yang dilakukan oleh tiga informan penelitian ini: Yono, Mudji, dan Suwadji. Ketiga tunanetra tersebut mengatasi permasalahan hidup merumah lewat indra alternatifnya. Hal menarik seperti yang dilakukan Yono bersama istrinya yang juga tunanetra dimana mereka mengandalkan suara burung sebagai penentu arah saat bermanuver di dalam rumah. Disisi lain Mudji begitu akrab dengan bau rempah yang ia jadikan sebagai aromaterapi di dalam rumah. Keunikan pun ditemui di dalam rumah Suwadji, ia menjadikan kusen lawas sisa reruntuhan gempa dan genta angin bambu sebagai benda meditasi di dalam rumah. Semua hal yang tersebut ini sangat menarik untuk diselami lebih mendalam. Aktivitas keseharian yang dijalani ketiga informan pun beragam. Yono dan Mudji berprofesi sebagai tukang pijat, sedangkan Suwadji berprofesi sebagai penjaja keset dan
5
kemoceng. Meskipun mereka berprofesi dan tinggal di Yogyakarta, melihat kondisi hunian yang mereka tempati pun berbeda-beda. Yono bersama keluarganya menempati rumah yang berstatus sewa atau ngontrak. Mudji bersama keluarganya menjalani kehidupan keseharian di rumah milik pribadi. Kondisi rumah yang berbeda juga dirasakan oleh
Suwadji bersama keluarganya, mereka menghuni
rumah hasil rekontruksi pasca gempa di Yogyakarta tahun 2006. Melihat hal tersebut, tentu ketiga tunanetra ini memiliki
pengalaman
keruangan
yang
berbeda-beda
bersama tubuh dan indranya. Begitu pula dengan cara mereka memaknai keindahan rumah, sebagai hunian yang mengakomodasi segala kebutuhan dasar mereka. Urain
diatas
sebagai
gambaran
umum
kondisi
kehidupan para tunanetra dan ini perlu diketahui bersama karena tidak semua aktivitas dapat dilakukan oleh tubuh mereka
sendiri
sehingga
mereka
melakukan
negosiasi
dengan subjek-subjek yang berada disekitarnya untuk turut membantu aktivitas mereka dalam mencapai tujuan yang diinginkan.
Penyandang
keterbatasan
fisiknya
tunanetra
dalam
mengolah
menjadi latar belakang penelitian ini.
dengan estetika
segala ruang
6
B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, maka untuk mengetahui secara mendalam tentang
rasionalitas
ketubuhan
tunanetra
dalam
memahamirasa ruang yang dihuninya, dapat diajukan sebuah permasalahan: Bagaimana penyandang tunanetra menciptakan estetika lingkungan rumah tinggalnya?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Penelitian ini bertujuan memahami logika ketubuhan tunanetra
dalam
menciptakan
rasa
merumah.
Penjabarannya sebagai berikut: 1. Menjelaskan pengalaman
pengaruh
penataan
kehidupan
ruang
keseharian
terhadap
penyandang
tunanetra. 2. Mencari
dan
menyelidiki
temuan-temuan
terkait
pengalaman estetis penyandang tunanetra sebagai bahan pembelajaran
dalam
kajian
desain
ruang
dalam
arsitektur. 3. Mengungkapkan tunanetra dihuninya.
dalam
pengalaman ketubuhan menciptakan
estetika
penyandang ruang
yang
7
Setelah diperoleh dengan jelas beberapa jawaban atas pertanyaan-pertanyaan
sebelumnya,
maka
diharapkan
penelitian ini dapat memberi manfaat, antara lain: 1. Peneliti mampu memperluas cara pandangnya tentang estetika, ruang, dan pengalaman ketubuhan penyandang tunanetra. 2. Hasilpenelitian
dapat
menjadi
pedoman
dalam
merancang desain inklusi sesuai kebutuhan pengguna ruang. 3. Penelitian pustaka
diharapkan bidang
dapat
praksis
menambah
keilmuan
bagi
referensi akademisi
khususnya dan masyarakat pada umumnya.
D. Tinjauan Pustaka Penelitian membutuhkan sumber pustaka yang terkait sebagai acuan untuk membuktikan keorisinalitas penelitian. Apabila suatu kajian dengan topik yang sama ditemukan, maka dapat dilihat apakah permasalahan yang dibicarakan sama atau saling bersinggungan. Perbedaan permasalahan meskipun memiliki topik yang sama, dapat dikatakan berbeda
dari
kajian
sebelumnya,
sehingga
keaslian
penelitian dapat dipertanggungjawabkan. Tulisanfenomenal karya Mark Peterson yang berjudul The Senses of Touch: Haptics, Affects and Technologiessangat
8
baik untuk dijadikan referensi pendukung penelitian.Tulisan ini membongkar iklim akademik yang melulu menjadikan indra penglihatan sebagai indra yang agung, sedangkan perabaan atau sentuhan dianggap sebagai indra yang rendahan – mengarah pada sifat binatang. Melalui uraian yang
komprehensif,
buku
ini
membeberkan
sentuhan sebagai kekuatan dalam kehidupan
dunia.
Melalui
kekayaan
merasakan
sentuhan,
manusia
realitas dapat
mempersepsikan dunia yang mendalam secara filosofis, dan membuka ruang empati bagi orang lain. Penelitian menarik dilakukan oleh Freek Colombijn dengan judul artikel tentang Toooot! Vroooom! The Urban Soundscape in Indonesia. Artikel ini mengeksplorasi suara yang muncul dari lingkungan kota di Indonesia. Soundscape telah berubah dalam sejarah melalui proses interkoneksi dari modernisasi dan globalisasi, dan soundscape kota terus menerus menciptakan karakter yang berbeda masa ke masa. Artikel ini adalah usaha bagaimana para sosiolog dapat mengkaji sesuatu yang intangible seperti kebisingan suara kendaraan dari pergantian masa ke masa. Penelitian yang berjudul Implementasi Service Learning dalam Desain Inklusi di SMPLB-A YPAB Surabaya disusun olehGunawan Tanuwidjaja (2013). Tulisan ini merupakan
9
bentuk evaluasi aksesibilitas dan desain partisipatif dalam rangka penerapan metode Service Learning dari Kuliah Desain Inklusi Universitas Kristen Petra. Melalui metode ini dapat mendidik mahasiswa arsitektur tentang desain Inklusi dan melayani orang dengan keterbatasan seperti siswa difabel SMPLB-A YPAB sebagai respondennya.
Melalui
diskusi group terarah (dosen, mahasiswa arsitektur, pihak yayasan,
para
siswa
difabel)
diharapkan
memberikan
beberapa alternatif desain yang sesuai untuk kebutuhan sekolah tersebut. Berdasarkan uraian diatas, beberapa hasil penelitian belum membahas pada pemahaman estetika dan tubuh. Namun bahasan dari penelitian diatas dapat dipinjam sebagai pembanding untuk memecahkan permasalahan hidup
penyandang
tunanetra.
Setelah
menelaah
dari
beberapa sumber pustaka yang berasal dari penelitianpenelitian
sebelumnya,
maka
dapat
dikatakan
bahwa
penelitian dengan topik “rasionalitas ketubuhan tunanetra dalam menciptakan estetika rumah tinggalnya” belum penah diteliti sebelumnya.
10
E. Landasan Teori Jenis
penelitian
iniadalah
penelitian
kualitatif.
Penelitian menggunakan pendekatan multidisiplin dengan teori yang meminjam dari disiplin ilmu lain, seperti disiplin ilmu seni, desain, dan antropologi. Landasan pemikiran dalam penelitian ini akan difokuskan pada perspektif fenomenologi eksistensial. Pengertian dengan
fenomenologi
memperhatikan
berakar dari kata perwujudan, katanya
gejala.
sendiri
bahwa
phenomenon Dengan
phenomenology
dapat
istilah
phenomenology
yang berarti kejadian,
demikian,
dapat
ditelusuri
dipahami
menurut
akar
sebagai
ilmu
tentang kejadian, perwujudan, gejala. Namun pengertian phenomenology yang digunakan dalam tulisan ini adalah kejadian, perwujudan, gejala, sebagaimana yang dialami (experienced) manusia.6 Perspektif fenomenologi eksistensial digunakan untuk mengurai dan memahami secara lebih peka
permasalahan
kehidupan
manusia
(keterasingan,
otentitas, absurditas), sehingga dapat diketahui secara detail bagaimana
manusia
menjalani
eksistensialis.
6
Lono Simatupang,2013, 52.
hidup
sebagai
seorang
11
1.1
Pemikiran Fenomenologi oleh Merleau-Ponty Merleau-Ponty
selalu
menekankan
cara
berpikir
fenomenlogi, yaitu pentingnya intensionalitas (keterarahan). Guna mencapai hakikat sesuatu maka objek materi/benda harus dialami secara sadar dan terarah. Intensionalitas dapat dihasilkan dengan mengadakan „pembicaraan‟ atau komunikasi. Ia mengatakan terkait hal ini: Probably the chief gain from phenomenology is to have united extreme subjectivism and extreme objectivism in its notion of the world or of rationality. Rationality is precisely proportioned to the experiences in which it is disclosed. To say that there exists rationality isto say that perspectives blend, perceptions confirm each other, a meaning emerges.7 Dalam uraian di atas, rupanya manfaat yang utama dari perspektif fenomenologi yaitu untuk mendapatkan kesatuan dari subjektivitas dan objektivitas ekstrim dalam gagasan
dari
merupakan
dunia
alasan
atau
proporsional
pengalaman-pengalaman mengatakan
bahwa
rasionalitas.
yang
ada
(dapat
Rasionalitas diukur)
diungkapkan.
rasionalitas
Kita
yaitu
dari bisa
dengan
mengatakan bahwa perspektif berbaur (menyatu), persepsi saling mengkonfirmasi satu sama lain sehingga melahirkan makna.
Merleau-Ponty, Routledge, 1962, xxii. 7
Phenomenology
of
Perception,
New
York:
12
Lebih lanjut Merleau-Ponty mengatakan: Act intentionality is the intentionality involved in judgments and in any analysis of experience which takes an already constructed world of objectsas the starting point for its thematic investigations. Operative intentionality is the intentionality in and through which such aworld is brought into existence in the first place. It is therefore a pre-predicative intentionality which not merely captures the original meaning of experience but does so in such a way that the life-world becomes the locus of feeling and desire as well as thought, of evaluation and projection as well as knowledge, indeed brings the former to light as the very root source of thought and knowledge.8 Paparan di atas menjelaskan bahwa intensionalitas terbagi menjadi dua, yaitu intensionalitas tindakan dan intensionalitas
operatif.
Intensionalitas
tindakan
lebih
didasarkan atas pembenaran dan setiap analisis dari pengalaman
yang
mengambil
suatu
objek
yang
telah
dikonstruk sebagai pijakan dari penyelidikan tematiknya. Intensionalitas operatif dipahami sebagai keterarahan di dalam dan melalui suatu dunia yang dibuat bereksistensi pada kesempatan pertama. Keduanya menghasilkan apa yang
disebut
dengan
„intensionalitas
prapediktif‟
yang
bersumber dari pengalaman diri bersama tubuh, pemikiran (akumulasi perasaan dan keingingan), serta pengetahuan dalam kehidupan manusia.
Merleau-Ponty, dalam Christopher Macann, Phenomenological Philosophers, New York: Routledge, 1993, 163. 8
Four
13
1.2
Konsep Rumah oleh Bachelard dan Amos Rapoport Untuk
mengenali
dapat ruang,
memahami pemikiran
bagaimana
Bachelard
manusia
secara
peka
mengawali sekaligus mengupas permasalahan makna suatu rumah. Bachelard mengatakan bahwa: Through dreams, the various dwelling-places in our lives co-penetrate and retain the treasures of former days. And after we are in the new house, when memories of other places we have lived in come back to us, we travel to the land of Motionless Childhood, motionless the way all immemorial things are. We live fixations, fixations of happiness. We comfort ourselves by reliving memories of protection.9 Dalam uraiannya, Bachelard sangat menekankan memori yang terpatri dalam diri kehidupan manusia, yang memungkinkan kenangan itu dihadirkan kembali dalam suatu keinginan untuk mendapatkan hal-hal yang pernah membahagiakan,
seperti
sewaktu
masa
kecil.
Dalam
petuahnya Bachelard mencoba memaknai rumah sebagai salah satu kekuatan utama yang bisa memadukan pikiran, kenangan, dan impian-impian manusia.
Peristiwa dan
pengalaman meruang dan mewaktu memberikan dinamika yang berbeda pada wujud rumah. Lebih lanjut Bachelard mengatakan:
Bachelard dalam Neil Leach, Rethinking Architecture, New York: Routledge, 1997, 83. 9
14
The house we were born in has engraved within us the hierarchy of the various functions of inhabiting. We are the diagram of the functions of inhabiting that particular house, and all the other houses are but variations on a fundamental theme. The word habit is too worn a word to express this passionate liaison of our bodies, which do not forget, with an unforgettable house.10 Pemikiran rumah
yang
bermacam
Bachelard
dihuni
kegiatan
membawa
manusia, manusia
gagasan
merupakan
bersama
tentang
hasil
dari
tubuhnya
yang
hendak dilakukan di dalam maupun di luar rumah. Beragam
kegiatan
manusia
akan
menyebabkan
terjadinya perubahan penggunaan ruang, baik di dalam rumah dan di lingkungan sekitarnya. Rapoport11 membagi elemen-elemen ruang berdasarkan 3 bagian, yaitu: a) Fitur tetap (fixed feature) adalah elemen yang memiliki sifat statis atau bersifat tetap dan tidak bisa dihilangkan, tampak pada elemen-elemen arsitektur standar seperti lantai, dinding, plafon. b) Fitur semi tetap (semi-fixed feature) adalah elemen yang
memiliki
sifat
bebas,
ruang
hasil
dari
perubahan seperti keberadaan perabot rumah, tirai, dan perlengkapan lainnya.
Bachelard dalam Neil Leach, 1997, 89. Amos Rapoport, The Meaning of the Built Environment, The University of Arizona Press, 1982, 88-96. 10 11
15
c) Fiturtidak tetap (non fix feature) adalah elemen yang
memiliki
sifat
bebas,
ruang
hasil
dari
perubahan, hal ini sangat erat kaitannya dengan manusia
sebagai
hubungan
penghuni
perpindahan
suatu
ruangnya
tempat,
(proxemics),
posisi dan postur tubuh pengguna ruang (kinesics), reaksi tubuh dan perilaku diri terhadap ruang yang dihuni.
1.3
Konsep Pengalaman Estetis oleh George Hagman Rumah dengan beragam pernak-pernik keindahannya
dapat ditelisik lewat bagaimana penghuni ruang memaknai estetika ruang yang dihuninya, tentu ini terkait dengan pengalaman estetis yang dimiliki setiap masing-masing diri mereka. Menurut Hagman bahwa: Aesthetic experience is our on going sense of the quality of the formal organization of our world. As we view a dazzling sunset, a wooded grove, Michelangelo’s David, or the Cathedral of Chartres, we remark on how beautiful or sublime the world can be. However, aesthetics refers not only to the world or the objects in it, but to the quality of our experience of the world. In other words the term applies to both our perception of the external world and our subjective experience; and ultimately our aesthetic experience deeply influences our sense of self.12
George Hagman, LCSW and Carol M. Press, Ed.D., Between Aesthetics, the Coconstruction of Empathy, and the Clinical, Psychoanalytic Inquiry, 30:1–15, 2010, 1. 12
16
Pengalaman estetis hakikatnya sebuah keberlanjutan „rasa‟ dari kualitas formal dunia kehidupan kita. Nilai-nilai estetis-nya
yang
tidak
terdapat
dalam
dunia
objektif
(external objects), justru terdapat didalam subjek, terutama dalam kemampuan mengindra dan menikmati keindahan. Lebih lanjut bagi Hagman, pengalaman estetis yang utama adalah perluasan pengalaman subjek atas keterhubungan (attunement),
kecocokan
(fittedness)
dan
kepuasan
(satisfaction) yang darinya memberi peluang seseorang berinteraksi secara baik dengan keseluruhan alam semesta. Dengan kata lain dunia bathin bukan hanya dialami sendiri (vicariously), tetapi melalui keterlibatan yang intens dan berkelanjutan yang dialami tubuh dalam mencerap ritme, nada, bentuk, warna, sensasi, dan aspek kualitatif lainnya.13
F. Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan metode kualitatif, cara penelitian deskripsi yang menjelaskan objek penelitian dengan
melakukan
survey
dan
melihat
hubungan
korelasinya. Penelitian kualitatif adalah penelitian yang bertujuan untuk menafsirkan gejala atau fenomena yang terjadi dengan melibatkan berbagai metode yang ada. Dalam
13
Hagman, LCSW and Carol M. Press, Ed.D., 2010, 8.
17
metode
kualitatif
memanfaatkan
wawancara
untuk
memahami sikap, perasaan, dan perilaku individu atau kelompok. Penelitian ini dapat pula dikatakan penelitian yang menggunakan pendekatan naturalistik atau alamiah untuk mengerti dan memahami fenomena dalam suatu latar konteks tertentu. Upaya membangun pandangan subjek penelitiansecara
rinci,
dibentuk
dengan
kata-kata,
gambaran yang holistik dan rumit.14 Dalam metode kualitatif dapat menggunakan deskripsi murni untuk menemukan dan mengetahui hal baru pada objek penelitian. Penelitian deskriptif murni merupakan jenis kegiatan penelitian yang menjabarkan apa yang terdapat atau mungkin terjadi dalam sebuah kancah, lapangan, atau wilayah tertentu.15 Berdasarkan pengertian diatas, penelitian kualitatif deskriptif dipilih karena penelitian ini mengutamakan latar alamiah yang hasil perolehan datanya melalui bentuk deskripsi digunakan untuk memahami serta menafsirkan fenomena yang terjadi.
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif Edisi Revisi, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2007, 5-6. 15 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2010, 3. 14
18
1. Informan Peneliti membutuhkan informan untuk mendapatkan informasi
yang
mendukung
penelitian.
Penyandang
tunanetra sebagai informan utama penelitian ini adalah: a. Yono, istri (tunanetra), anak (normal), profesi awal sastrawan,
kini
berprofesi
sebagai
tukang
pijat,
bertempat tinggal di Godean. b. Mudji, istri (tunanetra), profesi awal komedian, kini berprofesi sebagai tukang pijat, bertempat tinggal di Gunung Kidul. c. Suwadji, istri (tunanetra), anak (normal), profesi awal pengrajin tembikar, kini berprofesi sebagai penjaja keset, bertempat tinggal di Prancak Sewon. Penelitian ini juga melibatkan informan kunciyaitu beberapa dokter mata, arsitek/desainer dan pemerhati penyandang membuka
tunanetra. wacana
dan
Mereka
sebagai
memudahkan
pihak
peneliti
yang dalam
mengkaji permasalahan penelitian. 2. Metode Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang utama digunakan pada penelitian ini adalah observasi lapangan, wawancara, dan dokumentasi. a. Observasi Lapangan Pada metode ini peneliti secara langsung datang ke rumah ketiga tunanetra (Yono, Mudji, dan Suwadji) untuk mengetahui kondisi penyandang tunanetra dengan
19
ruang yang dihuninya sekaligus mendapatkan informasi lain yang mendukung penelitian. b. Wawancara Wawancara dilakukan oleh peneliti pada narasumber yaitu para penyandang tunanetra, dan untuk menambah informasidapat
melakukan
wawancara
paradesainer,
sosiolog, dan psikolog yang senantiasa memperhatikan realita kelebihan dan kekurangan pada diri penyandang tunanetra. Wawancara berupa pertanyaan yang tidak terstruktur, disesuaikan dengan situasi dan keadaan informan.
Hal
tersebut
sangat
diperhatikan
karena
peneliti lebih banyak mendapatkan informasi secara utuh dengan mendengar apa yang diceritakan oleh informan.16 c. Dokumentasi Hasil
dokumentasi
pengumpulan
data
nantinya
berupa sekumpulan catatan desain, seperti layout ruang, setting furnitur atau perabot. Disamping itu data hasil dokumentasi juga berupa foto-foto, dan gambar sketsa yang berkaitan dengan objek penelitian.
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D, Bandung: Alfabeta, 2013, 234. 16
20
3. Teknik Analisis Data Padaanalisis permasalahan dilakukan sebelum tiba memasuki lapangan. Peneliti menghadapi sejumlah besar sumber-sumber data yang berupa buku kepustakaan. Setelah menentukan lokasi sumber data, peneliti dapat mulai
melakukan
akanlebih
pengumpulan
difokuskan
selama
data.17
Analisis
proses
data
pengumpulan
datasecara bersamaan di lapangan. Pada kenyataannya, analisis
data
kualitatif
berlangsung
selama
proses
pengumpulan data dari pada setelah selesai pengumpulan data. Analisis
sebelum
memasuki
lapangan
dilakukan
terhadap data hasil studi pendahuluan, atau data sekunder yang akan digunakan untuk menentukan fokus penelitian. Namun fokus penelitian ini masih bersifat sementara, dan mengalami
perkembangan
setelah
peneliti
masuk
dan
selama di lapangan.18 Menurut Miles dan Hubermen mengenai analisis data di lapangan yakni aktivitas dalam analisis data kualitatif dilakukan secara interaktif dan berlangsung secara kontinyu
Kaelan, Metode Penelitian Kualitatif Interdisipliner bidang Sosial, Budaya, Filsafat, Seni, Agama dan Humaniora, Yogyakarta: Paradigma, 2012,163. 18 Sugiyono, 2013, 245. 17
21
sampai tuntas, hingga data telah jenuh.19 Kegiatan analisis data meliputi reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan
atau
verifikasi.
Data
yang
diperoleh
dari
lapangan jumlahnya cukup banyak, maka perlu segera dilakukaan analisis data melalui reduksi data. Dalam penelitian ini reduksi data berupa kualitas ruang huni dan pengaruhnya bagi penyandang tunanetra dalam menjalani kehidupan.
G. Sistematika Penulisan Sistematika penulisan dalam penelitian ini akan terbagi menjadi empat bab dengan susunan sebagai berikut: Bab I berupa latar belakang, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, dan sistematika penulisan. Bab II berupa tinjauan tentang rumah sebagai tempat pernaungan. Selain itu dalam bab ini berisi tinjauan tentang tunanetra dan klasifikasinya. Bab III berisi pembahasan tentang bagaimana rasa ketubuhan
penyandang
tunanetra
dalam
menciptakan
estetika rumah tinggalnya. Bab IV berisi kesimpulan yang diperoleh dan yang merangkum jawaban atas pertanyaan yang diuraikan.
19
Sugiyono, 2013, 246.
22
BAB II RUMAH dan TUNANETRA
Pemikiran
fenomenologis
dalam
bidang
desain
arsitektur tentunya menggunakan cara yang khas yaitu melalui kesadaran mendalam dari cara berpikir manusia atas
permasalahan
desain
arsitektur.
Dalam
kasus
penelitian tentu akan diarahkan untuk menyelami cara berpikir tubuh penyandang tunanetra dalam menghadapi problematika rumah tinggalnya. Seiring
perkembangan
zaman
dan
teknologi,
penyandang tunanetra dengan anugerah akal budi dan kepekaan rasa yang dimilikinya berusaha untuk selalu beradaptasi menyesuaikan diri untuk dapat bertahan hidup. Disamping daya adapt, tampak mereka bersikap fleksibel dalam mengembangkan fungsi yang dimilikinya sebagai bentuk kebijaksanaannya menghadapi realitas kehidupan. Keberadaan
mereka
yang
memiliki
keterbatasan
penglihatan tidak terlepas dari keinginan untuk memiliki rasa aman dan nyaman sehingga mereka membutuhkan tempat bernaung dan berlindung dari ancaman bahaya. Tempat
bernaung
ini
merupakan
unsur
utama
yang
23
dibangun setelah para tunanetra mendapatkan pendidikan keterampilan. Metode cara-cara membangun rumah pun disesuaikan dengan berjalannya waktu dan perkembangan zaman, ditambah kebutuhan yang lebih khusus dari pada orang yang awas penglihatan. Pada bab ini akan dikemukakan pijakan teoritis tentang
rumah
dan
tunanetra.
Pembahasan
Gaston
Bachelard mengenai apa itu rumah bisa menjadi bahan perenungan sehingga kita mampu berpikir kritis tentang hakikat „rumah‟, termasuk „proses merumah‟ itu
sendiri.
Selanjutnya, diikuti dengan pembahasan tentang tunanetra serta penggolongannya yang telah diuraikan oleh para pakar. Pada bagian akhir akan disampaikan pula mengenai keterbatasan
tunanetra
dalam
memaknai
ruang
yang
dihuninya.
2.1
Rumah: Naungan dan Impian Kegelisahan terhadap permasalahan di dunia desain arsitektur
yang
semakin
hari
tampaknya
lebih
mengutamakan akrobat bentuk dan estetika visual semata, membuat segelintir akademisi dan praktisi desain yang didasari pemikiran rasional tengah berjuang dari prasangka positivistik guna mendapat dasar pembenaran metafisik
24
dalam
dunia
kehidupan
manusia.
Kejenuhan
telah
menghantui manusia yang disebabkan oleh berbagai hal yang mengedepankan rasionalitas yang materialistis. Wajar bila kebanyakan manusia kini tidak mengetahui lagi tentang makna gejala yang terjadi dalam ruang kehidupan yang sedang dijalaninya. Rumah sebagai tempat manusia bernaung sejatinya mampu mengaktifkan keterhubungan manusia (penghuni ruang)
dan
ruang
yang
dihuninya,
seperti
ungkapan
Bachelard bahwa: Through dreams, the various dwelling-places in our lives co-penetrate and retain the treasures of former days. And after we are in the new house, when memories of other places we have lived in come back to us, we travel to the land of motionless childhood, motionless the way all immemorial things are. We live fixations, fixations of happiness. We comfort ourselves by reliving memories of protection.20 Melalui mimpi-mimpi, beragam tempat tinggal dalam kehidupan kita saling menembus dan mempertahankan kenangan-kenangan masa lalu. Dan setelah kita mendiami rumah baru, kita akan mengunjungi masa kanak-kanak yang abadi, tiada gerakan sama sekali sebagaimana halnya segala sesuatu yang ditakdirkan sebagai hal yang abadi. Kita hidup dalam obsesi, obsesi akan kebahagiaan. Kita membahagiakan diri sendiri dengan menghidupkan kembali kenangan-kenangan akan perlindungan yang pernah kita terima.
20
Bachelard dalam Neil Leach, 1997, 83.
25
Konsep rumah dalam ungkapan Bachelard membawa pemahaman mendalam tentang kenangan yang terpatri dalam kehidupan manusia dapat dilukiskan kembali dalam suatu keinginan demi mendapatkan kebahagiaan seperti kenangan
masa
kecil.
Secara
lugas
Bachelard
ingin
mengatakan bahwa rumah memiliki arti merawat impianimpian sang pemimpi, dan memberi kemungkinan kita bermimpi dalam kedamaian. Nilai-nilai yang dibangun di dalam rumah menjadi bagian dari impian manusia sebagai penghuni sekaligus menandai sifat kemanusiaannya. Impian dapat diartikan sebagai imajinasi manusia yang dipengaruhi oleh ragam pengalaman dalam meruang dan mewaktu. Rekam pengalaman masa lalu, masa kini, masa mendatang memberi dinamika nuansa yang berbeda pada rumah. Tak mengherankan bila Bachelard menarasikan bahwa: The house we were born in has engraved within us the hierarchy of the various functions of inhabiting. We are the diagram of the functions of inhabiting that particular house, and all the other houses are but variations on a fundamental theme.21 Rumah tempat kita dilahirkan mengukir dalam diri kita tentang herarki dari bermacam-macam fungsi cara menghuni. Kita merupakan diagram dari fungsi cara bagaimana menghuni rumah yang khusus dan bangunan lain yang bervariasi dalam tema yang mendasar.
21
Bachelard dalam Neil Leach, 1997, 89.
26
Gagasan ini menyiratkan keberadaan kita bersama rumah yang kita huni sebagai satu kesatuan yang utuh. Wajah tapak dan kondisi rumah merupakan hasil dari beragam kegiatan manusia yang hendak dilakukannya di dalam
rumah.
Cara
mendiami
rumah
pun
memiliki
kekhasan. Dalam ungkapa Bachelard, We should therefore have to say how we inhabit our vital space, in accord with all the dialiectics of life how to take root day after day in a ‘corner of the world’ 22 Kita seharusnya mengatakan bagaimana kita mendiami atau menghuni ruang penting kita berdasarkan pada dialog kehidupan di mana kita telah mengakar, hari demi hari disuatu „sudut dunia‟. Kita
seperti
diingatkan
kembali
jika
bermaksud
menghuni di suatu tempat, maka penataan bentuk dan ruangnya haruslah terlebih dahulu mengadakan „dialog‟ tentang apa yang dialami manusia sepanjang hidupnya. Melalui dialog antara manusia dan ruang yang dihuninya tentu akan didapati hal-hal yang khas, yang tidak bisa digeneralkan dengan mudah, karena dirasa lebih sesuai dengan apa yang dibutuhkan oleh dirinya. Terlebih bila yang mendiami rumah yakni mereka yang memiliki keterbatasan penglihatan (tunanetra) dan bagaimana mereka menata sekaligus menikmati ruang yang dihuninya?
22
Bachelard dalam Neil Leach, 1997, 86.
27
2.2
Tunanetra Sebelum
lebih
jauh
meninjau
rumah
tinggal
tunanetra, ada baiknya kita meninjau klasifikasi tunanetra dan pengaruh keterbatasan visual dalam pemaknaan ruang yang mereka huni.
2.2.1 Penggolongan Tunanetra Penggolongan
tunanetra
berdasarkan
PERTUNI
(Persatuan Tunanetra Indonesia) dikelompokan menjadi dua, yakni buta total (total blind) dan kurang awas (low vision). Tunanetra adalah mereka yang tidak memiliki penglihatan sama sekali (total blind) hingga mereka yang masih
memiliki
penglihatan
tetapi
tidak
mampu
menggunakan penglihatannya untuk membaca tulisan biasa berukuran 12 poin dalam keadaan cahaya normal meskipun dibantu dengan kaca mata (low vision).23
Gambar 1. Diagram Penggolongan Tunanetra berdasarkan PERTUNI, 2013
23PERTUNI,
2013.
28
Klasifikasi tunanetra menurut Lowenfeld: a. Classifications of Blindness: (1) Total Blindness – No light perception; (2) Minimal Light Perception – Some light perception, but little enough to be usable; (3) Distorted Vision – light perception, highly distorted e.g. achromatism, photophobia, tunnel vision or no central vision. b. Classifications of memory: (1) No Visual Memory – Totally blind from birth or very early blind, 0-4 years; (2) Assimilated Blindness – Blind from mid to late chilhood, 418 years, educated in older schools for the blind, primarly non-visual; (3) Visual Memory – Blind adulthood, 18+ years.24 Berdasarkan beberapa uraian dari klasifikasi yang didasarkan pada kemampuan visual yang dimiliki tunanetra diatas, secara garis besar menunjukan bahwa tunanetra yang kurang awas (low vision) masih dapat menerima cahaya meskipun sedikit, sedangkan tunanetra yang mengalami kebutaan total (total blind) sejak lahir tidak memiliki persepsi visual sebagaimana yang dimiliki oleh mereka yang buta total setelah dapat melihat. Dalam penelitian ini yang menjadi informan utamayaitu mereka yang buta total (total blind)di masa remaja dan dewasa. Mereka mengandalkan persepsi memori visual mengenai ruang yang masih ada dalam ingatan saat mengalami ruang yang dihuninya.
Lowenfeld dalam Simon Hyhoe, What is visual impairment?, National HE STEM Programme, 2012, 2. 24
29
Informan
Menderita Buta total
No. Utama
Umur
Penyebab
1.
Yono
15 tahun
Mata Katarak
2.
Mudji
40 tahun
Mata Katarak
3.
Suwadji
15 tahun
Mata Katarak
Tabel 1. Data Informan Utama Penelitian
Gambar 2. Mata Katarak Sumber: Healthwise.org
30
2.2.2 Keterbatasan dalam Memaknai Ruang Tunanetra memiliki keterbatasan dalam menjalani kehidupan
kesehariaannya.
keterbatasan
penglihatan
Menurut
yang
dimiliki
Lowenfeld, tunanetra
menimbulkan tiga keterbatasan lain yaitu keterbatasan dalam sebaran dan jenis pengalaman, keterbatasan dalam kemampuan untuk bergerak di dalam lingkungan, dan keterbatasan dalam interaksi dengan lingkungan.25 Keterbatasan tunanetra
dalam
bukan mengolah
menjadi
penghalang
estetika
ruang.
bagi
Menurut
pandangan Scott bahwa: What we feel as beauty in architecture is not a matter for logical demonstration. it is experienced, consciously, as a direct and simple intuition, which has it ground in that subconscious region where our physical memories as stored, and depends party on these, and party on the greater ease imparted to certain visual and motor impulses.26 Rasa keindahan dalam desain arsitektur bagi Scott dapat dicapai lewat apa yang dialami secara sadar oleh segenap indra yang dimiliki manusia. Hal itu juga ditemui dalam
catatan
Jay,
seorang
saintis
yang
memberi
perhatiannya dalam dunia desain arsitektur. Ia mengatakan bahwa: 25Lowenfeld
dalam Tarsidi, 2008b, para 14. Theorizing a new agenda for architecture: An anthology of architecture theory 1965-1995, New York: Pricenton Architectural Press, 1996, 403. 26KateNesbit,
31
Every touching experience of architecture is multisensory, qualities of space, matter and scale are measured equally by the eye, ear, nose, skin, tongue, skeleton and muscle. Architecture strengthens the existential experience, one’s of being in the world, and this is essentially a strengthened experience of self. Instead of mere vision, or the five clasical sense, architecture involves several realm of sensory experience which interact and fuse into each other.27 Dua pandangan diatas rasanya sudah cukup memberi pemahaman
bahwa
nilai
estetis
yang
dicapai
lewat
penguatan pengalaman menjadi sesuatu yang esensial. Interior-arsitektur
yang
memasuki
wilayah
pengalaman
sensorik mampu menjadikan keindahan tidak sebatas pada aspek visual semata, tetapi juga aspek non-visual yang dirasakan. Begitupun yang dialami oleh tunanetra, tentu mereka menggunakan potensi indra yang dominan untuk mengganti indra penglihatan sebagai cara mereka memaknai estetika non-visual rumah tinggalnya.
Jay dalam Juhani Pallasmaa, The Eyes of the Skin - architecture and the senses, Wiley-Academy, 2005, 41. 27
32
BAB III MERUANG dan MENUBUH
Pembahasan selanjutnya yang menjadi bagian utama dari tesis ini adalah cara berpikir tubuh atas ruang. Menguraikan potensi tubuh dan indra yang secara peka mampu mengenali permasalahan dalam meruang. Hal ini sangat perlu diangkat dikarenakan sempitnya cara pandang para
akademisi
maupun
praktisi
di
bidang
desain
khususnya, dalam memahami „estetika‟ dari wujud karya arsitektur dan desain interior. Melalui tesis ini sedapat mungkin bisa memberi jawaban yang selama ini belum tersingkap tentang diri tunanetra memaknai estetika non-visual rumah tinggalnya. Sensibilitas terhadap dunia di sekelilingnya; daya taktil, energi bunyi dan bau-bauan, menjadi alat bantu tunanetra dalam membaca dan menikmati ruang yang dihuninya. Tidak hanya itu, setiap laku keseharian mereka (tunanetra), sangat erat dengan nilai-nilai spiritual sebagai buah dari perenungan dan merasakan atas kondisi peristiwa yang mereka alami bersama tempat dimana mereka tinggal.
33
3.1
Tubuh yang Menata Laku kehidupan manusia memang unik dan menarik untuk ditelusuri. Pada mulanya manusia suka berpindahpindah mencari tempat untuk bernaung. Setelah lelah berpindah, manusia berusaha menciptakan kenyamanan dengan menetap di suatu lokasi tertentu. Rumah adalah tempat pernaungan manusia yang belum bisa tergantikan oleh apapun. Keberadaannya tidak sebatas melindungi manusia dari terik panas dan hujan, tetapi mampu memberi rasa kepuasan bathin bagi penghuninya. Desain
rumah
yang
telah
tersedia
umumnya
menggunakan template yang sudah ada, yang sebenarnya itu diperuntukkan bagi mereka yang normal, sedangkan mereka yang berkebutuhan khusus secara terpaksa harus menerima dan menyesuaikan diri (adapt) dengan kondisi existing - yang ada. Berikut hasil wawancara dengan ketiga tunanetra yang menjadi informan utama penelitian ini: Yono, Mudji, dan Suwadji yang mencoba menceritakan kondisi awal saat menempati rumah. Tuhan memang suka memberi tantangan. Awal kami dipertemukan dengan rumah ini, rumah yang bau jijik limbah semerbak, sampah berserak, rumput halaman merana begitu lebat, lebih mirip hutan belukar. Jauh dari kata nyaman apalagi idaman.28 Wawancara Mahdi Nurcahyo dengan Yono, 3 Januari 2015, di rumahnya, Godean. 28
34
Aslinya rumah ini sempit, semua dinding masif, banyak penyekat ruang, dan tidak sesuai dengan kondisi kami. Rumah ini dulu seperti benteng tahanan yang tidak memberi kami kebebasan untuk menghirup alam.29 Rumah ini warisan keluarga istri saya. Memang sempat runtuh akibat gempa Jogja 2006. Masalah utama adalah udara panas dirumah yang tak kunjung pergi. Punya rumah kok malah menabung penyakit, berarti ada yang salah dengan kita punya cara.30 Ketiga tunanetra diatas harus berhadapan dengan kondisi rumah yang jelas tidak memperhatikan apa yang menjadi kebutuhan mereka. Dalam kata lain yakni belum siap huni untuk kaum tunanetra. Kita bisa mengurai tentang bagaimana tubuh mereka menata dengan cara yang spesifik, dan mengapa mereka melakukan hal itu. Kisah misalnya,
merumah yakni
yang
kehidupan
dialami Yono
informan
dan
pertama
keluarga
yang
sementara kini menempati rumah sewa. Kondisi existing rumah yang tidak terawat membuat mereka berbenah ulang. Untuk bisa merasa betah menghuni, Yono bersama keluarga harus melakukan kerja bakti reresik rumah terlebih dahulu. Pada sesi ini tongkat menjadi „alat perpanjangan tangan‟ mereka untuk mengetahui jenis sampah yang berserak – Wawancara Mahdi Nurcahyo dengan Mudji, 7 Januari 2015, di rumahnya, Gunung Kidul. 30 Wawancara Mahdi Nurcahyo dengan Suwadji, 9 Januari 2015, di rumahnya, Prancak Sewon. 29
35
apakah termasuk limbah organik atau anorganik. Tongkat tersebut
digunakan pula untuk mengukur
tinggi dan
lebatnya rumput di pekarangan rumah. Tanpa alat tersebut mereka mengalami kesulitan dalam membaca ukuran, jenis, dan
sifat
bahan
material.
Tongkat
terletak
pada
kemungkinan untuk menghadirkan suara saat dibenturkan pada sebuah benda atau material sehingga ia mengetahui sifat
dan
volume
benda
yang
diketuknya.
Hal
ini
mengindikasikan tongkat menjadi mediator antar manusia dan dunia di sekitarnya. Manusia telah menubuh dengan alat yang dapat membantunya dalam menjalani kehidupan keseharian.
Keberadaannya
menjadi
bagian
dari
cara
manusia mengalami dunia kehidupan. Berikut penuturan Yono yang menceritakan kegiatan reresik rumah bersama warga sekitar: Selain hidung mendeteksi tingkat kebauan, tangan mendeteksi kepadatan, tongkat juga alat yang penting mendeteksi jenis limbah. Kami bebarengan reresik rumah selama tiga hari; hari pertama reresik bagian dalam rumah yang bau busuk menusuk, hari kedua reresik bau halus tengik halaman samping, dan hari ketiga momen kami menabur bunga sedap malam untuk mengusir bau. Seterusnya ya kegiatan reresik harus dirutinkan. Selanjutnya ada tradisi penutupnya, yaitu makan bareng tetangga yang sudah sedia membantu.31
Wawancara Mahdi Nurcahyo dengan Yono, 3 Januari 2015, di rumahnya, Godean. 31
36
Dari sini kita dibawa pada ekspresi diri untuk menilai sesuatu yang kotor. Bagi kita yang awas (masih dapat melihat), kotor diekspresikan lewat visual pemandangan bentuk yang „berserak‟ dan „kumuh‟. Sedangkan Yono menghubungkan yang kotor dengan kata „busuk‟, misalnya dalam frasa „busuk menusuk‟. Bau „busuk‟ dan sentuhan „tajam‟ merupakan gejala yang dialaminya. Ia mengetahui apakah
rumahnya
bersih
atau
kotor
lewat
indra
penciumannya. Indra penciuman mampu mendeteksi tingkat kepekatan atau ketajaman bau yang terakumulasi lewat aliran sirkulasi udara di dalam ruang. Dalam penuturan Yono terucap kata „busuk‟ dan „tengik‟ sebagai kata yang mengirim pesan tentang kualitas ruang yang dihuninya. Busuk dan tengik mempunyai kesamaan negativitas dari cara pandang atau penilaian diri manusia atas keadaan yang sedang dialaminya. Apabila sudah mencapai tingkat „busuk‟ maupun „tengik‟ berarti penilaian buruk atas kualitas ruang sudah didapatkan, sama halnya dengan penuturan Yono, “..bau jijik limbah semerbak”. Pemaknaan atas busuk, tengik, dan jijik itu mampu menggambarkan kondisi kualitas bangunan rumah yang buruk, rapuh, kumuh tidak teratur, mungkin juga penuh keganjilan.
37
Ekspresi seringkali dibatasi oleh sifat dan kondisi materialnya.
Ekspresi
bau
busuk
dan
tengik
dapat
diungkapkan lewat pencerapan indra atas materi (ruang), seperti yang dialami oleh Yono. Sifat bau busuk yang „menusuk‟
dan
bau
tengik
yang
„halus‟
misalnya.
Ia
menganggap bau „busuk menusuk‟ itu bersarang di dalam rumah dan bau „halus tengik‟ menyelubungi halaman samping rumah. Obat penawar bau yang tidak sedap tersebut, yakni dengan menggelar ritual menabur bunga sedap malam. Mendengar
sekilas
ritual
yang
mereka
lalukan
terkesan berbau klenik. Namun mendengar alasan Yono justru bukan tertuju pada asumsi seputar mistis. Yono bercerita bahwa ketika awal ia mengalami kebutaan, ia berada pada situasi ambang tidak tahu harus berbuat apa. Di saat itu ia teringat tanaman sundel milik keluarganya di kampung yang hanya mekar di waktu malam dan memiliki harum yang menyegarkan. Maka ia pun merenungi sambil bergumam lirih: ”...bunga itu bisa hidup di dunia yang gelap dan aku?”. Kemudian ia bergegas mencari bunga sundel (sedap
malam)
dengan
menelpon
pamannya.
Rupanya
memori pengalaman bersama bunga sundel saat masih dapat melihat menjadi bahan perenungan yang memotivasi
38
dirinya untuk bangkit dari situasi yang melemahkannya. Sebenarnya bunga sundel (komponen) mempunyai fungsi ganda,
yakni
sebagai
vitamin
bagi
diri
penghuninya
sekaligus sebagai obat penawar ruang yang dihuni. Dengan demikian pemaknaan keindahan itu tidak berhenti
pada
rangsangan
yang
diperoleh
organ
pengindraan. Namun lewat tindakan mengalami selalu menghantarkan kita pada kesadaran yang menubuh, yang secara
bersamaan
melibatkan
proses
mengingat
dan
membayangkan peristiwa yang telah mengendap dalam diri kita. Disposisi mental (rasa, emosi, alam pikiran) dan ketubuhan (kondisi tubuh) menjadikan pengalaman diri bersifat subjektif. Dengan demikian kualitas estetika desain bicara
tentang
pembuktian
kebenaran
perhitungan
eksistensial
dan
bukan
standarisasi
dengan
yang
telah
terkonvensi, melainkan dengan sebuah jalan „perenungan‟, sehingga keindahan tidak hanya melulu pada level bentuk fisik tapi juga metafisik. Perlakuan Yono menghadapi bau yang menyengat di dalam rumah tidak mengada-ada. Apa yang ia alami bersama alam sekitar, maka itulah yang ia jadikan obat penawarnya. Persoalan kebersihan rumah yang dialami Yono mengusik kembali keluhan penduduk di negeri ini, yaitu
39
masalah nyamuk yang bersarang di dalam rumah. Nyamuk kerap menjadi bagian dari masalah hunian di daerah beriklim tropis yang tidak bisa diabaikan begitu saja. Lucu ya, manusia gampang nyemprot sana-sini. Semprot boleh jadi solusi praktis hari ini (sambil tertawa geli).32 Banyak obat anti nyamuk yang bertebaran di toko dan supermarket. Mulai dari lotion, obat nyamuk bakar, elektrik dan semprot, Namun apakah kita harus menggunakan obat berbahan kimia tersebut? Padahal alat „pembasmi‟ nyamuk itu jelas berbahaya karena menggunakan racun untuk mematikan nyamuk, dan ini memberikan efek samping bagi kesehatan manusia. Melalui pengamatan cara hidup Yono yang akrab memaksimalkan potensi indra non-visualnya dalam
memanfaatkan
bahan
alam,
masyarakat
kini
harusnya bisa berpikir ulang dan menggunakan obat tradisional untuk „mengusir‟ nyamuk, seperti tanaman lavender, bunga rosemary, kecombrang, serai wangi, dan semacamnya. Faktanya menurut dr. Syarif Hidayatullah, nyamuk sendiri merupakan serangga pemakan nektar bunga,
baik
itu
jantan
dan
betina.
Tujuan
nyamuk
menghisap darah tidak lain dalam rangka kelangsungan
Wawancara Mahdi Nurcahyo dengan Yono, 3 Januari 2015, di rumahnya, Godean. 32
40
proses regenerasi. Nyamuk betina menghisap darah dengan mendapatkan
manfaat
protein
untuk
tujuan
perkembangbiakan. Telur nyamuk membutuhkan protein yang
digunakan
untuk
proses
metamorfosa.33
Dengan
demikian tidaklah adil bila kita membunuh keseluruhan perikehidupan
nyamuk
karena
dalam
penciptaannya
terkandung luasan kebaikan bila kita ingin menelisiknya lewat perspektif yang berbeda. Semua penciptaan Tuhan tidak ada yang sia-sia. Hal ini mengingatkan kembali Yono yang pernah bertutur: Bau tengik di halaman rumah malas minggat, biar kita rajin olah roso disamping olah cipto lan karso. Setiap kejadian di alam menggerakkan sendi-sendi yang lain, saling terhubung dan mendukung. Rumah yang gelap belum tentu gelap. Tergantung hati kita bisa meneranginya apa tidak. Pada yang gelap mengandung unsur terang, pada yang terang tidak mungkin terbebas dari unsur gelap.34 Permasalahan
bermukim
seperti ini juga pernah
dialami oleh orang-orang Indian. Pada saat orang-orang Eropa berbangga mengeksploitasi binatang dan menguras sumber-sumber energi tak bernyawa sebagai kunci dari revolusi industri, orang-orang Indian justru „menghilang‟ dari pemandangan alam. Menghilang di sini bukan berarti Catatan diskusi Mahdi Nurcahyo dengan dr. Syarif Hidayatullah, 15 Januari 2015, di rumahnya, Jakarta Selatan. 34 Wawancara Mahdi Nurcahyo dengan Yono, 3 Januari 2015, di rumahnya, Godean. 33
41
mereka tidak melakukan apa-apa. Mereka hidup sederhana, dan terampil. Konsepsi mereka tentang estetika tidak meluas ke pemandangan alam. Tidak seperti orang-orang Eropa yang
berkeinginan
perekayasaan angin,
kuat
teknologi.35
aroma,
dan
„menguasai‟ Mereka
suara
alam
alam
dengan
menganggap
desiran
merupakan
„mantra
kehidupan‟. Bumi ini warisan nenek moyang, alam ini sedang tertidur dan kita diharapkan tidak membuatnya terbangun. Dalam bahasa Yono, “..alam ini adalah rumah kita”. Ini mengilustrasikan seolah-olah ruh bumi, tanah, air, udara adalah nutrisi untuk hidup dan itu tidak perlu dipertentangkan. Kita yang gemar berburu bukan berarti harus menjadi seorang pembunuh. Alam dan apa yang diberikannya kita perlakukan dengan penuh hati-hati, tidak melulu berpikir pada hasil, tetapi mengambil sedikit saja untuk memenuhi kebutuhan tanpa harus menodainya. Pengamatan aspek kebersihan rumah menjadi tolak ukur estetika bagi tunanetra. Keindahan yang mengetuk kesadaran penghuni rumah untuk selalu menumbuhkan rasa memiliki (sense of belonging) yang kelak memicu rasa tanggung
jawab
(sense
of
responsibility)
dan
selalu
menerapkan gaya hidup sehat (healthy living). Catatan diskusi Mahdi Nurcahyo dengan teman-teman di Komunitas Salihara Jakarta, 27 Januari 2015. 35
42
..yang beautiful itu yang menyehatkan. Jadi kalau belum nyapu dan ngepel, seperti ada yang hilang dari jiwa kami. Beraninya tidur sebelum rumah bersih apa tidak malu sama yang bertamu di sepertiga malam nanti.36 Tidak hanya saat awal menempati rumah, kegiatan reresik
rumah
tersebut
senantiasadilakukan
Yono
menjadi bersama
runitinitas keluarga
yang
sebelum
mereka beranjak istirahat. Ini membuktian tesis Christoper Day bagaimana kontruksi keindahan yang dibangun lewat rasa harus selalu ditumbuhkan sehingga “arsitektur yang menjiwa” itu benar-benar terwujud dalam laku kehidupan manusia.37 Masih menyelami kegiatan reresik rumah. Mereka memposisikan kegiatan reresik rumah sama halnya ketika orang
membuat
selametan
untuk
rumah
yang
baru
dihuninya, tentu ada proses transisi disana. Di dalam proses tersebut semestinya
ada
perjumpaan
muncul
dan
ketegangan menyelimuti
yang benak
sudah diri
penghuninya. Transisi sendiri dimaknai bukan sekat, batas atau struktur yang membatasinya, tetapi ruang yang harus dijalani dan dinikmati. Menurut pandangan mereka kegiatan
Wawancara Mahdi Nurcahyo dengan Yono, 4 Januari 2015, di rumahnya, Godean. 37 Christoper Day, dalam Jenks & Korpf, Theories and Manifestoes of Contemporary Architecture, Academic Editions, West Sussex,1997,151. 36
43
apakah reresik atau selametan harusnya dilakukan setiap hari sehingga bau asam di dalam rumah dapat dinetralisir. Mereka mengenali bau asam ruangan dengan meraba dinding
dan
mereka
memukan
kristal
garam
pada
permukaannya. Bila dicermati, mengapa mereka menyebut bau asam? Kita bisa pahami bahwa asam sendiri merupakan salah satu penyusun dari berbagai bahan makanan dan minuman, misalnya cuka, keju, dan buah-buahan.Lantas hubungan antara bau asam dan kristal garam apa? „asam‟ disini bukan lantaran ia mengecap butiran garam yang justru membuat mereka akan merasakan asin. Tetapi persepsi tentang „asam‟ yang dimaksud yakni sifat asam dari „larutan garam‟ yang mengendap pada permukaan dinding. Banyak produsen cat mengenali bahan kimia yang ada dalam cat tembok dengan istilah Kalsium Karbonat (CaCO3). Yono menganggap bau asam tersebut ditimbulkan dari asap rokok
yang
lingkungan
bergumul sekitaran
di
dalam
rumah
ruangan,
yang
lembab
dan
dari
sehingga
menciptakan kanker dinding pada rumahnya. Anggapan yang kedua terbilang kuat mengingat tingkat suhu udara rumah mereka yang cukup tinggi, lingkungan yang sangat lembab dapat menimbulkan gejala „kanker dinding‟. Pada permasalahan ini jelas bahwa mereka sedang berhadapan
44
dengan bakteri jamur. Bakteri ini mengambang kemanamana
mengikuti
udara,
dan
terus
berkembangbiak,
memenuhi seluruh lingkungan rumah. Hal ini menimbulkan kerusakan bagi kualitas lingkungan rumah tinggal, juga kesehatan fisik dan mental penghuninya. Saya mencium bau asam pada rumah ini. Saya coba meraba ada semacam banyak kristal garam yang menumpuk pada permukaan tembok, dan tonjolan yang membengkak pada lapisan tembok yang kadang terkelupas. Saya yakin uap air dari kondisi lembab itu biang keladinya. Penyakit ini bisa diobati dengan merutinkan reresik setiap hari.38 Menyimak
pengalaman
mereka
menghadapi
problematika kondisi rumah yang belum sesuai harapan sangatlah penting. Mereka menemukan cara solutif untuk mengatasi
bau
asam
dalam
rumah,
yakni
dengan
melanggengkan kegiatan reresik rumah setiap harinya. Tentu ini memberi pencerahan bahwa ketika hari pertama pindah ke rumah baru (butuh proses yang tidak se-instan membuat pop-mie) dimana kegiatan reresik menjadi ruang transisi yang hadir menyertai manusia. Dalam konteks bertempat tinggal, reresik termasuk bagian dari serangkaian ritual
yang
dijalani
manusia
dalam
tahapan
proses
membangun „rasa menghuni‟.
Wawancara Mahdi Nurcahyo dengan Yono, 17 Januari 2015, di rumahnya, Godean. 38
45
Kegiatan reresik sebagai tata cara untuk mengawali langkah dalam hidup, menata lembaran dalam hidup, dan merayakannya
dengan
memohon
keselamatan
hidup.
Namun sayangnya kini manusia modern melupakan ruang transisi
tersebut.
terhadap ruang
Manusia
justru
bersikap
in-transisi
kehidupannya. Proses percepatan dan
instanisasi lebih diminati sehingga begitu mudah dengan hanya membeli desain hunian yang telah ada atau cukup lewat tangan kontraktor semua yang menjadi keinginan manusia dalam hal menghuni dapat segera terpenuhi. Tidak ada proses yang dialektis antara manusia dan alam, apalagi sampai harus bersusah payah menggelar ritual menabur bunga seperti yang dilakukan Yono dan keluarga misalnya. Padahal pada sesi tersebut, ada penanda dari ritual akankepemilikan nasib baik untuk rumah yang akan dihuni dalam jangka waktu panjang. Dalam kata lain, semakin ritual itu tidak dipraktikan semakin banyak orang yang tidak
menginginkan
keselamatan
hidup.
Hal
itu
meneguhkan kembali pendapat Eko Prawoto bahwa ritual bagian dari ruh berarsitektur. Arsitektur sebagai wadah dan sarana berbagi tentang nilai, salah satunya nilai spiritual.39
Disampaikan dalam Seminar Nasional "Urban Identity, Call for Locality" yang diselenggarakan pada Rabu, 18 Desember 2013, di ISI Yogyakarta. 39
46
Pemikiran ini mengisyaratkan bahwa nilai-nilai spritual jauh lebih penting dibanding nilai material fisik rumah atau lingkungan. Nilai spiritual menjadi motor penggerak batin penghuni
untuk
selalu
mengadakan
proses
merumah
selama keberadaannya bermukim di dunia. Ritual reresik ditutup dengan mengundang makan bersama dengan para tetangga sekitar sehingga dapat mengembalikan energi positif yang telah terserap selama proses menata rumah.Ini termasuk rangkaian dari ritual yang sudah tertanam di dalam tradisi Jawa, umumnya kita mengenal dengan acara selametan. Berikut cerita Yono yang mendapatkan „sedekah‟ reresik rumah: Makan bareng bagi orang buta itu menyenangkan. Bisa bayangkan, makanan saja sudah dibuatkan sama tetangga kiri-kanan. Kami tinggal menyediakan ruang guyub-nya saja. Diam-diam tetangga urunan hadiah seperangkat alat kebersihan buat kami. Ditambah lagi ada kolega kami yang ikutan nimbrung dan nyisipin amplop dengan dalih: mungkin ini cukup untuk beli bantal buat si kecil.40 Setelah
perihal
kebersihan,
selanjutnya
penataan
ruang yang sesuai dengan cara mendiami rumah memberi pengaruh besar pula bagi kesehatan jiwa penghuninya. Menyimak cerita Yono tentang rumahnya yang saat itu masih kosongan - belum ada perabot dan penyekat ruang. Wawancara Mahdi Nurcahyo dengan Yono, 17 Januari 2015, di rumahnya, Godean. 40
47
Pengenalan denah ruang diperoleh Yono dengan cara meraba seluruh permukaan dinding dalam rumah dengan menggunakan telapak tangan dan tongkat. Perabaan tangan digunakan untuk mengetahui jenis dan sifat bahan elemen pembentuk ruang yang diterapkan, sedangkan tongkat digunakan untuk mengukur luasan interior rumah. Penentuan
arah
hadap
kamar
dan
ruang
kerja
diperolehnya dengan merasakan hembusan angin yang menerpa dada. Arah hadap pintu kamar yang tidak tepat akan membuat dada terasa sesak. Untuk menentukan letak pintu tiap kamar, Yono harus merasakan laju sirkulasi angin yang masuk dari pintu utama melewati ruang tengahhingga menembus ke ruang belakang dan samping rumah. Angin timur masih menghantar kelembutan saat matahari membakar kulit, sedangkan angin barat sedari dulu tanpa kompromi menyebar hawa panas lewat celah tembok tetangga. Kalau sudah begini, siapa yang kuat dia yang menguasai hawa di rumah. (sambil tertawa).41 Penuturan Yono di atas cukup terdengar geli. Ia menganggap angin timur memiliki sifat „lembut‟, sedangkan angin
barat
memiliki
sifat
„saklek‟
(tanpa
kompromi).
Celotehannya itu menyiratkan bahwa „sentuhan‟ bukan Wawancara Mahdi Nurcahyo dengan Yono, 15 Februari 2015, di rumahnya, Godean. 41
48
hanya ekspresi kasih sayang yang hadir di ruang keluarga, di ranjang empuk, di taman, maupun di tempat perjamuan makan.
Sepintas
„sentuhan‟
bisa
dianggap
ekspresi
kekuasaan di segala macam tempat dan ruang. Ada benar asumsi Yono, sebagai aturan umum bahwa siapa yang kuat maka dialah yang mampu berkuasa, atau paling tidak yang unggul menyentuh yang lemah.Ini seperti seorang tabib atau dokter yang mengobati pasiennya yang sakit. Tetapi apakah bisa barat dan timur kita adu, kemudian kelak diketahui siapa yang berhak berkuasa? Apa jangan-jangan dalam hal ini bukan soal pertarungan oposisi biner antara barat (rasional) dan timur (irasional), melainkan pencarian titik temu antar kedua belah pihak. Masing-masing aksis (BaratTimur) mempunyai derajat yang sama, mempunyai kekuatan yang sama, namun kemungkinan-kemungkinan lain yang terkadang menunjukkan perbedaan (karakter dan sifatnya). Dengan demikian, Yono harus mencari titik temu atas permasalahan penghawaan di dalam rumah. Yono menyiasati tingkat penghawaan ruang dengan cara menciptakan dinding berpori lewat susunan bambu yang
dianyam
dengan
benang
poliester,
biasa
orang
menyebutnya krey bambu. Fitur semi-tetap ini berfungsi menahan laju angin, menahan terik panas dan intensitas
49
cahaya matahari, serta menahan air tampias agar tidak langsung masuk kedalam rumah. Yono memasang krey bambu pada sisi timur rumah, yaitu di area pintu masuk rumah. Krey milik Yono dengan sistem buka-tutup manual agar ia bisa mengukur tingkat suhu dengan telapak tangannya. Ia mulai membuka seperempat bidang krey ketika hawa panas mulai bergumul di dalam rumah. Tepatnya pada saat bayang teduh disekitar kita tidak terasa.42 Rupanya Yono mengenali waktu tengah hari dengan bantuan terik matahari yang menghasilkan bayang. Sebuah cara yang unik bagaimana tubuh merasakan temperatur suhu lingkungan binaan. Pencarian rasa „teduh‟ sendiri akan sulit didapati apabila bayangan tidak menaungi tubuhnya. Dengan kata lain: „teduh‟ baru bisa dirasakan bila hadir sebuah „naungan‟. Ini bisa menjadi gugatan menarik bahwa konsep ruang pernaungan tentu berbeda dengan perlindungan. Konsep pernaungan itu tanggap akan keberadaan iklim lokalitas dalam konteks nusantara. Tak mengherankanjika
dinding
yang
dihadirkan
bukanlah
dinding masif, tetapi dinding yang tipis yang mampu „bernafas‟, salah satunya dengan krey. Wawancara Mahdi Nurcahyo dengan Yono, 15 Februari 2015, di rumahnya, Godean. 42
50
Semakin krey ini longgar tiap pergantian masa, berarti ada pertanda kita sedang menghadapi cuaca yang ekstrim.43 Kehadiran krey bambu pada wajah rumah Yono mengilustrasikan konsep bangunan sebagai „kulit‟ manusia. Lapisan kulit bertugas membuat kenyamanan bagi tubuh manusia. Karena itu bangunan dapat dirancang agar sesuai untuk hunian di iklim tropis. Sebenarnya pertimbangan aspek
tropical
climate
harus
selalu
dipikirkan
oleh
masyarakat Indonesia ketika membangun hunian. Dari pengalaman Yono „merumah‟, kita dibawa pada sebuah gagasan tentang‘secondary skin’ atau kulit kedua yang menggambarkan kulit manusia dan pakaiannya, dan ini sengaja dibuat mengingat „kulit‟ bangunan yang satu lapis saja tidak cukup untuk mengatasi dampak iklim. Penerapan konsep „secondary skin’ membuat rumah menjadi lebih bisa bernafas. Berikut penuturan Yono: Sengaja saya kasih krey biar pasien pijat saya yang sedang santai di dalam tetap nyaman, tidak kepanasan dan tidak kecipratan hujan. Sama halnya ketika dulu habis bermain, saya dan teman-teman bersantai dibawah bayang-bayang pohon, saat udara panas dan matahari begitu menyengat. Tapi toh kita tetap nyaman dan bisa menghirup udara segar.44
Wawancara Mahdi Nurcahyo dengan Yono, 15 Februari 2015, di rumahnya, Godean. 44 Wawancara Mahdi Nurcahyo dengan Yono, 15 Februari 2015, di rumahnya, Godean. 43
51
Gambar 3. Krey bambu milik Yono yang sudah koyak Foto: Mahdi Nurcahyo
Anda mungkin ingat hujan angin yang sukses merubuhkan tiang listrik di daerah Sleman. Andai udara dan cuaca itu punya nafsu seperti manusia, dan kita tidak berdaya, habislah riwayat kita. Hembusan sudah kencang, baru duduk sebentar langsung masuk angin (sembari tertawa).45 Dari
cerita
diatas,
krey
menjadi
semacam
alat
pengendali (controll) atas pihak-pihak (angin, cahaya, terik matahari)
yang
mencoba
menguasai
(dalam
hal
ini
penghawaan dalam rumah). Apabila „sentuhan makhluk‟ lebih
dominan
pada
pencarian
kekuasaan,
sedangkan
„sentuhan alam‟ membawa kesadaran bagi kita untuk mencari
titik
keseimbangan
dalam
hidup.
Merasakan
Wawancara Mahdi Nurcahyo dengan Yono, 15 Februari 2015, di rumahnya, Godean. 45
52
„sentuhan
alam‟
berarti
kita
sedang
mendengar,
dan
memahami kehendak semesta. Bagian yang sering dilupakan arsitek/desainer hari ini adalah kepekaannya merasakan sentuhan apa yang dibutuhkan alam. Kita bukan pihak yang totalitas menguasainya, tapi kita harus in-line, harus menjadi bagian dari pencarian jawaban atas masalah yang kita hadapi.46 Hal itu menegaskan bahwa sentuhan mengalami pergeseran
makna,
dari
ekspresi
kekuasaan
berubah
menjadi ekspresi kebijaksanaan. Tidak mengherankan bila daya sentuhan menjadi bagian terpenting dari cara berpikir kulit merespon situasi dan kondisi alam. Pengalaman
ketubuhan
Yono
terhadap
kondisi
kualitas ruang memberi peluang bagi kita untuk mengurai tubuh dan indra sebagai agen yang mampu berpikir aktif di dalam
mengalami
fenomena
keruangan.
Pengalaman
ketubuhan dan mental kita menyibak realitas kebenaran yang belum tersingkap. Ini terkait dengan design thinking yang
pada
gilirannya
memberi
pencerahan
bahwa
perancangan bukan hanya mempersoalkan permulaan garis yang tertuang di atas kertas atau di layar monitor, bukan pula
pemberian
bentuk
motif
pada
bidang
elemen,
Wawancara Mahdi Nurcahyo dengan Eko Prawoto, 18 Desember 2013, di Concert Hall ISI Yogyakarta (seusai Seminar Urban Identity, Call for Locality). 46
53
melainkan eksplorasi hal lain dari observasi mendalam yang memberi peluang „kemungkinan‟ baru (tak terduga) dalam melahirkan solusi dari sebuah desain. Tidak
hanya
pemecahan
masalah
penghawaan,
kesulitan menemukan ruang yang dituju sempat dialami oleh Yono dan istri yang juga tunanetra. Hampir bermingguminggu
mereka
memikirkan
bagaimana
dapat
dengan
mudah mengenali masing-masing karakter kamar. Setelah mereka melakukan eksperimen, akhirnya keset menjadi solusi yang mereka ciptakan untuk menjawab masalah identitas ruang. Namun dalam penerapannya tidak semudah yang
dibayangkan.
Yono
harus
menaruh
keset
yang
berlainan bentuk pada tiap kamar, sedangkan motif yang dipilih olehnya yakni anyaman. Ia menaruh keset anyaman bentuk rectangle bermotif anyaman di ruang tamu (dekat pintu masuk) dan ruang kerja,
keset anyaman bentuk
round untuk kamar tidur pribadi dan kamar tidur tamu, serta keset berbulu untuk area dapur. Ia memilih bahan eceng gondok karena memiliki sifat mekanik yang fleksibel, yakni meliputi kelenturan terhadap terhadap tekanan, tarikan, gerser, dan belah. Sifat-sifat tersebut mengilhami sekaligus menyadarkan Yono bahwa hidup adalah sebuah proses yang tiada henti. Di sisi lain
54
eceng gondok sendiri merupakan bagian dari jenis ratan yang memiliki potensi besar bilang dikembangkan menjadi sesuatu yang memiliki fungsi kegunaan. Berikut penuturan Yono dan istrinya:
Model keset masing-masing ruang berbeda, sesuai kami punya pengalaman. Motif anyaman saya pilih karena teksturnya renyah, seperti bantal ini juga (sambil memeluk). Ayaman mengingatkanku pada gedeg dan tembikar di kampung. Keindahan rumah itu berkat tangan terampil ibuku dan tetangga kanan-kiri. Bahan rotan dan eceng saya pilih karena punya sifat lentur.Yang motif lingkaran saya taruh depan kamar biar saya ingat waktu. Keset ini kami pesan di tempat kawan yang hobi membuat kerajinan. Tapi pilihan motif dan tekstur dari kami. Kawan tinggal mengerjakan saja sesuai intruksi kami. Harga pun kita sistem barter (sambil tertawa). 47
Wawancara Mahdi Nurcahyo dengan Yono dan istrinya, 17 Februari 2015, di rumahnya, Godean. 47
55
Gambar 4. (1) keset persegi ditaruh di ruang kerja; (2) keset persegi ada di ruang tamu; (3) keset lingkaran di depan kamar tidur; (4) keset berbulu di ruang makan. Foto: Mahdi Nurcahyo
Dari penuturan Yono jelas peletakan keset bermotif anyaman di ruang tamu dan ruang kerja tidak hadir begitu saja tanpa alasan. Begitu pula dengan hadirnya bantal anyaman di atas kasur pijat. Sebenarnya ada apa dengan rajut
anyaman?
Kemungkinan
kuat
makna
tindakan
menganyam, di benak Yono bukan sekedar hanya membuat produk kerajinan, namun selalu ada pesan „renyah‟yang hendak ia sampaikan. Anyaman seolah memiliki pesan yang
56
disampaikan dalam percakapan, melalui tangan-tangan terampil yang tak berhenti bergerak, dan pikiran selalu dalam
kesadaran.
Ia
teringat
kembali
kehidupan
keluarganya di desa yang begitu terampil „menganyam‟ kebersamaan. Ada dua syarat agar tercipta anyaman, yakni bila tersusun lebih dari satu material yang memiliki kesamaan dan sifatnya yang saling bersinggungan. Sifat material anyaman pun unik bila ditelisik lebih mendalam. Jika material
tidak
bisa
ditekuk,
hanya
lurus,
ia
tidak
menghasilkan apa-apa. Mungkin tampak kuat, namun ia tidak bersama. Dalam bahasa Yono yakni ada kekuatan yang tidak saling menguatkan. Ini sama seperti hubungan persahabatan, anyaman tidak bisa dilakukan dengan satu material
tunggal.
Ia
harus
hidup
bersama-sama.
Persahabatan tidak harus dibangun sejalan, lurus-lurus saja. Melainkan saling menindih (overlapping), mengikat dan saling mengatasi (solution). Semua persahabatan melibatkan emosi. Persentuhan dua manusia bahkan lebih selalu melibatkan gairah sekaligus emosi. Gejolak naik turunnya emosi karena gesekan personal adalah suatu hal yang biasa. Bahkan boleh jadi sangat baik akibatnya. Semua relasi yang terbangun dengan fluktuasi emosional yang terkendalikan
57
selalu menghasilkan keterhubungan yang indah. Semua itu dapat dirasakan saat berada di ruang tamu (publik) dan ruang kerja (semi privat). Keunikan pula tampak pada keset dengan pola anyaman lingkaran yang di tata di depan kamar tidur utama dan kamar tidur tamu. Yono bersama istri menjadikan pola lingkaran pada keset sebagai pengingat waktu. Mengapa bukan jam, alarm, atau tanggalan? Bagi Yono waktu terus bergerak tidak mengenal kata berhenti atau berulang. Ia pun sempat bertanya lirih: Dalam hening banyak hal yang perlu didengar dan dirasakan. Adakah diantara kita yang mampu menahan waktu? adakah di antara manusia yang mampu menghentikan pergerakan waktu barang sedetik saja? Iya memang itulah kekuasaan Tuhan.48 Gumam pengantarnya menciptakan rumusan baru bahwa
„mendengar‟
menemukan
dan
„keheningan‟.
„menyentuh‟
adalah
seni
Keheningan dan kesentuhan
menjadi kunci pintu masuk untuk menyelami di dunia seni. Namun teramat disayangkan kini manusia, bahkan para pelaku seni sendiri melupakan hal itu. Pergerakan waktu kehidupan ditunjukan oleh Yono dengan tarikan jempol kakinya yang mengikuti pola lingkaran pada keset miliknya. Wawancara Mahdi Nurcahyo dengan Yono, 21 Februari 2015, di rumahnya, Godean. 48
58
Pola anyaman terus bergerak menuju ke titik awal. Jika titik awal adalah sebuah kelahiran, maka titik akhir pada tempat yang sama adalah akhir dari kehidupan itu sendiri. Manusia mencoba menjauh dari titik awal namun justru secara tidak sadar manusia tengah mendekati titik akhir kehidupan. Ini semakin membuka pemahaman kita tentang cara menghuni rumah yang authentic, special dan particular. Kini saya berjumpa pada kondisi gelap. Setiap jalinan kebaikan yang diberikan keluarga, membuatku untuk selalu bersyukur dan mengevaluasi diri sebelum tubuhku benar-benar low batt.49
Gambar 5. Gerakan kaki Yono saat menjelaskan pola keset. Foto: Mahdi Nurcahyo
Wawancara Mahdi Nurcahyo dengan Yono, 21 Februari 2015, di rumahnya, Godean. 49
59
Alasan menarik yang patut di pelajari bersama dari celotehan Yono terkait pemilihan keset berbulu, yakni sang buah hatinya yang sering menangis saat di tinggal ibunya memasak. Keset berbulu ia taruh di ruang makan, tidak jauh dari posisi istrinya meracik bumbu masakan. Novia baru bisa berhenti nangis kalau sudah pegang keset kesayangannya. Teksturnya yang lembut dan hangat mirip sifat istri saya, jadi dia suka. Kalau ibunya sedang sibuk masak atau pergi menjemur baju, Novia tetap asyik mainan keset, sampai ibunya kembali. Jadi kan suasana rumah tetap tenang.50 Penuturan
Yono
di
atas
mencoba menggantikan
sentuhan kasih sayang dengan menghadirkan benda yang memiliki kesamaan sifat yang ada dalam diri seorang ibu, yaitu „lembut‟ – yang berarti penuh cinta kasih, „hangat‟ – yang berarti akrab dan bersahabat. Ketika harus ditinggal atau tidak bertemu/ bersama sang ibu, namun hadirnya keset (elemen semi-fix) dalam rumah sebagai media yang membuat si kecil ‘keep in touch’. Ia berharap dengan hadirnya sentuhan kelembutan dalam kehidupan si kecil, dapat membuat si kecil tumbuh menjadi pribadi yang menyenangkan. Dari sini kita tersadarkan bahwa di dalam keseharian begitu sering kita menggunakan metafora yang menggambarkan tekstur kulit atau sensasi yang mucul saat Wawancara Mahdi Nurcahyo dengan Yono, 21 Februari 2015, di rumahnya, Godean. 50
60
menyentuhnya
(lembut,
halus,
hangat).
Seringkali
ini
memperluas metafora sentuhan dari fisik kepada tingkat emosional. Ketika Novia ditanya, „Kesetnya lembut ya, dek?” Ia
menjawabnya
dengan
tengkurap,
memeluk,
dan
meremastekstur keset berbulu. Tafsirannya bisa „sangat hangat‟ secara fisik, atau „menenangkan‟ secara emosional. Sentuhan rasa atau „sensitivitas‟ bisa bersifat fisik dan emosional tergantung media yang digunakan.
Gambar 6. Keset berbulu di area ruang makan. Foto: Mahdi Nurcahyo
Terkait
bagaimana
cara
Yono
menyiasati
sifat
ketergantungan anaknya kepada orangtua dengan bantuan elemen keset yang menjadi „perwakilan‟ sentuhan, membawa kita pada realitas kehidupan sosial dimana stimulasi atas indra yang melibatkan konsep „pengibuan‟, termasuk pula „pengayahan‟, menjadi hal yang esensial bagi perkembangan fisik dan emosional anak. Hal itu dapat diperoleh melalui persepsi murni, fungsi tubuh menerima rangsangan, memori dan imitasi.
61
Di samping itu, fungsi fitur semi-tetap (dalam hal ini keset) terhadap tumbuh kembang anak memberi orientasi sentuhan sebagai „terapi tubuh‟. Menurut McNeely51 bahwa menalar, berbicara, dan berpikir tidak cukup memengaruhi dialog
yang
sempurna
antara
kesadaran
dan
ketidaksadaran. Tubuh, emosi, perasaan dan aktivitas fisik, yang
sering
digerakkan
oleh
terapi
sentuhan
juga
dibutuhkan. Ini yang disebut adanya pergeseran dari jiwa ke tubuh, pemikiran ke perasaan, penglihatan ke sentuhan. Pada informan kedua, Mudji dan istri pun mempunyai cerita menarik bersama benda unik yang tampak di beberapa
sudut
ruangdalam
rumahnya,
yakni
sebuah
anyaman rotan yang dijadikan wadah untuk aneka rempahrempah. Bentuknya memang mirip seperti pincuk, hanya saja
pincuk
ini
bukan
dari
daun
pisang
tetapi
ia
memodifikasi ulang dari anyaman bambu.Mudji membagi pengalamannya: Pincuk itu punya arti bagi saya, mas. Saya suka membantu orangtua menyiapkan pincuk untuk acara selametan desa. Dahulu menggunakan daun pisang yang sangat murah dan mudahdidapat. Begitu pun dengan niat baik kita yang harus dengan murah dan mudah diproduksi dalam hati kita.52
51Deldon
McNeely, Touching: Body Theraphy and Depth Psychology, Toronto: Inner City Books, 1987. 52Wawancara Mahdi Nurcahyo dengan Mudji, 7 Januari 2015, di rumahnya, Gunung Kidul.
62
Gambar 7. Pincuk dan rempah di ruang tamu. Foto: Mahdi Nurcahyo
Bagi masyarakat perkotaan yang hidup di zaman serba instan dan klinis ini, alas makan yang dahulu terbuat dari daun pisang itu mungkin terlihat tidak ada artinya. Namun bagi Mudji sebaliknya, pincuk memiliki arti simbolis yang
begitu
mendalam;
dari
pincuk
tersebut
dibuat,
digunakan, sampai kebermanfaatan setelahnya. Sempat terheran mengapa harus pincuk sebagai elemen estetis interior rumahnya? Jawaban akhirnya didapatnya setelah berbulan-bulan mengadakan obrolan santai dengan Mudji. Berikut penuturan Mudji:
63
Masa sekolah saya habiskan di tanah Pasundan.. jajangkungan, angklung, semuanya bikin kangen. Kemudian saya nyambung hidup nge-lenong di Bekasi. Singkatnya saya merantau ke Jogja, menikah dan menetap di rumah warisan mertua ini (lokasi di Wonosari). Saat renovasihampir selesai perlahan saya merasa dunia redup dan gelap (maksudnya detik-detik mengalami kebutaan). Memang mata saya sudah mulai kabur sedari dulu. Tapi apa boleh buat, saya harus terima itu. Padahal lagi sibuk-sibuknya bikin pincuk buat selametan rumah nanti.53 Rupanya ia mempunyai memori yang kuat; hidup di tanah Pasundan (bermain jajangkungan, angklung, dan semacamnya), hidup bersama teman seperjuangan, sampai momen indah merenovasi rumah yang disertai dengan tragedi memilukan. Ia harus menerima kenyataan hidup (mengalami kebutaan total) di saat proses renovasi rumah berjalan dan kesibukannya menyiapkan puluhan pincuk buat acara selametan esok harinya. Rangkaian pengalaman tersebut
tidak
dapat
dipisahkan
dalam
realitas
kehidupannya sampai hari ini. Pincuk kerap ia hadirkan kembali dalam bentuk yang sama, namun dengan bahan yang berbeda. Ia memodifikasi pincuk berbahan daun pisang menjadi berbahan bambu dengan memesan kepada kawannya yang pandai membuat kerajinan bambu.
Wawancara Mahdi Nurcahyo dengan Mudji, 7 Januari 2015, di rumahnya, Gunung Kidul. 53
64
Lembaran-lembaran baru kehidupan yang biasanya dilambangkan oleh lapisan-lapisan daun pisang diganti dengan rajutan bambu. Mungkin sah-sah saja bila kita terusik mencari tahu mengapa harus menggunakan bahan bambu. Ia memang sempat menyampaikan kerinduannya pada tanah Pasundan. Dari sini berarti ada keterkaitan dirinya dengan rangkaian hidup orang Sunda (yang masih memegang erat tradisi) tidak lepas dari bambu. Ketika prosesi kelahiran di kalangan masyarakat Sunda, ari-ari dipisahkan dari bayi menggunakan sembilu (berbahan bambu). Kemudian bayi disimpan dalam ayakan besar terbuat dari bambu. Ketika bayi lelaki sudah saatnya di sunat pun menggunakan pisau penyunatnya yang juga terbuat dari bambu. Saat tumbuh kembang menjalani masa kanak-kanak,
orangtuanya
membuatkan
jajangkungan 54
dalam rangka melatih keseimbangan, kaki anak naik ke bambu yang tinggi dan berjalan di atasnya sehingga ia bisa menikmati lanskap desa dari atas. Beranjak dewasa mereka mengasah keterampilan dan kekompakan lewat bermain alat musik, seperti suling, calung, dan angklung. Keluarga mereka akrab menggunakan bambu untuk membungkus makanan, seperti wajit dan bacang. Bahkan rebung bambu
54Dikenal
dengan permainan engrang, yang terbuat dari bambu.
65
dijadikan menu favorit makanan di kalangan keluarga Sunda.
Rumah
dan
furnitur
mereka
pun
kerap
menggunakan bahan dasar bambu. Bambu menjadi bahan bangunan yang hingga kini digunakan oleh masyarakat Sunda dalam pembuatan sekat atau bilik rumah yang terdapat di Perkampungan. Ketika usia sudah menua, orang Sunda membuat tongkat dari bambu. Saat meninggal pun demikian, ia ditandu dengan keranda bambu dengan penutup jenazah dari anyaman bambu. Inilah „daur hidup‟ orang Sunda bersama bambu yang menghidupi mereka. Kekuatan tradisi lokal dan komunitas saling „merajut‟ demi perbaikan lingkungan manusia dan alam secara menyeluruh (holistik). Merajut bisa dimaknai sebuah sikap dan tindakan manusia yang tekun belajar pada alam, tidak hanya terpaku dan terpenjara oleh teori dan metodologi. Lantas bagaiamana dengan manusia modern hari ini? Tampaknya „ruang paguyuban‟ semakin punah: masyarakat cenderung egois dan individualis. Siapa yang kuat maka dialah yang mampu bertahan hidup di bumi. Kehidupan budaya (termasuk ranah arsitektur dan desain interior) dilahap habis semata-mata untuk kepentingan The Big Boys (para penguasa hitam yang lalim). Tidak mengherankan bila pembangunan sekarang bukan lagi merujuk pada form
66
follows function tapi lebih mengarah pada form follows finance. Wajah desain perkotaan menjadi cenderung „modis‟ ketimbang „ekologis‟. Dalam pendidikan desain sendiri pun demikian, banyak mahasiswa desain yang lebih menyukai pembelajaran yang instan tanpa rela berpeluh dalam trial and error. Mudji sempat menyindir hal itu: Semoga kesadaran nukang itu bisa merasuki anak desain yang biasanya tak bisa jauh dari mouse dan monitor.55 Rajutan dalam
struktur
hidup
kita
anyaman harus
menunjukkan
bersama-sama
bahwa
berupaya
memperbaiki hidup dengan kemampuan, kesanggupan, dan kesempatan yang masih tersedia. Sisi pincuk yang terbuka melambangkan bahwa kebaikan apa pun dalam hidup harus diterima sebanyak mungkin, sementara sisi pincuk yang tertutup
(seperti
jaring)
melambangkan
bahwa
semua
informasi pengetahuan harus disaring sehingga apa yang didapat dalam hidup benar-benar materi yang berkualitas. Anyaman rotan ini sebagai filter. Kalau saringan masak fungsinya untuk penjernih minyak goreng bekas. Minyak bekas tersebut akan menjadi jernih kembali. Walaupun tetap punya keterbatasan bila minyak telah beraroma homogen.56
Wawancara Mahdi Nurcahyo dengan Mudji, 7 Januari 2015, di rumahnya, Gunung Kidul. 56 Wawancara Mahdi Nurcahyo dengan Mudji, 7 Januari 2015, di rumahnya, Gunung Kidul. 55
67
Gambar 8. Pincuk dan kembang lawang di ruang pijat. Foto: Mahdi Nurcahyo
Keseimbangan dalam memegang pincuk di tangan menunjukkan bahwa kehidupan terkadang tidak seimbang, oleh karena itu harus dijaga keseimbangannya. Bahan anyaman membuat jari-jemari Mudji lebih bisa memegang pincuk secara kuat. Belum lagi ia menambahkan bidang bambu
melingkar
yang
berfungsi
sebagai
tatakan
pincuknya. Ini tentu menunjukkan perberbedaan, bila pincuk berbahan daun pisang tentu akan dibuang karena segala sesuatu di dunia ini pasti akan berakhir, sedangkan pincuk bambu (milik Mudji) tidak demikian. Mudji dengan nada lirih bertutur: Bagiku yang fana itu waktu sedangkan kita abadi.57
Wawancara Mahdi Nurcahyo dengan Mudji, 7 Januari 2015, di rumahnya, Gunung Kidul. 57
68
Kata „kita‟ disini sebenarnya tidak mutlak pada subjek fisik, melainkan bagaimana tubuh dan indra mengalami ruang
yang
dihuninya.
Melalui
pengaktifan
potensi
keduanya, maka secara tidak sadar kita tengah merangkum memori (pengalaman) yang membuat jiwa kita bisa tetap „hidup‟ sampai hari ini. Semua itu menjadi alasan mengapa ia memodifikasi ulang pincuk dengan bahan bambu dan ini sekaligus menawarkan gagasan bagaimana bila hidup itu tanpa sampah. Pincuk itu ya diri kita. Pengalaman kita itu yang abadi. Merangkai ingatan hingga suatu hari kita lupa untuk apa. Buta mata bukan berarti buta pengalaman, kan.. harusnya tidak ada yang dibuang karena semua yang ada di alam bisa jadi berguna. Bila kita mau belajar peka (jari telunjuk mendekat ke hidung).58 Mudji memanfaatkan pincuk rotan untuk wadah aromaterapi.
Ragam
aromaterapi
dari
bahan
rempah
dihadirkan di tiap ruangnya. Lebih spesifik lagi, ia menaruh aromaterapi tersebut di tiga titik ruang; area depan yaitu ruang tunggu dan ruang kerja, area tengah yaitu dan ruang keluarga dan ruang tidur, area belakang yaitu pawon. Ia menjadikan
aromaterapi
sebagai
cara
membangun
„jembatan‟ untuk mengenali ruang demi ruang. Jalinan
Wawancara Mahdi Nurcahyo dengan Mudji, 8 Januari 2015, di rumahnya, Gunung Kidul. 58
69
struktur anyaman pincuk yang mewadahinya bagian dari teknik bagaimana insight59 itu bisa terbangun. Tata letak pincuk pun tidak satu tarikan garis lurus, melainkan zig-zag sehingga setiap aroma yang dihasilkan dari masing-masing tidak langsung bercampur aduk dengan aroma yang lainnya. Ia
sengajamen-setting
zig-zag
untuk
menyeimbangkan
potensi indranya yang masih tersisa.
Gambar 9. Setting Pincuk di rumah Mudji Foto: Mahdi Nurcahyo
Menurut M. Dwi Marianto insight adalah pemahaman yang baru dan esensial. Lihat dalam buku Menempa Quanta, Mengurai Seni, 69. 59
70
Bagi Mudji rempah itu sendiri disarikan dari bahan alam yang diramu sedemikian rupa kemudian dinikmati rasa khasnya untuk asupan energi tubuh manusia. Dalam bahasanya, rempah itu mengandung intisari „remukan sampah‟. Alangkah lebih baiksejatinya manusia bekerja dengan
menghidupkan
kembali
ruang-ruang
sisa,
mengumpulkan kembali materi atau bahan sisa, dan segala sesuatu yang tersedia di alam. Mengubah sampah menjadi sesuatu
yang
bernilai
guna
bagi
kehidupan.
Berikut
penuturan Mudji: Saya tidak bermaksud menyambut tamu dengan aroma sampah. „Remukan sampah‟ yang diolah punya cara penyambutannya sendiri. Aromanya sangat gurih. Rempah juga punya ambang batas penggunaannya. Jika jumlah yang digunakan terlalu banyak, rasa dan aromanya berlebihan tentu tak lagi enak dinikmati.60
Wawancara Mahdi Nurcahyo dengan Mudji, 8 Januari 2015, di rumahnya, Gunung Kidul. 60
71
Pada informan ketiga kali ini, penelusuran kisah membangun rumah keluarga Suwadji tak kalah menarik untuk diperbincangkan dalam konteks bangunan pasca bencana. Gempa bumi pada september 2006 telah meluluh lantahkan Yogyakarta, termasuk lokasi kediaman Suwadji juga tak luput dari goncangan tersebut. Kini Suwadji bersama istri dan anak-anak menghuni di rumah hasil recovery. Ada bagian yang patut dicermati dari rumah yang mereka huni sekarang. Berikut penuturan Suwadji: Rumah kami dulu runtuh berkeping-keping. Dulu kami layakya hidup di penjara sempit. Tapi pasca tragedi gempa memberi kami pencerahan. Saya malah bisa membangun dua rumah. Padahal lahan kami sempit. Dua rumah ini sangat sehat meski rasanya yo pating tlecek.. (ditutup gelak tawa).61 Mendengar penuturan Suwadji dan melihat rumahnya dengan seksama, tampak berbeda dari rumah-rumah yang ada di sekitarnya. Meskipun Suwadji hanya memiliki lahan terbatas,
ia
membagi
rumahnya
menjadi
dua
massa
bangunan.
Rasanya ada kebahagiaan yang tengah ia
usahakan
walaupun
ruang
dan
fisiknya
mencoba
membatasinya. Bangunan pertama difungsikan untuk ruang kekaryaan bagi anak-anaknya yang senang memodifikasi sepeda, kemudian terdapat area pawon dan dua kamar Wawancara Mahdi Nurcahyo dengan Suwadji, 9 Januari 2015, di rumahnya, Prancak Sewon. 61
72
mandi serta sumur tua yang masih dalam satu area basah (wet area) di dalam bangunan pertama. Sedangkan di bangunan kedua tampak satu baris berjejer kamar anakanak. Namun diantara dua massa bangunan terdapat ruang tengah yang cukup lebar dan memanjang, yang memisahkan dua massa bangunan.
Gambar10. Sketsa hasil diskusi bersama informan: Konsep 2 massa bangun rumah Suwadji di Prancak Foto: Mahdi Nurcahyo
Gambar 11. Ruang tengah (open space) di rumah Suwadji Foto: Mahdi Nurcahyo
73
Pada ruang tengah, material lantai menggunakan semen plester. Pembentukan dua massa bangunan dan hadirnya ruang terbuka di dalam rumah ini berperan penting dalam menentukan arah utara-selatan, barat-timur. Terpaan angin yang melewati ruang tengah melalui pintu timur dan barat rumah begitu terasa menyentuh kulit. Angin barat membuatnya bermimpi untuk selalu bisa membuka diri atas tantangan hidup. Keyakinannya akan hal itu diwujudkan lewat pintu di sisi barat rumah yang selalu terbuka
sebagai
akses
bertetangga
(social
relation).
Sedangkan angin timur ia persilahkan masuk melalui celah daun pintu lawas warisan orangtuanya yang masih tersisa. Ia memasangnya di bagian timur rumah, sekalipun kondisi daun pintu tersebutsudah ringkih akibat tertimbun puingpuing gempa. Ia meyakini tentang sesuatu yang genetik, yang secara alamiah akan terwarisi dari generasi ke generasi,
peradaban
demi
peradaban,
hanya
saja
persoalannya manusia sadar ingin merawatnya atau tidak. Dalam gumam Suwadji: Ruang terbuka dan angin semilir jalanku, memudahkan hidupku.62
melonggarkan
Wawancara Mahdi Nurcahyo dengan Suwadji, 24 Januari 2015, di rumahnya, Prancak Sewon. 62
74
Ungkapan itu menyiratkan tentang adanya relasi keterbukaan ruang dengan tubuh lewat bahasa angin atau bahasa kehidupan dan disana terkumpul hak yang terus ia perjuangkan.
Gambar 12. Daun Pintu Sisa Gempa milik Suwadji Foto: Mahdi Nurcahyo
Disisi lain, penciptaan ruang tengah merupakan sebuah sikap Suwadji merespon iklim dimana ia tinggal. Indonesia adalah negara yang berada di wilayah tropis sehingga udara kadangkala terasa lebih hangat bahkan memiliki kecenderungan hawa panas di banding negara lain yang bukan di wilayah beriklim tropis. Suhu udara panas sering membuat orang yang sedang beraktivitas di dalam rumah merasa gerah. Tidak mengherankan bila sebagian besar
penduduk
menggunakan
perkotaan
mesin
di
pendingin
negeri ruang
ini atau
banyak AC
(Air
75
Conditioner). Alih-alih bisa mengantisipasi hawa panas ruangan, namun pemakaiaan AC justru menimbulkan pemborosan
energi
listrik
yang
menyebabkan pemanasan global.
berujung
nantinya
Suwadji menganalisis
masalah itu dengan mengolah site rumahnya, membaginya menjadi dua massa, dan membuat area terbuka di tengah rumahnya. Ruang terbuka ini mampu mengurangi suhu dalam bangunan yang terasa panas menjadi lebih dingin sehingga penggunaan AC tidak dibutuhkan di rumah. Sirkulasi udara menjadi lancar. Plafon rumah pun dibuat dengan meng-ekspos material genteng dari tanah liat dan dengan ketinggian 4 meter sehingga dapat mengalirkan udara panas naik ke area bagian atas plafon rumah yang diserap oleh genteng tanah liat dan membiarkan udara dingin tetap merayap masuk ke bagian dalam rumah.
Gambar 13. Plafon Rumah yang sengaja di ekspos Foto: Mahdi Nurcahyo
76
Apabila menyelami rumah Suwadji memang tidak begitu istimewa, bahkan ia sendiri mengakuinya. Berikut penuturannya: Ingin dilihat dari sisi mana rumahku? Warna-warni tembok sulit diharapkan. Rumah ini terlalu biasa.63 Mungkin benar teramat biasa, tetapi melihat diri Suwadji yang bolak-balik dari kamarnya ke ruang tengah, dan sebaliknya, membuat hati semakin penasaran. Padahal ada tiga kamar di ruang tengah yang bisa dijadikan kamar dirinya bersama istri. Namun justru ia memilih kamar di halaman belakang (area jeda antar tetangga). Berikut penuturan Suwadji: Belum lama, impian saya membangun tempat peristirahatan di belakang dengan bau tanah, dan jemuran basah tertunaikan juga. Rumahku pating tlecek.64 Nampaknya Suwadji seperti membuat jarak dengan rumahnya
sendiri
dengan
menantang
gagasan
yang
mendasar yang menggelisahkan pikiran dan hatinya tentang persoalan huni, meng-huni, dan makna hunian itu sendiri. Rumahnya yang „pating tlecek‟ menggambarkan salah satu bentuk mawas diri terhadap fenomena yang telah manusia Wawancara Mahdi Nurcahyo dengan Suwadji, 29 Januari 2015, di rumahnya, Prancak Sewon. 64 Wawancara Mahdi Nurcahyo dengan Suwadji, 29 Januari 2015, di rumahnya, Prancak Sewon. 63
77
alami dan resapi sampai hari ini. Pembangunan gedung pencakar langit (skycraper) di belahan kota-kota besar di Indonesia
misalnya,
arsitektur
„Erorika‟
yang
menggunakan
(Eropa-Amerika)
sebagai
pendekatan kekuatan
ekspresi desain yang terkesan jumawa. Bahan material yang digunakan dari semenjak zaman Yunani hingga kini yakni bahan-bahan anorganik hasil perekayasaan material. Tentu ini berbeda dengan bangunan lokal-timur yang begitu akrab dengan penggunaan bahan bangunan organik, seperti kayu, bambu, rotan, dan rumbia. Bangunan bukan dikhususkan untuk kenikmatan visual tetapi lebih didorong karena faktor gelagat cuaca dan tanggap akan bencana. Pendekatan desain „Erorika‟ cenderung membuat bangun masif dan „kaku‟, sedangkan desain Nusantara selain memenuhi fungsi praktis juga membuka ruang dialog yang lebih „lentur‟ terhadap alam yang melingkupinya. Manusia
tidak
dipaksa
untuk masuk
ke
dalam
ruangyang melindunginya dari gelagat cuaca (dunia luar), layaknya manusia kapsul yang berdiam diri di tempat penyimpanan yang tertutup rapat. Ada keberlanjutan dari proses „merumah‟ itu sendiri dalam hunian Nusantara, karena yang kita butuhkan bukan isolasi tetapi solusi.
78
Koreksi atas dunia kehidupan kerap di singgung oleh Edmund Husserl dengan sebutan lebenswelt, sebagai entitas total pengalaman subtil dalam hidup. Ia seolah membawa pengetahuan desain arsitektur dan interior bukan sekedar merancang bentuk dan ruang bangunan dengan sejumlah dimensi,
materi
dan
struktur
penopangnya
(beyond
architecture). Namun ia membangun lebih dalam laku kesadaran
manusia
kolektif
atau
individual
yang
tersembunyi (tacit knowledge), semacam tindak meditasi dan kontemplasi. Melalui reka ruang, pengetahuan-pengetahun yang tak sempat terjelaskan mampu terungkapkan lewat bahasa ruang. Arsitektur-interior sebagai medium “terapi” penyembuhan atas trauma psikologis yang akut, misalnya bayang
peristiwa
mengendap
dalam
gempa benak
Yogyakarta sehingga
2006
yang
diperlukan
telah proses
renovasi total ruang huni. Ruang batas antar tetangga yang kini tak berpintu misalnya, dapat mengingatkan kembali tentang kemampuan rumah dalam memberi rasa aman bagi penghuninya dari ketegangan lingkungan sekitar. Konsep
rumah
Suwadji
merupakan
representasi
e(ste)tika atas ketegangan-ketegangan ingatan duka masa lalu. Posisi ruang kamarnya yang berada di halaman belakang menandakan kondisi awal lingkungan rumahnya.
79
Aroma tanah, tanaman, dan jemuran pakaian kerap hadir menjadi pengingat suasana sebelum terjadinya gempa, sedangkan ruang tengah di rumah yang beralaskan semen plester merepresentasikan suasana rapuh pasca gempa. Kamarku itu yang di halaman. Jadi biar pas bolakbalik, suasana luar dan dalam berbeda. Ada suasana asri pra-gempa dan suasana gamang pasca-gempa. Semua aku abadikan disini.65 Kenikmatan rasa „asri‟ dicerap dari komposisi bau tanah,
tanaman,
celetukan
harum
tetangga.
jemuran, Perasaan
gemericik
air
„gamang‟
dan
sendiri
dijewantahkan lewat sentuhan tekstural lantai semen rumah yang mudah retak. Semua itu adalah bentuk dari kesetiaan manusia
terhadap
rumahnya,
ada
ketakutan
dalam
keutuhan disana. Kekuatan memori menjadi gagasan kritis untuk dunia desain interior dan arsitektur yang berpijak dari daya peka manusia
bersama
penciuman,
sistem
pendengaran,
pengindranya
penglihatan)
(sentuhan,
sebagai
subject
matter dalam membangun ruang dan tempat spesifik. Desain bukan bermain bentuk (form) tetapi juga emosi rasa (sense),
sebuah
upaya
menikmati
sudut
lain
desain
arsitektur. Wawancara Mahdi Nurcahyo dengan Suwadji, 29 Januari 2015, di rumahnya, Prancak Sewon. 65
80
Buta membuatku berusaha mengertikan angin, tanah, mengakrabi tekstur, suara kucekan cucian. Semua itu membuat diri saya berpacu dengan lay-out untuk mengkondisikan ruang yang aman dan nyaman.66 Dari permainan olah ruang rumah Suwadji, kita akan menyimak
bagaimana
manusia
lewat
pengalaman
ketubuhannya secara bijak melakukan produksi karya arsitektural dengan mengadaptasi konsep „rumah lokal‟ dengan sistem spasial antar ruang indoor dan outdoor yang seolah mencair, menciptakan ruang guyub dan mereduksi ruang personal. Rasa aman dan nyaman dirasakan bukan lantaran dipasangnya CCTV di dalam rumah, tetapi melalui jalan plural yang terbangun dari kolektivitas antar tetangga. Semua itu bisa diupayakan lewat setting ruang komunal sekalipun
kita
memiliki
keterbatasan
fisik
maupun
pengindra.
Gambar 14. Suasana rumah tetangga Foto: Mahdi Nurcahyo Wawancara Mahdi Nurcahyo dengan Suwadji, 29 Januari 2015, di rumahnya, Prancak Sewon. 66
81
3.2
Bunyi: Energi bagi Tubuh Setiap hari kita hidup dalam tembang musik. Kita berjalan menemukan, sedang atau saling memainkan nada kehidupan. Disini (rumah) nutrisi itu didapat dari burung, angin, dan percakapan orang di sekitar.67 Elemen musik dan arsitektur tidak dapat dipisahkan begitu saja. Keduanya saling berkelindan dalam rangka menciptakan ruang harmoni bagi manusia. Melalui diskusi dengan para tunanetra, rasanya perlu dikaji ulang tentang hakikat
musik
itu
sendiri. Musik
merupakan
bentuk
apresiasi kita atas suara. Segala macam suara, bunyi, bisa saja dianggap musik. Tetapi teramat disayangkan banyak orang membatasi musik itu sendiri. Mereka menganggap musik itu tak lebih dari sekedar konser, rekaman musik, jenis-jenis musik, dan instrumen-instrumen musik. Terlebih bila musik itu sendiri memiliki hubungan yang intim dengan manusia dan ruang kemanusiaan, tentu pemaknaan atas bunyi atau suara akan pula berbeda. Yono misalnya, ia menikmati bunyi musik burung, semilir angin, dan orang-orang yang tengah berbicara di dalam rumahnya. Persoalannya bukan suara yang „bagus‟ atau „buruk‟, tetapi ada persepsi tentang kenikmatan atas
Wawancara Mahdi Nurcahyo dengan Yono, 17 Maret 2015, di rumahnya, Godean. 67
82
aspek-aspek yang lebih dalam dari sekedar bunyi dan suara. Ia
memanfaatkan
bunyi
„alam‟
sebagai
jalan
untuk
memudahkannya bermanuver di dalam maupun di sekitaran rumah tinggalnya. Kemudahan dalam membaca zona ruang ia dapatkan dengan cara menaruh burung puter di sisi utara dan burung perkutut di sisi selatan pada area teras rumah. Menurutnya suara burung puter lebih gemuruh. Kicauannya mirip suara deru motor yang bergerak tetapi jalannya tak semulus
yang
mengingatkannya
diharapkan. pada
suara
Sesekali parau
suara mesin
tersebut di
semua
kendaraan yang ia tumpangi. Lain halnya dengan suara perkutut yang terdengar begitu renyah, dan remah. Ia meyakini pada senandung perkutut memiliki daya magis yang turut membantunya bisa bertahan bersama rumah yang ia huni. Bila perkututnya „manggung‟ di malam hari ia yakin ada dari keluarga atau kolega kami yang akan tertimpa musibah. Ramalan nada
buruk itu berganti
menjadi sesuatu yang baik (penuh berkah dalem) jika perkututnya manggung jelang fajar menyingsing. Di sisi lain, ocehan remah paruh perkutut sanggup memberi relaksasi bagi tubuh, dan otak. Bagi mereka energi gelombang suara yang membentur dinding tekstur dalam skema ruangan
yang
geometris
dapat menjadi media
83
akupresur68 untuk kesehatan tubuh dan otak manusia. Mereka meyakini suara perkutut mendorong tubuh untuk lekas beristirahat. Para pakar hypnosis biasa memanfaatkan fenomena alpha untuk mensugesti pasiennya.69 Ada keterhubungan antara kicauan perkutut dengan gelombang alpha yang dihasilkan pada kondisi peralihan antara sadar dan tidak sadar. Namun ini tentu terkait dengan persepsi subjektif pengguna ruangan karena harus menerima waktu dengung dari akumulasi bunyi di dalam ruang itu sendiri. Bila terlalu lama menerima waktu dengung maka telinga tidak mampu menangkap esensi suara yang liveness tersebut. Menurut dr. Kurnia Rosyida, daya peka atas ruang bisa diuji lewat fisika bunyi dan efeknya mempengaruhi imajinasi seseorang, seperti alih media bunyi terhadap warna atau sebaliknya. Hal itu dapat dikaji
lebih
mendalam
melalui
penyelidikan
sebuah
gelombang (bunyi/warna).70 Dengan demikian, suara juga membutuhkan ruang kontrol untuk nyaman dikonsumsi. Inilah yang pernah disinggung oleh Pressley & Heesacker
Akupresur adalah pemijatan yang dilakukan pada titik tertentu di permukaan tubuh sesuai dengan titik-titik pada akupunktur. Prinsip akupressur sendiri berasal dari pengobatan kedokteran Cina, dimana dikenal adanya aliran energi (Qi). Lihat tulisan Ferry Wong dan Etilia Indraningsih, Smartpunktur, Jakarta: Penebar Plus, 2011, 41. 69 Ferry Wong dan Etilia Indraningsih, 11. 70 Wawancara Mahdi Nurcahyo dengan dr. Kurnia Rosyida, SP, M, di Klinik Mata Sehati Yogyakarta, 3 Oktober 2015. 68
84
(2001) dalam penelitiannya tentang ruang konseling, bahwa perlunya menggugatatas pemahaman desain ruang yang ideal itu bukan sekedar dekorasi estetis, namun klien (pengguna ruang) harus bisa mengalami atmosfer „ruang terapi‟
sehingga
dapat
memacu
emosional,
bahkan
pencapaiannya pada dimensi spiritual.71 Dengan demikian, setiap
komponen
lingkungan
terbangun
berkontribusi
mendorong respon positif diri manusia dalam kehidupannya bermukim di dunia. Kicau perkutut membawaku tertidur pulas di dekat pohon bambu.72
Gambar 15. Struktur gelombang alpha (8-12 hz) Sumber: http://www.simonheather.co.uk
Mengolah kepekaan rasa suara alam dapat pula menjadi modal dalam membangun keseimbangan ritme saat beraktivitas. Yono misalnya, yang mengikuti ketukan suara burung puter untuk membantunya mengatur tekanan disaat memijat. Ketika burung puter mengeluarkan nada “kuu..” maka ia mulai memegang lengan pasiennya, saat terdengar nada “geruuu..” tangan digerakkan dari lipatan lengan ke Pearson and Wilson, Soothing space and healing place: Is there an ideal counselling room design? Psychotherapy in Australia, 2012. 72 Wawancara Mahdi Nurcahyo dengan Yono, 17 Maret 2015, di rumahnya, Godean. 71
85
arah pergelangan tangan seperti memerah susu, dan ketika terselip nada “kuk..” saat itulah ia mempersepsikan sebagai ruang jeda (berhenti sejenak). Di samping itu, Yono merasakan ada getaran eter pada kicauan burung puter miliknya, yaitu pada nada “geruuu..”. Getaran itu yang membuat suara puter terdengar “hidup”. Tetapi hubungan dengan eter apa? Bila kita resapi eter
memiliki
energi
seperti
nadi
yang
menjadi
inti
segalanya. Eter bisa dianggap ruang, dia tempat suara dimana semua nada berasal. Eter berhubungan dengan suara yang dikaitkan dengan tindakan mendengar. Menurut Rendel bahwa pada ranah eter, hanya ada satu indra, sedangkan ranah tanah ada lima indra. Pada ranah eter kita hanya bisa mendengar; udara bisa didengar dan dirasakan; api bisa didengar, dirasakan, dan dilihat; air bisa didengar, dirasa, dilihat, dan dicecap; dan tanah bisa dikenali dengan panca
indra.73
Eter
dapat
dikatakan
sebagai
elemen
tertinggi, seperti saat kita memejamkan mata dan menyimak ada sesuatu dibalik keheningan. Berikut pernyataan Yono: Suara burung puter itu menciptakan ritme: Kuu geruuu... Kuk. Kuu kuu geruuu... Kuk. Coba pas nada “geruuu..” pasti ada getaran eter disana.74 Peter Rendel, Introduction to the Chakras,New York: Samuel Weiser, 1976, 30. 74 Wawancara Mahdi Nurcahyo dengan Yono, 17 Maret 2015, di rumahnya, Godean. 73
86
Diskusi menarik dengan Suwadji yang menceritakan kusen
kesayangannya.
Pada
sisi
barat
batas
antara
rumahnya dengan halaman tetangga terdapat kusen tanpa daun pintu. Namun kini dipasang daun pintu dengan alasan keamana rumah. Kusen kayu itu masih tampak kokoh membingkai lorong perbatasan. Padahal kusen tersebut merupakan sisa reruntuhan gempa Yogyakarta tahun 2006. Ia menggunakannya kembali dengan fungsi yang sama. Genta angin di pasang di atas kusen pintu tersebut. Pada sore hari angin yang masuk lewat pintu bukaan memang cukup kencang, dan mampu menggoyangkan tiap bambu pada genta. Persentuhan antar bambu menghasilkan suara yang bertalu-talu, yang mengingatkannya pada detik-detik terjadinya peristiwa gempa. Bayang-bayang duka nestapa seakan hadir kembali lewat nada-nada gesekan bambu. Ia menamakan kedua elemen (kusen dan genta angin) dengan sebutan
„gerbang
sejarah‟.
Menurutnya
sisi
barat
merupakan pintu gerbang umat manusia untuk selalu mengevaluasi diri sebelum matahari terbenam. Langkah gontainya menuju pintu gerbang, dengan tangan yang terlipat rapi ia bergumam lirih: Hidup dan matiku hanya untuk-Mu.75 Wawancara Mahdi Nurcahyo dengan Suwadji, 19 Maret 2015, di rumahnya, Prancak Sewon. 75
87
Wajahnya tertunduk khusyuk tepat di depan pintu dan tidak seorang pun berani mengganggunya barang sejenak. Pintu perbatasan tersebut benar-benar menjadi ruang kontemplasi. Ada semacam dialog hidup yang ia ciptakan di ruang antara tersebut. Apalah arti rumah karena mereka stagnan. Merancang musik alam akan membuatnya bergerak dan bisa bicara pada kehidupan ini.76 Kita harus membuat telinga bisa melihat dunia yang kita inginkan. Kita tidak bisa kembali ke masa lalu. Tapi kita sedang kembali ke masa depan.77 Sebenarnya mereka bukan mendengar sesuatu yang mulus dan hening melainkan suara yang „hidup‟, yang menggenggam
erat
kenangan-kenangan
dan
hasratnya
untuk terus dapat bertahan hidup. Suara menjadi alat bantu penglihatan untuk menjangkau dunia di sekitarnya. Ini terangkum manis dalam penuturan Yono: Kalau tidak dibantu suara burung, kami tidak tahu kalau terlalu ke utara atau terlalu ke selatan sehingga bisa nabrak sana-sini. Kicau mereka membuat setting yang khusus di dalam rumah. Sinyalnya saling menghubungkan satu sama lain.78 Penghayatan
Yono
dan
Suwadji
turut
memberi
pencerahan bagaimana bunyi atau suara dapat mengubah
Wawancara Mahdi Nurcahyo dengan Yono, 17 Maret 2015, di rumahnya, Godean. 77 Wawancara Mahdi Nurcahyo dengan Suwadji, 19 Maret 2015, di rumahnya, Prancak Sewon. 78 Wawancara Mahdi Nurcahyo dengan Yono, 17 Maret 2015, di rumahnya, Godean. 76
88
hambatan menjadi peluang. Mereka sedang menciptakan struktur
ruang
yang
lentur
bagi
kehidupan
mereka.
Kelenturannya memberi mereka kemungkinan baru untuk mengenal sekaligus memaknai dunia sekelilingnya. Suwadji berbagi pengalaman: Gemuruh senjadari bunyi genta. Suaranya rendah dan dalam tapi lama-kelaman membuat tubuh dan ruangan ini bergetar. Saya kira kiamat segera datang. Tabuh terus terdengar, bersiap-siap untuk mati. Suara itu sayup-sayup hilang, dan suasana hening.79 Manusia mengapresiasi suara melalui musik alam. Ketika suara dan bunyi „terdengar‟, bahkan tidak hanya „didengar‟, diri kita menjadi bagian dari kesatuan utuh dalam musik itu sendiri. Dengan begitu mengapa aktivitas mendengar
menjadi
seni.
Diawali
dengan
mendengar,
namun perlahan menyimak senandungnya lebih dalam.
Gambar 16. (1) Burung Puter milik Yono; (2) Genta Bambu milik Suwadji Foto: Mahdi Nurcahyo Wawancara Mahdi Nurcahyo dengan Suwadji, 19 Maret 2015, di rumahnya, Prancak Sewon. 79
89
3.3
Bau-bauan: Jalan Membaca Ruang Setiap diri selalu menghasilkan dan menerima baubauan,
apakah
mencium
atau
dicium.
Bau-bauan
memainkan peran yang tidak bisa dianggap remeh dalam semua aspek kehidupan. Bau-bauan berperan dalam semua wilayah interaksi sosial: makan dan minum, kesehatan, rumah, terapi, mengurangi stres, dalam agama, industri, transportasi, relasi kelas, serta perawatan tubuh (pribadi). Bau-bauan ada di mana-mana, memiliki fungsi yang sangat beragam.80 Demikian pula yang dialami oleh Mudji, dan Yono yang kerap menyinggung dunia bau-bauan. Kehidupan keseharian mereka tidak dapat pisahkan dengan bebauan. Lantas apa makna bau-bauan tersebut bagi mereka? Tersimpankah
makna
universal
pada
dunia
bebauan?
Bagaimana bebauan dapat memberi „jalan terang‟ pada manusia, dan pada realitas lingkungan di sekitarnya? Melalui
cerita
mereka,
bau-bauan
dapat
memungkinkan untuk didefinisikan dengan term-term indra lainnya,
seperti
„gurih‟
(citarasa
pengecap)
dan
„kuat‟
(citarasa sentuhan). Bila mencermati kasus bau yang
Wawancara Mahdi Nurcahyo dengan Prof.Dwi Marianto, di Studio Kalahan Heri Dono Yogyakarta, November 2014. 80
90
dialami oleh Mudji, mengingatkan kita pada empat bentuk dasar citarasa pengecapan: asam, manis, asin, dan pahit dimana bentuk rasa itu diapresiasi oleh bagian reseptor lidah yang berbeda. Kasus bau yang dialami oleh Yono akan menggugah
citarasa
indra
sentuhan
kita
yang
selalu
dipengaruhi oleh tekanan, temperatur, respon kulit terhadap getaran listrik, dan lainnya. Bila citarasa pengecapan dan sentuhan memiliki sistem klasifikasi ilmiah, bagaimana dengan indra penciuman? Rasanya sukar sekali untuk mendiskusikan bila dalam penciuman tidak ada satu kosakata
yang
independen.
Hal
itu
senada
dengan
pernyataan Smith81 bahwa belum ada konsensus bagi indra penciuman, mengingat para ilmuwan modern pun berbedabeda dalam memprakirakan jenis bebauan. Meskipun demikian, penciuman adalah indra yang kuat memutar memori hidup seseorang. Bagi Mudji, bau rempah itu „gurih‟. Kata gurih mengingatkannya dengan pengalaman sepuluh tahun menimba ilmu tanaman obat dengan gurunya di Kampung. Sedangkan Yono mengaku bau tanah samping rumahnya yang sangat „kuat‟. Ia menghubungkannya pada memori masa kanak-kanak yang
Jillyn Smith, Sense and Sensibilities, New York: John Wiley, 1989, 107. 81
91
begitu indah. Pengamatan itu tampak lewat obrolan bersama mereka: Bau rumah ini gurih. Itu bau rempah yang enak dan menyehatkan. Gak sia-sia sepuluh tahun lalu belajar apotik hidup bareng guru saya. Kami mengenal masing-masing aroma pake hidung dan memori kami. Sambil mencium, sambil mengingat. Mungkin kami pernah hidup bareng aroma cengkeh misalnya.82 Tanah humus samping rumah punya bau yang kuat. Ia membawa ingatan saya kembali ke masa kecil yang saya habiskan bersama teman-teman untuk bermain merpati kolongan. Bau tanah lapang sukses merangkum kenangan yang sempat luput.83 Pengalaman mereka juga telah dialami Hellen Keller: Penciuman adalah penyihir kuat yang dapat membawa kita melintasi ribuan mil dan tahun-tahun yang telah kita lewati. Bau buah-buahan membawaku ke rumahku di selatan, ke masa kanak-kanakku yang menyenangkan di kebun persik. Bau-bauan lain, meski hanya sebentar saja dan melintas dengan cepat, mampu menyebabkan hatiku melebar sebab sukacita atau terikat pada kesedihan yang melintas kembali dalam ingatan.84
Wawancara Mahdi Nurcahyo dengan Mudji dan istrinya, 3Mei 2015, di rumahnya, Gunung Kidul. 83 Wawancara Mahdi Nurcahyo dengan Yono, 20 Juni 2015, di rumahnya, Godean 84 Hellen Keller, The World I Live in, London: Hodder & Stoughton, E.C, 1908, 17. 82
92
Gambar 17. Ibu Mudji sedang mencium bau kayu krangean Foto: Mahdi Nurcahyo
Pengalaman
Mudji,
Yono,
dan
Hellen
Keller
membuktikan bahwa penciuman memiliki peran lebih, ia memperkuat keyakinan dari pada suara dan penglihatan untuk
membuat
getaran
hati
tersingkap.
Tidak
mengherankan bila Hellen Keller menganggap penciuman sebagai „penyihir kuat‟ karena terkait secara khusus dengan memori, dan maknanya berkaitan erat dengan kedalaman rekaman hidup personal manusia. Dalam obrolan Mudji: Kenikmatan makan bukan diukur dari jenis menu di atas meja, tapi kita malah tergugah makan lewat penciuman kita. Bau masakan mengetuk emosi dalam diri kita.85
Wawancara Mahdi Nurcahyo dengan Mudji, 3 Mei 2015, di rumahnya, Gunung Kidul. 85
93
Penciuman menjadi indra yang lebih kaya dan sangat mendasar bagi mereka, mungkin beberapa dari kita pun ada yang
merasakan
demikian.
Banyak
pengalaman
„rasa
meruang‟ yang berasal dari penciuman, seperti ketika kita membaui orang di sekitar kita, membaui sofa, meja dan tumpukan
dokumen
arsip
yang
berserak
di
atasnya,
membaui lingkungan rumah dan sudut-sudut di kampungkota, membaui musim hujan dan musim kemarau. Semua itu mungkin tidak kita sadari dan pahami seutuhnya sehingga menandakan begitu miskinnya diri kita atas kekayaan alam ini. Bebauan juga mampu menyingkap fenomena moral. Ia bisa
dinilai
baik-buruk,
positif-negatif,
dalam
rangka
mengkontruksi moral manusia atas realitas kehidupannya. Hal itu dapat ditemui dalam obrolan dengan Mudji. Tampak sekali bagaimana Mudji berpikir seputar dunia bebauan dengan term-term metaforik. Dalam pernyataan Mudji, “Bau rumah
ini
gurih.
Itu
bau
rempah
yang
enak
dan
menyehatkan”. Maksudnya jika aroma dalam rumah „enak‟ sudah dipastikan „sehat‟ atau punya kesamaan makna, yaitu ia boleh dikonsumsi karena ia baik untuk tubuh. Seringkali kita
pun
mengalami
fenomena
ini,
seperti
saat
kita
merindukan harum bunga yang mengembalikan mood kita
94
menjadi baik, positif, atau bersemangat. Namun terkadang kita menghindari polusi udara, bau limbah pabrik atau gundukan sampah karena tercium „tidak enak‟ dan bisa berbahaya bila di hirup. Bau-bauan menunjukkan realitas baik atau buruk, apakah sesuatu itu dapat dikonsumsi atau dieleminasi, mungkin hingga pada tingkatan lebih lanjut dapat kita percayai atau tidak. Kita dapat menggambarkan ruang dengan dunia bebauan lewat cara bertempat tinggal. Kisah Yono saat reresik rumah misalnya, ia menghubungkan kegiatan reresik dengan kedatangan makhluk yang nir tendensius, makhluk surgawi. Beraninya tidur sebelum rumah bersih apa tidak malu sama yang bertamu di sepertiga malam nanti.86 Ada keterkaitan
rangkaian proses
reresik hingga
aroma yang dihasilkan dengan makhluk bernama „malaikat‟ sebagai tamu yang datang di sepertiga malam. Kita bisa mengilustrasikan rumah yang disenangi, berbau „malaikat‟ atau paling tidak ada sesuatu yang baik, bersih, suci untuk rumahnya. Kesan yang „memuakkan‟, bau yang „jijik‟ dari limbah, bau „masam‟ akibat dinding berjamur, semua frasa ini saling mendukung satu sama lain. Persepsi negatif dari Wawancara Mahdi Nurcahyo dengan Yono, 4 Januari 2015, di rumahnya, Godean. 86
95
penglihatan, penciuman, pendengaran merupakan bagian dari hal yang buruk dan negatif. Semua saling berkelindan. Aroma yang ditimbulkan dari sensasi kegiatan fisik menjadi evaluasi simbolik. Lebih jauh dari itu, pengalaman Mudji
dan
Yono
dalam
membaui
lingkungan
mampu
menggambarkan sesuatu yang tercium „enak‟ atau „tidak enak‟ mengubah persepsi kita terhadap kualitas pola hidup penghuni rumah yang baik atau yang buruk. Argumentasi ini bisa dianggap tidak akurat, namun tetap saja dunia bebauan menjadi elemen mendasar mengenai presentasi simbolik diri atas ruang. Rumah tidak hanya harus dibersihkan, tetapi juga harus
„tercium‟
bersih.
Yono
mewujudkannya
dengan
melanggengkan ritual reresik sebelum beranjak menuju pembaringan. Rumah diharapkan tidak hanya menjadi bersih, melainkan citra penghuninya juga „tercium‟ bersih. Namun terkadang ini bisa relatif, seperti komplek pekuburan yang sering dibersihkan oleh petugas pertamanan dan pemakaman
agar
nampak
„indah‟,
anehnya
sebagian
masyarakat masih menganggap area tersebut sebagai tempat „bangkai‟. Padahal tidak bisa dipungkiri bersama bahwa tempat peristirahatan terakhir makhluk ciptaan Tuhan yaitu
96
di surga yang tercium harum seperti surga dan neraka yang tercium busuk seperti neraka. Fenomena bebauan dapat berperan untuk memberi pemahaman tentang sesuatu (benda/tempat) yang baik dan yang
buruk,
penilaian
atas
sebuah keberhasilan
dan
kegagalan. Mencium bau-bauan bisa dikatakan sebuah proses
pencarian
bersama,
bukan
hanya
sebatas
pengalawan kimiawi, yang dapat mengubah mood dan perilaku seseorang, melainkan menjadi fenomena simbolik dan moral di dalam lebenswelt87.
87St.Sunardi
menjelaskan bahwa apapun bentuk karya seni dan desain yang sifatnya dialektis selalu memiliki sumbangsih di dalam dunia kehidupan keseharian (Lebenswelt). Catatan perkuliahan Filsafat Seni, di PSPSR UGM, 11 Maret 2014).
97
3.4
Ketidaknyamanan bagi Tunanetra Harusnya sih sesuatu yang melemahkan tubuh kami.88
indah
itu
tidak
Hal yang mendasar sering dijumpai dalam kehidupan menghuni oleh para tunanetra, yakni mereka mengeluh bila benda (seperti keset, pincuk, suara burung dan penanda lain) berpindah dari tempat semula. Kemungkinan tertukar atau bergeser sudah pasti terjadi dan pernah mereka alami. Alhasil, mereka mengalami kesulitan untuk menemukan sesuatu yang ingin mereka capai. Yono mengingatkan: Boleh masuk kamar, tapi inget ra oleh nggeser keset yang bulat, apalagi tertukar.89 Menyelami hari-hari bersama mereka, tampaknya benar bahwa benda-benda tersebut sudah dianggap familiar oleh mereka, bahkan telah menjadi bagian dari pengalaman hidup yang tidak bisa tergantikan posisinya. Tidak sekedar penanda layaknya sign system yang menempel di sudut ruang, tetapi lebih jauh dari pada itu. Namun bagaimana dengan kasus Yono, yakni suara burung puter dan perkutut miliknya yang tidak sepanjang hari berkicau. Awalnya ia mengakui bahwa dirinya sempat kebingungan ketika suara Wawancara Mahdi Nurcahyo dengan Mudji, 3 Mei 2015, di rumahnya, Gunung Kidul. 89 Wawancara Mahdi Nurcahyo dengan Yono, 21 Februari 2015, di rumahnya, Godean. 88
98
burung miliknya hilang dari indra pendengarannya. Tetapi ia beradaptasi dengan mencoba membuat jalan alternatif kedua agar tetap mudah bermanuver di dalam rumah, yakni dengan menghafal letak posisi dan bentuk keset yang ia taruh di tiap area ruang. Dengan cara tersebut ia sekaligus menghapal pembagian urutan zona ruang di dalam rumah sehingga mapping ruang benar-benar melekat di benaknya. Keduanya bersifat melengkapi (komplementer); Suara kicau burung
memberi
informasi
tentang arah
mata
angin,
sedangkan kehadiran keset sebagai penanda identitas (zona) ruang sekaligus memperkuat persepsi tunanetra tentang layoutdan site specific hunian miliknya.Dalam bahasa Yono, manusia bisa mengejar sesuatu tapi tidak tahu harus ke arah mana.Kita bisa mengatakan, melalui pelbagai metode alternatif
yang
kemungkinan
bersifat
baru
untuk
intuitif
memberi
menemukan
peluang
intensionalitas
(keterarahan) dalam proses menghuni. Begitu pula dengan diperlukannya satu „fokus‟ suara, maksudnya apabila di dalam ruang terdapat banyak sumber suara justru membuat tunanetra kebingungan menentukan orientasi ketika mereka berada di dalam ruang. Melalui „fokus‟ membuat tunanetra lebih peka terhadap rangsangan (suara, bau, sentuhan) di sekelilingnya sehingga segala
99
gerak hidupnya menjadi terarah.90 Ini menjadi pengingat sepanjang masa bagi para mahasiswa dan praktisi desain bahwa setiap karya perancangan arsitektur-interior selalu diperlukan fokus dalam berbagai jarak pandang, dengar, sentuh dan skala, sehingga setiap konstelasinya (wadag dan isi)
dapat
tersambung
secara
utuh.
Bukankah
fitrah
manusia selalu ingin mencari fokus, termasuk fokus visual dan non-visual. Selain persoalan familiaritas benda, mereka sering mengeluhkan terkait penataan furnitur. Besarnya furnitur yang tidak diikuti dengan skala ruang yang ideal serta jarak aman peletakan furnitur yang terabaikan bisa menghambat gerak mobilitas mereka. Tak mengherankan bila diri mereka sering
berbenturan
fisik
dengan
benda-benda
di
sekelilingnya. Benda yang kebesaran, ketajaman, bikin tubuh kita jadi sakit karena sering kebentur mereka. Laju lintasan kita pun terganggu. Kita jadi kesempitan dan tidak leluasa bergerak.91 Benda aneh di sekitar sering ngagetin, gak tepat guna mas.. Mbok diletakan pada tempatnya semula! Jadi kita bisa nyaman berlalu lalang.92
Wawancara Mahdi Nurcahyo dengan dr. Kurnia Rosyida, SP, M, di Klinik Mata Sehati Yogyakarta, 3 Oktober 2015. 91 Wawancara Mahdi Nurcahyo dengan Yono, 21 Februari 2015, di rumahnya, Godean. 92 Wawancara Mahdi Nurcahyo dengan Mudji, 28 Februari 2015, di rumahnya, Gunung Kidul. 90
100
Antara fungsi ruang, letak perabot satu dengan yang lain sebisa mungkin saling terhubung berdekatan dan runtut. Ada sistem yang mengatur agar kita tidak kesulitan saat beraktivitas.93 Rupanya
para
tunanetra
memerlukan
penataan
perabotyang tidak sembarang, diperlukan kepekaan detail (posisi letak dan jarak) sehingga setting antar ruang dan komponen furnitur memiliki alur kerja (work flow) yang jelas agar mereka dapat beraktivitas secara efisien dan tidak merasa kebingungan. Sebaliknya bila komponen rumah tangga (misalnya alat masak: panci, dandang, wajan dan lainnya) diletakkan jauh dari gas stoves dan ember cucian justru akan membuat mereka kerepotan. Area meracik dan memotong bahan masakan juga harus berdekatan dengan gas stoves. Luasan meja kerja memasaknya sendiri dipilih yang tidak terlalu memanjang, cukup dua kali ukuran gas stoves. Dengan kata lain, semakin pendek rentang alurnya, semakin efisien gerak penggunanya.
Wawancara Mahdi Nurcahyo dengan Yono, 21 Februari 2015, di rumahnya, Godean. 93
101
Gambar 18. Yono saat menjelaskan jarak antar alat masak Foto: Mahdi Nurcahyo
Persoalan
tingkat
familiaritas,
penataan
ruang
danperabot kerap menjadi masalah dalam hal menghuni bagi tunanetra. Ketiganya memiliki pengaruh yang signifikan pada tingkat kenyamanan manusia sebagai pengguna ruang. Apabila masing-masing variabel tersebut tidak dijadikan bahan pertimbangan didalam proses „membangun‟ maka akan terjadi kekacauan (disorder) yang dapat mengganggu persepsi keruangan penghuni atas ruang yang dihuninya. Dari sini semakin meneguhkan bahwa arsitektur dan desain interior memiliki kontribusi yang vital di dalam penciptaan order. Keteraturan adalah implementasi dari order itu sendiri.
Melalui
penciptaan
order,
manusia
yang
mengalami
ruang
masing-masing dapat
diri
merasakan
pengalaman ruang yang berbeda. Hal ini tentu dapat
102
menyebabkan pemaknaan yang berbeda pula terhadap suatu keteraturan ruang. Masih terkait dengan order dalam rumah. Yono sempat bertutur: “...ada sistem yang mengatur agar kita tidak kesulitan saat beraktivitas”. Dari sini tampaknya rumah sebagai
sistem
pengaturan
(system
of
setting)yang
menciptakan keteraturan. Dengan kata lain, terciptanya keteraturan disebabkan oleh pembentukan order. Di samping itu, term-term yang menarik disampaikan oleh Yono, seperti benda yang „kebesaran‟ atau „ketajaman‟ merupakan
bagian
dari
presentasi
(tampilan)
fisik,
sedangkan celotehan Mudji yang menginginkan segala sesuatu diletakan pada tempatnya (sesuai kegunaannya). Ditambah lagi pendapat Yono yang menyarankan
agar
fungsi ruang, letak perabot satu dengan yang lain saling terhubung demi kemudahan dalam beraktivitas. Hal ini memperkuat betapa pentingnya order di dalam desain, karena pembentukan order maka dapat terwujudnya desain yang paripurna. Keteraturan yang diciptakan lewat order berhubungan erat dengan objek dan fungsinya. Dengan begitu penciptaan keteraturan bertujuan untuk pencapaian nilai estetika visual/ non-visual melalui pengaturan objek, dan keteraturan sebagai pemenuhan nilai guna melalui
103
pengaturan fungsi. Kedua cara tersebut bisa diterapkan secara bersamaan pada suatu waktu dan tempat untuk mendapatkan setting yang otentik. Untuk bisa benahi suasana dari yang ruwet kemudian jadi teratur butuh orientasi dan identifikasi. Biar terarah, sesuai karakter asli tempatnya.94 Ketika manusia memutuskan untuk tinggal, maka ia tentu menghuni sekaligus berhadapan dengan „karakter‟ ruang atau lingkungan tertentu. Ungkapan rasionalitas dari pengalaman
diri
tunanetra
tentang
„orientasi‟
dan
„identifikasi‟ merupakan sebuah modal eksistensial. Setiap diri harus senantiasa mengorientasikan dirinya, yakni harus mengetahui di mana ia berada. Itu pun belum cukup, ia harus mengidentifikasi kembali dirinya bersama lingkungan spesifik yang melingkupinya. Dengan demikian ber-ada dalam dunia yang „dialami bersama‟ akan menghantarkan kita pada tingkat sensibilitas bahwa „rasa merumah‟ itu bagian dari pembentukan order untuk pencapaian estetika visual/ non-visual.
Wawancara Mahdi Nurcahyo dengan Mudji, 28 Februari 2015, di rumahnya, Gunung Kidul. 94