1
PRESENTASI REALITAS DALAM KARYA SENI RUPA MURNI Oleh: Mujiyono *
Abstrak Menghadirkan atau mempresentasikan realitas dalam karya seni rupa sangat kompleks karena bisa didekati secara objektif dan subjektif. Realitas sendiri hakikatnya juga memiliki ragam yang tidak terbatas. Secara historis, seniman dalam menuangkan realitas sebagai sumber inspirasi ke dalam karyanya mengalami tahapan yakni: mimesis, representasi, dan simulasi. Ketiga mode presentasi realitas tersebut merupakan kelanjutan atau juga perlawanan dari mode sebelumnya. Mimesis menghadirkan realitas tanpa distorsi untuk menghadirkan realitas yang diacunya, representasi menghadirkan realitas dengan distorsi untuk mengacu pada realitas yang lain, simulasi menghadirkan realitas untuk menghasilkan realitas yang dihasilkannya itu sendiri. Kata kunci: realitas, mimesis, representasi, dan simulasi
Pendahuluan
Realitas secara umum adalah sesuatu yang telah menjadi kenyataan atau lingkungan di luar manusia pencipta. Realitas dapat berupa budaya, sosial, politik, agama, alam, dan teknologi. Realitas merupakan sumber inspirasi para seniman. Tugas seniman adalah mengolah berbagai realitas tersebut agar menjadi lebih bermakna. Persoalan menghadirkan realitas dalam seni sifatnya sangat kompleks karena cakupan realitas yang luas dan bervariasi. Realitas juga dapat didekati secara subjektif dan objektif. Persoalannya subjektif karena realitas bisa diamati berdasarkan sudut pandang pengamat, yakni melalui perspektif-perspektif filosofis, dan ideologis. Persoalan objektif lebih menitikberatkan realitas pada amatan secara apa adanya tanpa adanya kehadiran diri
*
Penulis adalah seorang dosen Seni Rupa Universitas Negeri Semarang, sekarang menyelesaikan Program Pasca Sarjana di ISI Yogyakarta.
2
pengamat. Presentasi realitas dan seniman merupakan hal yang penting dalam karya seni karena keduanya merupakan satu kesatuan dan saling berkaitan. Kehadiran karya seni sebetulnya mewakili realitas yang diacunya berdasarkan kodekode dan konvensi yang disadari atau bahkan tidak disadari oleh seniman. Presentasi sangat ditentukan oleh teknik-teknik, alat-alat, bahan-bahan, dan tujuan-tujuan intrinsik pada bentuk itu sendiri. Dalam bentuknya presentasi ini juga sangat dimainkan oleh interdisiplineritas dan perkawinan silang dalam produksi citra kultural untuk penyebarluasan ideologi-ideologi (Cavallaro 2001:75). Pilihan
mode presentasi juga sifatnya sangat relasional di antara
berbagai faktor. Hal ini dapat dicontohkan pada karya seni lukis sosialis kelompok LEKRA pada zaman pra-G30S di Indonesia yang lebih bersifat mendukung ideologi Partai Komunis Indonesia dalam rangka propaganda. Sementara contoh yang ditentukan alat adalah penggunaan alat kamera dan komputer yang super canggih akan dapat membentuk presentasi realitas yang sebelumnya tidak mungkin. Secara historis, tampaknya pencipta dalam mempresentasikan realitas seni yang telah dimulai zaman lalu sampai sekarang bentuknya bervariasi. Persoalan presentasi realitas ini dapat diwujudkan dalam berbagai macam bentuk karya seni, misalnya seni rupa, seni musik, seni drama, seni tari, atau seni teater. Dari luasnya berbagai variasi karya seni tersebut maka tulisan ini lebih mengkhususkan presentasi realitas pada karya seni rupa murni. Seni rupa murni adalah seni yang lahir karena dorongan estetik, yaitu keinginan akan pengkomunikasian atau pengekspresian hal-hal yang indah yang dirasakan atau dialami seseorang tanpa adanya maksud-maksud lain di luarnya. Kemunculan karya seni jenis ini yang utama untuk dinikmati segi keindahannya dan bukan fungsi praktis dalam kehidupan sehari-hari. Sebagian besar perupa mempresentasikan realitas di sekitarnya sebagai bagian dari ekspresi individu kehidupannya. Mereka mengeksplorasi realitas dengan caranya sendiri, khususnya dalam style atau gaya. Basuki Abdullah melukis pemandangan alam yang indahindah, Joko Pekik lebih cenderung menyukai melukiskan realitas sosial, sedangkan Affandi lebih banyak mempersoalkan masalah kemanusiaan dalam setiap karyanya. Dalam hal ini, bentuk hasil dari cara mempresentasikan realitas lebih tergantung pada kepribadian seniman.
3
Presentasi bisa juga didekati sebagai teks atau sebuah sistem tanda, jika dikaji dari produknya. Bagaimana teks-teks realitas tersebut disusun, adalah sama pentingnya dengan teks menandakan apa (Cavallaro 2001:75). Hal ini berarti kita membicarakan hasil presentasi realitas secara semiotik. Dalam perkembangan seni rupa kontemporer akhir-akhir ini, seniman justru menjungkirbalikan realitas menjadi karya yang kadang-kadang terasa aneh. Bahkan sulit dicerna untuk dihubungkan dengan realitas yang diacunya. Lahirnya beragam karya seni tersebut juga sejalan dengan konsep kebudayaan itu sendiri. Seni sebagai bagian kebudayaan bisa berbentuk konsep (conseptual art), aksi eksekusi dari konsep tersebut (happening art), dan hasil dari proses tersebut (the art) (Soedarso 2006:78). Atas dasar tersebut maka beberapa perupa dapat mengaktualisasikan realitas dengan cara-cara tersebut di atas. Dengan beragamnya pendekatan yang dapat dipilih untuk menghadirkan realitas dalam karya seni rupa, maka persoalan yang menarik tidak mungkin apabila diulas semuanya. Atas dasar itulah maka tulisan artikel ini tidak akan mencoba untuk mengklasifikasikan atau mendeskripsikan wujud atau hasil dan bukan juga proses fisikal dalam menghadirkan realitas meskipun paparan tersebut tetaplah penting dalam rangka mendukung tema utama dalam pembahasan ini. Akan tetapi, paparan utama yang diusung dalam artikel ini adalah mendeskripsikan model paradigma berpikir seniman yang hidup dalam konteks historis dan kultural dalam mempresentasikan realitas ke dalam karya seni rupa murni. Melalui ulasan tersebut, pembaca diharap mendapat pemahaman yang lebih komprehensif mengenai paradigma dan cara kerja seniman dalam mempresentasikan realitas pada karyanya. Begitu juga pengkaji seni diharapkan memiliki wawasan cukup untuk memahami bentuk hasil karya seni rupa murni era sekarang ini yang sangat variatif.
Presentasi dan Realitas Presentasi realitas merupakan salah satu aspek mendasar dalam seni rupa murni, karena realitas yang diolah seniman merupakan subject matter dalam setiap karyanya. Presentasi realitas mengacu pada pengertian bagaimana cara realitas itu disajikan atau
4
dihadirkan untuk dinikmati penikmatnya. Presentasi realitas ini juga didorong oleh keinginan untuk menghasilkan karya yang selaras antara wujud atau rupa (appearrance) dengan bobot atau isi (content, substance). Wujud terdiri dari bentuk (form) dan susunan atau struktur. Bobot atau isi adalah suasana, gagasan, atau pesan yang ingin disampaikan (Djelantik 1999:15). Dalam hal tujuan presentasi realitas ini, seniman berusaha untuk mewujudkan karya seni rupa yang sifatnya orisinal. Presentasi realitas dalam karya seni merupakan usaha yang lebih menekankan pada kreativitas dan bukan produktivitas. Jika produktivitas berusaha menghasilkan sesuatu dengan cara meniru yang sudah ada, maka kreativitas lebih kepada pembaharuan-pembaharuan dari sesuatu yang telah ada itu. Di sinilah letak perbedaan antara seni dengan bahasa dan ilmu pengetahuan dalam melihat realitas. Jika bahasa dan ilmu pengetahuan adalah penyingkatan realitas yang berujung pada simplifikasi dengan bersandar pada abstraksi, dalam menghadirkan realitas seni sebenarnya berusaha melakukan intensifikasi dan pendalaman dari sebuah realitas yang bersandar pada konkretisasi secara tiada henti (Cassier 1987:217). Dalam upaya memperoleh karya yang kreatif maka cara menampilkan realitas dalam karya seni terdapat tiga aspek yang sangat berperan terhadap hasil wujudnya, yakni: (1) bakat (talent), 2 keterampilan (skill), dan (3) sarana atau media. Bakat adalah potensi kemampuan khas yang dimiliki oleh seseorang, yang biasanya didapatkan dari keturunan. Keterampilan adalah kemahiran yang bergantung pada cara melatih dan ketekunan seorang seniman untuk melatih diri. Sarana atau media menyangkut material atau bahan dan peralatan secara intrinsik yang akan digunakan dalam mencipta. Cat dari bahan tertentu kadangkala cocok untuk menghadirkan lukisan dengan gaya tertentu. Begitu pula alat yang baik biasanya turut menentukan keberhasilan sebuah karya (Djelantik 2006:63-66). Chernyshevsky (205:136) menyatakan bahwa realitas tidak hanya mencakup alam yang tidak bernyawa, melainkan juga kehidupan manusia, tidak hanya masa kini, melainkan juga masa lalu dan masa depan, sejauh ia menyatakan dirinya dalam perbuatan-perbuatan. Sejalan dengan konsep Chernyshevsky, Karl Raimund Popper (dalam Surajiyo 2005:74-75) mengklasifikasikan realitas mencakupi tiga bagian yakni: (1) dunia atau kenyataan fisik alam, (2) kenyataan psikis dalam diri manusia yang sifatnya ada di dalam pikiran otak manusia -
5
pikiran ini dilahirkan dari realitas - dan (3) realitas yang merupakan hasil olah pikir atau sintesis antara realitas fisik alam dengan realitas yang ada dalam diri manusia. Dengan demikian, pada era sekarang tampaknya konsep realitas juga mengalami pergeseran yang cukup jauh. Realitas tidak hanya sesuatu berupa kenyataan alam fisik di dunia luar diri manusia melainkan sesuatu kenyataan psikis dalam diri manusia yang sifatnya ada di dalam pikiran otak manusia. Hal ini merupakan sebuah titik pijakan bagi karya ekspresif, karena ia memproduksi realitas dalam diri manusia yang berupa aspek emosi, sikap hidup batiniah, afeksi-afeksi, dan emosi-emosi (Cassier 1987: 214). Objek-objek realitas jika dipandang mempunyai dua citra, yakni citra aktual dan citra mental. Kedua citra objek tersebut dibentuk oleh individu-individu dengan tanggapan yang berbeda. Citra mental bisa dipandang dalam berbagai cara seperti misalnya abstraksiabstraksi intelektual, cita-cita atau fantasi-fantasi dalam diri pengamat. Akibatnya realitas pada dasarnya mempunyai sifat tidak meyakinkan, ambigu, dan berjarak (Cavallaro 2001:72-73). Hal inilah yang selalu dijadikan pijakan dalam karya-karya representasi secara simbolik. Sementara citra aktual lebih banyak diolah oleh seniman yang lebih memandang realitas sebagai data objektif. Mereka lebih mempersoalkan teknik penyajian daripada mengolah muatan isi simboliknya dari sebuah realitas, sehingga dikenal lukisan bercorak realistik dan naturalistik. Sekali lagi hal yang perlu ditekankan di sini adalah persoalan subjektif dan objektif sifatnya sangat relatif. Bentuk simbolik, baik subjektif atau pun objektif dalam penyajiannya tetap kadangkala bercampur, meskipun dengan proporsi yang berbeda, sedangkan relativitas tersebut juga ditentukan oleh periode waktu yang berbeda. Faktor subjektivitas inilah yang memutarbalikkan wajah-wajah realitas. Untuk mencapai puncak keindahan, kebutuhan untuk menyimpang dari realitas sama pentingnya dengan kebutuhan untuk mereproduksi realitas. Di sinilah peran teori seni untuk mengukur atau menentukan proporsi yang tepat bagi penyimpangan itu (Cassier 1987:211). Hal ini disebabkan sebuah realitas sebelum dipresentasikan bukan dilihat secara inderawi akan tetapi dilihat secara persepsi estetis sehingga akan selalu terbuka peluang bentuk yang tidak terbatas.
6
Dalam kaitan ini premis Chernyshevsky cukup memberikan landasan teoretik yang kuat dengan menyatakan bahwa dalam menciptakan seni manusia pada dasarnya berusaha menjelaskan kehidupan atau realitas dengan menyatakan penilaian-penilaian atas gejalagejala yang ada dalam realitas tersebut dengan tetap dalam koridor keindahan (Chernyshevsky 2005:7). Secara historis, dengan berkembangnya pemahaman atas hasil penilaian seniman terhadap realitas lewat seni seperti tersebut di atas akan dihasilkan konsep keindahan dalam teori seni yang terus berubah. Setelah realitas diolah dalam bentuk baru dalam karya seni dan memberikan bentuk yang menarik dan dianggap baik oleh masyarakat, maka teori seni sebelumnya bisa dianggap meluntur jika sudah tidak mampu lagi menampung dalam sistem teoretiknya. Hal ini juga dipacu adanya pendapat Morris Weitz (dalam Djelantik 1999:131) yang menyatakan konsep terbuka tentang kesenian, meskipun kadang banyak kritikus yang berusaha menggunakan kriteria minimum untuk menyebut seni. Pada akhirnya, persoalan seni menurut Morris Weitz diserahkan kepada masyarakat atau perkembangan realitas itu sendiri. Dalam
perkembangan
historis,
secara
garis
besar
paradigma
mengenai
cara
mempresentasikan realitas dalam karya seni dapat dibagi menjadi tiga tahapan yakni: mimesis, representasi, dan simulasi. Mimesis Paradigma mimesis dimulai sejak zaman klasik sampai neoklasik. Doktrin presentasi secara imitasi ini sejak awal munculnya diawali oleh Plato dan Aristoteles. Konsepnya, bentuk sebuah karya seni dapat berbentuk representatif dan nonrepresentatif terhadap realitas. Dianggap seni jika suatu karya tersebut bersifat representatif, sedangkan yang tidak representatif adalah bukan seni. Mimesis menekankan bahwa karya seni yang diciptakan merupakan tiruan dari realitas. Ini merupakan bentuk representatif secara visual dalam hubungannya dengan sesuatu yang ada di realitas secara objektif dan Gambar 1. Patung yang lebih menekankan mimesis
7
harus ada ketetepatan dengan realitas aslinya. Pada zaman ini, seorang pelukis atau pematung yang melukis sebenarnya meniru sebuah realitas yang telah ada sebelumnya. Citra yang hadir dalam karya seni hanya mengacu pada bentuk luar belaka (external object). Oleh karena itu, pada umumnya mimesis juga dianggap sebagai sebuah kerajinan karena pekerjaan ini dilakukan secara imitatif. Dalam pemikiran selanjutnya, citra atau bentuk wujud karya seni tidak seharusnya ditolak sebagai karya seni yang dangkal karena sebenarnya citra yang dihadirkan benar-benar mengandung relasi-relasi antara pencipta dengan alam. Pada saat yang sama citra juga mengajak kita untuk bercermin pada hubungan antara apa yang kita rasakan dalam karya seni rupa dengan apa yang kita ketahui terhadap realitas. Hal yang patut disimpulkan bahwa doktrin ini masih menganut konsep ketepatan citra yang digambarkan dengan sesuatu di luar dirinya sebagai tolok ukur dalam menilai sebuah karya seni. Meskipun, selanjutnya dalam ketepatan atribut realitas harus ditemukan unsur emosi karakteristik dari sebuah benda realitas yang diacunya karena kenyataan yang dimunculkan oleh karya seni sebenarnya telah melewati proses persepsi dalam diri seseorang. Sebagai contoh karya seni potret apabila mengejar kesesuaian yang detail dan sama dengan aslinya maka itu bukan karya seni. Apabila kesamaan dijadikan subordinat untuk mengejar artistik lewat pengalaman empirisnya maka itu tergolong karya seni sehingga kehadirannya akan menjadi selalu berbeda dengan lainnya. Bila mengejar kesamaan maka bentuk yang dihasilkan bersifat generalisasi. Jadi yang dicipta harus bersifat individual. Atas dasar ini kolektor membeli bukan bentuknya tetapi adalah karakternya yang berbeda dengan yang lainnya.
Representasi Representasi adalah tindakan menghadirkan sesuatu citra atau simbol untuk mewakili sesuatu yang ada dalam realitas. Tidak ada representasi yang terhubung segera dan pasti dengan realitas yang mendasarinya. Seniman dalam menciptakan representasi hanya bersifat mewakili sesuatu lantaran akan ditafsirkan oleh pengamat. Pengamat akan menafsirkan
8
dengan cara berasosiatif untuk menghubungkan dengan realitas. Kemudian akhirnya representasi dapat mewakili apa pun bagi pengamat yang sanggup memberi kesan. Artinya, representasi mempunyai muatan representasional yang tidak terbatas. Penyebabnya adalah dunia tidak dapat direpresentasikan secara akurat atau objektif dan dunia bukanlah sesuatu yang apa adanya (given) melainkan efek dari bagaimana ia dipahami dari sudut pandang tertentu (Cavallaro 2001:53). Tindakan menghadirkan sesuatu lewat yang lain di luar dirinya, biasanya berupa tanda atau simbol. Apa yang disoroti dalam studi representasi realitas ini adalah karakter relasi antara citra karya seni dengan eksistensi kultural dan alam atau realitas. Apa yang mungkin pernah dianggap sebagai pengalaman hidup seniman dalam berhadapan dengan realitas secara terus-menerus dipindahkan pada alam citra atau karya seni. Penggunaan simbol ini mempunyai sifat kesepakatan berdasarkan konvensi. Simbol adalah penggunaan konsep psikoanalisis yang lebih berdasarkan pengalaman empiris seniman sebagai individu terhadap realitas. Atas dasar ini maka penggunaan simbol dalam karya seni bisa dipahami karena memiliki makna. Simbol yang digunakan dalam seni rupa mempunyai kode-kode yang bersifat individual sehingga kadang-kadang pemahamannya tidak menggunakan konvensi yang sudah umum. Efek penggunaan simbol semacam ini kadang lebih efektif dan emosional dalam representasi. Bahkan, Pierce (dalam Sudjiman dan Zoest 1992) menyatakan bahwa dengan simbol maka suatu komunikasi akan lebih praktis dan efisien. Jika model representasi ini direlasikan dengan konsep linguistik, maka contoh yang paling mudah adalah penggunaan metafora dalam menyampaikan realitas yang diacunya. Penggunaan metafora mampu memberikan bahasa yang lebih puitik dan merupakan cara pandang baru dalam memahami sebuah realitas. Jika kita mengambil teori semiotika Pierce, maka bahasa metafora yang diciptakan seniman pada dasarnya lebih bersifat sinsign daripada legisign. Hal itu karena dalam bertutur ungkap seniman lebih menggunakan metafora yang spesifik individual (singular) daripada yang sudah konvensi masyarakat (aturan yang bersifat regular). Namun demikian mampu mengungkapkan realitas yang diinginkannya dan publik pun bisa memahaminya. Artinya sebuah kode individu bisa berlaku secara
9
transindividual. Persoalan ini merupakan sebuah daya tarik dalam karya-karya simbolik sehingga pada eranya mampu digunakan sebagai alat ukur dalam menilai karya seni. Akan tetapi penciptaan tersebut dilakukan dengan proses sadar, semi sadar dan tidak sadar. Seni yang diciptakan lewat ketidaksadaraan berarti dalam penciptaan representasi ini telah ternaturalkan dalam arti tidak dikonstruksi. Proses naturalisasi ini telah ditopang oleh tipe representasinya yang dominan, yakni realistik, karena menggunakan kode-kode yang sifatnya telah diketahui secara umum. Bahkan untuk representasi simbol ini, Nelson Goodman (dalam Smith 1989:39-43) mengatakan bahwa simbol dalam karya seni yang lebih bermuatan estetik seharusnya dibedakan dengan simbol secara umum. Menurutnya, simbol dalam bahasa seni lebih memiliki bahasa yang bersifat karakteristik dan kedalaman multiinterpretatif. Hal tersebut merupakan salah satu kekuatan yang menarik dalam karya seni, karena untuk memperoleh pemahaman, diperlukan proses tahapan penafsiran yang berliku-liku terhadap citra realitas yang tersaji. Berbeda dengan simbol dalam komunikasi umum yang sangat memperhatikan struktur atau sintaksis yang telah ditentukan berdasarkan kode-kode dan konvensi-konvensi yang ada dalam masyarakat sehingga semakin mudah dipahami. Dalam mode presentasi realitas jenis ini, lahirlah tokoh yang mendefinisikan seni dari kacamata simbolik seperti Susanne K Langer dengan pernyataannya art is expression of feeling. Simbol terdiri atas art symbol (imaji yang absolut) dan symbol in art (kiasan) (Soedarso 2006:41-42). Dalam hubungan ini menurut Piliang, keberadaan seni model representasi ini pada hakikatnya citra subject matter dalam setiap karya seniman modern merupakan penanda dari realita (petanda). Untuk membedakan dengan mimesis, maka pada dasarnya karya representasi simbolik secara garis besar dibagi menjadi dua bagian yakni literal dan nonliteral. Pertama, literal representation adalah karya seni yang bersifat nonselective representation, yakni jenis karya yang berusaha mengejar kesesuaian dengan realitas, karena tidak berusaha menyeleksi objek. Kedua, nonliteral representation adalah karya seni yang tidak meniru realitas secara tepat dalam penggambarannya, melainkan sudah ada penyeleksian terhadap realitas yang dianggap penting. Representasi jenis ini bisa terdiri atas karya yang masih menggunakan bentuk literal yang tidak sepenuhnya sama dengan realitas yang diacunya, dan karya seni
10
yang merepresentasikan realitas ke dalam bentuk yang sudah tidak mampu dikenali lagi sesuai realitas aslinya (Collingwood 1972:54-56). Klasifikasi ini lebih berdasarkan tingkat abstraksi pada realitas. Semakin tinggi tingkat abstraksinya berarti semakin tidak literal (representatif). Begitu juga sebaliknya. Pada karya literal representation, bentuknya tidak ditampilkan secara objektif sesuai kenyataan (mimesis) melainkan telah diubah melalui pemilihan atribut objek yang dianggap esensial baik secara psikologis individual maupun konvensi. Harapannya karakter karya mampu muncul sehingga emosi pembaca tergugah. Jika disejajarkan dengan konsep linguistik, maka selaras dengan majas “sinekdok” atau “metonimia”. Meskipun penggambaran subject matter-nya telah diubah, karya masih tetap menggunakan bentuk representatif karena terdapat atribut objek yang dibuat sesuai aslinya atau secara keseluruhan masih dapat dikenali. Contohnya, seniman Popo Iskandar yang ingin memproduksi efek karakter emosi subject matter dalam lukisan “Jago”-nya tidak harus ditampilkan secara realistik. Efeknya tidak serta merta. Dalam penggambaran tersebut, Popo Iskandar sadar dengan alasan pribadi tertentu. Dalam konstruk ini memori pengamat akan terprovokasi oleh pola jejak sapuansapuan kuas dan warna pada karyanya untuk ikut larut dalam suasana yang diciptakan. Begitu pula pada karya Doel Ahmad Besari yang berjudul “Menjalin Asmara”.
Gambar 2. Lukisan “Jago” karya Popo Iskandar ini bisa dianggap symbol representation kategori literal representation karena masih mengedepankan bentuk jago secara literal, namun yang dihadirkan sebenarnya adalah untuk mengungkapkan perasaan pencipta bukan untuk menggambarkan ayam jago dalam keseharian.
11
Gambar 3. Lukisan Doel Ahmad Besari berjudul “Menjalin Asmara” merupakan contoh symbol representation yang masih menggunakan bentuk literal. Untuk mengerti realitas yang diacunya secara benar dan tepat, pengamat perlu menerjemahkan simbol-simbol yang masih bisa diidentifikasi tersebut berdasarkan kode-kode dalam masyarakat.
Nonliteral representation adalah jenis representasi yang menggambarkan realitas dengan cara meninggalkan aspek bentuk literal karena lebih mengutarakan aspek emosi. Contohnya adalah sebuah lukisan yang ingin menggambarkan kesedihan tidak harus menggambar orang yang sedih. Strategi dilakukan dengan menggunakan kekuatan warna dan bentuk-bentuk yang tidak dikenal, namun ekspresinya mampu mewakili kesedihan yang dimaksud. Karya Wassily Kandisnsky dan Ellwort Kelly bisa dimasukkan dalam kategori ini.
Gambar 4 Contoh lukisan nonliteral representation karya Wassily Kandinsky yang sangat meninggalkan bentuk representatifnya secara total untuk mengacu pada realitas emosi yang diinginkan
Konsep nonliteral representation oleh Collingwood (172:45) dinyatakan sebagai representasi emosional karena demi karakter emosi, penggambaran objek tidak harus sesuai dengan realitas aslinya baik atribut fisik maupun karakteristiknya. Selanjutnya, ungkapan
12
representasi emosional ini diilhami karena adanya pengalaman empiris yang bersifat psikologi. Atas dasar tersebut, maka setiap objek yang sama sebagai acuan akan dihasilkan karya yang berbeda-beda oleh setiap seniman. Dalam hal ini Sumardjo (2007:77) mengatakan, fenomena tersebut terjadi karena manusia pada abad Romantik telah mengalami eksistensi yang cukup kuat dalam kehidupannya, sesuai dengan prinsip imajinasi subjektif manusia dan mendapat tempat serta penghargaan sejalan berkembangnya paham Humanistik di Eropa. Oleh Cassier (1987:212), seni yang demikian disebut seni karakteristik.
Gambar 5 Karya Ellworth Kelly ”Red Blue Green” 1963, merupakan simbol yang sangat personal. Untuk mengerti realitas yang diacunya secara benar dan tepat pengamat hanya meraba-raba karena bentuknya jelas meninggalkan bentuk representatif secara total (nonliteral representation)
Simulasi Menurut Piliang (1998:11) kehadiran realitas dalam seni kontemporer telah hadir dalam bentuk simulasi. Presentasi realitas dalam karya seni adalah realitas itu sendiri dan sama sekali tidak mengacu pada dunia luar. Efeknya dalam hal ini cahaya rona atau pesona yang dipancarkan sebuah karya seni menjadi hilang. Aura seni ini dibentuk dari kehadiran “ruh” seorang seniman di dalam karyanya. Sebab, semuanya kini serba artifisial, serba permainan. Dengan demikian apa yang dihadirkan hanya lebih bermuatan untuk kenikmatan permainan. Trend semacam inilah yang disebut seni rupa kontemporer. Mode presentasi ini pun akhirnya mengambil realitas di luar dirinya tanpa ada maksud pretensi apa-apa terhadap objek tersebut. Yang hadir hanyalah keunikan yang sifatnya mengambil atau mendaur ulang
13
bentuk. Realitas yang dipresentasikan dalam karya akan kehilangan makna asalnya karena sifat permainan ini. Dalam hal ini realitas yang hadir adalah sebuah metarealitas, yakni penciptaan realitas yang khusus berbicara realitas itu sendiri. Apabila dibandingkan dengan konsep Roman Jakobson, yakni bahwa orang dalam berkomunikasi tidak ingin menitikberatkan pada fungsi emosi pengirim, penerima, makna pesan, atau kontekstual melainkan lebih menitikberatkan permainan bentuk itu sendiri. Ia tidak mengacu realitas di luar dirinya. Konsep yang dibawa adalah realitas yang berfungsi sebagai metalinguistik dengan tetap menggunakan fungsi puitik sebagai dasar pokoknya. Dalam kenyataannya, perkembangan seni tersebut kadang-kadang mengalami lompatan-lompatan yang dahsyat sehingga apapun dapat dijadikan sebuah karya seni. Sesuatu yang semula dikira barang sederhana akhirnya dapat dipresentasikan menjadi karya seni. Akibatnya, kadangkala kebebasan seniman menjadi liar. Sampai tahap-tahap ini norma masyarakatlah sebagai dasar pembingkai atau pembatas. Kesimpulan
Bentuk presentasi realitas dalam karya seni rupa mempunyai variasi yang sangat luas. Penyebabnya, pertama, realitas bisa didekati secara objektif dan subjektif. Kedua, pengaruh kualitas material, alat dan bahan yang semakin berkembang karena dukungan teknologi yang semakin berkembang pula dengan pesat. Ketiga, nilai etika masyarakat juga turut menentukan bentuk seni. Dengan beragamnya tampilan bentuk karya seni rupa pada berbagai periode zaman, mode paradigma atau cara dalam mempresentasikan realitas pada karya seni rupa secara garis besar dapat dikelompokan menjadi mimesis, representasi, dan simulasi. Ketiga mode tersebut turut menentukan konsep keindahan sebagai tolok ukur untuk menentukan karya seni. Kesemuanya dilakukan pada zamannya untuk memperoleh efek-efek artistik serta estetik sehingga mampu memunculkan keindahan jenis baru yang sebelumnya tidak didapatkan oleh masyarakat. Hadirnaya presentasi realitas dalam karya seni rupa murni tersebut karena
14
adanya tuntutan untuk menciptakan atau menyingkap realitas bukan abstraksi. Akhirnya pengalaman yang diperoleh dalam melihat sebuah karya seni rupa murni semakin dapat memperkaya kehidupan manusia.
Daftar Pustaka Cassier, E. 1987. Manusia dan Kebudayaan:Sebuah Esei Tentang Manusia. Terjemahan Alois A Nugroho. Jakarta: PT Gramedia Cavallaro, D. 2001. Critical and Cultural Theory. Yogyakarta: Niagara Chernyshevsky, N.G. 2005. Hubungan Estetik dengan Realitas. Terjemahan Samanjaya. Bandung: Ultimus. Collingwood, R.G. 1972. The Principles of Art. New York: Oxford University Press. Djelantik, A.A.M. 1999. Estetika: Sebuah Pengantar. Bandung: Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia Feldman, E.B. 1967. Art As Image and Idea. New Jersey: Englewood Cliffs, Prentice Hall, Inc. Piliang, Y.A. 1998. Realitas Baru Estetik Perspektif Seni dan Desain Menuju Abad 21, dalam Seni: Jurnal Pengetahuan dan Penciptaan, VI/01 Mei 1998. Smith, R.A. 1989. The Senses of Art: A Study In Aesthetic Education. New York: Routledge, Chapman Dan Hall, Inc. Soedarso, Sp. 2006. Trilogi Seni: Penciptaan Eksistensi dan Kegunaan Seni, Yogyakarta: Badan Penerbit ISI. Sudjiman, P dan Aart Van Zoest (Ed).1992. Serba Serbi Semiotika. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Sumardjo, J. 2000. Filasafat Seni. Bandung: Penerbit ITB. Surajiyo. 2005. Ilmu Filsafat Suatu Pengantar. Jakarta: PT Bumi Aksara. Zoet, A.V. 1993. Semiotika: Tentang Tanda, Cara Kerjanya dan Apa Yang Kita Lakukan Dengannya. Terjemahan Ani Soekawati. Jakarta: Yayasan Sumber Agung.