BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam dunia penulisan sastra ada satu sub genre baru dari genre novel populer yang mulai dikenal sejak 1996, yakni chick lit. Sub genre ini diawali dengan munculnya novel berjudul The Bridget Jones‟s Diarydi Inggris. Sejak itu bermunculanlah novel-novel sejenis yang semakin mempopulerkan sub genre tersebut. Apalagi disusul dengan difilmkannya The Bridget Jones‟s Diary yang dibintangi oleh Rene Zelweger1 dan sukses di pasaran, maka alur cerita chick lit ini sendiri menjadi semacam formula suksesnya sebuah novel dan kemudian menjanjikan untuk diangkat di layar lebar. Nampaknya hal ini juga yang mengilhami penulispenulis di Indonesia untuk menulis chick lit versi Indonesia yang mengadaptasi gaya penulisan sampai pada penokohan di dalamnya. Formula ini membawa sukses pula di pasaran Indonesia. Bahkan mengangkat cerita-cerita dalam novel chick lit ini ke dalam sebuah film menjadi rumus yang tidak tertulis untuk semakin menegaskan kesuksesan dari cerita-cerita yang diangkat dalam chick lit. Sampai dengan saat ini pula cerita-cerita semacam chick lit ini menjadi acuan para pembuat FTV (film televisi) untuk membuat film mereka lebih digemari. Chick lit
1
Seorang aktris dan produser dari Amerika yang mulai dikenal semenjak penampilannya dalam film Jerry Maguire (1996) dan kemudian mendapatkan berbagai penghargaan untuk aktingnya pada film-film berikutnya, dan menjadi aktris dengan bayaran tertinggi di Hollywood pada 2007.
1
sepertinya telah menjadi fenomena dunia penerbitan karya sastra. Ia dianggap membawa warna baru dalam khasanah bacaan hingga dianggap perlu memberi nama
sub genre baru, yakni chick lit, untuk
membedakannya dari bacaan lain. Mulai dari kemasannya, chick lit memang sudah tampil berbeda. Sampulnya berwarna pastel, ceria, dan diberi ilustrasi ala kemasan boneka Barbie. Gambar-gambar berupa sepatu wanita dengan hak tinggi, gelas martini, lipstik, tas belanja, atau gambar lain yang identik dengan perempuan, biasanya melengkapi ilustrasi di sampul chick lit. Tidak ketinggalan pula label bertuliskan chick lit dan frase “being single and happy” (menjadi lajang bahagia), disertai gambar perempuan dengan rok mini yang sedang duduk menyilangkan kaki. Label ini ditempelkan di setiap chick lit, untuk menjadi penanda bahwa buku tersebut adalah chick lit.Logo untuk novel chick lit baik terjemahan maupun chick lit Indonesia terlihat seperti dibawah ini;
Logo Chick lit Terjemahan
Logo Chick lit Indonesia
Ramuan chick lit ini menjadi digemari karena memang gaya penulisan dan juga cerita yang disampaikan sangatlah ringan. Dengan menggunakan bahasa ke-aku-an penulis serasa mewakili kehidupan
2
perempuan-perempuan muda yang menjadi segmentasi dari chick lit sendiri. Pembaca tidak perlu mengerutkan dahi untuk memahami isi chick lit. Bahkan hanya dengan sekali duduk, mereka sudah bisa menyelesaikan membaca novel ini, karena ringannya permasalahan yang disajikan didalamnya.Kisah-kisah yang dihadirkan dalam chick lit rata-rata mengenai potret perempuan masa kini, yang hidup di kota besar, mandiri, lengkap dengan gaya hidup perkotaan dan permasalahan seputar percintaan, laki-laki dan persahabatan. Chick lit diceritakan dengan bahasa yang ringan. Judulnya pun terdengar ringan. Sebut saja Buku Harian Bridget Jones (Bridget Jones‟ Diary), Bos Paling Kejam Sedunia (The Devils Wears Prada), atau Besar itu Indah (Does My Bum Look Big in This).Judul-judul ini tentu jauh berbeda dengan fiksi romantis ala Mira W atau Marga T, seperti Seribu Tahun Ku Menanti, Di Bahumu Kubagi Lukaku, ataupun Badai Pasti Berlalu.Pembaca juga tidak perlu banyak berpikir untuk memahami isi cerita karena dalam chick lit tidak pernah dibahas permasalahan filsafat, budaya, agama, atau topik serius lainnya. Chick lit hanya berbicara seputar perempuan, belanja, kosmetika, pakaian, sepatu hak tinggi, alkohol, seks, karir, dan kebutuhan perempuan akan laki-laki. Itulah sebabnya istilah chick dikonotasikan dengan pengertian ringan, yang menunjuk kepada makna kurang berbobot. Penceritaan dan juga penokohan dalam chick lit di Indonesia sendiri memang tidak jauh dari formula dari penulis-penulis di Inggris maupun Amerika. Menarik untuk dilihat bahwa sebenarnya fenomena para
3
tokoh utama didalam chick lit tentunya jauh berbeda antara Indonesia dan Inggris atau Amerika, akan tetapi para penulis chick lit di Indonesia membuatnya seakan tidak berbeda jauh. Tokoh utama dalam chick lit yang selalu perempuan digambarkan senantiasa sebagai perempuan yang bekerja dibidang media atau pekerjaan yang populer lainnya seperti dunia fashion dan dunia hiburan. Mempunyai kelompok pertemanan yang mengadakan pertemuan rutin, kemudian punya tempat berkumpul di cafécafé atau restoran favorit mereka, dan dalam kelompok tersebut tidak jarang ditokohkan laki-laki homoseksual.Perempuan yang digambarkan dalam penokohan chick lit biasanya tidak cantik akan tetapi juga tidak jelek, kemudian mempunyai kebiasaan merokok, tidak anti terhadap minuman
beralkohol,
dan
mempunyai
permasalahan
dengan
percintaannya. Dalam pergaulannya dengan kelompoknya dan pergaulan dalam kehidupan sosialnya bahasa Inggris sangat sering dimasukkan dalam
pembicaraan
sehari-hari,serta
intensitas
penggunaan
alat
komunikasi seperti hp, email, messenger, dll yang cukup sering untuk menjalin komunikasi antar sesama. Menarik untuk dikaji bahwa ternyata tokoh yang ditampilkan dalam chicklit Indonesia sebagai sebuah novel adaptasi mempunyai kemiripan satu sama lain, dan tentu saja kemiripan dengan novel-novel chick lit dari Inggris dan Amerika. Chick lit Indonesia dibuat karena tingginya minat pembaca terhadap genre baru di dunia sastra ini, meskipun juga tidak sedikit yang mengkritiknya.
Pada titik ini pembahasan
4
mengenai tulisan-tulisan dalam chick lit bisa diambil dari bagaimanakah para penulis menokohkan karakter yang dibawa dalam novel ini. Karena berbicara mengenai novel tentunya bicara mengenai wacana di dalamnya.Dalam hal ini wacana dimaksudkan sebagai bentuk yang dinamis, yang diproduksi oleh bahasa. Merujuk pada Barker (2008 : 403), wacana didefinisikan sebagai praktik bahasa untuk mengkonstruksi dan mereproduksi objek pengetahuan. Apabila dikaitkan dengan pernyataan Aschroft, Griffiths, dan Tiffin (2002 : 7) dalam The Empire Writes Back, bahasa dapat menjadi media yang menunjukkan struktur hierarki kekuasaan dan menetapkan konsep-konsep atas “kebenaran”, “tatanan”, dan “realitas”.
Hal ini bisa dilihat dari wacana yang berada di balik
karakter yang dibangun para penulis novel chick lit ini. Penggambaran perempuan di dalam novel-novel chick lit menjadi seragam, dan karena itulah seperti menjadi salah satu ciri paling menonjol selain tampilan luar yang ngepop dari novel tersebut, karakter dan jalinan cerita yang disampaikan hampir memiliki pola-pola yang sama. Disini bisa diambil semacam hipotesa bahwa ada satu wacana yang sama dalam novel tersebut. Bagaimana “realitas” yang ditawarkan oleh penulis di representasikan dalam karakter yang dibangun dalam novel chick lit tersebut. Inilah yang kemudian menjadi menarik untuk dikaji, apakah memang tokoh-tokoh perempuan dalam novel chick lit Indonesia ini merupakan representasi dari perempuan urban di Indonesia, itu mengapa perempuan dalam chick lit ditokohkan sedemikan, ataukah hal ini
5
merupakan satu bentuk penawaran ruang negosiasi terhadap sebuah wacana dominan mengenai perempuan. 1.2. Rumusan Masalah Permasalahan pokok tentang penokohan karakter perempuan dalam novel chicklitseperti yang sudah diungkapkan diatasdirumuskan dalam pertanyaan-pertanyaan penelitian berikut ini : 1. Bagaimana karakter perempuan di dalam novel chick lit Indonesia digambarkan? 2. Mengapa karakter perempuan dalam novel chick lit Indonesia digambarkan sedemikan? 3. Apakah penokohan tersebut dimaksudkan untuk menciptakan sebuah ruang negosiasi terhadap wacana dominan tentang perempuan? 1.3. Ruang Lingkup Penelitian Fokus penelitian ini adalah karakter perempuan dalam tiga judul novel chick lit, yakni Cintapuccino karya Icha Rahmanti, Jodoh Monica karya Alberthiene Endah, dan Beauty Case karya Icha Rahmanti. Analisis dalam
kajian ini
dibatasi
pada
bagaimana
karakter
perempuan
digambarkan dalam ketiga novel itu untuk menemukan adakah usaha melakukan negosiasi terhadap wacana dominan perempuan. 1.4. Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah :
6
1. Menjelaskan bagaimana karakter perempuan dalam novel chick lit Indonesia ini digambarkan. 2. Mengkaji lebih jauh mengapa penggambaran karakter perempuan dalam novel chick lit Indonesia dibuat sedemikan. 3. Melihat apakah ada usaha untuk melakukan negosiasi terhadap wacana dominan perempuan yang dilakukan oleh para tokoh perempuan dalam novel chick lit ini. Adapun manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut : Penelitian ini diharapkan mampu melihat sisi lain representasi subjek kecil yang mencoba membuat ruang negosiasi dengan subjek besar. Dalam hal ini adalah melihat novel populer chicklit dari segi penokohan karakter perempuan, yang di dalamnya mungkin terbentuk ruang negosiasi terhadap wacana ke- perempuan - an yang dominan. 1.5. Tinjauan Pustaka Penelitian mengenai chicklit memang telah banyak dilakukan karena begitu fenomenalnya trend genre baru ini dalam dunia sastra.Masing-masing penelitian tersebut memang menemukan fakta yang menarik dari genre baru dalam sastra ini. Karena novel chick lit di Indonesia merupakan novel adaptasi, maka banyak penelitian yang membandingkan gagasan-gagasan yang ada dalam chicklit Inggris dan Amerika dengan chicklit Indonesia. Baik pada relasi yang dibangun dalam tiap novel, kemudian ideologiyang beroperasi dalam chick lit tersebut,
7
sampai pada produksi budaya dalam novel chicklit Indonesia. Dari sekian banyak penelitian mengenai chick lit belum ada yang fokus pada karakter tokoh perempuan dalam novel tersebut, yang boleh dikatakan titik sentral yang ditawarkan dalam setiap novel chick lit. Salah satu penelitian mengenai chick lit adalah thesis Dian Arymami “Keintiman Relasi Dalam Chick Lit” (UGM : 2008). Penelitian ini menganalisa relasi keintiman perempuan – laki-laki, melalui representasi dua jenis mediumchick litterlaris (chick lit saduran dan chicklit Indonesia) untuk melihat kecenderungan bentuk-bentuk relasi keintiman yang diproduksi oleh industri budaya dan sekaligus oleh konsumen dewasa ini. Penelitian ini menempatkan media sebagai refleksi dari realitas sosial sekaligus menjadi bagian esensial dalam pembentukan konsep dan budaya relasi.Kajian ini bergerak dalam dua ranah wacana – romantika dan seksualitas.Gambaran seksualitas dan berbagai bentuk romantika dalam medium tersebut merupakan faktor pembentuk konsep relasi keintiman. Hipotesis yang diajukan adalah: (1) Romantisme dan seksualitas sebagai faktor keintiman, ditarik dalam lajur komoditisasi sehingga relasi keintiman dan konsep cinta itu sendiri banyak ditentukan oleh ideologi kapitalisme, dengan demikian sangat kental dengan imajiimaji ekonomis; (2) Adanya perbedaan kadar romantika dan seksualitas pada media dalam negeri dan media saduran dalam menyampaiakan nilainilai keintiman dalam membentuk relasi heteroseksual. Obyek penelitian berupa empat novel jenis chick-lit, dimana dua diantaranya merupakan
8
chick-lit saduran dan dua lainnya chick-lit Indonesia.Metode penelitian yang digunakan adalah analisa wacana dengan usaha untuk mencari kesesuaian pesan dalam suatu pola penceritaan melalui penggunaan karakter dan peristiwa sebagai simbol untuk mencerminkan relasi manusia.Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara relasi keintiman dengan nilai-nilai kapitalis, namun gagasan relasi keintiman heteroseksual menunjukkan perbedaan yang mendasar antara chick-lit Indonesia dengan chick-lit saduran.Chick-lit Indonesia memiliki dominasi keintiman afeksi sedangkan chick-lit saduran didominasi oleh keintiman fisik. Meski demikian, utopia relasi yang digambarkan dalam kedua jenis media populer tersebut membawa nilai dan bentuk cinta yang sama.Fokus tesis ini adalah perbedaan relasi yang terjadi dalam chick lit Indonesia dan saduran, dilihat dari gagasan yang dituangkan dalam masing-masing novel. Tesis tersebut tidak menekankan pada karakter dari chick lit yang diteliti. Jadi masih tersisa ruang untuk melihat mengapa karakter-karakter dalam novel chick lit dibuat sedemikan rupa,
dan
bagaimanakah
relasi
yang dibangun
antartokoh
bisa
menggambarkan sebuah negosiasi terhadap wacana dominan perempuan. Disertasi Jenny Mochtarberjudul “Membaca Ideologi Gender dalam Chicklit Inggris dan Indonesia” (FIB UI-2008) mengenai kajian bandingan antara ideologi gender yang beroperasi dalam chick lit Inggris dan Indonesia. Chick lit adalah fiksi populer yang menampilkan tokoh perempuan
lajang
muda
profesional
dengan
menggunakan
latar
9
masyarakat urban kontemporer, dan mengangkat isu kehidupan seharihari. Walaupun keduanya berlabel sebagai chick lit, perbedaan pada ruang dan waktu di Inggris dan Indonesia, diasumsikan menimbulkan pemasalahan, yaitu pada perbedaan ideologi gender yang beroperasi. Perbedaan tersebut dapat dibaca melalui status kelajangan perempuan dan tubuh perempuan dalam budaya konsumen yang dianggap sebagai situssitus terjadinya kontestasi wacana mengenai gender. Sumber data yang dipakai adalah dua chick lit Inggris dan limachick lit Indonesia. Landasan teori yang dipakai adalah ideologi gender Joan W. Scott dan kajian sastra bandingan dalam konteks budaya. Dalam menganalisa konteks, ditemukan bahwa di Inggris, ideologi gender yang berdasarkan nilai-nilai feminisme gelombang ketiga membawa pengaruh besar pada cara pikir dan tindak perempuan muda, sedangkan di Indonesia, yang dominan adalah ideologi genderpatriarkhi. Perbedaan tersebut juga dapat dilihat dalam pemilihan posisi identitas subyektif tokoh perempuannya dan relasi kuasa dalam melihat kelajangan dan tubuh perempuan.Hasil penelitian menunjukkan bahwa fiksi populer dapat menjadi media yang efektif bagi gerakan perempuan untuk menyebarkan nilai-nilai feminisme.Disertasi ini lebih menekankan pada permasalahan feminisme yang nantinya jugaakan dibahas pula oleh penulis. Akan tetapi penekanan disertasi ini lebih pada bagaimana ideology gender beroperasi dalam masing-masing chick lit yang diteliti. Jadi sifatnya menyeluruh dan pada tahapan wacana besar sebuah isu perempuan dan tidak menukikpada tokoh perempuan yang ada
10
dalam chicklit yang diteliti.Jadi masih tersisa ruang untuk melihat secara khusus pada tokoh utama perempuan dalam novel chick lit, kemudian apa yang ditawarkan dengan penokohan perempuan dalam novel chick lit. Penelitian berikutnya adalah“Produksi budaya/budaya produksi Chick
Lit
Indonesia
di
Penerbit
Gagasmedia”,tesis
Muhammad
Taufiqurrohman (FIB UI-2010).Tesis ini merupakan penelitian mengenai produksi budaya/budaya produksi chick lit Indonesia di penerbit GagasMedia. Penelitian ini bertujuan menunjukkan tentang bagaimana budaya produksi (nilai-nilai dan ideologi) dan perannya terartikulasikan dalam produksi chick lit Indonesia di GagasMedia dan membahas bagaimana artikulasi makna terjadi dalam proses produksi budaya chick lit Indonesia di GagasMedia, baik secara teknis maupun kultural. Sumber data adalah penerbit GagasMedia, penulis chick lit Indonesia dan chick lit Indonesia itu sendiri. Landasan pemikiran yang dipakai adalah konsep produksi budaya (production of culture) dan budaya produksi.(cultures of production). Kerangka eklektik-teori digunakan untuk menggunakan beberapa teori dalam penelitian ini.Landasan metodologi adalah pendekatan Cultural Studies untuk penelitian produksi budaya (cultural production research), yaitu pendekatan etnografi dan pendekatan teks dan analisis teks. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hubungan antara budaya produksi dan produksi budaya chick lit Indonesia merupakan satu mata rantai yang saling mempengaruhi. Penelitian ini menunjukkan salah satu kemungkinan penelitian sastra Indonesia, khususnya sastra popular,
11
dengan menggunakan pendekatan Cultural Studies. Celah yang bisa diambil dari penelitian ini adalah bagaimana kemudian budaya yang diproduksi oleh novel chick lit ini memiliki ruang negosiasi terhadap wacana dominan perempuan. 1.6. Kerangka Teori Penelitian ini akanmelihat representasi identitas perempuan urban karakter tokoh perempuan di dalam beberapa novel chick lit yang diteliti. Pertanyaan awal penelitian ini adalah bagaimana karakter perempuan dalam novel chick lit dijadikan representasi dari perempuan urban Indonesia saat ini. Dari realitas yang ditawarkan oleh para penulis novel chick lit ini terlihat bagaimana kemudian perempuan menemukan identitas baru mereka sebagai “perempuan modern”. Menurut Barker ( 2008), representasi dan identitas adalah dua kata kunci dalamcultural studies. Sebagai praktik pemaknaan ia mengkaji makna yang diperoleh dari tanda-tanda. Tanda-tanda sendiri dapat berupa simbol, bahasa, tingkah laku yang masing-masing selalu memiliki makna.Pemaknaan dari tanda-tanda yang kemudian diartikulasikan dengan konteks
yang
melingkupinya
pada
akhirnya
membentuk
representasi.Masih menurut Barker, Identitas dalam cultural studies memiliki konsep khusus tidak hanya berkaitan dengan informasi tentang seseorang, tetapi sebuah konstruksi sosial yang hadir dalam pemaknaan,
12
bukan hadir begitu saja dalam diri seseorang. Konsep mengenai representasi dan identitas diuraikan lebih rinci sebagai berikut. 1.6.1 Representasi Bagian terbesar cultural studies terpusat pada pertanyaan tentang representasi, yaitu bagaimana dunia ini dikonstruksi dan direpresentasikan secara sosial kepada dan oleh kita. Bahkan unsur utama cultural studies dapat dipahami sebagai studi atas kebudayaan sebagai praktik signifikasi representasi. Ini membuat kita harus mengeksplorasi pembentukan makna tekstual.Iajuga menghendaki penyelidikan tentang cara dihasilkannya makna dalam beragam konteks. Konsep representasi dan ideologi merupakan hal yang pokok dalam pendekatan Hall pada permasalahan sosial dan budaya. Seperti diungkapkan oleh Rojek(2002 )mengenai pemikiran Hall ; Hall propose first, that points of enunciation are always implicated by the practices of representation, and second, that representation bears a subsidiary relationship to ideology. By the terms „enunciation‟ Hall means not merely speaking and writing, but all modalities through which agency is expressed in what Marx and Engels (1965) called „man‟s double relation‟ to nature and other wo/men…
Representasi meliputi sejumlah pertanyaan inklusi dan eksklusi, dan dia selalu terimbas pada soal kekuasaan.Menurut Dyer, dalam tulisan Barker (2008), dia menunjukkan kepada kita pembedaan yang berguna antara berbagai tipe dan stereotipe. Tipe bertindak sebagai klasifikasi niscaya dan klasifikasi umum dari sejumlah orang dan peran menurut kategori kebudayaan lokal.Stereotip dipandang jelas namun merupakan
13
representasi sederhana yang mereduksi orang menjadi serangkaian karakteristik yang dibesar-besarkan dan biasanya negativ. (Barker, 2008 : 219). Dalam bukunya Representation :Cultural Representation and Signifying Process, Stuart Hall menyebutkan bahwa Representasi merupakan produksi makna dari konsep yang ada dalam pikiran kita melalui bahasa (Hall, 1997:17). Menurut Hall ada dua proses yang terlibat dalam representasi ini, yang disebut sebagai sistem representasi, yang pertama adalah representasi mental yang selalu ada dalam pikiran kita dan kita tidak akan mampu untuk mengartikan hal-hal disekitar kita tanpa konsep tersebut. Jadi pemaknaan sangatlah tergantung pada konsep dan bentuk-bentuk yang ada dalam pikiran kita yang merepresentasikan dunia, membuat kita mampu memaknai apa yang ada di dalam atau di luar pemikiran kita. Hall menyebutkan juga bahwa pemaknaan bergantung pada hubungan manusia dengan hal-hal yang ada didunia, objek-objek dan kejadian-kejadian, kenyataan atau fiksi, dan sistem konseptual yang bisa berlaku sebagai representasi mental bagi mereka.Dengan representasi mental ini orang-orang dapat mempunyai cara yang sama dalam memaknai suatu hal, yang kemudian bisa dikatakan “belong to the same culture” karena bagi Hall sendiri budaya bisa dikatakan berbagi peta konseptual yang sama. Akan tetapi peta konseptual yang sama belumlah cukup apabila belum terjadi pertukaran makna atau pertukaran konsep, yang
14
hanya bisa terjadi apabila kita membagi bahasa yang sama. Inilah yang kemudian menjadi sistem representasi yang kedua, yaitu bahasa. Dalam tokoh-tokoh perempuan yang ada dalam chicklit, mereka berbagi makna yang sama menjadi perempuan, dengan berbagai konsep mengenai perempuan yang telah dibagi bersama, pembaca pasti langsung bisa membayangkan bagaimana menjadi seorang perempuan yang bekerja dan hidup di kota besar. Akan tetapi akan berbeda apabila pembaca adalah seorang perempuan yang hidup di desa dan sama sekali tidak pernah melihat fenomena di perkotaan. Pemahaman mereka akan perempuan urban pasti akan sangat berbeda dengan perempuan pekerja di perkotaan yang merasa terwakili dengan tokoh-tokoh yang ada dalam chicklit ini. Akan tetapi hal ini bukanlah menjadi suatu problem yang besar pada saat kemudian relasi para tokoh chicklit ini kemudian bisa dikatakan membagi permasalahan-permasalahan yang bisa dialami oleh perempuan mana saja, yaitu mengenai percintaan, persahabatan dan intrik yang kemudian bisa dikatakan merupakan konsep yang dibagi bersama oleh siapa saja. Masih mengikuti pemikiran Hall mengenai representasi, ada tiga pendekatan untuk menjelaskan bagaimana representasi makna melalui bahasa bekerja.Pendekatan pertama disebut pendekatan reflektif, yaitu melihat bahasa sebagai refleksi makna semata yang terkandung dalam tanda,yang kemudian kadang disebut mimetic.Pendekatan yang kedua disebut pendekatan intensional, yang menyebutkan bahwa makna adalah bagian dari intensi (maksud) dari si pengarang (author).Jadi si pengarang 15
lah yang mengekspos keunikannya atau makna yang dia miliki melalui bahasa. Pendekatan yang ketiga adalah pendekatan konstruktivis, menyebutkan bahwa konstruktivis tidak mengingkari adanya dunia material akan tetapi bukan dunia materi lah yang menyampaikan makna, melainkan sistem bahasa atau sistem apapun yang kita gunakan untuk merepresentasikan dunia kita. Adalah kita atau disebut sebagai aktor sosial yang menggunakan sistem konseptual dari budaya mereka dan bahasa serta konsep representasi yang lain untuk merekonstruksi makna. Pendekatan terakhir inilah yang kemudian memunculkanmeaning is constructed yang dikemukakan oleh Stuart Hall. Makna tidak begitu saja ada dalam tanda, akan tetapi dia muncul karena penafsiran dari si penafsir yang telah memiliki serangkaian konsep sebelumnya. Dalam hal ini media berperan sebagai agen yang menyeleksi dan mengkonstruksi realitas. Pada karakter perempuan yang muncul sebagai karakter utama dalam novel ini, nampak sebuah usaha untuk bisa membuat representasi baru kaum perempuan urban yang berusaha lepas dari stereotipe perempuan yang selama ini melekat dalam konstruksi budaya patriarki. Bentuk representasi kaum urban inilah yang memungkinkan terjadinya sebuah ruang negosiasi yang nantinya akan dilihat seberapa jauh berhasil dengan menggunakan pendekatan konstruktivis dari Hall, karena dianggap bahwa novel chick lit ini punya upaya untuk mengkonstruksi realitas mengenai kehidupan perempuan urban.
16
1.6.2. Identitas Bagi Anthony Giddens sebagaimana dikutip Barker, identitas diri terbentuk oleh kemampuan untuk melanggengkan narasi tentang diri, sehingga terbentuk suatu perasaan terus-menerus tentang adanya kontinuituas biografis (Barker, 2008: 175). Giddens menyebut identitas sebagai proyek, yang berarti identitas adalah sesuatu yang kita ciptakan, selalu dalam proses menjadi. Proyek identitas membentuk apa yang kita pikir tentang diri kita saat ini dari sudut situasi masa lalu, dan masa kini, bersama apa yang kita pikirkan dan inginkan serta harapan ke depan. Menurut Barker, momen konsumsi menandai salah satu proses dimana kita dibentuk sebagai pribadi-pribadi. Apa artinya menjadi satu pribadi, subjektivitas, dan bagaimana kita mendeskripsikan diri kita kepada orang lain. Identitas menjadi bidang perhatian utama cultural studies selama era 1990-an. Dengan kata lain cultural studies mengeksplorasi bagaimana kita menjadi sosok sebagaimana adanya kita sekarang, bagaimana kita diproduksi sebagai subjek, dan bagaimana kita mengindentifikasi diri kita (atau secara emosional menanamkan diri kita) dengan deskripsi-deskripsi sebagai laki-laki atau perempuan, hitam atau putih, tua atau muda. Merujuk pada pemikiran Hall, yang lebih menekankan pada konsep identitas sebagai cultural identity, identitas adalah sebuah produksi yang tidak pernah selesai, melainkan selalu dalam proses (Hall, 1997).
17
Melihat konsep cultural identity pada Hall, konsep identitas kultural juga diungkapkan dalam Media Making, dalam babProducing Identities. Bagaimana dalam membaca karakter audiens sebagai pasar dan komoditas, kita dapat menganggap bahwa audiens sebagai identitas kultural yang direpresentasikan di dalam media. Identitas adalah suatu hal yang sangat kompleks, mempunyai variable yang sangat beragam mulai dari usia, latar belakang, pendapat dan sebagainya. Kita bisa menjadi bagian dari komunitas akademis di kampus, dan menjadi bagian dari komunitas yang lainnya yang berafiliasi dalam kegiatan yang ada di dalamnya. Dari hal tersebut kemudian muncullah apa yang disebut dengan identitas sosial. Permasalahan yang biasa hadir terkait dengan identitas cultural dan identitas sosial tidak akan menemui solusinya sebelum dipahami hubungan yang dimiliki individu dengan identitas lain yang dimilikinya. Uraian Hall yang dikutip oleh Cladinin mengenai representasi identitas adalah hanya ketika ada orang lain (the other) lah, anda dapat mengenali diri anda (self). Self dapat mewujud kedalam the other yang kemudian menunjukkan bagaimana keduanya saling berhubungan. Akan tetapi kemudian konsep ini dikritisi sebagai oposisi biner yang memunculkan sesuatu yang tak berbatas jelas sebagai sisi “antara” yang berada antara diri dan sang lain. Melihat permasalahan identitas memang tidak pernah lepas juga dari
tumpang
tindihnya
identitas
sosial
dan
identitas
kultural
seseorang.Ada dua teori besar mengenai identitas, dan masing-masing
18
melihat perbedaan pandangan mengenai peranan media dalam politik identitas
dan
relasi
antara
penggambaran
media
dan
identitas
sosial.Pandangan pertama berasumsi bahwa kategori dari identitasidentitas tersebut bersifat natural, penting dan universal.Menurut teori ini, representasi adalah permasalahan ketepatan vs stereotyping.Teori yang kedua menolak pendapat teori yang pertama.Teori ini mengingkari adanya identitas yang asli berasal dari asal-usul yang universal atau pengalaman yang dibagi bersama. Melainkan justru argumen yang disampaikan adalah identitas itu secara kultural dikonstruksikan dan hanya bisa dipahami secara relasional (Grossberg dkk : 2006,234). Identitas itu tidak stabil dan selalu berproses terus menerus. Dari pemahaman mengenai identitas yang merupakan sebuah konstruksi sosial dan bagaimana media adalah salah satu agen yang menjadi alat untuk menciptakan bangunan tersebut melalui bahasa, maka sangat dimungkinkan melalui novel, karakter yang diciptakan dalam novel chicklit bisa di”curigai” untuk menciptakan suatu konsep “perempuan baru” yang kemudian akan menjadi karakter yang nyata dalam kehidupan perempuan urban saat ini. 1.7.Metodologi Penelitian 1. 7.1. Korpus Penelitian Studi ini tidak bermaksud holistic, namun lebih pada kajian representatif.Korpus yang akan dikaji dalam penelitian ini hanya tiga judul novel Chick lit yakni : Cintapuccino dan Beauty Case karya Icha Rahmanti sertaJodoh Monica karya Alberthiene Endah, ketiganya
19
dianggap cukup mewakili jenis-jenis chicklit yang muncul di Indonesia pada tahun-tahun pertama kemunculan chick lit Indonesia, yaitu dalam rentang tahun 2004 sampai dengan 2005. Pemilihan
korpus
penelitian ini
didasarkan
pada
periode
kemunculan chick lit ini, dan kesamaan penokohan perempuan lajang, sukses dan mandiri, dan bimbang dalam permasalahan jodoh yang digambarkan dalam chick lit. Periodisasi ini dilakukan karena dari awal munculnya novel chick lit sampai dengan saat ini sudah begitu banyak berganti label pemasarannya dari chick lit hingga menjadi novel-novel metropop.Novel chick lit yang dikaji disini dibatasi hanya pada novelnovel chicklit di tahun-tahun awalnya kemunculan novel ini dan klaim mereka sebagai chicklit pertama karya penulis Indonesia. Kriteria berikutnya karakter perempuan yang memenuhi asumsi penulis mengenai keseragaman pada tokoh perempuan chicklit. Selain itu yang menjadi pertimbangan lain adalah bagaiman respons masyarakat terhadap munculnya chicklit tersebut dilihat dari publikasi yang ada di media adalah bagaiman kemudian novel tersebut dicap sebagai best seller dan mengalami cetak ulang selama beberapa kali serta diadaptasi menjadi naskah film layar lebar untuk merespon minat masyarakat terhadap novel chick lit tersebut, sekaligus mengikuti pola kesukseksan pioneer chick lit di Inggris Bridget Jones‟s Diary.
20
1.7.2. Metode Pengumpulan Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teks dalam novel chicklit yang telah dipilih peneliti yang menggambarkan dengan jelas karakter perempuan sebagai tokoh utama mereka. Relasi antara tokoh utama perempuan dan tokoh lainnya berusaha untuk dilihat dengan mengutamakan percakapan-percakapan tokoh-tokoh perempuan dengan tokoh lain. Selain itu tidak kalah pentingnya adalah gaya penulisan dari penulis novel chicklit dalam mengambil posisi sebagai orang pertama, atau sebagai narator dalam penyampaian cerita novel tersebut untuk bisa menggambarkan “pikiran” tokoh yang sedang dikaji atau bagaimana tokoh ini coba dimunculkan kepada pembaca. 1.7.3. Metode Analisis Data Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan menggunakan metode analisa wacana kritis Norman Fairclough.Fairclough dalam buku Media Discourse mengenalkan kerangka menganalisis bahasa media, menunjukkan bahwa bahasa media merupakan elemen penting pada proses kontemporer perubahan sosial dan kultural, menyoroti karakter linguistik dan diskursus kuasa media.Analisis bahasa teks media, menurut Fairclough, dapat menjawab tiga pertanyaan mengenai output media, yaitu, (1) bagaimana dunia (peristiwa, hubungan, dll.) direpresentasikan (2) identitas apa yang dibentuk pada mereka (reporter, audiens, dan „pihak ketiga‟ yang dirujuk atau diwawancarai) dalam keterlibatan di suatu program atau cerita (3) relasi apa yang dibentuk antara mereka yang
21
terlibat (mis. relasi reporter-audiens, pakar-audiens atau politisi-audiens). Dalam Language and Power, Fairclough(1989) membagi analisa wacananya dalam tiga dimensi : analisa deskripsi, interpretasi dan eksplanasi. Kerangka CDA communicative event Fairclough digambarkan sebagai berikut2
Proses Produksi
TEXT
Deskripsi (Analisis Teks)
Interpretasi (Analisis Proses) Proses Interpretasi
DISCOURSE PRACTICE
Eksplanasi (Analisis Sosial)
SOCIOCULTURAL PRACTICE (situasional; institusional, dan kemasyarakatan)
Dimensi Wacana
Dimensi Analisis Wacana
- Deskripsi merupakan tahap analisis yang terkait dengan properti formal teks. - Interpretasi terkait dengan hubungan antara interaksi yang memandang teks sebagai produk suatu proses produksi, dan sebagai sumber dalam suatu proses interpretasi. - Eksplanasi menganalisis hubungan antara interaksi dan konteks sosial yang terkait dengan determinasi sosial terhadap proses produksi dan interpretasi, dan efek sosialnya.3
2
Norman Fairclough, 1995. Critical Discourse Analysis: The Critical Study of Language. London: Longman. Hlm. 98 3 Norman Fairclough, 1989. Language and Power. London: Longman. Hlm. 26
22
1.8. Sistematika Penulisan Tesis Hasil penelitian ini akan disajikan dalam lima bab sebagai berikut : Bab I. Dalam bab ini dijelaskan latar belakang penelitian, rumusan masalah, batasan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, kerangka teori dan metodologi penelitian Bab II. Menjelaskan mengenai latar belakang chick lit, sejarah kemunculan fenomena dibalik munculnya novel chick lit. Kemudian akan dibahas mengenai kontekstualisasi chick lit di Indonesia dan akhirnya mengenai realitas perempuan urban di Indonesia dan melihat chicklit dalam wacana feminisme. Bab III. Menjelaskan mengenai novel-novel chick lit yang menjadi obyek dalam penelitian ini. Akan dinarasikan kembali ketiga novel yang akan dilihat bagaimana penokohan para perempuan ini dilakukan. Bab IV. Menjawab pertanyaan penelitian tesis ini dengan menganalisis wacana dalam ketiga novel chick lit yang menjadi obyek penelitian dengan analisis kritis Norman Fairclough. Bab V. Merupakan bagian penutup yang secara singkat memaparkan hasil penelitan berikut implikasi teoritisnya serta rekomendasi untuk penelitian selanjutnya.
23