BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah Dalam
kehidupan
sehari-hari
bidang
kegiatan
transportasi
atau
pengangkutan sangat penting dan tidak dapat dipisahkan dari aktifitas kehidupan masyarakat Indonesia. Mulai dari zaman kehidupan manusia yang paling sederhana (tradisional) sampai kepada taraf kehidupan manusia yang modern selalu didukung oleh kegiatan pengangkutan. Pentingnya transportasi bagi masyarakat Indonesia dilihat dari beberapa faktor antara lain, keadaan geografis Indonesia yang terdiri dari ribuan pulau, perairan yang terdiri dari sebagian besar laut, sungai dan danau yang bisa memungkinkan pengangkutan dilakukan melalui jalur darat, perairan, dan udara guna menjangkau seluruh wilayah Indonesia. 1 Pentingnya pengangkutan ditunjukan untuk membantu orang dan/atau barang berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Pengangkutan itu merupakan perpindahan tempat, baik mengenai benda-benda maupun orang-orang.2 Menurut Purwosutjipto pengangkutan adalah perjanjian timbal balik antara pengangkut dengan pengirim, dimana pengangkut mengikatkan diri untuk menyelenggarakan pengangkutan barang dan atau orang dari suatu tempat ke tempat tertentu dengan selamat, sedangkan 1
Abdulkadir Muhammad, 2000, Hukum Perdata Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, (selanjutnya disingkat Abdulkadir Muhammad I), hal.5. 2 Sution Usman Adji, 1991, Hukum Pengangkutan di Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta, hal.1.
1
pengirim mengikatkan diri dengan membayar uang angkutan. 3 Hal lain yang juga tidak kalah pentingnya akan kebutuhan alat transportasi adalah kebutuhan kenyamanan, keamanan, dan kelancaran pengangkutan yang menunjang pelaksanaan pengiriman barang, perdagangan, pariwisata maupun pendidikan. 4 Secara umum masyarakat yang menggunakan jasa pengangkutan dengan tujuan yang berbeda-beda membutuhkan sarana penunjang berupa angkutan pribadi maupun angkutan umum (paratransit dan masstransit). Angkutan umum paratransit adalah angkutan yang tidak memiliki jalur trayek dan jadwal yang tetap dalam beroperasi disepanjang trayeknya, sedangkan angkutan umum masstransit adalah angkutan yang memiliki jalur trayek dan jadwal yang tetap serta tempat pemberhentian yang jelas. Pada umumnya sebagian besar masyarakat sangat tergantung dengan angkutan umum bagi keperluan sehari-harinya karena sebagian besar masyarakat tingkat ekonominya masih tergolong rendah atau sebagian besar tidak memiliki kendaraan pribadi. Banyaknya masyarakat yang masih tergantung dengan angkutan umum ini tidak diimbangi dengan penyediaan angkutan umum yang memadai, terutama ditinjau dari kapasitas angkut. Akibatnya hampir semua angkutan umum yang tersedia terisi penuh oleh penumpang. Dalam hal ini menyebabkan para penumpang berusaha memilih alternatif angkutan umum lainnya yang dirasa lebih nyaman, efektif dan efisien meskipun dengan biaya yang cukup besar. 3
https://bagoesseto.wordpress.com/2012/06/22/sedikit-tulisan-mengenai-pengangkutankhususnya-pengangkutan-laut, Diakses pada tanggal 22 Nopember 2014. 4 Abdulkadir Muhammad I, op.cit, hal.7.
2
Hal tersebut menunjukkan arti pentingnya pengangkutan di Indonesia, sehingga pembangunan dan peningkatan kualitas pelayanan pengangkutan sangat diperlukan. Pembangunan yang baik dan berkualitas tidak hanya mengenai peningkatan mutu sarananya, tetapi juga harus menyangkut pembangunan aspek hukumnya. Pembangunan hukum tidak hanya menambah peraturan baru atau merubah peraturan lama dengan peraturan baru tetapi juga harus dapat memberikan kepastian dan perlindungan hukum bagi semua pihak yang terkait dengan pengguna jasa pengangkutan. Mengingat pentingnya peran lalu-lintas dan angkutan jalan bagi keperluan hidup orang banyak, maka pembangunan dan pengembangan sarana dan prasarana pengangkutan perlu di tata dan dikembangkan bagi kepentingan masyarakat umum sebagai pengguna jasa pengangkutan perlu mendapatkan prioritas dan pelayanan yang optimal, baik dari pemerintah maupun penyedia jasa pengangkutan. 5 Penyelenggaraan lalu-lintas dan angkutan jalan juga perlu dikembangkan dan terus ditingkatkan agar lebih luas jangkauan dan pelayanannya kepada masyarakat, dengan tetap memperhatikan kepentingan umum, kemampuan masyarakat, dan ketertiban masyarakat dalam penyelenggaraan lalu-lintas dan angkutan jalan sekaligus mewujudkan sistem transportasi nasional yang memadai.
5
Soegijatna Tjakranegara, 1995, Hukum Pengangkutan Barang dan Penumpang, Rineka Cipta, Jakarta, hal.21.
3
Pengangkutan di Indonesia diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (yang selanjutnya disingkat KUHPerdata) pada Buku Ketiga tentang Perikatan, kemudian dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (yang selanjtunya disingkat KUHDagang) pada Buku I titel ke V. Selain itu pemerintah telah mengeluarkan kebijakan di bidang transportasi darat yaitu dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (yang selanjutnya disingkat UU No. 22 Tahun 2009) sebagai pengganti UndangUndang Nomor 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (yang selanjutnya disingkat UU No. 14 Tahun 1992), serta Peraturan Pemerintah No. 41 Tahun 1993 tentang Angkutan Jalan yang masih tetap berlaku meskipun Peraturan Pemerintah tersebut merupakan peraturan pelaksanaan dari UU No. 14 tahun 1992 dikarenakan disebutkan dalam Pasal 324 UU No. 22 Tahun 2009 bahwa : Pada saat Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 ini mulai berlaku, semua peraturan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3480) dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum diganti dengan yang baru berdasarkan undang-undang ini. Diberlakukannya UU No. 22 Tahun 2009 diharapkan dapat mewujudkan kepastian hukum bagi pihak-pihak yang terkait dengan penyelenggaraan jasa angkutan jalan baik angkutan orang maupun angkutan barang, baik itu pengusaha angkutan, pekerja (sopir/pengemudi) serta penumpang.
4
Dalam penerapannya, operasional kegiatan penyelenggaraan pengangkutan khususnya pengangkutan orang dilakukan oleh pengemudi atau sopir angkutan dimana pengemudi merupakan pihak yang mengikatkan diri untuk menjalankan kegiatan pengangkutan atas perintah pengusaha angkutan atau pengangkut. Pengemudi dalam menjalankan tugasnya mempunyai tanggung jawab untuk dapat melaksanakan kewajibannya yaitu mengangkut penumpang sampai pada tempat tujuan yang telah disepakati dengan selamat, artinya dalam proses pemindahan dari satu tempat ke tempat tujuan dapat berlangsung tanpa halangan atau hambatan dan penumpang dalam keadaan sehat, tidak mengalami bahaya, luka, sakit maupun meninggal dunia. 6 Sehingga tujuan pengangkutan dapat terlaksana dengan baik dan lancar. Terkait dengan uraian diatas, khususnya angkutan umum dalam trayek (masstransit) secara normatif pengangkut dilarang menurunkan penumpang di sembarang tempat selain di tempat pemberhentian, hal ini termaktub dalam Pasal 126 huruf c UU No. 22 Tahun 2009 yang merumuskan “pengemudi kendaraan bermotor umum angkutan orang dilarang menurunkan penumpang selain di tempat pemberhentian dan/atau di tempat tujuan tanpa alasan yang patut dan mendesak.” Namun dalam kenyataannya, bertolak pada Pasal 126 huruf c UU No. 22 Tahun 2009, penumpang angkutan umum
dalam trayek (masstransit) banyak
melakukan pemberhentian di tempat yang tidak seharusnya dimana hal ini didasari 6
E Saefullah Wiradipradja, 1989, Tanggung Jawab Pengangkut Dalam Hukum Pengangkutan Udara Internasional Dan Nasional, Liberty, Yogyakarta, hal.20.
5
atas permintaan dari penumpang itu sendiri. Tindakan ini bisa saja mengakibatkan kerugian atau kecelakaan lalu lintas. Dalam kaitannya dengan uraian diatas, ketentuan lebih diatur dalam Pasal 192 ayat (1) UU No. 22 Tahun 2009 yang merumuskan “perusahaan angkutan umum bertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh penumpang yang meninggal dunia atau luka akibat penyelenggaraan angkutan, kecuali disebabkan oleh suatu kejadian yang tidak dapat dicegah atau dihindari atau karena kesalahan penumpang.” Di sisi lain, sebagaimana perumusan Pasal 192 ayat (1) UU No. 22 Tahun 2009 yang telah disebutkan di atas tidak dijelaskan secara definitif apa yang dimaksud dengan “kesalahan penumpang”. Dalam penjelasannya hanya dicantumkan frasa cukup jelas. Apakah frasa “kesalahan penumpang” sama bilamana dikaitkan dengan permintaan penumpang untuk turun di sembarang tempat. Merujuk pada rumusan pasal sebagaimana diuraikan di atas, terdapat kekaburan norma tentang apa dan bagaimana yang dimaksud dengan frasa “kesalahan penumpang” itu dengan pihak manakah yang harus bertanggung jawab bilamana terjadi kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan penumpang mengalami kerugian meninggal dunia atau luka akibat penyelenggaraan angkutan. Berdasarkan hal yang telah diuraikan di atas, maka penulis tertarik untuk mempelajari, memahami, dan meneliti secara lebih mendalam mengenai tanggung jawab pengangkut terhadap kecelakaan penumpang angkutan umum akibat kesalahan penumpang dan penulis menggunakan UU No. 22 Tahun 2009 sebagai pedoman.
6
Selanjutnya disusun dalam suatu penulisan hukum yang berjudul “Tanggung Jawab Pengangkut Terhadap Kecelakaan Penumpang Angkutan Umum Berdasarkan UU No. 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas Dan Angkutan Jalan”
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang pada uraian di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut. 1. Bagaimanakah bentuk pengaturan pengangkutan penumpang umum yang menurunkan penumpang tidak sesuai dengan ijin trayek? 2. Bagaimanakah tanggung jawab pengangkut dalam hal terjadi kecelakaan lalu lintas pada angkutan umum yang menurunkan penumpang di tempat yang tidak seharusnya akibat permintaan penumpang sendiri?
1.3 Ruang Lingkup Masalah Adapun ruang lingkup permasalahan yang akan dibahas dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut. 1. Pada permasalahan yang pertama mengenai bentuk pengaturan pengangkutan penumpang umum yang menurunkan penumpang tidak sesuai dengan ijin trayek.
7
2. Pada permasalahan kedua mengenai tanggung jawab pengangkut dalam hal terjadi kecelakaan lalu lintas pada angkutan umum yang menurunkan penumpang di tempat yang tidak seharusnya akibat permintaan penumpang sendiri.
1.4 Orisinalitas Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian yang dibuat berdasarkan ide yang timbul dari pemikiran sendiri yaitu dari hasil membaca beberapa literatur. Bahwa sebelumnya sudah terdapat penelitian yang sejenis yaitu. a. Penelitian yang dilakukan oleh Ginanjar Hutomo Bangun, pada tahun 2012 yang berjudul “Perlindungan Hukum Bagi Pengguna Jasa Angkutan Umum (Studi Pada Angkutan Umum Jurusan Jatingaleh – Unnes).” Adapun masalah yang diangkat adalah. 1. Faktor–faktor mengangkut
apa
yang
melatar
penumpang
melebihi
belakangi batas
angkutan
kapasitas
umum
maksimum
kendaraan? 2. Mengapa penumpang tetap menaiki angkutan umum walaupun dalam kondisi penuh?
8
b. Penelitian yang dilakukan oleh A.A Gede Ari Sasmita, pada tahun 2010 yang berjudul “Tanggung Jawab Pengangkut atas kerusakan Barang Dalam Pengangkutan Laut Berdasarkan The Hague Rules (THR).” Adapun masalah yang diangkat adalah. 1. Bagaimanakah kaitan The Hague Rules (THR) dan Kitab Undangundang Hukum Dagang (KUHD) dalam pengangkutan laut? 2. Bagaimanakah tanggung jawab pengangkutan dalam hal terjadinya kerusakan pada barang atau muatan yang diangkutnya berdasarkan The Hague Rules (THR) dan Kitab Undang-undang Hukum Dagang (KUHD)?
1.5 Tujuan Penelitian 1.5.1 Tujuan umum. 1. Untuk mengetahui bentuk pengaturan pengangkutan penumpang umum yang menurunkan penumpang tidak sesuai dengan ijin trayek. 2. Untuk mengetahui tanggung jawab pengangkut dalam hal terjadi kecelakaan lalu lintas pada angkutan umum yang menurunkan penumpang di tempat yang tidak seharusnya akibat permintaan penumpang sendiri.
9
1.5.2 Tujuan khusus. 1. Untuk memahami bagaimanakah bentuk pengaturan pengangkutan penumpang umum yang menurunkan penumpang tidak sesuai dengan ijin trayek. 2. Untuk memahami bagaimanakah tanggung jawab pengangkut dalam hal terjadi kecelakaan lalu lintas pada angkutan umum yang menurunkan penumpang di tempat yang tidak seharusnya akibat permintaan penumpang sendiri.
1.6 Manfaat Penelitian 1.6.1 Manfaat teoritis. Pembahasan terhadap masalah-masalah yang telah dirumuskan diharapkan dapat memberikan manfaat yang positif dan dapat dijadikan sebagai bahan referensi pelengkap dalam pengembangan ilmu hukum, khususnya hukum pengangkutan.
1.6.2 Manfaat praktis. Pembahasan terhadap permasalahan ini diharapkan dapat digunakan sebagai panduan untuk mengetahui tanggung jawab pengangkut terhadap penumpang angkutan umum apabila terjadi kecelakaan lalu lintas.
10
1.7 Landasan Teoritis Semakin majunya teknologi mengakibatkan semakin bertambahnya jumlah kendaraan, usaha jasa pengangkutan pun kini mulai berkembang, salah satunya adalah angkutan umum. Sehingga tidaklah mustahil semakin banyak terjadi faktor penyimpangan dalam pelaksanaannya. Tanggung jawab pengangkut berdasarkan Undang-undang No. 22 Tahun 2009, Pasal 192 ayat (1) merumuskan bahwa “perusahaan angkutan umum bertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh penumpang yang meninggal dunia atau luka akibat penyelenggaraan angkutan, kecuali disebabkan oleh suatu kejadian yang tidak dapat dicegah atau dihindari atau karena kesalahan penumpang.” Kewajiban utama pengangkut adalah menyelenggarakan pengangkutan. Kewajiban utama mengikat sejak penumpang melunasi biaya pengangkutan. Apabila penumpang mengalami kecelakaan ketika naik alat pengangkut atau selama diangkut, atau ketika turun dari alat pengangkut, pengangkut bertanggung jawab membayar kerugian yang timbul akibat kecelakaan yang terjadi. Pertanggung jawaban pengangkut terhadap kerugian penumpang yang meninggal dunia/luka akibat penyelenggaraan angkutan sebagaimana diuraikan di atas akan diulas mempergunakan teori, asas dan prinsip-prinsip hukum sebagai berikut, diantaranya. 1.7.1 Teori tanggung jawab hukum. Secara terminologi tanggung jawab hukum berasal dari kata tanggung dan hukum. “Tanggung jawab berarti keadaan wajib menanggung segala sesuatu (kalau 11
terjadi apa-apa boleh dituntut, dipersalahkan, diperkarakan dan sebagainya). Sedangkan hukum berarti peraturan atau adat yang secara resmi dianggap mengikat, yang dikukuhkan oleh penguasa, pemerintah atau otoritas”. 7 Apabila dirumuskan, maka teori tanggung jawab hukum berarti teori yang mengkaji dan menganalisis tentang kesediaan dari subyek hukum menanggung segala akibat dari perbuatannya baik karena kesengajaan maupun karena kealpaan. Berkenaan dengan uraian di atas, “Hans Kelsen mengemukakan sebuah teori yang ia sebut dengan teori tradisional, dimana dalam teori ini tanggung jawab dibedakan menjdi 2 macam, yaitu : (a) tanggung jawab yang didasarkan kesalahan; dan (b) tanggung jawab mutlak”. 8 Tanggung jawab yang didasarkan pada kesalahan baik karena kesengajaan maupun kealpaan merupakan suatu tanggung jawab yang dibebankan kepada subyek hukum atau pelaku yang melakukan perbuatan yang dinilai melanggar hukum. Sedangkan tanggung jawab mutlak, bahwa perbuatannya menimbulkan akibat yang dianggap merugikan oleh pembuat undang-undang dan ada suatu hubungan eksternal antara perbuatannya dengan akibatnya. Tiadanya keadaan jiwa si pelaku dengan akibat perbuatannya. 9 Dikaitan dengan tanggung jawab pengangkut terhadap penumpang angkutan umum, bahwa pengangkut bertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh 7
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1995, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, hal.1006 dan 359. 8 H.Salim HS dan Erlis septiana Nurbani, 2014, Penerapan Teori Hukum pada Penelitian Disertasi dan Tesis, Cet.I, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal.211. 9 Ibid, hal.212.
12
penumpang yang meninggal dunia atau luka akibat penyelenggaraan angkutan, kecuali disebabkan oleh suatu kejadian yang tidak dapat dicegah atau dihindari atau karena kesalahan penumpang. Dalam hal ini tanggung jawab pengangkut dirumuskan dalam UU No. 22 Tahun 2009 Pasal 192 ayat (1). 1.7.2 Asas pacta sunt servanda Asas ini disebut juga asas kepastian hukum yang berhubungan dengan akibat perjanjian. Asas ini merupakan asas yang memberi arti bahwa pihak lain harus menghormati substansi kontrak yang dibuat kedua belah pihak layaknya sebuah undang-undang. Pada dasarnya perjanjian itu mengikat (pacta suunt servanda) sehingga perlu diberikan kekuatan untuk berlakunya. Untuk memberikan kekuatan daya berlaku atau daya mengikat kontrak, maka kontrak yang dibuat secara sah mengikat serta dikualifikasikan mempunyai kekuatan mengikat setara dengan daya berlaku dan mengikatnya undang-undang. 10 Pelanggaran suatu kontrak dapat dipersamakan dengan pelanggaraan terhadap suatu undang-undang, baik itu karena kesalahan atau kelalaian yang akan menimbulkan tanggung jawab yuridis bagi si pelangggar, dikaitkan dengan permasalahan dalam skripsi ini kerugian yang diderita oleh penumpang yang meninggal atau luka akibat penyelenggaraan yang disebabkan oleh pengangkut, yang akan melahirkan tuntutan ganti rugi terhadap pengangkut itu sendiri. 10
Agus Yudha Hernoko, 2011, Hukum Perjanjian (Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersial), Kencana Prenada Media Group, Jakarta, hal.123.
13
Hukum pengangkutan mengenal tiga prinsip tanggung jawab, yaitu tanggung jawab karena praduga bersalah (presumption of liability), tanggung jawab karena kesalahan (fault liability), tanggung jawab mutlak (absolute liability). Hukum pengangkutan Indonesia umumnya menganut prinsip tanggung jawab karena kesalahan dan praduga bersalah. 1.7.3 Tanggung jawab praduga bersalah (presumption of liability) Pada prinsipnya tanggung jawab ini menekankan bahwa pengangkut dianggap selalu bertanggung jawab. Menurut prinsip ini, pengangkut dianggap selalu bertanggung jawab atas setiap kerugian yang timbul pada pengangkutan yang diselenggarakannya, tetapi jika pengangkut dapat membuktikan bahwa kerugian timbul diluar kesalahannya maka ia dibebaskan dari tanggung jawab membayar kerugian tersebut. 11 1.7.4 Tanggung jawab atas dasar kesalahan (fault liability) Menurut prinsip ini, setiap pengangkut yang melakukan kesalahan dalam penyelenggaraan pengangkutan harus bertanggung jawab membayar segala kerugian yang timbul akibat kecelakaan tersebut. Pihak yang menderita kerugian wajib membuktikan kesalahan pengangkut. 12
11
Gunawan Widjaja, 1989, Prinsip-prinsip Tanggung Jawab Pengangkutan, Rajawali, Jakarta, hal.45. 12 Ibid, hal.47.
14
1.7.5 Tanggung jawab pengangkut mutlak (absolute liability) Prinsip ini menitik beratkan pada penyebab kesalahannya. Bahwa pengangkut harus bertanggung jawab atas kerugian yang timbul dalam pengangkutan yang diselenggarakannya tanpa keharusan pembuktian ada tidaknya kesalahan pengangkut. 13 Pengangkutan adalah perjanjian timbal balik antara pengangkut dengan pengirim
dimana
pengangkut
mengikatkan
diri
untuk
menyelenggarakan
pengangkutan orang dan/atau barang dari suatu tempat ke tempat tujuan tertentu dengan selamat, sedangkan pengirim mengikatkan diri untuk membayar uang angkutan. 14 Pihak pengangkut adalah pihak-pihak yang melakukan pengangkutan terhadap orang dan/atau barang yang mengikatkan diri untuk menyelenggarakan pengangkutan baik dengan cara charter menurut waktu maupun menurut perjalanan. 15
1.8 Metode Penelitian 1.8.1 Jenis penelitian. Jenis penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode penelitian normatif, yakni menggunakan data sekunder yang berupa peraturan perundangundangan dan bahan hukum yang berhubungan dengan penulisan ini. 13
Ibid. H. M. N. Purwosutjipto, 2008, Pengantar Pokok Hukum Dagang Indonesia 3: Hukum Pengangkutan, Djambatan, Jakarta, hal.1. 15 Hasim Purba, 2005, Hukum Pengangkutan di Laut, Pustaka Bangsa Prees, Medan, hal.135. 14
15
1.8.2 Jenis pendekatan. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian skripsi ini adalah pendekatan peraturan perundang-undangan (Statute Approach) dan pendekatan analisis konsep hukum (Analitical & Conceptual Approach) yang relevan dengan permasalahan penelitian.
1.8.3 Sumber bahan hukum. Dalam penulisan skripsi ini sumber bahan hukum yang digunakan, yaitu. a. Bahan hukum primer Bahan hukum yang mengikat dalam penelitian ini adalah ketentuan-ketentuan
dalam
peraturan
perundang-undangan
yang
mempunyai kekuatan hukum yang mengikat seperti KUHPerdata, KUHDagang, UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan . b. Bahan hukum sekunder Bahan hukum sekunder merupakan bahan hukum yang bersifat membantu atau menunjang bahan hukum primer dimana pada akhirnya memperkuat penjelasan dan penelitian ini, yang diantaranya : literaturliteratur, karya tulis dalam bidang hukum dan bahan hukum tertulis lainnya yang terkait.
16
c. Sumber bahan hukum tersier Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum yang dapat membantu dan menunjang bahan hukum primer dan sekunder, diantaranya terdiri dari kamus hukum dan tulisan-tulisan yang diakses melalui internet yang tentunya masih relevan dan berkaitan dengan permasalahan yang diteliti dalam penulisan ini.
1.8.4 Teknik pengumpulan bahan hukum. Teknik pengumpulan bahan hukum dilakukan dengan sistem bola salju (snow ball system) dimana hal ini diawali dengan pencarian literatur, dari satu literatur dengan merujuk pada daftar pustaka untuk kemudian dicatat dan dilakukan pencarian literatur lainnya sesuai dengan permasalahan yang di teliti. Demikian untuk seterusnya sehingga bahan hukum telah dirasa cukup untuk membahas permasalahan.
1.8.5 Teknik pengolahan dan analisis bahan hukum. Dalam penelitian ini, teknik analisis bahan hukum yang dipergunakan adalah teknik deskripsi. Analisis dilakukan dengan memaparkan isi hukum dengan menguraikannya secara lengkap dan jelas untuk selanjutnya dilakukan
17
pengklasifikasian terhadap bahan-bahan hukum tertulis melalui proses analisis dan dikaitkan dengan teori, konsep serta doktrin para sarjana. 16 Selanjutnya, dilakukan penafsiran sistematis dan gramatikal. Penafsiran sistematis dilakukan dengan titik tolak dari suatu konsep atau aturan hukum dan mengaitkannya dengan konsep atau aturan hukum lainnya. Sedangkan penafsiran secara gramatikal dilakukan dengan mencari arti/esensi dari suatu substansi aturan secara keseluruhan atau bagian-bagiannya per kalimat menurut bahasa hukum ataupun bahasa keseharian.
16
I Wayan Ananda Yadnya Putra, 2013, “Kewenangan Notaris dalam Membuat Akta Risalah Lelang”, Tesis Program Pascasarjana Universitas Udayana, Denpasar, hal.16.
18