BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Dalam kehidupan, manusia selalu bersinggungan dengan keindahan-keindahan dalam hidup, baik yang nyata terlihat maupun secara abstrak. Salah satu keindahan itu adalah karya-karya sastra yang lahir sebagai bentuk seni dan keindahan yang keluar dari dalam alam pikiran manusia. Banyak pemikir-pemikir yang mendefinisikan sastra dan karya sastra, salah satunya menyebutkan bahwa “Sastra adalah suatu kegiatan kreatif, sebuah karya seni”. (Wellek&Warren,1988:3) Seiring dengan perkembangan sastra di dunia barat, di benua Asia pun terjadi perkembangan sastra. Khususnya di Jepang, banyak sastrawan-sastrawan berbakat yang muncul dan mempersembahkan karya yang masih diperbincangkan hingga kini. Perkembangan
Kesusastraan
Jepang itu sendiri dibagi menjadi 5 masa, pertama,
kesusastraan di Jepang sudah mulai muncul dari jaman Joodai sekitar abad IV, dimulai dengan Kesusastraan yang disampaikan secara lisan yang disebut Kooshoo Bungaku. Kemudian muncul Kesusastraan tertulis seperti Shinwa, Densetsu, Setsuwa, dan lainnya, kedua adalah Kesusastraan Jaman Heian, ketiga adalah kesusastraan abad pertengahan. keempat adalah Kesusastraan Jaman Pramodern. Yang terakhir adalah Kesusastraan Jaman Modern. (Asoo,1983:1) Secara khusus penelitian akan dilakukan pada Kesusastraan yang ada pada Jaman Modern.
1
Kesusastraan Jaman Modern dimulai sejak Restorasi Meiji dilakukan. Kesusastraan jaman itu banyak menerima pengaruh dan dorongan dari kebudayaan Barat. Perkembangan seperti ini bukan berarti putus hubungan sama sekali dengan peninggalan kesusastraan tradisional, tetapi memiliki ciri yang berbeda dengan sastra Jaman Pramodern. Kesusastraan Modern di Jepang mencerminkan manusia yang hidup dalam masyarakat modern yang cenderung mempunyai sifat borjuis yang menganut paham liberal dan demokrasi. Sastrawan jaman ini dibagi menjadi bebarapa kelompok; yaitu Sastrawan periode Jaman Pencerahan, Sastrawan aliran Realisme, Sastrawan aliran Pseudoklasik, Sastrawan aliran Romantisme, dan Sastrawan aliran Naturalisme yang dibagi dalam tiga periodenya masing-masing. Fokus penelitian saya adalah salah satu karya sastra dari sastrawan yang lahir pada Periode Akhir, yaitu Sembazuru karya Kawabata Yasunari yang merupakan sastrawan aliran seni Sastra Modern Kesusastraan Neosensualis. Menurut Asoo (1983:224) dalam novelnya, Kawabata banyak menuangkan perasaan anak yatim yang dialaminya sendiri. Ia kaya dalam lirik dan di dalam kemurnian lirik tersebut mengalir alam tak berperasaan dan kenihilan dan ia juga mempunyai keahlian dalam melukiskan seorang gadis. Begitu juga Sembazuru karangan Kawabata Yasunari yang memiliki latar belakang kehidupan yang sangat tragis dan menyedihkan. Latar belakang kehidupan Kawabata Yasunari yang telah kehilangan orang-orang terdekatnya dalam waktu bersamaan telah membentuk karakter Kawabata yang secara langsung maupun tidak langsung tercermin dalam tiap kalimat yang teruntai dalam Sembazuru. Seperti dalam Sembazuru, walaupun sudah banyak diterjemahkan tetapi kekhasan seorang Kawabata Yasunari tetap terlihat dalam karya istimewa ini.
2
Novel Sembazuru memiliki isi cerita yang sangat menarik, karena di dalamnya mengisahkan mengenai kisah cinta yang unik dan juga menarik. Selain kisah cinta, ada hal lain yang membuat saya tertarik untuk menganalisis novel ini yaitu mengenai pria Jepang yang sudah beristri yang memiliki seorang bahkan beberapa gundik/selir, khususnya dalam novel ini. Saya sangat tertarik mengenai sosok gundik/selir yang muncul dalam novel Sembazuru karena begitu uniknya dan tragisnya kehidupan gundik/selir dalam novel ini. Menurut Joseph (1994:38-41) wanita Jepang memang sudah tidak berjalan 3 langkah dibelakang suaminya, tetapi mereka tetap harus menghadapi dan bersabar terhadap suami yang pulang malam sehabis minum-minum, dan itu tetap saja merupakan suatu ketimpangan. Tidak ada negara berkembang lain yang memiliki jumlah anggota parlemen wanita serendah jumlah tersebut di Jepang, karena Perdana Menteri Jepang terdahulu mengatakan bahwa kampanye politik terlalu berat secara fisik bagi wanita, hal ini yang membuat wanita 60 tahunan berpaling dari dunia pilitik dan kemudian bekerja di sawah, berdiri menggunakan lututnya dan menanam padi, walaupun dalam legenda Shinto muncul nama Amaterasu Omikami, sesosok Dewi Matahari yang dipercaya sebagai nenek moyang Kaisar-Kaisar Jepang, dan juga muncul pengarang The Tale of Genji, Murasaki Shikibu pada awal abad ke-11. Setelah itu wanita Jepang terus menerus menundukkan kepala mereka (1994:38-41). Pharr & Lo (1993:1704) menulis bahwa dalam undang-undang sipil (civil code) tahun 1898 tertulis hak-hak wanita yang sangat rendah, diantaranya ialah wanita dilarang untuk mengepalai sebuah rumah tangga atau memiliki properti dan memiliki sedikit kesempatan untuk meminta cerai. Berbeda dengan pria, ketika ia memiliki seorang anak dari wanita lain selain istrinya, pria tersebut dapat
3
mengadopsi anak tersebut dan memberikan nama keluarganya. Pharr & Lo (1993:1704) juga menulis bahwa wanita dibedakan dari para pria dengan keharusan mereka menggunakan kata-kata sopan kepada pria, menunduk lebih dalam daripada pria, dan berjalan di belakang suami mereka ketika berada di depan umum. Hal ini adalah salah satu contoh bagaimana kedudukan wanita Jepang. Menurut Andrew (1983:259) dalam Kodansha encyclopedy Japan, berdasarkan buku Onna Daigaku yang terbit pada abad ke-18, perselingkuhan yang dilakukan oleh seorang wanita dapat dikenakan hukuman mati, sedangkan untuk pria yang kaya diijinkan untuk memiliki gundik/selir baik di dalam maupun di luar rumah mereka. Ditambahkan pula bahwa status yang cukup tinggi dari istri kedua seperti selir/gundik yang telah disebut di atas, atau dengan kata lain mistresses (mekake), mengalami penurunan sampai hampir sederajad dengan pembantu (servant). Salah satu dampak dari kedudukan wanita yang rendah seperti yang telah disebutkan di atas memunculkan konsep baru dalam kehidupan kaum pria, yaitu dengan kepemilikan gundik/selir. Menurut Joseph (1994:41), kepemilikan gundik/selir telah menjadi institusi sosial di Jepang yang nyaris tidak nampak, hal ini selalu menjadi lambang kesuksesan dan kemampuan superior seorang pria ketika ia mampu membiayai dua keluarga bahkan dua keluarga yang berkembang. Kepemilikan gundik/selir menurut Dore (1958:160) adalah sebuah hubungan pibadi antara seorang pria dan wanita, dan merupakan perlawanan terhadap prinsip sempurna dari monogami. Hubungan seperti ini tidak bisa mendapatkan pengakuan dan status dari gundik/selir juga merupakan status yang tidak dapat diakui sebagai status resmi.
4
Sebagai bahan penelitian, penulis membaca 3 versi novel Sembazuru, yaitu dalam bahasa Jepang, Inggris, dan bahasa Indonesia. Dalam novel Sembazuru versi bahasa Jepang, muncul kata 夫の女 atau otto no onna yang diterjemahkan ke dalam Sembazuru versi bahasa Inggris menjadi (my) father’s woman/concubine kemudian dalam novel versi bahasa Indonesia gundik atau selir, sama dengan arti dari mistresses yang berarti gundik/kekasih. Menurut Fujimura (1995:188) adalah dapat diterima dan bahkan perlu bagi seorang pria untuk memiliki gundik/selir untuk memastikan kesuksesannya. Pemerintah Meiji bahkan secara resmi mengakui sistem kepemilikan gundik/selir ini, yang pada tahun 1879 dibuat ketetapan baru yang mengakui baik istri maupun gundik/selir sebagai famili (relatives) tingkat dua yang sah dari suami. Pada tahun 1882, dengan diberlakukannya Old Criminal Law, gundik/selir kehilangan status mereka. Undang-undang Sipil Meiji juga secara legal mengadopsi monogami, tetapi pada praktek sosialnya, istri kesekian (termasuk gundik/selir) tetap dapat diterima. Dalam Sembazuru terdapat hal mengenai keberadaan gundik/selir yang membuat penulis sangat tertarik untuk membahas mengenai hal tersebut. Penulis ingin mengetahui pandangan para tokoh mengenai keberadaan gundik/selir.
5
Kawabata Yasunari (1899-1972) Kawabata Yasunari adalah seorang putra dari seorang fisikawan yang tertarik kepada literatur dan seni. Kawabata lahir pada tahun 1899 di Osaka. Walaupun orangtuanya tertarik kepada seni dan literatur, tetapi mereka tidak memegang peranan dalam pembentukan darah seni Kawabata. Kedua orangtua Kawabata meninggal secara tragis sebelum Kawabata menginjak usia 4 tahun. Neneknya meninggal ketika usianya 7 tahun kemudian disusul dengan kematian kakak perempuannya 2 tahun kemudian. Pada tahuntahun pertama setelah kematian orangtuanya, yaitu pada usia 14 tahun, ia dibesarkan di pedesaan oleh kakek dari pihak ibunya yang mengharuskannya mengurus kakeknya tersebut yang mengalami berbagai macam penyakit. Kematian dari sanak saudaranya yang terus menerus telah menghantui pikiran Kawabata dan hal ini membuatnya ketakutan selama ia hidup, walaupun Kawabata menolak anggapan seperti ini. Ia lebih suka berpikir bahwa ia telah berhasil melewati saat-saat terburuk dalam hidupnya, bahkan ia mengklaim bahwa ia telah sampai kepada kedewasaan emosi ketika akhirnya kakeknya meninggal. (Lewell, 1992:150-161)
6
Kawabata bersekolah di Japanese Public School dari tahun 1920 sampai tahun 1924. Kemudian Kawabata melanjutkan studinya di Tokyo Imperial University, dimana ia mendapatkan gelar sarjananya. Ia adalah salah seorang penemu dari koran Bungei Jidai, yaitu salah satu karya dari pergerakan literatur Jepang Modern. Debut pertamanya sebagai seorang penulis yaitu dengan diterbitkannya cerita pendek Izu Dancer pada tahun 1927. Setelah beberapa karyanya yang cukup terkenal, novel Snow Country (Yuki Guni) yang terbit tahun 1937 telah membuat Kawabata dinobatkan sebagai salah satu pengarang Jepang yang tersohor. Ia menjadi anggota dari Akademi Seni Jepang pada tahun 1953 dan empat tahun kemudian ia ditunjuk sebagai ketua dari Jepang P.E.N Club. Tahun 1959, Kawabata menerima The Goeth-Medal di Frankfurt, Jerman. Dari seluruh prestasi yang telah diraih oleh Kawabata Yasunari, tidak bisa menyembunyikan fakta bahwa ia adalah seorang yang kesepian. Banyak waktu ia menulis jauh dari rumah dan hanya menginap di penginapan-penginapan . Walaupun ia menikah secara tidak sah dan mengangkat seorang putri pada tahun 1943 dan memiliki banyak teman, udara kesunyian selalu mengikutinya. Ia sangat terguncang ketika mengetahui bahwa Mishima Yukio meninggal dengan cara bunuh diri pada tahun 1970 dan walaupun ia pernah berkata bahwa ia bukanlah pengagum kasus bunuh diri ataupun simpati kepada hal-hal semacam itu, ia juga dinyatakan meninggal secara bunuh diri karena
menghirup
gas
pada
16
April
1972.
(nobelprize.org/literature/laureates/1968/kawabata-bio.html) Menurut Lewell (1992), Kawabata Yasunari adalah seorang novelis yang bukubukunya banyak dipajang di toko buku Barat. Kawabata sangat menikmati reputasinya sebagai perwakilan dari penulis aliran modern Jepang. Bahkan ketika sudah
7
diterjemahkanpun, karya Kawabata Yasunari masih tetap bisa dikenali secara langsung. Kesederhanaan tulisannya adalah gabungan baik dari emosi yang dalam dan arti yang sangat rumit. Sementara tekstur luar biasa dari prosanya adalah sumber dari keindahan estetika yang unik bagi yang bisa menemukannya. Berdasarkan
http://www.kirjasto.sci.fi/kawabata.htm,
Kawabata
Yasunari
adalah
penulis Jepang pertama yang mendapatkan Penghargaan Nobel untuk Literatur pada tahun 1968. Banyak dari buku-buku karya Kawabata menelusuri secara melankolik tentang penempatan seks dalam budaya, dan dalam kehidupan manusia. Karyanya adalah gabungan dari keindahan Jepang. Kawabata menggabungkan estetika Jepang dengan psikologi naratif dan erotis. Menurut pemandangan Richie (1987:1-4) dalam bukunya yang berjudul Geisha, Gangster, Neighbor, Nun Scenes from Japanese Lives menuliskan pengalamannya ketika bertemu dengan Kawabata di Menara Asakusa pada Januari 1947. Menurutnya Kawabata Yasunari adalah seorang yang lembut, memiliki profil seperti burung, dengan matanya seperti Avian yang cekatan. Kebaikan dan kesabarannya, selapis aura kesedihan terpancar dari pribadinya. Setelah mengenal karya-karya Kawabata, makin jelas tergambar melalui karya-karyanya tersebut bahwa Kawabata adalah seorang yang pendiam tetapi berjaga-jaga, tahu persis apa itu emosi tetapi tidak ikut serta di dalamnya. Ia juga seorang yang cekatan dan tahu segala sesuatunya tentang kesedihan, mengingat banyak sekali kematian orang-orang terdekatnya dalam waktu yang tidak terlampau jauh, tetapi ia tidak mendramatisirkan hal itu.
8
1.2 Rumusan Permasalahan Penulis akan menganalisis pandangan tokoh-tokoh dalam novel Sembazuru mengenai keberadaan gundik/selir untuk ditarik kesimpulan dari pandangan para tokoh-tokoh tersebut mengenai gundik/selir.
1.3 Ruang Lingkup Permasalahan Banyaknya karya sastra karangan Kawabata Yasunari membuat penulis harus membatasi ruang lingkup penelitian. Penulis hanya akan menganalisis pandangan para tokoh mengenai keberadaan gundik/selir di Jepang dalam satu karya novelnya saja yang berjudul Sembazuru. Tokoh yang akan dianalisis pandangannya adalah Kikuji, Ibu Kikuji, Tuan Mitani, Nyonya Ota, Chikako, dan Fumiko.
1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan dari penelitian yang penulis lakukan adalah sebagai wanita, penulis ingin mengetahui pandangan para tokoh dalam novel Sembazuru mengenai keberadaan gundik/selir, menerima atau tidak, karena hal tersebut sangat menarik untuk diperbincangkan. Manfaat dari penelitian ini adalah selain ingin menambah pengetahuan mengenai keberadaan gundik/selir di jepang dilihat dari novel Sembazuru ini, penulis juga berharap agar karya-karya sastra Jepang lebih dikenal lagi oleh para mahasiswa, khususnya mahasiswa jurusan Sastra Jepang, karena karya sastra Jepang sangat menarik untuk dibaca dan diteliti.
9
1.5 Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan adalah metode kepustakaan deskriptif analisis. Penulis akan menggunakan sumber-sumber tertulis yang dapat dipergunakan dalam penelitian ini. Sumber-sumber tertulis itu mencakup buku-buku referensi, internet dan lain sebagainya. Analisa ini akan dilakukan dengan menggunakan teori : 1. Teori Sastra 2. Teori Penokohan 3. Konsep Masyarakat Jepang pada tahun 1949 4. Konsep Gundik menurut Ueda Makoto 5. Konsep Wanita Jepang menurut Fukuzawa Yukichi 6. Konsep Satu Suami Dengan Banyak Istri Menurut Yasutaka Teruoka 7. Teori Keluarga Jepang Menurut Aoi Kazuo
1.6 Sistematika Penelitian Berikut ini adalah susunan skripsi yang akan saya tulis : BAB 1 : PENDAHULUAN Pada Bab ini penulis akan menulis mengenai penelitian yang akan diteliti secara singkat, sehingga memudahkan pembaca untuk mengetahui apa saja yang termuat dalam Bab-bab selanjutnya. 1.1 Latar Balakang 1.2 Rumusan Permasalahan 1.3 Ruang Lingkup Permasalahan
10
1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.5 Metode Penelitian 1.6 Sistematika Penulisan BAB 2 : LANDASAN TEORI Pada Bab ini memuat landasan teori yang akan dihubungkan dengan novel yang akan dibahas. 2.1 Teori Sastra 2.2 Teori Penokohan 2.3 Konsep Masyarakat Jepang pada tahun 1949 2.4 Konsep Gundik menurut Ueda Makoto 2.5 Konsep Wanita Jepang menurut Fukuzawa Yukichi 2.6 Konsep Satu Suami Dengan Banyak Istri Menurut Yasutaka Teruoka 2.7 Teori Keluarga Jepang Menurut Aoi Kazuo BAB 3 : ANALISIS DATA Pada Bab ini ada beberapa memuat tentang analisis pandangan tokoh-tokoh mengenai keberadaan gundik/selir dalam novel Sembazuru berdasarkan teori-teori yang berhubungan. Berikut adalah susunan dari analisis pada Bab 3 : 3.1. Analisis Pandangan Para Tokoh Terhadap Keberadaan Gundik/Selir 3.1.1 Analisis Pandangan Tokoh Kikuji Terhadap Keberadaan Gundik/Selir 3.1.2 Analisis Pandangan Tokoh Ibu Kikuji Terhadap Keberadaan Gundik/Selir 3.1.3 Analisis Pandangan Tuan Mitani Terhadap Keberadaan Gundik/Selir 3.1.4 Analisis Pandangan Tokoh Nyonya Ota Terhadap Keberadaan Gundik/Selir 3.1.5 Analisis Pandangan Tokoh Chikako Terhadap Keberadaan Gundik/Selir
11
3.1.6 Analisis Pandangan Tokoh Fumiko Terhadap Gundik/Selir BAB 4 : KESIMPULAN DAN SARAN Pada Bab ini memuat simpulan yang merupakan jawaban dari keingintahuan penulis mengenai
keberadaan
gundik/selir
dalam
novel
Sembazuru
setelah
dianalisis
menggunakan teori-teori yang berhubungan. Penulis juga berusaha memberikan saran dari kesimpulan yang telah didapat. BAB 5 : RINGKASAN Pada Bab ini akan tertulis rangkuman dari isi skripsi penulis yang ditulis secara singkat dan jelas.
12