BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam kehidupan sehari hari, manusia selalu mengadakan bermacammacam aktivitas. Salah satu aktivitas itu diwujudkan dalam gerakan yang dinamakan keija (As'ad, 1991: 46). Sedangkan bekeija adalah segala aktivitas dinamis dan mempunyai tujuan untuk memenuhi kebutuhan tertentu (jasmani dan rohani) dan di dalam mencapai tujuannya tersebut seseorang berupaya dengan penuh kesungguhan untuk mewujudkan prestasi yang optimal sebagai bukti pengabdian dirinya. Dengan kata lain, seseorang bekeija karena dia berharap bahwa hal ini akan membawa pada keadaan yang lebih memuaskan dari pada keadaan sekarang (Wakeley dalam Tasmara, 2002). As'ad (1991:47) berpendapat bahwa orang bekeija, tidak saja untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya, tetapi juga bertujuan untuk mencapai taraf hid up yang lebih baik, sehingga dapat diartikan bahwa orang bekeija hanya bertujuan untuk mendapatkan imbalan basil kerjanya. Keberhasilan untuk memenuhi tujuan ini ditentukan oleh peluang keija dan strategi menghadapi berbagai permasalahan di tempat kerja. Era globalisasi sekarang ini memberikan kesempatan keija yang sangat luas, namun tak jarang tuntutan standar profesional belurn dapat terpenuhi. Proses rekrutmen tenaga keija seringkali masih berdasarkan pada pemenuhan syaratsyarat administratif sehingga tenaga kerja lebih cenderung dalam kondisi siap dilatih dari pada siap untuk bekeija. Hal ini tentu mempengaruhi sikap dan perilaku keija seseorang, padahal bagaimanapun
1
Jatar belakang pendidikan
2
seseorang yang berada di dunia kerja, profesionalisme tetap menjadi tuntutan. Memenuhi standar profesi berarti telah memenuhi standar kompetensi dan karakter tuntutan kerja. Persoalan kompetensi yang barns terpenuhi harus diiringi oleh daya juang atau tahan banting dan semangat kerja, yang akhimya akan menentukan kinerja individu. Tuntutan sikap profesional dalam dunia kerja juga merupakan suatu proses seleksi bagi pekerja untuk tetap bisa mempertahankan pekerjaan yang tengah dijalaninya. Pengambil
kebijakan
dalam
peningkatan
sumber
daya,
selalu
mempertimbangkan potensi personal untuk meningkatkan kinerja individu. Kinerja individu akan mendukung kinerja lembaga yang dampaknya akan terlihat pada prestasi dan kemajuan lembaga atau perusahaan. Potensi inilah yang akan diolah menjadi energi untuk menyumbangkan target yang dicanangkan oleh lembaga. Potensi personal sangat beragam, dari mulai kemampuan intelektual atau kognisi yang sering dinotasikan sebagai tingkat Jntelegence Quotient (IQ), sikap kerja, emosi, dan hubungan sosial sering dinotasikan sebagai tingkat Emotional Quotient (EQ), sampai dengan kemampuan psikologis-spiritual, antara lain sikap
kerja, emosi, dan hubungan sosial sering dinotasikan sebagai tingkat Emotional Spiritual Quotient (ESQ).
Unsur kognitif mencakup kreatifitas, inisiatif, kesanggupan berprestasi, dan kemampuan pengambilan keputusan. Kognitif adalah kemampuan akademis, yang bersifat pengetahuan, pemahaman, penerapan, analisis, sintesis dan evaluasi (Winkel, 1991 :88). Unsur sikap kerja mencakup tanggung Jawab, dan kejujuran. Sedangkan unsur emosi meliputi kestabilan emosi, dan empati serta kepribadian tangguh, atau
3
suatu konstelasi kepribadian yang menguntungkan individu untuk dapat menghadapi tekanan-tekanan dalam hidupnya. Kepnbadian tangguh juga merupakan kepribadian yang dapat menyesuaikan dirinya terhadap tuntutan secara tepat dan efektif. Kesirnpulannya kepribadian tangguh adalah tidak mudah melarikan diri dari dan menarik diri dari tanggung Jawab (Handayani, 2005). Unsur hubungan sosial mencakup antara lain penyesuaian diri, kerja sama, kemandirian, kepemimpinan. Hal tersebut sangat membantu individu dalam menghadapi pennasalahan di tempat kerja. Tidak adanya kemampuan memahami kerja dan sikap mengambil keputusan yang kurang cepat dan kurang bijak akan menambah tingkat depresi yang lebih tinggi. Belum lagi masalah informasi yang membanjir. Jika kurang dapat dirnanfaatkan atau tidak dijadikan referensi, dapat menghambat dalam pengambilan keputusan. Sementara itu, banyak diantara orang yang mempunyai tingkat kecerdasan kognitif tinggi, yang tidak berhasil memecahkan pennasalahan di dalam dunia kerja yang kompleks, tetapi perlu adanya sisi cerdas lain dari karyawan tersebut. Semua pasti mengenal orang yang mempunyai otak cemerlang tetapi kontribusinya kurang dibandingkan dengan orang lain yang intelektualnya lebih rendah. Daniel Goleman (2002:5) mempertanyakan mengapa beberapa orang yang ber IQ tinggi mengalami kegagalan, sementara banyak yang lainnya dengan IQ yang lebih rendah bisa berkembang pesat. Gagasan barn tentang kecerdasan tersebut dikenal sebagai Emotional Quotient (EQ). EQ berorientasi pada kecerdasan mengelolah emosi manusia, namun seperti halnya IQ, tidak setiap
4
orang mampu memanfaatkan EQ dan potensi sepenuhnya, meskipun kecakapan yang berharga tersebut dimilikinya. Sejumlah orang memiliki IQ tinggi berikut segala aspek kecerdasan emosional, namun tragisnya ada yang gagal menunjukkan kemampuannya. Karena EQ tidak mempunyai tolok ukur yang sah dan metode yang jelas untuk mempelajarinya, karena tetap sulit dipahami, dengan demikian bukan IQ atau pun EQ yang menentukan suksesnya seseorang (Stoltz, 2005:45). Perkembangan teori yang membahas tentang penentu sukses tidaknya seseorang dalam menghadapi dunia keija, kemudian muncul kerangka berpikir yang disebut Adversity Quotient (AQ) atau sering disebut kecerdasan adversity. AQ diperkenalkan oleh Stoltz (2005:102) sebagai faktor penentu kesuksesan seseorang dalam menghadapi tantangan dalam pemasalahan hidup yang dihadapi. Salah satu kajian menarik adalah saat membedakan 3 jenis manusia dilihat dari ketahanan dan kemampuannya dalam mengatasi kesulitan atau tantangan yakni,
climbers, campers dan quiters. Brown dalam (Stoltz, 2005) menjelaskan, bahwa setiap orang akan mengalami kesulitan dalam dua puluh empat jam dengan dua puluh empat kesulitan. Jika seseorang mempunyai daya juang tinggi atau tahan banting (adversitas), tentu segala stres dapat dihadapi dengan bijak dan dapat mengalami masa stres dengan lebih damai dan sukses. Maxwell (dalam Stoltz, 2005:45-69) mengungkapkan bahwa perbedaan antara orang yang berprestasi biasa dengan orang yang berprestasi luar biasa adalah persepsinya tentang kegagalan serta bagaimana responnya terhadap kegagalan tersebut. Temyata ketekunan membawa kepada daya juang (adversitas) dan daya tahan tersebut yang akan memberikan
5
kesempatan untuk meraih kesuksesan. Oullet (dalam stoltz, 2005:86-87) mengemukakan bahwa orang dengan adversitas tinggi tidak terlalu menderita terhadap hal-hal negatif akibat dari kesulitan. Sifat daya tahan banting dalam diri manusialah yang merujuk pada kemampuan menghadapi kondisi yang keras sekalipun, suatu perasaan tentang komitmen, tantangan dan pengendalian. Pada bagian lain di buku Stoltz, Wetner (dalam Stoltz 2005:89) mengatakan bahwa orang ulet adalah orang yang mampu menyelesaikan masalahnya dan orang yang mampu memanfaatkan
peluang.
Orang yang menganggap
kegagalannya
merupakan kesempatan yang tertunda dan mengubahnya menjadi batu loncatan, adalah orang yang mampu memandang kekeliruan atau pengalaman buruknya sebagai bagian dari hidupnya, belajar darinya dan kemudian maju terns tanpa menyerah. Sementara Seligman seorang psikolog (dalam Stoltz, 2005:81) menyatakan seseorang yang mempunyai gaya penjelasan atau atribusi lebih optimis dalam meramalkan kesuksesannya. Menurut Maxwell (dalam Stoltz, 2005:45-69) ada tujuh kemampuan yang dibutuhkan untuk mengubah kegagalan menjadi kesempatan yaitu : ( 1) para peraih prestasi pantang menyerah dan tidak jemu-jemunya mencoba karena tidak mendasarkan dirinya pada prestasi, (2) memandang kegagalan sebagai sementara sifatnya (3) memandang kegagalan sebagai insiden-insiden tersendiri (4) memiliki ekspektaSi (pengharapan) yang realistik (5) memfokuskan perhatian pada kekuatan-kekuatan yang dimilikinya (6) menggunakan berbagai pendekatan dalam meraih prestasinya, dan (7) mudah untuk bangkit kembali. Sedangkan Weigand (Stoltz, 2005) berpendapat bahwa membentuk pola pikir dengan cara membangun konsep diri, belajar memanjat prestasi sampai puncak, memimpin yang lain,
....
·...::
6
adalah suatu keterampilan mengatasi kesulitan yang harus dimiliki oleh setiap individu untuk menunjang tumbuhnya sikap profesionalisme. Penjelasan ini ditegaskan lagi oleh John Cirello, bahwa mengatasi kesulitan di tempat kerja adalah suatu pola barn dalam membangun sukses di abad kedua puluh satu. Dari penjelasan dan uraian seperti tersebut di atas merupakan suatu wacana barn
yang perlu dicermati dan disikapi untuk ditindak lanjuti, jika
menginginkan untuk sukses dan berhasil dalam mencapai kesuksesan prestasi kehidupan, khususnya prestasi di tempat kerja yang sarat dengan permasalahan yang harus diselesaikan. Fenomena tingkat kinerja yang beragam juga terjadi di lingkungan kerja perusahaan-perusahaan farmasi, sebagai perusahaan yang bergerak di bidang obatobatan, profesionalisme yang tinggi akan sumber daya manusianya khususnya dalam penelitian ini, para medical representative sebagai personel-personel yang unggul, sangat dituntut dalam melakukan pekerjaannya, namun dalam kenyataannya berbagai persoalan yang sering ditemui dalam pekerjaan membuat para medical representative mengalami berbagai tekanan pekerjaan sehingga semangat kerja menjadi terganggu. yang pada akhirnya mempengaruhi kinerja pekerjaan guna mencapai prestasi kerja yang baik. Selain itu, hal penting lainnya adalah motivasi berprestasi (achievement motivation). Motivasi berprestasi adalah bagian dari motivasi yang mendorong
pekerja untuk berbuat lebih baik sehingga mendapatkan sesuatu reward atas prestasi yang dicapainya. Keinginan yang timbul dalam diri seorang medical representative untuk selalu berprestasi disebut dengan motivasi berprestasi yang
akan mendorongnya selalu memberikan basil terbaik bagi perusahaan tempat
7
mereka bekerja. Medical representative dituntut berusaha keras guna keberhasilan memasarkan produknya. Disini sering timbul permasalahan karena biasanya medical representative menghadapi persaingan yang ketat dengan para medical representative dari perusahaan farmasi lain serta tuntutan pencapaian target. Sementara dipilihnya Rumah Sakit Dr. Soetomo sebagai tempat penelitian · · ini adalah Rumah Sakit Dr. Soetomo merupakan rumah sakit tipe A dan terbesar di wilayah Indonesia bagian timur, sebagai rumah sakit terbesar dan sebagai tempat rujukan bagi rumah sakit tipe B dan C serta rumah sakit swasta lainnya, maka berbagai macam penyakit yang mendapat penanganan di rumah sakit ini sangat komplek baik jenis dan ragamnya, mulai dari penyakit ringan hingga berat seperti penyakit-penyakit degeneratif. Dengan kompleksitas yang tinggi tersebut maka industri farmasi yang berada di Surabaya bahkan dari luar Surabaya berharap bisa memasarkan produk farmasi di rumah sakit ini melalui medical representativenya. Dengan demikian rumah Sakit Dr. Soetomo Surabaya dianggap sebagai pasar yang menjanjikan bagi tempat pemasaran produk farmasi yaitu golongan obat etical atau obat dengan resep dokter. Sedangkan sebagai ujung tombak perusahaan farmasi, seorang medical representative yang mendapat tugas dari perusahaan dalam memasarkan produk farmasinya, selain harus mempunyai daya juang dan motivasi yang tinggi, di sisi lain, memiliki ragam budaya yang berbeda karena berasal dari etnis yang berbeda pula. Perbedaan etnis terkadang membuat persaingan semakin ketat, ketika sebagian perusahaan farmasi lebih cenderung untuk memperkerjakan segolongan etnis tertentu sebagai medical representativenya dengan alasan mempunyai sisi kinerja yang baik, bertolak dari beberapa gambaran dilapangan tersebut,
8
perbedaan inilah yang akan menjadi salah satu kajian dalam penelitian yang berjudul
"PENGARUH
BERPRESTASI
KECERDASAN ADVERSITY DAN
TERHADAP
KINERJA
MEDICAL
MOTIV ASI
REPRESENTATIVE
DITINJAU DARI KELOMPOK ETNIS (Studi kasus di Rumah Sakit Dr. Soetomo Surabaya)". B. Rumusan Masalah Berkenaan dengan latar belakang tersebut di atas, maka penelitian mt mempunyai rumusan masalah sebagai berikut : 1. Apakah kecerdasan adversity dan motivasi berprestasi secara simultan berpengaruh terhadap kinetja medical representative yang bertugas di Rumah Sakit Dr. Soetomo Surabaya? 2. Apakah kecerdasan adversity dan motivasi berprestasi secara parsial berpengaruh terhadap kinetja para medical representative yang bertugas di Rumah Sakit Dr. Soetomo Surabaya? 3. Apakah tingkat kecerdasan adversity dan tingkat motivasi berprestasi berbeda berdasarkan kelompok etnis pekerja medical representative yang bertugas di Rumah Sakit Dr. Soetomo Surabaya? C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Menganalisis pengaruh kecerdasan adversity dan motivasi berprestasi secara simultan terhadap kinerja medical representative yang bertugas di Rumah Sakit Dr. Soetomo Surabaya.
9
2. Menganalisis pengaruh kecerdasan adversity dan motivasi berprestasi secara parsial terhadap kineija medical representative yang bertugas di Rumah Sakit Dr. Soetomo Surabaya. 3. Menganalisis perbedaan tingkat kecerdasan adversity dan tingkat motivasi berprestasi berdasarkan kelompok etnis pekeija medical representative yang bertugas di Rumah Sakit Dr. Soetomo Surabaya.
D. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut : 1. Sebagai alternatif strategi terhadap upaya pengembangan sumber daya manusia guna meningkatkan profesionalisme medical representative sebagai ujung tombak perusahaan dalam pemasaran produk perusahaan farmasi. 2. Memberikan kontribusi bagi pengembangan ilmu pengetahuan pada umumnya dan ilmu tentang kajian manajemen sumber daya manusia pada khususnya. 3. Sebagai bahan informasi bagi peneliti selanjutnya terutama yang berkaitan dengan kajian tentang kecerdasan adversity sebagai faktor penilaian kineija
karyawan
emotional.
selain
kecerdasan
intellegence dan
kecerdasan