BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Konservatisme dinilai sebagai prinsip yang paling mempengaruhi penilaian dalam akuntansi (Sterling, 1970), seperti membatasi perilaku oportunistik manajer sehingga masih berperan penting dalam praktik akuntansi hingga saat ini. Konservatisme merupakan perbedaan tingkat verifikasi yang dibutuhkan untuk mengakui profit dibandingkan mengakui kerugian (Watts, 2003a). Basu (1997) mendefinisikan konservatisme sebagai kecenderungan seorang akuntan yang membutuhkan suatu tingkat verifikasi yang lebih tinggi untuk mengakui beritaberita baik sebagai hal yang menguntungkan dibandingkan dengan mengakui berita buruk sebagai hal yang merugikan. Jadi dapat disimpulkan bahwa konservatisme adalah prinsip kehati-hatian dalam mengakui keuntungan dibandingkan kerugian. Perbedaan tingkat verifikasi antara berita baik (profit) dengan berita buruk (kerugian) ini tidak sesuai dengan matching concept, dimana pendapatan diakui bersamaan dengan beban yang menyebabkan terjadinya pendapatan tersebut. Penman dan Zhang (2000) menyatakan bahwa konservatisme akuntansi dapat menyebabkan kualitas laba yang dihasilkan perusahaan menjadi lebih rendah. Hal ini disebabkan karena dalam pencatatan biaya diskresioner, biaya tersebut pada periode berjalan akan dibebankan sekaligus. Hal tersebut akan membuat laba menjadi lebih rendah dan akan menghasilkan hidden reserve (cadangan tersembunyi). Jika perusahaan menurunkan biaya investasi untuk tahun berikutnya, maka laba
1
perusahaan di tahun berikutnya akan menjadi lebih tinggi. Sehingga para analis yang menggunakan book rate of return perusahaan untuk memprediksi masa depan akan melihat bahwa alat yang mereka gunakan memiliki kualitas yang buruk karena tidak bisa mengestimasi nilai perusahaan. Menurut Anggraini dan Trisnawati (2008)
konservatisme juga dianggap sebagai sistem akuntansi yang bias. Pendapat ini dipicu oleh definisi akuntansi yang mengakui biaya dan kerugian lebih cepat, mengakui pendapatan dan keuntungan yang lebih lambat, menilai aktiva dengan nilai terendah, dan kewajiban dengan nilai yang tertinggi. Meskipun konservatisme dianggap menyebabkan kualitas laba yang dihasilkan perusahaan menjadi lebih rendah, prinsip konservatisme akuntansi masih digunakan hingga saat ini (Handojo, 2012). Ahmed dkk (2002) dan Sari (2004) menyatakan bahwa konservatisme dapat berperan dalam mengatasi konflik bondholders-shareholders. Watts (2003a) juga menyatakan bahwa konservatisme akan membatasi perilaku oportunistik manajer dan meningkatkan nilai perusahaan karena konservatisme membatasi pembayaran kepada pihak manajer ataupun pihak shareholder yang bersifat oportunistik. Perilaku oportunistik yang dilakukan oleh perusahaan tercermin dalam kasus yang terjadi pada salah satu perusahaan terbuka, yaitu PT Kimia Farma Tbk. Pada tahun 2002, terungkap kasus mark up laporan keuangan pada perusahaan tersebut. Untuk laporan keuangan yang berakhir pada tanggal 31 Desember 2001, laba yang tercatat adalah sebesar Rp 132 miliar, namun laba sesungguhnya adalah Rp 99,594 miliar, sehingga terdapat overstated sebesar Rp 32,668 miliar (Ardina dan Januarti, 2012). Overstated tersebut mengindikasikan bahwa manajemen
perusahaan berusaha untuk memenuhi kepentingannya sedangkan Standar Akuntansi Keuangan mengharapkan laporan keuangan bersifat konservatif. Selain itu, konservatisme dapat menurunkan resiko perusahaan dalam menghadapi masalah-masalah hukum yang umumnya menjerat auditor dan perusahaan karena terjadinya kebangkrutan yang merugikan investor umumnya terjadi karena adanya overstatement bukan understatement. Dalam kaitannya dengan pihak ketiga, yaitu pemerintah, perusahaan yang menerapkan prinsip konservatisme dapat mengurangi present value pajak yang terutang. Lasdi (2009), juga menyatakan bahwa alasan masih diterapkannya konservatisme akuntansi adalah biaya politis. Biaya politis timbul dari konflik kepentingan antara perusahaan (manajer) dengan pemerintah sebagai perpanjangan tangan masyarakat yang memiliki wewenang untuk melakukan pengalihan kekayaan dari perusahaan kepada masyarakat sesuai peraturan yang berlaku seperti regulasi, subsidi pemerintah, pajak, tarif, tuntutan buruh, dan sebagainya (Watts dan Zimmerman, 1978). Adapun konflik kepentingan yang terjadi adalah perbedaan tujuan antara perusahaan dan pemerintah. Perusahaan mempunyai tujuan untuk mendapatkan keuntungan dan dapat mengembangkan usahanya sedangkan pemerintah mempunyai tujuan untuk membangun infrastruktur negara demi kesejahteraan masyarakat. Untuk mencapai tujuannya, pemerintah akan menggunakan wewenangnya untuk mendapatkan penerimaan dari perusahaan. Penerimaan negara salah satunya berasal dari pajak. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mencatat realisasi penerimaan pajak dalam empat tahun terakhir
(2009 – 2012) tidak pernah tercapai sesuai target Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara (APBN) (www.voaindonesia.com, 2015). Realisasi penerimaan pajak tahun 2009 sebesar Rp 565 triliun, di bawah target yang ditetapkan sebesar Rp 577 triliun, realisasi penerimaan pajak 2010 sebesar Rp 650 triliun, di bawah target Rp 661 triliun. Pada tahun 2011, realisasi penerimaan pajak sebesar Rp 872 triliun, di bawah target yang ditetapkan sebesar Rp 878 triliun, dan realisasi penerimaan pajak tahun 2012 mencapai Rp 835 triliun sementara target APBN 2012 sebesar Rp 900 triliun. Belum tercapainya target penerimaan Negara ini dapat membuat pemerintah mengeluarkan wewenang untuk mentransfer dana dari perusahaan kepada pemerintah, contohnya saja dengan melakukan perubahan tarif pajak. Perubahan tarif
pajak tersebut memungkinkan perusahaan untuk menerapkan konservatisme akuntansi. Melalui penerapan konservatisme akuntansi, maka laba perusahaan akan cenderung lebih rendah. Dengan laba yang lebih rendah, maka transfer dana dari perusahaan ke pemerintah pun akan berkurang. Biaya politis diukur dengan ukuran perusahaan oleh beberapa penelitian sebelumnya (Belkaoui dan Karpik, 1989). Biaya politis akan meningkat pada perusahaan besar yang didirikan dengan standar kinerja dan profitabilitas yang tinggi. Hal ini mendorong perusahaan-perusahaan berskala besar untuk menerapkan konservatisme akuntansi. Semakin besar ukuran suatu perusahaan, maka manajer cenderung untuk memilih prosedur akuntansi yang menangguhkan reported earnings dari current ke future period (decreasing current reported earnings). Hal tersebut sejalan dengan teori akuntansi positif khususnya political cost hypothesis.
Penelitian mengenai political cost hypothesis telah banyak dilakukan. Oktomegah (2012), Widya (2004), dan Hamdan (2011) merupakan beberapa peneliti yang mendukung political cost hypothesis. Mereka menyatakan bahwa semakin
besar
ukuran
perusahaan,
manajer
akan
menerapkan
prinsip
konservatisme akuntansi. Di sisi lain terdapat beberapa peneliti yang mendapatkan hasil yang tidak mendukung political cost hypothesis. Almilia (2005), Hamdan dkk (2012), dan Juanda (2007) mendapatkan ukuran perusahaan berpengaruh negatif terhadap konservatisme akuntansi. Deslatu dan Susanto (2009), Lasdi (2009), dan Hamid & San (2013) menyatakan bahwa ukuran perusahaan tidak berpengaruh terhadap konservatisme akuntansi. Adanya inkonsistensi hasil penelitian terhadap hubungan antara ukuran perusahaan
dengan
konservatisme
akuntansi
mendorong
peneliti
untuk
memasukan variabel moderasi. Variabel moderasi merupakan variabel yang dapat memperkuat atau memperlemah hubungan antara variabel bebas dengan variabel terikat. Dalam penelitian ini, leverage digunakan sebagai variabel moderasi karena leverage juga merupakan faktor yang dapat mempengaruhi penerapan konservatisme akuntansi dalam suatu perusahaan (Hamdan dkk, 2012; Hamid dan San, 2013; Juanda, 2007). Leverage merupakan rasio yang digunakan untuk mengukur tingkat hutang perusahaan dengan ekuitas. Hipotesis perjanjian hutang (Debt Covenant Hypothesis) dalam Teori Akuntansi Positif menyatakan bahwa dalam keadaan ceteris paribus manajer perusahaan yang mempunyai rasio leverage (debt/equity) yang besar akan lebih memilih untuk menggunakan prosedur akuntansi yang dapat menggantikan
pelaporan laba untuk periode mendatang ke periode sekarang. Pelaporan laba yang tinggi akan menunjukkan kinerja perusahaan yang positif. Oleh sebab itu, meskipun perusahaan berukuran besar namun memiliki tingkat leverage yang tinggi pula, penerapan konservatisme akuntansi akan berkurang. Seluruh perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia digunakan sebagai populasi dalam penelitian ini kecuali perusahaan yang bergerak pada sektor keuangan karena interpretasi leverage yang berbeda antara perusahaan sektor keuangan dengan perusahaan sektor non keuangan. Sedangkan tahun penelitian dimulai dari tahun 2009. Alasan tahun 2009 digunakan sebagai awal periode penelitian adalah untuk menghindari krisis keuangan global di tahun 2008. Sedangkan akhir periode penelitian adalah tahun 2013 karena laporan keuangan tahun 2014 belum tersedia.
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang penelitian yang telah dijelaskan sebelumnya, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: 1.
Apakah ukuran perusahaan berpengaruh terhadap konservatisme akuntansi?
2.
Apakah leverage berpengaruh terhadap hubungan antara ukuran perusahaan dengan konservatisme akuntansi?
1.3 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan secara empiris: 1.
Pengaruh ukuran perusahaan terhadap konservatisme akuntansi.
2.
Pengaruh leverage terhadap hubungan antara ukuran perusahaan dengan konservatisme akuntansi.
1.4 Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoritis maupun praktis untuk berbagai pihak yang mempunyai kaitan dengan penelitian ini, yaitu: 1.
Manfaat Teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pengetahuan yang lebih luas mengenai konservatisme akuntansi dan dapat digunakan sebagai bahan referensi untuk peneliti selanjutnya yang ingin melakukan penelitian sejenis berupa konservatisme akuntansi.
2.
Manfaat Praktis a.
Bagi manajemen perusahaan, penelitian ini dapat digunakan sebagai pendukung untuk memutuskan perlu atau tidaknya prinsip konservatisme diterapkan dalam penyusunan laporan keuangan;
b.
Bagi Investor yang akan menanamkan dananya, penelitian ini akan memberikan masukan dalam melakukan analisa laporan keuangan khususnya mengenai penerapan konservatisme akuntansi, ukuran perusahaan, dan tingkat leverage perusahaan.