BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Dukuh Sipetung merupakan salah satu dukuh di desa Tlogopakis kecamatan Petungkriyono. Pertama kali saya mengunjungi daerah ini pada saat praktek penelitian lapangan mahasiswa antropologi UGM di Petungkriyono bulan Januari 2008. Daerah ini berada pada ketinggian 800-1200 mdpl dengan topografi berbukit dan bergunung yang ditumbuhi oleh hutan. Kawasan hutan tropis di daerah ini termasuk salah satu hutan yang dilindungi oleh pemerintah. Di samping hutan tropis, ada juga hutan pinus yang berjejer di bukit-bukit sekitar pemukiman penduduk. Ciri yang dominan dari daerah ini adalah pada sektor pertanian. Seluruh keluarga di Sipetung mempunyai lahan pertanian. Mereka mempunyai kebun dan sawah di sekitar pemukimannya. Bahkan daerah pertanian itu sudah merambah masuk ke dalam hutan-hutan tropis yang dilindungi oleh pemerintah. Lahan pertanian sawah berada di daerah datar di sekitar pemukiman penduduk dan di lembah-lembah sekitar pemukiman yang terbentang luas dengan bentuk terasering. Masyarakat memanfaatkan sungai-sungai yang ada untuk mengairi sistem pertanian mereka. Mereka membuat sistem irigasi yang sederhana dengan mengalirkan air sungai melalui bambu yang dibelah. Pembagian air secara bergiliran mulai dari lahan sawah di atas sampai ke lahan bagian bawah secara merata. Dalam satu tahun lahan ini diproduksi untuk tiga kali musim tanam secara
1
bergantian, yaitu padi, jagung dan padi lagi. Untuk tanaman seperti kopi, cengkeh, daun bawang, dan lainnya di tanam pada lahan-lahan kering. Lahan-lahan ini merupakan bagian dari terasing tanah sawah, dan daerah hutan. Tanaman di daerah terasering sawah, karena perawatannya seiring dengan padi atau jagung, mendapatkan perhatian yang lebih dari masyarakat dibandingkan dengan lahan kering di daerah lereng bukit dan hutan. Daerah pertanian ini ditanami dengan buncis, kacang-kacangan, ketela, dan berbagai macam empon-empon untuk bumbu dapur. Lahan di lereng dan hutan, ditanami anekaragam tanaman diantaranya vanila, kopi, pisang, nangka, rumput gajah, kacang, aren, kelapa, ubi kayu, labu sayur, mangga, ubi jalar, sengon, durian, cengkeh, dan lain-lain yang tumbuh sendiri maupun ditanam. Pada lahan ini masyarakat tidak mengelolanya secara intensif, karena jenis tanaman yang dikembangkan tidak membutuhkan perawatan khusus dan tumbuh secara mudah. Keanekaragaman tanaman pertanian ini tidak tumbuh dengan sendirinya. Penduduk mulai menanam seiring dengan perubahan yang terjadi dalam kehidupan mereka. Dinamika politik yang terjadi, baik di tingkat lokal maupun nasional juga membawa perubahan kepada masyarakat beserta sektor pertaniannya. Dari beberapa literatur, diantaranya Christine Dobbin (2008), Robert Hefner (1999), dan Joel Kahn (2002) menjelaskan bahwa tanaman kopi dibawa masuk oleh Belanda ke wilayah nusantara. Malah Nagtegaal (dalam Pujo Semedi: 2006: 131), menjelaskan ada kemungkinan tanaman kopi ini masuk ke Petungkriyono atas perintah Bupati Pekalongan dalam rangka memenuhi permintaan pasar yang dibuka oleh VOC di Batavia. Berdasarkan observasi awal dan wawancara yang dilakukan, tanaman kopi
2
ini di beberapa pedukuhan seperti Sipetung dan Tlogopakis telah tumbuh sejak dulu, sementara untuk dukuh Sawangan, tanaman ini baru ditanam pada akhir tahun 70an. Selong, yang dulunya merupakan tanaman komoditi utama dari masyarakat, sekarang sudah mulai bergeser. Masyarakat mulai mengfokuskan pada tanaman komoditi lainnya, seperti wortel, buncis, kopi, dan cengkeh. Kebijakan Revolusi Hijau dengan progam BIMAS dari pemerintah Indonesia juga membawa perubahan kepada masyarakat. Progam ini mengenalkan kepada masyarakat bibit-bibit unggul terutama padi dan teknologi di bidang pertanian beserta dengan kredit-kredit murah yang bertujuan untuk memajukan sektor pertanian. Dampak dari revolusi hijau ini kepada masyarakat pegunungan yang banyak memiliki tegalan dapat dilihat dari hasil penelitian Hefner di wilayah pegunungan Tengger. Menurut Hefner (1999: 26-27), ketika program intensifikasi padi yang dilakukan pemerintah berhasil meningkatkan produksi padi sekitar 41 persen dari tahun 1967 ke 1971, maka produksi utama lahan kering, seperti jagung, singkong, dan ubi, menurun sebesar 10,7 dan 5% setiap tahun. Namun ketika diperkenalkannya bahan-bahan yang berkaitan dengan revolusi hijau ke pertanian lahan kering, dengan segera membalikkan arah kecenderungan ini. Pada akhir tahun 1970an produksi singkong dan jagung rata-rata per propinsi naik di atas 50 persen. Sementara itu di Tengger tanaman makanan diganti dengan tanaman komersial. Di desa-desa lereng tengah para petani mengganti singkong dan jagung dengan kopi dan cengkeh. Di lereng atas, tanaman jagung diganti dengan kentang, kubis, dan bawang merah.
3
Proyek-proyek
pembangunan
yang
dilakukan
pemerintah,
seperti
pembangunan jalan untuk memudahkan akses bagi orang-orang untuk keluar masuk desa, telah memudahkan penduduk menjual hasil pertaniannya ke pasar. Teknologi secara cepat masuk ke dalam masyarakat. Masyarakat jadi membutuhkan motor, sebagai sarana transportasi, merasa membutuhkan televisi dan lain-lain. Begitu juga dengan progam hutan pinus yang ditanam pemerintah di sekitar pemukiman masyarakat. Masyarakat mendapatkan keuntungan dengan mengambil getah pinus tersebut untuk dijual. Kayu dari pinus yang sudah mati juga dimanfaatkan sebagai kayu bakar. Tanah-tanah kosong di antara pohon pinus tersebut dimanfaatkan masyarakat menjadi lahan pertanian. Mereka menanaminya dengan rumput gajah untuk makanan sapi, kopi, cengkeh, nangka, dan lain-lain. Perubahan pada sektor pertanian juga disebabkan oleh dinamika internal masyarakat itu sendiri, seperti bertambahnya jumlah penduduk. Dengan bertambahnya jumlah penduduk, yang diiringi dengan semakin berkurangnya lahan pertanian, tantangan yang harus dihadapi oleh masyarakat adalah bagaimana bisa mendapatkan hasil yang lebih dari lahan yang terbatas. Keberadaan masyarakat Sipetung yang terletak di daerah pegunungan, membuat proses transformasi yang terjadi pada masyarakat tersebut berbeda dengan masyarakat di daerah dataran rendah. Perbedaan ini disebabkan petani pegunungan merespons desakan komersial dan demogafi secara amat berbeda dengan petani di dataran rendah (Hefner 1999). Bahkan, Hefner dalam penelitiannya di daerah pegunungan Jawa menjelaskan bahwa meskipun sangat dipengaruhi oleh berbagai hal yang terjadi di sekitarnya, masyarakat dataran tinggi
4
berbeda dengan gambaran masyarakat pertanian di dataran rendah. Tatanan sosial tidak dikelaskan ke dalam kelompok-kelompok sosial. Kepemilikan tanah didasarkan pada kepemilikan individu dan hak waris tanah, bukan kepemilikan komunal. Kebanyakan tanah pertanian digarap oleh pemiliknya sendiri. Pola patron-klien yang sangat umum di pertanian sawah Asia Tenggara secara jelas juga tidak dikenal pada masyarakat pegunungan. Dinamika interaksi di dataran tinggi ditentukan oleh para petani menengah yang bebas. Orang gunung bergantung pada tanahnya sendiri, bukan “jaminan subsistensi” dari patron yang membawahinya, untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka (Hefner 1999:4). Perbedaan antara masyarakat dataran rendah dan dataran tinggi menyebabkan telah tejadinya perbedaan perlakuan dari pihak-pihak luar, terutama penguasa atau pemerintah, yang membawa dampak perubahan kepada masyarakat. Menurut Tania Li, daerah pegunungan (dan juga pedalaman) Indonesia, telah terbentuk sebagai wilayah yang tersisih melalui perjalanan sejarah keterlibatan politik, ekonomi, dan sosial dengan daerah dataran rendah, yang sudah lama dan masih terus berlangsung. Ketersisihan ini pada akhirnya menyebabkan masyarakat pegunungan dan masyarakat pedalaman, identik dengan masyarakat yang terisolir. Padahal menurut Colombijn (yang dikutip oleh Li dalam Anthony Reid 1988), pusat-pusat konsentrasi penduduk Indonesia pada masa prakolonial bukanlah di daerah pesisir, melainkan di daerah pedalaman, dan khususnya di lembah-lembah dan dataran tinggi pegunungan. Pemusatan ini didasarkan atas alasan ekonomi dan politik (Li, 2002:11), bahkan Pujo Semedi (2006: 129) menjelaskan kalau pelabelan
5
sebuah daerah sebagai daerah terisolir adalah mitos belaka. Sebuah mitos yang dibuat oleh penguasa, masyarakat, dan para ahli atau akademisi. Salah satu bentuk mitos ini dapat dilihat pada penetapan hutan sebagai kawasan hutan lindung. Dalam melihat hutan lindung, Li menjelaskan bahwa karena hutan di Jawa hanya memberikan “bagian yang sangat kecil dari pendapatan nasional yang berasal dari hutan” (Barber 1989: 124),1 maka tujuan utama dari kegiatan pemerintah “mengelola hutan” di Jawa adalah mengontrol penduduk yang tinggal di daerah pedalaman ini, dan bukan untuk mencari pemasukan uang atau keuntungan. Pentingnya hutan bagi proses perluasan kontrol negara terhadap daerah pedalaman berlangsung tidak hanya sekedar menyangkut masalah pohonpohonnya. Di pulau Jawa menurut Li 50% dari jumlah penduduk tidak memiliki lahan, namun 23% dari luas lahan seluruhnya diklasifikasikan sebagai hutan negara, yang tidak boleh digunakan untuk kegiatan pertanian dan penggunaan lainnya, dan di dalam kawasan hutan negara, yang tersisa hanyalah bekas-bekas hutan alam, dan tumbuhan jati dan pinus yang sangat tidak produktif. Padahal di perbatasan “hutan” ini terdapat enam ribu desa, dihuni 30 juta jiwa, yang sebagian besar di antaranya mendapatkan penghasilan dari hutan (2002: 26-28). Di daerah Petungkriyono, mitos-mitos ini tergambar dengan pelabelan daerah ini sebagai daerah terisolir ke dua di Jawa Tengah sesudah daerah Karimun Jawa oleh pemerintah (Semedi 2006: 128). Kemudian mitos-mitos ini berlanjut dengan penetapan daerah Petingkriyono sebagai daerah Eko Wisata atau wisata
1
Kecil jika dibandingkan dengan keuntungan yang diberikan oleh hutan-hutan di Sumatera, Kalimantan, dan Papua.
6
alam oleh pemerintah Kabupaten Pekalongan. Pemerintah juga menyediakan sebuah tempat bagi masyarakat yang ingin berwisata dengan melihat kawasan hutan yang asri dan lengkap dengan fasilitas kempingnya yang disebutnya dengan camping ground. Namun, walaupun berada dalam kondisi yang “terisolasi”, Petungkriyono bukanlah daerah yang benar-benar terisolasi. Berbagai intervensi dengan kepentingan masing-masing ternyata sampai menyentuh kehidupan masyarakat. Keanekaragaman tanaman pertanian ini adalah salah satu bukti bahwa telah terjadi proses transformasi yang terjadi di sektor pertanian di Petungkriyono. Proses transformasi di bidang pertanian akan membawa dampak kepada kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, fokus dari penelitian ini adalah untuk melihat bagaimana proses transformasi pertanian tersebut dan dampak dari transformasi pertanian kepada masyarakat. B. Perumusan Masalah Bentuk dan sistem pertanian di desa Tlogopakis sekarang ini bukanlah sesuatu yang sudah terbentuk sejak dulu. Berbagai perubahan yang terjadi pada masyarakat ikut mempengaruhi bentuk dan system pertaniannya. Perubahanperubahan tersebut disebabkan faktor eksternal dan dinamika internal masyarakat, seperti pertumbuhan penduduk. Faktor eksternal yang dianggap sebagai penyebab terjadinya transformasi adalah peranan pemerintah dan dinamika pasar. Dalam menghadapi proses perubahan ini, masyarakat kemudian harus memberi respons dan menginterpretasikan ulang serta menata kembali nilai-nilai budaya mereka sebagai suatu bentuk adaptasi mereka dengan nilai-nilai yang lebih besar.
7
Masyarakat Petungkriyono adalah masyarakat yang agraris, semua perubahan yang terjadi berkaitan dengan sistem pertanian. Berangkat dari permasalahan-permasalahan di atas, pertanyaan penelitian dapat dirumuskan sebagai berikut: 1. Seperti apa transformasi yang terjadi di bidang pertanian pada masyarakat dukuh Sipetung, dan bagaimana dampak transformasi tersebut pada masyarakat? 2. Bagaimana respon dan interpretasi yang dilakukan oleh masyarakat terhadap transformasi yang terjadi tersebut? C. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk berusaha menjelaskan bagaimana transformasi pertanian yang terjadi pada masyarakat Sipetung, serta menjelaskan bagaimana respons dan interpretasi yang dilakukan oleh masyarakat sehubungan dengan transformasi yang terjadi pada mereka. D. Kajian Pustaka Penelitian mengenai pertanian dan perubahannya sudah banyak dilakukan oleh para ahli, baik dari Indonesia sendiri, maupun peneliti dari luar Indonesia. Beberapa diantaranya adalah Boeke dengan gagasannya mengenai ciri dualisme ekonomi masyarakat Jawa diantaranya Hayami dan Kikuchi (1987: 186), Husken (1998: 26-29), dan Marzali (2003: 8-12)). Cliffortz Geertz (1983) yang terkenal dengan involusi pertaniannya. Penelitian dari Yujiro Hayami dan Masao Kikuchi (1987) yang menggambarkan bagaimana dilema ekonomi desa dengan melihat bagaimana perubahan kelembagaan di Asia dari pendekatan ekonominya.
8
Suhartono (1989) dengan penelitiannya mengenai perubahan sosial yang terjadi di pedesaan Surakarta. Frans Husken (1998) yang melihat sejarah diferensiasi sosial di Jawa. Robert Hefner (1999) yang memperlihatkan bagaimana Jawa dalam perspektif masyarakat pegunungan, dan penelitian dari Jan Breman dan Gunawan Wiradi (2004) yang menggambarkan bagaimana masa cerah dan masa suram di pedesaan Jawa dengan studi kasus pada dinamika sosio-ekonomi di dua desa menjelang akhir abad ke- 20. Salah satu penelitian yang cukup fenomenal adalah yang dilakukan oleh Clifford Geertz. Teorinya tentang involusi pertanian telah tumbuh menjadi paradigma yang paling dominan dalam pengkajian pedesaan Jawa pada tahun 1960an dan 1970an.2 Geertz ingin menunjukkan betapa eratnya eksploitasi kolonial, pertumbuhan penduduk, intensifikasi produksi, dan penyamarataan sosial terkait antara satu dengan lainnya. Geertz juga ingin mencari sebab-sebab terjadinya kemacetan ekonomi (yang disusul kebekuan budaya) itu, terutama dalam bentuk penjajahan kolonial menjalankan peranannya dan cara penguasaan surplus hasil pertanian di Jawa, sehingga ini menghambat berbagai kemungkinan perkembangan penduduk pedesaan (Husken 1998:30). Geertz memakai pendekatan ekologi, suatu pendekatan yang berusaha mencapai spesifikasi yang lebih tepat mengenai hubungan antara kegiatan manusia, transaksi biologis, dan proses alam tertentu; ke dalam satu sistem analisis, yaitu ekosistem (Geertz, 1983: 3). Geertz melihat bagaimana pertumbuhan penduduk dan
2
. Hal ini disampaikan oleh Husken (1998) dengan mengutip antara lain Van den Muijzenberg 1975:141, Evers 1980:2, White 1983: 19, Van Schaik 1986
9
intensifikasi yang sama-sama dimungkinkan oleh ciri-ciri khas sistem ekologi pertanian sawah, yaitu kecenderungan (dan kemampuan) yang kentara sekali untuk menanggapi meningkatnya jumlah penduduk dengan pemadatan (intensifikasi); artinya, dengan menyerap jumlah penggarap yang bertambah banyak di unit sawah yang diusahakan (Geertz 1983: 32). Proses Involusi pertanian dalam pertanian sawah ini berarti bahwa intensifikasi pertanian dilakukan bukan dengan cara menciptakan atau mengimpor institusi ekonomi dan teknologi baru, tetapi dengan cara memadati sebidang sawah dengan makin banyak tenaga kerja, sehingga melampaui titik utilitas. Hal ini disebabkan petani Jawa tidak mempunyai pilihan lain untuk menanggulangi kenaikan jumlah mereka itu kecuali dengan mengusahakan sawah mereka dengan lebih giat, dan bahkan seluruh sumber daya pertanian mereka dengan menggarapnya secara lebih seksama. Tidak ada sektor industri yang akan menampung mereka, dan persawahan dengan kemampuan yang luar biasa untuk tetap mempertahankan tingkat produktivitas karya marginal dengan selalu berhasil mempekerjakan seorang lagi tanpa menyebabkan kemerosotan pandangan perkapita dengan serius, telah menyerap pertambahan tersebut (Geertz 1983: 8283).3
3
. Pemadatan ini menurut Marzali dimungkinkan oleh berbagai faktor. Pertama, ciri ekologis sawah yang mampu menyerap banyak tenaga kerja tanpa menurunkan produktivitas sawah itu sendiri. Kedua, ciri-ciri kultural Jawa yang suka kepada hidup tolong-menolong dan rukun sesama tetangga. Ketiga, ciri-ciri masyarakat pedesaan Jawa yang tidak berkelas. Dan terakhir adalah ciri-ciri ekonomik masyarakat pedesaan Jawa yang mampu menekan keperluan hidup mereka ke paras yang paling rendah. Ciri-ciri kedua sampai keempat tersebut, bila digabung akan menghasilkan situasi yang disebut Geertz dengan “Shared poverty” (Marzali 2003: 13)
10
Geertz juga menyoroti tentang perubahan yang terjadi pada masyarakat di Jawa, terutama pada perpindahan dari monokultur padi ke taraf diversifikasi. Namun diversifikasi itu pengaruhnya sangat kecil dan hanya menimbulkan perluasan proses involusional yang sudah jauh berkembang (Geertz 1983: 99). Masuknya jagung, kedelai, kacang, dan tanaman lainnya ke dalam ekosistem sawah tidak mengubah strukturnya yang esensial. Palawija memungkinkan sawah digarap lebih intensif lagi, untuk menyesuaikan dengan kecepatan kenaikan penduduk. Pemaduan cara baru, seperti penanaman palawija tidak mengubah secara mendasar ciri ekonomi subsistensi pedesaan tersebut, dan dalam melestarikan ciri kebersamaan kehidupan sosial-ekonomi pedesaan itu dengan melakukan pembagian kemiskinan, yaitu dengan melakukan perluasan dan perbaikan pada hubungan kerja tradisional yang sekaligus mencegah terjadinya diferensiasi sosial. Jadi proses involusi menurut Geertz tidak hanya mempengaruhi hak milik tanah dan penguasaan lahan, namun juga meluas sampai pada bidang sosial dan budaya dalam hubungan kekeluargaan di pedesaan Jawa dan sistem nilai kebudayaan rakyat (Geertz 1983: 99-102). Involusi pertanian Geertz ditanggapi oleh Frans Husken yang melakukan penelitian pada masyarakat pedesaan Jawa. Tanggapan ini berkaitan dengan diferensiasi yang terjadi dalam proses modernisasi pertanian. Husken menjelaskan bahwa diferensiasi pada masyarakat pedesaan Jawa sudah terjadi jauh sebelumnya. Dari arsip desa tempat dia melakukan penelitian dapat diungkapkan bahwa pada sekitar tahun 1850, penduduk desa sudah terbagi dalam tiga kelas: pertama, segolongan tunakisma yang hidupnya tergantung dan terikat pada keluarga-
11
keluarga petani penguasa tanah; kedua, golongan petani kelas menengah (orang luar desa) yang mendapat pembagian tanah desa; dan ketiga, kelas atas yang terdiri dari para anggota pemerintahan desa (1998: 347). Involusi tidak terjadi dalam masyarakat pedesaan Jawa, dan adanya kemungkinan ekonomi desa berada di bawah pengaruh hubungan pasar kapitalisme, dan dengan sendirinya mengambil bentuk yang bersifat kapitalisme (Husken 1998: 50). Hasil penelitian Frans Husken ini sudah diterbitkan dengan judul “Masyarakat Desa dalam Perubahan Zaman: Sejarah Diferensiasi Sosial di Jawa 1830-1980”. Penelitian ini dilakukan di Desa Gondosari Kabupaten Pati Jawa Tengah. Husken mencoba menjelaskan bagaimana perubahan yang tejadi di pedesaan Jawa yang dimulai pada saat ekploitasi yang dilakukan oleh kolonial pada abad ke-18 dan ke-19 sampai pada modernisasi pertanian tahun 1970-an. Satu garis perkembangan yang menjadi fokus bagi Husken adalah masalah differensiasi sosial yang merupakan akibat dari komersialisasi dan akumulasi penguasaan tanah, modernisasi pertanian dan pertikaian politik lokal sebagai pencerminan dari prosesproses di tingkat nasional (Husken 1998). Diferensiasi yang terjadi di pedesaan, menurut Husken tidaklah murni akibat komersialisasi pedesaan dalam hubungannya dengan pasar, namun juga disebabkan adanya intervensi pemerintah pada masyarakat pedesaan. Intervensi pemerintah terutama dalam peranannya sebagai pembina kelompok-kelompok ekonomi di pedesaan. Jelas bahwa involusi tidak terjadi dalam masyarakat pedesaan Jawa, namun yang terjadi adalah ekonomi desa telah mengambil bentuk yang bersifat kapitalis. Namun kecenderungan menuju kapitalisme pada desa Jawa ini,
12
bukanlah dalam bentuk kapitalisme yang sesungguhnya yaitu kapitalisme produktif. Bukan juga dalam bentuk “kapitalisme rente” yang berusaha mempertahankan produksi berskala kecil-kecilan, memelihara teknologi produksi pribumi yang lama dan organisasi intern unit-unit produksinya. Menamakannya dengan “kapitalis yang ragu-ragu” juga tidak tepat, karena tidak sepenuhnya sesuai dengan sifat khas program modernisasi pertanian yang dilaksanakan pada tahuntahun di desa Gondosari. Karena itulah, untuk melihat bagaimana sifat transformasi pertanian yang terjadi tersebut baru dapat dilihat jika memusatkan perhatian pada perkembangan jangka panjang politik dan ekonomi, dan juga melihat pada perkembangan yang terjadi di luar lingkungan desa tersebut (Husken 1998: 362363). Penelitian mengenai perubahan pada masyarakat desa di Jawa juga dilakukan oleh Robert W Hefner. Dalam penelitiannya, Hefner mencoba melihat Jawa dalam perspektif yang berbeda dengan peneliti-peneliti lain, yaitu dengan memisahkan antara masyarakat Jawa di pegunungan dengan masyarakat Jawa di dataran rendah.4 Masyarakat pegunungan memiliki karakteristik yang berbeda dengan masyarakat dataran rendah. Mereka tidak mengenal stratifikasi sejauh yang ada di masyarakat dataran rendah. Orang gunung bergantung pada tanahnya sendiri, bukan “jaminan subsistensi” dari patron yang membawahinya, untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka (Hefner 1999: 4-5).
4
. Hefner menjelaskan bahwa penduduk di wilayah pegunungan selalu menganggap diri mereka dengan “orang gunung” (wong gunung) yang berbeda dengan “orang dataran rendah” (wong ngare) (1999:4).
13
Fokus dari penelitian Hefner adalah membahas tentang perubahan bentuk ekonomi dan masyarakat di Tengger, Jawa Timur beserta dengan pengaruhnya. Sejarah masyarakat tanah pegunungan menurut Hefner tetap mempertahankan ukuran yang signifikan atas otonomi sosialnya. Sebagai contoh, elite masyarakat dataran tinggi mencari pedoman bagi nilai dan bekal hidupnya sendiri hingga berbagai hambatan untuk keluar dapat dikesampingkan. Penduduk desa telah terlibat dalam perdagangan ekstra regional sejak lama. Tetapi usaha-usaha yang menunjukkan pengaruh yang sangat berbeda dari norma konsumsi lokal, yang peka terhadap berbagai hal yang lebih beragam dari pada konsumsi kekayaan yang bertujuan pada dirinya (1999: 382). Otonomi masyarakat pegunungan ini melemah ketika era modern berlangsung. Selama abad pertengahan, sejak kejatuhan Majapahit hingga datangnya Belanda, kontrol negara sangat lemah. Daerah tersebut menjaga agama dan hierarkinya terpisah dari Jawa pusat. Prajurit-prajurit dari daerah Jawa menyerbu daerah itu secara teratur, dan kolonialisme Belanda akhirnya menghancurkan keseimbangan kekuatan ini lebih jauh. Penduduk Jawa pribumi di sini dan di mana saja di bagian timur secara jelas menjadi suatu populasi etnis yang terpisah dari masyarakat Muslim di pusat Jawa. Evolusi pertanian selanjutnya tidak ditentukan oleh kepentingan-kepentingan pembagunan yang berkelanjutan, tetapi oleh tiga kekuatan yaitu, pemerintah, penduduk dan perusahaan komersial (1999: 382-383). Satu catatan penting yang perlu diperhatikan dari sejarah ekonomi menurut Hefner adalah bahwa perubahan ekonomi tidak dapat disederhanakan dalam dua
14
pengertian pembangunan yang umum: penetrasi kapitalis atau perluasan kekuatan pasar yang tidak terkendali. Pengaruh yang lebih besar dari kedua model yang diperkenalkan adalah berpusat pada pembangunan daerah pegunungan. Hal ini termasuk pembagunan jalan, perbaikan komunikasi, penurunan kualitas ekologis, pertumbuhan penduduk, perubahan religi dan yang sangat penting adalah penyesuaian secara terus menerus hubungan antara negara dan masyarakat. Satu hal yang mempunyai pengaruh dominan dalam proses ini adalah aktivitas negara, bukan kapitalisme pribumi atau dinamisme otonomi dari perusahaan umum (1999: 388). E. Kerangka Pemikiran Transformasi pertanian pada dasarnya adalah suatu proses perubahan pada berbagai aspek di bidang pertanian. Perubahan tersebut tidak hanya berupa mekanisasi dan teknologi namun lebih jauh lagi pada kelembagaan ekonomi dan sosial pertanian. Sebagai negara agraris, sebagian besar penduduk pedesaan di Indonesia menggantungkan hidupnya dari bidang pertanian. Dengan demikian proses transformasi pertanian dapat dikatakan sebagai proses transformasi pedesaan. Proses ini menyentuh seluruh lapisan masyarakat di penjuru Indonesia. Dampaknya terasa tidak hanya pada fakta lugas berupa pendapatan dan produksi, tetapi juga pada perubahan identitas, aspirasi, dan otoritas. Menurut Irwan Abdullah, proses transformasi yang terjadi pada suatu masyarakat harus mengandung tiga agenda. Pertama, transformasi bersifat analitis. Sifat ini mengacu kepada kualitas abstrak tentang struktur sosial dan proses perubahannya. Secara analitis proses ini bersifat universal, baik dari segi ruang
15
maupun waktu. Dalam hal ini, transformasi mengandung pengertian terjadinya peningkatan kompleksitas sosial suatu masyarakat. Kedua, sifat historis. Proses ini menunjukkan periode waktu tertentu yang dalam satuan waktu tersebut dapat dilihat ciri-ciri baru di dalam suatu masyarakat. Ketiga, sifat praktis dari transformasi yang serangkaian kebijakan dirumuskan untuk pembangunan kompleksitas masyarakat (2002: 261). Kerangka pemikiran dalam penelitian ini akan menggunakan kerangka pemikiran yang dilakukan oleh Robert Hefnef dalam penelitian yang dia lakukan di pegunungan Tengger. Dalam menganalisis perubahan sosial pada masyarakat Tengger, Hefner (1999: 3-4) berangkat dari pendekatan ekonomi konvensional dalam berbagai cara. Pertama, di sini ditekankan bahwa individu merumuskan dan menafsirkan berbagai kebutuhannya dalam rangka interaksinya dengan orang lain di sekelilingnya, bukan dengan cara introspeksi menyendiri model ekonomi neoklasik di mana konsumen dianggap sebagai “raja”. Kedua, pendekatakan ini menempatkan masalah identitas dan komunitas pada inti kajian, mengingat bahwa perilaku sosial dibimbing oleh suatu lingkup “komitmen” yang lebih luas daripada sekedar utilitas pasar, dan suatu pengertian tentang diri (self) yang lebih kompleks. Dari perspektif ini, aktor rasional dalam analisis ekonomistis yang dilakukan oleh Popkin (1986) tidak terlalu salah, tetapi menurut Hefner terlalu skematis. Ketiga, pendekatan non-ekonomistis terhadap perubahan ekonomi menekankan bahwa pasar dan lembaga-lembaga ekonomi yang lain pada hakekatnya tergantung pada lembaga-lembaga moral, politik dan hukum dalam masyarakat secara keseluruhan, apapun otonomi relatif mereka. Dengan demikian perubahan ekonomi menurut
16
Hefner, tidak pernah menjadi sekedar masalah penyebaran teknologi, rasionalisasi pasar, atau “penetrasi kapitalis”. Di belakang itu semua terdapat masalah dalam transformasi besar yang mengubah bentuk dunia kita. Hefner menggunakan konsep “selera” atau “pilihan” di dalam kehidupan sosial-ekonomi sebagai awal masuk yang berguna dalam diskusi teoritisnya. Ekonomi neo-klasik cenderung menggunakan perspektif individual terhadap pemasalahan pilihan di bidang sosial-ekonomi. Pilihan rasional dari berbagai alternatif merupakan tindakan yang utama dalam teori neo-klasik, seperti yang dijelaskan oleh Popkin (1986) bahwa manusia ekonomi adalah di atas semua pemilih. (Hefner 1999: 390). Namun dari contoh historis yang digambarkan dalam bukunya tersebut, jelas bahwa pilihan individual menurut Hefner tidak dapat dipahami lepas dari masyarakat dan budaya. Orang-orang memperoleh bantuan sosial dalam mengkonstruksikan pilihan dari pilihan dan nilai. Seperti halnya dengan orang-orang gunung tertarik pada pesta-pesta ritual, selera dipengaruhi oleh struktur kehidupan sosial, dengan organisasi status, kekuatan dan investasi yang khas (Sahlin 1987, 266-204; Liess 1976; Hefner 1983b dalam Hefner 1999: 391). Pada akhirnya mereka juga dihubungkan dengan “keterikatan sosial” dan membangun “referensi sosial” atau mengangkat perasaan diri seseorang melalui identifikasi dan perbandingan dengan kelompok dan ideal-ideal lain (Hefner 1999: 391). Budaya dalam pandangan Hefner dipandang sebagai sesuatu yang diwariskan dari pendahulu kita, kurang lebih merupakan suatu sistem simbol dan ide yang siap dipakai dan dipelajari dalam ritual dan tindakan-tindakan budaya lain
17
dan digunakan untuk memahami dan bertindak dalam dunia ini. Namun tidak semua pengetahuan yang dipelajari dalam kehidupan sosial dialihkan dalam format yang telah ditentukan sebelumnya dan bersifat komprehensif. Bagian pengetahuan yang baik yang baik dan kita butuhkan untuk bertindak dalam dunia sosial dikonstruksikan oleh kita sebagai individu. Hal ini tidak tergantung pada internalisasi yang pasif dari makna dan simbol yang telah diciptakan lebih dahulu, tetapi bergantung pada penyempurnaan yang terus menerus dalam menghadapi kebutuhan dan kesempatan yang terjadi pada lingkungan (1999: 396-397). Dengan membatasi konsep budaya seperti cara ini, menurut Hefner, kita dapat lebih baik mengalamatkan tantangan perilaku ekonomi kepada teori sosial dan perubahan historis. Dimana perilaku ekonomis tersebut (menurut weber yang dikutip Hefner) melibatkan pilihan, evaluasi, dan preferensi. Karena itulah tidak diperlukan pertentangan antara analisis ekonomi dan budaya. Pengertian budaya yang lebih dibatasi mendorong kita untuk mengenali bahwa budaya bukan merupakan suatu sistem simbol dan makna yang terselesaikan maupun suatu pedoman yang lengkap bagi tindakan. Keberartian bagi tindakan sosial sepenuhnya hanya diwujudkan dalam usaha individu untuk menentukan keberadaannya dan apa yang dapat mereka lakukan atas dasar pertimbangan kesempatan dan hambatan yang ada di dunia ini (Hefner 1999: 398-399). Perubahan ekonomi melibatkan suatu re-orientasi budaya sama halnya dengan cara-cara terjadinya keterasingan (alienasi)5. Tradisi lama tidak lagi
5
Konsep alienasi menurut Hefner menyediakan lebih daripada suatu metafora bagi analisis perubahan ekonomi. Konsep ini menunjukkan suatu titik mediasi antara perubahan makro struktur dari ekonomi politik dan komitmen masyarakat dan identitas personal yag diubah (Hefner
18
memaksa selera baru mendorong orang-orang menuju citra prestise dan gaya hidup yang baru. Tidak seorangpun cukup yakin di mana kejadian akan terjadi. Ada suatu perasaan senang, dan mencoba ketika muncul cakrawala baru. Tetapi keterbukaan terhadap hal yang baru juga mengakibatkan penyangkalan terhadap hal-hal yang lama (Hefner 1999: 399-400). Pada akhirnya, perubahan mengakibatkan ketidakjelasan batas-batas kelompok yang ada di dalam dan medorong semakin banyak orang untuk memanfaatkan berbagai cara dari luar. Dengan demikian, batas antara kelompok dalam dan luar yang merupakan hal medasar bagi identitas lokal, menjadi lemah. Demikian juga dengan struktur investasi, pertukaran dan prestise yang mendefinisikan pandangan hidup orang-orang pegunungan. Hal ini bukanlah semata-mata kejadian-kejadian budaya dan moral. Dalam setiap kejadian selalu berkaitan dengan hubungan kekuatan yang ada di dalam dan yang melampaui desa tersebut. Karena itulah Hefner menyarankan untuk tidak mempertentangkan antara pertimbangan politiknya Popkin dan pertimbangan moral dari Scott. Karena masing-masingnya saling mempengaruhi, dan perubahan sosial tanpa keduannya tidak akan terjadi (Hefner 1999: 401-402). Hal ini menurut Hefer merupakan dilema budaya pada inti pembangunan di banyak negara di dunia ketiga. Dalam konteks masyarakat yang sedang membangun, aspirasi sosial sangat mudah berubah karena mereka dapat dirangsang
1999: 399-400). Keterasingan mengimplikasikan bahwa orang-orang menghubungkan mereka sendiri kepada berbagai kelompok dan berbagai berbagai ide lain dari pada satu kelompok yang melibatka mereka, seringkali peggunaan “kelompok luar” sebagai model bagi aspirasi dan rasa kedirian mereka. (Merton 1968: 287 dalam Hefner 1999: 400)
19
dalam berbagai bentuk produksi baru yang maju. Melalui tekanan yang lebih dalam kepada masyarakat, negara dan komunikasi mencangkokkan nilai elite dan nilai kota ke kebanyakan desa-desa pinggiran. Keingginan umum akhirnya melampaui kemampuan masyarakat untuk menanggapi kebutuhannya. Untuk alasan ini maka pemerintah melibatkan sumber daya yang besar bagi pengelolaan selera budaya. Melalui religi, bahasa, dan ritual nasional, negara ingin mencoba agar berbagai aspirasi sesuai dengan aturan main yang dapat diterima dan pembagunan nasional menurut Hefner telah menimbulkan berbagai dampak yang berlawanan yang kompleks. Masyarakat lokal ditarik menuju tingkatan nasional. Status dan kelas dicari pada dasar nilai dan investasi yang lebih besar. Bahkan di desa yang sangat terpencil, orang-orang menjadi sadar atas keanggotaanya di dalam masyarakat yang lebih luas. Dengan kesadarannya itu, akan muncul pertanyaan tentang identitas dan masyarakat. Melalui semuanya, pembangunan mengakibatkan lebih dari sekedar pendapatan dan produksi, tetapi juga memungkinkan untuk mendefinisikan kembali identitas dan masyarakat di dunia post-tradisional. Reorientasi kelompok referensi merupakan revolusioner di dalam dirinya (1999: 402-405). Pentingnya melihat bagaimana peran negara dalam menganalisis masalah transformasi agraria juga disampaikan oleh Benjamin White dan Hart Gillian (dalam Arifin 2008: 7). Mereka menjelaskan bahwaa ketimbang memberlakukan komersialisasi, perubahan teknologi, dan pertumbuhan penduduk sebagai penyebab utama diferensiasi pedesaan, White memperlihatkan bagaimana kepentingan negara untuk meningkatkan produksi pertanian dan untuk meredam protes yang datang dari populasi desa merupakan salah satu faktor yang sangat mempengaruhi
20
perubahan keseimbangan hubungan kekuatan di antara kelompok atau kelas-kelas di pedesaan. Seperti ditunjukkan oleh Hart, caranya desa serta penduduknya diikutsertakan oleh negara, khususnya para elit desa, tidak hanya telah memungkinkan elit desa mendorong terjadinya perubahan signifikan dalam hal tatanan kerja pertanian, tetapi juga merubah keseimbangan politik yang telah memberikan elit desa kekuatan besar untuk meningkatkan akumulasi kapital tanpa mendapatkan perlawanan yang berarti dari petani miskin dan tunakisma yang dalam proses ini posisinya sangat dirugikan. Dalam melihat bagaimana sifat transformasi pertanian yang terjadi, Frans Husken (1998:363) menyarankan untuk memusatkan perhatian pada perkembangan jangka panjang politik dan ekonomi, dan juga melihat pada perkembangan yang terjadi di luar lingkungan desa tersebut. Karena studi yang dilakukan Husken ini dititikberatkan pada perubahan-perubahan ekonomi di desa Gondosari, maka dengan sendirinya kaitan itu haruslah dicari pada suatu pengertian yang mirip, yaitu pengertian “artikulasi” seperti yang telah berkembang dalam pendekatan modes of production. Dalam pendekatan yang menguraikan meluasnya kapitalisme di luar Eropa, maka ikatan-ikatan ekonomi makro dan politik menduduki tempat yang sentral. Mengenai Teori artikulasi Husken menjelaskan bahwa : Teori Artikulasi itu menekankan bahwa hubungan produksi yang ada tidak perlu dihapuskan dan digantikan dengan sistem upah (seperti yang diasumsikan oleh Leninisme). Sebaliknya, hal ini justru dimasukkan dengan cara khusus ke dalam sistem kapitalisme karena akan mempermudah pemberian surplus dan dengan cara ini tenaga kerja dan produk dapat diperoleh dengan lebih murah dari sektor non-kapitalis ketimbang hubungan kerja kapitalis diberlakukan (Geschiere 1981: 29-30). Atau seperti yang dikatakan oleh salah seorang perintis teori artikulasi itu: ....kapitalisme tidak pernah dapat langsung dan radikal menghilangkan cara-cara produksi lama dan hubungan eksploitasi yang menjadi khas untuk cara produksi tersebut. Sebaliknya, selama satu periode ia dapat
21
memperkuat hubungan eksploitasi itu. Demikianlah hasil cara produksi lama itu dapat dikuasai dan diambil. Itu juga tejadi dengan orang yang diusir dari sistem produksi lama dan yang oleh karena itu tidak bisa lain daripada menjual tenaga untuk kelangsungan hidupnya (Rey, dalam Husken 1998:364).
Berdasarkan pendapat para ahli di atas, dalam penelitian ini kerangka pemikiran yang digunakan menggunakan kerangka pemikiran yang diajukan oleh Hefner. Kerangka pemikiran ini menjelaskan beberapa hal yang menyebabkan terjadinya proses transformasi, yaitu: 1. Proses internal dalam masyarakat Salah satu bentuk proses internal dalam masyarakat ini adalah pertumbuhan penduduk. Implikasinya terjadi penyempitan pada lahan pertanian. Melihat penyempitan lahan, petani-petani dengan lahan sempit di daerah pegunungan hanya memiliki sedikit pilihan untuk memaksimalkan hasil dalam waktu singkat, apapun akibat jangka panjangnya. (Hefner, 1999: 125). Untuk di daerah Tlogopakis, desakan pertumbuhan penduduk (selain alasan ekonomis tentunya) bisa jadi merupakan salah satu alasan untuk menjelaskan masuknya pertanian penduduk dalam kawasan hutan milik pemerintah. 2. Pasar (Perdagangan) Keterlibatan petani daerah atas dalam produksi pasar bukanlah hal yang baru. Perdagangan telah menyebabkan timbulnya tanaman-tanaman baru pada masyarakat, hingga mengakibatkan terjadinya perubahan bentuk pertanian masyarakat dari pertanaian subsisten menjadi pertanian komersial. Sejak awal masuknya perdangangan (terutama pada masa kolonial) petani-petani di dataran tinggi mengadaptasi secara cepat peluang di sektor perdagangan. Dari waktu itu
22
hingga berakhirnya era kolonial, petani lereng atas terlibat secara penuh dalam pasar yang ekstra regional, dan mereka hanya mengkonsumsi sedikit tanaman komersial mereka. (Hefner, 1999: 88-89) Dampak dari perdagangan ini tidak hanya tebatas pada ekspansi perdagangan. Dampak lainnya adalah muncul model-model pembelian baru dalam masyarakat. Sebelumnya pembelian dilakukan setelah masa panen, namun kemudian muncul model pembelian sebelum masa panen, seperti sistem ijon6 dan tebasan7. Ekspansi perdagangan juga diiringi dengan pertumbuhan relasi-relasi partnership pedagangan yang teratur antara petani dengan pedagang, seperti bakul langganan, yaitu suatu hubungan dagang yang teratur dan terbiasa, dimana pedagang (bakul) menyediakan uang kontan bagi petani dalam transaksi-transaksi dan dengan demikian para pedagang memiliki kewenangan istimewa atas produk-produk pertanian milik petani. Pinjaman dibayarkan kembali beberapa saat setelah petani menjual panenannya kepada kreditur dengan memotong uang pokok dari harga penjualan.8 Pedagang langganan dianggap sebagai agen kunci dalam memperkenalkan barang-barang konsumsi yang baru di dalam masyarakat pegunungan. (Hefner 1999: 109-111)
6
Ijon yaitu model pembelian tanaman jauh sebelum tanaman tersebut siap dipanen, yang biasanya dikaitkan dengan pemotongan harga tanaman.
7
Tebasan merupakan pembelian yang dilakukan beberapa hari sebelum masa panen, dengan harga yang mendekati normal dengan harga pasaran.
8
Dalam satu pembayaran kembali, kreditor selalu mengikuti pinjaman mereka dengan yang lain. Dengan melakukan seperti itu, ia dapat menyingkirkan pesaing yang lain dan memberikan jaminan bagi dirinya untuk selalu siap dengan produk-produk lokal. (Hefner 1999: 110-111)
23
3. Pemerintah. Peran pemerintah dalam masalah transformasi pertanian cukup signifikan, sejak pemerintahan kolonial sampai pada pemerintah Indonesia. Hefner memperlihatkan bagaimana peranan dari pemerintah dalam menyebabkan komersialisasi pada masyarakat pedesaan. Belanda memperkenalkan sejumlah tanaman komersial, namun dua jenis tanaman yang paling berhasil selama pemerintahan Belanda adalah kopi dan gula (Hefner 1999: 66). Sementara itu, seiring dengan bangkitnya pemerintahan Orde Baru pada awal tahun 1970an, pemerintah
Indonesia
dengan
program
pembangunan
dan
teknologi
pertaniannya telah membangkitkan kembali komersialisasi pada masyarakat yang sempat mundur pada masa sebelumnya (1920 sampai masa Orde Lama). Hefner (1999: 130) Selain itu, dominasi politik pemerintah juga memberikan dampak kepada masyarakat. Salah satu akibat komersialisasi pertanian adalah terjadinya erosi terus menerus pada lahan di pegunungan. Bahkan kebijaksanaan pemerintah yang diberlakukan dengan untuk penanaman kopi membuat erosi semakin luas. Untuk mengantisipasi hal tersebut pemerintah membatasi pembabatan hutan dan meminta para petani membuat petak-petak berteras9 (Furnival 1944: 180: 201; Palte 1984: 38 dalam Hefner 1999: 93). Salah satu akibat ditutupnya hutan
9
Salah satu kemungkinan kenapa pemerintah kolonial tidak membuka Petungkriyono untuk perkebunan menurut Semedi disebabkan karena wilayah Petungkriyono terletak di daerah perbukitan dengan kemiringan yang tinggi dan wilayah ini merupakan hulu sungai yang mengalir ke dataran Pekalongan. Pembukaan hutan di wilayah ini akan menimbulkan ancaman lingkungan yang serius. (2006: 133)
24
adalah para petani daerah pegunungan tidak lagi memiliki lebih banyak tanah kecuali tanah desa mereka sendiri. (Hefner 1999: 95) Pembangunan nasional yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia telah menimbulkan berbagai dampak yang berlawanan dan kompleks. Masyarakat lokal ditarik menuju tingkatan nasional dan pemerintah muncul sebagai pengontrol “referensi” masyarakat. Mereka menetapkan mana yang baik, buruk, boleh dan tidak boleh dalam masyarakat. Pemerintah berusaha menciptakan “massa mengambang” yang teduh, tidak diganggu oleh kekacauan politik. White menegaskan bagaimana kepentingan negara untuk meningkatkan produksi pertanian dan untuk meredam protes yang datang dari populasi desa merupakan salah satu faktor yang sangat mempengaruhi perubahan keseimbangan hubungan kekuatan di antara kelompok atau kelas-kelas di pedesaan (Arifin 2008: 7). F.
Metode Penelitian Penelitian dilakukan di dukuh Sipetung, desa Tlogopakis, Kecamatan
Petungkriyono, Kabupaten Pekalongan Jawa Tengah. Kawasan Sipetung berada di pinggang bukit-bukit yang diliputi dengan hutan dan tumbuhan lainnya. Penelitian ini berusaha untuk menjelaskan bagaimana transformasi yang terjadi pada masyarakat Jawa pegunungan dan bagaimana dampaknya terhadap pertanian masyarakat. Penelitian ini merupakan hasil penelitan lapangan yang dilakukan pada September 2008 sampai Januari 2009 dan Desember 2009. Metode yang dipakai dalam penelitian ini adalah metode etnografis. Seperti yang dijelaskan oleh Spradley (1997: 3), etnografi merupakan pekerjaan
25
mendeskripsikan suatu kebudayaan. Tujuan utamanya adalah memahami suatu pandangan hidup dari sudut pandang penduduk asli. Dalam penelitian etnografis, data yang akan dikumpulkan adalah data kualitatif. Oleh karena itu, penelitian etnografi melibatkan aktivitas belajar mengenai dunia orang lain dan belajar dari. Dalam mengumpulkan data kualitatif ini, cara yang dipakai adalah observasi partisipasi, dan wawancara mendalam. Observasi partisipasi dilakukan untuk mengamati berbagai fenomena yang berkembang dalam masyarakat yang tidak mungkin didapat melalui metode wawancara. Observasi partisipasi digunakan untuk mengamati setiap tahapan-tahapan dalam sistem pertanian dengan segala dinamikanya maupun dalam kehidupan sosial masyarakat. Selama berada dilapangan saya mengikuti berbagai kegiatan-kegiatan pertanian yang dilakukan oleh masyarakat. Mulai dari mengikuti aktivitas mereka di sawah, ikut ke kebun, dan masuk hutan bersama warga. Interaksi dan aktivitas masyarakat lainnya seperti acara keagamaan, pernikahan dan lainnya juga di observasi untuk mendapatkan informasi yang menunjang data penelitian. Wawancara mendalam dipakai untuk mendalami informasi-informasi berkenaan dengan sistem pertanian dan transformasi yang terjadi. wawancara yang dilakukan menyangkut bagaimana kehidupan sosial ekonomi masyarakat, bagaimana sejarah dan bentuk pertaniannya, sampai kepada hubungan antar masyarakat. Wawancara dipergunakan untuk lebih memahami bagaimana pemaknaan masyarakat terhadap identitas mereka dalam menghadapi transformasi yang terjadi. Untuk mendapatkan kedalaman data, wawancara mendalam dilakukan berkali-kali kepada banyak warga Sipetung.
26
Selain itu, studi literatur juga dipakai untuk mengungkap secara lebih jauh bagaimana proses transformasi yang terjadi. Studi literatur ini lebih diarahkan kepada data sejarah baik lokal maupun regional, karena melalui data sejarah ini dapat diketahui bagaimana dan apa saja yang pernah terjadi dalam masyarakat. Jacobson (1991: 11) menjelaskan kalau studi literatur berguna untuk menghubungkan peneliti dengan peneliti lainnya yang sesuai dengan topik penelitian sehingga akan membantu peneliti dalam menyiapkan penelitiannya. G. Sistematika Penulisan Tesis ini terbagi ke dalam lima bab, mulai dari pendahuluan sampai dengan kesimpulan. Masing-masing bab saling terkait dan mendukung. Bab I membahas mengenai latar belakang, studi literatur, permasalahn, tujuan penelitian, kerangka pemikiran, dan metode penelitian. Bab II berisikan gambaran mengenai lokasi penelitian yang diuraikan berdasarkan sejarah dukuh, penduduk dan perekonomian, kehidupan sosial masyarakat, dan kehidupan keagamaan. Sementara itu, bab III berisikan tentang bagaimana pertanian di dukuh Sipetung. Pembahasan bab ini dimulai dari bagaimana sejarah pertanian di Sipetung. Kemudian dilanjutkan dengan menjelaskan bagaimana bentuk pertanian yang dipraktekkan oleh petani di Sipetung dan berbagai jenis tanaman yang ditanam oleh petani di Sipetung. Pada bab IV menceritakan tentang proses transformasi pertanian yang terjadi di daerah Sipetung, tfaktor-faktor yang menyebabkan terjadinya transformasi. Di jelaskan juga bagaimana dampak transformasi pertanian yang tejadi pada masyarakat dan rasionalitas petani dalam melihat ransformasi tersebut. Terakhir adalah bab V yang berisikan kesimpulan dari tesis ini.
27