BAB I PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang Masalah Di awal tahun baru 2011, berita seputar konflik antar pemeluk agama menjadi topik yang cukup hangat yang dihidangkan media massa ke hadapan khalayak, terutama berita seputar Jamaah Ahmadiyah. Ahmadiyyah atau sering pula ditulis Ahmadiyah, adalah sebuah gerakan keagamaan Islam yang didirikan oleh Mirza Ghulam Ahmad (1835-1908) pada tahun 1889, di sebuah kota kecil yang bernama Qadian di negara bagian Punjab, India. Mirza Ghulam Ahmad mengaku sebagai Mujaddid, al Masih dan al Mahdi. Para pengikut Ahmadiyah, yang disebut sebagai Ahmadi atau Muslim Ahmadi, terbagi menjadi dua kelompok. Kelompok pertama ialah "Ahmadiyya Muslim Jama'at" (atau Ahmadiyah Qadian). Pengikut kelompok ini di Indonesia membentuk organisasi bernama Jemaat Ahmadiyah Indonesia, yang telah berbadan hukum sejak 1953 (SK Menteri Kehakiman RI No. JA 5/23/13 Tgl. 13-3-1953). Kelompok kedua ialah "Ahmadiyya Anjuman Isha'at-e-Islam Lahore" (atau Ahmadiyah Lahore). Di Indonesia, pengikut kelompok ini membentuk organisasi bernama Gerakan Ahmadiyah Indonesia, yang mendapat Badan Hukum Nomor I x tanggal 30 April 1930. Anggaran Dasar organisasi diumumkan Berita Negara
tanggal
28
November
1986
Nomor
95
Lampiran
Nomor
35.
(www.id.wikipedia.org/wiki/Ahmadiyyah)
Universitas Sumatera Utara
Pengusiran dan penganiayaan terhadap warga Ahmadiyah dimulai tahun 1999 dengan pembakaran masjid Ahmadiyah di Bayan, Kabupaten Lombok Barat. Satu orang meninggal, satu luka parah dibacok. Semua warga Ahmadiyah diusir dari Bayan. Pada 2001, penganiayaan terjadi di Pancor, daerah Lombok Timur, basis Nahdlatul Wathan, organisasi Islam terbesar di Pulau Lombok. Selama satu pekan, rumah demi rumah Ahmadiyah, diserang dan dibakar di Pancor. Ironisnya, pemerintah Lombok Timur memberikan dua opsi: warga Ahmadiyah boleh tetap di Pancor tapi keluar dari Ahmadiyah atau tetap di Ahmadiyah dan keluar dari Pancor. Semua warga Ahmadiyah memilih meninggalkan Pancor. Mereka ditampung mula-mula di Transito, sebuah bangunan pemerintah di Mataram. Lalu ada yang menyewa rumah, sekitar 300 orang. Biaya dibantu sebagian oleh organisasi Ahmadiyah. Dalam setahun, mereka mulai menata kehidupan. Ada yang tak berhasil, ada yang terlunta-lunta. Pada tahun 2004, organisasi Ahmadiyah membeli sebuah perumahan BTN di Gegerung, Ketapang, total 1.6 hektar, lalu dijual murah kepada anggota yang diusir dari Bayan, Pancor dan Praya. Pada Juli 2005, Majelis Ulama Indonesia mengeluarkan fatwa di Jakarta. Isinya, Ahmadiyah ditegaskan “... berada di luar Islam, sesat dan menyesatkan ....” MUI minta pemerintah Indonesia “… melarang penyebaran faham Ahmadiyah di seluruh Indonesia dan membekukan organisasi serta menutup semua tempat kegiatannya.” Fatwa tersebut mengacu pada fatwa MUI tahun 1980 serta keputusan muktamar Organisasi Konferensi Islam di Jeddah, Arab Saudi, Desember 1985, yang menyatakan bahwa aliran Ahmadiyah mempercayai Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi sesudah Nabi Muhammad, dan pendirinya, Mirza Ghulam Ahmad, menerima wahyu dari Allah. Selanjutnya, atas nama Pemerintah Indonesia, Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri, dan Jaksa Agung Indonesia pada tanggal 9 Juni 2008 telah mengeluarkan Surat Keputusan
Universitas Sumatera Utara
Bersama, yang memerintahkan kepada penganut Ahmadiyah untuk menghentikan kegiatannya yang bertentangan dengan Islam.
Fatwa MUI itu dinilai kian memicu penyerangan terhadap berbagai masjid dan rumah Ahmadiyah di Parung, dekat Bogor; Manis Lor, Kuningan; Tasikmalaya; Garut; Ciaruteun; dan Sadasari. Mayoritas warga Ahmadiyah di Indonesia adalah orang Sunda. Mereka punya jumlah cukup besar di beberapa desa di Bogor, Tangerang, Tasikmalaya dan Garut. Kepedulian pemerintah untuk mengakhiri kontroversi keberadaan Ahmadiyah di Indonesia diwujudkan dengan penerbitan Surat Keputusan Bersama (SKB) tiga menteri yang berlaku sejak 9 Juni 2008, – seminggu setelah terjadinya tragedi Monas 1 Juni 2008. SKB tersebut memuat tujuh poin, dua diantaranya adalah peringatan dan perintah kepada seluruh penganut/pengurus Jema’at Ahmadiyah Indonesia (JAI) agar menghentikan semua kegiatan yang tidak sesuai dengan penafsiran Agama Islam pada umumnya serta peringatan dan perintah agar semua warga negara menjaga dan memelihara kehidupan umat beragama dan tidak melakukan tindakan yang melanggar hukum terhadap penganut JAI. Sejumlah kalangan berpendapat bahwa dua item tersebut cukup adil sehingga diharapkan dapat menghentikan kekerasan demi kekerasan terhadap JAI. Namun sejumlah pihak, terutama dari kalangan pemerhati hak-hak asasi manusia menganggap SKB itu tidak adil, disamping melanggar hak-hak asasi manusia kaum Ahmadiyah, bertentangan dengan undang-undang yang berlaku di Indonesia dan tidak realistis sehingga tidak akan mengakhiri masalah. Setelah dua tahun berlalu, SKB tiga menteri itu tidak berhasil. Konflik dan tindak kekerasan tetap terjadi sebagaimana sebelumnya. Pada tanggal 6 Februari 2011 ribuan warga
Universitas Sumatera Utara
menyerang kelompok Jema’ah Ahmadiyah di Cikeusik Pandeglang-Banten, tiga orang tewas dan puluhan menderita luka-luka. Peristiwa ini menambah catatan panjang tentang aksi kekerasan yang dialami oleh kelompok Ahmadiyah. Berdasarkan laporan Tempointeraktif sejak tanggal 14 Juli 2010, kekarasan terhadap kelompok ini sudah terjadi 14 kali di berbagai wilayah di Indonesia. Hal ini mencerminkan bahwa kekerasan terhadap pengikut Ahmadiyah seperti sebelum penetapan SKB itu relatif tidak berubah. Paska pecahnya aksi kekerasan di Cikeusik, debat mengenai keberadaan Ahmadiyah kembali menjadi hangat. Beragam komentar bermunculan. Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI), KH. Amidan, dan beberapa tokoh lain tetap memberi dua opsi bagi Ahmadiyah; bubar atau mendeklarasikan diri sebagai penganut agama baru. Abdul Kadir Karding menilai bahwa masalahnya bukan pada muatan SKB, melainkan pada sosialisasi yang tidak berjalan. Sementara Azumardi Azra menilai bahwa perulangan kekerasan pasca penetapan SKB tidak terlepas dari keberadaan pemahaman Islam radikal di Indonesia, suatu kelompok yang melihat pemahaman non-mainstream salah dan membenarkan aksi-aksi kekerasan. Dalam sebuah tulisannya, Syaiful Mujani membenarkan hal tersebut dan menilai kondisinya diperburuk oleh ketakutan pemerintah, DPR dan para penegak hukum karena beragam alasan yang bernuansa kepentingan politik. Ulil Abshar Abdallah melihat bahwa muatan SKB itu memang tidak realistis karena keyakinan adalah sesuatu yang tidak mungkin dilarang, dan sejatinya bertentangan dengan undang-undang yang menegaskan bahwa Negara menjamin kemerdekaan setiap agama untuk menganut kepercayaan dan keyakinan. Jika dilihat dari akar permasalahannya, protes terhadap Ahmadiyah bukanlah karena namanya Ahamadiyah, melainkan karena anggapan penyimpangan akidah, yakni pengakuan atas kenabian Mirza Gulam Ahmad dan al-Tazkirah sebagai kitab suci. Disamping itu, mereka juga
Universitas Sumatera Utara
dianggap eksklusif dengan indikator tidak mau menjadi makmum selain kepada sesamanya Ahmadiyah dan cenderung menutup diri dalam pergaulan sehari-hari. Hanya saja, gambaran di atas tidak bersumber dari penuturan Ahmadiyah sendiri sehingga kemungkinan terjadi distorsi. Pengikut Ahmadiyah sesungguhnya tetap mengakui Muhammad sebagai Nabi terakhir (nabi tasyri’), atau yang secara popular dikenal dengan khatam an-nabiyyin. Perbedaan konsep dalam hal ini hanya pandangan Ahmadiyah tentang posisi Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi dzilli (nabi bayangan) yang bertugas untuk mengembangkan ajaran Muhammad. Kemudian dari segi sumber ajaran, seperti dikemukakan seorang da’i Ahmadiyah di NTB, Saiful Uyun, Ahmadiyah juga menjadikan Al-Qur’an dan Sunnah Nabi sebagai sumber pokok ajarannya. Mereka tidak memosisikan al-tadzkirah sebagai kitab suci dan menyadarinya sebagai karya seorang Mirza Ghulam Ahmad. Fenomena keberagamaan di Indonesia merupakan sebuah fenomena yang menarik dan unik. Di negeri ini hidup dan berkembang berbagai agama. Keberadaan Ahmadiyah yang disebut-sebut sebagai aliran dalam Islam melahirkan opini bagi dua media, Tempo dan Sabili. Perhatian Tempo dan Sabili tentang Ahmadiyah diawali ketika terjadinya penyerbuan terhadap Jamaah Ahmadiyah di Desa Umbulan, Cikeusik, Pandeglang, Banten tanggal 6 Februari 2011 lalu. Tempo mengangkat kasus ini pertama kali sebagai laporan utama pada edisi 14-20 Februari 20011. Pada edisi ini, Tempo mengupas tuntas kronologi penyerbuan terhadap Jamaah Ahmadiyah dan reaksi pemerintah terhadap kasus ini. Selanjutnya pada edisi 21-27 Februari Tempo kembali mengangkat berita seputar Ahmadiyah ini dalam rubrik laporan utama. Sedikit berbeda dari edisi sebelumnya, dalam edisi ini titik sasaran pemberitaan Tempo adalah tentang Front Pembela Islam (FPI). Namun demikian,
Universitas Sumatera Utara
Tempo masih mengaitkan kasus yang terjadi di Desa Umbulan, Cikeusik, Pandeglang tanggal 6 Februari silam dengan FPI. Menurut Tempo, organisasi massa ini terlibat dalam kasusus yang menewaskan tiga anggota Ahmadiyah ini. Berita tentang Jamaah Ahmadiyah kembali diangkat Tempo pada edisi 7-13 Maret 2011. Dalam edisi kali ini Tempo tertarik untuk membahas seputar aksi sejumlah kepala daerah yang melarang aktivitas Ahmadiyah di wilayah mereka. Dijelaskan kepala-kepala daerah yang turun tangan tersebut antara lain gubernur Jawa Timur, walikota Samarinda, dan gubernur Jawa Barat. Demikian halnya dengan majalah Sabili, majalah yang terbit sekali dua minggu ini juga menempatkan berita tentang Jamaah Ahmadiyah ini dalam Telaah Utama-nya (laporan utama) pada edisi 14 Tahun XVIII 3 Maret 2011. Dalam edisi ini, Sabili memaparkan kronologi kerusuhan yang terjadi di Desa Umbulan, Cikeusik, Pandeglang, Banten menurut “kacamata” wartawannya. Berita tentang Ahmadiyah kembali diangkat Sabili pada edisi berikutnya, edisi 15 Tahun XVIII 17 Maret 2011. Kali ini Sabili menempatkan berita tentang Ahmadiyah ini pada rubrik Indonesia Kita dengan inti sari berita seputar aksi unjuk rasa menuntut pembubaran Ahmadiyah di tanah air. Sabili mengangkat wacana Ahmadiyah bukan Islam, sebab itu harus dibubarkan. Selanjutnya, Sabili edisi 16 Tahun XVIII 7 April 2011 yang memuat tentang keberhasilan unjuk rasa menuntut pembubaran Ahmadiyah yang dilakukan organisasi-organisasi massa Islam. Ditempatkan di rubrik yang sama dengan edisi sebelumnya, Indonesia Kita membahas reaksireaksi beberapa kepala daerah terhadap keberadaan Ahmadiyah ini. Media dan berita yang diproduksi dapat dilihat dari berbagai sudut pandang. Kaum pluralis melihat media sebagai saluran yang bebas dan netral, semua pihak dapat menyampaikan
Universitas Sumatera Utara
pandangannya secara bebas. Sedangkan kaum kritis berpandangan sebaliknya. Media bukanlah saluran yang bebas, tetapi dimiliki oleh kelompok yang dominan, untuk memproduksi ideologi yang dominan pula. (Eriyanto, 2009:36) Antonio Gramsci memandang media sebagai ruang di mana berbagai ideologi dipresentasikan. Ini berarti media bisa menjadi sarana penyebaran ideologi penguasa, alat legitimasi dan kontrol atas wacana publik. Namun, di sisi lain media juga dapat menjadi alat resistensi terhadap kekuasaan. Media dapat menjadi alat untuk membangun kultur dan ideologi dominan bagi kepentingan kelas dominan, sekaligus juga dapat menjadi instrumen perjuangan bagi kaum tertindas untuk membangun kultur dan ideologi tandingan. (Sobur, 2009:30) Setiap media massa memiliki karakter dan latar belakang tersendiri, baik dalam isi dan pengemasan beritanya, maupun dalam tampilan serta tujuan dasarnya. Perbedaan ini dilatarbelakangi oleh kepentingan yang berbeda dari masing-masing media massa. Baik yang bermotif politik, ekonomi, agama dan sebagainya. Seperti yang dikatakan oleh Bambang Harimukti bahwa media masa merupakan kumpulan banyak organisasi dan manusia dengan segala kepentingannya yang beragam, bahkan termasuk yang saling bertentangan. (Septiawan, 2005) Keanekaragaman kepentingan pada media massa adalah hal yang tidak bisa dipungkiri, bahwasanya media massa ada yang memiliki kepentingan politik, karena ia didanai dan didukung oleh kekuatan politik tertentu, dan media massa juga ada yang bermotifkan ekonomi, dimana keuntungan secara materil adalah satu-satunya target dari media tersebut. Begitupun yang bermotifkan agama, dimana media massa didirikan oleh kelompok agama tertentu untuk menyampaikan ajaran agamanya.
Universitas Sumatera Utara
Adanya kepentingan dari media massa turut mempengaruhi berita yang disampaikan kepada khalayak. Dan dari sini maka munculah sebuah anggapan bahwa fakta yang disampaikan bukanlah fakta yang objektif, melainkan fakta yang telah dikonstruksi oleh media atau penulisnya/wartawan dengan latar belakang kepentingan tertentu. Dalam pandangan kaum konstruksionis, berita yang kita baca pada dasarnya adalah hasil dari konstruksi kerja jurnalistik, bukan kaidah baku jurnalistik. Semua proses konstruksi, mulai dari memilih fakta, sumber, pemakaian kata, gambar, sampai penyuntingan memberi andil bagaimana realitas tersebut hadir di hadapan khalayak. (Eriyanto, 2011:26) Artinya berita yang diproduksi tidak dihasilkan dalam sebuah ruang hampa. Akan tetapi ada orang-orang atau pihak yang terlibat dalam proses melahirkan sebuah berita, beserta apek kepentingan dan konflik yang menyertainya. Dari penjelasan di atas, peneliti tertarik untuk meneliti bagaimana teks atau isi berita untuk melihat ideologi, makna yang terkandung, serta proses pembingkaian dalam pemberitaan tentang Ahmadiyah pada majalah Tempo dan Sabili.
1.2.Perumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka dapat dikemukakan perumusan masalah sebagai berikut: “Bagaimana majalah Tempo dan Sabili membingkai berita tentang Ahmadiyah melalui analisis framing versi Robert N. Entman.”
1.3.Pembatasan Masalah
Universitas Sumatera Utara
Untuk menghindari ruang lingkup penelitian yang terlalu luas dan agar jelas terarah sehingga tidak akan mengaburkan makna penelitian, maka penulis membatasi masalah sebagai berikut: 1. Penelitian hanya dilakukan pada majalah Tempo dan Sabili 2. Penelitian hanya dilakukan pada pemberitaan mengenai Ahmadiyah 3. Penelitian dilakukan pada majalah Tempo dan Sabili yang terbit pada bulan Februari sampai dengan April 2011
Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.4.1. Tujuan Penelitian: Adapun tujuan penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui pandangan dan posisi majalah Tempo dan Sabili terkait pemberitaan tentang Ahmadiyah. 2. Untuk melihat penilaian moral yang diberikan majalah Tempo dan Sabili terhadap Ahmadiyah. 3. Untuk mengetahui rekomendasi apa yang diberikan majalah Tempo dan Sabili terhadap Ahmadiyah.
1.4.2. Manfaat Penelitian Manfaat dilakukannya penelitian sebagai berikut: 1. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan berguna untuk memperkaya khasanah penelitian yang menggunakan teori komunikasi dan memperluas cakrawala penelitian tentang pemberitaan di media cetak.
Universitas Sumatera Utara
2. Secara akademis, penelitian ini diharapkan mampu memperluas dan memperkaya penelitian khususnya dalam bidang ilmu komunikasi. 3. Secara praktis, penelitian ini dapat memberikan masukan pemikiran kepada pihak-pihak yang membutuhkan.
Universitas Sumatera Utara