BAB I PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Dalam bidang ekonomi internasional, diskusi mengenai daya saing
(competitiveness) menjadi topik yang banyak diperdebatkan. Fagerberg (1988) menyatakan bahwa pengukuran daya saing internasional suatu negara dengan negara lain banyak dilakukan di media massa, laporan institusi pemerintah, dan diskusi kebijakan ekonomi. Krugman (1996), menyebut bahwa kesuksesan ekonomi suatu negara tergantung pada daya saing internasionalnya telah menjadi perhatian para pemimpin bisnis, politik, dan intelektual pada akhir tahun 1970-an. Faktanya, dalam perdagangan internasional, setiap negara selalu berusaha untuk memiliki daya saing yang lebih tinggi dibandingkan negara lain agar produk yang dihasilkannya dapat dengan mudah memasuki pasar internasional. The World Economic Forum yang mempublikasikan laporan World Competitiveness Report setiap tahun (sejak 1980) mendefinisikan daya saing sebagai sebuah perangkat institusi, kebijakan, dan faktor yang menentukan tingkat produktivitas sebuah negara. Fagerberg (1988) menyatakan bahwa daya saing internasional suatu negara merupakan kemampuan suatu negara untuk merealisasikan tujuan utama kebijakan ekonominya, terutama terkait pertumbuhan pendapatan dan lapangan kerja. Selanjutnya OECD (2011) dalam konteks perdagangan internasional mendefinisikan daya saing sebagai keunggulan atau kelemahan suatu negara dalam menjual produknya di pasar internasional. Thurow
1
(1992) dan European Commission (1993) seperti dikutip dalam Krugman (1996) menyatakan bahwa daya saing merupakan suatu pandangan bahwa negara berkompetisi dalam pasar dunia seperti yang dilakukan oleh sebuah perusahaan, dimana negara yang gagal menyamai produktivitas atau teknologi negara lain akan menghadapi krisis yang sama ketika sebuah perusahaan tidak dapat menyamakan biaya atau produksi dari perusahaan lainnya. Konsep daya saing negara sendiri kemudian menjadi perdebatan, ada pihak yang setuju dan mendukung konsep daya saing negara, namun ada juga yang menentang keras mengenai konsep tersebut. Pihak yang mendukung konsep daya saing negara seperti dikutip dari Mulatu (2016) berpendapat bahwa konsep daya saing tidak hanya berguna, tetapi juga merupakan bagian dari strategi pembangunan suatu negara. Daya saing internasional merupakan sebuah pencipataan kesejahteraan dalam konteks interaksi ekonomi internasional. Daya saing internasional tidak hanya berkaitan dengan produktivitas atau efisiensi suatu perusahaan, tetapi tentang pertempuran dan efisiensi sektor bernilai tinggi yang akan meningkatkan kinerja keseluruhan ekonomi nasional atau pendapatan nasional. Reinert (1995) menyatakan bahwa menjadi yang paling efisien pada kegiatan yang salah dan menentang daya saing akan mendorong pembangunan yang ke arah negatif. Hickman (1992) menyebut daya saing internasional sebagai kemampuan untuk terus bertahan dalam ekonomi global, suatu pertumbuhan yang dapat diterima pada standar hidup populasi dengan distribusi adil yang dapat diterima, serta secara efisien menyediakan pekerjaan kepada semua orang tanpa mengurangi potensi
2
pertumbuhan pada standar hidup di generasi mendatang. Haque (1995) menyatakan bahwa daya saing negara merupakan kemampuan suatu negara untuk memproduksi barang dan jasa yang memenuhi uji pasar internasional, sekaligus untuk mempertahankan serta meningkatkan pendapatan riil dan tingkat kesejahteraan penduduknya. Kedua pendapat tersebut berimplikasi bahwa konsep daya saing nasional merupakan sebuah konsep yang penting bagi sebuah negara sehingga penentu kebijakan dapat mengambil manfaat melalui peningkatan daya saing untuk meningkatkan standar hidup masyarakatnya. Kesuksesan ekonomi sebuah negara sering diasosiasikan dengan tingkat daya saingnya atau kemampuan untuk bersaing sehingga dapat dikatakan bahwa kompetisi merupakan jantung dari pembangunan ekonomi sebuah negara. Tingkat kompetisi atau tiadanya kompetisi pada sektor strategis menjadi salah satu indikasi stagnasi perekonomian di berbagai negara. Maka, tidak mengherankan jika banyak rekomendasi kebijakan yang ditawarkan oleh banyak lembaga multinasional seperti Washington Consensus berorientasi pada kompetisi sebagai kunci dari pembangunan ekonomi (Yap, 2004). World Economic Forum (2015) juga menekankan bahwa daya saing ekonomi pada dunia yang terintegrasi menentukan bagaimana sebuah negara mengkonversi potensi yang diciptakan oleh akses pasar global menjadi peluang bagi perusahaan dan masyarakatnya. Menurut World Economic Forum (2015), kondisi makroekonomi yang stabil, kebijakan dan peraturan yang mendukung dunia usaha (kebijakan terkait modal, pertanahan, dan tenaga kerja) merupakan kondisi yang dibutuhkan untuk meningkatkan daya saing. Institusi juga memegang peranan penting dalam
3
meningkatkan daya saing seperti administrasi publik yang efisien, kecepatan pengambilan kebijakan, aturan main, dan seluruh aspek tata kelola pemerintahan yang baik. Tidak kalah penting adalah ketersediaan infrastruktur seperti sarana transportasi, komunikasi, energi, logistik, dan pendidikan. Meningkatkan daya saing berarti menciptakan suatu kondisi yang memungkinkan perekonomian untuk mengalokasikan sumber daya yang langka dimana peluang akan muncul sebagai perubahan kondisi eksternal dan internal. Konsep daya saing pada dasarnya merupakan konsep yang dapat memberikan manfaat bagi perekonomian suatu negara. Jika suatu negara memiliki daya saing yang rendah, maka negara tersebut dapat meningkatkan daya saingnya melalui peningkatan produktivitas nasional dan perbaikan institusi pemerintahan dimana hal tersebut dapat meningkatkan perekonomian suatu negara. Dengan banyaknya rekomendasi kebijakan yang mempromosikan daya saing sebagai strategi kunci untuk pembangunan perekonomian suatu negara, pemimpin politik di hampir setiap negara selalu berupaya untuk meningkatkan daya saing negaranya. Seperti dikutip dari Delgado dkk. (2012), di Amerika Serikat misalnya, Presiden membentuk sebuah komite tentang ketenagakerjaan dan daya saing yang bertujuan untuk menjamin daya saing Amerika Serikat dan memberi saran kepada Presiden dalam rangka menciptakan lapangan kerja, peluang, dan kemakmuran masyarakat. Banyak negara juga membentuk sebuah komite atau institusi daya saing untuk meningkatkan daya saing internasionalnya seperti di Uni Eropa, India, dan negara lainnya. Peningkatan daya saing nasional pada faktanya juga merupakan salah satu agenda suatu rezim pemerintahan untuk menunjukkan bahwa mereka
4
telah berhasil meningkatkan perekonomian nasional dimana hal tersebut tentunya bermanfaat bagi status dan kekuatan politik suatu rezim pemerintahan. Sebagai contoh dapat dilihat bahwa Indonesia semasa kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono hingga Joko Widodo berusaha meningkatkan daya saing nasional melalui berbagai program dengan tujuan agar Indonesia menjadi magnet bagi investasi asing dan selanjutnya produk Indonesia bisa bersaing di pasar internasional. Konsep daya saing negara sendiri kemudian memunculkan tantangan keras salah satunya dari Paul Krugman yang menjadi kritikus utama mengenai konsep daya saing negara. Krugman (1994) dalam artikelnya di Foreign Affairs menyebut istilah daya saing negara sebagai metafora (the competitive metaphor), yaitu gambaran bahwa suatu negara berkompetisi dengan negara lain di dunia seperti yang dilakukan oleh sebuah perusahaan. Krugman (1994) kemudian menyatakan bahwa berbicara mengenai daya saing negara dapat menimbulkan tiga bahaya, pertama, hal tersebut dapat mengakibatkan pengeluaran pemerintah yang sia-sia untuk meningkatkan daya saing, kedua, dapat mendorong proteksionisme dan perang dagang, dan terakhir dapat menghasilkan kebijakan buruk pada isu yang penting. Krugman (1994) kemudian menduga bahwa daya saing merupakan sebuah cara puitis untuk mengatakan produktivitas atau mengisyaratkan adanya potensi konflik antar negara dalam hubungan ekonomi internasional. Seperti dikutip dari Mulatu (2016), ekonomi neoklasik beranggapan bahwa daya saing merupakan konsep kontroversial dan dideskripsikan sebagai konsep yang chaotic dan ill-defined. Selain itu, daya saing juga merupakan konsep yang
5
terlihat seperti alien dalam ekonomi neoklasik dan tidak memiki arti ketika diaplikasikan dalam ekonomi nasional. Ekonom neoklasik berpendapat bahwa tidak seperti perusahaan, negara yang tidak mampu bersaing dengan pesaing mereka dari segi kualitas dan harga barang, tidak akan bangkrut, tetapi akan mengalami restrukturisasi. Terdapat kekuatan penyeimbang kuat yang biasanya memastikan bahwa setiap negara tetap dapat menjual berbagai barang di pasar dunia dan untuk menyeimbangkan perdagangan secara rata-rata dalam jangka panjang. Perlu dicatat juga tentang analogi sederhana antara perusahaan dan ekonomi nasional adalah bahwa sebagian output suatu negara adalah untuk konsumsi domestik dan bukan untuk ekspor, sementara sebagian besar output perusahaan dimaksudkan untuk konsumsi luar perusahaan. Terlepas dari perdebatan mengenai konsep daya saing negara seperti yang telah diuraikan di atas, terdapat banyak penelitian yang membahas mengenai daya saing sebuah negara. Penelitian mengenai daya saing negara tersebut menggunakan berbagai pendekatan dan membahas berbagai daya saing produk suatu negara di pasar internasional seperti produk manufaktur, pertanian, dan jasa. Penelitian ini juga akan membahas mengenai daya saing produk Indonesia yaitu untuk komoditas udang Indonesia di pasar internasional. Kenapa kemudian komoditas udang menjadi fokus pada penelitian? Pertama, di pasar internasional, komoditas udang merupakan komoditas terbesar dari sisi nilai perdagangan produk perikanan dimana pada tahun 2012 nilai perdagangan komoditas udang mencapai 15 persen dari nilai perdagangan produk perikanan dunia. Kedua, pola yang sama juga ditemui di Indonesia dimana udang merupakan komoditas yang menjadi
6
penyumbang terbesar dengan nilai ekspor udang Indonesia pada tahun 2013 adalah sebesar US $ 1,68 miliar atau mencapai 40 persen dari nilai total ekspor produk perikanan. Ketiga, menurut Kementerian Perdagangan, udang merupakan satusatunya produk perikanan yang menjadi komoditas utama ekspor non-migas Indonesia. Keempat, Indonesia memiliki potensi produksi udang yang besar baik dari sektor perikanan tangkap maupun budidaya. Produk udang yang diperdagangkan di pasar internasional dibagi menjadi 3 kelompok menurut klasifikasi Harmonized System (HS). Pertama adalah komoditas HS 030613 untuk udang kecil dan udang biasa, termasuk yang berkulit, dimasak dengan dikukus atau direbus dalam air (frozen: shrimps and prawns), kedua, HS kode 030623 untuk udang kecil dan udang biasa, hidup, segar, dingin atau dalam air garam, atau dimasak dengan dikukus atau direbus dalam air, tidak beku (not frozen: shrimps and prawns), dan ketiga, HS kode 160520 untuk udang kecil dan udang biasa, diolah atau diawetkan (shrimps and prawns). Pada periode 1996-2014, nilai perdagangan produk udang mengalami peningkatan yang signifikan dari hanya sebesar US $ 10,25 miliar pada tahun 1996 menjadi sebesar US $ 23,10 miliar pada tahun 2014. Selama periode tersebut, pertumbuhan nilai perdagangan produk udang adalah sebesar 4,92 persen per tahun. Penurunan dramatis pada biaya produksi, transportasi, dan komunikasi merupakan faktor pendorong globalisasi perdagangan produk perikanan termasuk udang (FAO, 2014). Pola pertumbuhan perdagangan internasional produk udang mengikuti pola pertumbuhan perdagangan internasional secara umum. Hal tersebut mengacu pada Krugman (1995) yang menyatakan bahwa penjelasan yang paling populer
7
mengenai pertumbuhan volume perdagangan internasional adalah dampak adanya teknologi dimana biaya transportasi yang rendah dan kecepatan perkembangan komunikasi telah membuat dunia menjadi tempat yang lebih kecil.
25 20
20 15
15
10
10 5 -
Pertumbuhan (persen)
Nilai Perdagangan ( US $ miliar)
25
5 (5) -
(10)
Sumber: diolah dari UN Comtrade (beberapa tahun) Gambar 1.1 Nilai dan Pertumbuhan Perdagangan Udang Dunia, 1996-2014
Lalu negara mana yang menjadi pemain utama dalam perdagangan internasional udang? Dari sisi ekspor, terdapat 6 negara yang menjadi eksportir utama udang dunia yaitu India, Vietnam, Ekuador, Indonesia, Thailand, dan Tiongkok. Kontribusi nilai ekspor udang keenam negara tersebut mengalami peningkatan dari hanya sebesar 51,57 persen nilai ekspor dunia (US $ 5,29 miliar) pada tahun 1996 menjadi sebesar 64,85 persen nilai ekspor dunia (US $ 14,98 miliar) pada tahun 2014. Posisi eksportir udang terbesar pada tahun 1996 ditempati oleh Thailand dengan nilai sebesar US $ 2,19 miliar, namun pada tahun 2014 posisi
8
Thailand digeser oleh India yang menjadi eksportir terbesar dengan nilai sebesar US $ 3,66 miliar. Pada tahun 2014, Thailand menempati urutan kelima eksportir terbesar udang di bawah India, Vietnam, Ekuador, dan Indonesia.
Tabel 1.1 Negara Eksportir Terbesar Udang, 1996-2014 No.
Negara
Nilai (US $) 1996
2004
2008
2014
1.
India
818.449.899
1.010.604.227
888.588.121
3.664.518.064
2.
Vietnam
301.128.879
1.251.940.717
1.582.039.915
3.336.274.780
3.
Ekuador
726.050.004
411.934.116
910.292.854
2.179.719.378
4.
Indonesia
1.026.301.011
1.171.505.943
1.388.349.148
2.131.604.849
5.
Thailand
2.192.355.377
1.683.774.311
2.576.478.398
2.029.474.997
6.
Tiongkok
223.245.364
929.244.542
1.121.969.276
1.638.164.896
Total 6 Negara
5.287.530.534
6.459.003.856
8.467.717.712
14.979.756.964
Total Dunia
10.252.749.584
12.679.637.126
15.298.457.203
23.100.352.070
Sumber: UN Comtrade (beberapa tahun)
Tabel 1.1 menunjukkan bahwa eksportir utama udang dunia berasal dari negara berkembang. Menurut FAO (2014), peningkatan ekspor negara berkembang tersebut disebabkan adanya tarif yang rendah, terutama untuk produksi yang tidak memiliki nilai tambah. Walaupun mengalami peningkatan kontribusi, beberapa faktor masih menghambat beberapa negara berkembang untuk mengakses pasar internasional dikarenakan masalah struktur internal negara tersebut. Selain permasalahan teknis dan inovasi teknologi, banyak negara terutama negara terbelakang (less developed economies) masih belum memiliki infrastruktur dan pelayanan yang memadai. Hal tersebut kemudian mempengaruhi kualitas dari produknya sehingga mengakibatkan kerugian karena kesulitan memasuki pasar. Beberapa negara berkembang juga belum memiliki kerangka peraturan dan
9
kapasitas institusi yang memadai untuk pengelolaan sektor perikanan yang berkelanjutan. Pasar utama udang dunia selama periode 1996-2014 didominasi oleh Amerika Serikat, Jepang, dan Uni Eropa walaupun persentasenya mengalami penurunan dari 90,27 persen nilai perdagangan pada tahun 1996 menjadi sebesar 74,52 persen nilai perdagangan pada tahun 2014. Pada tahun 1996, Jepang merupakan importir terbesar udang dengan nilai sebesar US $ 3,44 miliar, diikuti Amerika Serikat sebesar US $ 2,53 miliar. Berbeda dengan impor Jepang yang mengalami penurunan, Amerika Serikat justru mengalami kenaikan impor udang sehingga pada tahun 2014, Amerika Serikat merupakan pasar tunggal terbesar untuk udang dengan nilai impor mencapai US $ 6,88 miliar (29,78 persen impor dunia). Uni Eropa merupakan pasar udang terbesar pada tahun 2014 dengan nilai impor mencapai US $ 7,56 miliar atau mewakili 32,74 persen impor dunia.
Tabel 1.2 Negara Importir Terbesar Udang, 1996-2014 Nilai (US $)
No.
Negara
1.
Amerika Serikat
2.533.811.172
3.833.076.889
4.295.736.598
6.878.507.927
2.
Jepang
3.436.820.175
2.514.001.057
2.304.649.086
2.773.840.395
3.
Spanyol
614.079.804
982.510.474
1.251.600.459
1.260.164.635
4.
Prancis
487.319.404
662.415.119
790.328.518
1.021.518.071
5.
Inggris
462.100.592
638.050.916
650.796.179
977.862.109
6.
Jerman
252.579.448
247.989.000
419.195.000
738.940.501
7.
Belgia
247.428.284
437.438.263
688.529.669
705.130.477
8.
Belanda
194.956.172
215.019.555
430.483.575
693.783.528
9.
Italia
254.041.347
404.574.999
548.522.384
652.076.708
10.
Denmark
452.465.499
395.464.682
595.391.332
618.502.945
Total 10 Negara
8.935.601.897
10.330.540.954
11.975.232.800
16.320.327.296
Total Dunia
10.252.749.584
12.679.637.126
15.298.457.203
23.100.352.070
1996
2004
2008
2014
Sumber: UN Comtrade (beberapa tahun)
10
Seperti terlihat pada Tabel 1.1 bahwa nilai ekspor udang Indonesia mengalami peningkatan selama periode 1996-2014 dari hanya sebesar US $ 1,03 miliar pada tahun 1996 menjadi sebesar US $ 2,13 miliar pada tahun 2014. Mengikuti pola impor udang dunia yang cenderung terpusat pada 3 wilayah yaitu Amerika Serikat, Jepang, dan Uni Eropa, negara tujuan ekspor udang Indonesia juga sebagian besar menuju wilayah tersebut dengan persentase mencapai lebih dari 90 persen. Pada tahun 1996, Jepang merupakan negara tujuan utama ekspor udang Indonesia dengan nilai mencapai US $ 834,38 juta, namun pada tahun 2014, ekspor udang ke Jepang jsutru mengalami penurunan hingga hanya menjadi sebesar US $ 422,17 juta. Berbeda dengan ekspor udang ke Jepang, ekspor udang Indonesia ke Amerika Serikat justru mengalami peningkatan yang signifikan dari hanya sebesar US $ 113,39 juta pada tahun 1996 menjadi US $ 1,35 miliar pada tahun 2014. Ekspor udang Indonesia ke Uni Eropa cenderung fluktuatif, walaupun secara umum mengalami peningkatan dari hanya sebesar US $ 44,69 juta pada tahun 1996 menjadi US $ 193,39 juta pada tahun 2014. Profil perdagangan udang di atas menunjukkan terjadinya pergeseran besar perdagangan produk udang Indonesia, yaitu dari pasar tradisional di Jepang ke pasar Amerika Serikat maupun Uni Eropa. Perubahan ini perlu direspon dengan baik oleh industri budidaya dan pengolahan udang untuk mengembangkan produk yang sesuai kebutuhan dan memenuhi kriteria yang dipersyaratkan pasar tujuan.
11
Tabel 1.3 Ekspor Udang Indonesia di Pasar Utama Dunia, 1996-2014 Nilai Ekspor Indonesia (US $)
No.
Negara
1.
Amerika Serikat
113.395.079
354.341.009
656.716.445
1.347.044.032
2.
Jepang
834.384.563
501.851.193
409.145.165
422.174.487
3.
Uni Eropa
44.686.237
199.926.612
239.074.364
193.391.754
4.
Lainnya
33.835.132
115.387.129
83.413.174
168.994.576
1.026.301.011
1.171.505.943
1.388.349.148
2.131.604.849
Jumlah
1996
2004
2008
2014
Sumber: UN Comtrade (beberapa tahun)
Tabel 1.3 menunjukkan bahwa untuk pertama kalinya ekspor udang Indonesia mencapai lebih dari US $ 2 miliar dan Indonesia menempati urutan ke 4 eksportir udang terbesar di dunia. Posisi tersebut masih dapat ditingkatkan, yaitu dengan meningkatkan kinerja produksi udang melalui optimalisasi pemanfaatan sumberdaya hayati dan perairan Indonesia yang masih luas dan terbuka. Produksi udang yang berasal dari usaha perikanan budidaya Indonesia juga terus tumbuh, tetapi masih memanfaatkan sebagian kecil dari potensi lahan potensial budidaya yang ada, sehingga upaya peningkatkan produksi dari kegiatan budidaya masih terbuka. Dalam perikanan tangkap, Indonesia memiliki total luas wilayah teritorial sekitar 5,2 juta km2 dan dua pertiga wilayahnya merupakan laut yang mencapai 3,3 juta km2. Selain itu, Indonesia juga merupakan negara kepulauan terbesar di dunia dengan jumlah pulau sebanyak 13.466 buah dan menjadi negara yang memiliki garis pantai terpanjang di dunia (setelah Kanada) dengan panjang mencapai 99.093 km. Hal tersebut menunjukkan bahwa potensi pengembangan udang baik yang berasal dari perikanan tangkap maupun budidaya di Indonesia memiliki prospek yang menjanjikan dan dapat menjadi penggerak roda perekonomian nasional. Beberapa kajian memberikan indikasi terus meningkatnya permintaan udang ke
12
depan dan fakta telah menunjukkan bahwa terjadi kenaikan nilai perdagangan udang yang signifikan selama periode 1996-2014. Melihat perkembangan permintaan udang yang terus meningkat tersebut, jika kapasitas produksi tidak mampu digenjot secara cepat dan teknologi pengolahan pasca panen tidak berkembang, maka Indonesia akan tertinggal lebih jauh dari negara eksportir udang lainnya. Dengan tren pertumbuhan produksi udang yang cukup signifikan, maka industri budidaya diharapkan mampu menjadi penyedia utama kebutuhan udang ke depan ketika produksi udang yang berasal dari perikanan tangkap cenderung stagnan. Penelitian ini memiliki tujuan untuk menganalisis daya saing ekspor udang Indonesia di pasar utama udang dunia yaitu Amerika Serikat, Jepang, dan Uni Eropa. Penelitian sejenis mengenai daya saing udang Indonesia di pasar internasional telah dilakukan oleh beberapa peneliti. Rakhmawan (2009) menganalisis daya saing udang Indonesia di pasar internasional menemukan fakta bahwa komoditas udang Indonesia memiliki daya saing yang kuat atau Indonesia memiliki keunggulan komparatif dilihat dari nilai RCA yang lebih dari 1. Selain itu, Indonesia juga memiliki potensi keunggulan terkait sumberdaya alam yang melimpah, sumberdaya manusia, dan modal. Namun di satu sisi, pengetahuan mengenai teknologi budidaya udang yang modern (intensif) masih kurang memadai. Maharani dan Setiawina (2014) dalam penelitiannya terkait dengan kinerja ekspor udang segar ke Jepang, Singapura, dan Malaysia menyatakan bahwa Indonesia memiliki keunggulan komparatif dan indeks RCA berpengaruh positif terhadap volume ekspor udang segar ke Jepang dan Singapura, sedangkan untuk
13
ekspor ke Malaysia secara dominan dipengaruhi oleh tingkat suku bunga. Beberapa penelitian daya saing komoditas udang Indonesia seperti Rakhmawan (2009) dan Maharani dan Setiawina (2014) menggunakan pendekatan RCA untuk mengetahui daya saing udang Indonesia, namun dalam penelitian ini, pendekatan yang digunakan untuk mengukur daya saing adalah pendekatan constant market share (CMS). Menurut Leamer dan Stern (1970), analisis kinerja ekspor suatu negara dapat dilakukan dengan menggunakan metode CMS dimana kinerja ekspor suatu negara selama periode tertentu dapat disebabkan oleh adanya peningkatan perdagangan dunia, komposisi komoditas, distribusi pasar, dan peningkatan daya saing. Adanya kinerja ekspor yang dipengaruhi oleh peningkatan daya saing menjadi dasar yang digunakan untuk perhitungan daya saing dalam penelitian. Penelitian ini juga memiliki tujuan untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja ekspor udang Indonesia dengan negara mitra dagang utama dan negara potensial yang menjadi mitra dagang udang Indonesia. Analisis yang digunakan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja ekspor udang Indonesia menggunakan model gravitasi. Model gravitasi merupakan model yang paling sering digunakan dalam menganalisis pola perdagangan bilateral antar dua negara. Model gravitasi berhubungan dengan perdagangan antar dua negara yang secara positif dipengaruhi oleh pendapatan keduanya dan jarak memiliki dampak negatif terhadap perdagangan keduanya. Dengan adanya liberalisasi perdagangan dunia melalui Free Trade Agreement di berbagai regional yang hampir diikuti oleh seluruh negara (termasuk Indonesia yang bergabung di ACFTA dan AJCEP) dan peninjauan bergabungnya Indonesia ke blok perdagangan yang
14
dicetuskan Amerika Serikat dan Uni Eropa, maka analisis kinerja ekspor udang ke negara mitra dagang utama udang tersebut perlu dilakukan. Analisis tersebut dapat dijadikan sebagai salah satu pertimbangan bergabungnya Indonesia ke blok perdagangan dimana nantinya Indonesia diharapkan memperoleh manfaat salah satunya yaitu meningkatnya pangsa ekspor udang ke negara mitra utama setelah Indonesia bergabung ke blok perdagangan tersebut. Penelitian mengenai daya saing dan faktor-faktor yang mempengaruhi ekspor sangat relevan dan menarik untuk dilakukan mengingat dalam berbagai kesempatan, Presiden Joko Widodo selalu menekankan kata daya saing Indonesia dan peningkatan ekspor merupakan sebuah hal yang penting untuk ditingkatkan dalam rangka mendorong pertumbuhan ekonomi. Dalam rezim pemerintahan Joko Widodo, sektor kemaritiman kemudian juga mendapatkan perhatian yang lebih dibandingkan rezim sebelumnya dengan dibentuknya Kementerian Koordinator Kemaritiman. Sektor perikanan khususnya udang sebagai sumberdaya di bidang maritim merupakan salah satu sektor yang potensial untuk dikembangkan mengingat Indonesia memiliki potensi sumberdaya laut yang tinggi baik untuk kegiatan perikanan tangkap, budidaya, maupun pengolahan (pasca panen). Peningkatan perdagangan internasional udang Indonesia merupakan salah satu strategi yang digunakan untuk memanfaatkan potensi sumberdaya maritim Indonesia. Dengan adanya perdagangan internasional, diharapkan industri udang Indonesia dapat berkembang secara optimal melalui peningkatan inovasi dan teknologi, peningkatan produktivitas, perbaikan regulasi, dan perbaikan kelembagaan baik pada level pemerintah maupun di kalangan pelaku industri
15
udang. Sebagai salah satu industri yang padat tenaga kerja, peningkatan kapasitas industri udang diharapkan dapat menyerap banyak tenaga kerja. Penelitian ini mencoba untuk memberikan gambaran utuh mengenai komoditas udang yang menjadi komoditas utama ekspor non-migas Indonesia dilihat dari konteks daya saing dan faktor yang mempengaruhi kinerja ekspor udang ke pasar utama udang dunia.
1.2.
Perumusan Masalah Seperti telah dibahas pada bagian sebelumnya, Indonesia memiliki potensi
sumberdaya perikanan khususnya udang yang tinggi baik untuk produksi yang berasal perikanan tangkap laut maupun perikanan budidaya. Hal tersebut dibuktikan dengan posisi Indonesia yang menjadi pemain utama dalam perdagangan udang dunia selama periode 1996-2014. Akan tetapi dari sisi pasar ekspor, Indonesia masih tertinggal dari negara pesaing utama di kawasan ASEAN seperti Thailand dan Vietnam, serta beberapa negara diantaranya India dan Ekuador yang telah menjadi pemain utama ekspor produk udang dunia. Selain itu, pangsa ekspor udang Indonesia juga mengalami penurunan di pasar utama dunia yaitu seperti Jepang dan Uni Eropa karena permasalahan penurunan kualitas produk udang Indonesia. Peningkatan standar mutu yang dipersyaratkan negara tujuan ekspor (hambatan non tarif) merupakan salah satu pemicu menurunnya ekspor udang Indonesia sehingga Indonesia semakin kehilangan daya saingnya dengan negara lain di pasar utama dunia. Selain itu, teknologi, cara pengolahan, kualitas, dan strategi pemasaran juga menjadi permasalahan bagi Indonesia. Oleh
16
karena itu, penelitian ini akan mengkaji bagaimana daya saing ekspor produk udang Indonesia dengan negara pesaing utama seperti India, Ekuador, Thailand, Vietnam, dan Tiongkok serta faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja kinerja ekspor udang Indonesia di pasar utama udang dunia yaitu Uni Eropa, Amerika Serikat, dan Jepang.
1.3.
Pertanyaan Penelitian Penelitian ini akan menganalisis daya saing dan faktor-faktor yang
mempengaruhi kinerja ekspor udang Indonesia di pasar utama udang dunia yaitu Uni Eropa, Amerika Serikat, dan Jepang. Oleh karena itu, pertanyaan yang ingin dijawab melalui penelitian ini adalah sebagai berikut: 1.
Bagaimana daya saing ekspor produk udang Indonesia dan negara pesaing utama seperti India, Vietnam, Ekuador, Thailand, dan Tiongkok di pasar utama udang dunia yaitu Uni Eropa, Amerika Serikat, dan Jepang selama periode 1996-2014?
2.
Faktor-faktor apakah yang mempengaruhi kinerja ekspor udang Indonesia di pasar utama udang dunia selama periode 1996-2014?
1.4.
Tujuan Penelitian Berdasarkan kedua pertanyaan penelitian yang telah dikemukakan di atas,
tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1.
Menganalisis daya saing ekspor produk udang Indonesia dan negara pesaing seperti India, Vietnam, Ekuador, Thailand, dan Tiongkok di pasar utama
17
udang dunia yaitu Uni Eropa, Amerika Serikat, dan Jepang selama periode 1996-2014. 2.
Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja ekspor udang Indonesia ke pasar utama udang dunia yaitu Uni Eropa, Amerika Serikat, dan Jepang selama periode 1996-2014.
1.5.
Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pihak-pihak
terkait yaitu pemerintah dan akademisi lain yang akan melakukan penelitian mengenai daya saing dan kinerja ekspor baik untuk komoditas udang maupun komoditas lainnya. Bagi otoritas pemangku kebijakan perdagangan maupun pemangku kebijakan sektor perikanan di Indonesia, dengan adanya informasi yang diperoleh dari penelitian ini, diharapkan otoritas terkait dapat lebih menaruh perhatian mengenai kualitas produk ekspor udang Indonesia mengingat banyaknya persyaratan yang harus dipenuhi untuk bisa mengakses pasar utama udang dunia sehingga akhirnya Indonesia dapat menjadi eksportir terbesar udang dunia melalui peningkatan produksi dan kualitas. Penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan bagi pemangku kebijakan dalam strategi perdagangan menghadapi negara lain yang telah menjadi pesaing utama ekspor udang Indonesia sehingga industri perikanan Indonesia khususnya udang dapat berkembang optimal karena besarnya potensi sumberdaya yang dimiliki dan akhirnya dapat memberikan manfaat bagi perekonomian Indonesia. Bagi peneliti, manfaat yang diperoleh adalah sebagai referensi dalam penulisan karya ilmiah mengenai topik
18
daya saing udang dan menjadi sarana peneliti untuk mencoba memahami lebih mendalam mengenai topik yang diteliti yaitu perdagangan udang dunia. Selain itu, peneliti yang akan melakukan penelitian di masa mendatang dapat memperbaiki apabila terdapat kekurangan dalam penelitian ini sehingga literatur mengenai topik daya saing secara umum dan khususnya daya saing udang Indonesia dapat berkembang.
1.6.
Sistematika Penulisan Penelitian ini terdiri dari lima bab. Bab satu yaitu pendahuluan
menguraikan mengenai definisi konsep daya saing menurut beberapa pihak beserta perdebatan antara pihak yang mendukung dan menolak konsep daya saing negara. Kemudian bab ini juga menguraikan mengenai profil perdagangan udang dunia, negara utama eksportir dan importir produk udang, potensi sektor perikanan Indonesia, kinerja ekspor udang Indonesia, mengapa peneliti memilih udang sebagai komoditas yang diteliti, alasan pemilihan metode penelitian, dan motivasi peneliti untuk melakukan penelitian mengenai daya saing dan kinerja ekspor udang Indonesia. Bab satu juga mengemukakan mengenai pertanyaan penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitiaan bagi pihak-pihak terkait, dan sistematika penulisan. Bab dua yaitu tinjauan pustaka memaparkan tentang teori perdagangan internasional dari teori keunggulan komparatif David Ricardo, teori HekscherOhlin, dan increasing return to scale. Bab dua juga membahas mengenai definisi konsep daya saing dari berbagai pihak disertai dengan sedikit penjelasan mengenai perdebatan konsep tersebut, dan pengukuran daya saing menurut WEF, OECD,
19
pangsa pasar seperti analisis CMS dan RCA, pendekatan nilai tukar, dan unit labor cost. Bab ini juga membahas mengenai perkembangan dan fondasi teori model gravitasi, studi empirik daya saing dari berbagai negara untuk beberapa komoditas baik manufaktur maupun perdagangan, dan tentunya mengenai daya saing produk udang. Di bagian keaslian penelitian, diuraikan mengenai perbedaan analisis yang digunakan oleh peneliti dengan penelitian daya saing sebelumnya untuk produk perikanan khususnya udang. Selain itu, studi empirik mengenai model gravitasi di berbagai negara juga diuraikan beserta perbedaan terkait dengan variabel model gravitasi yang digunakan dalam penelitian ini dengan penelitian sebelumnya. Bab tiga yaitu metode penelitian, pada bagian pertama membahas mengenai jenis data yang digunakan untuk analisis dan sumber data tersebut. Selain itu, dibahas juga mengenai variabel yang digunakan dalam model gravitasi dan perhitungan daya saing udang menggunakan metode constant market share. Bagian selanjutnya pada bab tiga menjelaskan mengenai spesifikasi model gravitasi yang digunakan, hipotesis model gravitasi, dan teknik estimasi dari model gravitasi tersebut, dan bagian terakhir pada bab tiga menjelaskan mengenai alat analisis yang digunakan untuk metode constant market share dan model gravitasi. Bab empat yaitu hasil dan pembahasan, pada bagian pertama menjelaskan hasil analisis constant market share untuk Indonesia dan negara pesaing yang dibagi ke dalam 5 periode waktu yaitu 1996-2000, 2000-2004, 2004-2008, 20082012, dan 2012-2014. Bagian selanjutnya menganalisis model gravitasi meliputi statistik deskriptif data, hasil analisis regresi model gravitasi standar dan
20
augmented gravity model, dan pengaruh variabel bebas terhadap ekspor udang Indonesia. Bab lima merupakan bagian penutup yang memuat kesimpulan dari analisis data dan pembahasan, serta implikasi kebijakan yang dapat diambil dari hasil penelitian. Selain itu, bab lima juga memberikan saran bagi pihak terkait yang akan melakukan penelitian tentang topik perdagangan udang di masa mendatang.
21