BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah Citra Indonesia sebagai negara pluralis yang menghormati keberagaman agama, keyakinan, suku, dan ras sempat tercoreng pasca peristiwa penyerangan terhadap warga Ahmadiyah di Kampung Peundeuy, Desa Umbulan, Kecamatan Cikeusik, Kabupaten Padegelang, Banten yang terjadi pada tanggal 6 Februari 2011. 1 Berdasarkan laporan dari Komisi Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS), peristiwa penyerangan tersebut telah menyebabkan tiga orang meninggal, yakni Roni Passaroni, Tubagus Candra Mubarok Syafai, dan Warsono.
2
Selain itu, terdapat korban luka-luka yakni Muhammad Ahmad alias
Bebi, Ahmad Masihudin, Ferdias, Apip Yuhana, dan Deden Sudjana. 3 Peristiwa tersebut ternyata menjadi perhatian masyarakat internasional. Beberapa hari setelah kejadian tersebut, ada tiga surat keprihatinan yang dikirimkan oleh pemerintah Amerika Serikat, Kanada, dan perwakilan Uni Eropa. 4 Paska terjadinya kekerasan terhadap Jemaat Ahmadiyah Indonesia (selanjutnya desingkat dengan JAI) di Cikeusik, tensi penolakan terhadap keberadaan JAI semakin meninggi. Pada tanggal 13 Januari 2012 Front Umat Islam yang terdiri dari berbagai organisasi masa mengerahkan ratusan orang untuk menggelar aksi di komplek SMK Piri I Yogyakarta. Masa aksi tersebut menuntut 1
Laporan Komisi Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS) Negara tak kunjung terusik h. 1 2 Ibid. h. 16. 3 Ibid 4 Op.cit. h. 1.
1
2
agar aktivitas pengajian gerakan Ahmadiyah Indonesia dibubarkan. Aksi tersebut baru berakhir ketika Walikota dan Kepolisian Yogyakarta meminta Jemaat Ahmadiyah tidak lagi melanjutkan pengajian karena situasi yang tidak kondusif. 5 Eskalasi penyerangan JAI juga terjadi di Kampung Cisalada, Desa Ciampea Udik, Kecamatan Ciampea, Bogor, Jawa Barat tanggal 13 Juli 2012. Penyerangan tersebut dilakukan oleh ratusan warga dari Kampung Pasar Salasa dan Kebon Kopi yang mendatangi daerah tersebut dan melakukan pelemparan seusai shalat jumat yang mengakibatkan 5 (lima) rumah Jemaat ahmadiyah mengalami kerusakan. 6 Bupati Bogor yang menjabat pada saat itu adalah Rachmat Yasim meminta jemaat Ahmadiyah untuk tidak melakukan aktivitas keagamaannya agar tidak mengundang emosi warga dan mematuhi Surat Keputusan Bersama 3 (tiga) Menteri ( selanjutnya disingkat dengan SKB 3 Menteri) dan Peraturan Gubernur Jawa Barat nomor 12/2011 tentang pelarangan Ahmadiyah. 7 SKB 3 Menteri sebagaimana dimaksud adalah Surat yang diterbitkan bersama oleh Menteri Agama Muhammad M.Basyumi, Menteri Dalam Negeri H.Mardiyanto, dan Jaksa Agung Hendarman Supandji berupa Surat Keputusan Bersama Nomor 3 Tahun 2008, KEP-033/A/JA/6/2008, dan Nomor 199 Tahun 2008 tentang Peringatan dan Perintah Kepada Penganut, Anggota, dan/atau Anggota Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Warga Masyarakat (selanjutnya disebut SKB 3 Menteri) yang mengatur pelarangan JAI untuk 5
Wahyudi Djafar dan Roichatul Aswidah, 2013, Intimidasi Dan Kebebasan : Ragam, Corak dan Masalah Kebebasan Berekspresi di Lima Propinsi Periode 2011-2012, ELSAM, Jakarta, h. 134. 6 http://nasional.tempo.co/read/news/2012/07/14/063416960/serangan-kampungahmadiyah-terkait-jurnalis-asing diunduh tanggal 4 Juli 2015. 7 Halili et. Al, 2013, Kepemimpinan Tanpa Prakarsa Kondisi Kebebasan Beragama/Berkeyakinan di Indonesia 2012, Pustaka Masyarakat Setara, Jakarta, h. 102.
3
melakukan kegiatan di Indonesia. Terbitnya SKB 3 (tiga) menteri tersebut ternyata oleh sejumlah kalangan justru dipandang sebagai perenggutan hak-hak JAI dalam berkeyakinan, beragama dan beribadah. Kasus-kasus di atas mengindikasikan bahwa negara telah melakukan pelanggaran HAM. Di satu sisi negara menerbitkan peraturan-peraturan yang mendiskriminasikan Jemaat Ahmadiyah sedangkan di sisi lain negara tidak melakukan upaya-upaya untuk mencegah terjadinya tindak kekerasan yang dilakukan kelompok intoleran terhadap kaum jemaat Ahmadiyah. Hal ini tentu menjadi ironi karena kebebasan untuk memeluk agama dan meyakini kepercayaannya di Indonesia sesunggunya telah dijamin oleh Undangundang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945), khususnya di dalam Pasal 28 huruf E yang pada intinya menyatakan setiap orang bebas untuk memeluk agamanya, bebas untuk meyakini kepercayaannya dan bebas untuk berserikat dan berkumpul serta mengeluarkan pendapat. Selain itu, Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang hak Asasi Manusia (selanjutnya disebut UU HAM) juga menyatakan bahwa setiap orang bebas memeluk agama atau keyakinannya dan beribadat sesuai agama dan keyakinannya serta menjamin kemerdekaan setiap orang dalam beragama dan beribadat menurut agama dan kepercayaannya. 8 Dalam konteks Hukum Internasional, isu kebebasan beragama dan berkeyakinan juga diatur dalam Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Hak Politik (International Covenant on Civil and Political Rights, yang selanjutnya
8
Pasal 22 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia
4
disingkat ICCPR). Secara resmi Indonesia menjadi negara pihak ICCPR sejak tanggal 23 Februari 2006, dan mulai berlaku penuh di Indonesia pada tanggal 23 Mei 2006 atau tiga bulan setelah kovenan tersebut diadopsi di Indonesia.9 Undang-undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Ratifikasi ICCPR memuat pasal yang melindungi kebebasan berpikir, beragama, dan berkeyakinan. Pasal 18 (1) ICCPR menyatakan bahwa setiap orang memiliki kebebasan berpikir, berkeyakinan dan beragama. Selanjutya, ayat (2) dari pasal tersebut menyatakan bahwa tidak seorang pun boleh dipaksa untuk menganut kepercayaan dan keyakinan tertentu. Berbeda dengan keadaan Jemaat Ahmadiyah yang berada di Benoa Eropa. Salah satunya di Jerman, Ahmadiyah merupakan komunitas kecil sekitar 30.000 (tiga puluh ribu) pengikut di antara empat juta muslim. 10 Jemaat Ahmadiyah di Jerman juga mengelola 35 masjid lain yang dilengkapi dengan menara dan kubah secara nasional. 11 Jemaat Ahmadiyah juga melakukan upaya-upaya untuk menyampaikan toleransi dan perdamaian di seluruh dunia dalam acara symposium perdamaian di Chinmay Mission, Lodhi Road, New Delhi. 12 Hal tersebut telah membuktikan bahwa Jemaat Ahmadiyah yang berada di Eropa, hak nya lebih diakui daripada di Indonesia. Berdasarkan uraian di atas, maka penulis berkeinginan untuk menyusun sebuah karya ilmiah dalam bentuk skripsi dengan judul “Penyelesaian Kasus 9
Chrisbiantoro, Tanpa Tahun Terbit, Kewajiban Negara dalam Penanganan Kasus-kasus Pelanggaran dan Pelanggaran HAM Yang Berat di Indonesia, KontraS, Jakarta, h.5. 10 http://www.islam-damai.com/2012/12/perkembangan-ahmadiyah-di-jerman.html diakses tanggal 27 Maret 2016. 11 Ibid 12 http://www.islam-damai.com/2013/04/upaya-ahmadiyah-menciptakan-perdamaian.html diakses tanggal 27 Maret 2016
5
Kekerasan Terhadap Jemaat Ahmadiyah di Wilayah Cikeusik Indonesia Dalam Perspektif Kovenan Internasional Hak Sipil dan Hak Politik”.
1.2. Rumusan Masalah 1. Bagaimana perlindungan hukum terhadap hak kebebasan beragama dan berkeyakinan untuk Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI)? 2. Bagaimana penyelesaian kasus kekerasan terhadap Jemaat Ahmadiyah di wilayah Cikeusik Indonesia berdasarkan hukum hak asasi manusia internasional khususnya Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil Dan Politik?
1.3. Ruang Lingkup Masalah Untuk
menghindari
agar
pembahasan
dalam penelitian
ini
tidak
menyimpang dari pokok permasalahan maka perlu adanya pembatasan dalam penulisan penelitian ini. Penelitian ini membahas tentang pengaturan hak asasi manusia terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia, kedudukan hukum dan perlindungan hak asasi manusia di Republik Indonesia dan peraturanperaturan yang menghambat perlindungan terhadap Jemaat Ahmadiyah di Indonesia.
1.4. Orisinalitas Penelitian Skripsi dengan judul “Penyelesaian Kasus Kekerasan Terhadap Jemaat Ahmadiyah di Wilayah Cikeusik
Indonesia Dalam Perspektif Kovenan
6
Internasional Hak Sipil Dan Hak Politik” mengangkat permasalahan tentang bagaimana penyelesaian kasus kekerasan terhadap jemaat Ahmadiyah Cikeusik di Indonesia sesuai dengan tinjauan yuridis terhadap ICCPR. Penelitian ini merupakan karya asli penulis yang tidak terdapat pada karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh penulis lain kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka. Adapun pembeda skripsi ini dengan penelitian-penelitian yang lainnya yakni: No 1
Judul
Nama Penulis
Tahun
Perlindungan Hukum Terhadap
Miga Sari Ganda
2013
Kaum Minoritas Muslim Atas
Kusuma
Perlakuan Diskriminasi Di Uni Eropa 2
Penyelesaiaan Kasus Kekerasan Seksual Terhadap Wanita Di Wilayah Shan Myanmar Dari Prespektif Konvensi Internasional Tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (Convention on The Elimination of All Forms of Discrimination Against Women)
Putu Sukmartini
2014
7
1.5. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini dibagi dalam dua kelompok, yaitu tujuan penulisan usulan penelitian secara umum dan tujuan penulisan usulan penelitian secara khusus: 1.5.1.
Tujuan Umum Tujuan umum penulisan skripsi ini adalah untuk memberikan pemikiran secara ilmiah mengenai Penyelesaian Kasus Kekerasan Terhadap Jemaat Ahmadiyah di Wilayah Cikeusik
Indonesia
Dalam Perspektif Kovenan Internasional Hak Sipil dan Hak Politik khususnya pada isu kebebasan beragama dan berkeyakinan.
1.5.2.
Tujuan Khusus 1.
Untuk menganalisis konsep dan perlindungan hukum dalam kebebasan beragama dan berkeyakinan terhadap Jemaat Ahmadiyah di Indonesia.
2.
Untuk menganalisis penyelesaian kasus kekerasan terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan Jemaat Ahmadiyah di Indonesia berdasarkan ICCPR.
8
1.6. Manfaat Penelitian Dalam setiap penulisan karya ilmiah berupa skripsi, tentu saja ada manfaat yang ingin dicapai. Manfaat penulisan meliputi manfaat teoritis dan manfaat praktis. 13 Penjabarannya adalah sebagai berikut: 1.6.1. 1.
Manfaat Teoritis Mengembangkan dan meningkatkan ilmu hukum secara umum dan hukum internasional di bidang hak asasi manusia secara khususnya.
2.
Memberikan
pemahaman
terutama
mengenai
hukum
dan
penegakan hak asasi manusia, serta mengetahui permasalahan hak asasi manusia di Indonesia. 3.
Memahami lebih dalam tentang hukum yang diberlakukan Indonesia terkait insiden Jemaat Ahmadiyah di wilayah Cikeusik, Indonesia serta bentuk-bentuk perlindungan hak asasi manusia yang diterapkan oleh Indonesia.
1.6.2. Manfaat Praktis 1.
Sebagai sumbangan karya ilmiah bagi Direktorat Jenderal Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia dalam menyusun kebijakan yang berkaitan dengan hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan.
2.
Sebagai sumbangan karya ilmiah bagi Komisi Nasional Hak Asasi Manusia untuk memberikan rekomendasi mengenai pembentukan, perubahan, dan pencabutan peraturan perundang-undangan yang
13
Fakultas Hukum Universitas Udayana, 2013, Buku Pedoman FH UNUD, Fakultas Hukum UNUD, Denpasar, h.75.
9
berkaitan dengan hak asasi manusia khususnya hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan. 3.
Sebagai sumbangan untuk Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) dalam rangka menjaga kerukunan antar umat beragama.
1.7. LandasanTeori Adapun landasan teori yang digunakan dalam uraian ini tidak terlepas dari pembahasan Hak Asasi Manusia (HAM). Menurut Munir definisi mengenai hak asasi manusia adalah: 14 “… secara filosofis hak asasi manusia diartikan hak dasar yang ada dan tidak terpisah dari undur manusia, serta tidak dapat dihilangkan atas dasardasar kekuasaan yang mengingkari keberadaan hak –hak tersebut. … secara normatif HAM mencoba diterjemahkan dalam proses kehidupan berbangsa dengan kesepakatan-kesepakatan yang disebut dengan Deklarasi Universal HAM dan berbagai konvensi….” Hak asasi manusia bersifat universal dan non diskriminasi karena dimiliki oleh seluruh umat manusia tanpa memandang suku, ras, etnis dan agama. Hak asasi manusia juga memiliki ciri derogable rights dan nonderogable rights. Menurut Pasal 4 ayat (2) ICCPR derogable rights adalah hak yang bisa dibatasi atau dikurangi dalam situasi khusus (darurat/exceptional) seperti perang, wabah, dan bencana alam. Non-derogable rights adalah hak yang tidak bisa dibatasi dalam situasi apa pun seperti yang sudah disebutkan dalam Pasal 4 ayat (2) ICCPR. Salah satu contoh Non-derogable rights adalah hak dalam kebebasan beragama dan berkeyakinan.
14
Munir, “2006, Membangun Bangsa Dan Menolak Militerisme” Jejak Pemikiran Munir (1965-2004), cet.I, KASUM, Menteng, Jakarta Pusat. h. 117.
10
Landasan teroritis mengenai hak asasi manusia yang digunakan dalam skripsi adalah: 1.
Teori Hukum Kodrati dan Hak Kodrati Teori hukum kodrati adalah bagian dari hukum tuhan yang sempurna dan dapat diketahui melalui penggunaan nalar manusia. 15 Thomas Aquino penganut teori hukum kodrati membagi hukum menjadi 4 golongan yakni 16 : Lex Aetera (rasio tuhan yang merupakan sumber dari segala hukum dan tidak dapat ditangkap oleh nalar manusia.bagian hukum tuhan yang sempurna yang dapat diketahui melalui penggunaan nalar manusia), Lex Divia (bagian
dari rasio tuhan yang dapat
ditangkap oleh manusia), Lex Naturalis
(hukum
alam
yang
merupakan penjelmaan lex aeterna dalam rasio manusia), Lex Positivis (hukum positif yang berasal dari tuhan seperti terdapat dalam kitabkitab suci dan hukum positif buatan manusia). Seiring dengan waktu, teori hukum kodrati berkembang dan menjadi teori hak kodrati pada abad 17. Teori hak kodrati mengakkui hak-hak individu yang subjektif. Pendukung teori hak kodrati adalah John Locke. Locke berargumentasi bahwa semua individu dikaruniai oleh alam, hak inheren atas kehidupan, kebebasan dan harta, yang merupakan milik mereka sendiri
15
Rhona K.M. Smith et. Al., 2008, Hukum Hak Asasi Manusia, cet. I, PUSHAM UII, Yogyakarta, h. 12. 16 Lili Rasjidi, 1990, Dasar-dasar Filsafat hukum, cet. V, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 29-30.
11
dan tidak dapat dipindahkan atau dicabut oleh negara. 17 Kelemahan teori ini adalah tidak adanya kebenaran secara ilmiah yang dapat membuktikan kebenaran teori hukum kodrati dan hak kodrati. Seperti yang dikatakan Jeremy Bentham bagi saya, hak merupakan anak hukum. Dari hukum riil lahir hak riil, tetapi dari hukum imajiner, dari hukum kodrati, lahir hak imajiner. 18 Dalam konteks Jemaat Ahmadiyah Indonesia, kebebasan beragama dan berkeyakinan sudah dimiliki oleh Jemaat Ahmadiyah karena itu merupakan hak yang harus dimiliki oleh Jemaat Ahmadiyah sebagai manusia. akan tetapi terrengutnya
hak kebebasan beragama dan
berkeyakinan Jemaat Ahmadiyah ketika SKB 3 Menteri diterbitkan. 2.
Positivisme Teori positivisme muncul sebagai antithesis dari teori hukum kodrati dan hak kodrati. Hukum positif adalah hukum yang bersumber dari undang-undang dan dibuat oleh penguasa. 19 John Austin seorang penganut positivis berpendapat bahwa eksistensi dan isi hak hanya dapat diturunkan oleh negara. Satu-satunya hukum yang sahih adalah perintah yang berdaulat. 20 Seiring dengan waktu, teori positivisme berubah menjadi teori utilitarianisme yang dikembangkan oleh Jeremy Bentham. Tesis utama utilitarianisme adalah eksistensi manusia
17
Scott Davidson, 1994, Hak Asasi Manusia: Sejarah, Teori, Dan Praktek Dalam Pergaulan Internasional, terjemahan A. Hadyana Pudjaatmaka, PT Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, h.37. 18 Ibid, h. 39-40. 19 Agus Santoso, 2012, HUKUM, MORAL DAN KEADILAN: Sebuah Kajian Filsafat Hukum, kencana Predana Media Group, Jakarta, h.53. 20 Rhona K.M. Smith et. Al., op.cit, h.13.
12
dikuasai oleh kesenangan dan penderitaan; dan dengan meningkatkan yang pertama dan mengurangi yang kedua, nasib umat manusia akan membaik. Oleh karena itu, tujuan utilitas (utility), adalah meningkatkan seluruh stok bagi kesenangan manusia yang dihitung secara matematis. Oleh karena itu, tes utama bagi utilitas adalah dijalankannya aturanaturan yang akan memberikan kebahagiaan terbesar bagi jumlah manusia
yang
paling
banyak
memaksimalkan
kebahagiaan. 21
Kelemahan teori ini terlihat pada kasus kekerasan terhadap Jemaat Ahmadiyah sebagai kelompok yang minoritas dan dalam pandangan utilitarianisme wajar tidak mendapatkan hak-hak kebebasan beragama dan berkeyakinan karena tujuan dari teori ini adalah hanya memberikan kesenangan terhadap kaum mayoritas yang diwujudkan melalui SKB 3 Menteri. 3.
Teori Anti Utilitarian Teori anti utilitarian adalah antithesis dari teori utilitarian yang hanya memberikan
kesejahteraan
terhadap
kaum
mayoritas
tanpa
mempertimbangkan suara minoritas pada suatu negara. Minoritas atau individu yang preferensinya tidak diwakili oleh mayoritas di dalam suatu negara akan kurang dihiraukan dan, sebagai akibatnya, mereka dapat sangat dirugikan atau kehilangan hak-hak nya. 22 Seperti kasus kekerasan terhadap kaum minoritas Jemaat Ahmadiyah yang terjadi di Cikeusik. Jemaat Ahmadiyah harus mengalah terhadap keinginan 21 22
Scott Davidson, op.cit,h. 41 Scott Davidson, op. cit, h. 43
13
mayoritas sehingga disusunlah suatu perundang-undangan yang mendiskriminasikan Jemaat Ahmadiyah. Menurut Gerald Dworkin seorang penganut teori Anti Utilitarian, hak asasi adalah “kartu truf” politis yang dimiliki oleh individu-individu, yang digunakan “jika, karena suatu sebab, tujuan kolektif tidak memadai untuk membenarkan penolakan terhadap apa yang ingin dimiliki atau dilakukan oleh mereka sebagai individu, atau tidak memadai untuk membenarkan terjadinya perlakuan yang merugikan atau melukai mereka. 23 4.
Teori Common Consent Teori Common Consent merupakan teori dimana daya mengikat hukum internasional adalah tidak terletak pada kehendak sepihak negaranegara, melainkan atas kehendak negara-negara. Jika negara-negara tunduk pada hukum internasional, disebabkan karena terdapat kehendak bersama dan negara-negara untuk tunduk dan terikat pada hukum internasional. Jika pada suatu waktu ada satu atau beberapa negara tidak lagi bersedia untuk tunduk dan terikat pada hukum internasional, dan bermaksud untuk menarik diri, maka negara itu tidak dapat menarik diri secara sepihak, melainkan harus mendapat persetujuan bersama dari negara-negara lainnya. Persetujuan inipun juga merupakan manifestasi dan kehendak bersama negara-negara. 24
5. 23
Asas Pacta Sunt Servada
Scoot Davidson, op.cit, h.45 http://www.negarahukum.com/hukum/daya-mengikat-hukum-internasional-2.html, diunduh tanggal 13 Oktober 2015. 24
14
Menurut ensiklopedia Britannica asas Pacta Sunt Servanda adalah: 25 …”Shelf cases (1969). A treaty is based on the consent of the parties to it, is binding, and must be executed in good faith. The concept known by the Latin formula pacta sunt servanda (“agreements must be kept”) is arguably the oldest principle of international law. Without such a rule, no international agreement would be binding or”... Pengertian asas pacta sunt servanda pada intinya menjelaskan asas pacta sunt servanda adalah sebuah perjanjian yang dibuat dan disetujui oleh para pihak, harus dilaksanakan dengan itikad baik. Asas pacta sunt servanda juga ditegaskan dalam Pasal 26 Konvensi Wina 1969 tentang hukum perjanjian. Dalam konteks kebebasan beragama dan berkeyakinan, Indonesia sudah melakukan itikad baik dengan meratifikasi ICCPR menjadi Undangundang 12 tahun 2005 dimana ada pasal-pasal dalam kovenan tersebut yang bertujuan memajukan perlindungan kebebasan beragama dan berkeyakinan. Namun itikad baik tersebut tidak dibarengi dengan menertibkan hukum nasionalnya. Indonesia justru menerbitkan SKB 3 Menteri yang isinya bertentangan dengan ICCPR
1.8.
Metode Penelitian
1.8.1. Jenis Penelitian
25
http://www.britannica.com/EBchecked/topic/930509/pacta-sunt-servanda tanggal 5 Mei 2015.
diunduh
15
Skripsi ini menggunakan penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif menurut Peter Mahmud Marzuki adalah: “… suatu proses untuk menemukan suatu aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum untuk menjawab permasalahan hukum yang dihadapi. … penelitian hukum dilakukan untuk menghasilkan argumentasi,
teori
atau
konsep
baru
sebagai
prespektif
dalam
menyelesaikan masalah yang dihadapi….” 26 Penelitian hukum normatif digunakan untuk mengkaji perlindungan hukum terhadap Jemaat Ahmadiyah dan penyelesaian kasus kekerasan terhadap Jemaat Ahmadiyah di wilayah Cikeusik Indonesia dalam perspektif ICCPR.
1.8.2. Jenis Pendekatan Secara umum dipahami bahwa penelitian hukum normatif mengenal 7 (tujuh) jenis pendekatan yakni: 27 a. Pendekatan Kasus (The Case Approach) b. Pendekatan Perundang-undangan (The Statute Approach) c. Pendekatan Fakta (The Fact Approach) d. Pendekatan Analisis Konsep Hukum (Analitical & Conseptual Approach) e. Pendekatan Frasa (Words & Phrase Approach) f. Pendekatan Sejarah (Historical Approach) g. pendekatan perbandingan (Comparative Approach) 26
Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, 2010, Dualisme Penelitian Hukum Normatif & Empiris, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, h. 34. 27 Fakultas Hukum Universitas Udayana, op.cit. h.75.
16
Adapun penelitian ini menggunakan beberapa pendekatan, yakni pendekatan kasus (the case approach), pendekatan perundang-undangan (the statute approach) pendekatan fakta (the fact approach), pendekatan analisis konsep hukum (analytical & conceptual approach), pendekatan sejarah (historical approach), dan pendekatan perbandingan (comparative approach). Pendekatan kasus dalam penelitian hukum normatif bertujuan untuk mempelajari norma-norma atau kaidah hukum yang dilakukan dalam praktik hukum. 28 Pendekatan kasus dilakukan dengan cara melakukan analisa terhadap Putusan Pengadilan Serang nomor 419 / PID.B / 2011 / PN.SRG tentang putusan pidana yang mengadili Jemaat Ahmadiyah yang menjadi sasaran amuk massa intoleran di Cikeusik, Serang, Banten dengan 6 (enam) bulan penjara. Selanjutnya, pendekatan perungan-undangan (statute approach) adalah metode penelitian dengan menelaah semua peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan isu hukum yang diteliti. 29 Dalam penelitian ini penulis menelaah sejumlah peraturan dimulai dari lokal, nasional, hingga internasional terkait isu perlindungan HAM terhadap Jemaat Ahmadiyah dan Penyelesaian kasus kekerasan terhadap Jemaat Ahmadiyah di wilayah Cikeusik Indonesia. Adapun pendekatan fakta dilakukan dengan cara mengkaji permasalahan kekerasan terhadap Jemaat Ahmadiyah di wilayah Cikeusik Indonesia. Pentingya pendekatan fakta digunakan dalam skripsi ini untuk menemukan fakta-fakta pelanggaran hukum dalam tragedi Cikeusik, Serang, Banten.
28 29
Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, op.cit. h. 190 Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, op.cit. h. 186
17
Pendekatan sejarah dilakukan dengan menelaah latar belakang dan perkembangan materi yang diteliti. 30 Pendekatan ini penting digunakan karena untuk mengetahui relevansi ICCPR dalam melindungi kebebasan berfikir, beragama, dan berkeyakinan khususnya bagi Jemaat Ahmadiyah. Pendekatan analisis dan konsep hukum digunakan untuk menganalisa konsep hukum terkait hak kebebasan beragama dan berkeyakinan baik dari hukum nasional nya maupun hukum internasionalnya. Selain itu untuk mengetahui konsep perlindungan HAM yang digunakan oleh Indonesia. Pendekatan perbandingan digunakan untuk membandingkan peraturan hukum nasional yang berkaitan dengan kebebasan beragama dan berkeyakinan dengan hukum internasional yang juga mengatur hal tersebut. Pendekatan perbandingan digunakan untuk mengetahui apakah terjadi kekosongan norma atau konflik norma dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia terkait perlindungan kebebasan berfikir, beragama, dan berkeyakinan. 1.8.3. Sumber Bahan Hukum Berdasarkan atas penggunaan bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder dalam penelitian hukum normatif, masing-masing dapat diuraikan sebagai berikut. 31 Bahan hukum primer adalah bahan hukum autoritatif, artinya mempunyai ototritas. 32 Bahan hukum primer terdiri atas asas dan kaidah hukum yang dapat berupa peraturan perundang-undangan dalam arti luas, perjanjian internasional,
30
Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, op.cit, h.189 Fakultas Hukum Universitas Udayana, op.cit. h.76. 32 Peter Mahmud Marzuki, 2014, Penelitian Hukum, Cetakan Ke-7, Prenadamedia Grup, Jakarta, h. 181. 31
18
konvensi ketatanegaraan, putusan pengadilan, keputusan tata usaha negara, hukum adat (tertulis dan tidak tertulis). 33 Dalam penulisan ini bahan hukum primer yang digunakan yaitu Universal Declaration of Human Rights, International Covenant on Civil and Poltical Rights, Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang berguna untuk memberikan peneliti semacam “petunjuk” ke arah mana peneliti melangkah. 34 Bahan hukum sekunder terdiri atas buku-buku hukum (text book), jurnal-jurnal hukum, karya tulis hukum atau pandangan ahli hukum yang termuat dalam media massa, kamus dan ensiklopedi hukum (beberapa penulis hukum menggolongkan kamus dan ensiklopedi hukum ke dalam bahan hukum tersier), dan internet dengan menyebut nama situsnya. 35 Dalam penulisan ini menggunakan bahan hukum seperti putusan pengadilan, literatur-literatur, berita-berita yang relvan untuk menjawab permasalahan yang ada pada skripsi ini. 1.8.4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Sebagai suatu penelitian hukum normatif, pengumpulan bahan hukum dilakukan dengan teknik studi pustaka terhadap bahan-bahan hukum, baik bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, maupun bahan hukum tersier dan atau bahan non-hukum. Penelusuran bahan-bahan hukum tersebut dapat dilakukan
33
Fakultas Hukum Universitas Udayana, loc.cit. Peter Mahmud Marzuki, op.cit, h.196. 35 Fakultas Hukum Universitas Udayana, loc.cit. 34
19
dengan membaca, melihat, mendengarkan, maupun sekarang banyak dilakukan penelusuran bahan hukum tersebut dengan melalui media internet. 36 1.8.5. Teknik Analisis Bahan Hukum setelah semua bahan hukum terkumpul dalam skripsi ini, selanjutnya bahan tersebut diseleksi dan dikelompokkan dengan bahan hukum lainnya yang sesuai dengan permasalahan yang akan dibahas. Setelah itu dianalisa dengan teknik analisis deskripsi. Teknik analisis deskripsi berarti uraian apa adanya terhadap suatu kondisi atau posisi dari proposisi-proposisi. Tujuan digunakannya analisis deskripsi adalah untuk memberikan uraian yang utuh atas permasalahan yang ada pada skripsi ini sehingga mendapatkan kebenaran formil.
36
Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, op.cit, h.160.