BAB I PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Masalah Citra DPR dan anggotanya, akhir-akhir ini makin merosot. Kenyataan ini merupakan
sesuatu hal yang menyedihkan, karena sebetulnya, para anggota DPR memiliki panggung politik yang hebat untuk memainkan perannya secara maksimal. Apalagi, dalam menjalankan fungsi dan perannya sebagai pejabat negara, para anggota DPR difasilitasi oleh negara. Peran politik anggota DPR sesungguhnya bukan hanya ketika bersidang di gedung DPR, Senayan Jakarta, tetapi juga berbagai aktivitas formalnya dalam berinteraksi dengan masyarakat, utamanya ketika membela kepentingan rakyat atau ketika melakukan kontrol terhadap jalannya pemerintahan. Peran tersebut mestinya digunakan oleh para anggota DPR untuk memainkan skenario yang disusun sesuai
kehendak publiknya. Pendeknya, anggota DPR adalah aktor yang
memainkan peran tidak saja atas nama dirinya, tetapi juga kehendak publiknya. Dengan demikian, mereka akan memperoleh citra positif di mata masyarakat. Menurut pandangan masyarakat, para anggota DPR periode 2009-2014 adalah manusiamanusia pilihan atau putra-putra terbaik bangsa, karena mereka terpilih melalui penyaringan politik yang sangat ketat dalam pemilihan umum yang langsung, umum, bebas, dan rahasia. Sebagaimana diketahui, DPR mempunyai fungsi dan peran yang sangat penting, yakni membuat undang-undang, menetapkan APBN dan melakukan pengawasan terhadap jalannya pemerintahan.
Selain itu, sebagai bagian dari MPR, DPR memiliki kekuasaan untuk mengangkat dan memberhentikan presiden dan wakil presiden bila keduanya baik sendiri-sendiri atau bersamasama melanggar konstitusi. 1 DPR juga memiliki kewenangan untuk memilih Panglima TNI, Kapolri, anggota MA, anggota BPK, Gubernur BI, deputi Gubernur BI, anggota Komisi Yudisial, KPK, duta besar dan sederet kekuasaan penting lainnya. Karena demikian penting dan strategisnya posisi DPR, maka seharusnya para anggota DPR terdiri dari orang-orang yang terpercaya. Para anggota DPR harus benar-benar memiliki komitmen yang tinggi untuk menjalankan kewajibannya sebagai wakil rakyat. Mereka tak boleh korupsi, menyalahgunakan kekuasaan dan kewenangannya untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya. Keberadaan para wakil rakyat di DPR bukan untuk sekedar mencari sesuap nasi atau mencari nafkah, tetapi betul-betul untuk mengabdi kepada bangsa dan negara serta rakyat yang diwakilinya. Amat berbahaya kalau DPR diisi oleh orang-orang yang bermental bobrok. Apa jadinya kalau negara ini diurus oleh orang-orang yang tidak punya komitmen untuk membawa negara ini maju dan rakyatnya hidup sejahtera. Atas pertimbangan-pertimbangan itulah, peneliti memutuskan untuk memilih judul Pendapat Mahasiswa Program Kelas Karyawan Fakultas Ilmu Komunikasi (PKK FIKOM) Universitas Mercubuana Jakarta Terhadap Citra DPR RI yang Dikemas Dalam Media Massa Periode Januari-April 2010. 1
Kitab UUD 1945 lengkap (dalam lintasan amandemen dan UUD yang pernah berlaku di Indonesia Tahun 1945-2005), Lima Adi
Sekawan, Jakarta, 2006
Dari hasil penelitian di media massa periode Januari – April 2010, ternyata disiplin para anggota DPR hasil pemilu legislatif 2009, tidak lebih baik dari anggota DPR periode sebelumnya. Tingkat kehadiran mereka di sidang-sidang DPR masih minim. Seperti diberitakan di Media Indonesia, mereka disebut tengah dijangkiti ‘virus kemalasan’. Hal itu terlihat dalam rapat paripurna DPR tanggal 26 Januari 2010 untuk membahas pertanggung jawaban UU APBN 2008. 2 Dalam kaitan disiplin bersidang, anggota Komisi VI DPR dari Fraksi Partai Golkar, Lily Asdjudiredja mengakui kondisinya memang parah. Politisi senior dari Partai Golear ini sering mengeluh, ‘’Payah sekali, rapat-rapat komisi hanya dihadiri beberapa gelintir orang. Para anggota DPR baru terutama yang masih muda-muda, ternyata lebih parah, mereka tak disiplin, masih kalah dengan yang tua-tua seperti kami ini. Kita sampai malu pada tamu-tamu yang kita undang, mereka sudah datang tepat waktu, tetapi anggota DPR-nya malah malas sehingga rapat sering ditunda karena quorum tidak tercapai.’’ Dalam pemberitaan di media massa periode Januari 2010, terungkap bahwa DPR juga kurang serius dalam menjalankan tugas dan fungsinya, sebagai misal, mereka tajam dalam menanggapi ketimpangan dalam pengadaan mobil dinas pejabat negara. Mereka kurang peka terhadap kondisi sosial masyarakat yang mengeluh soal fasilitas gedung-gedung sekolah dasar (SD) yang rusak berat karena tidak ada dana untuk memperbaikinya. Sikap para DPR seolah-olah mendiamkan ketika para pejabat negara, baik menteri maupun pimpinan lembaga tinggi negara seperti DPR, MPR, DPD mendapat fasilitas mobil mewah senilai Rp 1,3 miliar, padahal pengadaannya menyalahi aturan. Kebijakan itu menjadi perbincangan dan sorotan publik yang ramai di media massa yang membandingkan pemberian fasilitas serupa kepada pejabat negara di negara lain. Sebagai misal, 2
(Media Indonesia, 27 Januari 2010, halaman 12).
Perdana Inggris nilai mobil dinasnya hanya 21.000 dolar AS (Rp 197 juta), Kaisar Jepang hanya 50.000 dolar AS (Rp 469 juta), dan mobil dinas Perdana Menteri Malaysia seharga 140.000 ringgit Malaysia (Rp 383 juta). 3 Direktur Eksekutif Masyarakat Pemantau Kebijakan Eksekutif dan Legislatif (Majelis) Sugianto dalam pernyataannya, mengatakan, 100 hari setelah pelantikan anggota DPR hasil pemilu 2009, DPR belum menunjukkan kinerja apa-apa selain menjalankan fungsi pengawasan dalam kasus Century. Ia mengatakan, ‘’Citra DPR malah terkoyak oleh sikap dan perilaku anggota Pansus Century dari Fraksi Demokrat Ruhut Sitompul yang melontarkan ucapan kurang pantas seperti kata-kata ‘diam kau, bangsat’ dalam rapat Pansus Kasus Century.’’ Menurut Direktur Indonesia Parliamentary Center (IPC) Sulistio, sikap dan perilaku Ruhut Sitompul yang seperti itu semakin menambah buruknya citra DPR. Ia menyarankan agar kasus Ruhut segera diselesaikan di Badan Kehormatan (BK) DPR sehingga kasus itu tidak terulang lagi di kemudian hari. Di sisi lain, Direktur Institute of National Leadership dan Public Policy (INLAPP) Daniel Johan mengkritik rencana pembangunan gedung baru DPR, padahal itu bukan termasuk kebutuhan yang sangat mendesak dan menjadi prioritas. Menurutnya, anggota DPR kurang sensitif terhadap kondisi perekonomian masyarakat dan mereka hanya mengutamakan kepentingan pribadi.
4
Sebelumnya Direktur Forum Masyarakat Pemerhati Parlemen Indonesia, Sebastian Salang menyebutkan, selama masa bhakti DPR periode 2004-2009, tidak ada keputusan politik
3 4
Media Indonesia, 4 Januari 2010, halalan 1
Rakyat Merdeka, 27 Januari 2010, hal 8
yang luar biasa, apalagi prestasi yang gemilang. Lima tahun berjalan biasa-biasa, memang ada yang berhasil dikerjakan tetapi tidak sedikit harapan rakyat yang gagal diwujudkan. Ia menilai, DPR belum maksimal melaksanakan fungsi dan tugasnya baik dalam bidang legislasi, anggaran, maupun pengawasan. Sebegai representasi rakyat, DPR kerap keliru dalam mengartikulasikan aspirasi rakyat, sehingga kebijakan yang dihasilkan bertentangan dengan kehendak dan kebutuhan masyarakat. Alhasil, banyak undang-undang produk DPR, banyak yang digugat dan dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi. Sejak awal DPR dikritik karena dua hal, yakni kinerjanya yang buruk dan citranya yang kian memburuk juga. Target legislasi tiap tahun tidak pernah tercapai. Sampai akhir masa bhaktinya, DPR hanya mampu menghasilkan 60 persen dari target.
Artinya, DPR banyak
meninggalkan pekerjaan rumah kepada DPR periode berikutnya. 5 Hasil survey Transparansi Internasional (TI) menempatkan DPR sebagai salah satu lembaga terkorup di Indonesia. Menurut Sebastian Salang, ada praktek percaloan anggaran, tertangkapnya sejumlah anggota DPR saat menerima suap dan sejumlah kasus lainnya, semakin menyeret citra negatif DPR hingga ke titik nadir. 6 Upaya untuk memperbaiki kedua hal tersebut memang dilakukan. Misalnya, untuk memperbaiki kinerja, DPR telah membentuk Tim Peningkatan Kinerja. Tim ini diberi mandat khusus yakni mengkaji faktor penyebab rendahnya kinerja DPR. Hasil kerja tim ini sebenarnya cukup
baik jika dilihat dari rekomendasinya, tetapi dalam implementasinya masih
mengecewakan, karena sampai masa bhakti DPR periode 2004-2009 berakhir, rekomendasinya tidak pernah dieksekusi atau dilaksanakan.
5 6
Laksono, Agung. Dari Rumah Rakyat Mengawal Demokrasi. Jakarta : Perpustakaan nasional RI, 2009. Hal. 329. Ibid. hal. 332.
DPR juga membentuk Badan Kehormatan tetapi karena kekuasaannya terbatas, maka kinerjanya tidak mampu menghapus citra negatif DPR. Masalah laporan kegiatan DPR, juga kurang transparan. Dalam hal ini, rapat-rapat Pansus dan Panja DPR sering dilakukan di ruang tertutup, sehingga publik tidak tahu persis kiprah DPR yang sesungguhnya. Pemimpin Redaksi (Pemred) Metro TV Elman Saragih dalam ceramahnya di depan para anggota Fraksi PPP DPR pada 25 Oktober 2009 lalu, juga menyebut, DPR mengalami krisis kredibilitas karena penyakit korupsi. Ia membandingkan, di era Soeharto, penyakit korupsi hanya berada di domain eksekutif, tetapi kini telah melanda dengan sangat kencang di DPR. Menurut dia, ungkapan DPR sebagai sarang korupsi, bukanlah tuduhan media atau para jurnalis yang sedang mencari sensasi. Karena lembaga Transparansi Internasional yang memiliki cabang di seluruh Indonesia dalam beberapa tahun surveinya menemukan fakta bahwa DPR termasuk lembaga peringkat atas pelaku korupsi. Masalah ini semakin kompleks ketika survei juga menemukan partai politik dari mana anggota DPR berasal ternyata juga menjadi salah satu lembaga yang korup. Pada akhirnya krisis kredibilitas yang berpangkal pada nafsu korupsi, tidak lagi semata kecenderungan para oknum atau individu, tetapi sudah menjadi naluri kolektif. Naluri yang berpangkal dari mentalitas dan tabiat yang dipupukkembangkan dalam kehidupan sosial, termasuk di lingkungan parpol. Ini tentu dilematis. Karena di satu sisi, suka atau tidak suka, lembaga legislatif tidak bisa tergantikan dalam proses bernegara, apalagi yang menganut paham demokrasi. Tetapi di lain sisi, lembaga yang sangat vital ini mengalami krisis yang amat parah. Selalu kita mendengar pembelaaan dari waktu ke waktu bahwa yang korupsi adalah oknum, bukan lembaga. Akan tetapi yang kita saksikan sampai dengan saat ini, upaya lembaga
untuk meningkatkan kredibilitas di mata publik belum optimal. Bahkan terkesan lembaga ini selalu mencari jalan untuk melindungi praktek korupsi. Salah satu yang tidak optimal dilakukan, adalah fungsionalisasi Badan Kehormatan. Tetapi badan ini dibatasi oleh aturan yang sengaja membuatnya mandul untuk memerangi perilaku yang
menyimpang. Maka jadilah Badan
Kehormatan yang sangat tidak mampu menjaga keagungan etika. Ketika DPR memiliki banyak kewenangan rekrutmen pejabat publik, di sana juga terbuka peluang komersialisasi kewenangan. Semua orang tahu, apa yang sesungguhnya terjadi dengan setiap fit and proper test yang berlangsung di DPR. Inilah kewenangan yang dalam istilah umum juga termasuk di kalangan anggota DPR sendiri menyebabkan DPR mudah terpengaruh oleh halhal yang negatif. Karena mudah terpengaruh, maka DPR tidak lagi peduli pada pejabat yang ikut fit and proper test. Sebagai contoh, terlepas dari proses hukum yang sedang berlangsung, DPR ngotot menggolkan pimpinan KPK yang kemudian harus kecewa karena mereka salah pilih. Demikian juga dengan pemilihan pimpinan KPU, Gubernur dan Deputy Gubernur BI. Semua menyesal mengapa orang-orang itu bisa lolos seleksi di DPR. Masih banyak contoh yang bisa dikemukakan untuk memperlihatkan bahwa pintu bagi nafsu korupsi dibuka lebar-lebar di DPR. Salah satu yang menyebabkan banyak anggota DPR masuk bui adalah ketika Dewan diperbolehkan membahas anggaran sampai ke tingkat proyek. Anggota Dewan lalu menjadi calo proyek di mana-mana, mereka menjadi pemburu komisi yang dalam banyak hal memperumit penciptaan pemerintahan yang bersih dan berwibawa. Salah satu yang ikut membuat kredibilitas DPR ambruk adalah kepeduliannya yang lemah terhadap penegakan hukum. Ketika DPR ngotot mengejar target legislasi, maka mereka
tidak peduli lagi apakah hasil karyanya yang berupa undang-undang itu berkualitas atau tidak dan sebagainya. Memerangi nafsu korupsi yang merasuki anggota DPR, kedengarannya gampang, tetapi sulit dilaksanakan. Karena nafsu korupsi telah ada dari hulu kehidupan sosial kita. Andaikata KPK tiap hari menangkap anggota DPR karena korupsi pun, itu tidak akan mengendorkan nafsu itu kalau upaya pemberantasannya tidak dilakukan di hilir yaitu di partai politik, termasuk fraksi sebagai kepanjangan tangan partai. Terlepas dari kesulitan dan kerumitan membangun kembali kredibilitas DPR, sesungguhnya hal itu bisa dilakukan lewat hal-hal kecil dan kasat mata. Menurutnya, kredibilitas anggota DPR bisa dibangun melalui hal-hal yang sederhana dan murah., misalnya dengan menegakkan disiplin bersidang. Contoh misalnya, jangan tidur di ruang sidang, jangan hadir untuk tanda tangan, jangan main SMS atau menerima telepon selagi bersidang. Partai harus berani merecall anggotanya yang malas bersidang, yang asal bicara atau bicara yang tidak berbobot atau yang melakukan perbuatan tercela dan kriminal lainnya. Tetapi di balik kelemahan-kelemahan tersebut, terutama soal kinerja DPR yang masih memprihatinkan, ternyata ada satu peristiwa menarik yang mengubah image masyarakat terhadap citra negatif DPR menjadi positif. Peristiwa tersebut adalah Pansus Penyelidikan Kasus Bank Century yang secara gigih berupaya untuk mengungkap peristiwa pembobolan uang negara sebesar Rp 6,7 triliun yang melibatkan para pejabat tinggi negara. Sedikit banyak, pansus tersebut dapat meningkatkan bobot DPR. Image para anggota DPR yang selama ini dicap malas-malasan bekerja, mulai tertolong, karena Pansus yang beranggotakan 30 orang dari 9 fraksi itu bekerja keras siang-malam, dan
tanpa merasa lelah. Kegigihan anggota DPR untuk mengungkap kasus yang merugikan negara patut dibanggakan. Dengan adanya pansus itu, citra DPR membaik dan rakyat senang dengan peristiwa itu. Ada beberapa alasan yang mendorong peneliti memilih judul Pendapat Mahasiswa Program Kelas Karyawan Fakultas Komunikasi Universitas Mercu Buana Jakarta terhadap Citra DPR RI yang dikemas dalam Media Massa periode Januari-April 2010. Yakni pertama, peneliti ingin mengetahui bagaimana sejatinya opini para mahasiswa terhadap performance DPR termasuk kiprah para anggotanya. Kedua, kenapa peneliti memilih mahasiswa Universitas Mercu Buana Program Kelas Karyawan sebagai obyek penelitian ini. Pertimbangannya adalah, faktor kemudahan, dalam pengertian, sudah saling kenal dan mudah dihubungi. Selain itu,
mereka juga memahami
persoalan. Dari segi pengetahuan dan pengalaman misalnya, mereka punya nilai lebih. Dari segi usia, rata-rata mereka juga lebih tua atau lebih senior sehingga relatif lebih matang dalam berfikir dan bertindak. Hal itu karena umumnya mereka sudah bekerja dan sudah berkeluarga sehingga punya tanggung jawab yang relatif lebih tinggi ketimbang mahasiswa reguler. Ketiga, kenapa mahasiswa Universitas Mercu Buana Jakarta yang menjadi alternatif pilihan untuk diteliti? Karena jika dibandingkan dengan mahasiswa universitas lain, jumlah mahasiswa kelas karyawan di universitas ini lebih banyak dan lebih militan. Selain itu, dari sejarah kelahiran universitas ini, para pendirinya dikenal sebagai tokohtokoh nasionalis yang cinta kepada bangsa dan negaranya sehingga sudah barang tentu, mereka akan merasa bangga bila para alumninya nanti lebih peduli pada praktek kehidupan berbangsa
dan bernegara yang lebih baik dan sehat. Dengan kata lain, diharapkan para alumnus universitas ini rasa memiliki terhadap kelangsungan hidup bangsanya yang lebih baik. Seperti diketahui, sekarang ini kepercayaan masyarakat terhadap Universitas Mercu Buana jurusan FIKOM, khususnya program kelas karyawan Universitas Mercu Buana dari hari ke hari makin meningkat. Bahkan, cukup banyak perusahaan yang memberikan beasiswa kepada karyawannya untuk melanjutkan pendidikannya di Program Kuliah Kelas Karyawan Universitas Mercu Buana. Sesuai data, program kuliah karyawan Universitas Mercu Buana mulai diselenggarakan pada Semester Ganjil Tahun Akademik 2002/2003 dan sampai saat ini jumlah mahasiswanya telah mencapai 11.769 orang. Tetapi lebih dari semua itu, peneliti juga berkeinginan agar generasi muda khususnya para mahasiswa Universitas Mercu Buana, terus dipacu semangatnya supaya mempunyai tanggung jawab yang besar terhadap kelangsungan hidup bangsanya, di antaranya melalui opini mereka terhadap kinerja DPR. Para mahasiswa perlu dilibatkan dalam proses pengawalan terhadap kiprah dan sepak terjang para anggota DPR. Mereka harus menyadari bahwa sebagian besar rakyat kita belum terbebas dari kebodohan dan kemiskinan dan keterbelakangan. Nasionalisme para mahasiswa harus dibangkitkan untuk ikut memerangi penyakit itu. Untuk itu para mahasiswa harus diberi peran untuk mengawasi kiprah DPR agar sepak terjangnya tidak melenceng. 1.2.
Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah sebagaimana dikemukakan di atas, maka perumusan
masalahnya adalah bagaimana pendapat mahasiswa Program Kelas Karyawan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Mercu Buana Jakarta terhadap citra DPR RI yang dikemas dalam media
massa periode Januari – April 2010, dalam Kasus Pansus Korupsi di Bank Century DPR dan Kasus-kasus yang Melibatkan Anggota DPR Pasca Pansus Bank Century. 1.3.
Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka secara operasional studi ini mempunyai
tujuan yakni untuk mengetahui dan menggambarkan tentang pendapat Mahasiswa Program Kelas Karyawan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Mercu Buana Jakarta Pada Citra DPR RI. 1.4.
Signifikasi Akademis dan Praktis
1.4.1 Signifikansi Akademis Hasil penelitian ini diharapkan bisa bermanfaat bagi proses pembelajaran dan pengembangan ilmu komunikasi di Indonesia, setidaknya bagi
Jurusan Public Relations,
Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Mercu Buana Jakarta, khususnya tanggapan pada media relations yang dilakukan oleh DPR RI. 1.4.2 Signifikasi Praktis Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi DPR dalam upaya meningkatkan citranya di masa mendatang.