BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Cedera saraf tepi dapat diakibatkan oleh proses traumatik misalnya karena kecelakaan, penekanan tumor, pembedahan, maupun proses penyakit seperti diabetes mellitus dan infeksi. Cedera saraf yang umumnya terjadi adalah cedera transeksi dan kompresi saraf tepi (Burnett dan Zager, 2004; Austin dan MoalemTaylor, 2010; Kiguchi et al., 2012; Stoll et al., 2002). Cedera saraf akibat transeksi menyebabkan pemutusan serabut saraf tepi secara komplit. Pada cedera kompresi, selubung yang terdiri dari jaringan ikat tidak rusak, namun telah terjadi pemutusan beberapa akson (Burnett dan Zager, 2004). Akibat cedera, saraf tepi kemudian akan berespon untuk regenerasi. Proses regenerasi ini dapat berlangsung sempurna, namun bisa berlangsung tidak sempurna, sehingga dapat menimbulkan gangguan motorik berupa atropi otot dan gangguan sensorik berupa munculnya nyeri neuropati dan gangguan sensitivitas indera di kulit (Austin dan Moalem-Taylor, 2010; Rotshenker, 2011; Kiguchi et al., 2012). Cedera saraf menyebabkan bagian distal dari saraf yang cedera mengalami proses degenerasi Wallerian. Degenerasi Wallerian melibatkan serangkaian proses yang diawali dengan proses dediferensiasi dan proliferasi sel Schwann. Sel Schwann akan melepaskan kemokin seperti monocyte chemoattractant protein-1 (MCP-1), macrophage inflammatory protein-1 α (MIP-1α) yang menyebabkan migrasi makrofag dari sirkulasi darah. Makrofag kemudian melepaskan sitokin seperti Tumor Necrosis Factor-α (TNF-α), Interleukin-1α (IL-1α), memfagositosis 1
debris sehingga tercipta lingkungan yang kondusif untuk proses regenerasi (Gaudet et al., 2011; Rotshenker, 2011; Hall, 2005; Kiguchi et al., 2012; Rosenberg et al., 2012; Vargas et al., 2007). Penelitian tentang respon makrofag akibat cedera saraf tepi telah menggunakan beberapa model cedera saraf tepi yaitu transeksi, kompresi maupun ligasi. Avellino et al. (1995) meneliti tentang respon makrofag pada cedera saraf tepi dengan menggunakan model transeksi saraf tepi. Cedera saraf dengan model cedera kompresi telah dilakukan oleh Perry et al. (1987), yang meneliti tentang respon makrofag setelah cedera saraf tepi dengan menggunakan pinset. Leskovar et al. (2000) juga melakukan penelitian tentang jumlah makrofag setelah cedera saraf menggunakan model cedera kompresi dengan menggunakan pinset yang tumpul, sehingga tidak merusak jaringan saraf sekitar. Sedangkan model cedera saraf dengan model ligasi (konstriksi kronis) dilakukan dengan mengikat saraf menggunakan benang operasi sehingga diharapkan dapat menimbulkan kerusakan bagi sebagian akson dengan timbulnya pembengkakan dan strangulasi akson (Decosterd dan Woolf, 2000). Makrofag akan berakumulasi setelah cedera baik di dalam fasikulus maupun di luar fasikulus. Makrofag kemudian akan memediasi reaksi proinflamasi dan regenerasi di dalam fasikulus. Makrofag akan mengeluarkan beberapa sitokin proinflamasi seperti TNF-α, IL-1 dan IL-6 yang berguna untuk proses pembersihan debris myelin dan menyediakan ruang untuk proses regenerasi. Tetapi, akumulasi makrofag ini dalam jumlah yang banyak justru dapat menghambat regenerasi saraf. Akumulasi makrofag ini di dalam maupun di
2
luar fasikulus setelah cedera menarik untuk diketahui karena perannya terhadap inflamasi dan regenerasi saraf tepi (Kigerl et al., 2009; Laskin, 2009). Beberapa penelitian dengan model cedera transeksi telah membuktikan adanya peningkatan jumlah makrofag pada fasikulus maupun di luar fasikulus segmen distal saraf setelah cedera. Akibat adanya pemutusan serabut saraf secara komplit ini mengakibatkan akumulasi makrofag pada epineurium pada hari ke-3 dan pada endoneurium mulai hari ke-7 sampai hari ke-14 setelah cedera transeksi (Avellino et al., 1995; Taskinen dan Roytta, 1997). Namun akumulasi makrofag di dalam fasikulus dan di luar fasikulus pada cedera kompresi akut yang tidak menyebabkan pemutusan serabut saraf secara komplit belum diketahui. Mengingat pentingnya peranan makrofag dalam cedera saraf akut, dan belum adanya data yang rinci tentang persentase jumlah makrofag, terutama di dalam fasikulus maupun di luar fasikulus dengan model cedera kompresi pada segmen proksimal, segmen cedera dan segmen distal serta masih adanya laporan yang bervariasi mengenai puncak akumulasi makrofag pada cedera akut saraf tepi menjadi dasar untuk dilakukan penelitian ini. I.2. Perumusan Masalah Bagaimana distribusi makrofag pada jaringan saraf tepi setelah cedera kompresi akut nervus ischiadicus terutama dalam fasikulus maupun di luar fasikulus segmen proksimal, segmen cedera dan segmen distal ?
3
I.3. Tujuan Penelitian Berdasarkan perumusan masalah maka tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui persentase jumlah makrofag dalam fasikulus maupun di luar fasikulus pada segmen proksimal, segmen cedera, dan segmen distal setelah terjadi cedera kompresi akut pada nervus ischiadicus. I.4. Keaslian Penelitian Belum adanya peneliti yang melakukan penelitian jumlah makrofag dalam fasikulus dan di luar fasikulus pada daerah proksimal, daerah cedera, dan daerah distal cedera nervus ischiadicus setelah trauma kompresi akut menjadi keaslian penelitian ini. Ketika dilakukan pencarian di Pubmed dengan kata kunci macrophage, peripheral nerve injury, epineurium, endoneurium, penelitian yang paling mirip adalah: 1. Avellino et al. (1995) dan Taskinen dan Roytta (1997) melakukan penelitian tentang respon makrofag setelah cedera transeksi saraf tepi. Perbedaan dengan penelitian ini terletak pada jenis model cedera saraf. 2. Leskovar et al. (2000) dan Omura et al. (2005) melakukan penelitian tentang makrofag pada cedera kompresi saraf tepi. Perbedaan dengan penelitian ini adalah terletak pada daerah cedera yang diamati
4
I.5. Manfaat Penelitian Mengetahui pola akumulasi dan peran makrofag berdasarkan hari setelah cedera kompresi akut pada saraf tepi, baik di dalam fasikulus maupun di luar fasikulus pada segmen proksimal, segmen cedera dan segmen distal nervus ischiadicus.
5