BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Program Kebun Bibit Rakyat (KBR) merupakan salah satu program pemerintah yang ditujukan untuk terus meningkatkan capaian rehabilitasi hutan dan lahan. Program tersebut merupakan fasilitasi pemerintah dalam penyediaan bibit tanaman hutan dan jenis tanaman serbaguna Multi Purpose Tree Species (MPTS) yang prosesnya dibuat secara swakelola oleh kelompok tani. Sasaran penanaman bibit hasil KBR digunakan untuk merehabilitasi dan menanam di lahan kritis, lahan kosong, dan lahan tidak produktif sebagai upaya percepatan rehabilitasi hutan dan lahan yang terdegradasi. Terutama terkait dengan pemenuhan kebutuhan bibit baik dari segi jenis, jumlah, dan kualitas bibit (Silalahi, 2013: 1). Program KBR mulai dicanangkan pada tahun 2010 oleh Kementerian Kehutanan sebagai suatu program berskala nasional. Urgensi pencanangan Program KBR sendiri tidak dapat dilepaskan dari ketentuan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang pada Pasal 2 menyebutkan bahwa “Penyelenggaraan kehutanan berasaskan asas manfaat dan lestari, kerakyatan, keadilan, kebersamaan, keterbukaan, dan keterpaduan”. Asas kelestarian dalam hal ini yang kemudian mendorong pencanangan program-program rehabilitasi hutan dan lahan, termasuk Program KBR.
1
2
Sejak dicanangkan pada tahun 2010, setiap tahunnya pemerintah selalu menyusun Pedoman Penyelenggaraan Kebun Bibit Rakyat melalui Peraturan Menteri Kehutanan (Permenhut). Terdapat pula peraturan yang diubah pada tahun berjalan. Hal demikian bergantung pada kesesuaian pedoman yang telah disusun dengan kondisi yang dihadapi di lapangan. Berikut merupakan tabel yang menunjukan peraturan mengenai Pedoman Penyelenggaraan Kebun Bibit Rakyat untuk 4 tahun anggaran (beserta aturan perubahannya) tahun 2010 sampai dengan tahun 2013: Tabel 1.1. Pedoman Penyelenggaraan Kebun Bibit Rakyat Tahun
Peraturan
2010
Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor: P. 24/Menhut-II/2010 tentang Pedoman Penyelenggaraan Kebun Bibit Rakyat Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor: P.46/Menhut-II/2010 tentang Perubahan atas
Peraturan
Menteri
P.24/Menhut-II/2010
Kehutanan tentang
Nomor Pedoman
Penyelenggaraan Kebun Bibit Rakyat 2011
Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor: P.23/Menhut-II/2011 tentang Pedoman Teknis Kebun Bibit Rakyat
2012
Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor: P.17/Menhut-II/2012 tentang Pedoman Teknis Kebun Bibit Rakyat
2013
Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor:
P.12/Menhut-II/2013
Pedoman
Penyelenggaraan Kebun Bibit Rakyat
3
Berdasarkan data pada tabel tersebut, dapat dilihat bahwa untuk setiap tahunnya pedoman teknis penyelenggaraan KBR diperbaharui. Untuk tahun 2010, dapat dilihat bahwa peraturan tersebut mengalami perubahan. Selain itu, tabel tersebut juga menunjukan bahwa implementasi Program KBR pada awalnya dilakukan berdasarkan pada Permenhut Nomor: P. 24/Menhut-II/2010 tentang Pedoman Penyelenggaraan Kebun Bibit Rakyat. Ketentuan Bab I huruf c dari Permenhut tersebut menyatakan bahwa KBR adalah upaya penyediaan bibit berkualitas melalui pembuatan bibit jenis tanaman hutan dan jenis tanaman serbaguna (MPTS) oleh kelompok pengelola. Berdasarkan hal demikian, maka dapat dilihat bahwa Program KBR awalnya hanya sebatas ditujukan bagi upaya penyediaan bibit berkualitas melalui pembuatan bibit saja. Ketentuan yang mendasari implementasi Program KBR tersebut kemudian diubah melalui Permenhut Nomor: P.46/Menhut-II/2010 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.24/Menhut-II/2010 tentang Pedoman Penyelenggaraan Kebun Bibit Rakyat. Pada aturan perubahannya, pengertian KBR diubah. Perubahan dapat dilihat bahwa sebelumnya KBR sebatas diartikan sebagai program penyediaan bibit berkualitas melalui pembuatan bibit saja, menjadi program penyediaan bibit yang meliputi pembuatan dan/atau pengadaan bibit. Selain itu, ditambahkan pula ketentuan mengenai sumber pembiayaannya yang dapat bersumber dari dana APBN atau Non APBN (Bab I huruf c). Tahun 2011 dan 2012, Program KBR kembali didefinisikan ulang. Tahun 2011 program tersebut dilaksanakan berdasarkan pada ketentuan Permenhut Nomor: P.23/Menhut-II/2011 tentang Pedoman Teknis Kebun Bibit Rakyat,
4
sedangkan pada tahun 2012 pada Permenhut Nomor: P.17/Menhut-II/2012 tentang Pedoman Teknis Kebun Bibit Rakyat. Program KBR dalam dua ketentuan tersebut didefinisikan sebagai kebun bibit yang dikelola oleh kelompok masyarakat melalui pembuatan bibit berbagai jenis tanaman hutan dan/atau tanaman serbaguna (MPTS) yang pembiayaannya dapat bersumber dari dana pemerintah atau non pemerintah. Berdasarkan pengertian tersebut, dapat dilihat bahwa pada tahun 2011 dan 2012 KBR kembali hanya mencakup pembuatan bibit. Sementara sumber pembiayaannya dapat berasal dari pemerintah dan non pemerintah. Pada perkembangannya, di tahun 2013 Program KBR dalam hal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab pemerintah atas pembiayaannya. Kondisi demikian tidak terlepas dari ketentuan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan yang menjadi suatu bentuk keseriusan pemerintah dalam mencegah dan memberantas tindakan perusakan hutan yang terjadi di Indonesia. Pelaksanaan Program KBR tahun 2013 didasari oleh Permenhut Nomor: P.12/Menhut-II/2013 tentang Pedoman Penyelenggaraan Kebun Bibit Rakyat. Ketentuan tersebut secara tegas menyatakan bahwa penyelenggaraan Program KBR sepenuhnya dibiayai oleh dana yang bersumber dari pemerintah (Bab I huruf c). Hal ini berbeda dengan pengertian KBR pada tahun-tahun sebelumnya yang mengatur bahwa Program KBR dapat pula dibiayai oleh dana non pemerintah atau non APBN. Hal demikian menunjukan bahwa sebagai suatu program berskala nasional dalam hal ini Program KBR telah disusun sedemikian rupa sehingga diharapkan
5
dapat mencapai tujuan yang diharapkan. Permasalahannya adalah bahwa program yang telah diformulasikan tersebut tidak akan dapat mencapai tujuannya apabila tidak diimplementasikan dengan tepat. Implementasi kebijakan menjadi tahapan yang sangat krusial mengingat berhasil atau tidaknya suatu kebijakan mencapai tujuannya akan sangat bergantung pada proses implementasinya. Kegagalan proses implementasi akan berpengaruh pada pencapaian tujuan kebijakan (Winarno, 2002: 15). Berdasarkan hal tersebut, dapat dilihat dengan jelas bahwa implementasi kebijakan adalah tahap yang sangat penting dalam keseluruhan proses kebijakan. Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya bahwa Program KBR merupakan salah satu program berskala nasional. Artinya bahwa program tersebut diimplementasikan secara luas pada lingkup nasional di berbagai daerah di Indonesia. Pada penelitian ini, fokus kajian dilakukan terhadap implementasi Program KBR di wilayah Kabupaten Gunungkidul, Provinsi DIY. Hal tersebut didasari oleh fakta yang menunjukan bahwa jumlah lahan kritis di wilayah Provinsi DIY sebarannya paling tinggi berada di wilayah Kabupaten Gunungkidul. Artinya bahwa jika dibanding wilayah lain di Provinsi DIY, Kabupaten Gunungkidul memiliki lahan kritis dengan jumlah yang cenderung lebih tinggi presentasenya dibandingkan dengan wilayah lainnya. Berdasarkan data dari Laporan Status Lingkungan Hidup Daerah (SLHD) Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 2013, sebaran lahan kritis di wilayah DIY dapat dilihat pada tabel berikut:
6
Tabel 1.2. Sebaran Lahan Kritis di Wilayah Provinsi DIY Tahun 2013 Kabupaten
Presentase
Gunungkidul
60,60%
Kulon Progo
22,78 %
Bantul
12,55%
Sleman
4,07 %
Sumber: Badan Lingkungan Hidup Provinsi DIY (2014) Berdasarkan data pada tabel tersebut, dapat dilihat dengan jelas bahwa dari keseluruhan lahan kritis yang terdapat di Provinsi DIY, 60,60%-nya berada di wilayah Kabupaten Gunungkidul. Data terakhir pada tahun 2014 Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Gunungkidul mencatat setidaknya sekitar 11.500 Ha lahan kritis yang harus segera direvitalisasi untuk mencegah kerusakan lebih parah di wilayahnya. Luas tersebut adalah di luar kawasan hutan negara yang ditangani pemerintah Provinsi DIY seluas 13.000 Ha. Secara keseluruhan, Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Gunungkidul menangani seluas 46.500 Ha lahan kritis dan sekitar 35.000 Ha telah direboisasi (Susmayanti, 2014). Guna mengoptimalkan reboisasi 1.500 Ha lahan kritis tersebut, implementasi Program KBR secara optimal menjadi sangat diperlukan. Oleh sebab itu, penelitian ini difokuskan pada implementasi KBR di Kabupaten Gunungkidul. Implementasi Program KBR di Kabupaten Gunungkidul secara khusus ditunjukan untuk menghijaukan kawasan hutan rakyat yang saat ini berada dalam kondisi kritis melalui penanaman bibit jati, akasia, dan sengon laut. Program tersebut melibatkan beberapa kelompok tani dan masing-masing kelompok menerima dana sebesar Rp 50.000.000 untuk pembelian benih, pupuk, peralatan,
7
dan perlengkapan pendukung persemaian, serta biaya tenaga kerja (Marissa, 2013). Sementara lokasi Program KBR sendiri di Kabupaten Gunungkidul tersebar pada beberapa kecamatan. Berikut merupakan tabel yang menunjukan lokasi wilayah kecamatan dengan jumlah kelompok tani peserta Program KBR di Kabupaten Gunungkidul pada tahun 2013: Tabel 1. 3. Jumlah Kelompok Tani Peserta KBR per Kecamatan Tahun 2013 No
Kecamatan
Jumlah Kelompok Tani
1
Ponjong
5
2
Semin
2
3
Tepus
4
4
Girisubo
2
5
Rongkop
3
6
Karangmojo
3
7
Semanu
5
8
Wonosari
1
9
Tanjungsari
2
10
Paliyan
1
11
Saptosari
2
12
Playen
1
13
Nglipar
4
14
Purwosari
3
15
Gedangsari
1
16
Patuk
1
Sumber: Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Gunungkidul (2013) Berdasarkan data pada tabel tersebut, dapat dilihat bahwa pada tahun 2013 terdapat 40 kelompok tani yang menjadi sasaran Program KBR di Kabupaten Gunungkidul. Kelompok-kelompok tersebut tersebar di 16 kecamatan dengan
8
masing-masing kelompok tani memiliki target dan realisasi bibit masing-masing. Secara keseluruhan, berikut merupakan target dan realisasi bibit pada Program KBR di Kabupaten Gunungkidul untuk tahun anggaran 2013: Tabel 1.4. Target dan Realisasi Bibit Program KBR Kabupaten Gunungkidul Tahun 2013 Target (batang)
Realisasi (batang)
Jati
Sengon
Akasia
Jati
Sengon
Akasia
415.000
1.455.000
130.000
426.504
1.483.700
175.226
Sumber: Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Gunungkidul (2013) Berdasarkan data pada tabel tersebut, dapat dilihat bahwa target yang direncanakan dapat dicapai sebagaimana telihat pada realisasi bibit Program KBR. Bahkan realisasinya cenderung lebih tinggi dari pada target yang ditetapkan. Apabila dilihat dari data tersebut, maka dapat dikatakan bahwa secara kuantitas target
program
telah
terpenuhi.
Permasalahannya
adalah
keberhasilan
implementasi Program KBR tidak hanya secara sederhana dapat dilihat dari ketercapaian hal tersebut saja. Lebih dari itu, proses implementasi program secara keseluruhan juga perlu dilihat. Hal ini menjadi perlu untuk mengetahui proses implementasi secara lebih mendalam. Berdasarkan hal tersebut, dapat dikatakan bahwa diperlukan kajian yang lebih mendalam untuk melihat lebih jauh implementasi kebijakan kebun bibit rakyat di Kabupaten Gunungkidul. Implementasi kebijakan tidak berlangsung di ruang hampa, tetapi terjadi pada lingkungan implementasi tertentu (Effendi, 2000: 89). Oleh sebab itu, hasil implementasi dapat berbeda di daerah yang satu dengan daerah lain. Pada sisi lain, implementasi merupakan suatu tahap penting dalam proses kebijakan. Nugroho
9
(2003: 501) menyatakan bahwa keberhasilan berkaitan dengan ketepatan rencana dengan kontribusi 20%, implementasi 60%, dan 20% sisanya adalah upaya untuk mengendalikan implementasi. Implementasi kebijakan dalam hal ini dinyatakan sebagai hal yang paling berat karena masalah yang tidak dijumpai dalam konsep, akan ditemui di lapangan. Oleh sebab itu, kebijakan yang telah dirumuskan tidak serta merta dapat berhasil dengan optimal tanpa upaya implementasi yang tepat. Berkaitan dengan tingginya jumlah lahan kritis di wilayah Kabupaten Gunungkidul, maka urgensi dari program KBR sendiri juga menjadi besar. Sebagaimana diketahui bahwa program KBR memungkinkan penyediaan bibit untuk kepentingan rehabilitasi hutan dan lahan. Oleh sebab itu, implementasi program KBR dapat menjadi solusi untuk mengurangi jumlah lahan kritis di Kabupaten Gunungkidul. Berdasarkan uraian tersebut, dapat dikatakan bahwa penelitian implementasi program KBR di Kabupaten Gunungkidul tahun 2013 belum pernah dilakukan. Sementara itu, melihat kondisi lahan kritis di kawasan Gunungkidul yang luas sebagaimana telah diuraikan, maka urgensi implementasi program KBR di wilayah tersebut juga menjadi semakin besar. Oleh sebab itu, perlu dilakukan analisis secara lebih mendalam untuk melihat implementasi program KBR di Kabupaten Gunungkidul.
1.2. Permasalahan Kabupaten Gunungkidul merupakan salah satu kawasan yang memiliki sebaran lahan kritis paling tinggi di wilayah Provinsi DIY. Implementasi Program
10
KBR dalam hal ini menjadi sangat penting untuk mengoptimalkan upaya rehabilitasi pada lahan kritis tersebut. Implementasi kebijakan tidak terjadi di ruang hampa, tetapi berada pada lingkungan implementasinya. Hal demikian menyebabkan implementasi suatu kebijakan yang sama akan dapat memberikan hasil yang berbeda pada satu lokasi dengan lokasi lainnya. Begitu pula dengan Program KBR. Sebagai suatu program berskala nasional, maka implementasinya dapat berbeda di daerah yang satu dengan daerah lainnya. Pada keyataannya, implementasi Program KBR di berbagai daerah belum diimplementasikan dengan optimal karena masih terdapat kendala yang menghambat prosesnya. Dalam hal ini terdapat beberapa faktor berbeda yang dapat diidentifikasi oleh penelitian satu dengan penelitian lainnya. Oleh sebab itu, melalui penelitian ini diharapkan dapat dilihat implementasi Program KBR pada konteks lingkungan implementasi di Kabupaten Gunungkidul. Sementara untuk lebih memfokuskan penelitian, maka dilakukan pembatasan waktu penelitian, yaitu pada implementasi Program KBR tahun 2013. Berdasarkan permasalahan tersebut, maka disusun pertanyaan penelitian sebagai berikut: 1. Bagaimana implementasi Program Kebun Bibit Rakyat di Kabupaten Gunungkidul pada tahun 2013? 2. Apa kendala yang dihadapi oleh masyarakat dan solusi yang dilakukan dalam melaksanakan Program Kebun Bibit Rakyat di Kabupaten Gunungkidul?
11
1.3. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Menganalisis implementasi Program Kebun Bibit Rakyat di Kabupaten Gunungkidul. 2. Mengidentifikasi kendala yang dihadapi oleh masyarakat dan solusi yang dilakukan dalam melaksanakan kebijakan Program Kebun Bibit Rakyat di Kabupaten Gunungkidul.
1.4. Manfaat Penelitian 1.4.1. Manfaat Teoretis Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pada perkembangan kajian implementasi kebijakan. Selain itu, hasil penelitian juga diharapkan dapat menjadi bagian dari referensi untuk penelitian selanjutnya yang memiliki keterkaitan tema, baik itu mengenai implementasi kebijakan maupun mengenai Program Kebun Bibit Rakyat. 1.4.2. Manfaat Praktis Hasil penelitian ini diharapkan secara praktis dapat menjadi masukan bagi proses evaluasi Program Kebun Bibit Rakyat di Kabupaten Gunungkidul. Selain itu, hasil penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pemerintah Kabupaten Gunungkidul, terutama Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Gunungkidul, untuk memperbaiki capaian Program Kebun Bibit Rakyat di tahun-tahun berikutnya.
12
1.5. Keaslian Penelitian Terdapat beberapa penelitian terdahulu yang telah menunjukan hasil implementasi Program KBR di beberapa wilayah di Indonesia. Salah satunya adalah hasil penelitian Hafsah dan Heriyanto (2012) menunjukan bahwa implementasi Program KBR di Kabupaten Pelalawan pada tahun 2010 belum berjalan optimal. Kondisi tersebut terjadi karena masih adanya beberapa kendala yang menghambat implementasi Program KBR di Kabupaten Pelalawan. Faktorfaktor yang mempengaruhi implementasi Program KBR tersebut adalah keterbatasan biaya pembersihan lokasi lahan, jangka waktu yang panjang dalam panen bibit, serta penjualan kayu atau pohon yang harus menggunakan Surat Keterangan Asal Usul (SKAU) Kayu. Sementara Hidayat, dkk (2014) meneliti implementasi Program KBR di Kabupaten Bandung Barat, Jawab Barat. Hasil penelitian tersebut menunjukan bahwa implementasi Program KBR di Kabupaten Bandung Barat memiliki berbagai kendala dalam pelaksanaannya sehingga berpengaruh terhadap kualitas output yang dihasilkan. Faktor yang secara dominan berpengaruh terhadap implementasi program tersebut adalah ketidaktepatan sasaran, media dan informasi yang disampaikan, ketidaktersediaan staf, tumpang tindih wewenang di antara implementor, serta keterbatasan sarana dan prasarana pendukung. Sejalan dengan kedua hasil penelitian terdahulu tersebut, hasil penelitian Ismail, dkk (2014) menunjukan bahwa implementasi Program KBR di Kabupaten Kayong Utara, Kalimantan Barat belum berjalan optimal. Hal ini dikarenakan masih terdapatnya beberapa kendala dalam implementasinya. Proses penyusunan
13
usulan kegiatan oleh kelompok tani sering tidak sesuai dengan ketentuan yang tertuang dalan juknis dan proses pencairan dana kurang berjalan lancar karena melewati beberapa tahapan birokrasi yang rumit. Pada tahap pelaksanaan pembibitan, kelompok tani masih belum siap dengan media pembibitan karena keterbatasan pengetahuan petani dalam mengelola bibit. Proses pendampingan petugas belum memberikan pendampingan secara maksimal kepada kelompok tani sehingga kelompok tani. Sementara Soebandhi (2014) melakukan penelitian tentang implementasi Program KBR di Kabupaten Sragen. Hasil penelitian tersebut menunjukan bahwa implementasi Program KBR di Kabupaten Sragen belum sepenuhnya dilakukan dengan metode swakelola. Sementara faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi Program KBR di wilayah tersebut dibedakan menjadi empat kelompok faktor. Pertama adalah sumber daya yang meliputi masalah anggaran besar namun tidak berimbang, kualifikasi jabatan tenaga pendamping tidak sesuai, dan rasio jumlah tenaga pendamping dengan jumlah kelompok tani yang tidak ideal. Kedua adalah faktor komunikasi yang berkaitan dengan masalah belum terjalinnya komunikasi dengan baik serta tidak optimalnya sosialisasi yang dilakukan. Ketiga adalah faktor lingkungan kebijakan, yaitu terkait dengan kondisi biofisik lingkungan yang rentan akan bencana. Sementara faktor keempat adalah faktor kolaborasi yang belum berjalan optimal. Selanjutnya, Sukmawan (2013) mengkaji tentang implementasi kebijakan Program Kebun Bibit Rakyat untuk pemulihan lahan kritis dan daerah aliran sungai di Kabupaten Gresik. Penelitian tersebut mengkaji variabel determinan
14
dalam implementasi Program Kebun Bibit Rakyat di Kabupaten Gresik. Penelitian tersebut didasarkan pada ketentuan Permenhut RI Nomor P. 23/ Menhut-II/2011 yang mengatur bahwa hutan adalah bagian dari penopang kehidupan, sehingga harus dikelola dan dirawat secara optimal. Hasil penelitian menunjukan bahwa terdapat lima variabel, yaitu ukuran dan sasaran kebijakan, sumber daya (manusia, anggaran, dan alam), karakter dari organisasi yang mengimplementasikan kebijakan, sikap terhadap implementasi, dan komunikasi di antara organisasi dengan tindakan atau aktivitas yang berlangsung dalam implementasi. Beberapa hasil penelitian terdahulu tersebut menunjukan bahwa penelitian implementasi Program KBR ini telah beberapa kali dilakukan pada kawasan yang berbeda, hasil penelitian menunjukan bahwa implementasi program tersebut belum berjalan dengan baik. Hanya saja setiap penelitian mampu mengidentifikasi permasalahan atau kendala yang menghambat implementasi program untuk masing-masing daerah secara berbeda. Hal demikian menunjukan bahwa belum terdapat suatu hasil penelitian yang secara konsisten menunjukan penyebab tidak dapatnya Program KBR berjalan optimal.