BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu faktor yang paling penting dalam perekonomian Indonesia adalah besarnya campur tangan pemerintah dalam peningkatan kesejahteraan rakyat, dimana dalam awal pembangunan peranan pemerintah di Indonesia terlihat lebih dominan terutama di bidang ekonomi. Kondisi tersebut sangat erat kaitannya dengan system Indonesia saat itu yang bersifat sosialis, oleh karena itu pelaksanaan pembangunan dilakukan secara bertahap melalui program Pelita. (Kabar Bappenas, 2011) Sistem ekonomi Indonesia yang berdasarkan demokrasi ekonomi dalam rangka mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 maka kesinambungan dan peningkatan pelaksanaan pembangunan nasional yang berdasarkan kekeluargaan, perlu senantiasa dipelihara serta ditumbuh kembangkan dengan baik. Dalam mencapai tujuan tersebut, maka pelaksanaan pembangunan ekonomi harus lebih banyak memperhatikan keserasian, keselarasan serta kesinambungan pada unsur pemerataan pembangunan, pertumbuhan ekonomi dan stabilitas nasional yang sehat dan dinamis. (Harijanto, 1996:1) Pertumbuhan
ekonomi
merupakan
perkembangan
kegiatan
dalam
perekonomian yang menyebabkan barang dan jasa yang diproduksi dalam masyarakat bertambah sehingga akan meningkatkan kemakmuran masyarakat. Menurut
1
2
Boediono, pertumbuhan ekonomi merupakan proses kenaikan output perkapita dalam jangka panjang. Sedangkan menurut Lincolin pertumbuhan ekonomi diartikan sebagai kenaikan GDP/ GNP tanpa memandang apakah kenaikan tersebut lebih besar atau lebih kecil dari tingkat pertumbuhan penduduk dan apakah terjadi perubahan struktur ekonomi atau tidak. Seperti yang dikutip dari berita terbaru, bahwa Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang mencapai 4,7 persen di anggap sebagai hal yang postif bagi dunia internasional. Pasalnya, negara-negara berkembang lainnya seperti Brazil justru mengalami pertumbuhan negatif sepanjang tahun 2015. Namun, hal ini tidak membuat puas pemerintah Indonesia. Tingginya angka pengangguran harus membuat pemerintah berfikir keras untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi guna membuka lapangan pekerjaan yang mampu menampung tenaga kerja di Indonesia. (Okezone, 2015)
Sumber: Badan Pusat Statistik (www.bps.go.id) Gambar 1.1 Grafik Perkembangan PDB Indonesia
3
Jika dilihat dari gambar 1.1 Perkembangan Produk Domestik Bruto di Indonesia mengalami peningkatan setiap tahunnya.
Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal III 2015 sebesar 4,73 persen. Sementara nilai Produk Domestik Bruto (PDB) Negara untuk periode Juli-September 2015 senilai Rp 2.311,2 triliun. Deputi Neraca dan Analisis Statistik BPS, Suhariyanto, mengungkapkan, realisasi pertumbuhan ekonomi di kuartal III ini lebih baik dibanding pencapaian di kuartal sebelumnya. Tercatat, pada kuartal II 2015 pertumbuhan ekonomi RI di level 4,67 persen dan di kuartal I 2015 tercatat 4,72 persen. "Pertumbuhan ekonomi kuartal III tercatat 4,73 persen. Secara kumulatif, pertumbuhan ekonomi sampai dengan kuartal III ini sebesar 4,71 persen. Sementara nilai PDB Atas Dasar Harga Konstan (ADHK) di angka Rp 2.311,2 triliun dan atas dasar harga berlaku (ADHB) di angka Rp 2.982,6 triliun," katanya saat konferensi pers PDB Kuartal III di kantor BPS, Jakarta, Kamis (5/11/2015).
Antara tahun 1965 sampai 1997 perekonomian Indonesia tumbuh dengan persentase rata-rata per tahunnya hampir tujuh persen. Pencapaian ini memampukan perekonomian Indonesia bertumbuh dari peringkat “negara berpendapatan rendah” menjadi “negara berpendapatan menengah ke bawah”. Kendati begitu,Krisis Finansial Asia yang meletus pada akhir tahun 1990-an mengakibatkan dampak sangat negatif untuk perekonomian Indonesia, menyebabkan penurunan Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar 13,6% pada tahun 1998 dan pertumbuhan yang terbatas pada 0,3% di 1999.
4
Antara periode 2000-2004, pemulihan ekonomi terjadi dengan rata-rata pertumbuhan PDB pada 4,6% setiap tahunnya. Setelah itu, pertumbuhan PDB berakselerasi (dengan pengecualian pada tahun 2009 waktu, akibat guncangan dan ketidakjelasan finansial global, pertumbuhan PDB Indonesia jatuh menjadi 4,6%, sebuah angka yang masih mengagumkan) dan memuncak pada 6,5% di 2011. Kendati begitu, setelah 2011 ekspansi perekonomian Indonesia mulai sangat melambat.(http://indonesia-investment.com)
Stabilitasi ekonomi merupakan salah satu asas pembangunan ekonomi sebagaimana ditetapkan dalam trilogy pembangunan karena merupakan prasyarat penting bagi kelancaran serta berhasilnya pembangunan ekonomi yang mampu meningkatkan gairah masyarakat untuk mendorong kegiatan investasi. (Rusman, 2009)
Sumber: Badan Pusat Statistik (www.bps.go.id) Gambar 1.2 Grafik Laju Pertumbuhan Ekonomi Indonesia
5
Tampak dalam grafik di atas bahwa penurunan perekonomian indonesia yang disebabkan oleh krisis finansial di tahun 2009 memiliki dampak yang relatif kecil pada perekonomian Indonesia dibandingkan dengan dampak yang dialami negaranegara lain.
Tingkat investasi yang rendah akan menurunkan potensi pertumbuhan ekonomi panjang. Adanya fluktuasi yang tinggi dalam pertumbuhan keluaran produksi akan mengurangi tingkat keahlian tenaga kerja yang lama menganggur. Inflasi yang tinggi dan fluktuasi yang tinggi menimbulkan biaya yang sangat besar kepada masyarakat. beban terberat akibat inflasi yang tinggi akan dirasakan oleh penduduk miskin yang mengalami penurunan daya beli. Selain itu inflasi yang berfluktuasi tinggi juga menyulitkan pembedaan pergerakan harga yang disebabkan oleh perubahan permintaan atau penawaran barang dan jasa dari kenaikan umum harga-harga yang disebabkan oleh permintaan yang berlebih. (Bappenas, 2005)
Perkembangan inflasi di Indonesia menunjukan fluktuasi yang bervariasi dari waktu ke waktu. Pembicaraan mengenai inflasi di Indonesia mulai popular ketika laju inflasi demikian tinggi hingga mencapai 650 persen pada dasawarsa 1960-an. Berdasarkan pengalaman pahit tersebut, pemerintah berusaha untuk mengendalikan laju inflasi. Pada tahun 1972 sampai dengan 1980-an rata-rata laju inflasi masih berada pada level dua digit, tetapi pada tahun 1984 sampai tahun 1996 laju inflasi dapat dikendalikan pada level satu digit. Krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia
6
pada pertengahan tahun 1997 membuat laju inflasi di Indonesia naik menjadi dua digit yaitu sebesar 11.05 persen dan mencapai puncaknya pada tahun 1998 sebesar 77,63 persen (Badan Pusat Statistik). Nilai tertinggi pada tahun 1998 merupakan dampak dari merosotnya nilai tukar rupiah terhadap dolar dan faktor social politik yang tidak aman, sehingga mengakibatkan harga barang dan jasa terus meningkat tajam sampai akhir tahun 1998. (Badan Pusat Statistik, 2002)
Kondisi perekonomian Indonesia pasca krisis moneter mulai mengalami perbaikan. Hal ini dilihat dari menurunnya laju inflasi sebesar 75,62 persen menjadi 2,01 persen pada tahun 1999. Laju inflasi pada tahun 2001 sampai 2002 kembali naik pada level dua dihit sebesar 112,55 persen dan 10,05 persen. Penyebab tingginya laju inflasi tersebut, selain kondisi keamanan dalam negeri yang kurang kondusif juga dipicu oleh kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM, tarif listrik dan telepon. (Badan Pusat Statistik, 2002)
Secara historis, tingkat dan volatilitas inflasi Indonesia lebih tinggi dibanding negara-negara berkembang lain. Sementara negara-negara berkembang lain mengalami tingkat inflasi antara 3% sampai 5% pada periode 2005-2014, Indonesia memiliki ratarata tingkat inflasi tahunan sekitar 8,5% dalam periode yang sama. Bagian ini mendiskusikan mengapa tingkat inflasi Indonesia tinggi, menyediakan analisis mengenai tren-tren terbaru, dan memberikan proyeksi untuk inflasi masa mendatang di Indonesia yang merupakan negara dengan ekonomi terbesar di Asia Tenggara. (http://indonesiainvestment.com)
7
Pajak
memiliki
fungsi
yang
sangat
penting
dalam
pembangunan
perekonomian bangsa. Suparmono dan Damayanti (2010:1) mengatakan bahwa sebagai salah satu sumber penerimaan negara pajak memberi kontibusi terbesar pada APBN mencapai 80%. Berdasarkan hasil observasi yang dilakukan untuk mengetahui APBN-P dan Realisasi penerimaan Perpajakan dari tahun 2009-2014 dapat diketahui hasilnya pada Tabel 1.1 Tabel 1.1 Kontribusi Penerimaan Pajak Terhadap Pendapatan Negara (Triliun Rupiah ) Tahun
Penerimaan Pajak 619,9
Persentase
2009
Pendapatan Negara 848,8
2010
995,3
723,3
72,67%
2011
1210,6
873,9
72,19%
2012
1358,2
1016,2
74,82%
2013
1529.7
1193,0
77,99%
2014
1635.4
1246.1
76,19%
73,03%
Sumber: Badan Pusat Statistik (Diolah Kembali Oleh Penulis) Berdasarkan tabel 1.1, menunjukan bahwa persentase penerimaan sektor pajak terhadap pendapatan negara selalu memberikan hasil diatas 70%, Hal tersebut membuktikan bahwa kontribusi pajak memberikan kontribusi terhadap pendapatan Negara.
8
Direktorat Jenderal Pajak selaku badan yang mengelola Perpajakan Indonesia, pada dasarnya telah melakukan berbagai cara dalam upaya peningkatan penerimaan negara dalam sektor pajak. Untuk mendongkrak peningkatan penerimaan negara melalui sektor pajak, dibutuhkan partisipasi aktif dari Wajib Pajak untuk memenuhi segala kewajiban perpajakannya dengan baik. Artinya peningkatan penerimaan negara ditentukan oleh tingkat kepatuhan Wajib Pajak sebagai warga negara yang baik (Diana Sari, 2013:7). Cukup disayangkan, kepatuhan pajak (tax compliance) baik dari Orang Pribadi maupun Badan menjadi suatu problematika yang tiap tahunnya selalu dikaitkan dengan jumlah penerimaan sektor pajak. Masalah utamanya adalah rendahnya tingkat WP terdaftar apabila dibandingkan dengan jumlah WP potensial di dalam negeri. Tabel 1.2 Rasio Jumlah WP Orang Pribadi Terdaftar dengan Penduduk Usia Produktif yang Bekerja Tahun Pajak
2009
Jumlah WP OP Jumlah Penduduk Usia Rasio Jumlah WP Terdaftar Produktif yang Bekerja dengan Penduduk Usia Produktif yang Bekerja 13.861.253 104.870.663 13,22%
2010
16.880.649
108.207.767
15,60%
2011
19.881.684
109.670.399
18,13%
2012
22.131.323
110.808.154
19,97%
2013
28.002.205
112.761.072
24,83%
Sumber: Indonesian Tax Review Volume VI/Edisi 15/2013 dan Badan Pusat Statistik
9
Selain itu, masalah lain yang berkaitan dengan kepatuhan pajak adalah tingkat kepatuhan wajib pajak yang sudah terdaftar pun masih rendah. Seperti dalam tabel dibawah ini, yang menunjukan tingkat kepatuhan penyampaian SPT Tahunan antara tahun 2009-2013, dimana rasio kepatuhan relatif rendah, bahkan tahun 2011 mengalami penurunan dari tahun sebelumnya, walaupun mengalami kenaikan kembali pada tahun selanjutnya. Hal ini bisa diperhatikan pada tabel 1.3 Tabel 1.3 Rasio Kepatuhan Penyampaian SPT Tahunan Tahun 2009 Wajib Pajak 9.996.620 Terdaftar
2010 14.101.933
2011 2012 2013 17.694.317 17.659.278 17.731.736
SPT Tahunan
5.413.114
8.202.309
9.332.626
9.482.480
10.790.650
Rasio Kepatuhan
54,15%
58,16%
52,74%
53,70%
60,86%
Sumber : Laporan Tahunan Direktorat Jenderal Pajak Tahun 2009 – 2013 (Diolah Kembali oleh Penulis) Kepatuhan pajak merupakan fenomena yang sangat kompleks yang dilihat dari banyak perspektif. Luigi Alberto Franzoni dalam Surya Manurung (2013) berpendapat bahwa kepatuhan atas pajak (tax compliance) merupakan proses melaporkan penghasilan sesuai dengan peraturan pajak, melaporkan Surat Pemberitahuan (SPT) dengan tepat waktu dan membayar pajaknya dengan tepat waktu. Beberapa faktor yang menyebabkan rendahnya kepatuhan Wajib Pajak antara
10
lain ketidakpuasan masyarakat terhadap pelayanan publik, pembangunan infrastruktur yang tidak merata, dan banyaknya kasus korupsi yang dilakukan pejabat tinggi. Sementara itu, keberhasilan penerimaan pajak suatu negara tergantung kepada upaya pemerintahnya dalam meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak dan menekan tindakan manipulasi pajak. Dalam memperhatikan permasalahan di atas maka penerimaan pajak menjadi andalan pemerintah untuk pembiayaan pembangunan di Indonesia. Karena dalam meningkatkan penerimaan pajak Wajib Pajak merupakan salah satu aspek penting dan merupakan tulang punggung penerimaan pajak, semua kegiatan wajib pajak dalam menjalankan kewajiban perpajakan telah diatur dalam Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), hal tersebut tentunya sebagai upaya dari Direktorat Jendral Pajak untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat pada umumnya dan Wajib Pajak pada khususnya tentang pajak dan betapa pentingnya pajak bagi suatu Negara dan juga semua masyarakatnya (Zain, 2005). Atas hal tersebut diharapkan masyarakat sadar akan pajak, dan tentunya diperlukan kesadaran yang tinggi dari wajib pajak untuk membayarkan pajak kepada Negara sebagai salah satu bentuk kontribusi dan bentuk kepatuhan Wajib Pajak untuk membayar pajak (Zain, 2005). Menurut Direktorat Jendral Pajak Kementrian Keuangan yang dikutip oleh Dewi (2013) mencatat adanya kerugian karena wajib pajak yang belum memenuhi kewajibannya. Ini berasal dari 26 kasus pajak yang ditangani tahun lalu. Tingkat kepatuhan wajib pajak sangat rendah. Kasus penyelewengan pajak tren-nya terus
11
meningkat dari tahun ke tahun. Tren naik karena pengawasan dan penyetoran pajak cukup lemah Secara rata-rata kepatuhan wajib pajak di Indonesia setiap tahunnya mengalami peningkatan seiring dengan bertamahnya jumlah wajib pajak meskipun belum maksimal 100%. Jika pertumbuhan jumlah wajib pajak yang terus bertambah tidak sejalan dnegan peningkatan jumlah penerimaan pajak, maka pertumbuhan jumlah wajib pajak harus bisa linier dengan penambahan jumlah penerimaan pajak. Berdasarkan uraian dan alasan tersebut, penulis bermaksud meneliti masalah ini dengan judul: “Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi terhadap Realisasi Penerimaan Pajak di Indonesia” (Penelitian pada Badan Pusat Statistik)
1.2 Identifikasi Masalah Rumusan Masalah Penelitian Berdasarkan identifikasi masalah penelitian di atas, maka dapat dirumuskan beberapa masalah yang akan menjadi fokus penelitian, yaitu sebagai berikut: 1. Bagaimana pertumbuhan ekonomi di Indonesia? 2. Bagaimana realisasi penerimaan pajak di Indonesia? 3. Seberapa besar pengaruh pertumbuhan ekonomi terhadap realisasi penerimaan pajak di Indonesia?
12
1.3 Tujuan Penelitian Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui pertumbuhan ekonomi di Indonesia 2. Untuk mengetahui realisasi penerimaan pajak di Indonesia 3. Untuk mengetahui seberapa besar pengaruh pertumbuhan ekonomi terhadap realisasi penerimaan pajak di Indonesia? 1.4 Kegunaan Penelitian 1.4.1 Kegunaan Teoritis Diharapkan dapat menunjang ilmu pengetahuan di bidang perekonomian khususnya di bidang perpajakan. 1.4.2 Kegunaan Praktis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kegunaan atau manfaat bagi pihakpihak sebagai berikut: 1. Bagi penulis Penulis dapat memperoleh pemahaman wawasan khususnya mengenai Realisasi Penerimaan Pajak.
13
2. Bagi instansi Penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan masukan dalam rangka mempertahankan atau meningkatkan Realisasi Penerimaan Pajak. 3. Bagi pihak lain Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu rekan-rekan mahasiswa maupun pihak-pihak lain yang membutuhkan informasi dan sebagai bahan perbandingan dalam penelitian sejenis yaitu mengenai sesuatu yang penulis bahas. 1.5 Lokasi dan Waktu Penelitian Dalam melakukan penelitian ini, penulis memperoleh data pada Badan Pusat Statistik, alamat di Jalan PHH. Mustofa No. 43 Bandung 40124. Penelitian ini dilakukan mulai dari bulan Januari 2016 sampai dengan selesai.