BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Pertemuan antara suatu budaya dan budaya yang lainnya tidak selalu berproses seimbang. Dalam perkembangan peradaban saat ini nilai-nilai universal yang diemban oleh kebudayaan Barat sering kali menggeser nilainilai di kebudayaan Timur. Pengaruh budaya global yang sering diasosiasikan dengan modernitas dan rasionalitas secara tak sadar telah mengubah posisi suatu produk kebudayaan tradisional etnik tertentu. Hal ini juga terjadi di kebudayaan Indonesia. Salah satu di antaranya adalah komunitas etnik Karo dengan berbagai sistem nilai dan pranata hidup yang bersumber dari spiritualitas yang sakral berubah menjadi spiritualitas sekularisasi. Esensi spiritualitas masyarakat tradisi tentunya terkait dengan pemaknaan masyarakat tersebut pada kosmosnya yang terwujud dalam ritual-ritual adat. Ritual upacara gendang kematian yang menjadi representasi spiritualitas etnik Karo berangsurangsur berubah dan mengalamai degradasi sebagai akibat dari masuknya unsurunsur budaya modern. Pengaruh globalisasi tidak hanya terkait dengan teknologi dan ekonomi, tetapi juga dengan berbagai aspek kehidupan. Saat ini dengan majunya teknologi, komunikasi, dan informasi, dunia tidak lagi memiliki batas jarak dan waktu. Di satu sisi globalisasi membawa kemudahan dalam berbagai aspek 1
2
gerak kehidupan, tetapi di sisi lain memberikan pengaruh negatif yang cukup signifikan pada aspek-aspek kebudayaan. Hal ini tidak hanya berdampak pada kemunduran nilai-nilai budaya lokal, tetapi juga mengancam kepunahan berbagai aspek kebudayaan, seperti tradisi lisan yang diwariskan dan berkembang secara turun-temurun sebagai bentuk warisan adat yang mengandung spiritualitas suatu komunitas masyarakat. Tingginya intensitas pergulatan nilai-nilai lokal dan global, yang menggurita ke dalam sendi-sendi kehidupan etnik Karo tidak bisa dibendung ataupun ditolak akibat derasnya arus globalisasi yang membentur tradisi budaya etnik setempat. Wacana globalisasi menurut Barker (2005) turut memberikan kekacauan baru dalam konteks perubahan budaya yang multidimensional saling terkait dengan bidang ekonomi, teknologi, politik, dan identitas. Perubahan yang dianggap chaos ini diantisipasi oleh cultural studies dengan berupaya memahami perubahan-perubahan ini dan menempatkan pada ranah kajian budaya melalui penyelidikan tentang budaya konsumer, budaya global, imperalisme budaya, dan postkolonialitas. Proses globalisasi yang berciri ekonomi banyak mengacu pada sekumpulan aktivitas ekonomi sebagai praktikpraktik kapitalisme dan hal ini terkait dengan isu-isu makna kultural dan proses-proses kultural global (Barker, 2005: 133). Oleh karena itu, globalisasi budaya yang sudah dimuati oleh praktik-praktik kapitalisme akan secara langsung atau tidak langsung berbenturan dengan kebudayaan tradisi yang ada.
3
Etnik Karo sebagai bagian dari kebudayaan tentunya terseret dalam dinamika kapitalisme global. Menurut Piliang, manusia konsumer tidak tertarik akan ”keselamatan diri” lewat perenungan atau ibadat, tetapi tertarik terhadap ilusi-ilusi
yang
bersifat
sementara,
seperti
kesehatan,
kesejahteraan,
kebahagiaan, dan keamanan psikis lewat terapi, hanyut dalam pelbagai bentuk terapi, seperti yoga, latihan spiritual kilat, konser musik rock, joging, pusat kebugaran, dan karaoke. Kondisi ini melahirkan suatu fenomena yang disebut Piliang sebagai postspiritualitas, yaitu kondisi spiritualitas ketika yang suci bercampur aduk dengan yang profan, yang sakral bersimbiosis dengan yang permukaan sehingga batas-batas di antara semuanya menjadi kabur (Adlin, 2007: 207). Kapitalisme tidak hanya menyentuh sendi-sendi profan dari suatu tradisi, tetapi juga nadi sakralnya. Pada proses ini tentunya seperti telah dikatakan sebelumnya bahwa etnik Karo adalah bagian dari suatu kebudayaan perlu untuk berpartisipasi kritis terhadap fenomena globalisasi kebudayaan saat ini. Menurut Hoed, dalam menghadapi arus globalisasi yang memang nyata, menganggap modernitas merupakan sesuatu yang endogen, yaitu faktor dari dalam
suatu
masyarakat
yang
berpikir
kritis
terhadap
dinamika
perkembangannya. Kreativitas ada pada setiap orang dan perkembangannya tergantung dari apakah masyarakat itu sendiri memberikannya kesempatan untuk berkembang atau tidak. Sayangnya modernitas sering kali dihadapkan dengan adat istiadat dan tradisi asli kita. Bahkan, jika dilihat lebih lanjut, kita
4
pun telah menjadi penerima adat istiadat dan tradisi baru dari Timur Tengah, Jepang, dan Cina. Inilah globalisasi yang terjadi dewasa ini (Hoed, 2008: 108-109). Etnik Karo sebagai bagian dari masyarakat global saat ini, harus mampu memiliki sikap kritis terhadap arus modernitas yang secara perlahan menjadi bagian dari kehidupan masyarakat kita. Pada
perkembangannya
kategori-kategori
seni
juga
mengalami
perubahan karena desakan modernitas. Kesenian tradisional yang dulu merupakan batang tubuh dari proses pengalaman dan pendalaman dalam kehidupan sehari-hari kini mulai digantikan oleh bentuk-bentuk kesenian yang modern. Danesi (2010) mengatakan sebagai berikut. Seni modern mengemuka dengan menggunakan imaji dan suara yang mencerminkan meterialisme dan kevulgaran budaya konsumerisme, para seniman modern pada tahap awal berusaha menyuguhkan pandangan realitas yang lebih langsung dan relevan dibandingkan seni zaman dahulu, sedangkan seni postmodern berusaha untuk menstabilisasi pandangan atas dunia yang rasional dan logosentris, yang telah menguasai masyarakat Barat sejak Renaisans, tetapi, dengan membuat budaya Barat makin mendekonstruksi sistem kepercayaannya, posmodernisme sekaligus mencetuskan semacam pembaruan spiritual dalam diri kita (Danesi, 2010: 251 & 312). Pandangan
Danesi ini
menunjukkan
bahwa seni postmodern
merupakan salah satu jalan tengah antara masyarakat tradisional dan modern. Seni merupakan sarana yang universal meskipun tetap terdapat unsur-unsur ideologis di dalamnya. Namun, masyarakat tetap harus dapat meletakkan eksistensi mereka dan secara kritis melihat terjadinya pergeseran identitas
5
dalam diri kesenian mereka. Hal ini diungkapkan Danesi (2010: 252) dalam bukunya Pesan, Tanda, dan Makna,seperti berikut. Barangkali tidak ada lagi yang membedakan manusia dari spesies lainnya seperti halnya seni. Seni adalah kemampuan lahiriah yang memungkinkan kita, sejak bayi, untuk mengambil makna dari gambar, musik, pertunjukan, dan hal-hal yang sejenis. Seni adalah pengakuan bahwa kita memang makhluk-makhluk spiritual yang mencari penjelasan mengenai alam semesta. Sementara sains mengajukan pertanyaan dan mencari jawaban atas makna hidup melalui perpaduan pemikiran imajinatif dan logis, seni menyelidiki makna hidup melalui emosi. Inilah mengapa pengalaman akan seni disebut pengalaman estetis dan pengalaman akan sains disebut pengalaman intelektual. Namun, salah jika jenis kedua penyelidikan ini dilihat sebagai kategori yang berbeda. Keduanya digunakan oleh manusia untuk meyelidiki pertanyaan-pertanyaan yang sama. Pengalaman akan seni merupakan pengalamann estetis sehingga seni dapat menyelidiki makna-makna kehidupan. Lebih jauh lagi, seni merupakan bagian dari pengungkapan hasrat-hasrat spiritualitas dalam mencari penjelasan mengenai keseimbangan alam semesta. Dengan demikian, spiritualitas menjadi penting untuk dipertahankan, baik dalam seni postmodern maupun arus globalisasi kebudayaan dan kapitalisme saat ini. Pada masyarakat modern saat ini spiritualitas sering diasosiasikan dengan hal-hal berbau mistis, gaib, irasional, tidak terukur, tidak empirik, dan tidak wajar. Padahal, menurut kamus Oxford Dictionary of Advanced Learners, spirit—yang merupakan akar kata dari spiritualitas—memiliki beberapa pengertian, seperti soul, demon, dan magic. Beberapa teoretikus kajian budaya bahkan menganggap seperti dibawah ini.
6
Spiritualitas akan selalu berhubungan dengan hal yang sifatnya abstrak, tak kasat mata, intangible, namun bisa dirasakan eksistensinya. Dalam konteks jiwa, spiritualitas dapat dikorelasikan dengan nilai dan kualitas di balik sosok atau perwujudan suatu benda atau objek. (Darmawan dalam Adlin (ed), 2007: 144). Spiritualitas bisa juga disebut berhubungan dengan nilai-nilai dan komitmen dasariah seseorang, apa pun isinya (Griffin, 2005: 15). Jadi, pada dasarnya spiritualitas memiliki makna-makna yang terwujud dalam penanda benda-benda produk kebudayaan masyarakat. Hal ini disebabkan oleh suatu
produk
kebudayaan
akan
selalu
terikat
pada
petanda-petanda
kebudayaannya. Penanda dan petanda merupakan perwujudan spiritualitas dan meterialitas suatu masyarakat. Perwujudan nilai-nilai spiritualitas ini pada masyarakat kontemporer mengalami disposisi antara penanda dan petanda. Absurditas penanda dan petanda terjadi karena pergumulan masyarakat dengan arus modernitas dan nilai-nilai tradisionalnya. Bisa saja dalam perwujudan spiritualitasnya, nilainilai atau petanda, bahkan makna menjadi banal. Misalnya yang sudah diutarakan
Yasraf bahwa realitas yang suci bercampur aduk dengan yang
profan sehingga mengaburkan nilai-nilai yang dikandung sebelumnya. Hal inilah yang terjadi dalam realitas budaya tradisi lisan masyarakat saat ini. Perbedaan spiritualitas tidak lepas dari terjadinya dinamika dalam struktur masyarakat. Masyarakat tradisional telah menjadi masyarakat modern dan yang modern telah menjadi postmodern. Terdapat kategori-kategori dalam menentukan
struktur
masyarakat
ini.
Masyarakat
tradisional
sering
7
diasosiasikan dengan masyarakat pramodern. Hal ini dikatakan oleh Griffin seperti berikut. Masyarakat klasik pramodern tidak berorientasi pada profesionalisme, melainkan pada otoritarianisme. Organisasinya memiliki bentuk tatanan piramidal, perluasannya dalam waktu terbentuk tradisi siklis, dan kendali kekuasaannya bersifat absolut. Pengabdian religius adalah legitimasinya. Hal-hal itulah yang ditentang kaum modernis (Griffin, 2005: 75). Kategori masyarakat tradisional yang diutarakan oleh Holland (2005) juga kemudian turut menjelaskan kategori masyarakat modern dan postmodern seperti di bawah ini. Masyarakat modern — dan sampai pada titik tertentu juga organisasiorganisasi religius — berorientasi pada profesionalisme. Bentuk organisasinya adalah rasionalisasi birokratis, perluasanya dalam waktu terbentuk perkembangan linear, dan kendali kekuasaannya bersifat manipulatif. Kompetisi profesional adalah legitimasinya. Modernitas condong ke arah ini. Lain halnya dengan organisasi postmodern karena berorientasi pada prinsip kreativitas (atau lebih baik kokreativitas). Bentuk organisasinya adalah komunitas holistis, perluasannya dalam waktu terbentuk spiral ritmis, dan kendali kekuasaannya bersifat imajinasi artistik. Maka, legitimasinya berasal dari karisma, yang sekaligus bersifat sosial dan spiritual. Pengabdian dan kompetensi tidak akan hilang, tetapi sekarang diabdikan pada kreativitas karisma (Holland dalam Griffin (ed), 2005: 75). Lebih dari itu ketika kita berbicara tentang kategori-kategori masyarakat Di dalamnya mengalir juga unsur-unsur spiritualitas. Ada perbedaan antara spiritualitas tradisional, modern, dan postmodern. Visi-visi postmodern yang di tulis oleh Griffin membantu kita untuk memahami sekaligus kategori dan nilainilai spiritualitas. Selanjutnya Griffin mengatakan sebagai berikut. Spiritualitas modern berawal sebagai suatu spiritualitas yang bersifat dualistik dan supernaturalistis dan berakhir dengan suatu
8
pseudospiritualitas (spiritualitas semu) atau anti spiritualitas; postmodernisme kembali ke spiritualitas asli yang memuat unsur-unsur dari spiritualitas pramodern. Walaupun begitu, karena spiritualitas postmodern tidak hanya berarti kembali ke spiritualitas pramodern dan masyarakat modern. Meskipun masyarakat postmodern ini masih tetap memiliki dan mengembangkan banyak aspek yang ada dalam dunia modern, masyarakat postmodern akan membalikkan unsur-unsur modernitas; individualisme, dan nasionalisme, direndahkannya manusia oleh mesin, direndahkannya keprihatinan manusia akan masalahmasalah sosial, moral, religius, estetika, dan ekologis demi masalahmasalah ekonomi (Griffin, 2005: 16--17). Tentunya realitas yang digambarkan oleh Griffin menjadi acuan untuk menggali
nilai-nilai
tradisional
secara
kritis
menelusuri
tahap-tahap
perkembangan masyarakat, baik dari sisi wujud , faktor, maupun makna. Kaitan-kaitan ini menunjukkan bahwa produk kebudayaan yang berupa seni merupakan upaya kritis untuk meninjau realitas tersebut. Prinst (2003: 154) mengatakan bahwa keselarasan antara manusia dan alam akan menyejukkan dan mengharmoniskan irama kehidupan manusia dan lingkungannya. Sebaliknya, setiap ketimpangan (kejanggalan) yang terjadi dalam masyarakat
mengakibatkan disharmoni (ketidakharmonisan) kosmos
(alam) dan masyarakat. Ketidakharmosian ini akan menimbulkan bencana, seperti kemarau panjang atau
malapetaka lainnya. Keselarasan atau
keseimbangan dalam suatu mayarakat sering dikaitkan dengan bagaimana mereka beraktivitas sehari-hari sehingga di situlah apa yang disebut sebagai kosmologi dapat terwujud.
Menurut
Liembeng (2007: 17) orang Karo
meyakini bahwa alam dan lingkungan, selain sebagai tempat hunian manusia juga sebagai tempat hunian bagi makhluk-makhluk lain yang hidup bebas tanpa
9
terikat aturan-aturan yang dikembangkan manusia. Oleh sebab itu dibutuhkan aktivitas-aktivitas tertentu untuk menjaga keseimbangan alam, khususnya keseimbangan antara makhluk manusia dan makhluk-makhluk lain. Bagi peneliti inilah yang disebut sebagai perwujudan spiritualitas yang terkait dengan kosmologi etnik Karo. Buk jadi ijuk, dareh jadi lau, kesah jadi angin, daging jadi taneh, tulan jadi batu, tendi jadi begu. Inilah perwujudan spiritualitas etnik Karo yang hidup dalam ungkapan-ungkapan kesehariannya. Secara filsafati, ungkapan-ungkapan keseharian merupakan bagian dari pandangan hidup suatu masyarakat. Tendi jadi begu menyiratkan bahwa kematian merupakan bagian dari kehidupan ketika seseorang meninggal akan berakhir pada suatu ketiadaan. Namun, ketiadaan dalam hal ini bukanlah ketiadaan yang banal karena setiap manusia berawal dari ketiadaan fisik menuju ketiadaan fisik, itulah tendi jadi begu atau roh menjadi hantu. Liembeng (2007: 31) memaparkan filsafat dalam ungkapan keseharian etnik Karo yang sering kali hadir dalam upacara gendang kematian. Ungkapan lainnya, seperti buk jadi ijuk, dareh jadi lau, kesah jadi angin, daging jadi taneh, tulan jadi batu,dan tendi jadi begu secara berurutan berarti rambut menjadi ijuk, darah menjadi air, napas menjadi angin, daging menjadi tanah, tulang menjadi batu, dan roh menjadi hantu. Kelima ungkapan tersebut menggambarkan bahwa eksistensi masyarakat Karo adalah bagian integral dari lingkungan mereka. Keseluruhan makna ungkapan tersebut apabila dilihat
10
sebagai
satu
kesatuan
menunjukkan
ketiadaan
diri
manusia
adalah
kemengadaan alam. Manusia adalah bagian dari alam, bukan sebaliknya. Upacara gendang kematian menjadi penting dalam kosmologi etnik Karo karena dalam mati ada hidup dan dalam hidup ada mati. Tarigan (1988: 37) menganggap bahwa masyarakat Karo sangat percaya pada kehidupan baru pascakematian seseorang, bahkan roh orang yang meninggal dunia diyakini masih berada di sekitar kehidupan mereka sampai ke anak cucu. Bahkan, upacara gendang kematian yang
dilaksanakan diharapkan dapat membawa
kebaikan bagi keluarga yang masih hidup. Gendang kematian merupakan salah satu ritual kematian yang terdapat pada masyarakat Karo yang
terdiri atas berbagai unsur (peristiwa) yang
merupakan satu kesatuan. Gendang kematian dalam hal ini terdiri atas lima unsur (peristiwa), yaitu (1) gendang lima sendalanen (musik), (2) landek (tari), (3) nuri-nuri (petuah), (4) ngandung (tangisan), dan (5) rende (nyanyian). Salah satu peranan gendang lima sendalanen sebagai iringan musik dan tari dalam gendang kematian adalah sebagai ”perekat” semua unsur upacara. Gendang lima sendalanen
digunakan sepanjang prosesi kematian, yang
mengandung berbagai pesan dan harapan bagi keluarga dan bagi orang yang sudah meninggal (Ginting, 2012: 7). Sejatinya
filsafat hidup suatu masyarakat tidak hanya diwujudkan
dalam ungkapan-ungkapan keseharian. Kehadiran filsafat hidup tersebut akan sangat terasa dari bagaimana suatu masyarakat memaknai kematian yang
11
tampak dalam ritual upacara kematiannya. Gendang kematian merupakan perwujudan dari bersatunya kembali manusia dengan alam seperti yang diutarakan dalan ungkapan kesehariannya. Namun, etnik Karo seperti etnik lainnya tidaklah hidup dalam ruang hampa karena ada kehadiran spiritualitas lain yang dapat dikatakan sebagai spiritualitas sekularisme, kosmologi global, dan modernisasi bersama dengan datangnya globalisasi. Gendang kematian seolah-olah menjadi arena kontestasi, pertempuran, persengkataan, persilangan, dan perselisihan budaya. Secara
simbolis
gendang
lima
sendalanen
merepresentasikan
spiritualitas kehidupan etnik Karo melalui berbagai unsurnya, seperti instrumen yang digunakan, para pemain termasuk juga prosesi ritualnya. Gendang lima sendalanen merupakan simbol tradisi yang telah berlangsung sejak ratusan tahun silam hingga kini. Namun, penggunaan gendang lima sendalanen mengalami degradasi pada instrumen yang digunakan. Jika dahulu digunakan instrumen tradisional, seperti sarunei (kayu), gendang singindungi/singanaki (kulit), dan gung/penganak (logam), digantikan oleh teknologi elektronik organ tunggal atau keyboard (Ginting, 2012: 8). Pergeseran instrumen ini disebabkan oleh adanya konstruksi binerisme masyarakat yang melihat sebuah budaya pada tataran baik dan buruk, sakral dan sekuler, bahkan beradab dan primitif. Konstruksi binerisme tersebut dapat ditunda dan dibongkar melalui teori dekonstruksi yang dikembangkan oleh Jacques Derrida. Begitu juga dengan upacara gendang kematian dalam
12
keberlanjutannya sarat dengan konstruksi binerisme. Secara historis, Raja Pa Mbelgah Purba, salah seorang raja di Desa Kabanjahe tertarik masuk agama Kristen tetapi tidak diperbolehkan memakai gendang karena dianggap sebagai suatu unsur kekafiran yang tidak bisa dikawinkan dengan agama Kristen (Cooley, 1976: 5). Cara pandang biner akan selalu memosisikan salah satu pihak menjadi terpinggir. Itulah yang tampak pada penolakan gereja atas konsep spiritualitas Raja Pa Mbelgah Purba. Sekurang – kurangnya dalam dua dekade terakhir ini musik Karo telah menggunakan alat musik keyboard, yaitu alat musik modern yang memiliki berbagai fasilitas program musik. Bahkan alat tersebut cukup dimainkan oleh seorang pemain untuk menghasilkan, baik
musik combo (band) maupun
orkestra (big band). Bahkan, lebih jauh lagi telah terjadi konsensus di masyarakat Karo secara tidak sadar untuk menggabungkan unsur modernitas dan tradisionalitas disebut dalam istilah gendang kibod. Alat musik ini bahkan dapat menyerupai musik Karo dalam berbagai ekspresi dan kreasi senimanseniman Karo. Peneliti telah mengamati dalam satu dekade terakhir telah terjadi pergeseran dalam gendang guro-guro aron (pesta muda-mudi) dan nganting manuk (malam sebelum upacara adat perkawinan Karo berlangsung). Lima tahun terakhir keyboard mulai merambah ke upacara gendang kematian etnik Karo. Hal ini terwujud bukan semata-mata karena ekonomi. Kepraktisan penggunaan alat ini justru sebagai salah satu faktor yang mendorong minat masyarakat menggunakan keyboard. Selain itu, penggunaan
13
keyboard ini juga tidak banyak melibatkan jumlah pemain, bahkan umumnya cukup dimainkan oleh satu orang (player). Gendang lima sendalanen bagi etnik Karo, merupakan prosesi ritual yang berkaitan dengan sistem kepercayaan. Oleh karena itu, segala unsur gendang lima sendalanen dalam upacara gendang kematian etnik Karo mengandung simbol-simbol dan makna simbolik. Pudarnya sistem kepercayaan ini setidaknya mendorong perubahan dan pergeseran pada penggunaan alat-alat tradisonal musik Karo menjadi alat musik modern berupa keyboard. Memudarnya sistem kepercayaan asli etnik Karo juga tidak terlepas oleh sistem kepercayaan agama-agama wahyu yang hanya percaya kepada Tuhan Yang Esa. Makna sakral yang terdapat dalam ensambel gendang lima sendalanen termasuk pada alat yang digunakan secara perlahan terdegradasi menjadi makna profan karena alat musik modern berupa keyboard mampu menirukan repertoar gendang lima sendalanen. Dengan demikian, secara perlahan masyarakat pemilik pun semakin kehilangan tentang makna dari gendang lima sendalanen tersebut. Spiritualitas upacara gendang kematian etnik Karo pada era globalisasi dikhawatirkan tidak akan bertahan lama akibat dari degradasi tersebut, padahal di dalamnya terkandung berbagai pesan dan mitos yang disampaikan secara lisan dan telah berlangsung berabad-abad. Pada saat ini upacara gendang kematian masih menjadi arena bagi pertempuran budaya-budaya. Keberadaan gendang keyboard di tengah-tengah prosesi upacara gendang kematian menunjukkan adanya binerisme baru pada
14
konsep spiritualitas etnik Karo. Keyboard merupakan alat musik modern yang hadir di luar konsep-konsep kosmologi Karo. Kemampuan keyboard sebagai alat musik sarat dengan konstruksi modernisme yang memosisikan gendang lima sendalanen di posisi sebaliknya sebagai alat musik tradisional. Padahal, menurut seorang pakar musik Nusantara, Suka Hardjana (2003: 26), keyboard adalah mesin, mesin adalah benda dan benda itu mati.
Oleh karena itu,
konstruksi biner gendang keyboard dan gendang lima sendalanen dalam upacara gendang kematian bisa saja berujung pada matinya spiritualitas etnik Karo. Ditinjau dari latar belakang filosofis, teoretik, dan empirik penelitian ini menjadi sangat penting. Hal ini disebabkan oleh etnik Karo merupakan bagian dari masyarakat global saat ini yang sedang mengalami dinamika perubahan struktur masyarakat. Tidak bisa dimungkiri bahwa spiritualitas merupakan bagian yang penting dalam unsur-unsur suatu masyarakat dan untuk menjaga keseimbangan di dalam kehidupan masyarakat itu sendiri. Peneliti melihat upacara gendang kematian etnik Karo pada era globalisasi merupakan unsur penanda spiritualitas etnik Karo. Dengan demikian, keberadaan petanda menjadi penting untuk ditelusuri.
1.2 Rumusan Masalah Keberadaan salah satu unsur dalam upacara gendang kematian, yaitu gendang lima sendalanen tidak bertahan hingga kini tentu tidak terlepas dari
15
berbagai faktor yang memengaruhinya. Sistem kebudayaan yang berlangsung dalam kehidupan etnik Karo menyiratkan sejumlah pesan dan simbol yang menarik untuk dimaknai. Namun, sejauh mana semua struktur upacara tradisi tersebut, dapat dipahami dengan mengemukakan rumusan masalah sebagai indikator kajian pada penelitian ini. Oleh sebab itu, pertanyaan yang diajukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Bagaimanakah wujud spiritualitas upacara gendang kematian etnik Karo pada era globalisasi? 2. Faktor-faktor apakah yang memengaruhi spiritualitas upacara gendang kematian etnik Karo pada era globalisasi? 3. Bagaimanakah makna dan strategi pewarisan spiritualitas upacara gendang kematian etnik Karo pada era globalisasi?
1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1
Tujuan Umum Berdasarkan rumusan masalah di atas, penelitian ini secara umum
bertujuan mengungkapkan fenomena yang berkaitan dengan spiritualitas upacara gendang kematian etnik Karo pada era globalisasi. Penelitian dilakukan dengan tujuan memberikan pemahaman, kesadaran, dan upaya pembinaan. Selain itu, juga untuk memahami nilai-nilai kehidupan tradisi lisan sebagai kearifan lokal yang ada untuk seluruh masyarakat Indonesia, secara khusus bagi etnik Karo, yang terkait dengan spiritualitas upacara gendang kematian.
16
1.3.2
Tujuan Khusus Secara khusus penelitian ini bertujuan mengkaji dan merumuskan
jawaban atas pertanyaan permasalahan yang telah dikemukakan di atas, yaitu sebagai berikut. 1. Untuk mengetahui bagaimana wujud spiritualitas upacara gendang kematian etnik Karo pada era globalisasi 2. Untuk memahami faktor-faktor yang mempengaruhi wujud spiritualitas upacara gendang kematian etnik Karo pada era globalisasi 3. Untuk menginterpretasi makna dan strategi pewarisan
spiritualitas
upacara gendang kematian etnik Karo pada era globalisasi
1.4 Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, baik teoretis maupun manfaat praktis. Kedua manfaat tersebut diuraikan seperti di bawah ini.
1.4.1
Manfaat Teoretis Manfaat teoretis dari temuan yang dihasilkan penelitian ini memberikan
kontribusi pada khazanah ilmu pengetahuan khususnya di bidang kajian budaya, terutama yang berkaitan dengan keberadaan upacara gendang kematian etnik Karo pada era globalisasi. Penelitian ini juga bermanfaat dalam pengembangan wawasan ilmu pengetahuan, tidak saja di bidang kajian budaya,
17
tetapi juga secara meluas dan bersifat multidisipliner. Manfaat lainnya dapat dijadikan acuan bagi calon peneliti lain yang tertarik dengan upacara gendang kematian etnik Karo, terutama dalam melakukan penelitian yang sejenis dengan topik, perspektif, dan permasalahan yang berbeda.
1.4.2 Manfaat Praktis Secara praktis penelitian ini bermanfaat untuk memberikan ruang bagi eksisnya gendang lima sendalanen pada upacara gendang kematian karena hal tersebut dapat memperkuat identitas etnik Karo dan kebudayaannya. Di samping itu, memberikan sumbangan pemikiran bagi etnik Karo ataupun etnik lainnya untuk menambah pengetahuan tentang nilai-nilai tradisi lisan sebagai sebuah kearifan lokal yang masih terdapat dalam kehidupan etnik Karo. Dalam perspektif kajian budaya dan kajian tradisi lisan, penelitian ini merupakan upaya intelektual dalam memberikan proses pemahaman, pencerahan, dan emansipatoris yang dapat digunakan untuk memperbaiki kondisi sosial budaya melalui suatu proses ilmiah. Di samping itu, memberikan sumbangan pemikiran bagi peningkatan kehidupan masyarakat dalam hal spiritualitas
serta bermanfaat sebagai sumbangan pemikiran
kepada pemerintah dalam konteks penggalian nilai-nilai budaya lokal.