BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Bank merupakan salah satu pelaku utama dari perekonomian negara karena berperan sebagai institusi yang memberikan jasa keuangan bagi seluruh pelaku ekonomi tidak hanya di suatu negara, bahkan antar negara. Pada awalnya, bank merupakan lembaga intermediasi antara seseorang yang kelebihan dana dengan seseorang yang kekurangan dana. Pada masa kini, peranan perbankan semakin meluas,
termasuk
pula
memberikan
jasa-jasa
keuangan
non-konvensional,
diantaranya seperti: pengiriman uang, bank garansi, penyimpanan barang atau dokumen berharga, perantara perdagangan obligasi pemerintah, dan resi gudang. Peranan perbankan didalam sistim keuangan di Indonesia, sebagaimana dikutip pada Kajian Stabilitas Keuangan (Bank Indonesia, Maret 2013, hal. 27), mencapai 75,8%. Salah satu peranan utama perbankan di Indonesia adalah menyalurkan kredit kepada individu ataupun perusahaan yang memerlukan dana baik untuk keperluan konsumsi atau untuk kegiatan usaha. Hal ini tertuang pada UndangUndang No. 10 tahun 1998 tentang Perbankan, dimana Bank Umum adalah “Bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran,
1
diantaranya kredit.” Penyaluran kredit berdasarkan jenis penggunaannya terbagi atas 3 kategori, yaitu: kredit investasi, kredit modal kerja, dan kredit konsumsi. Bank dalam menjalankan fungsinya sebagai penyalur kredit wajib memperhatikan prinsip kehati-hatian. Prinsip kehati-hatian yang dijalankan perbankan tidak terlepas dari upaya menjaga kepercayaan masyarakat terhadap usaha bank mengingat kredit yang disalurkan oleh bank dananya lebih dari 70% (tujuh puluh persen) bersumber dari simpanan masyarakat. Mengingat usaha bank yang bersandar pada dana simpanan dari masyarakat dan strategisnya peranan perbankan bagi perekonomian di Indonesia, maka aktifitas perbankan setiap saat memerlukan pengaturan dan pengawasan dari lembaga yang berwewenang. Oleh karenanya, Bank Indonesia selaku regulator pengaturan dan pengawasan perbankan memberlakukan aturan kesehatan bank dimana bank harus mampu beroperasi secara normal dan mampu memenuhi kewajibannya dengan baik sesuai dengan aturan yang berlaku. Menurut aturan Bank Indonesia, salah satu risiko yang menjadi sumber penilaian kesehatan suatu bank adalah kualitas kredit dimana suatu bank harus mempunyai rasio non performing loan (NPL) dibawah 5%. Angka ini menunjukkan berapa rasio persentase kredit yang bermasalah dari keseluruhan kredit yang dikucurkan oleh bank. Berdasarkan Peraturan Dewan Gubernur Bank Indonesia BI No.11/8/PDG/2009 tentang Pengawasan Bank Berdasarkan Risiko, yang dimaksud dengan risiko “Adalah potensi terjadinya suatu peristiwa yang dapat menimbulkan kerugian bagi bank. Risiko yang diterima oleh sebuah bank diakibatkan oleh
2
terjadinya sebuah atau serangkaian peristiwa bersifat negatif dan tidak diinginkan.” Risiko terkait dengan aktivitas perbankan tersebut tidak dapat dihilangkan, namun dapat dieliminir. Guna mengeliminir meningkatnya risiko bagi perbankan, Bank Indonesia dapat menerapkan kebijakan yang bersifat membatasi penyaluran kredit secara langsung atau tidak langsung. Bank Indonesia memiliki tugas menjalankan kebijakan mengatur dan mengawasi perbankan didalam suatu sistim keuangan. Dalam melaksanakan tugasnya, Carmichael dan Harper (sebagaimana dikutip dalam Prastowo, 2008) menyatakan bank sentral secara signifikan mampu mempengaruhi aktivitas pasar keuangan melalui dua jalur utama, yaitu pertama, bank sentral mempunyai otoritas untuk membuat regulasi dan mengatur tingkat suku bunga yang berpengaruh terhadap institusi perbankan. Kedua, bank sentral dapat melakukan transaksi langsung di pasar keuangan yang dapat mempengaruhi likuiditas atau uang beredar di pasar keuangan melalui perbankan. Perkembangan kredit perbankan di Indonesia dalam kurun waktu 4 (empat) tahun terakhir menunjukkan kecenderungan meningkat. Pada awal tahun 2010, jumlah posisi kredit perbankan mencapai Rp1.421,46 triliun yang kemudian meningkat 110,69% menjadi Rp2.994,84 triliun pada bulan Mei 2013. Dari ketiga kategori kredit berdasarkan jenis penggunaannya, porsi kredit konsumsi terhadap total kredit di Indonesia sampai dengan awal tahun 2012 relatif tinggi mencapai 31,17%. Namun porsi kredit konsumsi menurun menjadi 28,79% pada bulan Mei
3
2013. Kredit konsumsi terbagi atas tiga besaran klasifikasi. Kelompok pertama adalah kredit rumah tangga untuk kepemilikan rumah/toko/apartemen dan sejenisnya (KPR). Kelompok kedua adalah kredit rumah tangga untuk kendaraan bermotor (KKB). Ketiga adalah kelompok kredit rumah tangga multiguna yang diperuntukkan bagi pembiayaan kartu kredit, kredit alat-alat rumah tangga, kredit uang sekolah, dan lain sebagainya. KPR dan KKB termasuk kredit konsumsi yang meningkat sangat pesat sejak 2010 di Indonesia. Peningkatan ini telah menjadi perhatian Bank Indonesia menyangkut potensi kenaikan risiko gagal kredit. Bank Indonesia telah belajar dari pengalaman kasus subprime mortgage yang terjadi pada sektor lembaga keuangan di Amerika Serikat tahun 2008 agar kejadian serupa tidak terjadi terhadap perbankan nasional. Dapat dijelaskan secara singkat, kasus subprime mortgage terjadi diawali oleh booming sektor perumahan di Amerika Serikat dimana penduduk berpendapatan rendah mendapatkan fasilitas memperoleh rumah murah melalui skema KPR murah. Mudahnya penyaluran KPR murah mengakibatkan permintaan rumah meningkat sehingga harga rumah di Amerika Serikat ikut terdongkrak secara tidak rasional atau yang disebut dengan bubble price. Di sisi lain, KPR yang ada oleh lembaga pembiayaan dijadikan surat penjaminan (subprime mortgage) untuk mendapatkan pinjaman pada lembaga keuangan. Ketidakmampuan penduduk pemilik KPR untuk mengembalikan pinjaman mengakibatkan kemacetan KPR dan degradasi surat penjaminan tersebut. Bank Indonesia menyadari bahwa ekspansi kredit konsumsi
4
yang diikuti dengan profil debitur yang tidak layak untuk diberikan kredit (feasible) dapat berdampak buruk tidak hanya bagi perbankan melainkan bagi keseluruhan ekonomi nasional. Bank Indonesia telah mengeluarkan Peraturan Bank Indonesia (PBI) No.14/10/DPNP tanggal 15 Maret 2012 terkait dengan “Penerapan Manajemen Risiko Bank yang Melakukan Pemberian Kredit Pemilikan Rumah dan Kredit Kendaraan Bermotor.” Peraturan ini lebih dikenal dengan penetapan besaran Loan To Value (LTV), dimana terdapat pengaturan angka rasio antara nilai kredit yang dapat diberikan oleh bank terhadap nilai agunan pada saat awal pemberian kredit. Kebijakan LTV ditujukan bagi pemberian kredit pemilikan rumah dan kendaraan bermotor. Berdasarkan PBI tersebut, bank dalam menyalurkan KPR ditetapkan paling tinggi sebesar 70%, sedangkan bagi KKB wajib membayar down payment dengan sumber dari debitur sendiri pada kisaran 20% sampai dengan 30% sesuai spesifikasi kendaraan. PBI ini dikeluarkan setelah melihat adanya akselerasi pertumbuhan kredit konsumsi yang sangat tinggi, khususnya untuk KPR dan KKB, secara nasional selama tahun 2011 yang diikuti oleh meningkatnya potensi risiko kredit. Kebijakan LTV oleh Bank Indonesia dipertajam dengan lanjutan kebijakan LTV tahap kedua. Kebijakan tahap kedua yang dikeluarkan pada tanggal 24 September 2013 berupa Surat Edaran (SE) Bank Indonesia No. 15/40/DKMP Perihal Penerapan Manajemen Risiko pada Bank yang Melakukan Pemberian Kredit atau Pembiayaan Pemilikan Properti, Kredit atau Pembiayaan Konsumsi Beragun Properti, Kredit atau
5
Pembiayaan Kendaraan Bermotor. SE ini memperketat pemberian kredit khusus kepada KPR yang berlaku efektif per September 2013. Peranan Bank Umum di provinsi Riau, dalam penyaluran kredit di provinsi Riau sangat dominan dibandingkan dengan peranan lembaga keuangan lainnya. Data menunjukkan, terdapat 45 Bank Umum yang beroperasi di provinsi Riau dengan jaringan Kantor mencapai 811 unit (Tinjauan Ekonomi Regional Provinsi Riau, 2012). Aset Bank Umum di Riau sampai dengan bulan Juni 2013 tercatat sebesar Rp 78,29 triliun seiring dengan meningkatnya dana masyarakat yang berhasil dihimpun oleh perbankan. Pada periode yang sama, jumlah kredit yang disalurkan oleh bank umum mencapai Rp 46,55 triliun, dimana 36,8% kredit dalam bentuk kredit konsumsi. Perkembangan KPR dan KKB kredit di provinsi Riau sampai dengan tahun 2011 menunjukkan pertumbuhan mencapai 20,01% (yoy). Dari 45 Bank Umum yang ada di provinsi Riau, 36 Bank menyalurkan KPR dan KKB dengan total outstanding mencapai Rp 13,14 triliun. Mayoritas perbankan di provinsi Riau menyalurkan KPR dan KKB dengan melihat besarnya potensi kebutuhan akan alat transportasi dan properti.
6
1.2. Rumusan Masalah Secara nasional, kredit konsumsi yang didalamnya termasuk KPR dan KKB meningkat sangat pesat. Kredit konsumsi pada tahun 2011 tercatat tumbuh sebesar 33,12% (yoy) atau berada di atas pertumbuhan kredit agregat sebesar 24,4% (yoy). Peningkatan kredit ternyata diikuti dengan kenaikan rasio NPL perbankan menjadi 2,92% dibandingkan posisi akhir 2010 sebesar 2,56%. Perkembangan kredit konsumsi di provinsi Riau juga tumbuh mencapai 22,8% melebihi pertumbuhan kredit total sebesar 21,4%. Meskipun, risiko kredit konsumsi di provinsi Riau masih terjaga, sebagaimana ditunjukkan rasio NPL hanya sebesar 2,37%, namun demikian beberapa Bank Umum yang memiliki porsi KPR dan KKB yang besar menunjukkan indikasi peningkatan NPL. Penerapan kebijakan LTV akan berdampak pada tertahannya ekspansi KPR dan KKB perbankan, termasuk di provinsi Riau. Bank Indonesia melalui kebijakan LTV mengharapkan kredit KPR dan KKB yang tercipta adalah yang tidak memiliki potensi risiko kredit. Munculnya potensi risiko kredit terjadi manakala NPL kredit KPR dan KKB terus meningkat. Dampak lanjutan dari peningkatan NPL adalah kenaikan pencadangan aset oleh perbankan, sehingga aset tidak dapat dipergunakan untuk menghasilkan laba. Di sisi lain, meningkatnya NPL dapat berdampak pada berkurangnya pendapatan operasional perbankan dan tertahannya likuiditas. Kondisi ini yang dikhawatirkan dapat berpengaruh terhadap kinerja keuangan bank.
7
1.3. Tujuan Penelitian Adapun tujuan penulisan tesis ini adalah untuk menganalisis perbandingan kinerja keuangan bank umum sebelum diterapkannya kebijakan LTV oleh Bank Indonesia dan sesudahnya yang terbagi atas dua tujuan spesifik. 1. Perbandingan perkembangan kredit konsumsi, khususnya KPR dan KKB, sebelum dan sesudah penerapan kebijakan LTV di provinsi Riau. 2. Perbandingan kinerja keuangan antar 4 (empat) bank yang beroperasi di provinsi Riau yang memiliki eksposur KPR dan KKB relatif besar dibandingkan bank umum lainnya.
I.4. Metode Penelitian Metodologi yang dipergunakan dalam melakukan analisis adalah metode studi komparasi
kuantitatif.
Studi
komparasi
kuantitatif
dipergunakan
untuk
memperbandingkan risiko kredit Bank Umum yang memiliki eksposur KPR dan KKB relatif besar dari total kreditnya pada periode sebelum diberlakukannya kebijakan LTV dan era implementasi kebijakan LTV. Indikator risiko yang diperbandingkan adalah Non Performing Loan. Di sisi lain terkait dengan pendapatan bunga dan kinerja keuangan dipergunakan penghitungan kuantitatif dengan indikator Net Interest Margin (NIM) dan Return on Assets (ROA). Periode
penelitian
akan
terbagi
atas
dua
periode,
yaitu
sebelum
diberlakukannya kebijakan LTV, yaitu sebelum bulan Maret 2012 dan setelah
8
implementasi kebijakan LTV, yaitu mulai bulan Maret 2012 sampai dengan bulan Maret 2013. Adapun data yang dipergunakan terdiri dari : data keuangan Bank Umum yang memiliki eksposur KPR dan KKB relatif besar di Riau serta informasi perbankan lainnya dalam ruang lingkup nasional. Terdapat 4 Bank Umum dengan karakteristik relatif sama terkait dengan porsi KPR dan KKB terhadap eksposur kredit konsumsinya yang relatif tinggi. Keempat bank tersebut adalah Bank Tabungan Negara (BTN), Bank Pembangun Daerah (BPD) Riau Kepri, Bank Panin, dan Bank Negara Indonesia (BNI).
1.5. Manfaat penelitian Penelitian yang dilakukan diharapkan mampu memberikan manfaat. 1. Bagi Akademisi untuk dapat memberikan pengayaan pengetahuan tentang bagaimana dampak sebuah kebijakan memberikan implikasi terhadap kinerja sebuah organisasi. 2. Bagi Praktisi untuk dapat memperkaya strategi manajemen mempertahankan atau bahkan meningkatkan kinerja perusahaannya manakala terdapat suatu kebijakan yang berkaitan usaha perusahaannya.
1.6. Susunan Penelitian Penelitian akan terbagi atas lima Bab. Setelah bab I. Pendahuluan, pada bab II akan dijelaskan mengenai tinjauan pustaka dari landasan penelitian ini dan pada Bab
9
III memuat tentang metode penelitian serta profil dari obyek penelitian. Untuk Bab IV akan dijelaskan tentang hasil penelitian yang diikuti dengan pembahasannya, serta untuk Bab V adalah kesimpulan dari hasil penelitian dan saran.
10