1
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia sebagai mahluk hidup selain membutuhkan udara untuk bernafas, air untuk minum juga membutuhkan makanan sebagai kebutuhan untuk hidup. Makanan yang seimbang adalah makanan yang memiliki gizi yang dibutuhkan oleh tubuh kita, slogan “empat sehat lima sempurna” yang dianjurkan bertujuan agar manusia mengkonsumsi makanan untuk hidup yang lebih sehat. Namun seiring berjalannya waktu, manusia lebih memilih makanan instan atau cepat saji, sehingga dibuatlah berbagai makanan yang diproduksi oleh produsen di dalam kemasan yang dapat bertahan lama. Kandungan gizi dalam makanan kemasan jelas tidak sebanyak makanan organik, seperti sayur-sayuran dan makanan tanpa bahan pengawet. Makanan yang diproduksi dalam kemasan pasti mengandung bahan kimia dan pengawet yang seharusnya tidak ada dalam tubuh kita, ini jelas berbahaya. Namun masyarakat sekarang ini lebih memilih makanan yang mudah dibuat dan cepat untuk disajikan. Masyarakat seharusnya juga memperhatikan kemasan pembungkus makanan tersebut, karena bahan pembuat kemasan pembungkus itu juga berbahaya. Definisi makanan kemasan itu sendiri memang tidak ada yang baku, sehingga setiap orang dapat mendefinisikan makanan kemasan dengan pengertian apa saja.
2
Kamus besar bahasa Indonesia mendefinisikan kemasan yaitu teratur, bersih dan rapi. 1 Undang-undang No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan, dalam Pasal 1 ayat (10) mendefinisikan kemasan pangan yaitu bahan yang digunakan untuk mewadahi dan atau membungkus pangan, baik yang bersentuhan langsung dengan pangan maupun tidak. Berdasarkan
beberapa
definisi
kemasan
di
atas,
penulis
menyimpulkan bahwa makanan kemasan adalah makanan yang dibungkus dengan rapi, bersih dan mempunyai masa kadaluarsa untuk dijual dalam jangka waktu yang bisa diperkirakan. Pembungkus makanan yang digunakan untuk mewadahi atau membungkus juga harus dapat melindungi makanan yang ada di dalamnya. Bahan yang digunakan tidak boleh terbuat dari bahan yang dapat membahayakan kesehatan masyarakat, namun tidak hanya masalah kemasan yang harus diperhatikan tapi makanan yang ada dalam kemasan itu juga harus dapat bertahan sesuai masa kadaluarsa yang tercantum pada label kemasan. Perlindungan hukum terhadap konsumen pada makanan kemasan yang di perjual-belikan di swalayan atau mini market lainnya masih sangat kurang. Hal ini terkadang membuat para konsumen hanya bisa menerima penyelesaian yang kurang adil dari pelaku usaha. Sehingga konsumen selalu berada dalam posisi lemah apabila melakukan komplain terhadap barang yang di jual. 1
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta, 2008 hlm. 655.
3
Fakta di lapangan menunjukkan sudah ada korban yang telah dirugikan karena mengkonsumsi makanan yang telah rusak dan kadaluarsa yang masih di jual di swalayan. Secara inmateriil konsumen dirugikan dalam hal gangguan kesehatan, seperti gangguan pencernaan, sakit perut, mual-mual hingga keracunan setelah mengkonsumsi makanan yang dijual, sedangkan secara materiil konsumen dirugikan karena seringkali konsumen tidak mendapatkan ganti atas kerugian yang diderita konsumen. Pelaku usaha dalam hal ini berkewajiban mengganti kerugian yang dialami oleh konsumen. Namun, pelaku usaha seringkali tidak mengganti kerugian yang dialami oleh konsumen. Pelaku usaha jelas telah melanggar kewajibannya sebagai penjual, sesuai
dengan
Pasal
1504
KUHPerdata: Si penjual diwajibkan
menanggung cacat tersembunyi pada barang yang di jual, yang membuat barang itu tak sanggup untuk pemakaian yang dimaksud atau yang demikian mengurangi pemakaian itu sehingga, seandainya si pembeli mengetahui cacat itu ia sama sekali tidak akan membeli barangnya atau tidak akan membelinya selain dengan harga yang kurang. Pasal 1506 KUHPerdata juga menyatakan: Ia diwajibkan menanggung cacat tersembunyi, meskipun dia sendiri tidak mengetahui adanya cacat itu, kecuali jika ia dalam hal yang demikian telah meminta diperjanjikan bahwa ia tidak diwajibkan menanggung sesuatu apapun. Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menyatakan dalam Pasal 7 butir b, di mana kewajiban pelaku
4
usaha untuk menjamin mutu barang sesuai ketentuan standar mutu yang diperdagangkan, sedangkan Pasal 7 butir f menjelaskan, memberi kompensasi, ganti-rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan. Perlindungan
hukum
terhadap
konsumen
sudah
maksimal
dilakukan oleh pemerintah melalui peraturan perundang-undangan, namun terkadang masyarakat yang enggan untuk memperhatikan keamanan dalam membeli
dan
mengkonsumsi
produk
makanan.
Ketidakpahaman
konsumen inilah yang kemudian membuat pelaku usaha sering mengabaikan hak konsumen dan penegakan peraturan yang kurang tegas dari pemerintah kepada pelaku usaha. Pentingnya pemberian informasi yang jelas bagi konsumen adalah tugas dari pelaku usaha yang menawarkan barang, selain konsumen diminta untuk lebih pandai dan teliti dalam memilih/membeli barang. Hal seperti ini dimaksudkan agar konsumen juga belajar untuk lebih memahami hak-haknya yang dilanggar. Informasi mengenai komposisi bahan makanan yang tercantum pada label kemasan memang sudah dilakukan oleh produsen, namun terkadang masih sering ditemui beberapa kemasan rusak dan cacat yang dapat mengancam jiwa dan kesehatan konsumen. Undang-undang telah mengatur mengenai perlindungan terhadap konsumen, namun kenyataan di masyarakat masih saja terjadi pelanggaran yang merugikan konsumen.
5
Berdasarkan sejarah, perlindungan konsumen pernah secara prinsipil menganut asas the privity of contract. Artinya, pelaku usaha bukan hanya dapat dimintakan pertanggungjawaban hukumnya sepanjang ada hubungan kontraktual antara dirinya dan konsumen. Oleh karena itu, tidak mengherankan bila ada pandangan, hukum perlindungan konsumen berkolerasi erat dengan hukum perikatan, khususnya perikatan perdata.2 Penjelasan UU PK menyebutkan bahwa piranti hukum yang melindungi konsumen tidak dimaksudkan untuk mematikan usaha para pelaku usaha, tetapi justru sebaliknya, sebab perlindungan konsumen dapat mendorong iklim berusaha yang sehat serta lahirnya perusahaan tangguh dalam menghadapi persaingan melalui penyediaan barang/atau jasa yang berkualitas. Menurut
ketentuan
Pasal
4
Undang-undang
Perlindungan
Konsumen, hak konsumen ada sembilan, namun ada empat hak konsumen yang cenderung dilanggar oleh pelaku usaha, antara lain : 1.
Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa;
2.
Hak atas informasi yang jelas, benar, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;
3.
Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;
2
Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Edisi revisi, Gresindo, Yogyakarta, 2006, hlm. 13.
6
4.
Hak untuk mendapatkan kompensasi atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya. Keempat butir hak konsumen yang diberikan di atas adalah
beberapa hak konsumen yang cenderung dilanggar pada produk makanan kemasan oleh pelaku usaha di samping hak-hak yang lain juga tentunya. Penelitian yang dilakukan di Pamela swalayan menunjukkan ada beberapa konsumen yang sering menemukan kemasan makanan yang sudah rusak seperti kaleng yang penyok. Tidak hanya itu saja, ada beberapa konsumen yang mengeluhkan tanggal kadaluarsa yang tidak tercantum pada label kemasan. Pada bulan September tahun 2008, BPOM Yogyakarta menggelar operasi makanan di Carrefour Ambarukmo Plaza menemukan beberapa parcel yang ternyata kemasan makanan yang ada di dalamnya rusak. BPOM Yogyakarta juga melakukan operasi makanan di Pamella swalayan, Makro Maguwoharjo, di tempat tersebut BPOM menemukan makanan yang rusak dan telah kadaluarsa. Kebanyakan makanan yang rusak adalah kaleng biskuit, susu dan ikan sarden. Hal inilah yang kurang diperhatikan oleh pelaku usaha, pelaku usaha seperti menunggu pemerintah yang bertindak untuk memeriksa makanan kemasan yang sudah rusak dan kadaluarsa. Keamanan produk makanan kemasan yang dijual seharusnya menjadi tanggung jawab pelaku usaha, pelanggaran yang ditemukan pada
7
saat operasi makanan menunjukkan pelaku usaha kurang memperhatikan produk yang diperjual-belikan sehingga dapat membahayakan konsumen. Pelanggaran yang dilakukan pelaku usaha jelas telah melanggar Pasal 4 UU PK, di mana tidak dipenuhinya hak-hak konsumen oleh pelaku usaha. Pelanggaran yang dilakukan pelaku usaha seingkali menimbulkan sengketa antara pelaku usaha dan konsumen. Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) memberikan tiga penyelesaian yang dapat dilakukan jika ada sengketa antara pelaku usaha dan konsumen, antara lain:3 1. Konsiliasi 2. Mediasi 3. Arbitrase Ketiga penyelesaian inilah yang dapat diupayakan konsumen pada saat timbul sengketa dengan pelaku usaha. Selain penyelesaian di atas sengketa juga dapat diselesaikan oleh Pengadilan Negeri jika pihak yang bersengketa menghendaki. Solusi penyelesaian sengketa telah diberikan oleh pemerintah sebagai tanggung jawab untuk melindungi konsumen, tetapi konsumen itu sendiri yang sangat jarang menggunakan fasilitas yang disediakan. Konsumen tidak mau bersusah-susah memperjuangkan haknya untuk mendapat ganti-rugi yang tidak seberapa dibandingkan biaya yang harus dikeluarkan konsumen dan proses penyelesaian yang membutuhkan waktu yang lama.
3
http://www.koranindonesia.com, di unduh Des. 14, 2008.
8
Ketidaktahuan konsumen ini juga ternyata karena konsumen tidak mengetahui harus mengadukan ke mana apabila dirugikan oleh pelaku usaha, sehingga konsumen membiarkan saja kerugian yang konsumen alami sebagai hal yang biasa saja. Seorang pakar hukum perlindungan konsumen berkebangsaan Jerman, Hans W Micklitz, berpendapat bahwa dalam perlindungan konsumen secara garis besar dapat ditempuh dua model kebijakan, antara lain:4 1. Kebijakan yang bersifat komplementer, yaitu kebijakan yang mewajibkan pelaku usaha memberikan informasi yang memadai kepada konsumen (hak atas informasi). 2. Kebijakan kompensatoris, yaitu kebijakan yang berisikan perlindungan terhadap kepentingan ekonomi konsumen (hak atas kesehatan dan keamanan). Perlindungan hukum yang diberikan oleh Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen sebenarnya telah maksimal dan melindungi kepentingan konsumen, namun ternyata hal ini kurang terasa maksimal karena banyak dari konsumen yang tidak tahu adanya UU PK ini sehingga konsumen merasa tidak ada yang melindungi hak-hak konsumen. Upaya hukum yang juga menjadi salah satu cara untuk melindungi kepentingan konsumen ternyata tidak berjalan maksimal, konsumen tidak peduli dengan kerugian yang mereka alami daripada memperkarakan 4
UU PK di Mata Pakar Jerman, Warta Konsumen, Tahun XXIV No. 12 (Desember 1998), hlm. 34.
9
pelaku usaha yang merugikan konsumen, selain ketidaktahuan konsumen ternyata masih banyak konsumen yang tidak tahu harus mengadukan ke mana pada saat mereka dirugikan oleh pelaku usaha. B. Rumusan Masalah Berdasarkan penjelasan latar belakang di atas, permasalahan yang perlu diuraikan dalam skripsi ini, yaitu: 1. Bagaimanakah perlindungan hukum bagi konsumen dalam perjanjian jual-beli makanan kemasan di swalayan kota Yogyakarta? 2. Bagaimanakah upaya hukum yang dilakukan oleh konsumen pada saat terjadi sengketa antara pelaku usaha dan konsumen? C. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah di atas, penelitian ini ditujukan untuk: 1. Mengetahui perlindungan hukum bagi konsumen dalam perjanjian jual-beli makanan kemasan di swalayan kota Yogyakarta. 2. Mengetahui upaya hukum yang dilakukan oleh konsumen pada saat terjadi sengketa antara pelaku usaha dan konsumen. D. Tinjauan Pustaka 1. Pengertian Perjanjian Manusia
dalam
hidup
bermasyarakat
memerlukan
untuk
bekerjasama dengan sesamanya, salah satu bentuk dari kerjasama itu diwujudkan dalam bentuk perjanjian. Buku III Kitab Undang-undang
10
Hukum Perdata (KUHPerdata)5 Bab II Pasal 1313 memberikan definisi, perjanjian atau persetujuan adalah sebagai berikut: ”Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih”. Menurut Subekti, yang dinamakan perjanjian adalah: ”Suatu peristiwa di mana seseorang berjanji kepada orang lain atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal”6. Sudikno
Mertokusumo
mendefinisikan
perjanjian
sebagai
hubungan hukum di antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum. Dua pihak itu sepakat untuk menentukan peraturan/kaidah atau hak adan kewajiban yang mengikat mereka untuk menimbulkan hak dan kewajiban dan bila kesepakatan itu dilanggar maka ada akibat hukumnya, si pelanggar dapat kena sanksi.7 Berdasarkan pengertian di atas penulis berpendapat bahwa yang dimaksud dengan perjanjian adalah suatu perbuatan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk melakukan hal tersebut. 2. Syarat Sahnya Perjanjian Berdasarkan Pasal 1320 KUHPerdata, untuk syarat sahnya perjanjian ada empat. Keempat syarat tersebut harus dipenuhi oleh
5
Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang selanjutnya disingkat KUHPerdata R. Subekti, Hukum Perjanjian, Cetakan ke 11, Intermesa, Jakarta, 1987, hlm. 1. 7 R.M. Sudikno Mertokusumo, Mengenai Hukum Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 1998, hlm. 96. 6
11
mereka yang membuat perjanjian, karena apabila tidak mereka penuhi maka perjanjian yang telah dilakukan diancam dengan kebatalan maupun batal demi hukum, syarat sahnya perjanjian yang dimaksud adalah: a. Sepakat mereka yang mengikatkan diri b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan c. Suatu hal tertentu d. Suatu sebab yang halal. Kalau kita perhatikan pada syarat a dan b, kedua syarat tersebut adalah syarat yang menyangkut subjeknya, sedangkan pada syarat c dan d adalah mengenai objeknya. Suatu perjanjian yang mengandung cacat pada subjeknya, yaitu syarat: sepakat mereka yang mengikatkan dirinya dan kecakapan untuk bertindak tidak selalu menjadikan perjanjian tersebut menjadi batal dengan sendirinya (nietig), tetapi seringkali
hanya
memberikan
kemungkian
untuk
dibatalkan
(vernietigbaar), sedang perjanjian yang cacat dalam segi objeknya, yaitu: mengenai segi ”suatu hal tertentu” atau ”suatu sebab yang halal” adalah batal demi hukum.8 3. Perjanjian Jual-Beli Pasal 1457 KUHPerdata menjelaskan: Jual-beli adalah suatu perjanjian, dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak yang lain untuk membayar
8
J. Satrio, Hukum Perjanjian, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1992, hlm. 127.
12
harga yang telah dijanjikan. Sehingga perjajian jual-beli dikatakan telah terjadi apabila kedua pihak telah menyepakati perjanjian yang dimaksud. Menurut Subekti, pengertian jual-beli menurut Pasal 1457 KUHPerdata tersebut kurang tepat, karena yang dimaksudkan penyerahan dalam jual-beli tidak hanya benda saja, tetapi juga hak miliknya. Beliau mengatakan: Suatu perjanjian timbal-balik dalam mana pihak yang satu (penjual) berjanji untuk menyerahkan hak milik atas suatu barang. Pihak yang lain (pembeli) berjanji untuk membayar harga yang terdiri atas sejumlah sebagai uang imbalan dari perolehan hak milik tersebut. Berdasarkan definisi di atas, dapat diketahui unsur-unsur pokok jual-beli adalah adanya barang dan harga. Selain itu dapat diketahui pula bahwa hak dan kewajiban masing-masing pihak, yaitu penjual adalah menerima suatu pembayaran dan pembeli adalah menerima barang, sedangkan kewajiban penjual adalah menyerahkan barang dan kewajiban pembeli adalah memberikan suatu pembayaran. 4. Makanan Kemasan Kamus besar bahasa Indonesia mendefinisikan kemasan yaitu teratur, rapi dan bersih. Undang-undang No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan mendefinisikan kemasan yaitu bahan yang digunakan untuk mewadahi dan atau membungkus pangan, baik yang bersentuhan langsung dengan pangan maupun tidak.
13
Berdasarkan definisi di atas, makanan kemasan adalah makanan yang dibungkus dengan rapi, bersih dan mempunyai masa kadaluarsa untuk dijual dalam jangka waktu yang bisa diperkirakan. Bahan yang digunakan untuk membuat pembungkus kemasan juga diatur dalam Undang-undang tentang Pangan. Pasal 16 ayat (1) menyatakan setiap orang yang memproduksi pangan untuk diedarkan dilarang menggunakan bahan apapun sebagai kemasan pangan yang dinyatakan terlarang dan atau yang dapat melepasakan cemaran yang merugikan atau membahayakan kesehatan manusia. 5. Perlindungan Konsumen Tujuan hukum adalah untuk melindungi hak-hak seseorang dari tindakan dan gangguan dari pihak lain. Perlindungan hukum terhadap konsumen saat ini yang secara khusus dan menyeluruh mengenai hak dan kewajiban serta perlindungan terhadap konsumen yaitu Undangundang Perlindungan Konsumen No. 8 tahun 1999. Pada Pasal 3 sub d menyatakan
bahwa
tujuan
perlindungan
konsumen
adalah
menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi. Berdasarkan Pasal 4 Undang-undang Perlindungan Konsumen, hak-hak konsumen antara lain : a. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa;
14
b. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa, serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi, serta jaminan yang dijanjikan; c. Hak atas informasi yang jelas, benar, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa; d. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan; e. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut; f. Hak mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen; g. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar, jujur, serta tidak diskriminatif; h. Hak untuk mendapatkan kompensasi atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya; i. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundangundangan lainnya. Hukum
perlindungan
konsumen
sangat
dibutuhkan
untuk
mengatasi kondisi bila pihak-pihak yang mengadakan hubungan hukum itu tidak seimbang. Hukum perlindungan konsumen adalah memuat asas-asas dan kaidah-kaidah hukum yang mengatur dan melindungi konsumen dalam hubungan dan masalahnya dengan para
15
penyedia barang dan/atau jasa konsumen. 9 Selain untuk melindungi kepentingan konsumen, sekaligus juga memberi kepastian bagi produsen dalam menjalankan usahanya dan pemerintah dalam melakukan pengawasan, contohnya pengawasan terhadap barang yang diperjual-belikan. Pengawasan ini dilakukan untuk memenuhi standar mutu dan persyaratan kesehatan lainnya, karena masuk klasifikasi barang TMS (Tidak Memenuhi Syarat) karena rusak, kadaluarsa, bisa karena TMS label, misalnya mengandung babi. Bila terbukti adanya pelanggaran terhadap ketentuan di atas dan telah diperingatkan, maka SIUPnya dapat dibekukan, dan ditambah ancaman sanksi menurut Undang-Undang Republik Indonesia No. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan. Sengketa antara
konsumen dengan pengusaha swalayan sering
terjadi, dengan komplain dari konsumen karena barang yang telah dibeli ternyata rusak atau cacat. Sengketa konsumen adalah perselisihan antara konsumen dan penyedia produk konsumen dalam hubungan hukum atas satu sama lain, mengenai produk konsumen tertentu. Penyelesaian sengketa konsumen dapat dilakukan melalui negosiasi, yaitu suatu bentuk penyelesaian sengketa oleh para pihak sendiri, tanpa bantuan pihak lain, dengan cara bermusyawarah atau berunding untuk mencari pemecahan yang dianggap adil oleh para pihak, hasil yang dicapai dari negosisasi ini berupa penyelesaian 9
AZ.Nasution, Konsumen dan Hukum Tinjauan Sosial, Ekonomi dan Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, Sinar Harapan, Jakarta, 1995, hlm. 66.
16
kompromi atau compromise solution yang tidak mengikat secara hukum. Penyelesaian juga dapat melalui konsiliasi, yaitu mekanisme penyelesaian sengketa dengan intervensi pihak ketiga (konsiliator) mengambil inisiatif menyusun dan merumuskan langkah-langkah penyelesaian yang selanjutnya diajukan dan ditawarkan kepada para pihak yang bersengketa. Konsiliator tidak berwenang membuat keputusan, tetapi hanya berwenang membuat rekomendasi, yang pelaksanaannya sangat tergantung dari iktikad baik para pihak yang bersengketa sendiri. Penyelesaian sengketa yang lain dan sudah dikenal adalah arbitrase yang merupakan mekanisme penyelesaian sengketa dengan bantuan pihak ketiga yang netral. Kedua mekanisme di atas dalam arbitrase pihak ketiga bertindak sebagai ”hakim” yang diberi kewenangan penuh oleh para pihak untuk menyelesaikan
sengketa,
sehingga
ia
berwenang
mengambil
keputusan yang bersifat mengikat. Selain
menggunakan
penyelesaian
di
atas,
juga
dapat
menggunakan forum alternatif seperti small claims court, dan class action. Small claims court merupakan suatu sistem peradilan khusus untuk menangani tuntutan ganti-rugi atas kerugian dalam jumlah yang kecil. Peradilan khusus semacam ini dapat berdiri sendiri sebagai bentuk Quasi judicial atau merupakan kamar tersendiri di peradilan negeri (merupakan bagian dari peradilan umum). Sedangkan class action dimaksudkan sebagai cara gugatan yang dilakukan di depan
17
pengadilan biasa (pengadilan negeri) secara berkelompok, dengan memakai jasa pengacara, tetapi pada gugatan class action si penggugat tidak mempunyai kepentingan langsung. 6. Perbuatan Melawan Hukum Ketentuan dalam Pasal 1365 KUHPerdata menjelaskan bahwa: Tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya itu menerbitkan kerugian tersebut mengganti kerugian itu. Konsumen sebagai pemakai barang dan jasa mempunyai kepentingan-kepentingan konsumen sehingga informasi bagi konsumen sangat penting. Pengertian perbuatan melawan hukum adalah suatu perbuatan atau kealpaan, yang atau bertentangan dengan hak orang lain atau bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku sendiri atau bertentangan baik dengan kesusilaan maupun dengan sikap hati-hati yang harus diindahkan dalam pergaulan hidup terhadap orang lain atau benda.10 Menurut putusan Hoge Raad 13 Juni 1913, apabila kewajiban yang timbul dari perjanjian dilanggar, maka pelanggaran tersebut tidak dapat digugat berdasarkan perbuatan
melawan hukum. Putusan tersebut
ternyata bahwa batas melawan hukum dengan wanprestasi adalah bahwa pada wanprestasi, kerugian terjadi karena adanya perjanjian. Misalnya apabila seorang pembeli menderita kerugian karena penjual 10
R. Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Cetakan 1, Putra abardin, Bandung, 1978, Hlm75-76.
18
tidak
menyerahkan
barang,
maka
pembeli
dapat
menggugat
berdasarkan ingkar janji. Hubungan antara dua pihak tersebut ada suatu perjanjian yang telah disepakati tetapi salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya. Sehingga pembeli dapat menggugat berdasarkan ingkar janji. Ingkar janji (wanprestasi) terjadi karena terdapat perjanjian dengan pihak lawan dan pihak lawan tidak memenuhi prestasi yang diperjanjikan atau mungkin memenuhi tetapi tidak sebagaimana perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige daad), dapat diajukan jika tidak terdapat perjanjian dengan pihak lawan pada saat sebelumnya.11 Berdasarkan pernyataan di atas untuk melakukan wanprestasi ada syarat-syarat yaitu harus didahului dengan somasi atau peringatan dan di sini wanprestasi harus dibuktikan oleh kreditor. Hal ini didasarkan pada Pasal 1865 KUHPerdata yang mengatakan: Bahwa setiap orang yang mendalilkan mempunyai sesuatu hak atau meneguhkan haknya, diwajibkan membuktikan adanya hak atau peristiwa, sehingga perlu pula menuntut berdasarkan adanya cacat tersembunyi sebagai wanprestasi yang bersifat khusus. E. Metode Penelitian 1. Objek Penelitian a. Perlindungan hukum bagi konsumen dalam perjanjian jual-beli makanan kemasan di swalayan kota Yogyakarta. 11
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Cetakan 29, PT Intermesa, Jakarta, 2001, hlm. 147-148.
19
b. Upaya hukum yang dilakukan oleh konsumen pada saat terjadi sengketa antara pelaku usaha dan konsumen 2. Subjek Penelitian a. Pemilik swalayan yang ada di kota Yogyakarta. b. Konsumen makanan kemasan. c. Kepala Balai Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) Yogyakarta. d. Kepala Departemen Perdagangan dan Perindustrian Yogyakarta. e. Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Yogyakarta. f. Kepala Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen. 3. Sumber Data a. Data primer: data yang diperoleh peneliti secara langsung dari subjek penelitian yang dapat berupa hasil wawancara terstruktur b. Data sekunder: data yang diperoleh peneliti secara langsung melalui kepustakaan dan dokumen yang berhubungan dengan rumusan masalah. 4. Teknik Pengumpulan Data Data primer dapat dilakukan dengan cara: a. Wawancara, yang dapat berupa wawancara bebas maupun terpimpin/sistematik. b. Observasi dapat dilakukan terhadap pihak yang terlibat atau tidak terlibat. Data sekunder dapat dilakukan dengan cara:
20
Studi kepustakaan, dengan menelusuri dan mengkaji berbagai peraturan perundang-undangan atau literatur yang berhubungan dengan permasalahan penelitian. 5. Analisa Data Data yang diperoleh diolah secara kualitatif dengan pendekatan yuridis normatif, yaitu pendekatan dari sudut pandang ketentuan hukum atau perundang-undangan
yang berlaku,
kemudian
dianalisis untuk
mendapatkan kesimpulan dari hasil penelitian. F. Sistematika Penulisan Adapun sistematika yang ada dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut: BAB I:
Bab ini memuat latar belakang permasalahan, rumusan masalah, tujuan penulisan, tinjauan pustaka, metode penelitian dan sistematika penulisan.
BAB II:
Bab ini berisi tentang tinjauan umum tentang perlindungan konsumen, pengetian hukum perlindungan konsumen, pengertian konsumen dan pelaku usaha, landasan hukum perlindungan konsumen, hak dan kewajiban konsumen, hak dan kewajiban pelaku usaha. Serta tinjauan umum tentang perjanjian, pengertian perjanjian, syarat sahnya perjanjian, unsur-unsur perjanjian, asas hukum dalam perjanjian dan hapusnya
perjanjian.
Serta
tinjauan
umum
tentang
perjanjian jual-beli, pengertian perjanjian jual-beli, saat
21
terjadinya jual-beli, hak dan kewajiban dalam jual-beli risiko dalam perjanjian jual-beli. BAB III:
Bab ini berisi tentang perlindungan hukum bagi konsumen dalam perjanjian jual-beli makanan kemasan di kota Yogyakarta dan upaya hukum yang dilakukan konsumen pada saat terjadi sengketa antara konsumen dan pelaku usaha.
BAB IV:
Bab ini merupakan bab penutup dari seluruh rangkaian babbab sebelumnya, yang berisikan kesimpulan yang dibuat berdasarkan uraian-uraian bab-bab sebelumnya, yang dilengkapi dengan saran dari penulis.