BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG Kemiskinan bukanlah masalah baru bagi bangsa Indonesia. Kemiskinan merupakan suatu masalah yang selalu dihadapi oleh sebagian besar penduduk Indonesia. Kemiskinan adalah sebagai suatu standar tingkat hidup yang rendah yaitu adanya suatu tingkat kekurangan materi pada sejumlah orang dibandingkan dengan standar kehidupan yang berlaku pada masyarakat. (Panjaitan, 2000 : 7) Standar kehidupan yang rendah ini secara langsung tampak pengaruhnya terhadap tingkat keadaan kesehatan, kehidupan moral dan rasa harga diri dari mereka yang tergolong miskin. Dari pengertian itu dapat diketahui bahwa kemiskinan merupakan kondisi suatu masyarakat yang mengalami ketidakberdayaan dalam memenuhi kebutuhan dasar, seperti sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan dasar, yang pada akhirnya akan menimbulkan kesenjangan sosial dalam masyarakat. Dalam sambutannya pada Konferensi Nasional Penanggulangan Kemiskinan dan Pencapaian Millenium Development Goals (MDGs) yang diselenggarakan oleh Kementerian Koordinator Bidang Kesra, di Jakarta, tanggal 27 – 28 April 2005, Sri Mulyani Indriastuti saat menjadi Kepala Bappenas
menyatakan
bahwa
kemiskinan
merupakan
masalah
multidimensi bukan hanya diukur dari pendapatan, tetapi juga menyangkut
kerentanan dan kerawanan orang atau sekelompok orang baik laki-laki maupun perempuan untuk menjadi miskin. Masalah kemiskinan juga menyangkut tidak terpenuhinya hak-hak dasar masyarakat miskin untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat. Krisis ekonomi yang melanda Indonesia pada tahun 1998 menyebabkan bertambahnya penduduk yang hidup dibawah garis kemiskinan. Krisis yang awalnya hanya krisis ekonomi telah melebar menjadi krisis multidimensional yang menghancurkan berbagai aspek kehidupan masyarakat. Krisis yang menimpa hampir seluruh lapisan masyarakat tersebut menyebabkan meningkatnya jumlah penduduk miskin terutama diakibatkan oleh melonjaknya harga pangan dan kebutuhan pokok lainnya. Menurut Faisal Basri selama sepuluh tahun terakhir jumlah penduduk dibawah garis kemiskinan praktis tak berubah, yakni disekitar 17,7-17,6 persen. Pada tahun 2007 turun sedikit menjadi 16,6 persen. (Koran Tempo, 13 Mei 2008: D16). Menurut laporan statistik tentang tingkat kemiskinan di Indonesia, jumlah penduduk yang hidup dibawah garis kemiskikan pada bulan Maret tahun 2007, terjadi penurunan angka kemiskinan secara nasional. Penduduk miskin turun sebanyak 2,13 juta dari 39,90 juta orang atau 17,75 % pada tahun 2006 menjadi 37,17 juta jiwa (16,58%) dari jumlah penduduk. Data BPS terbaru juga menunjukkan bahwa garis kemiskinan menunjukkan kenaikan 9,67 % dari Rp 151.997
per kapita per bulan pada Maret 2006, menjadi Rp 166.967 per kapita per bulan pada Maret 2007. (Basuki dan Prasetyo, 2007: 15) Selain itu, masalah kemiskinan di Indonesia, ditandai dengan meningkatnya angka pengangguran yaitu 10,24 % dari total angkatan kerja yang berjumlah 103 juta jiwa pada tahun 2006. Menurut Faisal Basri angka pengangguran terbuka selama sepuluh tahun terakhir melonjak dari 4,9 % pada tahun 1996 menjadi 9,1 persen pada tahun 2007. (Koran Tempo, 13 Mei 2008 : D16). Di bidang kesehatan, angka gizi kurang dan gizi buruk di Indonesia mulai menurun namun masih cukup tinggi. Menurut data Departemen Kesehatan Republik Indonesia pada tahun 2004 jumlah balita kurang gizi sebesar 5.119.935 anak dan balita gizi buruk sebesar 1.528.676 anak. Pada tahun 2005 jumlah itu turun menjadi 4,4 juta atau berkurang 13,7%. Pada tahun 2006 jumlahnya 4,2 juta dan tahun 2007 menjadi 4,1 juta. Sepanjang tahun 2006, pemerintah baru menangani 19.567 kasus gizi buruk. Jumlah tersebut menurun jauh dibandingkan pada tahun 2005 yang mencapai 76.178 kasus. (Tempo, 7 Mei 2008: A11). Di bidang pendidikan, hal ini ditandai dengan masih adanya angka putus sekolah di Indonesia. Data Depdiknas menunjukkan bahwa ada sekitar 154.000 anak SMP putus sekolah. Jumlah siswa SD yang putus sekolah lebih banyak, yakni sekitar 767.000 siswa (2,96%) dan dua persen anak usia SD yang tidak bersekolah. Adapun Angka Partisipasi Kasar (APK) nasional adalah 81,65 persen. (Kompas, 27 September 2005: 14).
Fakta lain kemiskinan di Indonesia menurut Alif Basuki dan Yanu Endar P antara lain meliputi: (1) Terbatasnya akses pelayanan hak-hak dasar warga (kesehatan, pendidikan,
perumahan
dan
permukiman)
dan
infrasuturktur,
permodalan/kredit dan informasi bagi masyarakat miskin, (2) Permukiman kumuh dan kantong-kantong kemiskinan yang tersebar 110 kota di 42.000 desa (56.000 hektar kawasan kumuh) yang belum mendapat perhatian stakeholder secara holistik, (3) Masih terdapat 66.000 desa yang masuk kategori desa miskin yang belum mendapat penanganan secara holistic, (4) Bank Dunia memperhitungkan 108,78 juta orang atau 49 persen dari total penduduk Indonesia berada dalam kondisi miskin dan rentan menjadi miskin. Kalangan ini hidup dengan pendapatan kuarang dari 2 dolar AS atau Rp 19.000 per hari. (Basuki dan Prasetyo, 2007: 18). Naiknya garis kemiskinan ini disebabkan oleh pengaruh adanya kenaikan harga komoditas kebutuhan pokok masyarakat yang lebih tinggi daripada
kenaikan
tingkat
inflasi
selama
satu
tahun
tersebut.
Meningkatnya jumlah penduduk miskin dan persentasenya terhadap jumlah penduduk yang terus bertambah dapat dilihat dari data BPS berikut ini :
Table 1.1 Jumlah Penduduk Miskin Indonesia Dari Tahun 2000-2008 Tahun
Penduduk Miskin (dalam juta) 2000 37,3 2001 37,1 2002 38,4 2003 37,3 2004 36,1 2005 38,7 2006 39,3 2007 37,1 2008 34,9 Sumber : BPS tahun 2008
Permasalahan
kemiskinan
yang
cukup
Penduduk Miskin (%) 17,8 18,4 18,2 17,4 16,6 15,9 17,7 16,5 15,4
kompleks
tersebut
membutuhkan intervensi semua pihak secara bersama dan terkoordinasi. Namun
penangananya
selama
ini
cenderung
parsial
dan
tidak
berkelanjutan. Untuk itu, diperlukan perubahan yang bersifat sistemik dan menyeluruh dalam upaya penanggulangan kemisinan dengan melibatkan semua
komponen
permasalahan,
dan
berkelanjutan, serta tidak bersifat temporer.
strategi
penanganan
yang
Table 1.2 Data Kemiskinan di Jawa Tengah Tahun 2006 No
Kabupaten
Sangat Miskin Hampir Total Miskin Miskin 1. Kabupaten Cilacap 32.702 151.610 156.598 340.910 2. Kabupaten Banyumas 9.511 81.356 82.620 173.487 3. Kabupaten Purbalingga 16.936 61.931 26.828 105.695 4. Kabupaten Banjarnegara 15.652 61.803 35.529 112.984 5. Kabupaten Kebumen 8.695 92.195 31.472 132.362 6. Kabupaten Purworejo 8.033 44.562 13.981 66.576 7. Kabupaten Wonosobo 10.629 65.342 9.795 85.766 8. Kabupaten Magelang 18.326 23.865 78.296 120.487 9. Kabupaten Boyolali 18.355 31.965 44.803 95.123 10. Kabupaten Klaten 8.381 56.583 55.060 120.024 11. Kabupaten Sukoharjo 5.012 32.118 36.273 73.403 12. Kabupaten Wonogiri 12.533 64.750 9.071 86.354 13. Kabupaten Karanganyar 11.317 32.403 24.345 68.065 14. Kabupaten Sragen 17.822 47.286 22.517 87.625 15. Kabupaten Grobogan 31.285 42.265 94.921 168.471 16. Kabupaten Blora 9.195 49.688 31.393 90.276 17. Kabupaten Rembang 8.386 43.293 21.147 72.826 18. Kabupaten Pati 15.605 59.958 50.803 126.366 19. Kabupaten Kudus 3.590 22.320 9.630 35.540 20. Kabupaten Jepara 9.107 20.904 51.078 81.089 21. Kabupaten Demak 13.076 63.578 40.851 117.505 22. Kabupaten Semarang 11.127 21.022 42.826 74.975 23. Kabupaten Temanggung 5.204 22.811 33.655 61.670 24. Kabupaten Kendal 7.574 44.183 21.988 73.745 25. Kabupaten Batang 6.828 26.207 46.299 79.334 26. Kabupaten Pekalongan 4.974 46.934 41.173 93.081 27. Kabupaten Pemalang 14.060 70.703 30.542 115.305 28. Kabupaten Tegal 9.572 75.131 5.145 89.848 29. Kabupaten Brebes 17.074 122.153 89.393 228.620 30. Kota Magelang 297 3.567 3.030 6.894 31. Kota Surakarta 806 3.646 22.074 26.526 32. Kota Salatiga 173 5.140 3.823 9.136 33. Kota Semarang 2.759 17.046 62.860 82.665 34. Kota Pekalongan 310 5.503 17.097 22.910 35. Kota Tegal 334 6.465 9.164 15.963 TOTAL 365.240 1.620.286 1.356.080 3.341.606 Sumber : Departemen Sosial Republik Indonesia tahun 2006
Sebenarnya pembangunan Nasional yang dilaksanakan di Negara kita selama beberapa PELITA yang berlangsung sejak awal tahun 1969 telah
memberikan
perhatian
besar
terhadap
upaya
pengentasan
kemiskinan, karena pada dasarnya pembengunan yang dilakukan bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui pendapatan dan pemerataan. Namun sepertinya kebijaksanaan pembangunan ekonomi yang diambil oleh pemerintah dapat dikatakan kurang berhasil dalam mengurangi angka kemiskinan dan kesenjangan sosial. Isi kebijaksanaan pembangunan yang selama ini hanya mementingkan pertumbuhan ekonomi
yang
tinggi
dan
mengesampingkan
aspek
pemerataan
pemberdayaan masyarakat. Menurut kebijaksanaan tersebut dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi dapat mengurangi kesenjangan sosial dan juga terjadi penerapan tenaga kerja yang besar sehingga angka pengangguran dapat berkurang. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi juga dijadikan sebagai kesejahteraan sosial masyarakat mengalami peningkatan, tetapi yang terjadi dalam masyarakat justru sebaliknya, dimana kemiskinan, pengangguran dan kesenjangan sosial justru semakin tinggi. Dalam orientasi pembangunan yang mengacu pada pertumbuhan, cenderung memandang masyarakat hanya sebagai objek bantuan dalam berbagai macam bentuk pelayanan dan pemberian fasilitas sosial. Hal ini justru memperbesar ketergantungan (dependensi) anatara masyarakat dan proyek pembangunan atau antara masyarakat dengan pemerintah, dan pada hakekatnya dapat merendahkan martabat manusia, karena sifatnya menjadi
disempowering, masyarakat tidak mampu untuk mengaktualisasikan potensi yang ada dan tidak bisa mandiri. Untuk itu sudah saatnya paradigma pembangunan yang berorientasi pada pertumbuhan yang menempatkan capital finansial dan capital fisik sebagai modal utama pembangunan, diganti dengan paradigma pembangunan yang berpusat pada pemberdayaan masyarakat dan lebih mengutamakan perhatian pada masyarakat ekonomi lemah. Pembangunan dengan cara ini hanya akan dapat diwujudkan jika pembangunan mampu meningkatkan pertisipasi masyarakat dalam proses pembangunan. Pemerintah dalam usaha untuk mengentaskan kemiskinan ini telah mengeluarkan beberapa strategi pembangunan, antara lain : Pertama, mendorong pertumbuhan ekonomi daerah dengan cara menyelenggarakan baqrbagai proyek inpres, karena proyek ini akan mendatangkan pentransferan sumber-sumber dana dari pusat ke daerah, seperti Inpres Desa Tertinggal (IDT). Kedua, mempermudah lapisan sosial miskin untuk memperoleh akses dalam berbagai pelayanan sosial seperti pendidikan, kesehatan, keluaraga berencana, air bersih, sanitasi, dan lain-lain. Ketiga, menyediakan fasilitas-fasilitas kredit untuk masyarakat lapisan bawah seperti Kupedes, KURK, BKK, KCK, Kredit Bimas, dan lain-lain. Keempat, pembangunan infrasruktur ekonomi pedesaan, khususnya pembangunan pertanian.
Kelima, pengembangan pelembagaan seperti Program Pengembangan Wilayah (PPW), Pengemmbangan Kawasan Terpadu (PKT), Program Peningkatan Pendapatan Petani Kecil (P4K). (Dewanta, 1995 : 28). Untuk meningkatkan efektivitas penanggulangan kemiskinan dan penciptaan lapangan kerja, pemerintah meluncurkan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri mulai tahun 2007. Melalui PNPM Mandiri dirumuskan kembali mekanisme upaya penanggulangan kemiskinan yang melibatkan unsur masyarakat, mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan, hingga pemantauan dan evaluasi. Melalui proses pembangunan partisipatif, kesadaran kritis dan kemandirian masyarakat, terutama masyarakat miskin, dapat ditumbuhkembangkan sehingga mereka bukan sebagai obyek melainkan subyek upaya penanggulangan kemiskinan. Pelaksanaan PNPM Mandiri tahun 2007 dimulai dengan Program Pengembangan Kecamatan (PPK) sebagai dasar pengembangan pemberdayaan masyarakat di pedesaan beserta program pendukungnya seperti PNPM Generasi; Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP) sebagai dasar bagi pengembangan pemberdayaan masyarakat diperkotaan; dan Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal dan Khusus (P2DTK) untuk pengembangan daerah tertinggal, pasca bencana, dan konflik. Mulai tahun 2008 PNPM Mandiri diperluas dengan melibatkan Program Pengembangan Infrastruktur Sosial Ekonomi Wilayah (PISEW) untuk mengintegrasikan pusat pusat pertumbuhan ekonomi dengan daerahsekitarnya. PNPM Mandiri diperkuat
dengan berbagai program pemberdayaan masyarakat yang dilaksanakan oleh berbagai departemen/sektor dan pemerintah daerah. Pelaksanaan PNPM Mandiri 2008 juga akan diprioritaskan pada desa-desa tertinggal. Dengan
pengintegrasian
berbagai
program
pemberdayaan
masyarakat ke dalam kerangka kebijakan PNPM Mandiri, cakupan pembangunan diharapkan dapat diperluas hingga ke daerah-daerah terpencil dan terisolir. Efektivitas dan efisiensi dari kegiatan yang selama ini sering berduplikasi antar proyek diharapkan juga dapat diwujudkan. Mengingat proses pemberdayaan pada umumnya membutuhkan waktu 5-6 tahun, maka PNPM Mandiri akan dilaksanakan sekurang-kurangnya hingga tahun 2015. Hal ini sejalan dengan target waktu pencapaian tujuan pembangunan milenium atau Millennium Development Goals (MDGs). Pelaksanaan PNPM Mandiri yang berdasar pada indikator-indikator keberhasilan yang terukur akan membantu Indonesia mewujudkan pencapaian target-target MDGs tersebut. PNPM Mandiri Perkotaan merupakan program pemberdayaan masyarakat untuk memecahkan masalah kemiskinan yang merupakan pengembangan dari P2KP (Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan). Proses pemberdayaan masyarakat dalam PNPM Mandiri Perkotaan dilakukan untuk menumbuhkembangkan kesadaran kritis masyarakat terhadap nilai-nilai universal kemanusiaan, nilai-nilai sosial kemasyarakatan dan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan sebagai landasan kokoh membangun masyarakat mandiri dan sejahtera. Dalam
pelaksanaan PNPM-P2KP di tingkat kelurahan dibentuk BKM (Badan Keswadayaan Masyarakat) yang bertindak sebagai lembaga yang memfasilitasi peran serta atau partisipasi yang tumbuh dari bawah. Untuk melaksanakan program kegiatan BKM dibantu Unit-Unit Pengelola (UP) yang dibentuk sesuai dengan kebutuhan tiap wilayah, namun setidaknya terdiri dari Unit Pengelola Keuangan (UPK), Unit Pengelola Sosial (UPS), dan Unit Pengelola Lingkungan (UPL). Sedangkan masyarakat miskin dapat berpartisipasi aktif dengan membentuk kelompok-kelompok swadaya masyarakat (KSM). Program PNPM-P2KP ini mempunyai lima prinsip pengentasan kemiskinan, yaitu : Satu berasal dari masyarakat yang bersangkutan. Adanya rasa memiliki merupakan komponen terpenting dalam strategi pengentasan kemiskinan. Dengan demikian partisipasi masyarakat merupakan syarat multak untuk kesinambungan proyek pengentasan kemiskinan. Dua, berorientasi pada hasil dan proses yang benar, artinya masyarakat harus diajak secara bersama-sama untuk mengetahui kondisi kemiskinan dan penyebab kemiskinan yang dihadapinya. Kebijakan BKM harus di desain dengan baik agar dapat dilaksanakan secara disiplin dan mudah dimonitor. Tiga, komprehensif. Kemiskinan bersifat multidimensional sehingga kebijakan BKM besifat menyeluruh.
Empat, kemitraan. Kebijakan BKM harus diintegrasikan dengan para stakeholders
yaitu
Pemda,
Pemdes,
LSM,
masyarakat
setempat,
pengusaha, dan lain-lain. Lima, bersifat jangka panjang. Harus ada perubahan intuisi dan pengembangan kapasitas KSM dan BKM secara terus menerus. (Juklak PNPM-P2KP tahap II). Bantuan kepada masyarakat miskin ini diberikan dalam bentuk dana yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai kegiatan yang diusulkan oleh masyarakat. Dana bantuan ini berupa hibah dan pinjaman yang yang disalurkan kepada kelompok-kelompok swadaya masyarakat (KSM) secara langsung dengan sepengetahuan Konsultan Manajemen Wilayah (KMW) yang menangani PNPM-P2KP di suatu wilayah kerja, sepengetahuan Penanggungjawab Operasional Kegiatan (PJOK) di tingkat kecamatan yang ditunjuk, dan sepengetahuan warga masyarakat dalam hal ini adalah BKM. Penerima bantuan PNPM-P2KP ini adalah perseorangan dan keluarga miskin yang berada di satuan wilayah kelurahan atau desa perkotaan yang tersebar di seluruh perkotaan Indonesia, dan yang memiliki jumlah penduduk miskin cukup banyak. Desa perkotaan yang dimaksud di sini adalah wilayah yang berbentuk desa namun secara administratif letak dan posisinya dengan kota sehingga dapat menjadi wilayah sasaran dari PNPM-P2KP. Di dalam PNPM-P2KP, kedua status wilayah administrasi pemerintah kota tersebut selanjutnya akan disebut
sebagai kelurahan. Jenis bantuan dalam PNPM-P2KP ini ada 3 macam yaitu : 1. Bantuan pengembangan ekonomi, yang digunakan dalam bentuk kegiatan : a. Pemberian pinjaman dana bergulir dengan bunga ringan sebagai modal usaha produktif. b. Bantuan hibah untuk mangadakan pelatihan-pelatihan teknis dan manajerial (pengembangan sumber daya manusia). 2. Bantuan pengembangan sosial, yang digunakan dalam berbagai bentuk kegiatan seperti : a. Pemberian beasiswa pendidikan. b. Bantuan dana kepada para lansia (lanjut usia). c. Bantuan untuk rehab rumah KK miskin. d. Santunan dana sehat. 3. Bantuan
mengembangan
lingkungan
yang
digunakan
untuk
membangun sarana dan prasarana dasar lingkungan yang menunjuang peningkatan kegiatan ekonomi masyarakat seperti : pembuatan bak dan gerobak sampah, pengaspalan jalan, selokanisasi, pembuatan talud, dan lain-lain. Dana bantuan untuk pengembangan sosial kemanusiaan dan pengembangan sarana dan prasarana dasar lingkungan merupakan dana hibah yang tidak perlu dikembangkan, namun masyarakat harus menunjukkan
kesanggupan dan
atnggung jawabnya untuk
dapat
melakukan pemeliharaan dan pengembangan lebih lanjut. Sedangkan bantuan dana yang digunakan untuk modal usaha produktif merupakan pinjaman bergulir yang disalurkan kepada KSM-KSM. Pengelolaan dana bantuan pinjaman dana bergulir ini dilakukan oleh salah satu unit pengelola dari BKM, yaitu unit pengelola keuangan (UPK). Pemberian pinjaman dana bergulir sebagai modal usaha produktif bagi masyarakat ini merupakan stimulan agar penduduk miskin diperkotaan mempunyai keinginan untuk maju dengan membuat suatu jenis usaha atau untuk mengembangkan usaha yang telah ada, sehingga secara ekonomis dapat meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan hidupnya. Status pemanfaatan dana pinjaman bergulir ini merupakan sebagai pinjaman kepada KSM dan harus dikembalikan kepada UPK. Desa Sidomukti kecamatan Margoyoso Kabupaten Pati mempunyai jumlah penduduk total sebanyak 2769 jiwa yang terdiri dari 1417 laki-laki dan 1352 perempuan dengan jumlah KK sebanyak 872 KK. Hasil dari pemetaan swadaya tersebut sesuai dengan kriteria dan ciri kemiskinan desa Sidomukti yang disepakati dalam FGD (Focus Group Discussion) yang dilakukan dari tingkat RT, RW dan Desa. Krtiteria tersebut adalah sebagai berikut : rumah tidak layak huni (lantai tanah, dinding papan, tidak mempunyai MCK), berpendidikan rendah, hanya mampu membiaya pendidikan sampai dengan SLTP, pendapatan kurang dari Rp. 15.000,00 /hari, berobat hanya ke Puskesmas, pekerjaan tidak tetap.
B. RUMUSAN MASALAH Berdasarkan latar belakang masalah diatas dapat dirumuskan masalah, yaitu: 1. ”Bagaimana pemberdayaan masyarakat yang dikembangkan melalui program PNPM–P2KP khususnya dalam pemberian bantuan pinjaman dana bergulir untuk usaha produktif di Desa Sidomukti Kecamatan Margoyoso Kabupaten Pati ?” 2. ”Apakah faktor-faktor pendukung dan faktor-faktor penghambat dalam kegiatan pemberdayaan masyarakat melalui PNPM–P2KP di Desa Sidomukti?”
C. TUJUAN PENELITIAN Tujuan yang hendak dicapai dari penelitian ini adalah: Mengetahui Bagaimana Pemberdayaan Masyarakat di Desa Sidomukti Melaui Program PNPM Mandiri dilihat dari : 1. Mengetahui bagaimana pemberdayaan masyarakat yang dikembangkan melalui program PNPM–P2KP khususnya dalam pemberian bantuan pinjaman dana bergulir untuk usaha produktif di Desa Sidomukti. 2. Mengetahui faktor-faktor pendukung dan faktor-faktor penghambat dalam kegiatan pemberdayaan masyarakat melalui PNPM–P2KP di Desa Sidomukti
D. MANFAAT Manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini terbagai dua, yaitu: Manfaat teoritis dan manfaat praktis. 1. Manfaat teoritisnya adalah bagaimana penerapan teori-teori sosiologi sebagai landasan dari penelitian yang dilakukan penulis. 2. Manfaat praktis dari penelitian ini adalah memberikan wawasan tentang Bagaimana Pemberdayaan Masyarakat di Desa Sidomukti Melalui Program PNPM–P2KP.
E. TINJAUAN PUSTAKA a. Pemberdayaan Secara
konseptual
pemberdayaan
atau
pemberkuasaan
(empowerment) berasal dari kata power (kekuasaan atau keberdayaan). Pemberdayaan menunjuk pada kemampuan orang, khususnya kelompok rentan dan lemah sehingga mereka memiliki kekuatan atau kemampuan dalam memenuhi kebutuhan dasarnya sehingga mereka memiliki kebebasan, dalam arti bukan saja bebas mengemukakan pendapat, melainkan bebas dari kelaparan, bebas dari kebodohan dan bebas dari kesakitan. Menjangkau sumber-sumber produktif yang memungkinkan mereka dapat meningkatkan pendapatannya dan memperoleh barang dan jasa-jasa yang mereka perlukan; dan berpartisipasi dalam proses pembangunan dan keputusan-keputusan yang mempengaruhi mereka.
Beberapa ahli dibawah ini mengungkapkan definisi pemberdayaan dilihat dari tujuan, proses, dan cara-cara pemberdayaan (Suharto,1997: 210-224) : 1) Pemberdayaan bertujuan untuk meningkatkan kekuasaan orang-orang yang lemah atau tidak beruntung (Ife, 1995). 2) Pemberdayaan adalah sebuah proses dengan mana orang menjadi cukup kuat untuk berpartisipasi dalam, berbagai pengontrolan atas, dan mempengaruhi terhadap, kejadian-kejadian serta lembaga-lembaga yang mempengaruhi kehidupannya. Pemberdayaan menekankan bahwa orang memperoleh ketrampilan, pengetahuan, dan kekuasaan yang cukup untuk mempengaruhi kehidupannya dan kehidupan orang lain yang menjadi perhatiannya (Parsons, et.al., 1994). 3) Pemberdayaan menunjukkan pada usaha pengalokasian kembali kekuasaan melalui pengubahan struktur sosial (Swift dan Levin, 1987). 4) Pemberdayaan adalah suatu cara dengan mana rakyat, organisasi, dan komunitas diarahkan agar mampu menguasai (atau berkuasa atas) kehidupannya (Rapport, 1984). Mengutip definisi yang dikemukakan oleh UNDP, Empowerment (pemberdayaan/penguatan)
dianggap
memungkinkan
individual
kalangan
sebagai ataupun
sebuah
proses
kelompok
yang
merubah
keseimbangan kekuasaan dalam segi sosial, ekonomi maupun politik pada sebuah difabel ataupun komunitas. Kegiatan pemberdayaan dapat mengacu pada banyak kegiatan, di antaranya adalah meningkatkan
kesadaran akan adanya kekuatan-kekuatan sosial yang menekan orang lain dan juga pada aksi-aksi untuk mengubah pola kekuasaan di masyarakat. Menurut Kartasasmita pemberdayaan harus dilakukan melalui tiga cara, yaitu: 1) Pertama, menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat dapat berkembang. Kondisi ini berdasarkan asumsi bahwa setiap individu dan masyarakat memiliki potensi yang dapat dikembangkan. Hakikat dari kemandirian dan keberdayaan rakyat adalah keyakinan bahwa rakyat memiliki potensi untuk mengorganisasi dirinya sendiri dan potensi kemandirian tiap individu perlu diberdayakan. Proses pemberdayaan rakyat berakar kuat pada proses kemandirian tiap individu, yang kemudian meluas ke keluarga, serta kelompok masyarakat, baik lokal maupun nasional. 2) Kedua, memperkuat potensi atau daya yang dimiliki oleh rakyat dengan menerapkan langkah-langkah nyata, menampung berbagai masukan, menyediakan sarana dan prasarana baik fisik maupun sosial yang dapat diakses oleh masyarakat lapisan paling bawah. 3) Ketiga, memberdayakan rakyat dalam arti melindungi dan membela kepentingan masyarakat lemah. Dalam pemberdayaan harus dicegah jangan sampai yang lemah menjadi semakin lemah atau terpinggirkan dalam menghadapi yang kuat. (Kartasasmita, 1995 : 19) Gunawan Sumodiningrat mengemukakan bahwa: ”Pemberdayaan masyarakat merupakan upaya mempersiapkan masyarakat seiring dengan upaya memperkuat kelembagaan masyarakat agar rakyat mampu mewujudkan kemajuan, kemandirian dan kesejahteraan dalam suasana keadilan sosial yang berkelanjutan. Untuk itu upaya pemberdayaan masyarakat adalah upaya untuk meningkatkan harkat dan martabat lapisan masyarakat yang dalam kondisi sekarang tidak mampu untuk melepaskan diri dari perangkap kemiskinan dan keterbelakangan.” (Sumodiningrat, 1999 : 133) Dengan kata lain, pemberdayaan adalah memampukan dan memandirikan
masyarakat.
Gagasan
pemberdayaan
masyarakat
merupakan upaya mendorong dan melindungi tumbuh dan berkembangnya
kekuatan daerah termasuk juga penguasaan IPTEK yang berbasiskan pada kekuatan masyarakat setempat. Dalam kerangka tersebut keberhasilan upaya pemberdayaan masyarakat tidak hanya dapat dilihat dari meningkatnya pendapatan masyarakat melainkan juga aspek-aspek penting dan mendasar lainnya. Disamping itu, pemberdayaan masyarakat harus mampu diarahkan pada proses-proses pemerintahan yang lebih demokratis dan
berkeadilan
serta
menjamin
terciptanya
kemandirian
dan
berkelanjutan. Menurut Arbi Sanit dkk hal-hal mendasar dan penting perlu diperhatikan dalam pemberdayaan masyarakat antara lain : 1) Pengembangan organisasi atau kelompok masyarakat yang dikembangkan dan berfungsi dalam mendinamisasi kegiatan masyarakat. 2) Pengembangan jaringan strategis antar kelompok atau organisasi masyarakat yang terbentuk dan berperan dalam masyarakat. 3) Kemampuan kelompok masyarakat dalam mengakses sumbersumber lain yang dapat mendukung pengembangan kegiatan. 4) Jaminan atas hak-hak masyarakat dalam mengelola sumber daya lokal. 5) Pengembangan kemampuan-kemampuan teknis dan manajerial kelompok-kelompok masyarakat sehingga berbagai masalah teknis dan organisasi dapat dipecahkan dengan baik. 6) Terpenuhinya kebutuhan hidup dan meningkatkan kesejahteraan hidup mereka serta mampu menjamin kelestarian daya dukung lingkungan bagi pembangunan. (Sanit dkk, - : 54) Dari berbagai konsep pemberdayaan secara luas diatas maka dapat disimpulkan bahwa pemberdayaan merupakan suatu upaya untuk memandirikan masyarakat dengan cara menggali potensi yang dimilikinya, kemudian mempuerkuat potensi tersebut dengan memberi masukan atau
input
dan
kesempatan
untuk
mengembangkan
potensi
tersebut.
Pemberdayaan masyarakat dalam upaya pengentasan kemiskinan sudah saatnya mendapat perhatian khusus, karena pembangunan dari dalam diri masyarakat miskin itu sendiri yang sebenarnya diperlukan untuk mengatasi masalah kemiskinan. Maksudnya yaitu membangun potensipotensi yang ada dalam diri masyarakat miskin dengan menggunakan strategi dan pendekatan yang efektif sehingga menimbulkan kepercayaan diri dan membengkitkan kekuatan baru untuk bisa meningkatkan kesejahteraan hidupnya. Dalam usaha pemberdayaan masyarakat miskin ini diharapkan nantinya
akan
terwujud
masyarakat
yang
mandiri.
Kemandirian
masyarakat miskin tersebut akan mengurangi ketergantungan terhadap segala bantuan dari luar, sehingga meskipun program bantuan telah dihentikan mereka masih dapat berswadaya dengan memanfaatkan potensi yang telah ada pada diri mereka untuk lepas dari lingkaran kemiskinan. Dengan cara demikian setidaknya masyarakt miskin akan lebih menyadari bahwa kemiskinan yang dialaminya hanya dapat dirubah dengan keinginan utnuk maju dan menggunakan segala kemampuan yang ada. Bantuan dari pemerintah ataupun pihak lain bukan merupakan hal utama tetapi yang terpenting adalah keinginan dan usaha dari masyarakat miskin sendiri untuk meningkatkan kesejahteraan hidupnya. Pemberdayaan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah upaya membentuk masyarakat miskin dari ketidakberdayaannya melaui dana
PNPM-P2KP khususnya bantuan pinjaman dana bergulir, yaitu dengan menggunakan
dana
itu
untuk
menciptakan
suatu
usaha
atau
mengembangkan usaha yang telah ada. Selain itu juga diadakan pelatihan untuk meningkatkan ketrampilan teknik dan manajerial dalam berusaha. Sehingga dengan begitu mereka bisa lebih berdaya dan meningkat kesejahteraan hidupnya.
b. Prinsip Pemberdayaan Beberapa prinsip pemberdayaan menurut perspektif pekerjaan sosial (Suharto, 1997: 216-217). 1. Pemberdayaan adalah proses kolaboratif. Karenanya pekerja sosial dan masyarakat harus bekerjasama sebagai partner. 2. Proses pemberdayaan menempatkan masyarakat sebagai aktor atau subjek yang kompeten dan mampu menjangkau sumber-sumber dan kesempatan-kesempatan. 3. Masyarakat harus melihat diri mereka sendiri sebagai agen penting yang dapat mempengaruhi perubahan. 4. Kompetensi diperoleh atau dipertajam melalui pengalaman hidup, khususnya pengalaman yang memberikan perasaan mampu kepada masyarakat. 5. Solusi-solusi, yang berasal dari situasi khusus, harus beragam dan menghargai keberagaman yang berasal dari faktor-faktor yang berada pada situasi masalah tersebut.
6. Jaringan-jaringan sosial informal merupakan sumber dukungan yang penting bagi penurunan ketegangan dan meningkatkan kompetensi serta kemampuan mengendalikan seseorang. 7. Masyarakat harus berpartisipasi dalam pemberdayaan mereka sendiri : tujuan, cara dan hasil harus dirumuskan oleh mereka sendiri. 8. Tingkat kesadaran merupakan kunci dalam pemberdayaan, karena pengetahuan dapat memobilisasi tindakan bagi perubahan. 9. Pemberdayaan melibatkan akses terhadap
sumber-sumber dan
kemampuan untuk menggunakan sumber-sumber tersebut secara efektif. 10. Proses pemberdayaan bersifat dinamis, sinergis, berubah terus, evolutif; permasalahan selalu memiliki beragam solusi. 11. Pemberdayaan
dicapai
melalui
struktur-struktur
personal
dan
pembangunan ekonomi secara paralel (Suharto, 2005 : 68-69). Menurut Kiefer (1981) pemberdayaan mencakup tiga dimensi yang meliputi : kompetensi kerakyatan, kemampuan sosiopolitik, dan kompetensi partisipasif (Suharto, 1997 : 215). Selain itu Parsons (1994) juga mengajukan tiga dimensi pemberdayaan yang merujuk pada : 1. Sebuah proses pembangunan yang bermula dari pertumbuhan individual yang kemudian berkembang menjadi sebuah perubahan sosial yang lebih besar.
2. Sebuah keadaan psikologis yang ditandai oleh rasa percaya diri, berguna dan mampu mengendalikan diri orang lain. 3. Pembebasan yang dihasilkan dari sebuah gerakan sosial, yang dimulai dari pendidikan dan politisasi orang-orang lemah dan kemudian melibatkan upaya-upaya kolektif dari orang-orang lemah tersebut untuk memperoleh kekuasaan dan mengubah struktur-struktur yang masih menekan (Parsons et.al., 1994 :106).
c. Strategi Pemberdayaan Dalam konteks pekerjaan sosial pemberdayaan dapat dilakukan melalui tiga aras atau matra pemberdayaan (empowerment setting): mikro, mezzo, dan makro. 1. Aras Mikro. Pemberdayaan dilakukan terhadap klien secara individu melalui bimbingan, konseling, stress management, crisis intervention. Tujuan utamanya adalah membimbing atau melatih klien dalam menjalankan tugas-tugas kehidupannya. Model ini sering disebut sebagai pendekatan yang berpusat pada tugas (task centered approach). 2. Aras Mezzo. Pemberdayaan dilakukan terhadap sekelompok klien. Pemberdayaan dilakukan dengan menggunakan kelompok sebagai media intervensi. Pendidikan dan pelatihan, dinamika kelompok biasanya dilakukan sebagai strategi dalam meningkatkan kesadaran,
pengetahuan ketrampilan dan sikap-sikap klien agar memiliki kemampuan memecahkan masalah yang dihadapinya. 3. Aras Makro. Pendekatan ini disebut juga sebagai strategi sistem besar (large-system strategi), karena sasaran perubahan diarahkan pada sistem lingkungan yang lebih luas. Perumusan kebijakan, peencanaan sosial, kampanye, aksi sosial, lobbying, pengorganisasian masyarakat, manajemen konflik, adalah beberapa strategi dalam pendekatan ini. Strategi sistem besar memandang klien sebagai orang yang memiliki kompetensi untuk memahami situasi mereka sendiri dan untuk memilih serta menentukan strategi yang tepat untuk bertindak. (Suharto, 2005 : 66-67)
d. Masyarakat Miskin Kemiskinan sebagai suatu fenomena sosial tidak hanya dialami oleh negara-negara yang sedang berkembang tetapi juga terjadi di negara yang sudah mempunyai kemapanan di bidang ekonomi. Fenomena ini pada dasarnya telah menjadi perhatian, isu, dan gerakan global yang bersifat kemanusiaan (humanity). Kemiskinan diartikan sebagai suatu keadaan dimana seseorang tidak sanggup memelihara dirinya sendiri sesuai dengan taraf kehidupan kelompok dan juga tidak mampu memanfaatkan tenaga mental maupun fisiknya dalam kelompok tersebut. Menurut sejarah, keadaan kaya dan miskin secara berdampingan tidak merupakan masalah sosial sampai saatnya perdagangan berkembang
dengan pesat dan timbulnya nilai-nilai sosial yang baru. Dengan berkembangnya perdagangan ke seluruh dunia dan ditetapkannya taraf kehidupan tertentu sebagai suatu kebiasaan masyarakat, kemiskinan muncul sebagai masalah sosial. Hal ini sesuai dengan penelitian Rena Ravinder tentang kemiskinan di Daerah Afrika yaitu : The poverty problem is chronic in the Horn of Africa. Majority of the people in the region are suffering from this problem. There are numerous factors that cause poverty in the region. The challenge of poverty reduction in the Horn should therefore address the poverty reduction issues at national, provincial and local levels. (Revinder, 2007 : 1) Pada masyarakat yang bersahaja susunan dan organisasinya, mungkin kemiskinan bukan merupakan masalah sosial karena mereka menganggap bahwa semua telah ditakdirkan, sehingga tidak ada usahausaha untuk mengatasinya. Mereka tidak akan terlalu memperhatikan keadaan tersebut, kecuali apabila mereka betul-betul menderita karenanya. Faktor-faktor yang menyebabkan mereka membenci kemiskinan adalah kesadaran bahwa mereka telah gagal untuk memperoleh lebih daripada apa yang telah dimilikinya dan perasaan akan adanya ketidakadilan. Pada masyarakat modern yang rumit, kemiskinan menjadi suatu problem sosial karena sikap yang membenci kemiskinan tadi. Seseorang bukan merasa miskin karena kurang makan, pakaian atau perumahan. Tetapi karena harta miliknya dianggap tidak cukup untuk memenuhi taraf kehidupan yang ada. Pola kemiskinan sangat berbeda antar kelompok sosial, umur, budaya, lokasi dan negara juga dalam konteks ekonomi yang berbeda.
Walaupun banyak lagi perberdaan dalam melihat kemiskinan, akan tetapi ketika kita ambil benang merahnya maka kemiskinan mengandung arti majemuk yang sering kali sulit untuk dipahami dari satu sudut pandang saja.
Secara
umum
kemiskinan
sering
kali
diartikan
sebagai
keterbelakangan, ketidakberdayaan atau ketidakmampuan seseorang untuk menyelenggarakan hidupnya sampai suatu taraf yang dianggap layak. Ciriciri masyarakat miskin yaitu : a. Minimnya akses politis dalam proses pengambilan keputusan terkait hidup mereka b. Tersingkir dari lembaga social masyarakat yang utama c. Rendahnya kualitas SDM, kesehatan, pendidikan, ketrampilan yang berpengaruh terhadap rendahnya penghasilan secara ekonomis d. Memiliki budaya atau nilai etos kerja yang rendah, berfikir praktis dan fatalism e. Minimnya kepemilikan asset fisik seperti asset lingkungan hidup (air bersih dan penerangan) Menurut Gunawan Sumodiningrat mendefinisikan kemiskinan sebagai : “Kemiskinan merupakan masalah dalam pembangunan yang bersifat multidimensi, yang berkaitan dengan aspek sosial, ekonomi, budaya dan aspek lainnya. Kemiskinan ditandai oleh keterisolasian, keterbelakangan dan pengangguran yang kemudian meningkat menjadi ketimpangan antar daerah, antar sektor dan antar golongan penduduk. Kemiskinan timbul karena ada sebagian daerah yang belum sepenuhnya tertangani, ada sebagian sektor yang harus menampung tenaga secara berlebih dengan tingkat produktifitas yang rendah, dan ada pula sebagian masyarakat yang
belum ikut serta dalam proses pembangunan sehingga belum dapat menikmati hasilnya secara memadai.” (Sumodiningrat, 1998 : 26) Kemiskinan umunya diukur dengan tingkat pendapatan dan pada dasarnya dapat dibedakan dalam kemiskinan absolut dan kemiskinan relatif. Berdasarkan penyebabnya, kemiskinan dapat dibedakan dalam tiga pengertian: kemiskinan natural (alamiah), kemiskinan struktural dan kemiskinan kultural. Seseorang dikatakan miskin secara absolut, apabila tingkat pendapatannya di bawah garis kemiskinan atau sejumlah pendapatannya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup minimum. Kebutuhan hidup minimum ini antara lain diukur dengan kebutuhan pangan, sandang, kesehatan, perumahan dan pendidikan yang diperlukan untuk bisa hidup dan bekerja. Sedangkan kemiskinan relatif adalah keadaan perbandingan antara kelompok masyarakat dengan tingkat pendapatan sudah diatas garis kemiskinan. Sehingga sebenarnya tidak termasuk miskin, tetapi masih lebih
miskin
dibandingkan
dengan
kelompok
masyarakat
lain.
Kemiskinan natural adalah keadaan miskin, karena dari asalnya memang miskin. Kelompok masyarakat ini miskin karena tidak memiliki sumber daya yang memadai, baik sumber daya alam, sumber daya manusia maupun sumber daya pembangunan lainnya, sehingga mereka tidak dapat ikut serta dalam pembangunan.kemiskinan natural ada di setiap negara yang sedang membangun.
Pembangunan yang direncanakan melalui bermacam program dan kebijakan, ditujukan untuk menghilangkan keadaan keadaan miskin natural ini. Namun pemilikan sumberdaya yang tidak merata, kemampuan masyarakat yang tidak seimbang, dan ketidaksamaan kesempatan, akan menyebabkan tingkat keikutsertannya menjadi tidak merata pula. Inilah yang menyebabkan perolehan pendapatan tidak seimbang dan kemudian menimbulkan struktur masyarakat yang timpang.
Perbedaan struktur
masyarakat inilah yang menyebabkan kemiskinan. Kemiskinan, baik yang relatif maupun yang absolut dikenal dengan kemiskinan struktural. Kemiskinan struktural juga dikenal dengan kemiskinan yang disebabkan hasil pembangunan yang belum seimbang. Sedangkan kemiskinan kultural mengacu pada sikap hidup seseorang atau masyarakat yang disebabkan oleh gaya hidup, kebiasaan hidup dan budayanya, dimana mereka sudah merasa berkecukupan dan merasa tidak kekurangan. Kelompok masyarakat ini tidak mudah untuk diajak berpartisipasi, menolak untuk mengikuti perkembangan dan tidak mau berusaha untuk memperbaiki tingkat kehidupannya. Akibatnya tingkat pendapatan mereka rendah menurut ukuran yang dipakai umum. Berdasarkan definisi kemiskinan diatas dapat kita lihat bahwa permasalahan kemiskinan tidak hanya berdiri sendiri, sehingga dalam penanggulangannya menuntut pemahaman, kecermatan dan kehati-hatian. Di dalam diri masyarakat miskin tidak hanya terdapat kelemahan (kondisi serba kekurangan), tetapi dalam diri mereka juga terdapat potensi yang
dapat dipergunakan sebagai modal dasar dalam pengembangan dirinya. Kondisi ini menunjukkan bahwa program penanggulangan kemiskinan harus mampu mengakomodasikan kedua aspek tersebut. Dalam konteks penanggulangan kemiskinan, mereka (masyarakat miskin) tidak hanya didekati sebagai objek (gejala yang diamati), tetapi harus dipandang sebagai subjek atau pelaku yang dikelompokkan dalam golongan masyarakat yang berpenghasilan rendah (GMBR). Mereka adalah pelaku yang berperan sepenuhnya untuk menetapkan tujuan, mengendalikan sumber daya, mengarahkan proses yang mempengaruhi kehidupannya. Kelompok penduduk yang berada pada masyarakat pedesaan dan perkotaan pada umumnya dapat digolongkan pada buruh tani, petani gurem, pedagang kecil, nelayan, pengrajin kecil, buruh, pedagang kaki lima, pedagang asongan, pemulung, gelandangan dan pengangguran. Berkaitan dengan kemiskinan yang ada di Desa Sidomukti maka Desa ini termasuk dalam kategori miskin secara struktural karena kebanyakan penduduk di Desa Sidomukti memiliki pengetahuan dan ketrampilan yang terbatas sehingga mengakibatkan mereka kurang bisa memanfaatkan kesempatan atau peluang usaha yang ada. Mereka hanya menafkahi kehidupannya melalu sektor informal seperti penjaja makanan, pedagang kecil, pemulung sampah yang tidak membutuhkan keterampilan khusus. Dalam penelitian ini berusaha mengungkapkan pemberdayaan masyarakat miskin di Desa Sidomukti melalui program PNPM-P2KP melalui pelatihan untuk meningkatkan kemampuan teknis dan manajerial dalam
berusaha serta pemberian pinjaman dana bergulir yang nantinya akan dimanfaatkan untuk meningkatkan usaha produktif. Tujuan dilaksanakannya pembangunan salah satunya adalah untuk menanggulangi kemiskinan. Di lain pihak kemiskinan menjadi semacam input
sekaligus
output
bagi
pembangunan
yang
gagal.
Untuk
menanggulangi kemiskinan dan memeratakan pembangunan beserta hasilhasilnya merupakan upaya untuk memadukan berbagai kebijaksanaan program pembangunan yang tersebar di berbagai sektor dan wilayah. Kemiskinan bukan saja berurusan dengan persoalan ekonomi tetapi bersifat multidimensional karena dalam kenyataannya juga berurusan dengan persoalan-persoalan non ekonomi (sosial, budaya, politik). Karena sifatnya multidimensional maka kemiskinan tidak hanya berurusan dengan kesejahteraaan sosial (social well-being). Menurut Ellis, untuk mengejar seberapa jauh seseorang memerlukan kesejahteraan materi dapat diukur secara kuantitatif dan obyektif seperti mengukur kemiskinan absolut yaitu ditunjuk dengan angka rupiah, namun untuk memahami seberapa besar kesejahteraan sosial yang harus dipenuhi seseorang ukurannya menjadi sangat relatif dan kualitatif. (Dewanta, 1995: 31). Kata kemiskinan berasal dari kata miskin yang dalam kamus besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai berikut : ”Situasi penduduk atau sebagian besar penduduk yang hanya dapat memenuhi makan, pakaian dan perumahan yang sangat diperlukan untuk mempertahankan tingkat kehidupan minimum.” (Depdikbud, 1998)
Sedangkan Bappenas dan Depdagri memberikan pengertian kemiskinan, yaitu: ”Situasi kekurangan yang terjadi bukan karena dikehendaki oleh si miskin melainkan karena tidak dapat dihindari oleh kekuatan apapun atau kemampuan yang apa adanya. Kemiskinan itu sendiri ditandai dengan sikap dan tingkah laku yang mau menerima keadaan yang seakan-akan tidak dapat berubah yang tercermin dalam lemahnya kemauan untuk maju, rendahnya produktivitas, terbatasnya modal yang dimiliki, rendahnya pendapatan serta kesempatan untuk berpartisipasi dalam pembangunan.” (Sumodiningrat, 1996: 16)
Sedangkan Tadjuddin Noer Effendi mengatakan : ”Kemiskinan ini meliputi kekurangan fasilitas pemukiman yang sehat, kekurangan pendidikan, kekurangan komunikasi denagn dunia sekitaranya, kekurangan perlindungan dari hukum dan pemerintahan.” (Sumodiningrat, 1996: 16)
Sedangkan Merphin Panjaitan mengatakan bahwa : ”Kemiskinan adalah sebagai suatu standar tingkat hidup yang rendah yaitu adanya suatu tingkat kekurangan materi pada sejumlah orang dibandingkan denagn standar kehidupan yang berlaku pada masyarakat”. (Panjaitan, 2000: 7)
Hal yang sama juga diungkapkan oleh Sayogyo yang menyatakan bahwa : ”Kemiskinan sebagai ciri dan akibat ketidaksamaan dalam masyarakat yang menjadikan sebagian golongan tidak mampu mencapai tingkat hidup layak sesuai harapan dan cita-cita yang hidup dalam masyarakat berdasar upaya swadaya golongan itu”. (Rusli dkk, 1994: 36) Dengan mengikuti pendapat para ahli, kita bisa membagi sebabsebab kemiskinan menjadi dua. Pertama, kemiskinan yang terjadi
disebabkan oleh faktor eksternal atau yang berada diluar jangkauan individu. Faktor ini secara konkrit lebih bersifat hambatan kelembagaan atau struktur yang memang bisa menghambat seseorang untuk meraih kesempatan-kesempatannya. Adanya kemiskinan jenis ini bukan karena seseorang itu malas atau tidak mampu bekerja. Kemiskinan jenis ini menurut Alfian dirumuskan sebagai : ”Kemiskinan yang diderita oleh suatu golongan masyarakat karena struktur sosial masyarakat itu tidak dapat ikut menggunakan sumber-sumber pendapatan yang sebenarnya tersedia bagi mereka. Kemiskinan seperti ini meliputi kekurangan fasilitas pemukiman yang sehat, kekurangan pendidikan, kekurangan komunikasi dengan dunia sekitarnya bahkan termasuk kekurangan perlindungan dari hukum dan pemerintah”. (Effendi, 1995: 251) Kedua, adalah kemiskinan yang disebabkan faktor oleh faktor internal yang berasal dari diri seseorang atau lingkungannya. Kemiskinan ini sebagai akibat dari nilai-nilai dan kebudayaan yang dianut oleh sekelompok masyarakat. Jadi tidak bermula dari struktur sosial tetapi karakteristik khas orang-orang miskin itu sendiri. Orang menjadi miskin karena ia tidak mau bekerja keras, boros dan tidak mempunyai rencana, kurang memiliki jiwa wiraswasta, fatalis dan tidak ada hasrat berprestasi dan sebagainya. Menurut Lewis bahwa kemiskinan itu muncul karena sekelompok masyarakat tidak terintegrasi dengan masyarakat luar, apatis, cenderung menyerah pada nasib, tingkat pendidikan rendah serta tidak mempunyai daya juang dan kemampuan untuk memikirkan masa depan. (Effendi, 1995: 251)
Meskipun kebudayaan kemiskinan mempunyai andil sebagai penyebab kemiskinan, tidak dapat menjelaskan penyebab kemiskinan. Konsep
kemiskinan
ini
mengandung
kelemahan
karena
konsep
kebudayaan kemiskinan anti sejarah mengesampingkan asal usul kelakuan dari norma-norma yang ada (Effendi, 1995: 251). Sedangkan Baker berpendapat bahwa konsep kebudayaan kemiskinan itu sangat normatif dan merupakan kumpulan kecurigaan dan prasangka buruk golongan miskin. Kelemahan lain yang perlu disebutkan adalah konsep ini terlalu membesar-besarkan kemampuan kemiskinan (Effendi, 1995: 251). Namun menurut Bromleydan Gherry, Papanek dan Kuncorojakti bukti empiris mengungkapkan bahwa kaum miskin terutama di kota bekerja keras dan mempunyai aspirasi untuk hidup layak dan motivasi untuk memperbaiki nasib. Mereka mampu menciptakan pekerjaan sendiri serta bekerja keras untuk memenuhi tuntutan hidup mereka (Tadjuddin 1995 : 252). Disamping menurut Sethuraman itu setiap saat berusaha memperbaiki nasib dengan cara beralih dari satu usaha ke usaha lain dan tidak mengenal putus asa (Tadjuddin, 1995: 252). Upaya ini dapat dipandang sebagai kiat kaum miskin untuk berusaha keluar dari kemelut kemiskinan. Dalam bidang ekonomi bahwa kaum miskin di kota mempunyai andil dalam dalam menopang kehidupan kota (Suparlan, 1984: Rebong dkk, 1984). Melalui kegiatan kecil-kecilan dan mandiri di bidang ekonomi yang sering disebut informal. Mereka memberikan peluang bagi masyarakat elit kota untuk menikmati pelayanan dan jasa murah, baik di
bidang angkutan maupun jasa lainnya. Ini mengisyaratkan bahwa penduduk miskin di kota secara ekonomi terintegrasi dengan masyarakat luar kota, meskipun integrasi itu cenderung menghalangi perkembangan ekonomi mereka yang pada gilirannya memapankan kemiskinan. Jika demikian halnya maka hal ihwal kemiskinan mereka tidaklah semata-mata karena kebudayaan tetapi lebih berkaitan dengan adanya hambatan struktural yang tidak memberikan peluang untuk memanfaatkan kesempatan-kesempatan yang ada dalam perekonomian kota. Breman mengatakan bahwa kaum miskin di kota ”jalan menuju ke atas sering kali dirintangi, sedangkan jalan menuju ke bawah terlalu mudah dilalui”. Dengan kata lain muncul kemapanan kemiskinan dikalangan masyarakat miskin lebih disebabkan hambatan struktural. Tetapi mengapa kaum miskin pasrah dengan keadaan itu? Karena kemiskinan yang kronis itulah kaum miskin mudah ditaklukkan dan dikelola untuk mengikuti kemauan dan kepentingan golongan elit berkuasa. (Tadjuddin, 1995: 252) Ellis mengatakan bahwa kemiskinan dapat muncul sebagai tidak ada atau kurangnya akses seseorang atau sekelompok orang terhadap kekuasaan (power). Kekuatan yang dimaksud mencakup tatanan sistem sosial (politik) yang dapat menentukan alokasi sumber daya untuk kepentingan kelompok orang atau tatanan sistem sosial yang menentukan alokasi penggunaan sumber daya. Cara mendapatkan akses itu dapat melalui sistem politik formal, kontak-kontak informal dengan struktur kekuasaan dengan mempunyai pengaruh pada kekuasaan ekonomi. Namun
aspek-aspek itu tidak begitu penting dalam menilai kemiskinan politik, hal yang perlu diperhatikan adalah : (1) Bagaimana sekelompok orang dapat memanfaatkan sumber daya yang tersedia dalam masyarakat itu, (2) Bagaimana sekelompok orang dapat turut dan ambil bagian dalam pengambilan keputusan penggunaan sumber daya yang ada, (3) Kemampuan untuk turut serta dalam membentuk keleluasaan dalam masyarakat yang akan dilaksanakan dan ditaati oleh pemerintah. Sekelompok orang atau seseorang dapat digolongkan sebagai kemiskinan politik bila tiga hal tersebut tidak dimiliki oleh mereka. Identifikasi atau pengenalan gejala kemiskinan dilakukan dengan metode tertentu. Beberapa metode yang ada memfokuskan penelaahan antara lain pada aspek identifikasi golongan atau kelompok masyarakat miskin untuk mengetahui dimana daerah yang disebut miskin (Rusli et al, 1994: 5). Dalam hal ini pengukuran kemiskinan menunjuk pada kemiskinan absolut, yaitu jenis kemiskinan dimana penduduk mampu memenuhi kebutuhan dasar minimum untuk hidup layak. Untuk Desa Sidomukti, ukuran garis kemiskinannya sesuai pada teori Bank Dunia karena lokasi penelitiannya berada di wilayah Kabupaten Pati, dimana Kabupaten Pati mengacu pada teori Bank Dunia. Teori tersebut yaitu pemenuhan kebutuhan konsumsi sebesar 2100 kalori orang per hari untuk makanan. Teori ini juga yang dipakai oleh BPS (Badan Pusat Statistik) dalam menentukan kriteria penduduk miskin. Rata-rata
nilai pengeluaran makanan selama sebulan ditetapkan sebagai garis kemiskinan dan merupakan batas pengeluaran seseorang untuk memenuhi kebutuhan minimum yang diperlukan. Gejala kemiskinan merupakan kenyataan yang hampir ditemui di perkotaan negara-negara berkembang. Masalah yang cukup serius dan menjadi ciri kota-kota di negara-negara berkembang adalah masalah keterbatasan peluang kerja terutama sektor informal. Kebanyakan kota tidak mampu menyediakan pekerjaan yang dapat memenuhi kebutuhan hidup warganya. Angkatan kerja baik pendatang desa-desa maupun kelahiran kota yang baru berusaha masuk pasaran kerja menemui kesulitan untuk mendapatkan pekerjaan yang diharapkan (sesuai dengan tuntutan kebutuhan hidup). Untuk memenuhi kebutuhan hidup akhirnya mereka memilih pekerjaan seadanya walaupun tidak sesuai dengan kemauan dan kemampuan yang dimiliki atau mereka berusaha menciptakan lapangan pekerjaan sendiri dengan memanfaatkan kehidupan kota. Gejala itu nampak dengan munculnya lapangan pekerjaan baru baik disektor informal sah (kegiatan seperti pedagang kaki lima, tukang becak, penjual keliling, pedagang asongan) maupun sektor informal tidak sah seperti (pelacuran, germo, gangster, pencopetan, pencurian) yang bersifat sementara, tidak tentu dalam penghasilan dan jam kerja. Penghasilan yang didapat diperkirakan hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sendiri. Keadaan seperti menyebabkan mereka hidup dalam kekurangan. Kemungkinan membeli tanah, memiliki tanah dan membayar
biaya fasilitas sosial lainnya jauh dari jangkauan mereka. Akibatnya kebanyakan dari mereka mendirikan gubug-gubug dengan fasilitas sangat minim. Ada kecenderungan mereka mengelompok dan memnbentuk kerumunan tempat tinggal di tanah-tanah kosong di kota, seperti di pinggir rel kereta api, di kolong jembatan dan tanah-tanah yang belum digunakan, atau daerah yang tidak boleh digunakan sebagai tempat tinggal. Kerumunan tempat tinggal orang miskin seperti itu banyak ditemui di negara-negara berkembang. Berbagai program telah dikembangkan untuk menanggulangi kemiskinan di perkotaan, seperti : Program Perbaikan Kampung (KIP), Pengembangan Usaha Sektor Informal (Kredit usaha, Manajemen Usaha Kecil, Program Kemitraan) dan Pembinaan Gelandangan dan Pengemis (Gepeng). Namun dari berbagai program yang telah dilaksanakan itu dapat dikatakan kurang berhasil. Kelemahan program yang didasarkan konsep ini
cenderung
ketidakberdayaan
membesar-besarkan kelompok
miskin
kemapanan untuk
kemiskinan
keluar
dari
dan
lingkaran
kemiskinan. Program yang diterapkan cenderung bersifat ”derma” (charity),
sehingga
mematikan
kreativitas
serta
meningkatkan
ketergantungan. Selain itu juga merusak mental (etos kerja) karena kelompok miskin berharap untuk dibantu tanpa harus bekerja keras untuk mendapatkannya.
e. PNPM-P2KP PNPM-P2KP merupakan program pemberdayaan masyarakat untuk memecahkan masalah kemiskinan yang merupakan pengembangan dari P2KP (Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan). Untuk meningkatkan efektivitas penanggulangan kemiskinan dan penciptaan lapangan kerja, pemerintah meluncurkan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri mulai tahun 2007. Melalui PNPM Mandiri dirumuskan kembali mekanisme upaya penanggulangan kemiskinan yang melibatkan unsur masyarakat, mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan, hingga
pemantauan
dan
evaluasi.
Melalui
proses
pembangunan
partisipatif, kesadaran kritis dan kemandirian masyarakat, terutama masyarakat miskin, dapat dapat ditumbuhkembangkan sehingga mereka bukan sebagai obyek melainkan sebagai subyek upaya penanggulangan kemiskinan. Dalam proses pemberdayaan ini, peran aktif masyarakat sangat dibutuhkan. Dalam pemanfaatan dana PNPM Mandiri ini dibentuk organisasi yaitu BKM dan KSM. Selain itu ada beberapa kegiatan pemberdayaan yang dilakukan berupa pendampingan pada BKM dan KSM dan juga adanya sosialisasi dan pelatihan untuk meningkatkan kemampuan teknis dan manajerial dalam berusaha. Selain dengan kebijaksanaan umum PNPM Mandiri, kegiatan ini tidak hanya bersifat reaktif terhadap keadaan darurat yang sedang dialami, namun juga bersifat strategis karena dalam kegiatan ini disiapkan landasan berupa institusi
masyarakat yang menguat bagi perkembangan masyarakat di masa mendatang. Pelaksanaan PNPM Mandiri tahun 2007 dimulai dengan Program Pengembangan
Kecamatan
(PPK)
sebagai
dasar
pengembangan
pemberdayaan masyarakat di perdesaan beserta program pendukungnya seperti PNPM Generasi;
Program Penanggulangan Kemiskinan di
Perkotaan (P2KP) sebagai dasar bagi pengembangan pemberdayaan masyarakat di perkotaan; dan Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal dan Khusus (P2DTK) untuk pengembangan daerah tertinggal, pasca bencana, dan konflik. Mulai tahun 2008 PNPM Mandiri diperluas dengan melibatkan Program Pengembangan Infrastruktur Sosial Ekonomi Wilayah (PISEW) untuk mengintegrasikan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi dengan daerah sekitarnya. PNPM Mandiri diperkuat dengan berbagai program pemberdayaan masyarakat yang dilaksanakan oleh berbagai departemen/sektor dan pemerintah daerah. Pelaksanaan PNPM Mandiri 2008 juga akan diprioritaskan pada desa-desa tertinggal. Bantuan kepada masyarakat miskin ini diberikan dalam bentuk dana yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai kegiatan yang diusulkan masyarakat dan dalam bentuk pendampingan teknis yang diperlukan dalam pelaksanaan tersebut. Dana bantuan tersebut dapat dimanfaatkan sebagai modal usaha produktif, pelatihan teknis dan manajerial, pembangunan prasarana dan sarana dasar lingkungan dan bantuan sosial kemanusiaan.
Pengalokasian dana PNPM-P2KP sebagian besar digunakan pada kegiatan ekonomi, yaitu pinjaman dana bergulir untuk modal usaha produktif bagi masyarakat miskin dan pelatihan ketrampilan. Alasan utamanya adalah karena dengan pinjaman dana bergulir ini dapat dikembangkan sesuai dengan komitmen bersama masyarakat dan membantu
dalam
hal
modal
bagi
masyarakat
miskin
untuk
mengembangkan usahanya. Sedangkan dengan pelatihan teknis dan manajerial, dimaksudkan untuk mendukung upaya penciptaan peluang usaha baru dan pengembangan usaha yang telah ada. Dengan bantuan pinjaman dana bergulir dan kegiatan pelatihan teknis dan manajerial tersebut, mayarakat diharapkan dapat meningkatkan pendapatan dengan usaha yang telah dijalankan ataupun dengan pengembangan usaha baru. Dengan bantuan pinjaman modal bergulir itu pula, diharapkan dapat mengubah pola piker masyarakat yang mandiri dengan membangun dan mengorganisir diri dari atas dasar ikatan pemersatu dan kepercayaan bersama.
F. KERANGKA PIKIR PNPM-P2KP merupakan program pemberdayaan masyarakat untuk memecahkan masalah kemiskinan yang merupakan pengembangan dari P2KP (Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan). Pemecahan masalah yang dilakukan oleh PNPM-P2KP tentu saja berdasarkan masalah-masalah yang sudah dianalisa sebelumnya. Dalam proses menemukenali penyebab
kemikinan dan akar masalah kita temukan penyebab kemiskinan pada dasarnya merupakan akibat dari sikap mental para pelaku pembangunan yang negatif dan pandangan-pandangan yang merugikan kelompok masyarakat tertentu (warga miskin). Dalam PNPM-P2KP ini menggunakan pendekatan atau upaya-upaya rasional dalam mencapai tujuan program dengan memperhatikan prinsipprinsip pengelolaan program yaitu pembangunan yang berbasis masyarakat dengan : 1. Menggunakan kecamatan mengharmonisasikan
sebagai
perencanaan,
lokus pelaksanaan
program dan
untuk
pengendalian
program. 2.
Memposisikan masyarakat sebagai penentu/pengambil kebijakan dan pelaku utama pembangunan pada tingkat lokal.
3. Mengutamakan nilai-nilai universal dan budaya lokal dalam proses pembangunan partisipatif. 4. Menggunakan pendekatan pemberdayaan masyarakat yang sesuai dengan karakteristik sosial, budaya dan geografis. 5. Melalui proses pemberdayaan yang terdiri dari atas pembelajaran, kemandirian dan keberlanjutan. Pemberdayaan dalam penelitian ini yaitu upaya yang dilakukan untuk membangun masyarakat miskin yang mandiri agar dapat mengatasi kemiskinannya, salah satunya dengan cara pemberian bantuan pinjaman dana bergulir bagi masyarakat miskin untuk modal usaha produktif.
Dalam PNPM-P2KP pengelolaan seluruh kegiatan baik pengembangan usaha ekonomi melalui pinjaman dana bergulir, bantuan sosial maupun pembangunan dasar lingkungan pada prinsipnya dilakukan oleh masyarakat sendiri. Mulai dari perencanaan, pelaksanaan sampai pemeliharaan semuanya dilakukan dengan pendekatan bertumpu pada kelompok. Pendekatan semacam ini menuntut adanya partisipasi aktif dari masyarakat. Pelaksanaan kegiatan ini diarahkan untuk meningkatkan kemampuan masyarakat serta memperkuat kelembagaannya. Dalam konsep pemberdayaan masyarakat melalui PNPM-P2KP dalam pemberian pinjaman dana bergulir di Desa Sidomukti, meliputi pengembangan institusi lokal dan kegiatan-kegiatan pemberdayaan yang dilakukan. Adapun pengembangan institusi local disini meliputi pembentukan BKM (Badan Keswadayaan Masyarakat) dan KSM (Kelompok Swadaya Masyarakt). Sedangkan
kegiatan-kegaiatan
pemberdayaan
yang
dilakukan
yaitu
pendampingan fasilitator kelurahan (faskel) dalam penyusunan rencana kegiatan BKM dan permasalahan yang dihadapi, penyadaran dan peningkatan kepedulian masyarakat terhadap BKM dan KSM dan permasalahan yang dihadapi, sosialisasi pengorganisasian masyarakat untuk pembentukan KSM dan permasalahan yang dihadapi serta kegiatan pelatihan, yang bertujuan untuk meningkatkan upaya penciptaan peluang usaha baru dan peluang pengembangan usaha yang telah ada. Dengan konsep pemberdayaan masyarakat miskin melalui PNPMP2KP ini, menempatkan masyarakat sebagai pelaku utama proyek mulai dari
tahap perencanaan, pelaksanaan dan pengembangan. Pembentukan institusi local yaitu BKM dan KSM ini juga dibentuk atas inisiatif masyarakat sendiri sehingga dengan begitu akan timbul sikap kemandirian dan kesatuan rasa kebersamaan kelompok. Dengan begitu, masyarakat dapat merasakan kemudahan-kemudahan setelah mendapatkan bantuan pinjaman dana bergulir ini sehingga dapat meningkatkan kesejahteraannya. PNPM Mandiri Perkotaan, sebagai upaya penanggulangan kemiskinan, melakukan pendampingan proses pembelajaran masyarakat melalui penyadaran kritis agar dapat memecahkan masalah sendiri. Proses perubahan yang diharapkan terjadi adalah dari kondisi masyarakat yang tidak berdaya, menjadi mandiri dan pada satu saat akan menjadi masyarakat madani. Untuk memperjelas alur pikir, maka penulis gambarkan dalam skema di bawah ini :
Gambar 1.1 Kerangka Pikir
Program PNPM-P2KP
Pemberdayaan masyarakat dalam pemberian pinjaman dana bergulir
Kegiatan-kegiatan pemberdayaan : - Pendampingan dalam penyusunan rencana kegiatan BKM - Pendampingan dalam penyusunan rencana kegiatan KSM - Penyadaran dan peningkatan kepedulian masyarakat terhadap BKM dan KSM - Sosialisasi PNPM-P2KP, pembentukan BKM dan pembentukan KSM - Kegiatn pelatihan untuk meningkatkan ketrampilan teknis dan manajerial
Pengembangan institusi lokal : - Pembentukan KSM - Pembentukan BKM
Peningkatan pendapatan dan G.kesejahteraan masyarakat.
Faktor-faktor pendukung dalam pelaksanaan kegiatan pemberdayaan Faktor-faktor penghambat dalam pelaksanaan pemberdayaan masyarakat
H. METODE PENELITIAN 1. Jenis Penelitian Penelitian ini lebih menitikberatkan pada penelitian lapangan (field reseach) yang bermaksud untuk mengetahui permasalahan yang ada di lokasi penelitian. Penelitian ini bersifat kualitatif, yaitu proses penelitian yang datanya berwujud kata-kata dalam kalimat. Berbagai table juga disajikan naumun hanya bersifat deskriptif untuk mendukung uraian kualitatif yang disajikan. Sebagian data bersifat kualitatif yang didasarkan pada pengamatan langsung ke objek penelitian dan wawancara mendalam dengan sejumlah responden. 2. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Desa Sidomukti Kecamatan Margoyoso Kabupaten Pati dengan alasan desa Sidomukti termasuk 22 desa di kecamatan Margoyoso yang menerima bantuan PNPM-P2KP. Selain itu juga karena Desa Sidomukti merupakan Desa terbaik dalam pelaksanaan program PNPM-P2KP di Kecamatan Margoyoso.
Tabel 1.3 Daftar Desa di Kecamatan Margoyoso yang Mendapat Bantuan PNPM-P2KP No Nama Desa 1. Ngemplak Kidul 2. Tanjungrejo 3. Sidomukti 4. Kedungpanjang 5. Soneyan 6. Purworejo 7. Tegalarum 8. Purwodadi 9. Ngemplak Lor 10. Sumerak 11. Waturoyo 12. Margoyoso 13. Tunjungrejo 14. Cebolek 15. Kajen 16. Sekarjalak 17. Bulumanis Lor 18. Bulumanis Kidul 19. Pangkalan 20. Pohijo 21. Kertomulyo 22. Langgenharjo Sumber : BKM Desa Sidomukti 3. Sumber Data a. Data Primer Data yang diperoleh secara langsung dari responden melalui observasi langsung dan wawancara. Dalam penelitian ini dipilih pihakpihak yang yang terkait dengan PNPM-P2KP. Pihak-pihak tersebut antara lain:
1. Aparat Pemerintah Desa Sidomukti 2. Fasilitator Kelurahan Desa Sidomukti 3. Pengurus BKM Desa Sidomukti 4. Manager UPK BKM Desa Sidomukti 5. Pengurus dan anggota KSM Desa Sidomukti b. Data Sekunder Data sekunder yaitu data yang diperoleh secara tidak langsung yang berasal dari : 1. Arsip 2. Laporan 3. Kecamatan Margoyoso dalam angka 4. Monografi Desa 5. Buku-buku dan data lain yang mendukung PNPM-P2KP secara umum maupun khusus di Desa Sidomukti. 4. Teknik Pengumpulan Data a. Observasi Observasi yaitu teknik pengumpulan data dari sumber data yang berupa peristiwa, tempat atau lokasi, dan benda baik itu secara langsung yang dilakukan dengan cara terbuka dan tertutup (Moleong, 1994 : 127). Pengamatan terbuka diketahui oleh subyek dan subyek dengan sukarela memberikan kesempatan pada pengamat untuk mengamati peristiwa yang terjadi dan mereka sadar bahwa ada orang yang sedang mengamati mereka. Sedangkan pengamatan tertutup yaitu
pengamatan dimana pengamat beroperasi tanpa sepengetahuan subyek yang diamati tersebut. Observasi yang dilakukan penulis disini adalah observasi berperan pasif. Observasi berperan yaitu observasi yang dilakukan dengan mendatangi peristiwa atau kejadian, kehadiran peneliti dilokasi sudah menunjukkan peran yang paling pasif, sebab kehadirannya sebagai orang asing diketahui oleh yang objek yang diamati. Dalam observasi berperan pasif ini peneliti hanya mendatangi lokasi, tapi sama sekali tidak berperan sebagai apa pun selain hanya pengamatan pasif, namun peneliti benar-benar hadir dalam konteksnya (Sutopo, 2006 : 26-27). Observasi yang penulis lakukan disini menyangkut : Pengurus PNPMP2KP,
Pelaksanaan
PNPM-P2KP,
Aktifitas
masyarakat
Desa
Sidomukti yang menjadi sasaran PNPM-P2KP. b. Wawancara Dalam penelitian ini juga akan digunakan metode wawancara dengan cara melakukan percakapan terhadap informan atau orang yang diwawancarai. Percakapan ini dilakukan oleh kedua pihak yaitu pewawancara (interviewer) dan yang diwawancara (interviewee) yang memberikan jawaban atas setiap pertanyaan yang diajukan oleh pewawancara. Tujuan utama melakukan wawancara adalah untuk menyajikan konstruksi saat sekarang dalam suatu konteks mengenai para pribadi, peristiwa, aktivitas, organisasi, perasaan, motivasi, tanggapan atau
persepsi, tingkat dan bentuk keterlibatan, dan sebagainya, untuk merekonstruksi beragam hal seperti itu sebagai bagian dari pengalaman masa lampau, dan memproyeksikan hal-hal itu dikaitkan dengan harapan yang bisa terjadi di masa akan datang. Sasaran wawancara (interviewee) yang akan dilakukan oleh penulis adalah terhadap : Aparat Desa Sidomukti, Fasilitator PNPM-P2KP Desa Sidomukti, Pengurus BKM Desa Sidomukti, Pengurus dan anggota KSM Desa Sidomukti. c. Dokumentasi Dokumen tertulis dan arsip merupakan sumber data yang sering memiliki posisi penting dalam penelitian kualitatif. Dokumen bias memiliki beragam bentuk dari yang tertulis secara sederhana sampai kepada yang lebih lengkap. Demikian pula arsip yang pada umumnya berupa catatan-catatan yang lebih formal bila dibandingkan dengan dokumen (Sutopo, 2002 : 69). Sumber data berupa arsip dan dokumen merupakan sumber data pokok dalam penelitian kualitatif terutama untuk mendukung proses interpretasi dari setiap peristiwa yang diteliti. Dalam penelitian ini dokumentasi tentang kegiatan PNPM-P2KP bisa didapat lewat foto, kliping di koran, serta artikel di internet yang semuanya menunjukkan kegiatan PNPM-P2KP di Desa Sidomukti. 5. Tehnik Pengambilan Sampel Dalam penelitian ini sampel yang digunakan lebih bersifat purposive sampling dimana peneliti cenderung memilih informan yang
dianggap tahu dan dapat dipercaya untuk menjadi sumber data yang mantap dan mengetahui masalahnya secara mendalam (Sutopo, 1988: 22). Kriteria yang digunakan dalam pemilihan sampel yaitu pengurus PNPMP2KP yang terlibat langsung dalam proses pemberian pinjaman dana bergulir serta masyarakat yang menerima bantuan pinjaman dana bergulir. Kemudian juga digunakan maximum variation sampling berdasarkan jabatan pengurus PNPM-P2KP yaitu faskel, koordinator,…………dst. Dalam penelitian ini adalah Kepala Desa Sidomukti, Fasilitator Kelurahan Desa Sidomukti, Koordinator BKM Desa Sidomukti, Manajer UPK BKM Desa Sidomukti, serta masyarakat Desa Sidomukti yang menerima bantuan pinjaman dana bergulir yaitu masyarakat yang telah mempunyai usaha dan yang baru mendirikan usaha pada tiap perguliran. 6. Validitas Data Dalam penelitian ini untuk mencari validitas data digunakan metode triangulasi. Triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain diluar data itu untuk keperluan pengecekan data atau sebagai pembanding terhadap data itu. Teknik triangulasi yang paling banyak digunakan ialah pemeriksaan melalui sumber lain (Moleong, 1988: 179). Metode triangulasi yang digunakan di dalam penelitian ini yaitu: triangulasi sumber, teknik triangulasi sumber ini dengan jalan menggunakan beberapa sumber untuk mengumpulkan data yang sama yaitu dengan melakukan crosscheck dengan beberapa sumber yang berkaitan dengan penelitian ini. Sumber data yang digunakan
adalah melalui banyak informan yang memiliki kedudukan yang berbedabeda dalam sebuah program dalam penelitian ini yang dijadikan sebagai informannya adalah Kepala Desa Sidomukti, Fasilitator Kelurahan Desa Sidomukti, Koordinator BKM Desa Sidomukti, Manajer UPK BKM Desa Sidomukti, Masyarakat yang telah mempunyai usaha dan yang baru mendirikan usaha dalam tiap perguliran pinjaman. Informan 1 Data
wawancara
Informan 2 Informan 3
Sumber: Sutopo, 2006: 94 7. Teknik Analisis Data Teknik analisa data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisa interaktif, yaitu bahwa ketiga komponen aktifitasnya berbentuk interaksi dengan proses pengumpulan data dari berbagai proses siklus. Dalam penelitian ini peneliti bergerak diantara tiga komponen analisis yaitu reduksi data, sajian data dan penarikan kesimpulan.
Gambar 1.2 Model Analisis Interaktif Pengumpulan Data
Reduksi Data
Sajian Data
Penarikan Kesimpulan
Sumber: Sutopo, 2002: 96 Adapun pengertian dari ketiga analisis tersebut adalah: a. Reduksi Data (Data Reduction) Reduksi
data
merupakan
proses
seleksi,
pemfokusan,
penyederhanaan, dan abstraksi data kasar yang ada dalam field note. Dengan reduksi data, data yang ada dapat disederhanakan dan ditransformasikan dalam aneka macam cara, seperti: melalui seleksi yang ketat, melalui ringkasan atau uraian singkat, menggolongkan data dalam suatu pola yang lebih luas dan sebagainya. b. Sajian Data (Data Display) Sajian data adalah suatu rakitan organisasi informasi yang memungkinkan kesimpulan riset dapat dilakukan dengan melihat suatu penyajian data, peneliti akan mudah memahami apa-apa yang sedang terjadi dan memungkinkan untuk mengerjakan sesuatu pada anaisis atau mengambil tindakan lain berdasarkan pengertian tersebut. Jadi
denghan adanya data display ini akan mempermudah peneliti dalam membuat kesimpulan. c. Penarikan Kesimpulan (Conclusion Drawing) Penarikan kesimpulan merupakan kesimpulan dari apa yang teah diteliti dari awal hingga akhir. Kesimpulan ini bersifat longgar dan tetap terbuka. Penarikan kesimpulan merupakan sebagian dari kegiatan konfigurasi yang utuh. Kesimpulan juga diverifikasikan selama penelitian berlangsung.