BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah Globalisasi telah menjadi aspek yang memberikan pengaruh besar terhadap perubahan sosial yang terjadi di berbagai negara. Salah satunya di negara berkembang seperti Indonesia. Pengaruh tersebut ditenggarai mengubah arah gerak manusia di berbagai sektor kehidupan, mulai dari bidang ekonomi, sosial, budaya, keamanan, dan teknologi akhir-akhir ini. Teknologi informasi dan komunikasi, khususnya internet, selama ini identik dengan kalangan menengah atas dan didominasi orang-orang kaya atau masyarakat kota. Namun, kini teknologi informasi dan komunikasi mulai bergeser ke kampung-kampung. Internet pun kini mulai masuk ke kalangan menengah ke bawah dan masyarakat desa. Kehidupan saat ini nyaris tidak lepas dari teknologi, hampir di semua lini menggunakannya, baik dalam hal pengetahuan, ekonomi, budaya semuanya dimanjakan dengan teknologi. Dari yang biasanya mengerjakan sesuatu menggunakan alat tradisional sekarang sudah menggunakan dengan berbagai macam teknologi seperti teknologi komputer dan sebagainya. Di abad yang ke 21 ini banyak sekali perkembangan-perkembangan baik dalam hal pendidikan, ekonomi maupun teknologi. Tak perlu diragukan lagi, kemajuan teknologi membuat kita semakin mudah untuk berkomunikasi dengan orang lain. Dengan teknologi informasi kita bisa berbagi kebahagiaan, berdiskusi, bertukar informasi
1
2
dengan orang lain dimana saja dia berada tidak ada batasan wilayah antara satu dengan yang lain. Di zaman yang serba modern ini masyarakat hampir di seluruh dunia memanfaatkan teknologi yang ada, mulai dari handphone, laptop, dan gadget. Misal di dalam gadget ini masyarakat sudah dimanjakan dengan aplikasi yang sangat canggih, mau tidak mau para pengguna harus mengikuti perkembangan dan dengan sendirinya terpengaruh dan akhirnya menggunakan layanan aplikasi tersebut. Namun tidak semua masyarakat dalam hal ini bisa dikatakan sebagai konsumen yang cerdas dalam memanfaatkan layanan dengan maksimal dan produktif, bahkan banyak juga yang memanfaatkan untuk mengakses situs-situs negatif katakanlah tidak menggunakan aplikasi internet secara sehat. Munculnya berbagai permasalahan pelik yang dihadapi oleh masyarakat maka
perlu
ada
program
atau
kebijakan
yang
dapat
menyelesaikan
masalah-masalah yang dihadapi, solusi tersebut bisa datang dari masyarakat sendiri maupun pemerintah. Namun, lebih baik jika solusi tersebut datang dari masyarakat sendiri (bottom up) kemudian di dukung oleh pemerintah setempat. Seperti yang terdapat di Kampung Samirono, Caturtunggal, Depok, Sleman Yogyakarta. Keberadaan Kampung Digital merupakan inisiasi dan inovasi yang dilakukan oleh pemerintah, LSM, dan komunitas sipil melalui kebijakan, program, gerakan, maupun kegiatan semacam Kampung Digital, Kampung Siber, atau Sistem Informasi Desa. Masyarakat diberi akses, kemudahan, dan fasilitas agar masyarakat mampu memanfaatkan teknologi informasi. Pemerintah desa juga
3
diharapkan mampu meningkatkan pelayanan yang lebih baik dan efektif. Sejumlah pemerintah daerah bahkan mencanangkan program ini secara serius.
Pemerintah
Provinsi
Nusa
Tenggara
Barat
(NTB),
misalnya,
mengupayakan terbentuknya 10 kampung media atau kampung digital di berbagai lokasi strategis dalam tahun anggaran 2011. Program ini didukung alokasi anggaran sebesar Rp 1,7 miliar pertahun (Kompas.com, 9/01/2011). Sebelumnya, tahun 2006, komunitas Internet e-Kebumen.net di Kebumen, Jawa Tengah, telah menjadikan Internet menyebar ke banyak sekolah dan warnet. Inisiatif ini menjadikan Kebupaten sebagai finalis ajang Stockholm Challenge Award 2006 (Tempo, 15/05/2006). Di tempat lain, ada Kampung Digital Terang Bulan, sebuah kampung kecil di Deli Serdang, Sumatera Utara. Kondisi demikian, menjadi satu gambaran bahwa kepentingan akan dunia internet menjadi salah satu tolak ukur masyarakat dalam membangun masyarakat desa yang mandiri, serta mampu bersaing dengan orang lain. Sekiranya hal ini sudah diwujudkan dibeberapa daerah yang masyarakat desanya mau hidup mandiri tanpa harus meminta belas kasihan terhadap orang lain maupun pemerintah.
Mencermati
hal
tersebut,
pemerintah
Indonesia
berupaya
memfasilitasi masyarakat desa tidak hanya masyarakat kota yang diberikan fasilitas internet. Sesuai dengan Undang-Undang Dasar 45 yang menyatakan bahwa setiap warga negara Indonesia berhak mendapatkan hak dan kewajiban yang sama. Membangun Desa Digital (Digital Village) di dunia telah mendapat perhatian yang cukup serius, baik oleh instansi pemerintah, perusahaan IT, maupun praktisi teknologi untuk meningkatkan pemberdayaan masyarakat melalui
4
teknologi informasi. Di Indonesia, perwujudan Kampung Digital juga sudah menjadi perhatian pemerintah, perusahaan IT, maupun praktisi pendidikan. Salah satunya adalah Telkom. Pada tahun 2008, Telkom telah mengembangkan sebuah visi kebangkitan ICT (Information and Communication Technology) yang dinamakan “Sumatra Pulau Digital“. Memayungi kegiatan Corporate Social Responsibility Telkom Sumatra, “Sumatra Pulau Digital” ini memiliki sebuah obsesi untuk memerangi kesenjangan digital yang masih cukup tinggi antara Indonesia dengan negara lain. Bentuk program ini bisa dilihat dalam situs Berita Antara dengan judul “Terus Bangun Kampung-Kampung Digital” pada hari Senin, 7 Januari 2008, memberitakan bahwa Telkom sudah membangun Kampung Digital di Desa Serbajadi Kecamatan Sunggal, Deli Serdang, dengan jarak 17 kilomter dari Kota Medan. Dusun tersebut berpenduduk sekitar 500 kepala keluarga itu sebagian besar bermata pencaharian sebagai petani. Dalam berita tersebut, Telkom akan membangun lagi 100 Kampung Digital di wilayah Sumatra. Bentuk pembangunan kampung digital yang dilakukan oleh Telkom adalah membantu mendirikan tower dan mempermudah layanan akses internet kepada masyarakat di desa tersebut. Di Yogyakarta, yang notabene masyarakatnya sudah melek teknologi, Pemerintah Kota Yogyakarta memanfaatkan internet untuk menjaring aspirasi dari masyarakat. Bentuk-bentuk proses penjaringan aspirasi masyarakat Pemkot Yogya diantaranya; melalui UPIK (Unit Pelayanan Informasi dan Keluhan) Pemkot Yogyakarta memanfaatkan email bagi warga kota yang ingin menyampaikan informasi ataupun keluhannya, menggelar jajak pendapat dengan topik seputar
5
permasalahan kota, membentuk forum masyarakat sebagai media diskusi antar warga kota. Melalui blog dan facebook walikota dan wakil walikota menyampaikan agenda kegiatan sehari-hari, pemikiran, dan aktivitasnya dalam melayani masyarakat Kota Yogyakarta. Dari sarana internet tersebut memberikan peluang kemudahan kepada warga kota Yogyakarta untuk berpartisipasi menyampaikan berbagai aspirasi kepada Pemkot Yogyakarta melalui dunia maya. Kampung Digital di Yogyakarta sampai saat ini ada 18 tempat, sementara 10 diantaranya ada di kabupaten Sleman dan dari 10 tempat tersebut 9 di antaranya ada di kecamatan Depok, satu lagi ada di kecamatan Sleman yaitu di dusun Brayut. Ke 10 Kampung Digital tersebut adalah Tambak Bayan, Samirono, Karang Malang, Klebengan, Kocoran, Karang Wuni, Karang Asem, Swakarya, Manggung dan Brayut. Kemudian kampung yang memiliki karakter modern, heterogen, dinamis, namun masih menyisakan ruang tepa slira, guyub rukun dan bombing: hidup bersanding budaya lokal yakni Samirono. Samirono, sebuah kampung di Desa Caturtunggal, Kecamatan Depok, Kabupaten Sleman adalah sebuah kampung yang tepat untuk karakter tersebut. Samirono sebuah kampung berpagar Jalan Solo, Jalan Affandi, Jalan Herman Yohanes dan Jalan Colombo. Wilayah Sleman yang bersinggungan dengan wilayah Kota Yogyakarta, pinggiran tetapi berada di tengah, ramai namun tenang. Keras tapi damai. Kolot namun banyak kreatifitas yang lahir dari kampung itu. Dengan karakter tersebut, pada tanggal 4 September 2013 Samirono resmi menyandang Kampung Digital. Hal tersebut sudah selayaknya diberikan kepada masyarakat Samirono. Meski demikian, sebagai sebuah program Kampung Digital
6
tidak lepas dari beragam permasalahan. Realitas yang terjadi di lapangan menunjukan bahwa nilai sejarah serta kemajemukan kondisi sosial, ekonomi, budaya yang dialami oleh masyarakat Samirono. Dimana masyarakat Samirono yang kental akan budaya gotong royong, tepa slira, serta guyub rukun telah menyajikan ruang bagi warganya untuk mengkonstruksi dan memberikan makna secara subyektif terhadap keberadaan status Kampung Digital saat ini. Kemudian penamaan Kampung Digital ini sebagai arena pembentukan identitas masyarakat dan kampung itu sendiri. Semua itu menunjukan bahwa konstruksi identitas kampung digital yang ada di Samirono ini terus mengalami perkembangan dan bersifat dinamis. Identitas pun telah menjadi diskursus yang terus menyebar dan terbuka. Sebagaimana dikatakan oleh Michel Foucault bahwa sebuah wacana atau diskursus bukan saja berhenti dalam tataran teoritik, tetapi sekaligus merupakan praktik kebudayaan. Foucault mengonsentrasikan pikirannya pada isu diskursus, disiplin, dan kekuasaan. Subyek dipahami sebagai konstruksi diskursif dan produk dari kekuasaan, dimana diskursus mengatur apa yang dapat dikatakan tentang orang pada kondisi sosial dan kultur tertentu. Meski argumen bahwa identitas adalah konstruksi diskursif yang terpecah-pecah banyak dipegang dalam cultural studies, hal ini bukannya tidak punya persoalan sendiri. Khususnya, jika subyek dan identitas merupakan produk praktik diskursif dan pendisiplinan, jika ‘mereka secara
keseluruhan’ bersifat
sosial
dan
kultur,
bagaimana
kita
dapat
mengonsepkan orang yang mampu bertindak dan menjelaskan perubahan dalam tatanan sosial? (Barker. 2000: 179).
7
Selama ini kalau melihat kampung Samirono, kekentalan nuansa budaya Jawa masih sangat terasa. Konstruksi identitas kampung Samirono yang berkembang selama ini lebih terasa dalam aspek etnis dan sosial budaya. Akibatnya identitas Samirono identik dengan budaya Jawa yang dipahami secara sosial, sehingga kalau kita lihat kampung Samirono selalu identik dengan budaya Jawanya yakni kluwung budaya kampung, guyub rukun, dan gotong royong. Karakteristik sosial budaya ini kemudian lebih menonjol ketika orang melihat keseharian maupun kegiatan yang dilakukan oleh masyarkat kampung Samirono. Kemudian dengan hadirnya penamaan Kampung Digital yang selama ini dibanggakan oleh setiap masyarakat yang menginginkan adanya perbedaan dengan kampung lain, dan hal ini juga dirasakan oleh masyarakat Samirono yang sudah menamakan kampungnya sebagai Kampung Digital. Kehadiran Kampung Digital di Samirono memberikan suasana berbeda dari yang sebelumnya. Kalau peneliti bisa memberikan sedikit pandangan, bahwa hadirnya Kampung Digital ini memberi ruang arena kontestasi baik provider (perusahaan) dan penguasa (pemerintah), serta kelompok masyarakat pengguna internet diantaranya; ibu-ibu PKK, masyarakat berpendidikan dan non pendidikan, serta masyarakat beragama. Kehadiran Kampung Digital ini juga memberikan suasana baru serta di dalamnya memberikan peluang keuntungan bagi siapa saja yang mempunyai peran penting di dalamnya dan menjadi identitas baru bagi masyarakat Samirono. Dalam proses konstruksi masyarakat terhadap “Kampung Digital” ini ada kepentingan baik dari pihak penguasa dan pengusaha. Karena keduanya memiliki
8
otoritas dalam menyelenggarakan prorgam tersebut. Di samping itu masyarakat Samirono pun memiliki kepentingan dari adanya program “Kampung Digital” ini yaitu ingin menunjukan kepada masyarakat luas apa yang selama ini dikatakan bahwa kampung Samirono merupakan kampung yang masyarakatnya dinamis, kreatif, serta inovatif itu benar adanya dan ini merupakan modal sosial bagi masyarakat kampung Samirono itu sendiri. Semua elemen yang memiliki kepentingan dari adanya program “Kampung Digital” ini tentunya mempunyai porsi masing-masing. Porsi ini ditentukan dengan sekuat apa mereka mengkonstruksi identitas kampung digital yang ada di kampung Samirono. Dengan adanya program Kampung Digital ini masyarakat Samirono akan menciptakan identitas baru dalam kehidupan sehari-harinya. Karena pada hakekatnya manusia itu diciptakan sebagai seorang individu yang memiliki pribadi yang berbeda-beda dengan individu lainnya. Untuk mengenali diri seseorang terhadap dirinya maupun masyarakat diperlukan sebuah konsepsi yaitu identitas yang merupakan representasi untuk menunjukkan jati diri seseorang dalam masyarakat dan identitas tersebut butuh pengakuan dari masyarakat agar seseorang bisa diterima keberadaannya. Setiap individu memiliki peran dalam mengkonstruksikan identitas seseorang maupun kelompok dan setiap individu memberikan konstruksi identitas yang berbeda-beda berdasarkan kebudayaannya. Kalau penulis cermati, masyarakat Samirono sekarang telah berkembang menjadi masyarakat yang plural, baik dilihat dari latar belakang etnis, agama, dan latar belakang sosial, budaya serta ekonomi. Dilihat dari keberagaman latar belakang etnis, masyarakat Samirono terdiri atas etnis Jawa, dan Sunda yang
9
mendominasi, meskipun ada juga etnis lain di dalamnya. Dari aspek keagamaan, masyarakat Samirono juga terdiri dari berbagai macam agama, seperti Islam, Kristen-Protestan, dan Khatolik.1 Sementara itu dilihat dari latar belakang sosial ekonomi, masyarakat Samirono bisa dibilang tingkat ekonominya menengah ke bawah. Hal ini bisa dilihat dari keumuman masyarakat Samirono yang bergerak pada sektor perdagangan dan kebiasaan kesehariannya serta gaya hidup mereka. Memang harus diakui bahwa kebijakan yang membiarkan ekonomi tumbuh secara natural mengikuti pasar bisa berimplikasi pada dua hal. Pertama kemungkinan akan mampu mengangkat kondisi sosial ekonomi masyarakat Samirono, dan kedua bisa berakibat semakin menyingkirkan mereka. Akan tetapi menyadari bahwa kapitalisme begitu ekspansif, maka tidak ada jalan lain kecuali masuk dalam pusaran itu dengan berusaha sekuat tenaga terlibat menjadi sebagai pelaku. Masyarakat Samirono ketika mengkonstruksi identitas dirinya, lebih melihatnya secara konservatif dengan latar belakang etnis sebagai basis konstruksi identitas. Mereka menganggap bahwa orang Samirono adalah orang Samirono asli, sementara penduduk yang datang dari luar Samirono dianggap sebagai non-Samirono. Akan tetapi timbul permasalahan ketika dilihat dari statistik kependudukan Samirono bahwa kampung Samirono mayoritas penduduknya dari luar Samirono, dalam arti bahwa penduduk asli Samirono lebih sedikit dibandingkan dengan penduduk pendatang. Menurut Giddens (1991), identitas diri dalam masyarakat terbentuk oleh
1
Dikutip dari Kelurahan Catur Tunggal dalam angka, 2013.
10
kemampuan untuk melanggengkan narasi tentang diri, sehingga membentuk perasaan terus-menerus tentang adanya kontinuitas biografis. Cerita identitas berusaha menjawab sejumlah pertanyaan kritis: apa yang harus dilakukan? Bagaimana bertindak? Dan ingin jadi siapa?' individu berusaha mengkonstruksi suatu narasi identitas koheren dimana diri membentuk suatu lintasan perkembangan dari masa lalu sampai masa depan yang dapat diperkirakan (Barker. 2009: 175). Sesuai dengan tingkatan masyarakat, seseorang akan bertindak, berprilaku dan berpenampilan dalam kehidupan sehari-hari sesuai dengan peran berdasarkan identitas yang telah dikonstruksikan masyarakat tersebut. Program Kampung Digital ini seseorang dituntut agar mampu menciptakan kampung yang ideal atau masyarakat mandiri. Fenomena ini merupakan perkembangan zaman yang tidak akan berhenti begitu saja. Sehingga masyarakatpun ikut serta dalam perkembangan tersebut, tentu ini menjadikan tantangan bagi individu maupun masyarakat agar mampu beradaptasi dengan perkembangan itu. Dengan permasalahan seperti ini tidak menutup kemungkinan masyarakat Samirono membangun identitas baru dalam kehidupan sehari-harinya. Yang kemudian outputnya diakui oleh masyarakat luar, karena mengakui keberadaan diri sendiri dan keberadaan orang lain dapat dikonsepsikan sebagai identitas, memahami persoalan identitas berarti memahami bagaimana kita melihat diri kita dan bagaimana orang lain melihat kita (Barker, 2009: 173). Berangkat dari hal tersebut, selama ini penelitian dengan pendekatan kualitatif mengenai konstruksi identitas kampung digital yang terbentuk memang belum tersedia. Pada penelitian kali ini, permasalahan mengenai konstruksi
11
identitas menjadi kajian menarik untuk diteliti. Oleh karena itu, penelitian yang dilakukan oleh peneliti akan berpijak pada perspektif etnisitas, konstruksi identitas serta terdapat kuasa ekonomi politik di tengah-tengah proses konstruksi identitas. Kemudian akan muncul identitas baru baik masyarakat maupun kampung itu sendiri yang di dalamnya tentu ada aktor-aktor yang berperan dalam pembentukan identitas baru tersebut.
1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah di atas, pertanyaan yang diajukan adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana masyarakat Samirono dalam mengkonstruksi Kampung Digital? 2. Siapa saja yang berperan aktif dalam pembentukan identitas baru di Kampung Digital Samirono? 3. Bagaimana peran elit penguasa dan perusahaan kampung digital dalam pembentukan identitas?
1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memahami konstruksi masyarakat dalam membentuk identitas Kampung Digital yang dilakukan oleh masyarakat Samirono. Kemudian menganalisis konstruksi identitas yang dibangun oleh masyarakat Samirono terkait dengan pelaksanaan program Kampung Digital. Serta melihat siapa saja yang berperan aktif dalam pembentukan identitas baru, yang di dalamnya ada peran elit penguasa dan perusahaan (telkom).
12
Adapun manfaat teoritis dari penelitian ini adalah memberikan pemahaman secara utuh mengenai ‘konstruksi identitas kampung digital’ yang dibangun oleh masyarakat mengenai Kampung Digital di Samirono dan memberikan kontribusi terhadap berkembangnya ilmu pengetahuan, terutama dibidang ilmu sosial. Sehingga dapat digunakan sebagai bahan masukan yang relevan untuk penelitian sejenis di masa mendatang. Sedangkan manfaat praktisnya adalah diharapkan memberikan manfaat kepada pembaca. Sehingga para pembaca mampu memahami makna konstruksi identitas kampung digital yang dibangun oleh masyarakat mengenai program Kampung Digital di Samirono. Dan memberikan kajian sekaligus pertimbangan dalam menentukan arah kebijakan yang berkaitan dengan program Kampung Digital di Samirono maupun kampung lainnya yang akan merealisasikan program Kampung Digital di kota Yogyakarta maupun di luar kota.
1.4. Kajian Pustaka Kampung Digital menjadi salah satu kebijakan program yang dinilai strategis dalam membangun masyarakat yang mandiri serta mampu beradaptasi dengan keadaan yang semakin kompleks. Penelitian ini memfokuskan pada persoalan konstruksi identitas Kampung Digital yang ada di Samirono. Dalam penelitian ini peneliti melakukan penelusuran terhadap penelitian terdahulu yang berkaitan dengan penelitian yang akan peneliti lakukan, diantaranya: Pertama, penelitian yang dilakukan oleh Yeni Ristiana dengan judul "Pola
13
Interaksi Masyarakat di Kampung Cyber RT 36 RW 09 Taman, Kelurahan Patehan, Kecamatan Kraton Yogyakarta"2. Penelitian yang dilakukan oleh Yeni ini mengendepankan pembahasan pada Kampung Cyber mengenai pola interaksi masyarakat, dimana hasil dari penelitian ini adalah terdapat dua jenis pola interaksi yang diterapkan masyarakat Kampung Cyber yaitu secara intern dan ekstern. Pola interaksi secara intern terjadi secara online dan off line, secara online mereka menggunakan group facebook dan blog RT 36 sedangkan secara off line ada
agenda-agenda
khusus
seperti
arisan
bulanan,
angkringan
buku,
kegiatan-kegiatan rutin seperti ronda, voly, futsal dan lain-lain. Kemudian ada hubungan antara interaksi online dan off line, bahwa setiap informasi diberitakan secara online melalui facebook sehingga, warga bisa langsung merespon informasi tersebut. Kemudian dilanjutkan dalam pembahasan secara offline melalui pertemuan langsung, sehingga ada tindak lanjut dari perbincangan di internet tersebut. Sedangkan pola interaksi secara ekstern sangat berarti bagi warga yang mempunyai bisnis online, karena kebanyakan dari warga masyarakat Kampung Cyber memanfaatkan interaksi secara ekstern sebagai ajang jualan batik, sablon, catering, alat-alat pancing dan sebagainya. Dari sinilah maka omset masyarakat Kampung Cyber mulai bertambah, bahkan kini usaha bisnis online sudah merambah ke kancah luar negeri. Selain itu secara ekstern pola interaksi masyarakat Kampung Cyber juga sebagai ajang promosi Kampung Cyber melalui 2
Yeni Ristiana, Pola Interaksi Masyarakat di Kampung Cyber RT 36 RW 09 Taman, Kelurahan Patehan, Kecamatan Kraton Yogyakarta, Skripsi tidak diterbitkan (Yogyakarta: Jurusan Pendidikan Sosiologi, FISE, UNY. 2012) hlm. 103.
14
blog dan website. Tidak dapat dipungkiri bahwa kemunculan Kampung Cyber di media adalah karena pola interaksi masyarakat secara ekstern yang membuka diri atas kunjungan-kunjungan baik untuk urusan liputan, study, dan kerja sama sebagai kampung percontohan. Hasil penelitian di atas memperlihatkan kepada kita bahwa pola interaksi yang dilakukan masyarakat bisa dilakukan dengan cara apapun baik bertemu secara langsung maupun tidak. Akan tetapi kalau penulis cermati penelitian tersebut mengindikasikan dan bahkan lebih mengajak kepada kita agar berhubungan atau interaksi kita kepada orang lain dengan cara instan tidak perlu bertatap muka secara langsung. Dengan cara berinteraksi seperti itu sebagaimana yang ditemukan oleh peneliti di atas bisa saja menghilangkan makna dari interaksi sosial sendiri. Karena individu dituntut agar berinteraksi lewat jaringan internet baik secara online maupun offline. Kedua, penelitian lain yang ditulis oleh Shidi, Stepani, Rikang dengan judul "Teknologi Mandiri Warga Kampung sebagai Persiapan Menuju Demokrasi Terintegrasi: Study Kasus Perubahan Tradisi Demokrasi di Kampung Cyber RT 36 Patehan Yogyakarta"3. Fokus penelitian ini adalah tentang demokrasi yang ada di Kampung Cyber, penelitian ini menggunakan teori strukturasi adaptif untuk mendeskripsikan proses demokrasional warga dan sistem di Kampung Cyber, dan menekankan pada fungsi-fungsi dalam struktur reproduksi rules dan resources reproduksi atau produksi dengan spirit penciptaan rules baru atau adaptasi nilai dengan spirit values dan goals dalam sositecnichal environment antara kehidupan 3
Penelitian Shidi, Stephani, Rikang dengan judul "Teknologi Mandiri Warga Kampung Sebagai Persiapan Menuju Demokrasi Terintegrasi: Study Kasus Perubahan Tradisi Demokrasi di Kampung Cyber RT 36 patehan yogyakarta". Pekan Komunikasi UI 2012. hlm, 02.
15
sosial
dan
kehidupan
berteknologi
saling
mempengaruhi
nilai
yang
diakomodasikan sebagai kedekatan relasi dan gotong royong. Kedekatan relasi, terdapat dua kemungkinan situasi demokrasi informal dan non-formal, kegiatan sehari-hari dijadikan sarana demokrasi cakruk, voly, nongkrong warga yang mampu menumbuhkan ide spirit utamanya adalah pengembangan kesejahteraan utama warga Kampung Cyber, ide yang muncul kemudian dibawa ke rapat formal untuk ditindak lanjuti, forum informal mampu menumbuhkan banyak ide sedangkan forum formal digunakan untuk menggodok ide, hal ini diakomodasi juga dalam penggunaan internet sebagai media demokrasi, forum di group facebook dibuat ringan dan santai, sehingga memunculkan lebih banyak ruang partisipasi untuk berdemokrasi. Kemudian gotong royong, diwujudkan dalam segala aspek kehidupan, termasuk dalam mempersiapkan warga dalam menghadapi teknologi hingga internet menjadi sarana publikasi untuk memproduksi nilai gotong royong sekaligus memujudkan komitmen pada hasil partisipasi demokrasi dengan aksi. Kesimpulannya, teknologi tidak merubah pola dasar demokrasi di Kampung Cyber, justru membantu terciptanya ruang-ruang partisipasi baru sekaligus memperkuat aksi demokrasi sebagai sebuah komitmen atas sebuah spirit demokrasi, teknologi membawa perubahan signifikan dalam pencapaian spirit kesejahteraan dalam berdemokrasi, yaitu semakin berkembang bisnis rumah tangga. Penelitian di atas bertujuan ingin menciptakan demokrasi baru dengan menggunakan instrumen teknologi yang disediakan di kampung-kampung
16
sehingga masyarakat mampu memberikan arahan maupun pengertian terkait dengan demokrasi. Tetapi kalau penulis pahami lebih lanjut terkait dengan penelitian yang di lakukan oleh Shidi dkk, dengan berdasarkan pada kasus perubahan tradisi demokrasi di Kampung Cyber RT 36 Patehan Yogyakarta ini sepertinya belum memberikan perubahan terhadap tradisi demokrasi yang ada di kampung Patehan tersebut. Hanya saja sebatas pengenalan serta pengetahuan baru mengenai demokrasi yang ingin dilakukan lewat teknologi dalam hal ini jaringan internet. Kemudian hasil penelitian tersebut belum jelas demokrasi seperti apa yang ingin diberikan kepada masyarakat Patehan. Ketiga,
penelitian
yang
dilakukan
oleh
Fauziah
dengan
judul
"Pemberdayaan Masyarakat Berbasis Teknologi Informasi: Study di Kampung Cyber RT 36 Taman, Patehan, Kraton Yogyakarta"4. Hasil dari penelitian ini menunjukan bahwa terdapat beberapa tahapan proses pemberdayaan masyarakat berbasis teknologi informasi yang terdapat di Kampung Cyber yaitu sosialisasi, pemetaan wilayah, perencanaan, pelatihan, pelaksanaan, dan pendampingan. Sedangkan manfaat yang dirasakan oleh warga sekitar adalah terciptanya ruang interkasi baru, dikenal banyak orang, sumber informasi dan referensi, mempermudah dan mempercepat pekerjaan, membuka dan mengembangkan usaha, mempermudah pergaulan dan menambah teman, serta sebagai ajang promosi. Penelitian di atas tidak didasari oleh dampak dari teknologi informasi, hanya sebatas manfaat dari pemberdayaan masyarakat berbasis teknologi 4
Fauziah, Pemberdayaan Masyarakat Berbasis Teknologi Informasi: Study di Kampung Cyber Rt 36 Taman, Patehan, Kraton Yogyakarta." skripsi ini tidak diterbitkan (Yogyakarta: Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)
17
informasi saja. Dan kalau penulis bisa katakan bahwa pemberdayaan ini bersifat sementara karena melihat dari tujuan awal pemberdayaan ini yang lebih mengedepankan teknologi tidak bersentuhan langsung dengan masyarakat. Pemberdayaan masyarakat berbasis teknologi informasi ini terbilang cara yang efektif akan tetapi harus didasari dengan kebudayaan setempat. Kemudian yang keempat masih terkait dengan Kampung Cyber yang ditulis oleh Pahala Hamonangun Lumban Gaol, penelitiannya mengenai 'Impact of Information and Communication Technology on Improving Small and Medium Enterprises Performance in an Urban Kampung: Case Study of Kampung Cyber RT 36 Neighbourhood of patehan, Yogyakarta'5 . Penelitian ini memfokuskan kepada TIK yang ada di Kampung Cyber RT 36 Patehan, yang di dalamnya terdapat UKM sebagai arena ekonomi yang dimiliki masyarakat Patehan. Dari sinih penelitian menghasilkan bahwa masyarakat RT 36 Patehan mampu membangun jaringan komputer internet yang menyediakan akses internet 24 jam sehari yang kemudian dinamai "Kampung Cyber". Dengan adanya Kampung Cyber ini memberikan jalan kepada UKM di RT 36 untuk mengintegrasikan TIK ke dalam usaha masyarakat. Dan hasilnya sebagian besar UKM di RT 36 dapat meningkatkan kinerja bisnisnya. Akan tetapi ini semua tidak berjalan mulus, ada kesenjangan diantara mereka. Penelitian ini kemudian lebih luas lagi mengenai identifikasi hubungan antara kinerja bisnis dengan Absorptive Capacity, yang memiliki empat dimensi yaitu; Akuisisi, Asimilasi, Transformasi dan Eksploitasi.
5
Pahala Hamonangan Lumban Gaol, 'Impact of Information and Communication Technology on Improving Small and medium Enterprises Performance in an Urban Kamoung: Case Study of Kampoeng Cyber RT 36 Neighbourhood of Patehan, Yogyakarta.' tesis ini tidak diterbitkan (Program Studi Magister Perencanaan Kota dan Daerah, Program Pascasarjana UGM).
18
Dari keempat dimensi tersebut yang lebih menonjol dimasyarakat adalah identifikasi terkait dengan transformasi. Dan UKM yang mampu secara signifikan meningkatkan kinerjanya adalah yang mampu menggabungkan inovasi baru dengan pengetahuan lama, meletakkan TIK pada konteks sistem kerjanya dan menggabungkan secara tepat inovasi tersebut ke dalam mekanisme yang ada. Serta Absorptive Capacity memiliki hubungan erat dengan entrepreneurship, sosial kapital dan jejaring yang dimiliki UKM, aspek-aspek tersebut dapat membantu UKM untuk menyerap TIK. Dari sini penelitian ini menyimpulkan bahwa UKM dapat memanfaatkan TIK untuk meningkatkan kinerja bisnisnya jika memiliki keempat dimensi Absorptive Capacity secara memadai dan proposional. Kemudian transformasi juga memiliki peran penting karena terkait dengan kemampuan meletakkan TIK secara spesifik pada konteks kerja UKM tersebut. Penelitian di atas hanya berbicara masalah dampak dari teknologi komunikasi dan informasi. Dan hasil dari penelitian tersebut tidak menyebutkan bahwa UKM sebagai arena kontestasi ekonomi serta persaingan dalam bisnis, hanya sebagai arena ekonomi. Akan tetapi jika penelitian tersebut lebih mendalam terkait dengan kontestasi ekonomi yang dilakukan masyarakat akan menarik. Dan kemudian mampu menciptakan persaingan yang baik pula dalam segala hal tidak hanya persoalan ekonomi, melainkan terkait dengan sosial, budaya dan politik yang ada di masyarakat tersebut. Dari beberapa penelitian yang peneliti temukan di atas, berdasarkan atas pembacaan yang mendalam, belum ada yang membahas persoalan konstruksi identitas Kampung Digital yang ada di Samirono, Caturtunggal, Depok, Sleman
19
Yogyakarta maupun di daerah lain. Secara umum, masalah yang diangkat dalam penelitian terdahulu lebih banyak menyoroti pada kajian mengenai pemberdayaan masyarakat, pola interaksi masyarakat, perubahan sosial demokrasi yang ada di Kampung Cyber. Peneliti dalam hal ini belum menemukan yang spesifik masalah yang diangkat dalam penelitian terkait dengan konstruksi indentitas masyarakat terhadap penamaan Kampung Digital. Dengan demikian, penelitian yang ingin diangkat peneliti adalah terkait dengan Konstrukis Identitas Kampung Digital yang terbentuk hasil dari konstruksi masyarakat secara integratif mengenai Kampung Digital di Samirono, Depok, Sleman, Yogyakarta. Sehingga, dianggap perlu sebagai kajian untuk memahami realitas sosial program yang diambil berdasarkan persepsi masyarakat yang bersangkutan.
1.5. Kerangka Teoritik Dalam
usaha
menjelaskan
bagaimana
masyarakat
Samirono
mengkonstruksi identitasnya dalam sebuah arena Kampung Digital, studi ini akan menggunakan beberapa teori tentang etnisitas, identitas serta kuasa ekonomi politik dalam proses konstruksi identitas. 1.5.1. Konsep Etnisitas Terdapat beragam pandangan dan perspektif yang berupaya memahami etnisitas sebagai gejala ilmu sosial. Pada awalnya etnisitas adalah gejala biologis, yang salah satu asumsinya mengatakan bahwa etnis bagaimanapun juga merupakan kecenderungan natural. Suatu bangsa secara reflektif mengidentifikasi
20
sebagai sebuah bangsa atau sebagai etnis, sebagai sesuatu yang secara natural memang sudah demikian, seperti lewat begitu saja mengacu pada rumusan pendahulunya (Lipschutz, 1998: 54-55). Dalam hal itu, etnisitas banyak ditentukan oleh karakteristik tubuh. Juga berkembang pandangan teoritik, yaitu apa yang dapat disebut sebagai pihak defensif. Di sini logika negara dan sistem negara bermula dari permasalahan klaim oleh etnis tertentu. Secara historis negara-negara telah didefinisikan secara meluas dalam istilah-istilah teritori yang mereka tempati dan sumber-sumber serta populasi yang mereka kuasai. Oleh karena itu negara memerlukan batas-batas yang tegas antara negara satu dengan negara lainnya. Kemudian, negara harus secara masuk akal menunjukkan identitas spesifik sebagai negara dan kelompok yang jika dilihat sebagai bangsa berbeda dengan yang lain. Di sini kemudian terjadi proses politisasi kelompok identitas atau munculnya masalah etnisitas dan konflik etnik sebagai sebuah upaya mempertahankan diri. Menurut pandangan Benedict Anderson (2001), dan juga yang lainnya, berkembang pandangan bahwa komunitas etnis hanyalah merupakan komunitas terbayang (imagine community). Pandangan itu menjelaskan bahwa etnisitas dan kesadaran etnik tidak lebih sebagai “proyek intelektual” dari intelgensi borjuis yang mencari kemapanan yang disebut Ernest Gellner (1983) bukunya yang berjudul Nations and Nationalism sebagai kebudayaan tinggi (high culture) yang berupaya membedakan diri dengan komunitas lainnya. Budaya tinggi yang dimaksud adalah keterampilan kerja sipil untuk posisi-posisi administrasi dan birokrasi sehingga memudahkan laju perkembangan ekonomi dan modernisasi. Di
21
luar komunitas yang memiliki budaya tinggi merupakan individu-individu yang sering ditempatkan di daerah pinggiran dari suatu kerajaan atau negara, disisihkan dari pusat dengan alasan keturunan atau pun kelas. Etnisitas dalam pandangan ini adalah kebudayaan dan tidak secara inheren merupakan kekerasan. Dalam perspektif itu etnisitas muncul karena menyangkut gagasan tentang pembedaan, dikotomi kami dan mereka dan pembedaan atas klaim terhadap dasar asal-usul, dan karakteristik budaya. Etnisitas adalah hasil dari proses hubungan, bukan karena proses isolasi sebagaimana pandangan yang berdasarkan pada teritori. Jika tidak ada pembedaan antara orang dalam dan orang luar, tidak ada yang namanya etnisitas (Dwyer, 1996: 3). Kata etnis menjadi suatu predikat terhadap identitas seseorang atau kelompok atau individu-individu yang menyatukan diri dalam kolektivitas (Rex, 1994: 8). Karakteristik yang melekat pada suatu kelompok etnis adalah tumbuhnya “perasaan dalam satu kelompok” (sense of community) di antara para anggotanya sehingga terselenggaralah rasa kekerabatan. Dalam identifikasi kelompok etnis, mempunyai dua pandangan pengertian yaitu pertama, sebagai sebuah unit obyektif yang dapat diartikan oleh perbedaan sifat budaya seseorang, dan kedua, hanya sekadar produk pemikiran seseorang yang kemudian menyatakan sebagai suatu kelompok etnis tertentu (Nangen, 1994: 13, dalam Abdillah, 2002). Begitulah, etnisitas merupakan konsep kebudayaan yang terpusat pada norma-norma, nilai-nilai, kepercayaan, simbol-simbol dan praktek-praktek kebudayaan. Formasi kelompok-kelompok etnis menyandarkan diri pada kebudayaan yang telah berkembang di bawah proses sejarah yang spesifik,
22
konteks sosial politik dan yang membentuk rasa saling memiliki dan paling tidak pada bagian tertentu bentuk kelompok etnis tersebut didasarkan pada keturunan secara mitologis bersama. Akan tetapi menurut pandangan anti-esensialisme, sangatlah jelas bahwa kelompok-kelompok etnis tidak berdasarkan pada faktor-faktor primodial atau karakter kebudayaan universal yang membuat terbentuknya kelompok etnis tertentu atau spesifik, tetapi terbentuk melalui praktek-praktek yang tidak berkaitan satu sama lain. Etnisitas dibentuk oleh identitas kelompok dan diidentifikasi oleh tanda-tanda dan simbol-simbol. Dengan demikian, etnisitas adalah sebuah konsep rasional mengenai kategori-kategori identifikasi diri (self-identification) dan askripsi sosial. Tentang apa yang kita pikirkan sebagai identitas kita adalah tergantung pada apa yang kita pikirkan bahwa kita adalah bukan bagian dari mereka. Orang Serbia adalah bukan Kroasia, Bosnia atau Albania, meskipun secara rasial mereka sama. Sebagai konsekuensinya, etnisitas mesti dipahami sebagai proses konstruksi formasi terbatas dan dilestarikan oleh kondisi-kondisi sosio-historis yang spesifik (Barker, 2009: 205). Tentu saja, menganjurkan bahwa etnisitas bukan tentang perbedaan kebudayaan yang pre-given, tetapi merupakan formasi terbatas yang terus dilestarikan bukan berarti bahwa perbedaan demikian tak dapat dikonstruksikan secara sosial seputar penanda yang berkonotasi universalitas, teritori dan pemurnian, sebagai contoh kiasan-kiasan tentang darah, kekerabatan dan tanah air. Konsepsi kulturalis tentang etnisitas telah berani berusaha lari dari implikasi rasis yang inheren dalam melupakan secara historis konsep ras. Sebagaimana Hall menulis:
23
Jika seseorang kulit hitam dan pengalamannya tidak ditentukan oleh alam atau oleh sesuatu yang esensial lainnya, kemudian itu harus menjadi kasus bahwa mereka dikonstruksikan secara historis, kultural, dan secara politik. Konsep ini merujuk pada etnisitas. Istilah etnisitas mengakui adanya tempat sejarah, bahasa dan kebudayaan dalam konstruksi subyektivitas dan identitas, dan juga fakta bahwa semua wacana ditempatkan, diposisikan, disituasikan dan semua pengetahuan adalah kontekstual (Hall, 1996:446 dalam Barker)
Akan tetapi konsep etnisitas bukan berarti tidak ada masalah dalam penerapannya. Misalnya, kulit putih Anglo Saxsons sering menggunakan konsep etnisitas untuk merujuk pada bangsa lain (other people), biasanya dengan pembedaan warna kulit, maka bangsa Asia, Afrika, Spanyol, dan Afrika-Amerika merupakan sekelompok etnis tersendiri, sedangkan orang Inggris atau kulit putih Anglo-Saxsons atau orang Australia adalah bukan bagian dari kelompok tersebut. Di sini sifat putih dilihat sebagai sesuatu yang taken for granted, sedangkan ada sekelompok orang lain dipandang telah baku secara etnis. Sebaliknya sangat penting melestarikan bahwa bangsa kulit putih Inggris, Amerika dan Australia sebagai kelompok etnis tersendiri yang eksklusif. Konsepsi ini berhimpit dengan pandangan esensialisme kebudayaan. Namun demikian, menurut Hall, pengakuan bahwa sifat-sifat putih merupakan penemuan historis bukan berarti hal tersebut menjadi sesederhana sebagaimana dikehendaki.
1.5.2. Konsep Identitas Memahami konsep identitas tidak bisa hanya menggunakan perspektif konvensional sebagaimana yang selama ini dipahami oleh banyak orang. Ketika orang mendiskusikan soal identitas, senantiasa diidentikan dengan jati diri.
24
Misalnya sering terdengar dalam percakapan umum, bahwa suatu bangsa harus memiliki identitas, maka kata identitas di sini disamakan maknanya dengan jati diri. Pemahaman seperti ini mengidentifikasikan bahwa konsep identitas dipandang sebagai sebuah konsep yang statis. Oleh karena itu, sebalikanya agar suatu bangsa memiliki identitas maka perlu mempertahankan atau melestarikan kebudayaan atau sifat khusus yang dianggap sebagai identitas. Adapun asumsi sebaliknya
kemudian
diberlakukan
jika
suatu
bangsa
tidak
mampu
mempertahankan atau melestarikan karakteristik utamanya, maka bangsa seperti ini dianggap tidak memiliki identitas. Pandangan seperti ini kemudian mempunyai pemahaman bahwa identitas identik dengan kepribadian. Pengertian identitas kemudian lebih menunjuk pada karakter individu, seperti orang harus memiliki kepribadian. Jika seseorang tidak memiliki kepribadian yang khas, maka orang seperti itu dianggap tidak memiliki identitas. Anjurannya adalah bahwa agar seseorang memiliki identitas, maka perlu membangun kepribadian yang baik. Dalam kajian ilmu sosial, kemudian ada upaya memfomulasikan konsep identitas secara lebih dinamis. Satu faktor yang mendorong perumusan baru terhadap konsep identitas adalah banyaknya konflik sosial, politik, dan kebudayaan yang mengeksploitir perbedaan. Di samping itu ketika perkembangan dunia
semakin
mengglobal,
maka
stabilitas
sosial,
migrasi
penduduk,
perdagangan bebas, dan serba berjejaring, maka problem identitas menjadi semakin kabur. Karena itu identitas tidak ada yang bersifat tetap dan mengkristal. Penelusuran terhadap makna dan konsep identitas pun merupakan suatu usaha
25
berkelanjutan tanpa akhir. Oleh karena itu identitas bukan merupakan suatu entitas yang final dan statis, melainkan sesuatu yang selalu tumbuh. Sebagaimana dikatakan oleh Stuart Hall (1996: 160 dalam Barker, 2009: 176) menyebutnya sebagai 'suatu yang tidak pernah sempurna, selalu dalam proses dan selalu dibangun dari dalam'. Lebih lanjut Hall dalam artikelnya yang berjudul The Question of Cultural Identity, mengidentifikasi tiga perbedaan cara yang mengkonseptualisasikan identitas, yaitu (a) subyek pencerahan, (b) subyek sosiologi, (c) subyek posmodernisme. Dalam perspektif era pencerahan berkembang gagasan bahwa pribadi dipandang sebagai agen kesatuan yang unik dan bersekutu terhadap pencerahan (enlightenment). Hall menuturkan sebagai berikut: The enlightenment subject was based on conception of the human person as a fully centred, unifed individual, endowed with the capacity of reason, consciousness and action, whose 'centre' consisted of an inner core. The essensial centre of the self was a person`s identity (Hall, 1992: 275 dalam Barker, 2009: 177).
Hall juga menganjurkan bahwa untuk memahami konsep identitas kebudayaan juga erat dengan asumsi yang berkembang dalam aliran pemikiran esensialisme dan anti-esensialisme kebudayaan. Dalam pandangan kaum esensialis, bahwa pribadi-pribadi mempunyai hakekat tentang diri yang disebut identitas. Kaum esensialisme berasumsi bahwa diskripsi diri kita mencerminkan hakekat yang didasari identitas. Dengan demikian akan bisa ditetapkan apa itu hakekat feminitas, maskulinitas, orang asing, remaja dan semua kategori sosial yang lain. Sebaliknya ada juga pandangan bahwa identitas sepenuhnya merupakan kebudayaan, yang dibentuk berdasarkan ruang dan waktu. Ini merupakan
26
pandangan kaum anti-esensialisme yang menjelaskan bahwa bentuk-bentuk identitas senantiasa berubah dan berkaitan dengan kondisi sosial dan kebudayaan. Asumsi kaum esensialisme meyakini bahwa kebudayaan terdiri dari nilai-nilai dan norma-norma yang telah selesai, mantap, baku dan berdiri sendiri. Dalam pendangan mereka, tingkah laku sekelompok orang akan tergantung kepada nilai-nilai dan norma-norma kebudayaan yang dianutnya. Jadi, untuk mengubah tingkah laku budaya perlu diubah terlebih dahulu seluruh perangkat nilai dan norma kebudayaan yang menjadi pedoman bagi tingkah laku budaya. Ada satu ungkapan yang khas dari kaum esensialisme budaya adalah "jangan salahkan kebudayan, tetapi salahkan orangnya". Kalau ada yang menyimpang dalam kebudayaan maka yang harus diubah adalah tingkah laku budaya dan bukannya nilai dan norma-norma kebudayaannya. Dalam pandangan mereka sistem dan norma itu sudah baku, tidak bisa diubah, sehingga jika ada fenomena penyimpangan, tingkah laku manusia dianggap sebagai menyimpang dari sistem nilai dan norma yang berlaku. Sementara itu, Barker mencoba memformulasikan konsep identitas dalam kaitannya dengan diri atau subyektivisme. Secara konseptual subyektivitas dan identitas mempunyai hubungan yang erat dan bahkan tidak bisa dipisahkan. Berbicara tentang subyektivitas, pertanyaannya akan berada di seputar apakah person itu? Sementara mengeksplorasi tentang identitas adalah menanyakan: bagaimana kita melihat diri kita sendiri dan bagaimana orang lain melihat kita? (Barker, 2009: 165). Berangkat
dari
konsep
Barker
tersebut
maka
jika
individu
27
mengidentifikasi identitasnya bukan saja bertanya siapa dirinya, tetapi perlu dikaitkan dengan pandangan orang lain di luar dirinya. Mengacu pada konsep ini maka jika ingin menganalisis masalah identitas baik individual maupun kelompok perlu dicari baik dari sisi internal maupun eksternalnya. Ketika orang menanyakan siapa identitas dirinya, maka sudah tentu akan dipengaruhi oleh bagaimana orang lain atau faktor eksternal mempersepsi dirinya. Jika orang lain menganggap bahwa dirinya adalah bodoh, maka orang itu akan berfikir bahwa dirinya merasa bodoh. Akan tetapi pandangan orang di luar diri itu tidak selamanya tetap, tentu akan berubah menyesuaikan pada kondisi perkembangan individu. Lebih dari itu, orang lain itu sendiri bukanlah bersifat tunggal, melainkan jamak dari bervariasi. Satu
orang
mengatakan
bahwa
dirinya
bodoh,
sementara
orang
lain
menganggapnya pintar. Jadi identitas seseorang bersifat tidak tetap, tergantung sedang berelasi dengan siapa yang menjadi faktor eksternalnya. Tentang konsep identitas yang bersifat dinamis juga dikemukakan oleh Antony Giddens, yang memahami identitas diri sebagai keahlian menarasikan tentang diri, dengan demikian menceritakan perasaan yang konsisten tentang kontinyuitas biografi. Cerita identitas berupaya menjawab pertanyaan-pertanyaan kritis: apa yang dikerjakan? Bagaimana melakukannya? Siapa yang menjadi? Seseorang berusaha mengkonstruksi cerita identitas yang saling bertalian di mana diri membentuk lintasan perkembangan dari pengalaman masa lalu menuju masa depan (Giddens, 1991: 75 dalam Barker, 2009: 175). Oleh karena itu, identitas diri bukan sifat yang distingtif, atau merupakan kumpulan sifat-sifat yang dimiliki
28
oleh individu. Identitas diri adalah diri sebagai pengertian secara refleksi oleh seorang dalam biografi diri (Giddens, 1991: 53 dalam Barker, 2009: 175). Memperhatikan konsep Giddens tersebut berargumen bahwa identitas adalah mode berfikir tentang diri kita sendiri. Hanya saja apa yang kita pikirkan itu senatiasa berubah dari lingkungan satu ke lingkungan lain menurut ruang dan waktu. Inilah sebabnya, mengapa Giddens mendiskripsikan identitas sebagai sebuah proyek. Oleh karena itu berbicara tentang identitas tidak lain adalah sebuah konstruksi tentang diri yang terus berproses, tidak statis, terus mengalami pencarian, dan adaptif terhadap situasi, serta fleksibel dengan perubahan. Mengacu pada konsep identitas sebagaimana diuraikan di atas, maka dapat digunakan sebagai rujukan kritis bagi upaya mengkonstruksi identitas masyarakat Samirono yang selama ini menamakan dirinya sebagai individu yang sudah maju dengan
hadirnya
Kampung
Digital.
Selama
ini
masyarakat
Samirono
mengkonstruksi identitasnya sebagai masyarakat yang maju, dinamis, serta inovatif. Hal itu karena adanya arena pembentukan sebuah nama Kampung Digital. Tetapi kalau penulis lihat lebih jauh kebelakang masyarakat Samirono yang akrab dengan gotong royong, tepa seliro, guyub rukun serta damai. Hadirnya Kampung Digital di tengah-tengah masyarakat Samirono bertujuan agar masyarakat Samirono dalam mengkonstruksi identitasnya tidak bersifat tetap, melainkan dinamis dan terbuka. Dengan kata lain dalam mengkonstruksi identitas juga perlu bergeser dari konsepsi identitas yang bersifat esensialistik menjadi konstruktivistik. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh Giddens (1991), yang mendeskripsikan identitas sebagai sebuah proyek. Dengan
29
argumen ini ia mengartikan bahwa identitas adalah suatu yang kita ciptakan, sesuatu yang senantiasa berproses, yang terus maju ke depan daripada tetap. Identitas menjadi suatu bentuk peneguhan eksistensi seorang individu dan kelompoknya. Menurut Kinasih (2005: 3) identitas menjadi sebuah dimensi keniscayaan yang melekat dalam hubungan antar manusia karena keberadaan seseorang menjadi bagian dari sebuah kelompok etnik, agama, tradisi dan bahasa dalam sebuah sistem kebudayaan tertentu. Manusia secara individu maupun kelompok akan menempatkan dirinya pada koridor identitas dalam sebuah konteks budaya. Dengan adanya identitas, maka individu akan diakui keberadaannya sekaligus eksistensinya dalam ruang sosial. Jeefrey Weeks yang dikutip oleh Kinasih (2005: 4) menjelaskan mengenai pentingnya identitas bagi seorang individu: Identitas adalah tentang belonging, tentang persamaan sejumlah orang dan tentang apa yang membedakan kamu dengan orang lainnya. Sebagai sesuatu yang paling mendasar. Identitas akan memberikan seseorang rasa tentang lokasi pribadi, inti yang stabil bagi individualisme. Sense of belonging dalam konteks ini akan memberikan rasa aman bagi individu. Rasa aman akan memberikan stabilitas dalam sistem sosial yang tengah dijalani oleh individu dalam masyarakat. Melalui identitas, individu diluar masyarakat akan memberikan penilaian yang secara disadari membentuk kedirian bagi individu tersebut. Seperti yang diungkapkan oleh Barker (2009: 173) bahwa identitas sosial merupakan harapan atau pendapat orang lain mengenai kedirian. Namun, perlu kiranya untuk disadari, bahwa identitas suatu waktu dapat berubah bentuk seiring perubahan sosial yang kembali terjadi. Karena sifatnya yang bukan taken for granted, identitas dapat digunakan secara tidak konsisten.
30
Disesuaikan dengan kebutuhan dari individu dan kelompok yang bersangkutan. Bangunan identitas lahir dalam proses yang panjang. Aturan, nilai, norma dan iklim politik suatu wilayah menjadi faktor yang berpengaruh terhadap perubahan identitas yang melekat dalam diri individu maupun kelompok sosial tertentu. Untuk membentuk identitas yang berfungsi menjadi hal yang mutlak diperlukan dalam diri individu dan kelompok. Untuk itu identitas menjadi suatu hal yang dapat dikonstruksikan dalam kehidupan individu. Adapun upaya yang dilakukan ialah melalui sosialisasi. Identitas dibangun pada saat sosialisasi yang dilakukan oleh individu dengan individu lainnya. Dengan begitu, identifikasi mengenai unsur pembentuk identitas dapat diinternalisasikan secara maksimal. Sebagai contoh adalah identitas yang dilakukan oleh pemerintah kepada warganya. Pemerintah akan mensosialisasikan program kepada warganya dalam ranah publik serta memberikan pelajaran yang memuat keselarasan dengan keinginan masyarakat. Agar dapat dimanfaatkan oleh warganya, proses ini berlangsung terus menerus. Sehingga masyarakat akan memiliki identitas sosial secara mandiri sebagaimana yang telah dibentuk oleh pemerintah. Kemudian dalam kelompok sosial, identitas menjadi hal yang senantiasa terus dicari, dipelajari untuk kemudian diletakkan pada suatu kelompok. Melalui simbol, teks, tanda yang dapat digunakan sebagai sarana dalam merepresentasikan individu dan kelompok tersebut dalam kehidupan. Tentu saja, dengan tujuan melegalisasi identitas yang telah dibentuk agar sesuai dengan harapan dari kelompok.
31
1.5.3. Konsep Ekonomi Politik Berbicara mengenai ekonomi politik tentu tidak terlepas dari kedua ilmu antara ekonomi dan politik. Menurut Staniland keduanya mengacu kepada masalah dasar dalam teori sosial yakni hubungan antara politik dan ekonomi. Keduanya memiliki dua sisi baik eksplanatori (menjelaskan bagaimana keduanya terkait) maupun normatif (bagaimana seharusnya sifat perkaitan diantara kedua disiplin ilmu tersebut). Pemaknaan terhadap ekonomi politik tidak terbatas pada studi tentang teori sosial dan keterbelakangan. Pada awalnya ekonomi politik dimaksudkan untuk memberikan saran mengenai pengelolaan masalah-masalah ekonomi kepada para penyelenggara negara (Caporaso dan Levine, 1993; dalam Deliarnov, 2006: 8-9). Kemudian ada yang mengatakan bahwa ekonomi politik lebih diartikan sebagai analisis ekonomi terhadap proses politik. Dalam hal ini institusi politik sebagai entitas yang bersinggungan dengan pengambilan keputusan ekonomi politik, yang berusaha mempengaruhi pengambilan keputusan dan pilihan publik, baik untuk kepentingan kelompoknya maupun kepentingan masyarakat luas. Hubungan sinergi antara ekonomi dan politik memberikan pemahaman yang lebih positif bahwa bekerjanya suatu sistem ekonomi dan proses politik merupakan dua sisi dari satu mata uang yang sama. Karena ekonomi politik lahir dari berbagai upaya yang dilakukan untuk menemukan sinergi, mengisi kekosongan (cross fertilization) yang tidak dijumpai dalam satu disiplin ekonomi atau disiplin politik saja (Arifin dan Rachbini, 2001 dalam Irham Fahmi, 2013: 8).
32
Kalau kita cermati bahwa perekonomian tidak bisa hanya diserahkan pada produsen dan konsumen yang berinteraksi satu sama lain melalui mekanisme pasar, akan tetapi diperlukan adanya campur tangan pemerintah. Campur tangan pemerintah diperlukan jika mekanisme pasar tidak bekerja dengan sempurna. Kemudian campur tangan pemerintah pun diperlukan untuk mengatasi eksternalitas dan untuk pengadaan barang-barang publik. Berbagai keputusan yang menyangkut kebijakan publik dilaksanakan oleh pemerintah sesuai institusi ekonomi dan politik yang ada. Suatu kebijakan disebut kebijakan publik bukan karena kebijakan itu sudah diundangkan atau karena kebijakan tersebut dilaksanakan oleh publik, melainkan karena isi kebijakan itu sendiri yang menyangkut bonum commune atau kesejahteraan umum (Arifin dan Rachbini, 2001 dalam Irham Fahmi, 2013: 8). Dari penjelasan di atas, jelas bahwa ekonomi politik dimaksudkan untuk membahas keterkaitan antara berbagai aspek, proses, dan institusi politik dengan kegiatan ekonomi seperti produksi, investasi, pembentukan harga, perdagangan, konsumsi, dan lainnya. Penelusuran yang mendalam tentang ekonomi politik biasanya didekati dengan format dan pola hubungan antara swasta, masyarakat, pemerintah, dan lembaga konsumen. Jika melihat ekonomi politik Marxisme pembahasannya lebih komprehensif, yaitu adanya interkoneksitas semua jenis lembaga-lembaga sosial yang ada. Dalam analisisnya, Marx menggabungkan metode dialektik dengan materialisme, yang oleh Engels kombinasi ini kemudian disebutnya sebagai “materialisme dialektik atau materialisme historikal” (Deliarnov, 2006: 43).
33
Penggunaan istilah ‘ekonomi politik’ dalam teori Marxian tidak secara langsung merujuk pada studi tentang hubungan natara ilmu ekonomi dengan ilmu politik, melainkan lebih mengarah pada cara berfikir tentang ekonomi yang dalam metode dan teori mirip dengan ekonomi klasik, terutama yang bersumber dari pandangan Adam Smith dan David Ricardo. Metode ini terfokus pada ide bahwa sebuah ekonomi pasar beroperasi sesuai hukum yang berakar dalam reproduksi yang sedang berjalan. Dari ide Adam Smith bahwa kemajuan yang dicapai suatu masyarakat yang menganut mekanisme pasar adalah hasil ketidaksengajaan dari upaya individu-individu untuk mengejar kepentingan diri mereka masing-masing, dielaborasi lebih lanjut oleh Marx dengan menjelaskan bahwa proses perubahan dalam metode produksi, hubungan sosial, dan cara-cara hidup semuanya sebagai hasil ketidaksengajaan dari upaya memperoleh keuntungan privat. Inti pokok Marxisme adalah determinasi mekanistik “suprastruktur” (politik, sosial, ideologi serta budaya) oleh suatu basis ekonomi. Bagi Marx yang menentukan segala-galanya, apakah itu politik, sosial, budaya, bahkan juga moral dan falsafah serta ideologi adalah ekonomi (materi). Karena ia menganggap materi sebagai penentu segala-galanya, pandangan Marxis ini sering juga disebut materialistik. Menurut Marx dalam Contribution to the Critique of Political Economy (1968): “Moda produksi kehidupan materiallah yang mengondisikan proses kehidupan sosial, politik dan intelektual secara umum”. Bagi Marx, politik hanya menjadi medium lewat mana kelas yang berkuasa menjalankan dan melegitimasi kontrolnya, serta menjadi saluran lewat mana kontradiksi
34
diekspresikan dan dipecahkan. Dalam Communist Manifesto (1848), Marx lebih tegas mengatakan bahwa eksekutif negara modern tak lain hanya sekedar sebagai sebuah komite untuk mengelola kepentingan kaum borjuis. Bagi Marx, politik bisa digunakan penguasa sebagai medium dalam menjalankan dan melegitimasi kontrolnya, sedangkan peran negara adalah menjalankan kekuasaan dan kewenangan, tetapi sumber pengaruhnya yang hakiki terletak di luar personil dan institusi-institusi penyusun dan penyelenggara negara, yaitu pada materi. Negara melayani kelas yang memerintah, baik secara langsung maupun tidak langsung. Jadi, walau peran negara adalah untuk menjalankan otoritas dan kekuasaan, namun sumber pengaruhnya terletak pada personel dan institusi-institusi yang membentuk negara yaitu pada kelas berkuasa yang terdiri atas kekuatan-kekuatan materi dan hubungan sosial produksi (Staniland, 1985 dalam Deliarnov, 2006: 44). Melihat konsep ekonomi politik yang dijelaskan oleh Marx di atas, maka dapat digunakan sebagai rujukan bagi program “Kampung Digital” yang ada di Samirono. Di mana lahirnya program ini tidak lepas dari peran pemerintah, dan perusahaan, yang keduanya saling keterkaitan. Program yang mengatasnamakan sebagai implementasi dari pemerintah ini ingin memberikan sumbangsih terhadap bangsa Indonesia, dan ini juga tidak terlepas dari kepentingan-kepentingan mengatasnamakan negara. Hadirnya program “Kampung Digital” ini selain memberikan warna baru bagi kampung Samirono, tetapi disisi lain bisa meningkatkan perekonomian warga. Karena program ini tidak hanya menyediakan fasilitas koneksi jaringan
35
internet saja, melainkan ada agen penjual voucher dan diperuntukan agar masyarakat bisa menggunakan fasilitas tersebut. Disini terlihat dalam kegiatan program “Kampung Digital” yang ada di kampung Samirono ini terdapat tiga proses dalam pelaksanaannya, yaitu produksi, distribusi, dan konsumsi. 1.5.3.1. Produksi Dalam keilmuan sosiologi, produksi merupakan proses yang diorganisasi secara sosial di mana barang dan jasa diciptakan. Kalau kita cermati mengenai barang, bahwa semua barang memiliki dua jenis nilai yang berbeda, yaitu nilai guna (use value) dan nilai tukar (exchange value). Nilai guna sebuah barang adalah nilai kebergunaan suatu barang atau keuntungan yang diberikan oleh suatu barang ketika ia digunakan. Di sini nilai guna sebuah internet atau kampung digital adalah manfaat bagi pemakainya sebagai alat untuk mengakses informasi baik untuk kepentingan sekolah, bisnis maupun kepentingan lainnya. Kemudian selain memiliki nilai guna, setiap barang juga mempunyai nilai tukar yaitu nilai suatu barang yang akan didapatkan ketika barang tersebut ditukarkan dengan benda lain. Nilai tukar dapat diukur atau dinilai berdasarkan barang berharga atau dengan perantara medium pertukaran yaitu uang. Meskipun semua barang dalam semua sistem ekonomi memiliki nilai guna dan nilai tukar, menurut Sanderson (2003: 112), sistem ekonomi itu sendiri cenderung diorganisasi, terutama menurut salah satu dari dua jenis nilai ini. Masyarakat pra-kapitalis diorganisasikan melalui berbagai aktivitas di mana produksi barang untuk nilai guna adalah perhatian satu-satunya produsen. Dalam konteks ini, barang-barang diproduksi agar dapat dikonsumsi,
36
bukan agar dapat ditukarkan dengan barang lain. Jika jenis aktivitas ini mendominasi tindakan ekonomi, maka sistem ekonomi produksi untuk dipakai (production of use economy) dipandang berlaku. Sebaliknya ada masyarakat kapitalisme modern, produksi besar sejumlah barang ditujukan terutama untuk nilai tukarnya, untuk memperoleh sejumlah uang yang diterima produsen kapitalis atas barang yang dijual di pasar. Jelas bahwa barang-barang yang dipertukarkan tersebut memiliki nilai guna, jika tidak maka tidak akan ada orang yang akan membeli barang tersebut. 1.5.3.2. Distribusi Para ahli ekonomi klasik menjelaskan distribusi sebagai alokasi nilai-nilai langka yang dikaitkan dengan pertukaran sosial. Nilai-nilai langka biasanya dihubungkan dengan tenaga kerja, kapital, tanah, teknologi dan organisasi sehingga barang dan jasa juga menjadi bernilai langka. Dengan kata lain, sesuatu yang memiliki nilai-nilai langka, biasanya dalam bentuk barang dan jasa, memperoleh nilai kelangkaan tersebut karena dikaitkan dengan akivitas yang berhubungan dengan tenaga kerja, kapital, tanah, atau organisasi. Karena nilai kelangkaan dari sesuatu tersebut maka butuh atau perlu untuk dialokasikan melalui proses pertukaran. Proses pertukaran tersebut dilakukan melalui pasar. Proses yang dikatakan ekonomi tersebut terjadi dalam suatu jaringan hubungan sosial interpersonal. Jadi distribusi dapat dimengerti sebagai suatu perangkat hubungan sosial yang melaluinya orang mengalokasikan barang dan jasa yang dihasilkan. Distribusi juga menunjuk suatu proses alokasi dari produksi barang dan jasa sampai ke tangan konsumen atau proses konsumsi. Dengan
37
demikian, distribusi merupakan proses yang mengantarai produksi barang dan jasa dengan proses konsumsinya. 1.5.3.2. Konsumsi Menurut Don Slater (1997 dalam Sanderson, 2003: 117), konsumsi adalah bagaimana manusia dan aktor sosial dengan kebutuhan yang dimilikinya berhubungan dengan sesuatu (dalam hal ini material, barang simbolik, dan jasa) yang dapat memuaskan mereka. Berhubungan dengan sesuatu yang dapat memuaskan mereka dapat dilakukan dengan berbagai cara seperti menikmati, menonton, melihat, menghabiskan, mendengar, memperhatikan, dan lainnya. Apa yang dijelaskan oleh Slater tersebut, maka konsumsi mengacu kepada seluruh aktifitas sosial yang orang lakukan sehingga bisa dipakai untuk mencirikan dan mengenali mereka di samping apa yang mereka lakukan untuk hidup. Dengan demikian tindakan konsumsi tidak hanya dipahami sebagai makan, minum, sandang dan papan saja, tetapi juga harus dipahami dalam berbagai fenomena dan kenyataan berikut: menggunakan waktu luang, mendengar radio, menggunakan teknologi internet, membeli komputer, membeli voucher, dan lain sebagainya. Marx, menurut Ritzer (2004) ternyata banyak membahas konsumsi, khususnya dalam karyanya tentang komoditas. Dalam membahas komoditas, Marx membedakan antara alat-alat produksi dan alat-alat konsumsi. Perbedaan tersebut tergantung pada apakah kegiatan itu berhubungan dengan produksi atau tidak. Oleh sebab itu, Marx mendefiniskan alat-alat produksi sebagai komoditas yang memiliki suatu bentuk di mana komoditas memasuki konsumsi produktif (1891: 471). Sedangkan alat-alat konsumsi didefinisikan sebagai komoditas yang
38
memiliki suatu bentuk di mana komoditas itu memasuki konsumsi individual dari kelas kapitalis dan pekerja. Konsekuensi
logis
dari
pembagian
tersebut
di
atas
adalah
pengklasifikasian jenis konsumsi, yaitu konsumsi subsistensi dan konsumsi mewah. Konsumsi subsistensi merupakan alat-alat konsumsi yang diperlukan atau yang memasuki kelas pekerja. Dengan demikian, semua alat-alat konsumsi seperti bahan kebutuhan pokok (sandang, pangan, dan papan) dipandang sebagai konsumsi subsistensi. Sedangkan konsumsi mewah adalah alat-alat konsumsi mewah, yang hanya memasuki konsumsi kelas kapitalis, yang dapat dipertukarkan hanya untuk pengeluaran dari nilai surplus yang tidak diberikan kepada pekerja. Dengan demikian semua alat-alat konsumsi seperti sedan mewah BMW atau Mercedes, rumah gedung bagaikan istana dan lainnya yang berhubungan dengan kemewahan dilihat sebagai konsumsi mewah. Kemudian pandangan Marx tentang suprastruktur sosial budaya dibangun di atas fundamen infrastruktur ekonomi merupakan sumbangan penting lainnya terhadap sosiologi konsumsi. Pandangan ini menyatakan bahwa semua institusi sosial, termasuk agama, didirikan atas dasar infrastruktur ekonomi (yaitu, alat-alat produksi dan hubungan sosial dalam produksi) dan menyesuaikan diri dengan tuntutan-tuntutan dan persyaratan yang dimiliki oleh infrastuktur ekonomi tersebut. Misalkan, apakah sama gaya hidup anda pada saat mempunyai harta kekayaan miliyaran rupiah dibandingkan dengan ketika gaji anda pas-pasan untuk hidup? Tentu tidak sama! Apa yang membuat tidak sama tersebut? Menurut Marx adalah perbedaan dalam infrastruktur ekonomi yang dimiliki. Pandangan seperti
39
ini tetap berlaku dalam hubungannya dengan konsumsi. Dengan kata lain, cara dan pola konsumsi seseorang atau suatu kelas merupakan refleksi dari basis infrastruktur ekonominya.
1.6. Metode Penelitian Sebagai upaya menjawab permasalahan peneliti terkait dengan studi tentang pembentukan identitas baru masyarakat Kampung Digital di Samirono Depok Sleman Yogyakarta, maka peneliti menggunakan metode penelitian secara kualitatif. Penggunaan penelitian kualitatif merupakan bentuk proposi yang dapat digunakan untuk menjelaskan makna dibalik sebuah fenomena sosial. Metode penelitian yang digunakan oleh peneliti meliputi: 1). Pendekatan penelitian, 2). Unit analisis, 3). Teknik pengumpulan data serta 4). Analisis data untuk menghasilkan kesimpulan. 1.6.1. Pendekatan Penelitian Sebagai
upaya
untuk
menjawab
masalah
penelitian,
peneliti
menggunakan strategi penelitian melalui pendekatan fenomenologi. Alfred Schutz (dikutip oleh Denzin dan Lincoln, 2009: 336) menjelaskan bahwa pendekatan fenomenologi berfungsi untuk merumuskan ilmu sosial yang mampu menafsirkan dan menjelaskan pengetahuan yang merupakan (taken for granted) dan dimaknai oleh individu. Penafsiran tersebut dilalui dengan cara menggambarkan struktur-struktur dasar mengenai realitas yang dialami dan dirasakan oleh setiap orang yang berpegang teguh pada sikap alamiah. Hal ini dikarenakan pemikiran manusia menghasilkan kesadaran constitutive maupun
40
kesadaran reconstutive yang dibentuk tidak secara kebetulan, melainkan dipengaruhi oleh kondisi lingkungan. Begitu pula kesadaran mengenai Kampung Digital, keberadaannya bukan terjadi secara kebetulan, melainkan dibentuk secara sosial. Dengan cara mengkonseptualisasikan kenyataan sebagai gambaran realitas yang utuh dan holistik. Upaya konseptualisasi dilakukan dengan memusatkan perhatian mengenai konstruksi sosial dalam hal ini identitas kampung digital ditinjau dari sejarah, pengetahuan, kesadaran dan tindakan subyektif serta pengalaman kehidupan sosial sehari-hari individu sebagai subyek sekaligus objek penelitian. 1.6.2. Unit Analisis Dalam penelitian ini, penentuan unit analisis dimaksudkan agar dapat memfokuskan kajian penelitian. Objek yang dipilih ditentukan sesuai dengan kriteria yang digunakan untuk menjawab permasalahan penelitian. Dalam penelitian kualitatif, unit analisis menempati posisi sebagai sumber data yang menghadirkan manusia sebagai informan dan narasumber dalam penelitian. Sehingga manusia memiliki peran yang sangat penting sebagai individu yang memiliki informasi dan data yang dibutuhkan oleh peneliti guna menjawab permasalahan penelitian. Dalam pelaksanaannya, peneliti dan narasumber disini memiliki posisi yang sama. Narasumber bukan sekedar memberikan tanggapan pada apa yang diminta peneliti, tetapi ia bisa lebih memilih arah dan selera dalam menyajikan informasi yang ia miliki kepada peneliti selama proses pengumpulan data. Dalam penelitian ini subyek penelitian terdiri dari beberapa informan, sebagai berikut:
41
a. Kepala Dukuh kampung Samirono yang merupakan berperan sebagai informan untuk penggalian informasi yang akan dilakukan oleh peneliti. b. Ketua RT di wilayah kampung Samirono c. Penduduk yang meliputi; penduduk Samirono dan penduduk pendatang di kampung Samirono d. Tokoh masyarakat di kampung Samirono e. Tokoh Agama di kampung Samirono f. Ketua divisi wifi.id telkom cabang Yogyakarta. 1.6.3. Teknik Penentuan Informan Subyek penelitian dilakukan ketika peneliti mulai masuk ke lapangan dan selama melakukan proses penelitian. Dalam menentukan subyek penelitian, peneliti menggunakan teknik purposive sampling dan snowball sampling. Teknik purposive dan snowball sampling dapat dilihat pada skema berikut: Gambar 1.2. Proses Penentuan Informan B
D
G
A
H C
E
F
Sumber: (Adaptasi dari Proses Pengambilan Sampel Menurut Sugiyono, 2002: 56) Dipilihnya teknik purposive sampling didasarkan pada kecenderungan peneliti untuk memilih informan yang dianggap mengetahui informasi dan permasalahan yang diteliti secara mendalam. Sehingga mampu menjadi key informan yang dapat dipercaya untuk menjadi sumber data. Ketika peneliti
42
memulai mencari data di lapangan, peneliti langsung menemui orang yang mempunyai otoritas di kampung Samirono yakni kepala Dukuh. Setelah menemui beliau, peneliti diberi rekomendasi untuk menemui juga tokoh-tokoh masyarakat maupun agama di Samirono. Setelah dapat rekomendasi dari kepala Dukuh, peneliti langsung menemuinya, dan tidak luput dari apa yang direkomendasikan untuk mendapatkan informasi lebih dari masyarakat setempat yang sudah direkomendasikan dan itu dilakukan secara terus-menerus. Selain purposive sampling, peneliti juga menggunakan teknik snowball sampling sebagai teknik tambahan, dimana teknik ini didasarkan pada upaya pengambilan informan secara bebas pada siapapun yang ditemui di lapangan. Di mana peneliti akan mencari informasi dari orang yang dianggap mengetahui informasi yang lebih jelas atas dasar rekomendasi dari informan sebelumnya. Teknik pengambilan sampel dengan cara ini memuat unsur jumlah yang sedikit dan lama-lama menjadi besar (Sugiyono, 2009: 54). Menurut Creswell (dalam Sugiyono, 2009: 63) bahwa dalam penelitian fenomenologi jumlah informan yang diharapkan berkisar sekitar 5-25 orang, agar dapat mengungkapkan makna dibalik fenomena yang ada (Kuswarno, 2009: 57). Dalam penelitian ini, informan yang digunakan sebanyak 15 orang yang terdiri dari Kepala Dukuh 1 orang, pengurus padukuhan 1 orang, Ketua RT 1 orang, tokoh masyarakat 2 orang, tokoh agama 1 orang, warga pribumi 5 orang, warga pendatang 3 orang, dan ketua wifi.id telkom cabang Yogyakarta 1 orang. Meski demikian, jumlah informan sebagai sumber data tidak dapat ditentukan banyaknya. Namun lebih didasarkan pada pertimbangan pada kedalaman data dan banyaknya informasi
43
yang dapat diperoleh. 1.6.4. Sumber Data Sumber data merupakan komponen yang penting dalam sebuah penelitian kualitatif. Sumber data dalam penelitian ini terbagi menjadi dua kategori yang meliputi: sumber data primer dan sumber data sekunder. Sumber data primer dalam penelitian ini menitikberatkan pada aspek data berupa kata-kata, tindakan serta lokasi yang ditujukan untuk menjawab permasalahan mengenai Konstruksi Identitas Kampung Digital. Kata-kata yang menjadi sumber data berasal dari informan atau narasumber ketika peneliti melakukan interaksi sosial dan wawancara mendalam. Sedangkan sumber data yang berupa tindakan dapat diamati melalui pola interaksi sosial, komunikasi sosial dan tindakan sosial dari warga kampung digital Samirono dalam kehidupan sehari-harinya. Sedangkan sumber data sekunder dalam penelitian ini berasal dari data yang tertulis dan dokumentasi baik melalui foto maupun video yang memiliki keterkaitan dengan fokus masalah penelitian. Dokumentasi sebagai sumber data sekunder menjadi salah satu penunjang guna mendapatkan gambaran secara utuh dalam proses penelitian yang dilakukan oleh peneliti. Sumber data sekunder yang dibutuhkan oleh peneliti meliputi beberapa hal yaitu: informasi secara lengkap mengenai keadaan geografis wilayah penelitian, kondisi sosiologis masyarakat di kampung Samirono, dokumentasi tertulis. 1.6.5. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data menjadi komponen penting sebagai upaya
44
untuk mendapatkan data yang berguna menjawab permasalahan penelitian. Teknik pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini, meliputi tiga hal berikut: 1.6.5.1. Wawancara Proses pengumpulan data dilakukan oleh peneliti melalui wawancara mendalam (indepth interview). Wawancara mendalam melibatkan proses percakapan dengan maksud dan tujuan tertentu. Seperti yang diungkapkan oleh Esterberg (2002 dalam Sugiyono, 2009: 72) bahwa “interview is a meeting or two persons to exchange information and idea through question and responses, resulting in communication and joint construction or meeting about a particular topic”. Dalam pertemuan yang akan dilakukan dengan informan, peneliti akan menghasilkan proses pertukaran informasi melalui respon-respon terhadap ide dari informan tersebut. Sehingga menghasilkan pemahaman mengenai topik yang tengah diperbincangkan. Pada pelaksanaannya, peneliti menggunakan wawancara semi struktur, artinya peneliti dapat melakukan wawancara secara bebas umum dan tetap mengacu pada pedoman wawancara yang telah disusun melalui question research. Melalui wawancara yang dilakukan, informan diharapkan bercerita sekaligus menjelaskan mengenai pendapat, ide dan gagasan yang dapat didengarkan kemudian dapat dicatat menggunakan buku catatan atau direkam menggunakan tape recorder oleh peneliti. Meski demikian, proses wawancara yang dilakukan dapat berkembang seiring kedalaman informasi yang nantinya diperoleh oleh peneliti.
45
1.6.5.2. Observasi Disamping wawancara, teknik pengumpulan data yang dipergunakan oleh peneliti ialah melalui observasi. Menurut H.B Sutopo (2002: 64) teknik observasi digunakan untuk menggali data berupa peristiwa, perilaku dan kegiatan informan, tempat atau lokasi serta benda ataupun rekaman gambar. Mengacu dengan hal tersebut, proses observasi dilakukan melalui pengamatan yang sifatnya berkesinambungan. Sebagai upaya penggalian data, proses observasi yang dilakukan dalam penelitian ini ialah observasi aktif atau yang dikenal sebagai participant as observer yang mana peneliti memberitahukan maksud dan tujuan penelitian kepada kelompok yang diteliti. Spradley yang dikutip dalam H.B Sutopo (2002: 65-69) menjelaskan bahwa observasi dapat dibagi menjadi observasi tak berperan sama sekali dan observasi berperan yang terdiri dari: berperan pasif, berperan aktif dan berperan penuh. Dipilihnya observasi berperan aktif didasarkan pada suatu cara khusus dan keadaan lingkungan di Kampung Samirono. Sehingga penelitian tidak hanya diam dan bersikap pasif sebagaimana pengamat biasa. Pada
kondisi
tertentu,
peneliti
akan
memainkan
peran
yang
dimungkinkan ketika berada pada situasi yang memiliki kaitan dengan penelitian. Misalnya: terlibat dalam aktivitas informan. Hal ini menjadi bentuk pertimbangan agar peneliti dapat memperoleh akses untuk pengumpulan data. Tidak hanya itu saja, dalam proses observasi yang dilakukan, peneliti harus memperoleh “perasaan terlibat” (Salim, 2006: 14). Artinya ada dermagasi dan
46
batasan tegas yang perlu dibuat oleh peneliti agar tidak larut dalam wadah peristiwa yang tak berkaitan dengan permasalahan penelitian. 1.6.5.3. Analisis Dokumen Pada proses penelitian ini, teknik pengumpulan data juga dilakukan melalui analisis dokumen. Menurut Sugiyono (2009: 82) dokumen dapat berupa catatan peristiwa yang sudah berlalu maupun sedang terjadi, misalnya: tulisan, gambar, karya seseorang, bahan tertulis maupun rekaman dari tape recorder yang merekam percakapan pada saat proses wawancara antara peneliti dan informan. Dalam penelitian ini, peneliti menganalisis dokumen yang diperoleh melalui tulisan mengenai kampung Samirono, foto, dan tape recorder yang digunakan oleh peneliti pada saat proses wawancara berlangsung. Hemat peneliti, teknik pengumpulan data berupa analisis dokumen dapat menjadi salah satu pelengkap untuk memperoleh data penelitian, di samping wawancara dan observasi.
1.6.6. Teknik Analisis Data Analisis data dalam penelitian ini dilakukan secara bersamaan dengan kegiatan pengumpulan data lainnya, yakni pada saat wawancara mendalam (indepth interview), observasi, serta analisis dokumen. Peneliti menggunakan teknik analisis data kualitatif interaktif. Menurut Miles dan Haberman (1992: 16-20)
teknik
analisis
data
perlu
dilaksanakan
secara
interaktif,
berkesinambungan dan berlangsung terus menerus hingga data dapat dikatakan jenuh dan tuntas. Dengan demikian, proses tersebut akan berlangsung secara
47
berkesinambungan. Sehingga memperoleh data yang merupakan sasaran penelitian. Dalam model analisa interaktif tersebut terdapat tiga jenis kegiatan analisis yang saling susul menyusul dan dilakukan secara berkesinambungan. Kegiatan tersebut meliputi hal-hal berikut: 1.6.6.1. Reduksi Data Dalam melakukan analisis data, langkah pertama yang akan dilakukan oleh peneliti ialah reduksi data. Reduksi data merupakan bagian dari teknik analisis data yang dilakukan dengan memilih hal pokok untuk menjawab masalah penelitian agar tetap fokus sehingga ditemukan pola dari penelitian yang dilakukan. Dalam melakukan reduksi data, peneliti melakukan proses pengorganisasian data, pengelompokkan data berdasarkan pola jawaban yang diperoleh selama melakukan penelitian, baik melalui pengumpulan data dengan wawancara mendalam (indepth interview), pengamatan, maupun analisis dokumen. Proses pengelompokkan dan pengorganisasian data dilakukan dengan mengkode, mengkategorikan data yang penting dan yang tidak penting secara detail. Hal ini dilakukan karena data yang nantinya diperoleh dari lapangan jumlah banyak, kompleks dan belum memiliki pola yang tetap. Melalui proses reduksi data, peneliti mendapatkan ringkasan serta gambaran secara
jelas
mengenai
data-data
yang
dibutuhkan
untuk
menjawab
permasalahan penelitian. 1.6.6.2. Penyajian Data Setelah melakukan reduksi data, proses selanjutnya ialah penyajian data yang dilakukan dalam bentuk uraian singkat, serta menghubungkan
48
kategori-kategori tertentu yang ditemukan selama melakukan penelitian di lapangan. Sehingga diperoleh kumpulan informasi yang tersusun secara deskriptif yang digunakan untuk melakukan penarikan kesimpulan. Selanjutnya, peneliti menyajikan data yang diperoleh dalam bentuk teks naratif. Dengan langkah penyajian data ini, memudahkan peneliti untuk memahami apa yang terjadi, merencanakan langkah selanjutnya setelah menemukan data muncul di lapangan untuk menjawab permasalahan penelitian. 1.6.6.3. Penarikan Kesimpulan atau Verifikasi Langkah dalam teknik analisis data berikutnya ialah verifikasi. Verifikasi merupakan proses penarikan kesimpulan yang sifatnya masih terkategori sementara serta dapat berubah mengikuti perkembangan temuan data selanjutnya. Mengingat dalam penelitian kualitatif, data yang didapatkan bisa saja bertambah, maka dalam penarikan kesimpulan, peneliti melakukan kegiatan pengumpulan data secara continue, sehingga dapat tercatat serta dimaknai secara menyeluruh. Sehingga diperoleh pola-pola, penjelasan, serta dapat menganalisis hal-hal yang menjadi sebab-akibat dari temuan data yang didapatkan di lapangan. Disamping itu, untuk memperoleh validitas data maka penelitian didasarkan pada tingkat kepercayaan dengan menggunakan langkah sebagai berikut: 1) Meningkatkan ketekunan dalam proses pengamatan. Hal ini dilakukan dengan memperpanjang keikutsertaan peneliti dalam pengumpulan data yang terjadi di lapangan. Intensitas keterlibatan peneliti akan membantu meningkatkan kepercayaan data yang dikumpulkan sebagai upaya validitas
49
data. 2) Melakukan proses wawancara dan observasi sesering mungkin. Sehingga peneliti diharapkan dapat mendalami fenomena sosial yang tengah terjadi. 3) Dalam penarikan kesimpulan, peneliti merefleksi kembali apa-apa saja yang telah dilakukan selama melakukan penelitian di lapangan. Refleksi dilakukan melalui mekanisme triangulasi dengan tujuan untuk menguji keabsahan data agar dapat dikatakan valid. Penggunaan teknik triangulasi sebagai upaya memvaliditas data. Triangulasi merupakan proses untuk mengecek kebenaran data dari berbagai sumber. Berikut ini gambar skema proses analisis data: Gambar 1.3 Skema Analisis Data
Masalah Penelitian
Wawancara Observasi Analisis Data
Deskripsi Masalah Penelitian
Membuat Catatan Lapangan
Pengumpulan Data
Penyajian Data
Membuat Catatan Lapangan Reduksi Data Triangulasi Data
Penarikan Kesimpulan dan Verifikasi Sumber: Modifikasi dari Pemikiran Miles B Matthew, A. Michael, Huberman. 1992. Analisis Data Kualitatif. Jakarta: UI Press. Hal. 20.
50
Pada prakteknya, triangulasi dapat dilakukan atas dasar sumber data, teknik pengambilan data (metode), waktu serta teori pendukung. Pertama, hal yang dilakukan oleh peneliti ialah melakukan cross check ulang pada data yang telah didapatkan sebelumnya untuk dibuktikan kebenarannya. Kedua, cross check ulang antara data wawancara dengan data observasi, maupun data wawancara dengan dokumen yang terkait serta dengan narasumber lain. Disamping itu, triangulasi teori dilakukan dengan menggunakan perspektif lebih dari satu teori dalam membahas masalah penelitian yang tengah dikaji. Dengan demikian, dapat diperoleh variasi informasi yang lebih luas serta memperoleh kesimpulan yang valid.