BAB I PENDAHULUAN A.
Latar Belakang Penelitian Luasnya wilayah Indonesia dan kondisinya yang demikian beragam,
merupakan keadaan yang berada diluar batas kapasitas Pemerintah Pusat untuk mengelolanya secara efesien. Indonesia yang sedemikian luas wilayahnya dan beraneka kondisinya, maka pengelolaan dari pelayanan-pelayanan yang berkaitan dengan kesejahteraan rakyat itu memang harus tetap terdesentralisasi. Sebab penjabaran dari urusan-urusan tersebut dalam aneka jenis pelayanan, merupakan sesuatu yang fundamental bagi kesejahteraan hidup penduduk Indonesia. Pemerintahan Daerah telah memberikan pemikiran kedepan bahwa daerah memperoleh kewenangan yang sangat luas tetapi harus diletakan dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia.Pemerintah Pusat menerapkan otonomi daerah tanpa menghilangkan peran kewilayahan termasuk didalamnya pembinaan wilayah, dalam arti bahwa tugas-tugas pemerintah pusat dilaksanakan pula oleh daerah otonom, jelasnya pemerintah pusat mendelegasikan aspek pembinaan wilayah kepada daerah otonom dan pertanggungjawabannya melampaui kewenangan daerah otonom itu sendiri, walaupun pada prinsipnya tugas pembinaan wilayah adalah untuk kesejahteraan daerah itu sendiri tetapi sebagai suatu negara kesatuan, Pemerintah Pusat wajib mengontrol daerah sebagai subsistem nasional sehingga identitas kebangsaan tidak mengalami pembiasan dalam wilayah itu sendiri.
1
2
Pelaksanaan otonomi daerah tidak secara otomatis mengeliminasikan tugas,peran,dan tanggungjawab Pemerintah Pusat. Otonomi daerah bukan berarti tanpa batas, oleh karena itu sebagai perwujudan dari semangat Undang-Undang Dasar 1945 eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia perlu dipertahankan dalam arti bahwa semangat otonomi daerah terus dimantapkan tanpa harus mengorbankan persatuan dan kesatuan nasional dan perwujudan negara Indonesia sebagai suatu entitas ideologi,politik,sosial, budaya, dan pertahanan keamanan1. Menurut konteks ini maka urgensi perlunya pengaturan pembinaan wilayah perlu dikedepankan mengingat kesadaran suatu bangsa dan negara perlu diaplikasikan dalam fungsi-fungsi pemerintahan sebagai perekat keutuhan bangsa, oleh karena itu aspek pembinaan wilayah perlu dilegalisasi sebagai dasar dalam menerapkan tugas-tugas pemerintahan umum, yang mana bukan merupakan hal baru dalam fungsi pemerintahan. Pembinaan wilayah sebagai suatu kegiatan adalah merupakan refleksi dari tugas-tugas pemerintahan umum yang termanifestasi dalam unit administrasi dan fungsi yang dijalankannya, hal yang berkaitan dengan hubungan antara pelaksanaan pemerintahan umum itu dengan otonomi dari daerah adalah keseimbangan yang menuntut pengetahuan tentang seberapa jauh dekosentrasi itu dapat dilaksanakan sampai batas dimana pelaksanaan desentralisasi tidak dirugikan , melainkan justru diuntungkan demikian pula halnya bahwa bagaimana mencari
keseimbangan
antara
pelaksanaan
asas
desentralisasi
dengan
dekonsentrasi dalam suatu titik imbang yang memungkinkan efisiensi dan 1
J.Kaloh, Mencari Bentuk Otonomi Daerah, PT Rineka Cipta, Jakarta, 2007, hlm. 209.
3
efektifitas dalam pelayanan kepada masyarakat, karena pada dasarnya desentralisasi dan otonomi daerah adalah semata-mata instrumen untuk mencapai tujuan dan bukan tujuan itu sendiri, sehingga ketika kewenangan daerah menjadi sangat besar, adanya organisasi yang dibangun sesuai kepentingan dan kebutuhan daerah, adanya sumber keuangan, personel, peralatan, dan dokumentasi yang sepenuhnya diatur oleh daerah, maka permasalahannya terletak pada bagaimana menejemen pemerintahan daerah sehingga tujuan akhir, yaitu kesejahteraan masyarakat akan mengalami peningkatan2. Desa yang otonom akan memberi ruang gerak yang luas pada perencanaan pembangunan yang merupakan kebutuhan masyarakat dan tidak terbebani oleh program-program kerja dari berbagai instansi pemerintah, apabila otonomi Desa dapat benar-benar optimal maka tidak akan terjadi urbanisasi tenaga kerja potensial ke kota untuk menyerbu lapangan kerja di sektor-sektor informal. Pembangunan Desa dilaksanakan dengan konsep Pemberdayaan Masyarakat Desa dengan tujuan mengembangkan kemandirian dan kesejahteraan masyarakat dengan meningkatkan pengetahuan, sikap, keterampilan, perilaku, kemampuan, kesadaran, serta memanfaatkan sumber daya melalui penetapan kebijakan, program, kegiatan, dan pendampingan yang sesuai dengan esensi masalah dan prioritas kebutuhan masyarakat Desa. Pemberdayaan masyarakat Desa dilaksanakan dengan
pendampingan
dalam
perencanaan,
pelaksanaan,
dan
pemantauan
pembangunan Desa dan kawasan Perdesaan3. Pendampingan Desa adalah kegiatan 2 3
Desa
Ibid, Hlm. 206. Republik Indonesia, Ayat 4 Pasal 112 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang
4
untuk melakukan tindakan pemberdayaan masyarakat
melalui asistensi,
pengorganisasian, pengarahan dan fasilitasi Desa 4. Dalam upaya peningkatan kualitas hidup dan kehidupan untuk sebesar-besarnya kesejahteraan masyarakat desa5. Pemerintah Desa6dalam konsep otonomi dapat menyusun dan menetapkan peraturan desa sebagai dasar untuk mengurus urusan masyarakat khususnya halhal yang menjadi kewenangan desa 7 berdasarkan hak asal-usul maupun kewenangan lokal berskala Desa. Pengelolaan kewenangan desa ini dilakukan dalam kerangka tata pemerintahan Desa yang dikelola sendiri oleh masyarakat itu sendiri . Pasal 112 Ayat 3Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014 tentangDesa telah memandatkan bahwa Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten atau Kota memberdayakan masyarakat Desa dengan : 1. Menerapkan hasil pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, teknologi tepat guna, dan temuan baru untuk kemajuan ekonomi dan pertanian masyarakat Desa; 2. meningkatkan kualitas pemerintahan dan masyarakat Desa melalui pendidikan, pelatihan, dan penyuluhan; dan 3. Mengakui dan memfungsikan institusi asli dan/atau yang sudah ada di masyarakat Desa. 4
Republik Indonesia, Ayat 14 Pasal 1 Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, Dan Transmigrasi Nomor 3 Tahun 2015 Tentang Pendampingan Desa 5 Republik Indonesia, Ayat 8 Pasal 1 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa 6 Republik Indonesia, Ayat 3 Pasal 1 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa 7 Republik Indonesia, Pasal 19 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa
5
Kehadiran Undang-undang Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa memberikan harapan sekaligus tantangan baru bagi Desa. Dalam undang-undang tersebut pemberdayaanmenjadi sebuah misi, tujuan, asas dan agenda kebijakan yang secara prinsip diwujudkandengan mengakui dan menetapkan kewenangan desa, sementara pemerintah berkewajibanmenjamin agar desa mampu melaksanakan upaya pemberdayaan, pembinaan danpengawasan. Seperti yang tertuangdalam Pasal 112 Ayat 1 Undang-undang Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa,pemerintah, pemerintahan daerahprovinsi, dan pemerintah daerah kabupaten atau kota bertugas untuk membina dan mengawasi penyelenggaraanpemerintahan desa. Yang artinya desa haruslah mendapatkan bimbingan,
pembinaan,
sertapengawasan
didalam
menyelenggarakan
pemerintahan, pembangunan dan pelayanannyaterhadap masyarakat sekaligus memberdayakan masyarakat itu sendiri. Tanggungjawab Pemerintah daerah pun turut ditegaskan pada Pasal 126 dan Pasal 128 padaPeraturan Pemerintah No. 43 tahun 2014 tentang Pemberdayaan dan Pendampingan Masyarakat Desa. Pemberdayaan masyarakat yang dimaksud, bertujuan untuk memampukan Desa didalam melakukan aksi bersama sebagai suatu kesatuan tata kelola pemerintahan Desa, lembaga masyarakat Desa, adat, ekonomi dan lingkungan yangdilakukan dengan pendampingan secara berjenjang sesuai dengan kebutuhan. Konsepsi pendampingan Desa ini, lebih lanjut dijabarkan dalam Peraturan Pemerintah No.43 tahun 2014 Tentang Peraturan pelaksana Undang-Undang Desa
6
Pasal 128 sampai dengan Pasal 131 dengan sub paragraf Pendampingan Masyarakat Desa. Hal-hal baru yang diatur dalam pasal pendampingan antara lain : 1. Tugas pendampingan menjadi tugas dari jenjang pemerintah disemua level, mulai dari pemerintah pusat, pemerintah provinsi hingga pemerintah
kabupaten.
Namun
pendampingan
langsung
atau
pendampingan teknis hanya menjadi tugas satuan kerja perangkat daerah kabupaten sebagai wilayah otonom terdekat dengan desa . Camat sebagai kepanjangan
tangan
dari
pemerintah
kabupaten,
bertugas
mengkoordinasikan pendampingan masyarakat desa di wilayah kerjanya. Dengan demikian, jika sebelumnya makna pendampingan identik dengan tugas dari tenaga pendamping profesional atau fasilitator, maka sekarang pendampingan masyarakat desa menjadi tugas dari pemerintah disemua level.
Dalam menjalankan tugas pendampingan, aparatur pemerintah
tentu juga memposisikan diri sebagai fasilitator. Istilah fasilitator kemudian mengalami perluasan makna menjadi Fasilitator pemberdayaan masyarakat. 2. Fasilitator pemberdayaan masyarakat dipertegas sebutannya sebagai tenaga pendamping profesional yang terbagi atas pendamping desa, pendamping teknis dan tenaga ahli pemberdayaan masyarakat. Tidak disebut sebagai fasilitator, karena fungsi fasilitator bisa diperankan siapa saja termasuk pemerintah. Tenaga pendamping profesional bertugas membantu peran pendampingan masyarakat desa yang menjadi tugas dari
7
pemerintah. Jika ternyata pemerintah melalui satuan kerja perangkat daerah, dinilai sudah mampu dari sisi kualitas dan kuantitasmemposisikan diri sebagai fasilitator,
maka
keberadaan tenaga
pendamping profesional ini tidak diperlukan lagi. 3. Tenaga Pendamping Profesional yang boleh direkrut untuk membantu tugas pendampingan masyarakat desa hanyalah mereka yang memiliki sertifikasi kompetensi. Saat ini satu-satunya lembaga sertifikasi profesi itu adalah Lembaga Sertifikasi Profesi Fasilitator Pemberdayaan Masyarakat yang berdiri atas prakarsa asosiasi profesi, pemerintah dan perguruan tinggi. Sayangnya Tempat Uji Kompetensi Lembaga Sertifikasi Profesi Fasilitator Pemberdayaan Masyarakat ini masih sangat terbatas. 4. Istilah Pendamping desa bukanlah dimaksudkan untuk membatasi wilayah tugas pendamping, melainkan sebagai sebutan bagi pendamping yang direkrut untuk mengawal implementasi Undang-Undang Desa. Pendamping dilevel Desa tetap dipegang oleh kader pemberdayaan masyarakat.Dengan demikian, dalam satu kecamatan bisa saja hanya akan ada 2 orang pendamping Desa atau menyesuaikan dengan jumlah desa dalam kecamatan terkait. Bukan setiap desa harus ada pendamping desa. Jika ada asumsi bahwa pendamping desa itu hanya mendampingi satu desa, tentu akan tumpang tindih dengan tugas Kader Pemberdayaan Masyarakat Desa.Sedangkan pendamping teknis adalah pendamping yang secara khusus bertugas mendampingi Desa dalam kaitannya
8
pelaksanaan program yang menjadikan Desa sebagai sasarannya. Contoh Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat8. 5. Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten punya hak mengadakan
tenaga
pendamping
profesional.
Hak
ini,
dalam
pelaksanaannya tentu disesuaikan dengan kebutuhan dan kemampuan keuangan yang dimiliki Jika yang melakukan rekrutmen pendamping adalah pemerintah, maka biaya pengadaan dan penggajian pendamping berasal dari dipa kementerian. Demikian juga provinsi dan kabupaten, maka dipa berasal dari anggaran satuan kerja perangkat daerah terkait. Sedangkan dana Desa hanya bisa dipakai untuk melakukan pengadaan dan
operasional
dari
Kader
Pemberdayaan
Masyarakat
Desa.
Pendamping desa atau pendamping teknis tidak bisa digaji dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa, melainkan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan Belanja Daerah. 6. Kementerian
Dalam
Negeri
berkewajiban
menyusun
Pedoman
pendampingan desa sebagai Standar Operasional Pelayanan pengelolaan pendamping yang akan dipakai oleh pemerintah dan pemerintah daerah dalam mengelola tenaga pendamping profesional. Selain itu, pemerintah daerah didalam melaksanakan pemberdayaan dan pendampinganatau secara normatif adalah pembinaan dan pengawasan dapat mendelegasikannyakepada perangkat daerah9.
8
Republik Indonesia, Peraturan Presiden Nomor.10 Tahun 2010 tentang Percepatan Penanggulangan Kemiskinan.
9
Dengan kata lain, pemberdayaan masyarakat yang dilakukandengan cara pendampingan masyarakat, secara teknis dilaksanakan oleh satuan kerjaperangkat daerah , yang dibantu oleh tenaga pendamping profesional, kaderpemberdayaan masyarakat desa dan atau pihak ketiga 10. Menurut
Pasal 126
Ayat
1
Peraturan Pemerintah
No.43 tahun
2014,Pemberdayaan masyarakat Desa bertujuan memampukan Desa dalam melakukan aksi bersama sebagai suatu kesatuan tata kelola Pemerintahan Desa, kesatuan tata kelola lembaga kemasyarakatan Desa dan lembaga adat, serta kesatuan tata ekonomi dan lingkungan. Merumuskan tujuan Pemberdayaan masyarakat Desa adalah untuk memampukanDesa dalam melakukan aksi bersama sebagai suatu kesatuan tata kelola Pemerintahan Desa, kesatuan tata kelola lembaga kemasyarakatan Desa dan lembaga adat, serta kesatuan tata ekonomi dan lingkungan. Dengan tujuan seperti itu, pendamping Desa akan menghadapi tantangan yang lebih kompleks dibandingkan dengan pendamping teknis. Pendamping teknis seperti Fasilitator Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat, selama ini hanya bersinggungan dengan sisi luar aktifitas pemerintahan desa. Penyusunan perencanaan pembangunan desa hanya selesai sampai tahap formalisasi Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa dan Rencana
Kerja Pembangunan Desa.
Sampai disini,
Program Nasional
Pemberdayaan Masyarakat dan desa berjalan sendiri-sendiri. Tidak pernah ada
9
Republik Indonesia, Ayat 2 Pasal 112 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang
Desa 10
Dalam Pasal 4 Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal Dan Transmigrasi Nomor 3 Tahun 2015 Tentang Pendampingan Desa
10
singkronisasi rencana kerja anggaran pembangunan desa melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa11. Ketika pada saat selesainya penganggaran di Musyawarah Antar Desa Penetapan Usulan, Fasilitator Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat juga hanya fokus pada kegiatan yang didanai Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat. Begitu juga pemantauan Tim Monitoring juga hanya fokus pada kegiatan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat. Tidak pernah ada pengawasan terpadu atas pelaksanaan pembangunan di desa, fasilitator Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat memang tidak bisa masuk terlalu jauh ke dalam sistem pemerintahan Desa karena itu tidak diperintahkan Petunjuk Teknis Oprasional. Konsep integrasi juga hanya sampai pada dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa dan Rencana Kerja Pembangunan Desa. Upaya mengawal penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa seperti mengorek sumber dan besaran pendapatan Desa seperti mencari masalah, apalagi mempertanyakan alokasi hingga penggunaanya. Tindakan seperti itu bagi Fasilitator Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat akan dianggap telah mengobok-obok Desa. Begitulah keterbatasan wewenang
pendamping
teknis.
Berbeda
dengan
pendamping Desa.
11
Rabiah Awadiyah, Arah Pendampingan Desa, Forum BKAD PNPM Mpd Kabupaten Pati,ttps://www.facebook.com/permalink.php?id=357520247601217&story_fbid=8601321706733 53, Diaksess 6 April 2015 pukul 23.00 WIB.
11
Pendamping Desa akan jauh melampaui Fasilitator Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat. Mereka nantinya harus masuk lebih jauh kedalam tatakelola
pemerintahan
Desa.
Memastikan
pemerintah
desa,
Badan
Permusyawaratan Desa, Lembaga Kemasyarakatan dan komponen desa lainnya, mengambil peran secara maksimal dalam kerangka pemberdayaan masyarakat. Pendamping
Desa
harus
mengawal
penyusunan
perencanaan
dan
penganggaran yang berpihak kepada kepentingan warga miskin, warga disabilitas, perempuan, anak, dan kelompok marginal12, Jika Pendamping Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat hanya fokus pada penganggaran Bantuan Langsung Masyarakat saja, maka pendamping Desa harus mengawal konsolidasi keuangan desa melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa. Sumber pendapatan desa, mulai dari Pendapatan Asli Desa, Alokasi Dana Desa dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, Alokasi Dana Desa dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, bagi hasil pajak dan retribusi, serta berbagai sumber pendapatan lainnya harus dikelola secara transparan dan akuntabel melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa. Bukan hanya memastikan pembangunan desa dilaksanakan secara transparan dan akuntabel, namun juga penyelenggaraan pemerintahan Desa juga harus demikian. Lebih dari itu, juga harus dikembangkan sistem transparansi dan akuntabilitas tata pemerintahan desa. Terkait dengan semangat ini, komunitas Gerakan Desa Membangun telah mengawali aksi dengan meluncurkan domain
12
Republik Indonesia, Ayat 2 Pasal 127 Peraturan Pemerintah No.43 tahun 2014 Tentang Peraturan pelaksana Undang-Undang Desa
12
desa.id
yang
arahnya
menjadi
media
transparansi
dan
akuntabilitas
penyelenggaraan pemerintahan desa dan pembangunan desa. Desa mengamanatkan kepada Pemerintah dan Pemerintah Daerah untuk mengembangkan sistem informasi Desa dan pembangunan Kawasan Perdesaan, meliputi fasilitas perangkat keras dan perangkat lunak, jaringan, serta sumber daya manusia. Sistem informasi Desa dikelola oleh Pemerintah Desa dan harus memberikan akses kepada masyarakat Desa dan semua pemangku kepentingan 13. Dalam jangka panjang, penerapan teknologi informasi dan komunikasi ini dapat menjadi pintu masuk bagi penerapan e-audit dana desa. Pendamping desa juga memegang peran penting dalam mendorong pendayagunaan lembaga kemasyarakatan Desa dan lembaga adat. Bukan tugas yang mudah, karena selama ini dibanyak tempat, lembaga kemasyarakatan seakan hanya lembaga papan nama saja. Kondisi ini terjadi karena memang lembaga kemasyarakatan di desa tidak pernah mendapat sentuhan. Di Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Perdesaan, Lembaga Pemberdayaan Masyarakat, salah satu lembaga kemasyarakatan ini baru disentuh setelah konsep integrasi digaungkan pada awal 2011. Tidak kalah penting, pendamping desa juga dituntut mendorong partisipasi masyarakat dalam penyusunan kebijakan Desa yang dilakukan melalui musyawarah Desa. Kebijakan-kebijakan strategis yang berkaitan dengan desa, 13
Desa
Republik Indonesia, Ayat 5 Pasal 86 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang
13
utamanya pengelolaan pembangunan desa, harus dipertanggungjawabkan melalui musyawarah desa. Selanjutnya, Pendamping desa juga bertugas mendorong pengawasan dan pemantauan penyelenggaraan Pemerintahan desa dan pembangunan Desa yang dilakukan secara partisipatif oleh masyarakat Desa. Pengawasan secara kelembagaan menjadi tugas utama Badan Permusyawaratan Desa dan secara partisipatif menjadi hak dan kewajiban masyarakat desa. Karena itu mendorong penguatan fungsi Badan Permusyawaratan Desa sehingga otonomi desa merupakan otonomi yang asli, bulat dan utuh14. Pasal 61 Undang-Undang No.6 Tahun 2014 Tentang DesaBadan Permusyawaratan Desa berhak: 1. Mengawasi
dan
meminta
keterangan
tentang
penyelenggaraan
Pemerintahan desa kepada Pemerintah Desa. 2. Menyatakan pendapat
atas penyelenggaraan Pemerintahan Desa,
pelaksanaan Pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa, dan pemberdayaan masyarakat Desa. 3. Mendapatkan biaya operasional pelaksanaan tugas dan fungsinya dari anggaran pendapatan dan belanja Desa Hak-hak inilah yang harus dikuatkan oleh pendamping desa. Kepala desa memang pemegang kuasa atas pengelolaan keuangan desa, namun
Undang-Undang 14
Desa
juga
memberi
ruang
kepada
Badan
HAW.Widjaja, Otonomi Desa, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2012, hlm. 165.
14
Permusyawaratan Desa untuk terus terlibat dalam pengambilan keputusan strategis. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa, Rencana Kerja Pembangunan Desa dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa adalah dokumen strategis yang ditetapkan dengan melibatkan Badan Permusyawaratan Desa. Beberapa waktu sebelumnya, didalam Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat, masyarakat dididik mengawasi pelaksanaan kegiatan melalui kelembagaan program yang bernama Tim Monitoring, kemudian dikembangkan menjadi konsep Community Based Monitoring, maka Undang-Undang Desa mengembangkan konsep Community Based Monitoring meluas ke ranah penyelenggaraan pemerintahan desa. Tahap selanjutnya, pendamping desa bahkan dituntut untuk melakukan penyadaran kepada masyarakat desa akan hak dan kewajibannya sebagai warga desa. Pada tahap ini, pendamping desa harus memerankan diri sebagai community organizer yang harus jeli membaca fenomena hubungan sosial antar kelembagaan dan masyarakat. Pada akhirnya apakah Tenaga Pendamping Desa ini dapat menjadi solusi terhadap Optimalisasi pembangunan desa yang mana selama ini sudah dilaksankan oleh pendamping teknis. Berdasarkan pemaparan hal-hal di atas, maka penulis tertarik untuk mengetahuinya lebih lanjut dalam Penulisan Hukum dalam bentuk Skripsi yang berjudul :
15
“PERAN TENAGA PENDAMPING DESA MENURUT UNDANG-UNDANG NO. 6 TAHUN 2014 TENTANG DESA DALAM UPAYA OPTIMALISASI PEMBANGUNAN DESA ” B.
Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang penelitian yang telah diuraikan sebelumnya
maka dapat ditentukan pokok permasalahannya sebagai berikut : 1. Bagaimana peran tenaga pendamping Desa dalam upaya optimalisasi pembangunan Desa berdasarkan Undang-Undang No.6 Tahun 2014 Tentang Desa ? 2. Bagaimana Sistemkompetensi rekrutmen tenaga pendamping Desa dalam rangka implementasi Undang-Undang No.6 Tahun 2014 Tentang Desa ? 3. Bagaimana hambatan dan upaya tenaga pendamping Desa dalam optimalisasi pembangunan Desa berdasarkan Undang-Undang No.6 Tahun 2014 Tentang Desa ? C.
Tujuan Penelitian Tujuan penelitian dalam suatu penelitian dirumuskan dalam bentuk
pernyataan ruang lingkup dari kegiatan yang akan dilakukan berdasarkan pokok permasalahan yang telah ditentukan. Perumusan dari tujuan penelitian terbagi menjadi tujuan subyektif dan tujuan obyektif :
1. Tujuan Subyektif
16
a. Untuk mengetahui dan mengkaji peran tenaga pendamping Desa, dalam optimalisasi pembangunan Desa berdasarkan Undang-Undang No.6 Tahun 2014 Tentang Desa. b. Untuk mengetahui dan mengkaji sistem kompetensi rekrutmen tenaga pendamping Desa dalam rangka implementasi Undang-Undang No.6 Tahun 2014 Tentang Desa. c. Untuk mengetahui dan mengkaji hambatan dan upaya pendamping desa dalam optimalisasi pembangunan Desa berdasarkan UndangUndang No.6 Tahun 2014 Tentang Desa. 2. Tujuan Obyektif Untuk memperkaya pemahaman dan wawasan Hukum Administrasi Negara dalam prakteknya di Indonesia terutama bagi penulis dan pembaca pada umumnya. D.
Kegunaan Penelitian Setiap penelitian diharapkan adanya manfaat dan kegunaan yang dapat
diambil dari penelitian. Adapun manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Manfaat Teoritis a. Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan, memperluas pengetahuan
dan
memberikan
sumbangan
pemikiran
bagi
pengembangan ilmu hukum pada umunya dan Hukum Administrasi Negara pada khususnya terutama yang berhubungan dengan peran
17
tenaga pendamping Desa, dalam optimalisasi pembangunan Desa berdasarkan Undang-Undang No.6 Tahun 2014 Tentang Desa. b. Memberikan wawasan dan pengetahuan bagi penulis mengenai peran tenaga pendamping Desa, dalam optimalisasi pembangunan Desa berdasarkan Undang-Undang No.6 Tahun 2014 Tentang Desa. c. Bermanfaat sebagai bahan informasi, juga untuk menambah pembendaharaan literatur atau bahan informasi ilmiah. 2. Manfaat Praktis a. Diharapkan hasil penelitian ini dapat menambah wawasan dan pengetahuan dari segi Hukum Administrasi Negara mengenai peran tenaga pendamping Desa, dalam optimalisasi pembangunan Desa berdasarkan Undang-Undang No.6 Tahun 2014 Tentang Desa. b. Memberikan jawaban atas masalah yang diteliti. c. Guna mengembangkan penalaran dan membentuk pola pikir kritis, sekaligus untuk mengetahui kemampuan penulis dalam menerapkan ilmu yang diperoleh. d. Sebagai bahan masukan serta tambahan pengetahuan bagi para pihak yang terkait dengan masalah yang diteliti, dan berguna bagi para pihak yang berminat pada masalah yang sama. E.
Kerangka Pemikiran Menurut Pasal 1 ayat 3 Undang-undang Dasar 1945 “Negara Indonesia
adalah negara hukum”. Bersandar pada keyakinan bahwa kekuasaan negara harus dijalankan atas dasar hukum yang adil dan baik.Negara hukum memiliki dua
18
unsur yaitu hubungan antara yang memerintah dan yang diperintah tidak berdasarkan kekuasaan melainkan berdasarkan suatu norma objektif, yang juga mengikat pihak yang memerintah dan norma objektif itu harus memenuhi syarat bahwa tidak hanya secara formal melainkan dapat dipertahankan berhadapan dengan idehukum15. Perkembangan konsep negara hukum merupakan produk dari sejarah, sebab rumusan atau pengertian negara hukum itu terus berkembang mengikuti sejarah perkembangan umat manusia. Karena itu dalam rangka memahami secara tepat dan benar konsep negara hukum, perlu terlebih dahulu diketahui gambaran sejarah perkembangan pemikiran politik dan hukum, yang mendorong lahir dan berkembangnya konsepsi negara hukum16. Konsep Negara Hukum menurut Aristoteles adalah negara yang berdiri diatas hukum yang menjamin keadilan kepada warga negaranya. Keadilan merupakan syarat bagi tercapainya kebahagian hidup untuk warga negaranya, dan sebagai dasar dari pada keadilan itu perlu diajarkan rasa susila kepada setiap manusia agar ia menjadsi warga negara yang baik. Dan bagi Aristoteles yang memerintah dalam negara bukanlah manusia sebenarnya, melainkan fikiran yang adil, sedangkan penguasa sebenarnya hanya pemegang hukum dan keseimbangan saja17.
15
GeaS.Negara Hukum, Wikipedia EnsiklopediaBebas, http://id.wikipedia.org/wiki/Negara_hukum, Diaksess 7 April 2015 pukul 02.25 WIB. 16 S.F. Marbun, Negara Hukum dan Kekuasaan Kehakiman, Jurnal Hukum Ius Quia Iustum, No. 9 Vol 4 – 1997, hlm. 9. 17 Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, PSHTN FH UI dan Sinar Bakti, Jakarta, 1988, hlm. 153.
19
Di Indonesia istilah Negara Hukum, sering diterjemahkan rechtstaats atau the rule of law, pahamrechtstaats pada dasarnya bertumpu pada sistem hukum Eropa Kontinental. Ide tentang rechtstaats mulai populer pada abad ke XVII sebagai akibat dari situasi sosial politik Eropa didominir oleh absolutisme raja, Paham rechtstaats dikembangkan oleh ahli-ahli hukum Eropa Barat Kontinental seperti Immanuel Kant dan Friedrich Julius Stahl18. Sedangkan paham the rule of law mulai dikenal setelah Albert Venn Dicey pada tahun 1885 menerbitkan bukunya Introduction to Study of The Law of The Constitution. Paham the rule of law bertumpu pada sistem hukum Anglo Saxon atau Common law system. Konsepsi Negara Hukum menurut Immanuel Kant dalam bukunya Methaphysiche Ansfangsgrunde der Rechtslehre, mengemukakan mengenai konsep negara hukum liberal. Immanuel Kant mengemukakan paham negara hukum dalam arti sempit, yang menempatkan fungsi recht pada staat, hanya sebagai alat perlindungan hak-hak individual dan kekuasaan negara diartikan secara pasif, yang bertugas sebagai pemelihara ketertiban dan keamanan masyarakat.
Paham
Immanuel
Kant
ini
terkenal
dengan
sebutan
nachtwachkerstaats atau nachtwachterstaats19. Berdasarkan uraian di atas yang dimaksud dengan Negara Hukum ialah negara yang berediri di atas hukum yang menjamin keadilan kepada warga negaranya. Keadilan merupakan syarat bagi terciptanya kebahagiaan hidup untuk warga negaranya, dan sebagai dasar dari pada keadilan itu perlu diajarkan rasa 18
Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1998,
19
M. Tahir Azhary, Negara Hukum, Jakarta, Bulan Bintang, 1992, hlm. 73-74.
hlm. 57.
20
susila kepada setiap manusia agar ia menjadi warga negara yang baik. Demikian pula peraturan hukum yang sebenarnya hanya ada jika peraturan hukum itu mencerminkan keadilan bagi pergaulan hidup antar warga negaranya20. Sistem penyelengaraan pemerintahan di Indonesia berdasarkan kesisteman meliputi sistem pemerintahan pusat atau yang biasa disebut pemerintah dan sistem pemerintahan daerah, praktik penyelenggaraan pemerintahan dalam hubungan antar pemerintahan dikenal dengan konsep sentralisasi dan disentralisasi. Konsep sentralisasi menunjukan karakteristik bahwa semua kewenangan penyelengaraan pemerintahan berada di pemerintah pusat 21. Sesuai dengan Pasal 4 Undang-undang Dasar 1945 bahwa Presiden memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-undang Dasar, didalam menjalankan kewajibannya Presiden dibantu oleh Wakil Presiden, Presiden juga dibantu oleh Menteri-menteri Negara yang diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. Meskipun kedudukan Menteri tersebut tergantung dari Presiden tetapi mereka bukanlah pegawai tinggi biasa, oleh
karena
Menteri-menterilah
yang
terutama
menjalankan
kekuasaan
pemerintah ( Pouvoir Executief ) dalam praktek, sebagai pemimpin Departemen Menteri mengetahui hal-hal penting mengenai lingkungan pekerjaannya berhubung dengan hal itu Menteri mempunyai pengaruh besar dalam politik Negara. Menurut uraian diatas maka yang disebut dangan istilahPemerintah
20
Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Hukum Tata Negara Indonesia, Sinar Bakti, Jakarta, 1988, hlm., 153. 21 Siswanto Sunarno, Hukum Pemerintahan Daerah di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2006, hlm. 11.
21
Pusatialah Presiden yang dalam melakukan kewajibannya dibantu oleh Wakil Presiden dan para Menteri Negara 22. Sistem desentralisasi pemerintahan tidak pernah surut dalam teori maupun praktik penyelengaraan pemerintahan daerah dari waktu ke waktu. Desentralisasi menjadi salah satu isu besar teori pemisahan kekuasaan menurut John Locke dan Montesquieu.Menurut John Locke kekuasaan Negara dipisahkan menjadi kekuasaan Legislatif, Eksekutif, dan Federatif. Menurut Montesquieu dalam suatu sistem pemerintahan negara terdapat tiga jenis kekuasaan yang diperincinya dalam kekuasaan Eksekutif, kekuasaan Legislatif, dan Kekuasaan Yudikatif. Ajaran Montesquieu mengenai pemisahan kekuasaan negara ini lebih dikenal dengan istilah yang diberikan Immanuel Kant yaitu Trias Politica. Pemberian kewenangan kepada satuan pemerintahan yang lebih rendah dan lebih kecil merupakan sesuatu kebutuhan yang mutlak dan tidak dapat dihindari, mengingat begitu tinggi tingkat fragmentasi sosial dalam sebuah negara, maka ada hal-hal tertentu yang harus diselenggarakan secara lokal dimana pemerintah daerah akan lebih baik menyelenggarakannya ketimbang dilakukan secara nasional dalam hal ini akan berfungsi menyiapkan pedoman-pedoman umum yang dijadikan parameter bagi penyelenggaraan pemerintahan agar pemerintah daerah tidak menyimpang dari prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia23. Pemerintahan
Daerah
adalah
penyelenggaraan
urusanpemerintahan
olehpemerintah daerah dan dewanperwakilan rakyat daerah menurut asas otonomi
22
Irawan Soejito, Hubungan Pemerintah Pusat Dan Pemerintah Daerah, Bina Aksara, Jakarta, 1984, hlm. 1. 23 SyaukaniH.R, Otonomi Daerah Dalam Negara Kesatuan, PT Pustaka Pelajar,Jakarta, 2002, hlm. 21.
22
dan tugaspembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalamsistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesiasebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang DasarNegara Republik Indonesia Tahun 1945. Pemerintah
Daerah
adalah
kepala
daerah
sebagai
unsurpenyelenggaraPemerintahan Daerah yang memimpinpelaksanaan urusan pemerintahan yangmenjadikewenangan daerah otonom. Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan Pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia 24. Desentralisasi adalah penyerahan Urusan Pemerintahan oleh Pemerintah Pusat kepada daerah otonom berdasarkan Asas Otonomi 25.Dekonsentrasi adalah pelimpahan sebagian urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat kepada Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat, kepada instansi vertikal di wilayah tertentu, dan/atau kepadaGubernur dan Bupati atau Walikota sebagai penanggungjawab urusan pemerintahan umum26. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, istilah desa diartikan sebagai kesatuan wilayah yang dihuni oleh sejumlah keluarga yang mempunyai sistem pemerintahan sendiri27. Sementara itu, dalamBlack's Laws Dictionary, istilah desa (Village) diartikan sebagai " a modest assembage of houses and building for
24
Republik Indonesia, ayat 6 Pasal 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah. 25 Republik Indonesia, ayat 8 Pasal 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah. 26 Republik Indonesia, ayat 9 Pasal 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah. 27 Tim Redaksi KBBI Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2008, hlm. 318.
23
dwellings and bussinesses. In some state, a manicipal corporation with a smaller population than a city"28. Menurut Sutardjo Kartohadikususmo, seorang ahli sosiologi mengemukakan bahwa secara administratif desa diartikan sebagai satu kesatuan hukum dan didalamnya
bertempat
tinggal
mengadakan pemerintahan
sekelompok
sendiri.Sedangkan
masyarakat yang berkuasa menurut
R.Bintarto, desa
merupakan suatu perwujudan geografis yang ditimbulkan oleh unsur-unsur fisiografis sosial, ekonomi politik budaya dan memiliki hubungan timbal balik dengan daerah lain. Menurut Pasal 1 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa, Desa adalah desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Desa-Desa yang beragam di seluruh Indonesia sejak dulu merupakanbasis penghidupan
masyarakat
setempat,
yang
notabene
mempunyai
otonomidalammengelola tatakuasa dan tatakelola atas penduduk, pranata lokal dan sumberdayaekonomi. Pada awalnya Desa merupakan organisasi komunitas lokal yang mempunyaibatas-batas wilayah, dihuni oleh sejumlah penduduk, dan mempunyai
28
Brian A. Garner, Black's Laws Dictionary, Thomson Bussiness, USA, 2004, hlm. 1599.
24
adat-istiadatuntuk mengelola dirinya sendiri. Inilah yang disebut dengan selfgoverningcommunity. Sebutan Desa sebagai kesatuan masyarakat hukum baru dikenal padamasa kolonial Belanda. Desa pada umumnya mempunyai pemerintahan sendiri yangdikelola secara otonom tanpa ikatan hirarkhis-struktural dengan struktur yang lebihtinggi. Di Sumatera Barat, misalnya, nagari adalah sebuah “republik kecil” yangmempunyai pemerintahan sendiri secara otonom dan berbasis pada masyarakat (selfgoverningcommunity). Secara filosofis jelas bahwa sebelum tata pemerintahan diatasnyaada, Desa itu lebih dulu ada. Oleh karena itu sebaiknya Desa harus menjadi landasandan bagian dari tata pengaturan pemerintahan sesudahnya. Desa yang memiliki tatapemerintahan yang lebih tua, seharusnya juga menjadi ujung tombak dalam setiappenyelenggaraan urusan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan. Mengikuti pendapat Prof. Mr J de Louter, seorang ahli tata negaraBelanda dan F. Laceulle dalam suatu laporannya yang menyatakan bahwa bangunanhukum Desa merupakan fundamen bagi tatanegara Indonesia. Berdasarkan sejarah pertumbuhan desa di Indonesia ada tiga tipe desa yang sejak awal pertumbuhannya sampai sekarang diantaranya 29: 1. Desa adat (self-governing community). yaitu desa adat yang merupakan bentuk asli dan tertua di Indonesia. Konsep "Otonomi Asli" merujuk pada pengertian desa adat ini. Desa adat mengurus dan mengelola dirinya sendiri dengan kekayaan yang dimiliki tanpa campur tangan Negara.
29
Tim Penyusun Naskah Akademik RUU Tentang Desa, Naskah Akademik RUU Tentang Desa, Depdagri, Jakarta, 2007, hlm. 83.
25
Desa adat tidak menjalankan tugas-tugas administratif yang diberikan oleh Negara. Contoh desa adat Pakraman di Bali. 2. Desa Adminstrasi (local state government) desa yang merupakan satuan wilayah administrasi, yaitu satuan pemerintahan terendah untuk memberikan pelayanan adminitrasi dari pemerintah pusat. Desa administrasi dibentuk oleh negara dan merupakan kepanjangan tangan negara untuk menjalankan tugas-tugas administrasi yang diberikan oleh negara. Desa administrasi secara substansial tidak mempunyai hak otonom dan cenderung tidak demokratis. 3. Desa otonom (local-self government), yaitu desa yang dibentuk berdasarkan asas desentralisasi dengan undang-undang. Desa otonom mempunyai kewenangan yang jelas karena diatur dalam undang-undang pembentukannya. Oleh karena itu, desa otonom mempunyai kewenangan penuh dalam mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan pemerintahan desa sebagai pemerintahan terendah langsung dibawah kepala desa atau lurah yang menyelangarakan urusan rumah tangganya sendiridan terdiri atas kepala desa dan lembaga musyawarah desa30. Menurut Pasal 1 Ayat 2 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014, Pemerintah desa adalah kepala Desa atau yang disebut dengan nama lain dibantu dengan perangkat Desa sebagai unsur penyelengara Pemerintahan Desa.
30
Tim Redaksi KBBI Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2008, hlm. 1057.
26
Pemberdayaan masyarakat Desa sebagaimana dimaksud Pemerintah dilaksanakan dengan pendampingan dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pemantauan pembangunan Desa dan kawasan Perdesaan31, yang artinya Desa haruslah mendapatkan bimbingan, pembinaan, serta pengawasan didalam menyelenggarakan pemerintahan, pembangunan dan pelayanannya terhadap masyarakat sekaligus memberdayakan masyarakat itu sendiri. Pembangunan dan pemberdayaan masyarakat adalah hal yang sangat lumrah dibicarakan untuk kemajuan dan perubahan bangsa saat ini kedepan, apalagi jika dilihat dari skill masyarakat indonesia kurang baik sehingga menghambat pertumbuhan ekonomi itu sendiri, konsep pemberdayaan masyarakat mencakup pengertian
pembangunan
masyarakat
(community
development)
dan
pembangunan yang bertumpu pada masyarakat (community based development). Pemberdayaan masyarakat adalah sebuah konsep pembangunan ekonomi yang merangkum nilai-nilai sosial. Konsep ini membangun paradigma baru dalam pembangunan, yakni yang bersifat people-centered, participatory, empowering, and subtainable. Pemberdayaan
Masyarakat
Desa
adalah
upaya
mengembangkan
kemandirian dan kesejahteraan masyarakat dengan meningkatkan pengetahuan, sikap, keterampilan, perilaku, kemampuan, kesadaran, serta memanfaatkan sumber daya melalui penetapan kebijakan, program, kegiatan, dan pendampingan yang sesuai dengan esensi masalah dan prioritas kebutuhan masyarakat Desa 32.
31
Republik Indonesia, Ayat 4 Pasal 112 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang
Desa. 32
Republik Indonesia, Ayat 13 Pasal 1 Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, Dan Transmigrasi Nomor 3 Tahun 2015 Tentang Pendampingan Desa.
27
Konsep pendampingan Desa muncul dari konsepsi pemberdayaan masyarakat Desa dengan harapan mampu mendorong segenap potensi Desa baik berupa kelembagaan, sumber daya alam, dan sumber daya manusia dapat dioptimalkan.Pendampingan Desa sendiri adalah kegiatan untuk melakukan tindakan
pemberdayaan
masyarakat
melalui
asistensi,
pengorganisasian,
pengarahan dan fasilitasi Desa 33. Penyelenggaraan pendampingan Desa juga diharapkan dapat menumbuhkan prakarsa dan kreativitas masyarakat serta mendorong peningkatan partisipasi masyarakat dalam pembangunan dengan memanfaatkan sumber daya dan potensi yang tersedia. Berdasarkan teori-teori yang sudah dijelaskan diatas maka Pemberdayaan Masyarakat Desa melalui hadirnya Pendamping Desa sangat diperlukan dengan harapan mampu mengembangkan dan memberdayakan potensi Desa dalam optimalisasi pembangunan Desa pada gilirannya menghasilkan masyarakat Desa yang berkemampuan untuk mandiri, yang menjadikan otonomi Desa adalah otonomi yang asli, bulat dan utuh. F.
Metode Penelitian 1. Spesifikasi Penelitian Dalam mengemukakan masalah yang akan diteliti, digunakan metodemetode tertentu sesuai dengan kebutuhan penelitian. Metode tersebut diperlukan dalam upaya memperoleh data yang benar-benar objektif dan dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. 33
Republik Indonesia, Ayat 14 Pasal 1 Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, Dan Transmigrasi Nomor 3 Tahun 2015 Tentang Pendampingan Desa.
28
Metode yang dipakai penulis dalam penelitian ini bersifatDeskriptif Analitis, yaitu menggambarkan peraturan perundang – undangan yang berlaku dikaitkan dengan teori – teori hukum dan praktek pelaksanaan hukum positif yang menyangkut permasalahan yang akan dibahas.Dengan cara pemaparan data yang diperoleh sebagaimana adanya, yang kemudian dilakukan analisis yang menghasilkan beberapa kesimpulan 34 2. Metode Pendekatan Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode pendekatan secara Yuridis-Normatif, yaitupenelitian yang menekankan pada norma hukum, di samping juga berusaha menelaah kaidah – kaidah hukum yang berlaku di masyarakat 35. Penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka36.Penelitian ini menitik beratkan terhadap data kepustakaan atau data sekunder yang bersifat hukum, namun untuk menunjang data sekunder tersebut akan dibutuhkan juga data primer dengan melakukan penelitian langsung kepada instansi terkait. 3. Tahap Penelitian Penelitian ini dilakukan dalam 2 (dua) tahap, yaitu : a. Penelitian Keperpustakaan (Library Research) 34
Winamo Surakhmanda, Pengantar Penelitian Ilmiah Dasar Metoda Teknik, Tarsito, Bandung, 1985, hlm.130-140. 35 Ronny Hanitijo Soemitro, Metologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1990, hlm.106. 36 Soerjono Soekamto dan Sri Mawudji, Penelitian Hukum Normatif:Suatu tinjauan singkat, Rajawali Pers, Jakarta, 1995, hlm.13.
29
Penelitian kepustakaan yaitu: “Penelitian terhadap data sekunder, yang dengan teratur dan sistematis menyelenggarakan penggumpulan dan pengolahan bahan pustaka untuk disajikan dalam bentuk layanan yang bersifat edukatif, informatif, dan rekreatif kepada masyarakat”. b. Penelitian Lapangan (Field Research) Penelitian Lapangan yaitu : “suatu cara memperoleh data yang bersifat primer”37. Penelitian ini dimaksudkan untuk menunjang dan melengkapi data primer, dengan cara melakukan pencarian data sekunder. 4. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah berupa studi literatur dan studi lapangan. Studi litelatur digunakan untuk mengumpulkan dan menganalisis bahan-bahan primer, bahan sekunder maupun bahan tertier, sedangkan studi lapangan digunakan untuk memperoleh data primer yang diperoleh dari instansi-instansi yang terkait dengan masalah penelitian. Studi kepustakaan ini untuk mempelajari dan meneliti literatur tentang hal-hal yang berhubungan dengan peran tenaga pendamping desa menurut Undang-undang Nomer 6 Tahun 2014 tentang desa terhadap Optimalisasi Pembangunan Desa, sehingga data yang diperoleh ialah sebagai berikut:
37
Ibid hlm. 54.
30
a. Data Primer 1) Undang - Undang Dasar 1945. 2) Undang - Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. 3) Undang - Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. 4) Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksana Undang -Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. 5) Peraturan Menteri Nomor 3 Tahun 2015 tentang Pendampingan Desa. b. Data Sekunder, yaitu bahan-bahan yang erat hubungannya dengan hukum primer dan dapat membantu menganalisis dan memahami bahan hukum primer antara lain: 1) Rancangan peraturan perundang-undangan 2) Hasil karya ilmiah para sarjana 3) Hasil-hasil penelitian c. Data Tertier, yaitu bahan-bahan hukum yang memberikan informasi maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.38 5. Alat Pengumpul Data Metode pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan metode penelitian studi kepustakaan yang dilakukan dengan mengadakan penelusuran dan identifikasi data yang diperlukan lalu membaca dan
38
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, 2006. hlm 54.
31
memahami kemudian dilakukan pengutipan dan pembuatan catatancatatan, yang bersumber dari peraturan perundang-undangan, buku-buku literatur, dan kamus hukum atau ensiklopedia hukum yang berkaitan dengan masalah penelitian. 6. Analisis Data Setelah data-data yang diperlukan terkumpul, selanjutnya peneliti menganalisis data yang telah diproses tersebut. Adapun metode analisa data yang digunakan adalah deskritif kualtitatif yaitu data yang dihimpun dengan cara diuraikan di atas, kemudian diolah dengan cara diseleksi, diklasifikasi secara sistematis, logis dan yuridis, guna mendapatkan gambaran umum untuk mendukung materi skripsi melalui analisa data kualitatif, dan informasi hasil penelitian dan pembahasan dibuat dalam bentuk kalimat yang tersusun secara sistematis untuk kemudian dapat ditarik kesimpulan yang tepat. 7. Jadwal Penelitian Dalam hal ini penulis melakukan kegiatan dengan berbagai kegiatan yaitu diawali dengan pembuatan judul dan setelah judul di setujui, kemudian penulis mencari bahan penelitian dengan menyusun jadwal penelitian sebagai berikut :
32
BULAN N O
KEGIATAN
1
Persiapan/ Penyusunan Proposal
2
Seminar Proposal
3
Persiapan Penelitian
4
Pengumpulan Data
5
Pengolahan Data
6
Analisis Data
7
Penyusunan Hasil Penelitian Ke Dalam Bentuk Penulisan Hukum
8
Sidang Komprehensif
9
Perbaikan
10
Penjilidan
11
Pengesahan
MAR
APRIL
MEI
JUNI
JULI
AGST
SEPT
OKT
2015
2015
2015
2015
2015
2015
2015
2015
*Catatan jadwal ini sewaktu-waktu dapat berubah berdasarkan pertimbangan situasi dan kondisi.
8. Lokasi Penelitian Dalam penelitian ini, untuk memperoleh data dan bahan untuk melakukan penelitian di berbagai lokasi, yang di antaranya adalah : a. Perpustakaan 1) Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Pasundan Bandung, yang bertempat di jalan Lengkong Dalam No.17 Bandung.
33
2) Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Padjajaran Bandung, yang bertempat di jalan Imam Bonjol No 21 3) Perpustakaan Nasional Daerah Jawa Barat, yang bertempat di jalan Soekarno-Hatta No. 36 Bandung. b. Lembaga Institusi 1) Kementrian
Desa
Pembangunan
Daerah
Tertinggal
dan
Transmigrasi, Yang Bertempat di jalan Abdul Muis No.7 Jakarta Pusat. 2) Badan Pemberdayaan Masayarakat dan Pemerintahan Desa Provinsi Jawa Barat, Yang Bertempat di jalan Soekarno Hatta No. 466 Bandung/Jawa Barat. G.
Sistematika Penulisan Hasil dari suatu penelitian dalam bentuk laporan penelitian yang tertulis
akan lebih jelas dan mudah dipahami oleh pembacanya apabila dalam penulisannya menggunakan sistematika yang baik dan jelas juga, sesuai tema topik yang telah digariskan. Hal itu dimaksudkan supaya penulisan laporan penelitiannya tetap terarah serta tidak keluar dari pokok pembahasannya. Oleh karena dalam penulisan penelitian hukum ini penulis mencoba memaparkan sistematika penulisannya terlebih dahulu, adapun sistematika penulisannya sebagai berikut ini :
34
BAB I
PENDAHULUAN Pada Bab ini diuraikan mengenai pendahuluan yang berisi penjelasan
tentang
latar
belakang
permasalahan,
pokok
permasalahan, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian, dan sistimatika penulisan hukum yang digunakan untuk memberikan pemahaman terhadap isi penelitian secara garis besar. BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG OTONOMI DESA Kemudian di dalam Bab ini penulis memaparkan secara singkat mengenai sistem Pemerintahan Daerah yang berlaku di Indonesia berdasarkan pada Undang-undang No. 23 Tahun 2014. Secara urut penulis akan membahas tentang otonomi daerah dan tinjauan umum tentang Desa berdasarkan Undang-undang No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa.
BAB III TENAGA PENDAMPING DESA BERDASARKANUNDANGUNDANG NO. 6 TAHUN 2014 TENTANG DESA Selanjutnya pada Babini di bahas mengenai tenaga pendamping desa. Dalam Bab ini terdiri dari sub-bab mengenai konsep pemberdayaan masyarakat melalui Tenaga Pendamping Desa serta pembinaan dan pengawasannya berdasarkan Undang-undang No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa, dan menjelaskan Tenaga Pendamping DesamenurutPeraturan Menteri No. 3 Tahun 2015 Tentang Pendampingan Desa.
35
BAB IV PERAN DAN TANGGUNG JAWAB TENAGA PENDAMPING DESA DALAM UPAYA OPTIMALISASI PEMBANGUNAN DESA Selanjutnya pada Bab ini
membahas mengenai identifikasi
masalah yang sedang diteliti oleh penulis. BAB V
PENUTUP Kemudian terakhir dalam Bab ini penulis mengemukakan jawaban terhadap identifikasi masalah dengan mengacu pada pertanyaan yang terdapat dalam pokok permasalahan, serta memberikan saransaran yang relevan dengan penelitian tersebut.
DAFTAR PUSTAKA Berisi sumber-sumber pustaka yang dikutip dalam penulisan hukum baik secara langsung maupun tidak langsung.