BAB I PENDAHULUAN A.
Latar Belakang Masalah trafficking dalam negara-negara dunia ketiga selalu menjadi
masalah yang hangat untuk ditelusuri. Perilaku tersebut merupakan salah satu bentuk dari pelanggaran martabat dan hak asasi manusia. Trafficking yang banyak terjadi diberbagai negara miskin adalah perdagangan perempuan (women trafficking) yang mengacu pada bentuk perbudakan seks pada perempuan (dewasa dan anak-anak), termasuk Indonesia yang menjadi salah satu negara dengan industri
pelacuran
yang
cukup
diperhitungkan
dikancah
internasional.
Perdagangan perempuan sangat erat berkaitan dengan tindakan perbudakan seks atau pelacuran yang ditentang oleh negara dan masyarakat di seluruh dunia, terutama di Indonesia, namun dalam realita yang mengherankan, Indonesia menempati daftar industri pelacuran yang utama di Asia. Di Indonesia kasus perdagangan seks perempuan kerap meningkat dari tahun ke tahun, pada tahun 2004 mencapai angka 300.000 dan menurut data UN Commisioner on Human Rights (UNCHR) diperkirakan 30 persen pekerja seks komersil perempuan (dewasa dan anak-anak) berusia kurang dari delapan belas tahun dengan lokalisasi pelacuran seperti di tempat karaoke, salon, dan panti pijat yang menyajikan
1
berbagai kenikmatan seks. Sedangkan menurut UNICEF kasus prostitusi anak di Indonesia pada tahun 1998 diperkirakan mencapai 40.000-70.000 kasus anak.1 Industri perdagangan seks perempuan sangat merebak dalam wilayah Indonesia, yang sejatinya bertentangan dengan budaya moralitas dan nilai religius yang mengakar. Perempuan yang hanya dianggap sebelah mata sebagai komoditas ekonomi dalam perdagangan seks juga mulai kehilangan nilai yang melekat pada diri seorang perempuan dan terjebak dalam jeratan ketidakberdayaan serta jaringan relasi pelacuran yang sulit ditembus. Masalah perdagangan seks perempuan juga tidak terlepas dari jeratan kemiskinan yang melekat pada diri perempuan yang terus dijadikan komoditas ekonomi. Faktor kemiskinan yang terus membelit dan memburu sejak mereka dilahirkan ke dunia memaksa perempuan harus terjerat ketidakberdayaan dan membawa mereka menuju perbudakan seks yang sangat merugikan perempuan pelacur tersebut. Namun, faktor ekonomi bukanlah menjadi satu-satunya faktor utama dan juga bukan merupakan motivasi yang utama untuk menjadi seorang pelacur. Faktor lain yang turut mendorong perempuan terjebak pada stigma pelacuran adalah faktor budaya patriarki dan kelas sosial, dimana perempuan dianggap lebih rendah dan termarjinalisasi daripada seorang lelaki. Sehingga perempuan dijadikan komoditas ekonomi melalui perdagangan seks, dari daerah ke daerah dalam lingkup nasional, bahkan sampai ke dalam lingkup jaringan internasional.
Praktek
ekonomi-budaya,
agama
yang
mengerucut
pada
diskriminasi perempuan masih sangat bertumpang tindih dan menjadi kerumitan 1
Lapin, L.M Gandhi & Geru, H A, Trafiking Perempuan dan anak, hh. 60
2
untuk perempuan dapat keluar dari paradigma tersebut. Budaya patriarki yang telah mendominasi logika cara pandang masyarakat yang menempatkan perempuan pada posisi di bawah lelaki, lelaki dianggap lebih unggul dari pada perempuan. Paradigma rendahnya perempuan pada logika masyarakat, mengantarkan perempuan hanya bisa dijadikan sebuah komoditas saja. Seperti yang dipublikasikan dalam Nightmare in border areas2 beberapa faktor pendorong dan penarik adanya perdagangan perempuan di Indonesia adalah, ingin mencari pengalaman kerja; godaan upah yang tinggi; tergiur upah; kurangnya peluang kerja di desa; konsumerisme; putus sekolah; kekerasan domestik (dalam rumah tangga); merasa bosan tinggal di desa; sukses yang dicapai pekerja lain; tidak diperlukan ijasah; didorong orangtua; permintaan yang tinggi akan pekerja (pembantu) rumah tangga perempuan. Perdagangan perempuan khususnya dalam eksploitasi seks tidak pernah terlepas dari faktor ekonomi yang sengaja dimanfaatkan oleh beberapa pihak demi kepentingan politik dan ekonomi, para perempuan diperjualbelikan sesuai dengan kesepakatan transaksi yang telah disepakati. Bisnis perdagangan seks telah merambah pada denyut-denyut nadi penting pada wilayah pemerintahan dan perekonomian. Petinggi pejabat pemerintah yang dianggap bersih daripada seorang perempuan pelacur yang tak berdaya, justru mendapat cipratan keuntungan yang cukup menjanjikan dari adanya pelacuran sebagai akibat dari kemitraan anatara pejabat pemerintah dan germo atau pemilik bordil. 2
Lapin, L.M Gandhi & Geru, H A, Trafiking Perempuan dan anak, hh. 67
3
Sumbangsih dalam kegiatan pelacuran tidak berhenti disitu, kegiatan pelacuran turut membantu berbagai biaya kegiatan yang ada di masyarakat luas, dan tidak lain memberi pemasukan nafkah napas kehidupan bagi para dokter dan instansi kesehatan melalui para pelacur yang banyak mengidap gejala penyakit kelamin menular bahkan tidak sedikit yang terkena penyakit HIV/AIDS. Para germo dan pemilik rumah bordil, tentu saja sebagai penikmat keuntungan yang paling besar, sebab para perempuan pelacur yang mereka tampung harus memberikan setoran yang sudah ditentukan oleh masing-masing germo maupun pemilik rumah bordil sebagai ungkapan “terimakasih” telah diberi pendapatan melalui para tamu yang menyewa para perempuan pelacur. Namun, dalam tulisan ini peneliti akan membatasi kajian dengan melihat kajian dari sisi jaringan relasi pasar pelacuran, calo atau broker, dan perempuan pelacur dimana perempuan dijadikan sebagai sebuah komoditas yang tidak lain banyak menguntungkan para pihak yang terkait namun justru merugikan diri perempuan pelacur itu sendiri. Jaringan dalam industri seks yang meliputi pemilik pasar (germo sebagai penyedia jasa pekerja seks komersial), calo, dan perempuan pelacur tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Jaringan dari ketiga aktor utama tersebut tidak hanya memiliki jangkauan operasi lokal dan regional saja, namun meliputi internasional. Germo merupakan pemilik dari rumah bordil atau “ibu pengasuh” bagi perempuan pelacur. Germo mempunyai peranan dalam “menjual” anak pelacurnya kepada tamu dan merupakan pengambil keuntungan financial terbesar dari transaksi seks. Calo mempunyai peranan penting dalam perekrutan perempuan-perempuan yang
4
biasanya diambil dari perkampungan miskin untuk lebih mudah dijadikan pelacur di kota besar. Biasanya calo mencari korban perempuan yang berusia mulai dari 11 (sebelas) tahun, yang kemudian para calo mengiming-imingi calon korban dan orangtuanya dengan pekerjaan dan upah yang tinggi, sehingga orangtua dengan senang hati merelakan putrinya untuk bekerja.3 Selain itu, calo juga dapat berperan untuk menunjukan berbagai lokasi rumah bordil kepada tamu yang ingin bertransaksi seks. Perempuan (dewasa dan anak-anak) adalah korban yang dijadikan komoditas yang kemudian dimanfaatkan oleh beberapa pihak terkait untuk mengambil keuntungan. Dengan segala keterbatasan, perempuan terus dieksploitasi pada dunia pelacuran. Sesungguhnya masalah perdagangan perempuan (dewasa dan anak-anak) sangat dilarang oleh semua pihak dan sudah diatur dalam UU No. 21 Tahun 2007 tentang pemberantasan tindak pidana perdagangan orang. Dalam undang-undang tersebut juga tidak luput menjerat bagi para pelaku sindikat industri seks yang mengeksploitasi perempuan dalam perbudakan seks. Peraturan dalam undangundang tersebut diharapkan mampu untuk menjerat para pelaku yang menjadikan perempuan sebagai komoditas untuk diperdagangkan, sehingga industri seks yang sangat merugikan perempuan dapat segera dicegah dan dikendalikan. Sejatinya di wilayah-wilayah Indonesia yang sangat menjunjung tinggi kaidah nilai-nilai dan harkat kemanusiaan justru mempunyai banyak sarang
3
Lapin, L.M Gandhi & Geru, H A, Trafiking Perempuan dan Anak, hh. 61
5
industri seks. Kota-kota besar menjadi pilihan tempat primadona bagi sekumpulan germo untuk membuka lapak perdagangan seks karena dianggap akan lebih banyak menarik banyak tamu yang ingin bertransaksi seks dengan tarif yang lumayan mahal. Seperti halnya kota Purwokerto, kabupaten Banyumas, Jawa Tengah. Sulit dipahami, kota Purwokerto yang menyandang berbagai julukan seperti kota satria, kota pensiunan, kota keripik, kota wisata, bahkan saat ini mulai mendapatkan julukan sebagai kota pelajar yang mana kota Purwokerto semakin berkembang dalam dunia pendidikan yang menyuguhkan keamanan dan jaminan belajar yang nyaman bagi para pelajar dan mahasiswa justru turut menjadi salah satu kota prostitusi yang cukup dikenal masyarakat Indonesia. Dibalik wajah kesatria kota Purwokerto, disitulah juga tercipta sisi lain yang sangat berkebalikan dizaman serba modern ini, yaitu mulai berkembangnya tempat hiburan malam yang tidak terlepas dari hingar bingar kehidupan seks bebas. Hiburan malam justru mempunyai daya tarik yang banyak ditujukan untuk kaum perempuan supaya masuk pada gemerlap semu hiburan malam, dan lagilagi dari situlah eksploitasi perempuan mulai timbul yang kemudian transaksi seks bisa dilakukan di tempat tersebut sebagai pemuas lelaki hidung belang yang sebelumnya sudah memberi bayaran pada perempuan tersebut. Sejatinya di kota Purwokerto masalah pelacuran yang dilakukan di tempat-tempat umum sudah dilarang oleh pemerintah melalui Peraturan Daerah Kabupaten Banyumas No. 61 Tahun 1972 tentang
pembatasan pelacuran di tempat-tempat umum, namun
hingga saat ini praktik pelacuran masih tetap berlangsung.
6
Wilayah prostitusi yang cukup menjadi rahasia umum dalam masyarakat antara lain meliputi: Gang Sadar, komplek taman Andhang Pangrenan (terminal lama), Jl. S. Parman, area Jl. Gerilya, area stasiun Purwokerto, dsb. Tempattempat tersebut sudah menjadi tempat transaksi seks yang biasanya akan ramai dikunjungi tamu pada malam hari. Dalam penelitian ini, penulis akan mengambil lokus penelitian di wilayah Gang Sadar yang merupakan kompleks pelacuran terbesar di Purwokerto. Secara administratif wilayah Gang Sadar berlokasi di desa Karang Mangu Rt 07/ Rw 02, kecamatan Baturraden, kabupaten Banyumas. Gang Sadar merupakan sebuah wilayah kompleks pelacuran yang terorganisir di kota Purwokerto, terletak di utara jantung kota Purwokerto atau berada tepat berdampingan
dengan tempat pariwisata alam Baturraden. Di
sepanjang kawasan menuju lokawisata Baturraden berjajar hotel-hotel dan losmen dari kelas bawah atau ekonomis hingga kelas eksekutif yang tersusun rapih. Tidak hanya hotel, jika mulai gelap banyak cafe dan tempat karaoke remang-remang mulai membuka lapaknya. Perempuan-perempuan yang berprofesi sebagai pelacur tersebut mulai duduk manis dengan dandanan cantik untuk menarik pelanggan yang hendak memakai jasa seks disepanjang Gang Sadar. Setelah adanya kesepakatan transaksi, mereka akan menyewa di kamar-kamar hotel maupun losmen yang telah tersedia di luar kawasan Gang Sadar atau disepanjang jalan utama menuju wisata Baturraden. Bukan tidak mungkin apabila Gang Sadar selalu ramai oleh perempuan pelacur dan para tamunya, yang mana tempat tersebut sangat dekat dengan lokasi pariwisata. Para wisatawan yang terdiri dari wisatawan domestik dan 7
mancanegara inilah yang kerap kali membutuhkan perempuan pelacur dan sudah menjadi rahasia umum apabila setiap hotel juga menyediakan fasilitas perempuan yang bisa disewakan kepada para tamu yang menginap di hotel tersebut. Selain wisatawan, para pengunjung Gang Sadar juga berasal dari para pelajar, mahasiswa, maupun masyarakat di Purwokerto. Para perempuan pelacur di Gang Sadar bukan hanya berasal dari daerah Purwokerto saja, banyak dari mereka yang justru merupakan pendatang dari daerah lain seperti dari daerah Jawa Barat. Perempuan-perempuan pelacur di dalamnya terdiri dari perempuan dalam kategori usia produktif juga beberapa perempuan dalam usia sedikit tua yang menyediakan dirinya untuk tempat pelampiasan nafsu seks lelaki dengan menerima imbalan sejumlah uang sesuai kesepakatan. Seluruh perempuan pelacur tersebut berlindung di bawah lindungan mucikari atau germo dalam melakukan operasi pelacuran dan dalam menjalin kerjasama dengan “calo-calo” dan pemilik kamar. Segala aktivitas dari perempuan pelacur di Gang Sadar sangat sulit untuk bisa bekerja sendiri karena adanya keterikatan yang sulit untuk dilepas. Para perempuan pelacur tersebut masih membutuhkan bahkan menggantungkan nasib mereka pada kecekatan dan kekuasaan para germo dan calo atau broker di Gang Sadar. Aktivitas pelacuran di Gang Sadar menjadi sangat menarik untuk di kaji karena di dalam aktivitas tersebut terdapat suatu sistem ketergantungan masingmasing aktor yang terlibat, yaitu antara yang berstatus sebagai perempuan pelacur, germo (laki-laki maupun perempuan), calo, dan para pemilik kamar. Dari suatu perilaku ketergantungan dalam aktivitas pelacuran di Gang Sadar maka terbentuk 8
suatu sistem pembagian kerja dan fungsi dari masing-masing aktor terkait. Apabila masing-masing dari aktor bekerja sendiri-sendiri dan tidak terorganisir, maka sangat dipastikan aktivitas pelacuran di Gang Sadar tidak akan berjalan. Sehingga dalam aktivitas tersebut secara kasat mata telah melembaga dan menimbulkan perilaku sosial dalam suatu keterikatan dari masing-masing aktor dalam ikatan kerja yang tidak bisa diputuskan satu sama lain. Perilaku aktivitas pelacuran di Gang Sadar yang telah tertata rapi dan terorganisir itulah yang secara tidak langsung telah menyeret perempuan-perempuan pelacur tersebut pada mata rantai sistem ketergantungan yang sering kali tidak disadari oleh mereka sehingga menjadikan mereka hanya sebagai korban eksploitasi seks. Kajian penelitian mengenai perempuan dan politik sejatinya secara umum telah banyak diteliti dengan masing-masing tema dan sudut pandang yang berbeda. Isu mengenai penelitian tersebut juga selalu hangat dalam beberapa tahun terakhir. Namun sepanjang pengetahuan penulis belum terdapat kajian penelitian yang membahas mengenai politik perdagangan perempuan di Gang Sadar Purwokerto dengan melihat relasi ketergantungan antar aktor yang saling terkait yang menjadikan perempuan sebagai komoditas utama dalam perdagangan seks tersebut. Beberapa kajian atau penelitian yang menjadi acuan rujukan maupun perbandingan penulis dalam menyusun tulisan penelitian ini antara lain adalah: pertama, tulisan Endang R. Sedyaningsih-Mamahit yang berjudul “Perempuan Perempuan Kramat Tunggak” berdasarkan disertasi di Harvard University, Boston, Amerika Serikat. Merupakan sebuah tulisan yang mengangkat gambaran kehidupan dan latar belakang sosial perempuan-perempaun hingga
9
terjebak dalam industri pelacuran di Kramat Tunggak, Jakarta Utara. Dari perilaku aktivitas seksual yang berlangsung secara terus menerus di Kramat Tunggak tentu menimbulkan dampak negatif yang beresiko tinggi, yaitu ancaman terkena HIV/AIDS. Para perempaun pelacur tersebut sangat rawan tertular dan menularkan HIV/AIDS dan infeksi menular seksual. Masih dalam tulisan disertasi tersebut, upaya penutupan lokalisasi oleh pemerintah justru akan menimbulkan pembukaan tempat pelacuran baru yang tidak terhenti. Kedua, adalah sebuah skripsi yang berhasil dibukukan yang berjudul “Politik Perdagangan Perempuan” karya Andy Yentriyani. Dalam tulisannya membicarakan mengenai kemiskinan akibat dari adanya kapitalisme dunia dan perempuan yang dianggap rendah daripada laki-laki. Fokus selanjutnya dalam tulisan tersebut adalah masalah perempuan yang diperdangkan melalui sebuah pernikahan sistem kontrak antarnegara, yaitu Indonesia dan Taiwan. Meskipun telah terjadi pernikahan, namun derajat perempuan masih direndahkan baik oleh laki-laki yang menikahinya maupun oleh keluarga dari pihak suaminya. Perempuan Indonesia dijadikan seperti suatu barang untuk kemudian dinikahkan dengan lelaki dari Taiwan, ditengah-tengah pernikahan tersebut terdapat suatu perantara yang sengaja memanfaatkan adanya pernikahan tersebut. Dari beberapa uraian singkat rujukan tulisan-tulisan tersebut, posisi penulis akan lebih memfokuskan pada pengkajian perdagangan perempuan di Gang Sadar Purwokerto yang didalamnya berkaitan dengan kekuasaan dan sistem ketergantungan dari aktor-aktor yang terlibat, yang menjadikan perempuan pelacur tidak menyadari posisinya sebagai korban dan hanya dijadikan komoditas
10
dari aktor yang dengan sengaja memanfaatkan demi mengambil keuntungan yang bear. Tulisan dalam penelitian ini akan melihat masalah melalui kacamata politik. Selain itu, tulisan ini juga akan mengangkat adanya suatu ketimpangan posisi yang terjadi pada perempuan yang tidak terlepas dari adanya bias gender yang justru semakin menyudutkan perempuan pada posisi yang selalu dipojokkan pada kesalahan dalam dinamika aktivitas pelacuran, khususnya di lokasi pelacuran Gang Sadar, Purwokerto. B.
Rumusan Masalah Bagaimana alur politik perdagangan perempuan sebagai komoditas seks
di wilayah Gang Sadar, Purwokerto?
C.
Tujuan Penelitian 1. Mendeskripsikan alur politik perdagangan perempuan sebagai komoditas seks di wilayah Gang Sadar, Purwokerto. 2. Mendeskripsikan faktor-faktor penyebab adanya prostitusi di Gang Sadar. 3. Memetakan aktor-aktor yang saling berelasi dalam jaringan prostitusi di Gang Sadar.
D.
Manfaat Penelitian 1. Dapat
mengetahui
dan
memahami
alur
politik
perdagangan
perempuan sebagai komoditas seks di wilayah Gang Sadar.
11
2. Dapat mengetahui dan memahami faktor-faktor penyebab adanya prostitusi di Gang Sadar. 3. Dapat mengetahui dan memetakan aktor-aktor yang saling berelasi dalam jaringan prostitusi di Gang Sadar. E.
Kerangka Teori E.1 Pelacuran Sejak berabad-abad yang lalu, kajian ilmiah dan konseptualisasi mengenai
pelacuran sudah mewarnai disiplin ilmu. Kegiatan pelacuranpun sepertinya mustahil untuk dihilangkan dari muka bumi ini, sebab pelacuran mungkin telah hadir sejak terbentuknya sebuah sekumpulan masyarakat, dan hubungan intim antara laki-laki dan perempuan juga sudah terjadi sejak manusia hadir di bumi. Bermacam-macam disiplin ilmu juga mencoba mendefinisikan kegiatan pelacuran dari berbagai cara pandang yang pada umumnya diwarnai oleh berbagai etos budaya yang berlaku dalam sebuah konstruksi sosial norma-norma seksual. Para ilmuwan sosial. Bagaimanapun berbagai ilmuwan sosial dari bermacam afiliasi disiplin ilmu mencoba menaruh perhatian pada corak khusus dari pelacuran dan sejumlah aspek-aspek pentingnya. Tergantung dari sudut pandang kacamata mana kita menganalisis dalam menentukan warna pandangan. Pelacuran atau juga sering dikenal dengan istilah prostitusi4, penjajakan seks maupun persundalan, dapat didefinisikan sebagai:
4
Prostitusi merupakan sebuah istilah yang diadopsi dari bahasa latin yaitu pro-stauree atau prostituere.
12
“Peristiwa penyerahan tubuh oleh wanita kepada banyak lakilaki (lebih dari satu) dengan imbalan pembayaran guna disetubuhi dan sebagai pemuas nafsu seks si pembayar, yang dilakukan di luar pernikahan. Sedangkan yang dimaksud dengan pelacur, wanita tuna susila, wanita penjaja seks, kupu-kupu malam, balon, sundal, lonte atau cabo adalah wanita yang pekerjaannya menjual diri kepada siapa saja atau banyak laki-laki yang membutuhkan pemuasan nafsu seksual. Atau dengan kata lain, adalah wanita yang melakukan hubungan seksual dengan banyak laki-laki di luar pernikahan, dan sang wanita memperoleh imbalan uang dari laki-laki yang menyetubuhinya”.5 Definisi mengenai kegiatan pelacuran yang hampir sejalan dengan pemikiran yang diungkapkan oleh Iwan Bloch, yaitu: “Suatu bentuk perhubungan kelamin di luar pernikahan dengan pola tertentu, yakni kepada siapapun secara terbuka dan hampir selalu dengan pembayaran baik untuk persebadanan, maupun kegiatan seks lainnya yang memberi kepuasan yang diinginkan oleh yang bersangkutan”.6
Namun terdapat definisi lain yang mengindikasikan adanya diferensiasi hubungan sosial antara laki-laki dan perempuan dalam bentuk yang sedemikian rupa yang dapat mengontrol perilaku seks dan pelacuran yang pada perempuan yang didominasi kaum lelaki dalam masyarakat patriarki. Sebagaimana cara pandang yang diajukan oleh Barry 19817 yang mencoba memperkenalkan bahwa dalam kegiatan pelacuran terdapat dimensi yang sangat penting, yaitu pemaksaan pada perempuan yang dilakukan oleh kaum lelaki dengan menggunakan beragam cara, mengingat terdapat hegemoni budaya lelaki yang membentuk kelompok rentan bagi perempuan, isi argumentasi dari definisi Barry yaitu: “Perbudakan seksual perempuan hadir disemua situasi di mana perempuan tak dapat mengubah kondisi langsung keberadaan mereka; di 5
Purnomo, T & Siregar, A 1983, Dolly: Membedah Dunia Pelacuran Surabaya, Kasus Kompleks Pelacuran Dolly, hh. 11 6 Ibid, hh. 10. 7 Thanh, & Truong 1992, Seks, Uang dan Kekuasaan: Pariwisata dan Pelacuran di Asia Tenggara, hh. 17-18.
13
mana, terlepas dari bagaimana mereka masuk ke dalam kondisi-kondisi tersebut, mereka tak dapat keluar darinya; dan di mana mereka menjadi objek kekerasan dan eksploitasi perempuan”.
Secara empiris, dalam kehidupan pelacuran dibanyak lingkup masyarakat secara garis besar terdapat tiga jenis perempuan yang terlibat dalam praktek pelacuran8. Pertama, jenis pelacur melalui perkawinan kontrak. Terdapat banyak perempuan yang dibeli melalui perkawinan atau bahkan hanya sebatas perkawinan kontrak. Dalam perkawinan kontrak, perempuan tetap diberi sejenis perlindungan hukum sehingga tidak begitu menekan perempuan. Meskipun begitu, kebanyakan para perempuan ini harus menjalankan kerja paksa di dalam rumah tangga dan kemungkinan mereka juga mengalami kekerasan seksual, namun kenyataannya adalah perempuan yang sudah diperas segala sumber daya yang ada ditubuhnya ini dalam tingkatan rumah tangga kerap tidak dapat dihubungkan dengan sistem perdagangan karena terikat oleh sebuah pernikahan. Kedua, jenis pelacur yang dipaksa dalam ikatan germo9. Terdapat sejumlah perempuan yang dipaksa dan ditekan supaya mau untuk melakukan penyediaan palayanan seksual oleh germo yang biasanya ditempatkan dalam sebuah hubungan seperti penjara tanpa ada perlindungan hukum sedikitpun. Para perempuan tersebut secara langsung berhubungan dengan akumulasi modal dan akan diberhentikan dengan sendirinya ketika perempuan tersebut sudah tidak mempunyai manfaat lagi dalam dunia pelacuran. Ketiga, adalah jenis pelacur yang melakukan praktek pelacuran atas dasar cinta. Jenis praktek pelacuran ini dilakukan untuk menyokong orang-orang
8
Ibid., hh. 18-19. Germo atau bisa disebut dengan istilah mucikari, “ibu atau bapak asuh” sebagai ungkapan para pemilik rumah bordil selayaknya dalam konsep keluarga dalam pelacuran, namun dalam memudahkan penelitian ini, penulis akan menggunakan istilah germo. 9
14
yang dicintai para pelacur tersebut, seperti lelaki, kekasih, orang tua, pasangan hidup, anak, dan keluarga. Akhirnya para perempuan ini menjadi pelacur dan diperbudak secara terselubung oleh cinta dan loyalitas. Meskipun uang yang diperoleh digunakan untuk menyokong objek tercintanya tapi hal ini tidak boleh dikacaukan dengan bentuk pemilikan dan dimungkinkan mereka mengalami ketersisihan sosial, tetapi mereka tidak menjadi milik siapapun, mereka menggunakan tenaga milik mereka sendiri untuk mencari nafkah. Namun secara keseluruhan, tiga elemen utama yang mempengaruhi dan sudah dikenal secara luas dalam dunia pelacuran adalah elemen ekonomi, elemen seksual, dan elemen psikologi (struktur psiko-individual, emosional).10 E.2 Perdagangan Perempuan Sejak lama masalah perdagangan atau lebih dikenal dengan istilah trafficking sudah menjadi isu yang terus berkembang dan menarik perhatian hingga kancah internasional, khususnya isu mengenai perdagangan perempuan (women trafficking). Isu women trafficking kerap kali berhubungan erat dengan kegiatan eksploitasi dan pelacuran. Dalam kajian tulisan ini, penulis akan mengkerangkai penelitian dengan memfokuskan pada teori perdagangan perempuan dan analisis gender. Lebih lanjut perdagangan perempuan yang dijelaskan oleh Koentjoro11 merupakan salah satu bentuk dari sebuah industri pelacuran yang mana kebutuhan masyarakat akan tindak pelacuran semakin meningkat. Perdagangan perempuan 10 11
Ibid., hh. 19. Koentjoro 2004, Tutur dari Sarang Pelacur, CV Qalam, Yogyakarta, hh. 339.
15
juga tuntutan kebutuhan dari laki-laki sehingga dijadikan ladang bisnis yang maraup keuntungan tanpa mempedulikan bagaimana nasib perempuan yang tidak mendaptkan keuntungan dan bahkan menjadi pihak yang paling menderita serta seluruh haknya sebagai manusia telah direnggut demi pemenuhan pasar perdagangan perempuan. Sedangkan dalam Rencana Aksi Nasional (RAN)12 Penghapusan Perdagangan (Trafiking) Perempuan dan Anak digunakan pengertian trafiking sebagai berikut: “Trafiking perempuan dan anak adalah segala tindakan pelaku trafiking yang mengandung salah satu atau lebih tindakan perekrutan, pengangkutan antar daerah dan antar negara, pemindahtanganan, pemberangkatan, penerimaan dan pengangkutan sementara atau di tempat tujuan, perempuan, dan anak. Dengan cara ancaman, penggunaan kekerasan verbal dan fisik, penculikan, penipuan, tipu muslihat, memanfaatkan posisi kerentanan (misalnya ketika seseorang tidak memiliki pilahan lain, terisolasi, ketergantungan obat, jebakan hutang, dan lain-lain), memberikan atau menerima pembayaran atau keuntungan, di mana perempuan dan anak digunakan untuk tujuan pelacuran dan eksploitasi seksual (termasuk phaedopili), buruh migran legal maupun ilegal, adopsi anak, pekerjaan jermal, pengantin pesanan, pembantu rumah tangga, mengemis, industri pornografi, pengedaran obat terlarang, dan penjualan organ tubuh, serta bentuk-bentuk eksploitasi lainnya”.
Dari hubungan relasi kekuasaan tersebut di atas dalam pelacuran, dapat ditarik benang merah mengenai karakteristik perdagangan perempuan yang meliputi: pertama, pola dan aktor yang menjadi elemen penting dalam relasi kekuasaan. Adalah aktor yang terlibat yang terdiri dari aktor langsung dan aktor tidak langsung. Aktor langsung yang berperan sebagai aktor utama adalah seorang konsumen yang menyewa perempuan pelacur (korban). Konsumen lebih banyak 12
RAN merupakan sebuah Keputusan Presiden No. 88 Tahun 2002, yang mana keputusan tersebut lahir karena didorong oleh keprihatinan yang mendalam terhadap berbagai kasus trafiking yang terjadi dalam berbagai kasus di Indonesia.
16
berjenis kelamin laki-laki yang mempunyai kegemaran untuk menikmati dan membeli seks eceran pada pelacur, namun dalam beberapa kasus terdapat konsumen yang berjenis kelamin sama terkait penyimpangan seksualitas. Pelacur juga turut menjadi aktor utama dalam kegiatan pelacuran. Namun perlu diketahui bahwa pelacur merupakan sebuah masyarakat yang sengaja dijadikan menjadi subkultur yang khas oleh masyarakat umum. Sebenarnya si pelacur sendiri merupakan korban dari suatu keadaan yang berkaitan dengan berbagai faktor dan menjadi “kambing hitam” dalam suatu drama pelacuran.13 Sedangkan aktor tidak langsung yang berperan sebagai perantara antara pelacur dan konsumen, biasanya dapat berupa mucikari, germo, calo, perekrut korban di desa-desa, pemilik rumah bordil, dll. Aktor tidak langsung ini mempunyai
karakteristik
sebagai
berikut14,
umumnya
adalah
kelompok
terorganisir dengan pekerja yang berasal dari berbagai lapisan usia dan latar belakang pendidikan yang berbeda-beda; biasanya menutupi kegiatannya dengan pekerjaan lain seperti pengusaha, pencari bakat, ibu rumah tangga, dll; bekerjasama dengan pegawai pemerintah yang korup, pemutihan uang, menjalin hubungan baik dengan pihak berwenang maupun gerakan kriminal bawah tanah dari berbagai hirarki dan area pekerjaan. Kedua, korban. Yang menjadi korban dalam women trafficking adalah perempuan yang memiliki peluang. Dalam konteks pelacuran, perempuan yang menjadi pelacur merupakan korban dari adanya trafficking, sebab dalam 13
Thanh, & Truong 1992, Seks, Uang dan Kekuasaan: Pariwisata dan Pelacuran di Asia Tenggara, hh. 9. 14 Yentriyani, A 2004, Politik Perdagangan Perempuan, Galang Press, Yogyakarta, hh. 24.
17
masyarakat luas pelacur kerap kali dihina dan dikutuk seperti layaknya binatang yang menjijikan, di mana para pelacur dianggap menyimpang dari prinsip dan norma-norma sosial. Biasanya para korban trafficking berasal dari negara Dunia ke III. Ketiga, tujuan. Tujuan dari women trafficking adalah eksploitasi ekonomi dan eksploitasi seksual yang dapat berupa: prostitusi dengan paksaan, pembantu rumah tangga, buruh legal, buruh kontrak, perkawinan yang tidak seimbang (servile marriage), adopsi ilegal, pariwisata dan hiburan seks, pornografi, pengemis, digunakan dalam aktivitas kriminal lainnya. Bahkan di tempat tujuan terkadang para korban hidup dalam kondisi yang cukup memprihatinkan, diantaranya adalah disekap dalam ruangan/rumah, bekerja dalam ancaman, bekerja dengan jam kerja panjang dan tidak manusiawi, upah yang tidak dibayarkan, tidak cukup makan, kesehatan tidak terjamin, mengalami kekerasan fisik, diperkosa dan serangan seksual lainnya, mengalami perusakan genital, pelecehan seksual, ditipu untuk terus bekerja karena lilitan hutang.15 E.3 Politik Seksual dan Politik Perdagangan Perempuan Dalam argumen ini lebih menggunakan bagaimana hubungan dari ideologi patriarki berjalan. Tanpa disadari kegiatan pelacuran telah menempatkan diri dalam sebuah domain politik. Domain politik sosial telah menempatkan diri pada asumsi mengenai eksistensi oposisi kembar antara lelaki dan perempuan yang independen
dari
kelas,
sehingga
hubungan
antar
jenis
kelamin
dikonseptualisasikan sebagai sebuah hubungan dominasi.16 Sebuah basis dari
15 16
Ibid., hh. 25-26. Ibid., hh. 77.
18
kekuasaan merupakan identifikasi kontrol terhadap perilaku seksualitas perempuan dan perilaku seksualnya dapat diidentifikasi dan dipahami sebagai manifestasi seksualitas. Secara politis, implikasi kegiatan pelacuran telah menimbulkan hadirnya hubungan relasi kekuasaan yang saling berkaitan dalam industri seks. Kajian hubungan relasi kekuasaan dalam pelacuran dapat diperoleh menggunakan dua unsur utama, yaitu unsur objektif pelacuran seperti bagaimana struktur hukum, distribusi imbalan berjalan, dan kontrol terhadap pelayanan yang telah disediakan. Selanjutnya adalah unsur subjektif pelacuran atau bisa disebut dengan pengkategorisasian seksual. Dalam unsur sifat kekuasaan dalam hubungan seksual yang bersifat subjektif, telah disegregasikan melalui pendekatan Foucault dari gagasan umum tentang lelaki dan perempuan hingga menjadi rangkaian kategori yang lebih spesifik serta difusi kekuasaan melalui diskursus dan bermacam tekniknya dalam pembentukan subjek seksual. Namun, pendekatan yang dilakukan Foucault mengenai kekuasaan tidak menunjukkan keterkaitan antara pembentukan subjek melalui diskursus dan proses eksploitasi sehingga untuk mengaitkan gagasan kekuasaan mestinya dikaitkan dengan produksi. Teori Foucolt 1976 dalam History of Sexuality17 menegaskan bahwa seksualitas merupakan suatu hubungan kuasa yang dihasilkan melalui int eraksi yang kompleks dari diskursus plural (discursive practices) dan praktek kelembagaan dari aparatus seksualitas sampai abad ke-20.
17
Rohmah, R 2008, Politik Peka Perempuan, UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, hh. 30.
19
Sejalan dengan hubungan kekuasaan dalam pelacuran, Harrod 1987 mencoba mengembangkan gagasan pendekatan alternatif dalam hubungan kekuasaan dalam rangka menjembatani unsur subjektif dan objektif dalam pelacuran. Gagasan Harrod mengenai kekuasaan sedikit berbeda dengan Foucault, sebab Harrod secara esensial lebih menekankan pada tahap produktivitas. Namun beberapa pendekatan mereka terdapat kesamaan yaitu pada hubungan kekuasaan dan sosial. Harrod mengungkap bagaimana analisa kekuasaan material yang lahir dari hubungan-hubungan sosial, sedangkan Foucault menyediakan kerangka untuk menganilisis pembawaan aspek subjektif dan diskursif dari suatu kekuasaan. Apabila analisa tersebut disatukan maka akan menghasilkan analisa struktur hukum yang mengatur bagaimana pelacuran terjadi dan menghasilkan kerangka analisis yang mengatur industri pelayanan seks. Struktur kerangka hukum yang mengatur tentang pelacuran memandang pelacuran sebagai suatu ancaman moralitas publik dan dibeberapa negara melegalkan adanya pelacuran, namun tidak mengindahkan dorongan. Sehingga membawa dampak ambiguitas hukum pada pelayanan perusahaan industri seks, di mana tempat-tempat hiburan yang menyediakan pelayanan seks dibolehkan beroperasi namun pelacuran diisolasikan baik secara hukum maupun dari sisi moralitas. Harrod menegaskan bahwa tujuan kekuasaan yang mengelilingi produksi adalah pengontrolan terhadap apa yang diproduksi, struktur otoritas dalam produksi, serta distribusi imbalannya serta dalam pengoperasian kekuasaan dalam produksi menunjuk pada hubungan:
20
“multiple social relations approach, yakni sebuah pendekatan yang mengidentifikasikan sumber-sumber fundamental perbedaan antar kelompok dan kelas; dalam pelaksanaannya pendekatan tersebut menyediakan alat analisa yang dapat digunakan baik dalam mempertajam perbedaan-perbedaan tersebut, sebagaimana dalam startegi dividet-impera, atau dalam mengatasi perbedaan-perbedaan tersebut, sebagaimana dalam strategi solidaritas bagi perubahan, yang merupakan dua strategi kekuasaan utama, baik dikalangan kelompokkelompok dominan maupun diantara kelompok dominan yang didominasi”.18
Dalam hubungan produksi, didalamnya diatur bagaimana aspek-aspek subjektif dan objektif kekuasaan, di mana kekuasaan tersebut kerap dipengaruhi oleh elemen subjektif yang dapat berupa ideologi, agama, kebudayaan, dsb. Bahkan di dalam hubungan-hubungan kekuasaan dalam pelacuran, terdapat berbagai bentuk spesifik dalam pengoperasian hubungan kekuasaan tersebut. Sebagaimana variasi sifat pelayanan yang diproduksi dalam pelacuran atau pelayanan seksual mencakup suatu rentangan lebar institusi-institusi dalam sektor jasa personal, yaitu satu bentuk tertentu identitas seksual yang terkontruksi secara sosial beserta hubungannya dengan institusi-institusi spesifik akan mengkondisikan hubunganhubungan dominasi dan kontrol tertentu pula.19 Jalinan hubungan kekuasaan dalam pelacuran harus dikaji melalui tempat spesifik pelacuran tersebut berlangsung dan harus dipahami melalui konteks konfigurasi historis tertentu, dengan tidak meninggalkan pertimbangan pada aspek-aspek objektif dan subjektifnya. Hubungan-hubungan yang terjadi dalam pelacuran tidak selalu mempunyai garis batas yang tegas dan masih dapat dipisahkan, namun aktor langsung dan tidak langsung tersebut mempunyai garis hubungan kekuasaan dalam pelacuran. 18 19
Ibid., hh. 157. Ibid., hh. 159.
21
F.
Definisi Konseptual F.1 Pelacuran Pelacuran merupakan suatu bentuk hubungan badan atau kontak seksual
antara perempuan dan laki-laki di luar pernikahan, di mana seorang perempuan (pelacur) tersebut menjual tubuhnya kepada laki-laki siapa saja untuk mendapatkan imbalan bayaran sebagai upah dari pemuasan nafsu seksual demi mencari nafkah atau sebagai mata pencaharian dari perempuan (pelacur) tersebut.
F.2 Perdagangan Perempuan Perdagangan perempuan adalah suatu bentuk dari upaya untuk merekrut, pengangkutan atau bahkan penyelundupan perempuan yang dilakukan secara tersembunyi dengan cara penyekapan, penculikan, ancaman, tipuan, dll, di mana nantinya perempuan-perempuan tersebut digunakan dengan tujuan memaksa perempuan untuk masuk dalam dunia pelacuran, eksploitasi, dan ekonomi teroperasi yang justru akan menguntungkan perekrutnya.
F.3 Politik Seksual dan Politik Perdagangan Perempuan Politik Seksual merupakan suatu hasil dari kegiatan hubungan-hubungan kekuasaan dalam pelacuran yang digambarkan berdasarkan unsur objektif dan subjektif dari pelacuran. Dalam hubunbgan kekuasaan pada pelacuran, terdapat berbagai bentuk spesifik dalam pengoperasian hubungan kekuasaan tersebut, termasuk dalam hubungan kekuasaan melibatkan para aktor dan isntitusi dalam sektor jasa personal. Politik perdagangan perempuan adalah kegiatan yang
22
berkaitan dengan eksploitasi seksualitas yang melibatkan bentuk perdagangan seks dengan memperdagangkan perempuan melalui berbagai cara yang melibatkan berbagai aktor.
G.
Definisi Operasional Pelacuran terjadi apabila, terdapat rumah bordil beserta dengan germonya,
masih adanya penindasan ekonomi pada perempuan, dan masih adanya ideologi patriarki yang menempatkan perempuan pada posisi rendah dibandingkan dengan posisi laki-laki. Selanjutnya, perdagangan perempuan terjadi apabila masih didapati perempuan-perempuan miskin dan kurang berpendidikan akibat dari ideologi patriarki sehingga masih dapat dibodohi guna tujuan eksploitasi. Terakhir, politik seksual masih terjadi apabila dalam suatu tatanan masyarakat masih terdapat kegiatan pelacuran yang didalamnya terdapat hubungan kekuasaan.
H.
Metode Penelitian H.1 Jenis Penelitian Penelitian mengenai alur politik perdagangan perempuan sebagai
komoditas seks di wilayah Gang Sadar, Purwokerto bertujuan untuk menggambarkan bagaimana pelaksanaan alur politik pelacuran dan dampak yang ditimbulkan. Oleh sebab itu penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif. Metode penelitian deskriptif merupakan penelitian yang dimaksudkan untuk mengumpulkan informasi mengenai status suatu gejala yang ada, yaitu keadaan gejala menurut apa adanya pada saat penelitian dilakukan. Penelitian
23
deskriptif tidak dimaksudkan untuk menguji hipotesis tertentu, tetapi hanya menggambarkan “apa adanya” tentang suatu variabel, gejala atau keadaan.20 Penelitian ini juga bertujuan untuk memperoleh jawaban dan gambaran mengenai faktor-faktor penyebab adanya prostitusi di Gang Sadar dan mencoba memetakan aktor-aktor yang saling berelasi dalam jaringan prostitusi di Gang Sadar secara mendalam dan menyeluruh serta mampu menangkap fenomena yang senyatanya terjadi di lapangan. Oleh karena itu, dalam penelitian ini juga akan digunakan penelitian metode kualitatif dengan pendekatan studi kasus. Jenis studi kasus yang digunakan adalah studi kasus deskriptif. William F. Whyte megatakan bahwa studi kasus deskriptif akan melacak urutan peristiwa hubungan antarpribadi, menggambarkan subbudaya yang sudah jarang menjadi topik penelitian, dan menemukan fenomena kunci.21 Dalam penelitian studi kasus akan dikaji faktor-faktor dalam alur perdagangan perempuan sebagai komoditas seks dan akan mkendeskripsikan alur beserta penyebabnya. Oleh sebab itu penelitian ini ditujukan untuk menggali, menganalisa, dan menjelaskan secara detail tentang alur perdagangan perempuan sebagai komoditas seks di Gang Sadar. Kelebihan menggunakan metode penelitian jenis studi kasus adalah dapat memahami kasus yang diteliti secara mendalam dan dapat dekat dengan subjek yang menjadi penelitian. Selain menggunakan jenis penelitian studi kasus, penelitian ini juga akan dibarengi dengan jenis etnografi guna mengkaji lebih dalam mengenai peristiwa kultural di Gang Sadar. Adapun pengertian dari studi etnografi adalah salah satu 20 21
Arikunto, Suharsimi 2000, Manajemen Penelitian, hh. 310. Yin 2005, Studi Kasus: Desain & Metode, hh. 5.
24
deskripsi tentang cara mereka berpikir, hidup, dan berperilaku.22 Kelebihan menggunakan etnografi adalah dapat berperan sebagai petunjuk yang menunjukan sifat dasar ikatan-budaya teori-teori ilmu sosial dan dapat menunjukan berbagai prbedaan budaya dan bagaimana orang dengan persfektif yang berbeda berinteraksi. H.2 Sumber Data Sumber data yang akan digunakan dalam penelitian adalah menggunakan sumber data primer dan sumber data skunder. Sumber data sekunder merupakan sumber data yang tidak diperoleh secara langsung melalui informan, sehingga dalam penelitian ini sumber data sekunder akan diperoleh dengan menggunakan buku-buku litertur, dokumen-dokumen, data di internet, dll yang berhubungan dengan tema penelitian ini. Sedangkan mengenai data primer, peneliti akan memperoleh data dengan melakukan wawancara secara mendalam kepada informan-informan yang berada dalam hubungan relasi di Gang Sadar yang berkaitan dalam penelitian ini.
H.3 Teknik Pengumpulan Data Sebagaimana lazimnya dalam penelitian kualitatif jenis studi kasus, maka dalam penelitian ini akan dikaji bagaimana alur politik yang melibatkan tiga aktor penting dalam perdagangan perempuan sebagai eksploitasi seks, di mana dalam penelitian ini dibutuhkan data yang akurat dan tepat sasaran guna mengorek data yang dianggap relevan dan menunjang dalam penelitian ini. Oleh sebab itu, teknik
22
Salim, A 2001, Teori dan Paradigma Penelitian Sosial, hh. 152.
25
pengumpulan data dalam penelitian ini tidak terlepas dari pencarian data primer dan data sekunder, yaitu akan digunakan teknik wawancara secara mendalam, observasi lapangan, dan studi literatur atau dokumen. H.3.1 Wawancara Mendalam Dalam penelitian kualitatif dan pencarian data primer, teknik wawancara secara mendalam sangat diperlukan dan menjadi sangat penting dalam teknik pencarian data ini. Konsep dalam menggunakan teknik wawancara dilakukan secara terbuka dan informal dengan menggunakan bahasa yang mudah dimengerti oleh informan sehingga diharapkan dapat diperoleh kedekatan khusus antara peneliti dan informan sehingga dapat dengan mudah menggali data. Dalam penggalian data juga turut menyertakan empat model teknik wawancara, yaitu: pertama, wawancara alamiah-informal yakni pertanyaan dikembangkan secara spontan terhadap responden; kedua, wawancara yang telah dipersiapkan sebelumnya oleh peneliti dengan pertanyaan umum yang akan diajukan kepada responden; ketiga, wawancara dengan pedoman terstandar terbuka yaitu digunakan jika wawancara yang digunakan untuk pengumpul data guna membatasi temuan dengan variasi yang akan muncul; keempat, wawancara tidak langsung yaitu wawancara yang digunakan oleh beberapa orang akibat sesuatu hal yang tidak dapat dilakukan oleh peneliti.23 Wawancara dalam penelitian ini akan dilakukan dengan pihak informan yang berkaitan, yaitu para pelacur di Gang Sadar, para calo yang menghubungkan “pembeli” dan “penjual, dan pihak germo di Gang Sadar. Dengan teknik seperti ini, diharapkan hasil wawancara dengan
23
Salim, A 2005, Teori Paradigma Penelitian Sosial, hh. 17.
26
beberapa elemen informan akan didapatkan data yang komprehensif guna kepentingan penelitian.
H.3.2 Observasi Lapangan Langkah observasi lapangan dalam penelitian ini dianggap penting karena peneliti dapat secara langsung mengamati berbagai kegiatan pelacuran yang dilakukan di Gang Sadar. Untuk mendapatkan data yang valid dan obyektif, harus mengerti hal yang dicari di dalam pengamatan (observasi), sehingga tidak bias dengan pandangan subyektif peneliti. Dari metode observasi jelas peneliti akan memperoleh keuntungan, yaitu dapat memperoleh informasi secara langsung dari para informan di Gang Sadar, dan peneliti juga mendapatkan keuntungan tambahan yaitu dapat memperoleh data-data yang tidak terduga melalui metode observasi yang terkadang tidak didapatkan melalui wawancara. Tipe informasi yang didapat dari observasi, yaitu setting, meliputi lingkungan fisik, lingkungan manusia dan sosial, meliputi cara interaksi antar manusia, tingkah laku manusia dalam hubungannya dengan lingkungan eksternal, lembaga dan organisasi serta fasilitas yang tersedia.24 Dalam observasi yang dilakukan pada kawasan pelacuran Gang Sadar membutuhkan waktu dan beberapa izin untuk meyakinkan “penghuni” Gang Sadar, namun hal tersebut tidak menjadi kesulitan yang berarti oleh peneliti dalam proses pencarian data yang murni tanpa ada rekayasa.
24
Abdullah, Irwan 2002, Materi Kuliah Metodologi Penelitian Kualitatif, hh. 4. 27
Langkah yang dilakukan peneliti dalam observasi lapangan adalah dengan melakukan pengamatan pada saat siang hari hingga aktivitas di Gang Sadar berakhir. Pengamatan tersebut dilakukan peneliti dengan turut berinteraksi membaur bersama mereka. Selain itu peneliti juga turut mengamati proses tawar menawar hingga kesepakatan transaksi serta mengikuti berbagai kegiatan di Gang Sadar seperti pertemuan rutin anak asuh, germo, pengurus paguyuban, dan “anjelo”.
H.3.3 Studi Literatur atau Dokumen Merupakan data skunder guna pelengkapan data yang tidak dapat diperoleh melalui wawancara maupun observasi yang bersifat historis. Yang termasuk dalam studi literatur atau dokumen lainnya antara lain karya ilmiah, jurnal, media massa, foto, buku dan penelitian lainnya yang dianggap relevan. Studi literatur atau dokumen yang dipilih sebagai pelengkap penggalian data dapat memaksimalkan perolehan data secara lebih valid dan dapat digunakan sebagai bukti dalam pengujian maupun digunakan sebagai data pembanding penelitian sehingga didapatkan data yang lebih valid, komprehensif, dan tetap alamiah. Literatur maupun dokumen yang membahas mengenai konsep pelacuran terutama mengenai pola kehidupan kegiatan pelacuran di Gang Sadar juga dirasa peneliti cukup banyak karena hingga saat ini masih menjadi sorotan diberbagai kalangan masyarakat sehingga dapat membantu peneliti dalam pencarian data yang bersifat historis-empiris. H.4 Teknik Analisis Data
28
Data dan informasi yang berhasil diperoleh akan dianalisis dengan menggunakan analisis data pendekatan kualitatif dengan konsep deskriptif. Data dan informasi yang diperoleh akan dianalisis dengan langkah-langkah sebagai berikut: pertama, dari hasil wawancara dan observasi lapangan, data yang sudah ditulis dalam catatan akan segera diseleksi, dipelajari, dipahami, dianalisa, dan direduksi data dengan membuat rangkuman. Kedua, data yang telah dibuat rangkuman akan disusun dalam variabel-variabel penelitian dengan melakukan kodifikasi atas data yang terkumpul. Ketiga, selanjutnya data tersebut akan diperiksa keabsahannya dengan melakukan ketekunan pengamatan guna menemukan ciri dan unsur dalam situasi yang sangat relevan dengan persoalan penelitian serta akan dilakukan triangulasi dalam rangka pengecekan terhadap data. Keempat, adalah mengolah kata dan kalimat supaya menjadi suatu karya ilmiah yang bersifat deskriptif. Dalam melakukan pengolahan data tersebut, peneliti akan mengkolaborasikan dengan teori yang sudah dipaparkan dalam kerangka teori. Harapannya, dalam proses penulisan akan berjalan sesuai dengan teori yang sudah dipaparkan. Selanjutnya adalah finishing dengan memaparkan temuan penelitian secara jelas berdasarkan tahapan analisis sehingga akan didapatkan tahapan paling akhir, yaitu kesimpulan dari penelitian. I.
Sistematika Penulisan Penulisan hasil penelitian ini akan dijabarkan ke dalam lima bab. Masing-
masing bab akan dibahas secara mendetail dan akan saling berkaitan antara satu bab dengan bab yang lainnya. Adapun susunan bab yang akan dijabarkan penulis mencakup sebagai berikut: Bab pertama, meliputi latar belakang yang
29
menceritakan bagimana penulis dapat memilih topik tersebut hingga menjadi menarik untuk dikaji; rumusan masalah yang akan menjadi masalah dan selanjutnya menjadi pijakan dalam mencari jawaban penelitian; kerangka teori yang berisi teori pendukung dan digunakan untuk mengkerangkai penelitian supaya dapat menemukan jawaban yang akan digali oleh penulis; definisi konseptula dan definisi operasional; metode penelitian yang berisi mengenai jenis penelitian yang akan penulis gunakan dalam teknik pengumpulan data dan teknik analisis data. Bab dua adalah indetifikasi wilayah pelacuran Gang Sadar. Pada bab ini akan membahas secara rinci mengenai sejarah dan perkembangan wilayah kompleks Gang Sadar. Serta akan dibahas bagaimana denyut kehidupan Gang Sadar sebagai wilayah pelacuran. Bab tiga adalah politik kepentingan aktor gang sadar. Dalam bab ini akan dibahas profil aktor yang saling terkait dalam pelacuran di Gang Sadar dan bagaimana mereka akan saling berhubungan. Bab empat adalah politik perdagangan perempuan di Gang Sadar. Bab ini akan membahas mengenai bagaimana perempuan terlibat dalam praktik perdagangan perempuan yang melibatkan berbagai aktor dan bagaimana para aktor tersebut merentangkan kekuasannya dalam politik perdagangan perempuan. Bab lima adalah kesimpulan yang berisi cerita singkat mengenai hasil penelitian secara keseluruhan.
30