BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah korupsi ini bukan lagi sebagai masalah baru dalam persoalan hukum dan ekonomi bagi suatu negara karena masalah korupsi telah ada sejak ribuan tahun yang lalu, baik di negara maju maupun di negara berkembang termasuk Indonesia. Bahkan perkembangan masalah korupsi di Indonesia saat ini sudah demikian parahnya dan menjadi masalah yang sangat luar biasa karena sudah meningkat dan menyebar ke seluruh lapisan masyarakat. Menyadari kompleksnya permasalahan korupsi di tengah-tengah krisis multimedimensial serta ancaman nyata yang pasti akan terjadi yaitu dampak dari kejahatan ini. Maka tindak pidana korupsi dapat dikategorikan sebagai permasalahan nasional yang harus dihadapi secara sungguh-sungguh melalui keseimbangan langkah-langkah yang tegas dan jelas dengan melibatkan seluruh potensi yang ada di dalam masyarakat khususnya pemerintah dan aparat penegak hukum. Meningkatnya Tindak Pidana Korupsi yang terkendali akan membawa bencana, tidak hanya bagi perekonomian nasional melainkan juga bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Hasil survei Transvaransi Internasional Indonesia (TII) menunjukan bahwa Indonesia merupakan negara paling korup nomor 6 (enam) dari 133 negara. Di
Universitas Sumatera Utara
kawasan Asia, Bangladesh dan Myanmar lebih korup dibandingkan Indonesia. Nilai Indeks Persepsi Korupsi (IPK), ternyata Indonesia lebih rendah dari pada negara Papua Nugini, Vietnam, Philipina, Malaysia dan Singapura. Sedangkan pada tingkat dunia, negara-negara yang ber-IPK lebih buruk dari Indonesia merupakan negara yang sedang mengalami konflik. 1 Masalah korupsi terkait dengan kompleksitas masalah, antara lain masalah moral/sikap mental, masalah pola hidup kebutuhan serta kebudayaan dan lingkungan sosial, masalah kebutuhan/tuntutan ekonomi dan kesejahteraan sosial-ekonomi, masalah struktur/sistem ekonomi, masalah sistem/budaya politik, masalah mekanisme pembangunan dan lemahnya birokrasi/prosedur administrasi (termasuk sistem pengawasan) di bidang keuangan dan pelayanan publik”. 2 Korupsi juga menjadi pintu masuk berkembang suburnya terorisme dan kekerasan oleh sebab kesenjangan sosial dan ketidakadilan masih berlanjut atau berlangsung sementara sebagian kecil masyarakat dapat hidup lebih baik, lebih sejahtera, mewah di tengah kemiskinan dan keterbatasan masyarakat pada umumnya. Munculnya aksi-aksi terror disebabkan oleh menganganya kesenjangan dan ketidak adilan dalam masyarakat. Hal yang sering kurang disadari oleh pelaku-pelaku korupsi, tindak pidana korupsi merupakan kejahatan kompleks dan berimplikasi sosial kepada orang lain
1 2
Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi, Sinar Grafika, Jakarta, 2005, hal. 2 Barda Nawawi Arif, Kapita Selekta Hukum Pidana, Penerbit Alumni Bandung, 2003, hal.
85-86
Universitas Sumatera Utara
karena menyangkut hak orang lain untuk memperoleh kesejahteraan yang sama. Bahkan korupsi dapat disebut sebagai dosa sosial dimana sebuah dosa atau kejahatan yang dilakukan dan berdampak bagi banyak orang, nilai kedosaan jauh lebih besar ketimbang dosa yang sifatnya personal. 3 Diberlakukannya Undang-undang No. 31 Tahun 1999 jo. Undang-undang No. 20 Tahun 2001 dimaksudkan untuk menanggulangi dan memberantas korupsi. Politik kriminal merupakan strategi penanggulangan korupsi yang melekat pada Undangundang tersebut. Mengapa dimensi politik kriminal tidak berfungsi, hal ini terkait dengan sistem penegakkan hukum di negara Indonesia yang tidak egaliter. Sistem penegakkan hukum yang berlaku dapat menempatkan koruptor tingkat tinggi diatas hukum. Sistem penegakkan hukum yang tidak kondusif bagi iklim demokrasi ini diperparah dengan adanya lembaga pengampunan bagi konglomerat korup hanya dengan pertimbangan selera, bukan dengan pertimbangan hukum.
4
Budaya hukum elit penguasa tidak menghargai kedaulatan hukum, tetapi lebih mementingkan status sosial si koruptor dengan melihat kekuasaan politik atau kekuatan ekonominya. Praktik penegakan hukum seperti ini bertentangan dengan kaidah prasyarat bernegara hukum. Membiarkan para koruptor menjarah kekayaan atau asset negara berarti menjadi bagian dari pengkhianat negara. Budaya antikorupsi harus dimobilisasi melalui gerakan hukum dan gerakan sosial politik secara simultan. Gerakan ini harus dimotori integritas moral moral para personal dan keandalan 3 4
Paulus Mujiran, Republik Para Maling, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2004, hal. 2 Evi Hartanti, Opcit, hal. 4
Universitas Sumatera Utara
jaringan institusional. Dengan demikian, arus tersebut pada gilirannya secara signifikan mampu membuat teloransi nol terhadap fenomena korupsi. Dampak yang ditimbulkan korupsi ini dapat menyentuh berbagai bidang kehidupan. Korupsi merupakan hal yang serius karena tindak pidana ini dapat membahayakan stabilitas dan keamanan masyarakat, merusak nilai-nilai demokrasi dan moralitas serta membahayakan pembangunan sosial ekonomi karena keuangan negara secara otomatis akan mengalami kerugian. Salah satu cara yang dapat dipergunakan untuk mengembalikan kerugian negara tersebut adalah dengan memberikan pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti. Upaya ini telah memberikan hasil yaitu berupa pemasukan ke kas negara dari hasil pembayaran uang pengganti dari beberapa terpidana yang telah ditetapkan jumlah pembayaran uang penggantinya oleh pengadilan. Uang pengganti sebagai pidana tambahan dalam perkara korupsi harus dipahami sebagai bagian dari upaya pemidanaan terhadap mereka yang melanggar hukum. Dalam hal ini hukum yang dilanggar adalah tindak pidana korupsi. Namun pengembalian kerugian keuangan negara ini tidak hanya melalui jalur atau upaya pemidanaan saja. Melainkan dapat juga dilakukan melalui upaya Hukum Perdata seperti yang diatur dalam Pasal 34 Undang-undang No. 31 Tahun 1999 jo. Undang-undang No. 20 Tahun 2001. Dimana dalam hal si terdakwa dalam kasus korupsi meninggal dunia pada saat dilakukan pemeriksaan di sidang di pengadilan, sedangkan secara nyata telah ada kerugian negara. Maka yang dituntut untuk
Universitas Sumatera Utara
melakukan pembayaran kerugian negara tersebut adalah ahli warisnya. Dimana hal tersebut dilakukan gugatan perdata oleh Jaksa Pengacara Negara. Instrumen civil forfeiture atau hukum acara perdata khusus yang dianut oleh negara Amerika dan New Zealand untuk mengembalikan kerugian keuangan negara, sekilas mirip dengan gugatan perdata yang ada dalam Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Upaya perdata dalam Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menggunakan aturan perdata biasa dimana proses persidangannya masih tunduk pada hukum perdata formil atau materiil biasa. Civil forfeiture menggunakan aturan perdata yang berbeda, seperti pembalikan beban pembuktian. Civil forfeiture tidak berkaitan dengan pelaku tindak pidana dan memperlakukan sebuah aset sebagai pihak yang berperkara. Perbedaan tersebut menghasilkan dampak yang berbeda.
5
Gugatan Perdata yang ada dalam Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi memberikan beban pembuktian adanya unsur kerugian negara kepada Jaksa Pengacara Negara. Sebaliknya civil forfeiture mengadopsi prinsip pembalikan beban pembuktian dimana para pihak yang merasa keberatan membuktikan bahwa aset yang digugat tidak mempunyai hubungan dengan korupsi. Hal ini menjadikan Jaksa Pengacara Negara cukup membuktikan adanya dugaan bahwa aset yang digugat mempunyai hubungan dengan suatu tindak pidana korupsi.
5
http://gagasanhukum.wordpress.com/2008/10/27/prinsip-pengembalian-aset-hasil-korupsibagian-x/, diakses tanggal 15 Maret 2011
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka penulis tertarik untuk melakukan penulisan dengan memilih judul, “Kewenangan Jaksa Pengacara Negara Dalam Gugatan Pengembalian Kerugian Keuangan Negara Akibat Tindak Pidana Korupsi Yang Terdakwanya Meninggal Dunia” dalam skripsi ini. B. Perumusan Masalah
Permasalahan yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah :
1. Bagaimana kewenangan Jaksa dalam Sistem Peradilan Pidana yang ada di Indonesia ? 2. Bagaimana Perbandingan Proses Pengembalian Kerugian Keuangan Negara Dalam Tindak Pidana Korupsi Antara Instrumen Hukum Perdata Dan Instrumen Hukum Pidana ? 3. Bagaimana Kewenangan Jaksa Pengacara Negara (JPN) Dalam Melakukan Gugatan Pengembalian Kerugian Keuangan Negara Akibat Tindak Pidana Yang Terdakwanya Meninggal Dunia ?
C. Tujuan Dan Manfaat Penulisan
Ada pun yang menjadi tujuan dari penulisan skripsi ini adalah :
1. Untuk mengetahui mengenai kewenangan jaksa dalam sistem peradilan pidana.
Universitas Sumatera Utara
2. Untuk mengetahui mengenai Perbandingan Proses Pengembalian Kerugian Keuangan Negara Dalam Tindak Pidana Korupsi Antara Instrumen Perdata Dan Instrumen Pidana 3. Untuk mengetahui mengenai kewenangan Jaksa Pengacara Negara (JPN) dalam melakukan gugatan pengembalian kerugian keuangan negara akibat tindak pidana korupsi yang terdakwanya meninggal dunia.
Sedangkan manfaat penulisan skripsi ini adalah:
1.Manfaat teoritis Penulis berharap karya tulis ilmiah yang berbentuk skripsi ini dapat memberi manfaat bagi kalangan akademis pada khususnya dan masyarakat pada umumnya yang membutuhkan informasi mengenai penanganan atau melakukan gugatan pengembalian kerugian keuangan negara akibat tindak pidana korupsi yang terdakwanya meninggal dunia serta kewenangan jaksa pengacara negara dalam pengembalian kerugian keuangan negara akibat terdakwa tindak pidana korupsi yang meninggal dunia. 2.Manfaat praktis Skripsi ini juga diharapkan dapat membantu aparat penegak hukum dalam melakukan proses pengembalian kerugian keuangan negara akibat tindak pidana korupsi yang terdakwanya meninggal dunia.
Universitas Sumatera Utara
D. Keaslian Penulisan Penulisan karya tulis ilmiah dengan judul “KEWENANGAN JAKSA PENGACARA
NEGARA
(JPN)
DALAM
MELAKUKAN
GUGATAN
PENGEMBALIAN KERUGIAN KEUANGAN NEGARA AKIBAT TINDAK PIDANA YANG TERDAKWANYA MENINGGAL DUNIA” yang diangkat sebagai judul skripsi ini telah diperiksa melalui penelusuran kepustakaan Fakultas Hukum USU. Tema diatas adalah hasil pemikiran sendiri dibantu dengan refrensi, buku-buku, dan pihak-pihak lain dan judul tersebut belum pernah ditulis di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara sebelumnya. Data yang digunakan guna melengkapi penulisan skripsi ini memanfaatkan informasi yang diperoleh dari berbagai media, baik itu media cetak atau pun pengumpulan informasi melalui internet. Dengan demikian keaslian skripsi ini dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah. E. Tinjauan Kepustakaan 1. Pengertian dan sejarah jaksa a) Pengertian jaksa Menurut Pasal 1 butir 1 Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia: “ Jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk bertindak sebagai Penuntut Umum dan pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap serta wewenang lain berdasarkan undangundang”.
Universitas Sumatera Utara
Dan dalam Pasal 1 butir 6 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 disebutkan bahwa: a. Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk bertindak sebagai Penuntut Umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. b. Penuntut Umum adalah Jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim. b)
Sejarah Perkembangan Kejaksaan Republik Indonesia Kata “ Jaksa” dapat dilihat dari kata Adhyaksa 6 yang berasal dari bahasa
Sansekerta yang memiliki arti pegawai kehakiman atau hakim komisaris dan juga dapat diartikan sebagai pengawas dalam urusan kependetaan bagi agama hindu dan syiwa yang mengepalai kuil-kuil di Pulau Jawa dan terutama untuk gelar hakim kerajaan yang tertinggi. Dahulu “Adhyaksa” tidak sama tugasnya dengan tugas utama “Penuntut Umum” dewasa ini. Lembaga Penuntut Umum seperti sekarang ini tidak sebagai hakim seperti “Adhyaksa” dahulu kala, tetapi keduanya mempunyai persamaan tugas yaitu dalam penyidikan perkara dan penuntutan. Barulah sejak VOC istilah “adhyaksa” diambil alih menjadi “jaxa”, kemudian dilanjutkan, setidak-tidaknya
6
Adhyaksa ini kemudian berubah menjadi kata “jaksa”.
Universitas Sumatera Utara
mempengaruhi pemerintahan Hindia Belanda pada saat itu. Hal ini terlihat pada penempatan Jaksa di bawah Residen atau Asisten Residen. 7 Kejaksaan Republik Indonesia, baru lahir bersamaan dengan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, dimana pada waktu itu secara administratif masih ada dalam lingkungan Depertemen Kehakiman. Setelah diundangkannya Undangundang Nomor 15 Tahun 1961 tanggal 30 Juni 1961 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kejaksaan, barulah ia menjelma menjadi Lembaga Negara yang mandiri. Pada mulanya berstatus sebagai departemen, namun selanjutnya berkembang menjadi non Departemen/Kejaksaan Republik Indonesia. Sejarah mengenai fungsi dan tugas Kejaksaan dapat kita bagi dalam 2 babak penting yaitu: 1) Sebelum KUHAP Berlaku Ketentuan hukum acara pidana produk peninggalan Belanda (HIR) mulai berlaku pada tahun 1845 berdasarkan IR (Indlandsch Reglement) yang pada tahun 1941 diubah menjadi HIR (Het Herziene Indlandsch Reglement). Badan-badan peradilan diatur berdasarkan Reglement of de Rechterlijke Organisatie en het Beleid der Justitie (RO) berdasarkan Staatsblad 1847-23, yang mulai berlaku tanggal 1 Mei 1846. Karena RO ini hanya berlaku di Jawa dan Madura, maka pemerintah kolonial Belanda membuat Rechtsreglement Buitengewesten (RBg), untuk wilayah luar Jawa dan Madura.
7
Djoko Prakoso, Mengenal Lembaga Kejaksaan di Indonesia, PT. Bina Aksara, Jakarta, 1987, hal. 17
Universitas Sumatera Utara
Pasal 1 RO menetapkan adanya 7 (tujuh) badan peradilan di Jawa dan Madura, tetapi yang berkaitan dengan peran Kejaksaan hanya “Landraad” , “Raad Van Justitie”, dan “hogerechtshoof” (masing-masing kemudian berubah menjadi Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, dan Mahkamah Agung). Di ketiga jenjang Pengadilan ini peran Jaksa diatur oleh Pasal 55 HIR. Kejaksaan pada masa itu diperankan oleh “openbaar ministerie”, lembaga yang sama dengan Belanda. Kejaksaan di tingkat Landraad dan Raad van Justitie, dilakukan oleh Officier van Justitie. Sedangkan untuk tingkat “Hogerechtshoof” dilaksanakan oleh”Procureur General” atau penggantinya “Advocaat Generaal”.8 Pada tanggal 1 Oktober 1945 oleh Presiden Soekarno diumumkan bahwa seluruh kantor Kejaksaan masuk ke dalam lingkungan Kementerian Kehakiman. Urusan anggaran personalia dan administrasi Kejaksaan menjadi tanggung jawab Menteri Kehakiman. Meskipun demikian, dalam urusan penegakkan hukum, Jaksa Agung tidak bertanggung jawab kepada Menteri Kehakiman, melainkan langsung kepada Presiden. Hal itu dilandasi ketentuan Pasal 50 RO jo Aturan Peralihan UUD 1945, dan PP No. 2 Tahun 1945. Kedudukan Kejaksaan berubah lagi dengan dikukuhkannya Keputusan Presiden No. 204 Tahun 1960, di mana Kejaksaan dilepaskan dari pengertian “Kejaksaan pada Pengadilan”, dan tidak lagi sekedar alat pelaksana kekuasaan pemerintah di bidang peradilan, melainkan juga merupakan bagian dari pemerintah itu sendiri. Kejaksaan
8
Achmad Roestandi dan Muchjidin Effendie. Komentar atas UU No. 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan RI, Pradya Paramita, Jakarta, 1993, hal. 5
Universitas Sumatera Utara
dijadikan Departemen, dan Jaksa Agung menjadi jabatan politis dengan kedudukan menteri ex-officio dan selanjutnya menjadi menteri penuh setelah dikeluarkannya UU No. 5 Tahun 1961 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kejaksaan. 9 Kelahiran Orde Baru kembali membawa perubahan dalam kehidupan ketatanegaraan RI berdasarkan Surat Keputusan Presidium Kabinet Ampera No. 26/U/Kep/1966 tentang Penegasan status Kejaksaan Agung, yang menempatkan Kejaksaan ke dalam pengurusan Kabinet Presidium. Sebutan Menteri untuk Jabatan Jaksa Agung dan Departemen Kejaksaan Agung dihapuskan. Pada periode 19661973, Kejaksaan dengan seizin Presiden dapat melakukan tindakan penyelidikan dan penyidikan. Bahkan, melakukan penangkapan dan penahanan atau semua tindakan polisi terhadap pimpinan dan atau anggota DPR dari kalangan sipil, meminta keterangan kepada bank mengenai keadaan keuangan tersangka pidana korupsi dengan seizin Menteri Keuangan, dan dapat memerintahkan tindakan kepolisian terhadap anggota BPK guna kepentingan pemeriksaan pidana. Mulai tahun 1973, Kejaksaan tidak berwenang lagi pada bidang peradilan militer. 2) Sesudah KUHAP Berlaku Diundangkannya KUHAP pada tanggal 31 Desember 1981 membawa perubahan mendasar dalam sistem peradilan pidana di Indonesia. Perubahan mendasar ini mempengaruhi sistem penyidikan. Di bidang penyidikan, perubahaan mendasar ini terlihat dari sistem peradilan pidana mengutamakan perlindungan Hal
9
UU ini di undangkan pada tanggal 2 Januari 1961, dan kemudian sejak saat itu dianggap sebagai hari lahir Kejaksaan.
Universitas Sumatera Utara
Asasi
Manusia.
KUHAP
mengadakan
spesialisasi,
differensiasi
dan
kompartemensasi, serta jenis pelaksanaan dan pembagian tugas antara penyidik, penuntut umum, dan hakim dalam pelaksanaan penegakkan hukum. Di dalam KUHAP diatur wewenang Penuntut Umum. Dalam hal ini Kejaksaan merupakan kesatuan, karena ia terdiri dari pejabat-pejabat yang tersusun secara hirarkis. Pejabat tingkat atas berwenang memberikan perintah-perintah kepada pejabat bawahannya di dalam melaksanakan tugas jabatan mereka. Setelah 10 tahun KUHAP berlaku, Kejaksaan mengajukan Rancangan Undangundang tentang Kejaksaan Indonesia untuk mengubah Undang-undang No. 5 Tahun 1961 yang dirasakan sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan masyarakat, serta tidak lagi sesuai dengan jiwa KUHAP. 10 Dan pada tahun 1991 keluar Undang-Undang Nomor 05 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. 11 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1991 ini menetapkan tentang kedudukan, organisasi, jabatan, tugas, dan wewenang Kejaksaan. Setelah Kejaksaan berkurang fungsinya dibidang penyidikan dengan keluarnya KUHAP, dalam UU No. 5 Tahun 1991 ini terjadi pergeseran peran Jaksa yang terutama di bidang Pidana, ke peran Kejaksaan dalam Bidang Perdata dan Tata Usaha Negara yaitu dalam Pasal 27 ayat (2) bahwa: “Kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang di bidang Perdata dan Tata Usaha Negara, kejaksaan dengan kuasa khusus dapat bertindak di dalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas nama negara atau pemerintah”. 10
Diajukan oleh pemerintah kepada DPR-RI dengan amanat Presiden RI No. R. 07/PU/IX/1990 tanggal 17 September 1990. RUU ini terdiri dari 5 Bab dan 37 Pasal 11 Disahkan pada tanggal 22 juli 1991;LN Tahun 1991 No. 59, TLN No. 3451
Universitas Sumatera Utara
Seperti yang kita ketahui bahwa salah satu faktor pendorong Kejaksaan untuk menjalankan fungsinya di bidang Perdata dan Tata Usaha Negara, yaitu melihat perkembangan masyarakat sekarang ini terdapat permasalahan yang sangat ruwet, misalnya tentang permasalahan pengembalian kerugian keuangann negara akibat tindak pidana korupsi yang terdakwanya meninggal dunia ini. Dalam hal ini pemerintah membutuhkan bantuan hukum untuk mengamankan aset negara dari hasil korupsi tersebut. Perkembangannya sekarang, Undang-undang Nomor 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan Republik Indonesia sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan hukum masyarakat dan kehidupan ketatanegaraan menurut Undangundang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang akhirnya digantikan dengan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan
Republik
Indonesia.
Pembaharuan
Undang-undang
Kejaksaan
dimaksudkan untuk memberikan landasan yuridis yang mantap agar Kejaksaan Republik Indonesia lebih mampu dan berwibawa dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya sebagai lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan Negara di bidang penuntutan yang dilaksanakan secara merdeka. 2. Pengertian dan Ruang Lingkup Tindak Pidana Korupsi Istilah korupsi berasal dari suatu kata dalam bahasa latin, yakni corruption atau corruptus yang disalin ke berbagai bahasa. Dalam Ensiklopedia Indonesia korupsi
Universitas Sumatera Utara
gejala dimana pejabat, badan-badan negara yang menyalahgunakan wewenang dengan terjadinya penyuapan, pemalsuan. Adapun arti harafiah dari korupsi: a. Kejahatan, kebusukan, dapat suap, tidak bermoral, kebejatan, dan ketidak jujuran 12 b. Perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok 13 Secara harafiah, korupsi merupakan sesuatu yang busuk, jahat dan merusak. Jika membicarakan korupsi, akan menemukan kenyataan bahwa korupsi menyangkut masalah segi-segi moral, sifat dan keadaan yang busuk, jabatan dalam instansi atau aparatur pemerintah, penyelewengan kekuasaan dalam jabatan karena pemberian, faktor ekonomi, dan politik, serta penemapatan keluarga atau golongan ke dalam dibawah jabatannya. Dengan
demikian,
secara
harafiah
dapat
ditarik
kesimpulan
bahwa
sesungguhnya istilah korupsi yang memiliki arti yang sangat luas, yakni : 1. Korupsi, penyelewengan atau penggelapan (uang Negara atau perusahaan) untuk kepentingan pribadi dan orang lain. 2. Korupsi : busuk ; rusak ; suka memakai barang atau uang yang dipercayakan kepadanya ; dapat disogok (melalui kekuasaannya atau kepentingan pribadi).
12
S.Wojowasito-W. J. S. Poerwadarminta, Kamus Lengkap Inggris-Indonesia, IndonesiaInggris, Penerbit : Hasta, Bandung 13 W. J. S Poerwadarminta, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Penerbit : Balai Pustaka, Jakarta, 1976
Universitas Sumatera Utara
Unsur-unsur Tindak Pidana Korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah : 1. Melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi; 2. Perbuatan melawan hukum; 3. Merugikan keuangan Negara atau perekonomian; 4. Menyalahgunakan kekuasaan, kesempatan atas sarana yang ada padanya karena jabatan dan kedudukannya dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain. Menurut Baharuddin Lopa, dalam bukunya yang berjudul Kejahatan Korupsi dan Penegakan Hukum, korupsi menurut sifatnya , terbagi dalam 2 bentuk, yakni: 14 a. Korupsi yang bersifat motif terselubung, yakni korupsi yang sepintas kelihatannya bermotif politik, tetapi secara tersembunyi sesungguhnya bermotif mendapatkan uang semata. b. Korupsi yang bermotif ganda, yakni seseorang yang melakukan korupsi secara lahiriah kelihatannya hanya bermotifkan mendapatkan uang, tetapi sesungguhnya bermoif lain, yakni untuk motif politik.
14
Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta,2006, Hal. 8
Universitas Sumatera Utara
Menurut Shed Husein dalam bukunya Sosiologi Korupsi, menjelaskan ciri-ciri korupsi sebagai berikut : 15 a. Korupsi senantiasa melibatkan lebih dari satu orang. Hal ini tidak sama dengan kasus pencurian atau penipuan. b. Korupsi pada umumnya dilakukan secara rahasia, kecuali korupsi itu telah merajalela dan begitu dalam sehingga individu yang berkuasa dan mereka yang berada di dalam lingkungannya tidak
tergoda untuk
menyembunyikan
perbuatannya. Walaupun demikian, motif korupsi tetap dijaga kerahasiaannya. c. Korupsi melibatkan element kewajiban dan keuntungan timbale balik. Kewajiban dan keuntungan tidak selalu berupa uang. d. Mereka yang mempraktikkan cara-cara korupsi biasanya berusaha untuk menyelubungi perbuatannya dengan berlindung di balik pembenaran hukum. e. Mereka yang terlibat korupsi menginginkan keputusan yang tegas dan mampu untuk mempengaruhi keputusan-keputusan itu. f. Setiap perbuatan korupsi mengandung penipuan, biasanya dilakukan oleh badan public atau umumnya (masyarakatnya). g. Setiap bentuk korupsi adalah suatu pengkhianatan kepercayaan. F. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Jenis penelitian dari skripsi ini adalah penelitian hukum nomatif. Dalam hal penelitian hukum normatif, dilakukan penelitian terhadap peraturan perundang15
Ibid, hal. 9
Universitas Sumatera Utara
undangan dan bahan hukum lainnya. Metode penelitian hukum normatif ini dipilih adalah untuk mengetahui bagaimana penerapan peraturan perundang-undangan mengenai pengembalian asset negara dari tindak pidana korupsi terutama bagi terdakwanya telah meninggal dunia yang terjadi di Indonesia. 2. Data dan Sumber Data Di dalam penulisan skripsi ini, data yang digunakan adalah data sekunder. Data sekunder diperoleh dari : a. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang terdiri dari peraturan perundangundangan di bidang hukum yang mengikat, anatara lain Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang terkait dalam Pasal 34 dan peraturan perundangan-undangan lain yang mengikat. b. Bahan hukum skunder, yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer, yaitu hasil karya para ahli hukum berupa bukubuku, pendapat sarjana dan kasus yang berhubungan dengan skripsi ini. 3. Metode Pengumpulan Data Untuk mendapatkan data yang diperlukan dalam penulisan skripsi ini, maka metode yang digunakan adalah penelitian kepustakaan (Library Research). Penelitian kepustakaan merupakan suatu metode yang berdasarkan atas studi kepustakaan untuk mendapatkan data yang sesuai dengan materi yang diperlukan. Data yang diperoleh diambil melalui berbagai sumber bacaan seperti buku, majalah, surat kabar, internet, pendapat sarjana maupun literatur lain yang berkaitan dengan objek penelitian skripsi. Analisis Putusan yang berkaitan dengan pengembalian kerugian keuangan
Universitas Sumatera Utara
negara yang terdakwanya telah meninggal dunia juga dilakukan untuk melengkapi data dalam penyusunan skripsi ini. 4. Analisis Data Data sekunder yang telah diperoleh dan disusun secara sistematis, kemudian dianalisis secara kualitatif. Analisis secara kualitatif dilakukan untuk menjawab permasalahan yang ada di dalam skripsi ini. G. Sistematika Penulisan Sistematika penulisan menjadi salah satu metode yang dipakai dalam melakukan penulisan skripsi ini, hal ini bertujuan untuk mempermudah dalam menyusun serta mempermudah pembaca untuk memahami dan mengerti isi dari skripsi ini. Keseluruhan skripsi ini meliputi 5 (lima) bab yang secara garis besar isi dari bab perbab diuraikan sebagai berikut: Bab I
Pendahuluan Bab ini dimulai dengan mengemukakan latar belakang, permasalahan, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penelitian, tinjauan kepustakaan, metode penelitian, dan sistematika penulisan.
Bab II
Kewenangan Jaksa Dalam Sistem Peradilan Pidana Bab ini menguraikan mengenai Kewenangan Jaksa Dalam Peradilan Pidana, serta Perbandingan Kewenangan Jaksa Sebagai Pengacara Negara Dan Jaksa Sebagai Penuntut Umum.
Universitas Sumatera Utara
Bab III
Perbandingan Proses Pengembalian Kerugian Keuangan Negara Dalam Tindak Pidana Korupsi Antara Instrumen Perdata Dan Instrumen Pidana Bab ini menguraikan mengenai Pengembalian Kerugian Keuangan Negara Melalui Instrumen Hukum Pidana dan mengenai Pengembalian Kerugian Keuangan Negara Melalui Instumen Hukum Perdata.
Bab IV
Kewenangan Jaksa Pengacara Negara (JPN) Dalam Gugatan Pengembalian Kerugian Keuangan Negara Akibat Tindak Pidana Korupsi Yang Terdakwanya Meninggal Dunia Bab ini menguraikan mengenai Kewenangan Jaksa Pengacara Negara Untuk Melakukan Gugatan Perdata Terhadap Ahli Waris Terdakwa Tindak Pidana Korupsi Yang Terdakwanya Meninggal Dunia, HambatanHambatan Yang Dapat Timbul Dalam Penggunaan Instrument Perdata Untuk Mengembalikan Kerugian Keuangan Negara, Upaya Untuk Memaksimalkan Penggunaan Instrument Perdata Untuk Mengembalikan Kerugian Keuangan Negara, dan Contoh Kasus serta Analisis Kasus.
Bab V
Kesimpulan Dan Saran Bab ini merupakan bab kesimpulan dan saran yang berisikan penyimpulan dari seluruh bab yang terdapat dalam penulisan skripsi ini sebagai jawaban permasalahan dan kemudian dibuat saran-saran yang merupakan sumbangan pemikiran penulis terhadap permasalahan yang telah dikemukakan dalam skripsi.
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara