1
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Tuhan Yang Maha Esa telah menganugerahi bangsa Indonesia kekayaan berupa sumber daya yang terdiri atas sumber daya manusia, sumber daya alam hayati, sumber daya alam nonhayati, dan sumber daya buatan. Sumber daya alam dan buatan yang dapat dijadikan objek dan daya tarik wisata berupa keadaan alam, flora dan fauna, hasil karya manusia, serta peninggalan sejarah dan budaya. Kekayaan sumber daya yang dimiliki tersebut kemudian dapat dijadikan modal bagi pembangunan dan peningkatan kepariwisataan, dimana usaha untuk itu sudah sejak lama dikembangkan oleh Indonesia khususnya Provinsi Bali. Provinsi Bali merupakan daerah pariwisata yang dikenal baik oleh para wisatawan domestik maupun mancanegara. Keindahan alam serta keunikan budaya merupakan daya tarik dari pulau dewata ini. Hingga dengan saat ini pariwisata masih merupakan salah satu potensi utama yang diandalkan oleh Pemerintah Provinsi Bali. Pariwisata di Provinsi Bali mempunyai peranan penting untuk memperluas dan memeratakan kesempatan berusaha dan lapangan kerja, mendorong pembangunan daerah, memperbesar pendapatan nasional dalam rangka meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat, oleh karenanya segenap sumber daya yang bernilai kepariwisataan digali dan dikembangkan secara serius dan prestisius. Kondisi seperti ini membawa konsekuensi pesatnya pertumbuhan pembangunan di bidang pariwisata, salah satunya adalah pembangunan sarana akomodasi bagi wisatawan yang berkunjung
1
2
ke Bali. Sarana akomodasi ini menjadi salah satu peluang usaha yang cukup banyak diminati baik oleh masyarakat lokal maupun investor asing. Kondisi tersebut mengakibatkan merebaknya sarana akomodasi pariwisata di Bali, dimana salah satu bentuk dari sarana akomodasi pariwisata tersebut adalah pondok wisata. Aktivitas pembagunan usaha akomodasi pariwisata tersebut tentu saja menggunakan lahan dan ruang sebagai tempat menampung kegiatan yang dimaksud. Ini berarti berhubungan erat dengan masalah lingkungan tempat aktivitas pembangunan tersebut berlangsung. Asep Warlan Yusuf mengistilahkan antara lingkungan hidup dengan ruang memiliki hubungan resiprokal yang bersifat komplementer, dimana masing-masing saling melengkapi dan saling mengisi.1 Pemanfaatan ruang akan berdampak terhadap kelestarian lingkungan hidup dan sebaliknya pengelolaan lingkungan hidup akan mempengaruhi ruang tempat unsur-unsur lingkungan hidup berada.2 Penggunaan lahan oleh setiap aktivitas pembangunan sedikitnya akan mengubah rona lingkungan awal menjadi rona lingkungan baru, sehingga terjadi perubahan kesinambungan lingkungan yang kalau tidak dilakukan pengelolaan secara cermat dan bijaksana akan berpotensi menimbulkan kemerosotan kualitas lingkungan, merusak bahkan memusnahkan kehidupan habitat tertentu dalam suatu ekosistem. 3 Untuk mencegah kemerosotan kualitas lingkungan maka diperlukan adanya upaya pengendalian terhadap usaha dan/atau kegiatan yang berpotensi
1
Asep Warlan Yusuf dalam I Made Arya Utama, 2007, Hukum Lingkungan, Sistem Hukum Perizinan Berwawasan Lingkungan Untuk Pembangunan Berkelanjutan, Pustaka Sutra, Bandung, h. 56. 2 I Made Arya Utama, Ibid. 3 H. Juniarso Ridwan dan Achmad Sodich, 2008, Hukum Tata Ruang dalam Konsep Kebijakan Otonomi Daerah, Nuansa Bandung h. 42.
3
membahayakan lingkungan. Salah satu instrumen yang dapat digunakan untuk mengendalikan usaha dan/atau kegiatan yang dapat membahayakan lingkungan adalah melalui instrumen perizinan. Dari sisi hukum administrasi negara, izin merupakan salah satu wujud tindak pemerintahan. Tindak pemerintahan menurut Philipus M. Hadjon berarti tindakan atau perbuatan yang dilakukan oleh administrasi negara dalam melaksanakan tugas pemerintahan.4 Izin sebagai suatu ketetapan pada hakikatnya adalah tindakan hukum sepihak berdasarkan kewenangan publik yang memperbolehkan atau memperkenankan menurut hukum bagi seseorang/badan hukum untuk melakukan suatu kegiatan.5 Izin sebagai norma penutup diharapkan mampu untuk mengendalikan setiap aktivitas manusia agar sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hal ini merupakan tugas dan kewenangan pemerintah untuk menjaga ketertiban dan keamanan dimana merupakan tugas klasik yang sampai dengan saat ini masih tetap dipertahankan. Dari segi hukum lingkungan izin merupakan salah satu bentuk upaya pengelolaan dan perlindungan terhadap lingkungan hidup, dimana dalam pelaksanaanya dilakukan secara terpadu dengan memperhatikan aspekaspek hukum lingkungan diantaranya adalah aspek penataan ruang. Apabila ditinjau dari aspek penataan ruang maka pengembangan usaha akomodasi pariwisata di Bali saat ini tidak hanya marak dikembangkan pada kawasan dataran rendah, melainkan mulai merambah ke kawasan dataran tinggi yang sebagian besar kawasannya ditetapkan sebagai kawasan lindung. Pada
4 Philipus M. Hadjon, 1985, Pengertian-Pengertian Dasar Tentang Tindak Pemerintahan (Bestuurshandeling), Djumali, Surabaya, h. 1. 5 I Made Arya Utama, 2007, Hukum Lingkungan, Sistem Hukum Perizinan Berwawasan Lingkungan Untuk Pembangunan Berkelanjutan, Pustaka Sutra, Bandung.
4
dasarnya
kawasan lindung merupakan kawasan dimana seluruh fungsi ruang
berhubungan dengan kelestarian lingkungan, memproduksi oksigen, perlindungan manusia dari berbagai kemungkinan terjadinya bencana dan malapetaka, serta tempat berlangsungnya konservasi alam. Ironisnya, dalam menata dan mengelola ruang manusia sering dihadapkan berbagai benturan kepentingan. Hal ini disebabkan antara lain karena pada kawasan lindung tidak jarang tersimpan sedemikian banyak potensi sumberdaya alam bernilai ekonomi tinggi. Di dalamnya juga, seringkali manusia mendapatkan berbagai kesempatan baru untuk memperoleh kemanfaatan baru bagi kehidupan sehingga fungsi kawasan lindung kadang kala tidak dapat dilakukan dengan sempurna. Hal ini tercermin dalam pengertian kawasan lindung yang diatur dalam Peraturan Daerah Provinsi Bali No. 16 Tahun 2009 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Bali Tahun 2009-2029 (Lembaran Daerah Provinsi Bali Tahun 2009 Nomor 16) yang memberikan celah dapat dilakukannya kegiatan budidaya dalam kawasan lindung. Pengertian mengenai Kawasan lindung diatur dalam Pasal 1 angka 26 Peraturan Daerah Provinsi Bali No. 16 Tahun 2009 yang menyatakan bahwa ”kawasan lindung adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber daya alam dan sumber daya buatan.” Adanya frasa “fungsi utama” dalam pengertian kawasan lindung tersebut menimbulkan peluang penafsiran adanya fungsi lain disamping fungsi utama dari kawasan lindung yang mana fungsi lain tersebut dapat dijadikan pembenar bagi adanya kegiatan budidaya.
5
Provinsi Bali memiliki kawasan lindung seluas 175.577 ha atau 31,2% dari luas daerah Provinsi Bali, dimana kawasan lindung tersebut berdasarkan spesifikasinya terbagi atas beberapa jenis kawasan dan salah satunya adalah Kawasan Taman Wisata Alam. Ketentuan mengenai hal tersebut diatur dalam Pasal 42 ayat (1) Peraturan Daerah Provinsi Bali No. 16 Tahun 2009, yang menyatakan bahwa: Kawasan lindung mencakup: a. Kawasan yang memberikan perlindungan kawasan bawahannya; b. Kawasan perlindungan setempat; c. Kawasan suaka alam, pelestarian alam, dan cagar budaya; d. Kawasan rawan bencana alam; e. Kawasan lindung geologi; f. Kawasan lindung lainnya. Dalam uraian dari ketentuan pasal tersebut memang tidak disebutkan secara eksplisit mengenai kedudukan taman wisata alam sebagai bagian dari kawasan lindung, namun berdasarkan Pasal 29 ayat (1) Undang-undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1990 Nomor 49) dinyatakan bahwa taman wisata alam dikatagorikan dalam kawasan pelestarian alam. Sehingga dengan demikian taman wisata alam merupakan bagian dari kawasan lindung. Adapun ketentuan Pasal 29 ayat (1) Undang-undang No. 5 Tahun 1990
menyatakan
bahwa: Kawasan pelestarian alam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 13 terdiri dari: a. Taman nasional b. Taman hutan raya c. Taman wisata alam.
6
Kawasan taman wisata alam yang digolongkan sebagai kawasan lindung ini mempunyai panorama alam yang menarik. Keindahan, keunikan dan kekhasan yang dimiliki oleh Taman Wisata Alam ini kemudian menjadi daya tarik bagi para pemilik modal untuk mengembangkan usaha akomodasi pariwisata khususnya pondok wisata pada kawasan tersebut. Pengusahaan pondok wisata pada taman wisata alam dimungkinkan oleh beberapa ketentuan peraturan perundang-undangan seperti Peraturan Pemerintah No. 36 tahun 2010 tentang Pengusahaan Pariwisata Alam di Suaka Margasatwa, Taman nasional, Taman Hutan Raya, dan Taman Wisata Alam (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 44). Hal tersebut dapat dijumpai dalam beberapa ketentuan pasal sebagai berikut: a. Ketentuan Pasal 5 ayat (2) menyatakan bahwa: Dalam taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf b, huruf c, dan huruf d dapat dilakukan kegiatan mengunjungi, melihat, menikmati keindahan alam, keanekaragaman tumbuhan dan satwa, serta dapat dilakukan kegiatan membangun sarana kepariwisataan. b. Ketentuan Pasal 7 ayat (1)menyatakan bahwa: Pengusahaan pariwisata alam meliputi: a. usaha penyediaan jasa wisata alam; dan b. usaha penyediaan sarana wisata alam. c. Ketentuan Pasal 7 ayat 3 menyatakan bahwa: Usaha penyediaan sarana wisata alam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat meliputi: a. wisata tirta; b. akomodasi; dan c. sarana wisata petualangan
7
d. Penjelasan Pasal 7 ayat (3) Huruf b menyatakan bahwa: Usaha penyediaan akomodasi dapat berupa hotel, villa, pondok wisata, bumi perkemahan, persinggahan karavan, dan akomodasi lainnya yang digunakan untuk tujuan pariwisata. Dari uraian ketentuan PP No. 36 Tahun 2010 diatas dinyatakan dengan tegas bahwa dalam kawasan taman wisata alam dapat diselenggarakan usaha akomodasi pariwisata berupa pondok wisata sebagai bentuk pengusahaan pariwisata alam di bidang usaha penyediaan sarana wisata alam. Ketentuan lain yang mengatur mengenai hal yang serupa ditemukan dalam Pasal 101 ayat (6) Peraturan Pemerintah No. 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 48) yang menyatakan bahwa: Peraturan zonasi untuk taman wisata alam dan taman wisata alam laut disusun dengan memperhatikan: a. pemanfaatan ruang untuk wisata alam tanpa mengubah bentang alam; b. ketentuan pelarangan kegiatan selain yang dimaksud pada huruf a; c. pendirian bangunan dibatasi hanya untuk menunjang kegiatan sebagaimana dimaksud pada huruf a; dan d. ketentuan pelarangan pendirian bangunan selain yang dimaksud pada huruf c. Dari uraian pasal di atas dapat diketahui bahwa sama seperti ketentuan sebelumnya, PP No. 26 tahun 2008 juga memberikan kesempatan bagi dapat dibangunya pondok wisata pada kawasan taman wisata alam sebagai wujud dari bangunan penunjang kegiatan wisata alam sebagaimana dimaksud dalam huruf c. Namun tidak demikian dengan ketentuan penataan ruang pada tingkat daerah di Provinsi Bali dapat dijumpai pada Peraturan Daerah Provinsi Bali No. 16 Tahun 2009 dimana didalamnya memuat substansi baru mengenai arahan
8
zonasi kawasan taman wisata alam yaitu dalam Pasal 109 ayat (5) yang menyatakan bahwa: Arahan peraturan zonasi taman wisata alam sebagaimana dimaksud Pasal 106 ayat (4) huruf e, mencakup: a. pengembangan zonasi kawasan menjadi zona inti dan zona pemanfaatan; b. pemanfaatan ruang untuk wisata alam tanpa mengubah bentang alam; c. pelarangan kegiatan selain yang dimaksud dalam huruf b; dan d. pelarangan pendirian pembangunan pada zona pemanfaatan. Dengan demikian berdasarkan Pasal 109 ayat (5) huruf d Perda No. 16 Tahun 2009 jelas bahwa tidak dimungkinkan bagi adanya kegiatan pembangunan pondok wisata pada zona pemanfaatan kawasan taman wisata alam. Berdasarkan uraian peraturan tersebut di atas maka jelas nampak adanya konflik norma. Adapun konflik norma yang terjadi adalah karena disatu sisi Perda No. 16 tahun 2009 menyatakan bahwa pada zona pemanfaatan kawasan taman wisata alam tidak diperkenankan untuk diadakan pembangunan pondok wisata, sedangkan di sisi lain dalam PP No. 36 Tahun 2010 menyatakan dengan tegas bahwa dalam dalam blok pemanfaatan kawasan taman wisata alam dapat diselenggarakan usaha akomodasi pariwisata dimana salah satu bentuknya adalah pondok wisata. Hal ini tentunya perlu mendapat perhatian yang lebih serius mengingat dimungkinkanya pembangunan akomodasi pariwisata pada kawasan lindung khususnya dalam hal ini pada kawasan taman wisata alam dikhawatirkan akan berpotensi menimbulkan kerusakan, dan pencemaran lingkungan yang akan mengakibatkan terganggunya fungsi lindung dari kawasan taman wisata alam tersebut.
9
1.2. Rumusan Masalah Dari uraian tersebut di atas maka yang menjadi permasalahan yang akan dibahas adalah sebagai berikut: 1. Dapatkah pengusahaan pondok wisata dilakukan pada kawasan taman wisata alam yang digolongkan sebagai kawasan lindung di Provinsi Bali? 2. Upaya apakah yang dapat dilakukan oleh Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintahan Daerah untuk memberi kepastian hukum terkait adanya konflik norma dalam pengaturan izin pengusahaan bagi pondok wisata pada kawasan taman wisata alam? 1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1.Tujuan Umum Secara
umum penelitian atas
beberapa
permasalahan
yang telah
dikemukakan di atas adalah bertujuan untuk pengembangan ilmu hukum atau untuk menambah khasanah pengetahuan di bidang Hukum Administrasi Negara, khususnya di bidang Hukum Tata Ruang dan Hukum Perizinan. 1.3.2.Tujuan Khusus Sehubungan dengan tujuan umum maka adapun tujuan khusus yang ingin dicapai lebih lanjut dalam penelitian ini adalah 1. Untuk
mengetahui
apakah
sebenarnya
dapat
diselenggarakan
pengusahaan pondok wisata pada kawasan taman wisata alam.
10
2. Untuk mengetahui upaya apakah yang dapat dilakukan pemerintah yang berwenang guna untuk melindungi taman wisata alam terkait dengan pengembangan istrumen perizinan. 1.4.
Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan melalui penelitian terhadap kedua permasalahan
yang dibahas dalam proposal tesis ini terdiri atas manfaat teoritis dan manfaat praktis. Secara teoritis adapun manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini adalah dapat memberikan sumbangan pemikiran dalam rangka pengembangan ilmu hukum. Sedangkan secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut: 1. Bagi penulis, hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan pemahaman perizinan sebagai instrumen yang dapat digunakan untuk mengendalikan kegiatan dan/atau usaha yang dapat membahayakan kelestarian fungsi lindung dari kawasan taman wisata alam. 2. Bagi Pemerintah hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan atau masukan serta pengetahuan akan adanya konflik norma mengenai pengusahaan pondok wisata pada kawasan taman wisata alam, serta upaya yang dapat dilakukan pemerintah dalam mengatasi permasalahn tersebut . 3. Bagi masyarakat hasil penelitian ini akan memberikan pengetahuan dan pemahaman yang lebih mendalam mengenai dapat tidaknya dilakukan pengusahaan pondok wisata pada kawasan taman wisata alam, sehingga
11
dapat memaksimalkan peran serta masyarakat dalam mengawasi kegiatan pembangunan. 1.5. Landasan Teoritis Berikut ini adalah beberapa landasan yuridis yang digunakan dalam membahas paper ini: 1.5.1. Konsep Negara Hukum Terdapat dua tradisi besar gagasan Negara Hukum di dunia, yaitu Negara Hukum dalam tradisi Eropa Kontinental yang disebut Rechtsstaat dan Negara Hukum dalam tradisi Anglo Saxon yang disebut dengan Rule of Law.Frederich Julius Stahl mengungkapkan setidaknya terdapat empat unsur dari rechstaat, yaitu:6 1. Jaminan terhadap Hak Asasi Manusia 2. Adanya pembagian kekuasaan 3. Pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan 4. adanya peradilan administrasi Negara yang berdiri sendiri (independent) Kemudian A.V. Dicey mengemukakan unsur-unsur rule of law adalah sebagai berikut:7 1. Supremasi absolut atau predominasi dari aturan-aturan hukum untuk menentang dan meniadakan kesewenang-wenangan, dan kewenangan bebas yang begitu luas dari pemerintah;
6
Adi Sulistiyono, 2007, Negara Hukum: Kekuasaan, Konsep, dan Paradigma Moral, Lembaga Pengembangan Pendidikan (LPP) dan UPT Penerbitan dan Percetakan UNS (UNS Press) Universitas Sebelas Maret, Surakarta, Jawa Tengah, Cetakan ke I, h. 32 7 Philipus M. Hadjon, 2007, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia, sebuah studi tentang Prinsip-Prinsipnya, Penanganannya oleh Pengadilan dalam Lingkungan Peradilan Umum dan Pembaentukan Peradilan Administrasi, Peradaban, h.75
12
2. persamaan di hadapan hukum atau penundukan yang sama dari semua golongan kepada ordinary law of the land yang dilaksanakan oleh ordinary court ini berarti tidak ada orang yang berada di atas hukum, baik pejabat maupun warga negara biasa berkewajiban untuk mentaati hukum yang sama. 3. Konstitusi adalah hasil dari the ordinary law of the land, bahwa hukum konstitusi bukanlah sumber tetapi merupakan konsekwensi dari hak-hak individu yang dirumuskan dan ditegaskan oleh peradilan, singkatnya prinsip-prinsip hukum privat melalui tindakan peradilan dan parlemen sedemikian diperluas sehingga membatasi posisi crown dan pejabatpejabatnya. Berdasarkan ketentuan UUD Negara Republik Indonesia 1945 Pasal 1 ayat (3) menyatakan bahwa “Negara Indonesia adalah negara hukum”, sehingga tidak diragukan lagi bahwa Indonesia adalah sebagai negara hukum karena secara tegas ditetapkan dalam bentuk norma hukum tertinggi. namun selama ini seringkali konsep negara hukum disamakan begitu saja dengan konsep rechtstaat dan konsep the rule of law. Hal ini dapat dimaklumi karena bangsa Indonesia mengenal istilah negara hukum melalui konsep rechtstaat yang pernah diberlakukan
Belanda
pada
masa
pendudukannya
di
Indonesia,
pada
perkembangan selanjutnya terutama sejak perjuangan menumbangkan apa yang dalam periodisasi politik disebut perjuangan menumbangkan orde lama negara hukum begitu saja diganti dengan the rule of law.8 Indonesia seyogianya tidak
8
Ibid, h. 66-67
13
begitu saja mengalihkan konsep the rule of law atau konsep rechstaat sebagai Jiwa dan isi dari negara hukum Indonesia, karena pada dasarnya Indonesia telah memiliki konsep negara hukumnya sendiri, yaitu negara hukum Pancasila. Hal ini dapat dilihat dalam hubungannya dengan Alenia ke-4 Pembukaan UUD NRI 1945 yang menyatakan bahwa: Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintahan negara Indonesia yang melindungi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan social, maka (untuk mencapai tujuan negara tersebut) disusunlah Kemerdekaan kebangsaan Indonesia dalam suatu UUD Negara Indonesia yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada Pancasila. Mencermati bunyi dari Alenia ke-4 Pembukaan UUD NRI 1945 di atas dapat ditarik benang merah bahwa sebenarnya konsep negara hukum Indonesia merupakan perpaduan tiga unsur yaitu Pancasila, hukum nasional dan tujuan negara. Ketiga unsur tersebut merupakan satu kesatuan utuh. Pancasila merupakan dasar pembentukan hukum nasional. Hukum nasional disusun sebagai sarana untuk mencapai tujuan negara. Tidak ada artinya hukum nasional disusun apabila tidak mampu mengantarkan bangsa Indonesia mencapai kehidupan yang sejahtera dan bahagia dalam naungan ridha Illahi.9 Adapun unsur-unsur negara hukum Indonesia yang berdasarkan Pancasila menurut Sri Soemantri Martosoewignjo adalah sebagai berikut:10
9
Sudjito bin Atmoredjo, Negara Hukum dalam Perspektif Pancasil, dalam Kongres Pancasila kerjasama dengan Mahkamah Konstitusi RI dan Gadjah Mada, Balai Senat UGM, Yogyakarta, 30, 31, dan 1 Juni 2009. 10 Sri Soemantri Martosoewignjo, 1992, Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia, Alumni, Bandung, h. 11.
14
a. Adanya pengakuan terhadap jaminan hak-hak asasi manusia dan warga negara; b. Adanya pembagian kekuasaan negara; c. Bahwa dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya pemerintah harus selalu berdasarkan atas hukum yang berlaku baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis; d. Adanya kekuasaan kehakiman yang dalam menjalankan kekuasaannya merdeka. Sedangkan unsur-unsur minimal yang harus dimiliki oleh negara hukum berdasarkan pandangan Bagir Manan adalah sebagai berikut:11 a. Semua tindakan harus berdasarkan atas hukum b. Ada ketentuan yang menjamin hak-hak dasar dan hak-hak lainnya c. Adanya kelembagaan yang bebas untuk menilai perbuatan penguasa terhadap masyarakat (badan peradilan yang bebas); d. Ada pembagian kekuasaan. Dari unsur-unsur negara hukum yang diuraikan di atas, terdapat dua unsur yang bertalian erat dengan usulan penelitian ini, yaitu unsur semua tindakan harus berdasar hukum dan unsur adanya pengakuan terhadap jaminan hak asasi manusia. Unsur semua tindakan harus berdasarkan atas hukum memiliki arti bahwa setiap tindakan penyelenggara negara serta warga negara harus dilakukan berdasarkan dan di dalam koridor hukum, maka konsekuensinya hukum harus dijadikan pedoman dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, 11
Bagir Manan, Dasar-Dasar Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia dalam I Made Arya Utama, Op. Cit. h. 15
15
dengan kata lain setiap orang warga negara Indonesia harus patuh dan tunduk pada norma hukum yang berlaku. Terkait dengan hal tersebut maka dalam pengusahaan pariwisata alam khususnya pengusahaan pondok wisata yang akan dilaksanakan pada kawasan taman wisata alam hendaknya tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Adanya jaminan terhadap hak asasi manusia sebagai salah satu unsur negara hukum telah dipenuhi oleh negara Indonesia. Jaminan hak asasi manusia tersebut dimuat dalam berbagai instrument yuridis, salah satu bentuk jaminan hak asasi manusia adalah diaturnya hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, hal tersebut diatur dalam Pasal 28 H ayat (1) UUD NRI 1945 yang menyatakan bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan bathin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Salah satu cara untuk mewujudkan hak tersebut adalah dengan mengintegrasikan pertimbangan kelestarian lingkungan dalam setiap izin dari suatu kegiatan dan/atau usaha yang akan diselenggarakan. 1.5.2. Teori Pembentukan Peraturan Perundang undangan Peraturan perundang-undangan menjadi sangat penting dan tidak bisa diabaikan terutama dalam suatu negara hukum. Pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik akan menunjang terjaminnya suatu kepastian hukum, karena dari suatu peraturan perundang-undangan akan dapat diramalkan atau diharapkan apa yang akan dilakukan oleh subjek pengaturan dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan. Pembentukan peraturan perundangundangan secara ideal dilandasi paling tidak oleh tiga hal, yaitu:
16
1. Asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik. 2. Politik hukum (peraturan perundang-undangan) yang baik 3. Sistem pengujian peraturan perundang-undangan yang memadai. Ad.1. Asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik. Untuk membentuk peraturan perundang-undangan yang baik perlu diperhatikan berbagai asas hukm yang berkembang. Van der Viles membedakan antara asas-asas formal dan material, yaitu:12 Asas-asas formal pembentukan peraturan perundang-undangan, meliputi: 1. Asas tujuan yang jelas 2. Asas organ/lembaga yang tepat 3. Asas perlunya peraturan 4. Asas dapat dilaksanakan 5. Asas konsesnsus Asas-asas materiil pembentukan peraturan perundang-undangan, meliputi: 1. Asas tentang terminology dan sistematika yang benar 2. Asas tentang dapat dikenali 3. Asas pengakuan yang sama dalam hukum 4. Asas kepastian hukum 5. Asas pelaksanaan hukum sesuai dengan keadaan individual Selanjutnya asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik di Indonesia diatur dalam Pasal 5 UU no. 10 Tahun 2004, yang menyatakan bahwa: Dalam membentuk peraturan perundang-undangan harus berdasarkan pada asas pembentukan perundang-undangan yang baik yang meliputi: a. Kejelasan tujuan b. Kelembagaan atau organ yang tepat c. Kesesuaian antara jenis dan materi muatan d. Dapat dilaksanakan e. Kedayaunaan dan kehasilgunaan f. Kejelasan rumusan g. Keterbukaan 12
Van der Viles dalam Widodo Ekatjahjana, 2008, Pembentukan Peraturan Perundangundangan, Dasar-dasar dan Teknik Penyusunannya, Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 26
17
Ad.2. Politik hukum yang baik Pembentukan peraturan perundang-undangan sebagai bagian dari konsep politik hukum berada pada ruang konfigurasi yang tidak bebas nilai. Nilai-nilai yang berasal dari aspek social, budaya, ekonomi, politik, hukum, dan sebagainya saling berinteraksi dan saling mempengaruhi satu sama lainnya. Dengan demikian, pembentukan peraturan perundang-undangan dalam konsep politik hukum tidak hanya memiliki satu konfigurasi, tetapi lebih.13 Politik hukum nasional secara konstitusional dapat ditemukan dalam UUD NRI 1945. Pasal 1 UUD NRI 1945 memberikan landasan bagi konsep politik hukum (peraturan perundang-undangan) nasional
di Indonesia yang hendak
diimplementasikan. Adapun ketentuan Pasal 1 UUD NRI 1045 menyatakan sebagai berikut: (1) Negara Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk republic. (2) Kedaulatan ada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut undangundang dasar. (3) Negara Indonesia adalah Negara Hukum. Berdasarkan rumusan Pasal 1 UUD NRI 1945 itu maka konsep politik hukum (pembentukan peraturan perundang-undangan) nasional Indonesia paling tidak dilandasi oleh tiga prinsip yang fundamental sebagai berikut: a. Prinsip negara hukum b. Prinsip negara kesatuan dengan bentuk republic c. Prinsip demokrasi
13
Widodo Ekatjahjana, Ibid, h. 6
18
Prinsip negara hukum yang dianut dalam Pembukaan UUD NRI 1945 adalah prinsip welfare state, dimana mengisyaratkan agar dalam pembentukan politik perundang-undangan nasional berorientasi pada tujuan untuk: a. Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah dara Indonesia b. Memajukan kesejahteraan umum c. Mencerdaskan kehidupan bangsa d. Ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan social. Prinsip negara kesatuan mengisyaratkan agar setiap pembentukan politik perundang-undangan nasional, bingkai dan limitasinya adalah negara kesatuan dengan bentuk pemerintahan republik. Maka pembentukan dan materi peraturan perundang-undangan baik di Pusat maupun di Daerah tidak boleh lepas dari kedua hal tersebut. Sedangkan prinsip demokrasi mengisyaratkan agar setiap pembentukan politik perundang-undangan nasional senantiasa melibatkan peran serta rakyat.14 Ad.3 Sistem pengujian peraturan perundang-undangan yang memadai Setiap peraturan perundang-undangan harus dapat diuji keabsahan hukumnya melalui lembaga pengujian peraturan perundang-undangan. Lemabaga pengujian ini dapat berupa lembaga yudisial, lembaga non yudisial, ataupun campuran, yaitu lembaga yudisial dan lembaga non yudisial.15 Dalam system pengujian peraturan perundang-undangan di Indonesia seharusnya yang dikembangkan adalah jenis pengujian secara yudisialoleh badan 14 15
Ibid, h.9 Ibid, h.21
19
yudisial, karena di dalam UUD NRI dengan jelas disebutkan bahwa “Negara Indonesia adalah negara hukum”. Pengujian yang bersifat non yudisial dapat dilakukan oleh lembaga di luar badan yudisial sepanjang lembaga tersebut menguji (meninjau) produk peraturan perundang-undangan yang dibuatnya sendiri. 16 1.5.3. Konsep Desentralisasi Di
dalam
unitary
state
atau
negara
kesatuan,
penyelenggaraan
pemerintahannya dapat dilakukan dengan berbagai cara, yaitu: a. Tidak mengadakan pembagian wilayah negara atas daerah-daerah (biasanya untuk negara yang wilayahnya kecil). Disini prinsip yang digunakan, adalah:
sentralisasi, artinya dalam negara kesatuan hanya ada satu pemerintahan
yaitu
Pemerintahan
Pusat
yang
mempunyai
kekuasaan atau wewenang tertinggi dalam segala lapangan pemerintahan;
konsentrasi, artinya menyelenggarakan segala macam urusan negara hanya oleh alat perlengkapan pemerintah pusat yang berkedudukan di
pusat
pemerintahan
negara
saja
(dilawankan
dengan
dekonsentrasi).17 b. Membagi wilayah negara atas daerah-daerah yang oleh Pemerintah Pusat daerah-daerah tersebut diberikan hak dan wewenang untuk mengatur dan mengurus rumah tangga daerahnya. Untuk mengatur dan mengurus 16 17
Ibid, Joeniarto, 1979, Perkembangan Pemerintahan Lokal, Alumni, Bandung, hal.24.
20
rumah tangganya tersebut, daerah memiliki pemerintahannya sendiri yang disebut Pemerintahan Daerah. Daerah-daerah semacam ini disebut daerah otonom atau local autonomy. Daerah-daerah otonom ini dibentuk berdasarkan prinsip desentralisasi. c. Membagi wilayah negara atas daerah-daerah, tetapi oleh Pemerintah Pusat tidak diberikan hak dan wewenang untuk mengurus rumah tangga daerah.
Pemerintah
Pusat
menempatkan
alat-alat
perlengkapan
Pemerintah Pusat di daerah-daerah sebagai perpanjangan tangan Pemerintah Pusat di daerah. Daerah-daerah seperti ini disebut dengan wilayah administratif. Pembentukan daerah/wilayah administratif ini adalah berdasarkan prinsip dekonsentrasi. Dalam konteks negara Indonesia, negara Indonesia adalah negara kesatuan. Sebagai negara kesatuan maka kedaulatan negara adalah tunggal tidak tersebar pada negara-negara bagian seperti dalam negara federal/serikat. Karena itu pada dasarnya sistem pemerintahan dalam negara kesatuan adalah sentralisasi, artinya pemerintah pusat memegang kekuasaan penuh. Namun mengingat negara Indonesia sangat luas, dengan jumlah penduduk yang banyak dan tingkat heterogenitas yang begitu komples tentu pemerintah pusat tidak mungkin dapat secara efektif menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan tanpa melibatkan perangkat daerah dan menyerahkan beberapa kewenangannya kepada daerah otonom. Untuk melaksanakan fungsi-fungsi pemerintahan dimaksud salah satunya diperlukan desentralisasi disamping dekonsentrasi. Baik dekonsentrasi maupun desentralisasi bermula dari sentralisasi oleh karenanya konsep sentralisasi dan
21
desentralisasi bukanlah konsep yang dikotomis tapi merupakan satu rangkaian kesatuan (kontinum). Secara etimologis istilah “desentralisasi” berasal dari bahasa Latin, yaitu “de” yang berarti lepas dan “centrum” yang berarti pusat.Jadi desentralisasi adalah melepaskan dari pusat.18 Desentralisasi yang berasal dari sentralisasi yang mendapat awal de berarti melepas atau menjauh dari pemusatan. Desentralisasi tidak putus sama sekali dengan pusat, tapi hanya menjauh dari pusat.19 Menurut Koesoemahatmadja, di dalam arti ketatanegaraan dengan desentralisasi itu dimaksud adanya pelimpahan kekuasaan pemerintahan dari pusat kepada daerah-daerah, yang mengurus rumah tangganya sendiri (daerahdaerah otonomi). Desentralisasi adalah juga cara atau sistem untuk mewujudkan asas demokrasi, yang memberikan kesempatan kepada rakyat untuk ikut serta dalam pemerintahan negara. 20 Secara yuridis, menurut Pasal 1 angka 6 UU.No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125)
menyatakan
bahwa
desentralisasi
adalah
Penyerahan
wewenang
pemerintahan oleh Pemerintah kepada Daerah Otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem NKRI. Sedangkan pengertian dekonsentrasi berdasarkan Pasal 1 angka 8 UU No. 32 Tahun 2004 adalah Pelimpahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada Gubernur sebagai
18
Juanda, 2008, Hukum Pemerintahan Daerah – Pasang Surut Hubungan Kewenangan antara DPR dan Kepala Daerah, PT.Alumni, Bandung, hal.115. 19 Hanif Nurcholis, 2007Teori dan Praktik Pemerintahan Dan Otonomi Daerah, PT.Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta, ,hal.9. 20 Koesoemahatmadja, RDH., 1979, Pengantar Ke Arah Sistim Pemerintahan Daerah Di Indonesia, Binacipta, Bandung, hal.14.
22
wakil Pemerintah dan/atau kepada instansi vertikal di wilayah tertentu. Dari pengertian yuridis tersebut, maka desentralisasi adalah penyerahan urusan pemerintahan atau penyerahan wewenang (menggunakan kata penyerahan); sedangkan,
dekonsentrasi
adalah
pelimpahan
wewenang
pemerintahan
(menggunakan kata pelimpahan). Bagir Manan menyatakan bahwa perlunya desentralisasi (pembentukan pemerintahan daerah) tidak semata-mata untuk mencapai efisiensi dan efektivitas pemerintahan saja akan tetapi karena adanya berbagai tuntutan seperti tuntunan negara hukum, tutntutatn negara kesejahteraan, tuntutan demokrasi, serta tuntutan kebhinekaan seperti berikut ini.21 a. Tuntutan negara hukum Indonesia adalah negara berdasarkan atas hukum (rechstaat). Adapun cirri negara hukum adalah adanya pembagian kekuasaan dan pemencaran kekuasaan. Pembagian dan pemencaran itu merupakan upaya mencegah bertumpuknya kekuasaan pada satu pusat pemerintahan, sehingga beban pekerjaan yang dijalankan menjadi lebih ringan. Adanya pemencaran kekuasaan itu juga pada hakikatnya dalam rangka “check and balances” penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan. b. Tuntutan negara kesejahteraan Negara kesejahteraan ini adalah negara hukum yang memperhatukan pada upaya mewujudkan kesejahteraan orang banyak. UUD 1945 baik dalam pembukaan maupun batang tubuh memuat berbagai ketentuan yang 21
Bagir Manan, 2001, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, Pusat Studi Hukum (PSH) Fakultas Hukum UII, Yogyakarta, h.17
23
meletakkan kewajiban pada negara atau pemerintah untuk mewujudkan kesejahteraan bagi orang banyak. Bahkan sila Kelima Pancasila dengan tegas menyatakan
“Keadilan
Sosial
Bagi
Seluruh
Rakyat
Indonesia”.
Konsekuensinya diperlukan perangkat pemerintahan terdekat yang dapat memahami maupun menyelesaikan persoalan-persoalan rakyat dengan cepat. c. Tuntutan Demokrasi Pada sila keempat Pancasila disebutkan “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan”. Kerakyatan atau kedaulatan rakyat adalah demokrasi. Dalam batang tubuh UUD NRI 1945 ditegaskan “Kedaulatan ada di tangan rakyat”. Kerakyatan demokrasi menghendaki partisipasi daerah otonom yang disertai Badan Perwakilan sebagai wadah yang memperluas kesempatan rakyat berpartisipasi. d. Tuntutan Kebhinekaan Rakyat dan Bangsa Indonesia dikaji dari aspek social, ekonomi, budaya maupun agama merupakan masyarakat yang pluralistic yang mempunyai sifat dan
kebutuhan
yang
berbeda-beda.
Untuk
mewujudkan
keadilan,
kesejahteraan, dan keamanannya maka tidak mungkin memaksa untuk adanya keseragaman, karena setiap penyeragaman dapat meningkatkan gangguan terhadap rasa keadilan, kesejahteraan dan keamanan. Dengan demikian daerah otonom pada hakikatnya dapat dipandang sebagai sarana untuk mewadahi perbedaan tersebut dengan prinsip Bhineka Tunggal Ika Dalam membahas desentralisasi berarti secara tidak langsung membahas pula mengenai otonomi . Hal ini disebabkan kedua hal tersebut merupakan satu
24
rangkaian yang tak terpisahkan apalagi dalam kerangka negara kesatuan Republik Indonesia. Istilah “autonomie” berasal dari bahasa Yunani (autos = sendiri; nomos = undang-undang) dan berarti “perundangan sendiri” (zelfwetgeving). Tetapi menurut perkembangannya sejarahnya di Indonesia, otonomi itu selain mengandung
arti
“perundangan”
(regeling),
mengandung
pula
arti
“pemerintahan” (bestuur). Dengan diberikannya hak dan kekuasaan perundangan dan pemerintahan kepada badan-badan otonomi, badan-badan tersebut dengan inisiatifnya sendiri dapat mengurus rumah tangganya sendiri dengan jalan mengadakan peraturan-peraturan daerah.
22
Menurut Amrah Muslimin, otonomi
berarti pemerintahan sendiri (auto = sendiri, nomes = pemerintahan).23 Ateng Syafrudin mengemukakan, istilah otonomi mempunyai makna kebebasan atau kemandirian, tetapi bukan kemerdekaan. Kebebasan yang terbatas atau kemandirian itu adalah wujud pemberian kesempatan yang harus dipertanggungjawabkan. Dalam pemberian tanggung jawab terkandung dua unsur:24 1. Pemberian tugas dalam arti sejumlah pekerjaan yang harus diselesaikan serta kewenangan untuk melaksanakannya; 2. Pemberian kepercayaan berupa kewenangan untuk memikirkan dan menetapkan sendiri bagaimana menyelesaikan tugas itu. Bagir Manan menyatakan, otonomi adalah kebebasan dan kemandirian satuan pemerintahan lebih rendah untuk mengatur dan mengurus sebagian urusan
22
Koesoemahatmadja, RDH. Op.Cit., hal.15. Amrah Muslimin,1978 Aspek-aspek Hukum Otonomi Daerah, Cetakan ke-1, Alumni, Bandung.,hal.6. 24 Juanda, Op.Cit.,hal.126. 23
25
pemerintahan.25 Urusan pemerintahan yang boleh diatur dan diurus secara bebas dan mandiri itu menjadi atau merupakan urusan rumah tangga satuan pemerintahan yang lebih rendah tersebut. Kebebasan dan kemandirian merupakan hakikat isi otonomi. Kebebasan dan kemandirian dalam otonomi bukan kemerdekaan. Kebebasan dan kemandirian itu adalah kebebasan dan kemandirian dalam ikatan kesatuan yang lebih besar. Otonomi sekadar subsistem dari sistem kesatuan yang lebih besar. Dari segi hukum tata negara khususnya teori bentuk negara, otonomi adalah subsistem dari negara kesatuan. Otonomi adalah fenomena negara kesatuan. Segala pengertian dan isi otonomi adalah pengertian dan isi negara kesatuan. Negara kesatuan merupakan landasan dari pengertian dan isi otonomi.26 Dalam arti yuridis, Pasal 1 angka 5 UU.No.32 Tahun 2004 memberikan pengertian mengenai otonomi daerah sebagai “Hak, wewenang, dan kewajiban Daerah Otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan
masyarakat
setempat sesuai dengan peraturan perundang-
undangan”. Sedangkan pengertian Daerah Otonom menurut Pasal 1 angka 6 UU.No.32 Tahun 2004, adalah “Kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah
yang berwenang mengatur dan mengurus urusan
pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem NKRI” Mengenai daerah otonom, Utrecht mengemukakan desentralisasi territorial di wujudkan 25 26
dengan diadakannya pemerintahan sendiri
Bagir Manan. Op.Cit., h. Bagir Manan dalam Juanda, Ibid, hal.126-127.
di daerah-daerah
26
tertentu yang dapat mengurus rumah tangganya sendiri berdasarkan asas otonomi (swatantra). Daerah semacam itu disebut daerah otonom (daerah swatantra).27 Dari pengertian tersebut, daerah otonom adalah daerah-daerah tertentu yang memiliki pemerintahan sendiri (self government) yang dapat mengurus rumah tangganya sendiri berdasarkan asas otonomi. Pemerintahan sendiri ini disebut pemerintahan daerah otonom (local self government). Daerah yang menerima penyerahan wewenang dari pusat dengan cara desentralisasi atau devolusi (penyerahan hak/tugas) menjadi daerah otonom. Daerah tersebut memiliki kebebasan untuk mengatur dan mengurus urusan-urusan rumah tangganya (kepentingannya sendiri) yang diperbolehkan oleh undang-undang tanpa campur tangan langsung dari pemerintah pusat. Dengan desentralisasi atau devolusi terbentuk sebuah daerah (otonom) dengan batas-batas yang jelas, yang masyarakatnya diakui sebagai kesatuan masyarakat hukum.28 Daerah otonom mempunyai kewenangan mengatur (rules making = regeling) dan mengurus (rules application=bestuur). Dalam istilah administrasi publik masing-masing wewenang tersebut lazim disebut wewenang membentuk kebijakan (policy making) dan wewenang melaksanakan kebijakan (policy executing). Mengatur merupakan perbuatan menciptakan norma hukum yang berlaku umum. Dalam konteks otonomi daerah, norma hukum tertuang dalam Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala Daerah. Sedangkan mengurus merupakan perbuatan menerapkan norma hukum yang berlaku umum pada situasi
27
Utrecht, 1994, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia; Pustaka Tinta Mas, Surabaya, hal.342. 28 Hanif Nurcholis, Op.Cit. hal.28-29.
27
konkrit dan individu (beschikking) atau perbuatan material berupa pelayanan dan pembangunan objek tertentu.29 Terkait dengan uraian di atas maka dalam penyelenggaraan desentralisasi mensyaratkan akan adanya pembagian pembagian urusan pemerintahan antarpemerintah dengan daerah otonom. Pembagian urusan pemerintahan tersebut didasarkan pada pemikiran bahwa selalu terdapat berbagai urusan pemerintahan yang sepenuhnya/tetap menjadi kewenangan pemerintah. Urusan pemerintahan yang dimaksud meliputi politik luar negeri, pertahanan, keamanan, moneter, yustisi, dan agama. Disamping itu terdapat bagian urusan pemerintah yang bersifat concurrent artinya urusan pemerintahan yang penangannya dalam bagian atau bidang tertentu dapat dilaksanakan bersama antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah. Dengan demikian setiap urusan yang bersifat concurrent senantiasa ada bagian urusan yang menjadi kewenangan Pemerintah dan ada bagian urusan yang diserahkan kepada Provinsi dan Kabupaten/Kota. 1.5.4. Teori Wewenang Kata wewenang berasal dari kata wenang, yang menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia wenang (wewenang) diartikan sebagai hak dan kekuasaan (untuk melakukan sesuatu). Sedangkan :kewenangan juga diberikan arti yang sama.30
29
Indroharto mengemukakan, bahwa
dalam arti yuridis, pengertian
Ibid, hal.25-26. Poerwadarminta, 1987, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, ,hal.1150. 30
28
wewenang adalah kemampuan yang diberikan oleh peraturan perundangundangan untuk menimbulkan akibat-akibat hukum.31 Dari perspektif hukum administrasi negara, Indroharto32 maupun Philipus M.Hadjon33
menyebutkan tiga
sumber untuk memperoleh wewenang
pemerintahan, yaitu: atribusi, delegasi, dan mandat. Atribusi adalah pemberian wewenang pemerintahan yang baru oleh suatu ketentuan dalam peraturan perundang-undangan. Jadi, disini dilahirkan/diciptakan suatu wewenang pemerintahan yang baru. Yang memberikan atribusi wewenang pemerintahan itu dibedakan antara: 1. yang berkedudukan sebagai “original legislator”: yang dinegara kita adalah MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat) sebagai pembentuk Konstitusi, dan DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) bersama-sama Presiden sebagai melahirkan Undang-undang; 2. yang bertindak sebagai “delegated legislator”: seperti Presiden yang berdasar pada suatu ketentuan Undang-undang mengeluarkan suatu Peraturan Pemerintah di mana diciptakan wewenang pemerintahan kepada badan/pejabat pemerintahan tertentu. Delegasi adalah pelimpahan wewenang yang telah ada oleh badan/pejabat pemerintahan yang telah memperoleh wewenang pemerintahan secara atributif
31
Indroharto, 1993, Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara; Buku I; Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, hal.68. 32 Ibid, hal.90. 33 Philipus M.Hadjon, Fungsi Normatif Hukum Administrasi Dalam Mewujudkan Pemerintahan Yang Bersih, Pidato penerimaan jabatan Guru Besar Dalam Ilmu Hukum Universitas Airlangga, Senin, 10 Oktober 1994, hal.7.
29
kepada badan/pejabat pemerintahan lainnya. Dalam hal pelimpahan wewenang pemerintahan melalui delegasi ini terdapat syarat-syarat sebagai berikut:34 1. delegasi harus difinitif dan pemberi delegasi (delegans) tidak dapat lagi menggunakan sendiri wewenang yang telah dilimpahkan itu; 2. delegasi harus berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan; 3. delegasi tidak kepada bawahan, artinya dalam hubungan hirarkhi kepegawaian tidak diperkenankan adanya delegasi; 4. adanya kewajiban mempertanggungjawabkan dari penerima delegasi (delegataris) kepada delegans; 5. delegans dapat memberikan instruksi tentang penggunaan wewenang tersebut kepada delegataris. Mandat adalah pelimpahan tugas (penugasan) oleh pejabat atasannya (pemberi mandat) kepada bawahannya (penerima mandat) untuk “atas nama” pejabat atasannya melakukan suatu tindakan hukum dan mengambil serta mengeluarkan keputusan-keputusan administrasi tertentu. Dalam kaitannya dengan Pemerintah Daerah, menurut Sarwoto yang mengkaji dalam perspektif hukum tata negara, adapun kekuasaan hukum atau kewenangan
dari
Pemeritah
Daerah
untuk
menyelenggarakan
urusan
pemerintahan dapat diperoleh melalui dua cara, yakni: 1. pengakuan kekuasaan (attributie); 2. pelimpahan kekuasaan (overdracht).
34
hal.76.
Ridwan,HR, 2003, Hukum Administrasi Negara, Cet.Kedua, UII Press, Yoyakarta,
30
Pelimpahan kekuasaan sendiri dapat dibedakan lagi atas dua macam, yakni pemberian kuasa (mandaatverlening) dan pendelegasian (delegatie). Atas dasar pembagian tersebut maka hubungan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah menurut beliau dapat dikualifikasikan menjadi dua macam, yakni: a. hubungan dalam kaitannya dengan pelaksanaan desentralisasi; b.
hubungan yang berkaitan dengan pelaksanaan dekonsentrasi dan tugas pembantuan.35
1.5.5. Konsep Perizinan. Perizinan merupakan kata benda yang dibentuk dari kata izin dengan mendapat imbuhan per-an.36 Perizinan merupakan bentuk jamak dari kata izin yang oleh W.J.S. Poerwadarminta diartikan dengan perkenaan atau pernyataan mengabulkan tiada melarang atau surat yang menyatakan boleh melakukan sesuatu.37 NM.Spelt dan JBJM.Ten Berge membedakan penggunaan istilah perizinan dan izin, dimana perizinan merupakan pengertian izin dalam arti luas, sedangkan istilah izin digunakan untuk pengertian izin dalam arti sempit. Pengertian perizinan (izin dalam arti luas) adalah suatu persetujuan dari penguasa berdasarkan undang-undang atau peraturan pemerintah, untuk dalam keadaan tertentu menyimpang dari ketentuan-ketentuan larangan perundangan. Dengan memberi izin, penguasa memperkenankan orang yang memohonnya untuk
35 36
I Made Arya Utama, Op.Cit., hal.81. Hasan Alwi, dkk, Tata Bahasa Buku Bahasa Indonesia, dalam I Made Arya Utama, Ibid,
h. 87. 37
I Made Arya Utama, Ibid.
31
melakukan tindakan-tindakan tertentu yang sebenarnya dilarang. 38 Sedangkan yang pokok dari izin dalam arti sempit (izin) ialah bahwa suatu tindakan dilarang, terkecuali diperkenankan, dengan tujuan agar dalam ketentuan-ketentuan yang disangkutkan dengan perkenaan dapat dengan teliti diberikan batas-batas tertentu bagi tiap-tiap kasus. Jadi persoalannya bukanlah untuk hanya memberi perkenan dalam
keadaan-keadaan
khusus,
tetapi
agar
tindakan-tindakan
yang
diperkenankan dilakukan dengan cara-cara tertentu (dicantumkan berbagai persyaratan dalam ketentuan-ketentuan yang bersangkutan). Terkait dengan uraian tersebut Michael Faure and Nicole Niessen mengartikan izin sebagai berikut “The basic idea of a permit system is that the law explicitly forbids a certain activity, and subsequently rules that this activity is only allowed when a competent authority has issued permit.39” Izin adalah “Keputusan Administrasi Negara / Tata Usaha Negara”. Ini berarti bahwa dengan izin dibentuk suatu hubungan hukum tertentu. Dalam hubungan ini oleh administrasi negara / pemerintah dicantumkan syarat-syarat dan kewajiban-kewajiban tertentu yang harus ditaati dan dilaksanakan oleh pihak yang memperoleh izin. Penolakan izin hanya dilakukan jika kriteria yang ditetapkan oleh penguasa tidak dipenuhi atau bila karena suatu alasan tertentu tidak mungkin member izin kepada semua orang.40
38
NM Spelt, dan JBJM Ten Berge, 1993, Pengantar Hukum Perizinan, disunting oleh Philipus M.Hadjon, Yuridika, Surabaya, hal.2. 39 Marjan Peeters, “Elaborting on Integration of environmental legislation: the case of Indonesia” dalam Faure, Michael and Niessen, Nicole, Editor, 2006,Environmental Law in Development, Lessons from the Indonesian Experience, Edward Eglar Publishing, USA, h. 107 40 NM Spelt, dan JBJM Ten Berge,Op.Cit., h.3.
32
Hal di atas menunjukkan bahwa penetapan perizinan sebagai salah satu instrument hukum dari pemerintah ialah untuk mengendalikan kehidupan masyarakat agar tidak menyimpang dari ketentuan hukum yang berlaku, serta membatasi aktifitas masyarakat agar tidak merugikan orang lain.41 1.5.6. Prinsip Pembangunan Berkelanjutan Pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang mengelola sumbersumber daya alam secara rasional dan bijaksana untuk memenuhi kebutuhan generasi sekarang tanpa harus mengabaikan kebutuhan generasi mendatang. Hal tersebut diungkapkan oleh H.W.O. Okoth-Ogendo yang menyatakan bahwa “….Sustainable development as development that meets the needs of the present without compromising the ability of future generations to meet their own needs.”42 Untuk pembangunan yang berkelanjutan itu dilakukan melalui pendekatan ekosistem
yakni kegiatan pembangunan yang memperhatikan kepentingan
lingkungan hidup yang menjadi subjek sekaligus objek pembangunan atau yang disebut sebgai pembangunan berwawasan lingkungan. Dengan kata lain asas pembangunan
berwawasan
lingkungan
merupakan
suatu
sarana
untuk
mewujudkan pembangunan berkelanjutan.43 Dalam menciptakan pembangunan berkelanjutan tersebut maka pengelolaan sumber alam dalam segala usaha pendayagunaannya
41
tetap
memperhatikan
keseimbangan
lingkungan
dan
Tatik Sri Djatmiati, Prinsip Izin Usaha Industri di Indonesia, Disertasi, dalam I Made Arya Utama, Op.Cit., h. 24. 42 H.W.O. Okoth-Ogendo, “Governance and sustainable in Africa”, dalam Konrad Ginther, Erick Denters and Paul J.I.M. de Waart, Editor, 1994, Sustainable Development and Good Governance, London, Martinus Nijhoff Publisher, hal. 105 43 I Made Arya Utama,Op.Cit.,, h. 153
33
kelestarian kemampuannya, dengan merubah pola pendekatan yang use oriented ke arah environment oriented yaitu mengelola lingkungan hidup tanpa harus merusak dan/atau mencemarkannya. 44 Keberhasilan pengelolaan lingkungan yang berbasis environment oriented dalam mewujudkan pembangunan berkelanjutan dapat dicapai apabila ditunjang oleh
sikap administrasi pemerintahan yang secara efektif dan terpadu
memberikan perlindungan hukum bagi lingkungan itu sendiri. Pasal 1 angka 2 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140) memberikan pengertian Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sebagai upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan pemeliharaan,
hidup yang meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pengawasan,
dan
penegakan
hukum.
Dengan
demikian
perlindungan hukum terhadap lingkungan hidup dapat diartikan sebagai upaya yang dilakukan melalui instrument yuridis guna melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan. Adapun salah satu instrumen yuridis administrasi untuk mencegah dan menanggulangi pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan adalah perizinan. 45
44
Ibid, h.76-77 Fuad Amsyari “Problematika Pengendalian Pencemaran Lingkungan” dalam Kumpulan Materi Kursus Perizinan Lingkungan Sebagai Instrumen Pencegahan Pencemaran Lingkungan, PPLH Lembaga Penelitian Universitas Airlangga, Surabaya, 6-7 Juni 2000, h. 4 45
34
1.5.7. Asas Preferensi Di
dalam
(kewerdaan
sistem
atau
perundang-undangan
urutan).
Ada peraturan
dikenal
adanya
hierarki
yang lebih tinggi dan ada
peraturan yang lebih rendah. Perundang-undangan suatu negara merupakan suatu sistem yang tidak menghendaki atau membenarkan atau membiarkan adanya
pertentangan
pertentangan
atau
yang
konflik
terjadi
dan
ada
yang
dalamnya.
dalam
perundang-undangan maka salah satu dimenangkan
di
Jika
suatu
sistem
dari keduanya
dikalahkan.
Oleh
ternyata
peraturan
harus ada
karena
itu
ada
yang
diperlukan
asas-asas yang mengatur mengenai kedudukan masing-masing peraturan perundang-undangan, terkait dengan hal tersebut setidaknya terdapat 3 asas (adagium) dalam tata urutan peraturan perundang-undangan yang dikenal sebagai asas preferensi, yaitu: 1. Asas lex superior derogat legi inferiori, Terkait Asas lex superior derogat legi inferiori Kusnu Goesniadhie menyatakan bahwa: Peraturan perundang-undangan yang tingkatannya lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang tingkatannya lebih tinggi yang mengatur materi normative yang sama. Jika terjadi pertentangan, maka peraturan perundang-undangan yang tingkatannya lebih tinggi akan mengesampingkan peraturan perundangundangan yang tingkatannya lebih rendah, dank arena adanya hirarki dalam peraturan perundang-undangan maka hal demikian berlaku asas lex superior derogate legi inferiori.46
46
Kusnu Goesniadhie, 2010, Harmonisasi Sistem Hukum, Mewujudkan Tata Pemerintahan yang baik, A3, Malang.h. 36.
35
Hal tersebut sebagaimana dimaksud oleh Gert-Fredrik Malt yang menyatakan bahwa: “the lex superior principle points to the formaland substantive reasons for assuming, given a set of different opinions covering the same situation an emanating from different sources (persons, procedures, values), that one (in principle and which one) should be considered as representing the ultimate or most fundamental and important opinion of the utterer (or a body of utterers, such as the society as a whole?) and that is the valid one. In a world where points of view, values, and opinions may differ (disagree) such an assumption will promote the necessary and maximal orientatition of the total set of opinions in the sistem toward coherence and unity (of order, of value, of opinion, of acts, avoiding anarchy) and efficiency in the application of means and end.”47
2. Asas lex posteriori derogate legi priori Selanjutnya terkait Asas lex superior derogat legi inferiori Gert-Fredrik Malt menyatakan bahwa:
“The lex posterior principle thus points to the formal and substantive reasons for assuming, given an older and more recent statement (concerning fact, values, and norms), that the latter represents the ultimate (actual) opinion of the utterer and is also the valid one. In a changing world such an assumption will promote a necessary and maximal orientation of the total set of opinions in the sistem towards the actual (present).”48 Hal senada mengenai asas ini diungkapkan oleh Kusnu Goesniadhie yang menyatakan bahwa: Pertentangan dapat terjadi antara peraturan perundang-undangan yang lama dengan peraturan perundang-undangan yang baru, yang mengatur materi normatif yang sama. Kalau diundangkan peraturan perundangundangan yang baru dengan tidak mencabut peraturan perundangundangan yang lama yang mengatur materi normatif yang sama sedangkan kedua-duanya saling bertentangan satu sama lain, maka peraturan perundang-undangan yang baru mengesampingkan peraturan perundang-
47
Gert-Fredrik Malt, “Methods for the solution of Conflict between Rule in a sistem of Positive Law” dalam Bob Brouwer, et.al., Editor, Coherence and Coflict in Law, Procceedings of the 3rd Benelux-Scandinavian Symposium in Legal Theory. h. 211 48 Gert-Fredrik Malt, Op.Cit., h..208
36
undangan yang lama, hal demikian berlaku asas lex posteriori derogate legi priori.49
3. Asas lex specialis derogate legi generali Terkait dengan asas lex specialis derogate legi generali, Gert-Fredrik Malt menyatakan bahwa: “The lex specialis principle points to the formal and substantive reasons for assuming, given a more general and a more specific statement, coverting the same situation, that the latter represents the ultimate opinions of the utterer and also the valid one in relation to the situation. In a complex world, such as assumtions will promote necessary and maximal orientatios of the total set of opinions in the sistem toward the concrete (reality).50 Hal yang serupa juga diungkapkan oleh
Kusnu Goesniadhie yang
menyatakan bahwa: Pertentangan dapat terjadi antara peraturan perundang-undangan yang bersifat umum dengan peraturan perundang-undangan yang bersifat khusus, sedangkan kedua-duanya mengatur materi normatif yang sama. Jika terjadi demikian maka peraturan perundang-undangan yang bersifat khusus akan mengesampingkan peraturan perundang-undangan yang bersifat umum, hal demikian akan berlaku asas lex specialis derogate legi generali.51 Adapun tipe penyelesaian yang berkaitan dengan asas preferensi hukum sebagaimana diuraikan diaas yaitu sebagai berikut:52 1. Pengingkaran (disavowal) Langkah ini seringkali merupakan suatu paradok, dengan mempertahankan bahwa tidak ada konflik norma. Seringkali konflik itu terjadi berkenaan
49
Kusnu Goesniadhie, Op.Cit.,h. 36 Gert-Fredrik Malt, Op.Cit. h. 209 51 Kusnu Goesniadhie, Op.Cit. h. 37 52 P.W. Brouwer et.al. Coherence and Conflict in Law dalam Philipus M. Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati, 2009, Argumentasi Hukum, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, h.al.31 50
37
dengan asas lex spesialis dalam konflik pragmatis atau dalam konflik logika diinterpretasi sebagai pragmatis. 2. Reinterpretasi Dalam kaitan penerapan 3 asas preferensi hukum harus dibedakan: Cara yang pertama adalah reinterpretasi, yaitu dengan mengikuti asas-asas preferensi, menginterpretasi kembali norma yang utama dengan cara yang lebih fleksibel. Cara yang kedua dengan menginterpretasi norma preferensi dan kemudian menerapkan norma tersebut dengan mengenyampingkan norma yang lain. 3. Pembatalan (invalidation) Ada dua macam pembatalan, yaitu: a. pembatalan abstrak dan formal dilaksanakan misalnya oleh suatu lembaga khusus. Di Indonesia Pembatalan Peraturan Pemerintah ke bawah dilaksanakan oleh Mahkamah Agung. b. Pembatalan praktikal, yaitu tidak menerapkan norma tersebut dalam kasus konkrit. 4. Pemulihan (remedy) Mempertimbangkan pemulihan dapat membatalkan satu ketentuan. Misal: dalam hal satu norma yang unggul dalam arti Overruled norm, berkaitan dengan aspek ekonomi maka sebagai ganti membatalkan norma yang kalah maka dengan cara memberikan kompensasi.
38
1.5.8. Teori Pernjenjangan Norma Hans Nawiasky, salah seorang murid Hans Kelsen mengembangkan teori gurunya tentang teori jenjang norma dalam kaitannya dengan suatu negara. Hans Nawiasky dalam bukunya yang berjudul “Algemeine rechtslehre” mengemukakan bahwa sesuai dengan teori Hans Kelsen maka suatu norma hukum dari negara manapun selalu berlapis-lapis dan berjenjang-jenjang.norma yang dibawah berlaku, bersumber, dan berdasar pada norma yang lebih tinggi, sampai pada suatu norma yang tertinggi yang disebut norma dasar.53 Hans Nawiasky juga berpendapat bahwa selain norma itu berlapis-lapis dan berjenjang, norma hukum dari suatu negara itu juga berkelompok-kelompok, dan pengelompokan norma hukum dalam suatu negara itu terdiri atas empat kelompok besar, yaitu: Kelompok I
: Staatsfundamentalnorm (norma fundamental negara)
Kelompok II
: Staatsgerundgesetz (aturan dasar Negara/aturan Pokok Negara)
Kelompok III : Formell Gesetz (undang-undang formal) Kelompok IV : Verordnung & Autonome Satzung (Aturan pelaksana dan aturan otonom). Berdasarkan rumusan Pasal 7 Undang-undang No. 10 tahun 2004 tentang Pembentukan
Peraturan
Perundang-undangan(Lembaran
Negara
Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 53) dinyatakan tentang jenis dan hirarki peraturan perundang-undangan yang dirumuskan sebagai berikut: Pasal 7: 53
h. 44-45.
Maria Farida Indrati Soeprapto, 2007, ,Ilmu Perundang-undangan, Kanisius, Yogyakarta,
39
(1) Jenis dan hirarki peraturan perundang-undangan adalah sebagai berikut: a. UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 b. Undang-undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang c. Peraturan Pemerintah d. Peraturan Presiden e. Peraturan daerah. Pembukaan
UUD
Negara
Republik
Indonesia
1945
merupakan
Staatsfundamentalnorm atau norma fundamental negara. Norma fundamental negara ini merupakan norma hukum tertinggi yang merupakan landasan dasar bagi pengaturan negara itu lebih lanjut. Sifat norma hukumnya masih secara garis besar dan merupakan norma hukum tunggal, dalam arti belum dilekati oleh norma hukum yang berisi sanksi. Batang Tubuh UUD Negara Republik Indonesia 1945 merupakan Staatsgrundgesetz atau aturan dasar negara/aturan pokoknegara yang merupakan garis-garis besar atau pokok-pokok kebijaksanaan negara untuk menggariskan tata cara membentuk peraturan perundang-undangan yang mengikat umum. Sifat dari norma hukumnya masih bersifat garis besar dan pokok dan merupakan norma hukum tunggal, belum dilekati oleh norma hukum sanksi. Undang-undang dikatagorikan dalam Fomell Gesetz sementara Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, serta Peraturan Daerah digolongkan dalam Verordnung & Autonome Satzung. 1.6. Metode Penelitian 1.6.1. Jenis Penelitian Adapun jenis penelitaian yang digunakan dalam proposal penelitian ini adalah penelitian hukum normative. Penelitian ini beranjak dari adanya konflik norma antara Perda No. 16 Tahun 2009 dengan beberapa peraturan perundang-
40
undangan seperti PP No. 36 Tahun 2010 dan Keputusan Presiden No 32 Tahun 1990 dimana konflik norma yang terjadi adalah terkait dengan dapat atau tidaknya dilakukan pengusahaan pondok wisata pada kawasan taman wisata alam. 1.6.2. Jenis Pendekatan Di dalam penelitian hukum terdapat beberapa jenis pendekatan, dengan pendekaan tersebut diharapkan dapat memperoleh informasi mengenai masalah yang diteliti. Pendekatan yang digunakan untuk membahas permasalahan pada proposal tesis ini adalah dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan (The Statute Approach) dan pendekatan analisis konsep hukum (Analitical and Conceptual Approach). Pendekatan perundang-undangan (The Statute Approcah) dilakukan dengan menelaah peraturan perundang-undangan. Pendekatan ini digunakan untuk mengkaji adanya permasalahan hukum dalam peraturan perundang-undangan yang terkait dengan permasalahan yang akan di bahas dalam proposal penelitian hukum ini. Pendekatan analisis konsep hukum (analytical and Conceptual Approcah) yaitu beranjak dari peraturan perundang-undangan maupun pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang di dalam ilmu hukum Dengan mempelajari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin di dalam ilmu hukum, peneliti akan menemukan ide-ide yang relevan dengan isu yang dihadapi54.
54
Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian Hukum, Prenada Media, Jakarta,hal. 93
41
Dengan beberapa pendekatan hukum yang digunakan tersebut diharapkan dapat diperoleh pemecahan yang tepat terhadap kedua pokok permasalahan yang akan dibahas dalam proposal tesis ini. 1.6.3. Sumber Bahan Hukum Penelitian ini mengandalkan pada penggunaan bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. 1. Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang mempunyai kekuatan mengikat secara umum55 2. Bahan-bahan hukum primer diperoleh dari peraturan perundangundangan yang terkait dengan pokok permasalahan yang akan diteliti antara lain: a. Undang-undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1990 Nomor 49); b. Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan
(Lembaran
Negara
Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 53) c. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125)
55
Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, 2001, Penelitian Hukum Normatif suatu tinjauan singkat, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 13
42
d. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140) e. Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam Dan Kawasan Pelestarian Alam (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 132 ) f. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999
tentang Analisis
Mengenai Dampak Lingkungan hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 59) g. Peraturan Pemerintah Nomor 36 tahun 2010 tentang Pengusahaan Pariwisata Alam di Suaka Margasatwa, Taman nasional, Taman Hutan Raya, dan Taman Wisata Alam (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 25) h. Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 48) i. Keputusan Presiden Nomor 32 tahun 1990 tentang Pengelolaan kawasan Lindung (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun
1990 Nomor 49) j. Peraturan Menteri No. 11 Tahun 2006 tentang Jenis REncana Usaha dan/atau Kegiatan yang Wajib Dilengkapi Dengan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup.
43
k. Keputusan Kepala Bapedal No 56 Tahun 1994 tentang Pedoman Dampak Penting l. Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 16 Tahun 2009 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Bali Tahun 2009-2029 (Lembaran Daerah Provinsi Bali Tahun 2009 Nomor 16) 3. Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang memberi penjelasan lebih lanjut terhadap bahan hukum primer,56 dalam penulisan tesis ini digunakan bahan hukum sekunder seperti: a. Buku-buku mengenai hukum perizinan, hukum tata ruang, hukum administrasi negara; b. Makalah-makalah yang berasal dari seminar maupun pidato mengenai hukum perizinan dan hukum lingkungan; c. Artikel-artikel yang terkait dengan permasalahan yang di bahas baik yang dimuat dalam media cetak mauapun media elektronik. 4. Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang memberi penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder
57
. Bahan
hukum tersier yang dugunakan dalam penulisan ini adalah Kamus Bahasa Indonesia dan Kamus Hukum. 1.6.4. Teknik Pengumpulan Sumber Bahan Hukum Teknik pengumpulan bahan hukum yang digunakan dalam penulisan ini adalah denngan menggunakan gabungan antara metoda bola salju dan metoda sistem kartu. Metoda bola salju (snowball method) adalah metoda dimana bahan 56 57
Ibid Soerjono Soekanto, 1986,Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, hal.251-262
44
hukum dikumpulkan melalui beberapa literature kemudian dari beberapa literature tersebut diambil sejumlah sumber yang mendukung literature tersebut. Bahan hukum yang diperoleh kemudian dikumpulkan dengan menggunakan sistem kartu (card sistem). Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji berpendapat bahwa kartu yang perlu disiapkan yaitu58 kartu kutipan yang dipergunakan untuk mencatat atau mengutip data beserta sumber darimana data tersebut diperoleh (nama pengarang/penulis,judul buku/artikel, halaman, dan sebagainya) Dalam penelitian ini bahan hukum primer dicatat dalam kartu kutipan adalah mengenai substansi yang terkait dengan masalah yang dibahas. Selanjutnya dalam kartu kutipan atas bahan hukum sekunder dicatat mengenai pendapat para ahli yang dikemukakan dalam kepustakaan yang dibahas beserta komentar atas pendapatnya. Selanjutnya bahan sekunder yang diperoleh melalui studi kepustakaan digunakan sebagai pendukung hasil penelitian. 1.6.5. Teknik Analisis Bahan Hukum Bahan hukum yang diperoleh terkait dengan kedua pokok permasalahan yang akan diteliti selanjutnya dibahas melalui beberapa teknik analisis yaitu teknik
deskripsi,
interpretasi,
konstruksi,
sistematisasi,
evaluasi,
dan
argumentasi.59 Adapun teknik analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik deskripsi, sistematisasi, evaluasi, dan argumentasi. Analisis bahan hukum dalam penelitian ini diawali dengan melakukan teknik deskripsi. Teknik deskripsi adalah penguraian suatu bahan hukum yang 58
Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, 2004, Penelitian Hukum Normatif suatu tinjauan singkat, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 53 59 Anonim, 2003, Pedoman Penulisan Usulan Penelitian dan tesis Program Studi Magister Ilmu Hukum Program Pasca Sarjana Universitas Udayana, Program Pasca Sarjana Universitas Udayana, Denpasar, hal. 8-9.
45
telah dikumpulkan. Dalam hal ini deskripsi dilakukan terhadap beberapa peratutan perundang-undangan yang menunjukkan adanya konflik dan kekaburan norma mengenai dapat dibangunnya sarana akomodasi pariwisata dalam kawasan taman wisata alam, yang dimulai dari PP No. 36 Tahun 2010, dilanjutkan dengan PP No. 26 Tahun 2008 dan kemudian Peraturan Daerah Provinsi Bali No. 16 Tahun 2009. Bahan hukum yang telah dideskripsikan tersebut kemudian disistemasi, dievaluasi dan diberikan argumentasi. Teknik sistematisasi adalah upaya mencari kaitan rumusan suatu konsep hukum antara perundang-undangan yang sederajat maupun yang tidak sederajat. 60 Dalam usulan penelitian ini teknik ini digunakan dengan mengkaitkan rumusan konsep hukum dari kedua pokok permasalahan yang terdapat antara peraturan perundang-undangan yang sederajat maupun tidak sederajat. Teknik evaluasi adalah penilaian berupa tepat atau tidak tepat, setuju atau tidak setuju, benar atau salah, sah atau tidak sah oleh peneliti terhadap suatu pandangan, proposisi, pernyataan norma, keputusan, baik yang tertera dalam bahan primer maupun bahan hukum sekunder.61 Teknik ini digunakan untuk menentukan tepat atau tidak tepatnya pernyataan norma yang terkait dengan dapat dilakukannya pembangunan sarana akomodasi pada kawasan taman wisata alam. Kemudian terhadap penilaian tersebut diberikan alasan-alasan yang bersifat penalaran hukum atau yang disebut dengan teknik armumentasi untuk mengahasilkan kesimpulan atas permasalahan yang dibahas.
60 61
Ibid Ibid
46
BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERIZINAN SEBAGAI INSTRUMEN PENGENDALIAN DALAM PENGUSAHAAN PONDOK WISATA PADA KAWASAN TAMAN WISATA ALAM
2.1
Perizinan Sebagai Instrumen Pengendalian Instrumen pengendalian merupakan bagian dari upaya perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup sebagaimana diatur dalam undang-undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan pengelolaan Lingkungan Hidup. Dalam Pasal 1 angka 2 dinyatakan bahwa “Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum.” Hal yang serupa juga diatur dalam pasal selanjutnya yaitu dalam Pasal 4 yang menyatakan bahwa Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup meliputi: a. perencanaan; b. pemanfaatan; c. pengendalian; d. pemeliharaan; e. pengawasan; dan f. penegakan hukum. Dari kedua ketentuan tersebut diketahui bahwa upaya pengendalian merupakan bagian dari perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup. Berdasarkan Pasal 13 Pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup meliputi:
46
47
a. pencegahan; b. penanggulangan; dan c. pemulihan. Selanjutnya sesuai dengan Pasal 14 instrumen pencegahan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup terdiri atas: a. KLHS; b. tata ruang; c. baku mutu lingkungan hidup; d. kriteria baku kerusakan lingkungan hidup; e. Amdal; f. UKL-UPL; g. perizinan; h. instrumen ekonomi lingkungan hidup; i. peraturan perundang-undangan berbasis lingkungan hidup; j. anggaran berbasis lingkungan hidup; k. analisis risiko lingkungan hidup; l. audit lingkungan hidup; dan m. instrumen lain sesuai dengan kebutuhandan/atau perkembangan ilmu pengetahuan. Diantara ke tiga belas instrumen pencegahan tersebut perizinan merupakan instrumen yang dapat dimanfaatkan oleh pemerintah sebagai ujung tombak dalam mengendalikan aktivitas rakyatnya. Esensi dari tindakan hukum pemerintah berupa perizinan adalah melarang seseorang atau suatu badan hukum tertentu melakukan
suatu
kegiatan
dan/atau
usaha
tanpa
mendapatkan
persetujuan/perkenan terlebih dahulu dari badan atau pejabat tata usaha negara yang berwenang. Sehingga setiap usaha dan/atau kegiatan baru dapat dilaksanakan setelah mendapatkan izin terlebih dahulu dari pejabat yang berwenang. Dalam setiap rencana kegiatan, penanggungjawab kegiatan dan atau usaha akan selalu dibebani oleh suatu instrument perlindungan yang disebut izin dalam
48
rangka menata ketertiban sebagai instrument preventif.62 Siti Sundari Rangkuti menyatakan bahwa perizinan merupakan instrument yang sangat penting dalam rangka pengendalian lingkungan.63 Izin merupakan wewenang yang bersifat hukum publik, wewenang tersebut dapat berupa wewenang ketatanegaraan (staasrechtelijk bevoehdheid), bisa juga berupa wewenang administrasi (administratiefrechtelijk bevoehdheid). Wewenang menerbikan izin bisa berupa wewenang terikat (gebonden bevoehdheid) dan bisa juga berupa wewenang bebas (discretionary power).64 Dengan wewenang tersebut penguasa berdasarkan peraturan perundang-undangan menggunakan sarana izin sebagai sarana yuridis untuk mengatur tingkah laku masyarakat. Dengan memberi izin pemerintah memperkenankan pemohon melakukan tindakan-tindakan yang sebenarnya dilarang. Dengan kata lain melalui perizinan diberikan perkenan untuk melakukan sesuatu yang
diliarang, berarti esensi dari perizinan adalah
dilarangnya suatu tindakan, kecuali diperkenankan dengan izin. Perizinan dengan karakteristik yuridisnya sebagai perbuatan hukum bersegi satu dapat membebankan kewajiban-kewajiban tertentu secara sepihak kepada masyarakat.65 Oleh karena itu instrumen perizinan merupakan salah satu wujud keputusan pemerintah yang paling banyak dipergunakan dalam Hukum Administrasi untuk mempengaruhi dan mengendalikan tindakan masyarakat agar mau mengikuti cara yang dianjurkan oleh peraturan perundang-undangan yang
62
Taufik Iman Santoso, 2008, Amdal, Setara Press, Malang, h. 35 Siti Sundari Rangkuti, Hukum lingkungan dan Kebijakan Publik, Airlangga University Press, Surabaya, h. 3 64 Philipus M. Hadjon, 1995, Aspek-Aspek Hukum Administrasi dari KTUN, Bandung. 65 I Made Arya Utama, Op.Cit.,h. 133 63
49
berlaku.66 Dengan karakteristik yang demikian pemerintah dapat memprsyaratkan setiap rencana kegiatan dan/atau usaha yang memiliki dampak terhadap lingkungan hidup agar dilakukan atas persetujuan Pemerintah dalam bentuk perizinan berwawasan lingkungan hidup. 67 Izin sebagai sarana yuridis dari pemerintah, pada hakekatnya ditetapkan untuk mengkonkritisasikan wewenangnya dengan beberapa tujuan (motif) tertentu. Menurut Spelt dan Ten Berge, tujuan (motif) menggunakan sistem perizinan dapat berupa:68 Kegiatan mengarahkan (mengendalikan–‘sturen’)
akivitas-aktivitas
tertentu (misalnya izin bangunan); Mencegah bahaya bagi lingkungan (izin-izin lingkungan); Keinginan
melindungi
objek-objek
tertentu
(izin
tebang,
izin
membongkar pada monmen-monumen); Hendak membagi benda-benda yang sedikit (izin penghuni di daerah padat penduduk); Pengarahan, dengan menyeleksi orang-orang dan aktivitas-aktivitas (izin berdasarkan “Drank-en Horecawet, dimana pengurus harus memenuhi syarat-syarat tertentu). Dalam kaitannya dengan izin yang diperlukan dalam pengusahaan pondok wisata pada kawasan taman wisata alam, maka adapun motif yang terkandung di dalamnya adalah motif untuk mengarahkan/mengendalikan. Motif untuk
66
N.M. Spelt dan J.B.J.M. Ten Berge, Op.Cit.h.2. I Made Arya Utama, Op.Cit., h. 153 68 Ibid, h.4-5. 67
50
mengarahkan/mengendalikan adalah untuk mengarahkan agar aktivitas yang dilaksanakan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan disini adalah dimaksudkan agar usaha yang dijalankan tidak bertentangan dengan peraturan perundangundangan yang terkait dengan usaha yang akan diselenggarakan, untuk proses perizinan terkait usaha tersebut perlu memperhatikan beberapa peraturan peraturan perundang-undangan khususnya dibidang lingkungan, seperti peraturan di bidang konservasi, kemudian peraturan di bidang tata ruang, dan tentunya bertumpu pada undang-undang yang menjadi payung dari semua peraturan di bidang lingkungan hidup yaitu Undang-Undang tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dimana esensi dari seluruh peraturan tersebut pada dasarnya menuntut agar usaha yang dilaksanakan tidak menimbulkan kerusakan dan pencemaran yang dapat merusak kualitas lingkungan khususnya pada kawasan taman wisata alam itu sendiri. Sehingga kualitas lingkungan dari kawasan taman wisata alam tetap terjaga. 2.2. Pengertian Usaha Pondok Wisata Untuk mendukung kegiatan perekonomian di Provinsi Bali sebagian besar masyarakatnya memiliki usaha yang bergerak di bidang pariwisata salah satu bentuk usaha di bidang pariwisata adalah usaha akomodasi pariwisata. Usaha akomodasi adalah suatu usaha yang menggunakan suatu bangunan atau sebagian bangunan yang disediakan secara khusus, dimana setiap orang dapat menginap
51
dengan atau tanpa makan dan memperoleh pelayanan serta menggunakan fasilitas lainnya dengan melakukan pembayaran.69 Dalam pengertian umum akomodasi pariwisata di dalamnya menyangkut hotel, penginapan, villa, peristirahatan, bungalow, homestay dan sebagainya. Semua jenis akomodasi dibangun sebagai tempat beristirahat para wisatawan selama berada di Tourist Destination Area.70 Dalam
ketentuan
Undang-undang
No.
10
tahun
2009
tentang
Kepariwisataan ditentukan bahwa pondok wisata merupakan salah satu bentuk usaha akomodasi pariwisata, yaitu ditemukan dalam Penjelasan pasal 14 ayat (1) huruf f, berikut akan diuraikan terlebih dahulu bunyi Pasal 14 ayat (1) yang menyatakan bahwa: (1) Usaha pariwisata meliputi, antara lain: a. daya tarik wisata; b. kawasan pariwisata; c. jasa transportasi wisata; d. jasa perjalanan wisata; e. jasa makanan dan minuman; f. penyediaan akomodasi; g. penyelenggaraan kegiatan hiburan dan rekreasi; h. penyelenggaraan pertemuan, perjalanan insentif, konferensi, dan pameran; i. jasa informasi pariwisata; j. jasa konsultan pariwisata; k. jasa pramuwisata; l. wisata tirta; dan m. spa. Dalam penjelasan Pasal 14 huruf f dinyatakan bahwa “Yang dimaksud dengan usaha penyediaan akomodasi adalah usaha yang menyediakan pelayanan 69
Yayuk Sri Perwani, 1992, Teori dan Petunjuk Praktek Housekeeping untuk akademi Perhotelan, Make a Room, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, h. 1-2. 70 Yayu Indrawati, “Persepsi Wisatawan Lanjut Usia pada Fasilitas Akomodasi dan Aktivitas Pariwisata Bernuansa Seni Budaya di Desa Sanur”, diunduh dari URL: http://www.isidps.ac.id/download/6-Yayu-Pariwisata.pdf diunduh pada tanggal 21 April 2010
52
penginapan yang dapat dilengkapi dengan pelayanan pariwisata lainnya. Usaha penyediaan akomodasi dapat berupa hotel, vila, pondok wisata, bumi perkemahan, persinggahan karavan, dan akomodasi lainnya yang digunakan untuk tujuan pariwisata.” Ketentuan yang sama juga diatur dalam Pasal 58 Peraturan Pemerintah Nomor 67 Tahun 1996, menyatakan bahwa: Usaha penyediaan akomodasi dapat berupa: a. usaha hotel; b. usaha pondok wisata; c. usaha bumi perkemahan;dan d. usaha persinggahan karavan. Dari uraian penjelasan Pasal 14 huruf f UU No. 10 tahun 2009 dan Pasal 58 Peraturan Pemerintah Nomor 67 Tahun 1996 diketahui bahwa usaha pondok wisata merupakan bagian dari usaha penyediaan akomodasi, dimana berdasarkan Pasal 14 huruf f UU No. 10 Tahun 2009 usaha penyediaan akomodasi adalah salah satu bentuk dari usaha pariwisata. Selanjutnya berikut ini akan diuraikan beberapa pengertian mengenai usaha pondok wisata, yaitu:
Berdasarkan Pasal 1 angka 9 Peraturan Daerah Kabupaten Buleleng Nomor 11 Tahun 2007 Tentang Retribusi Izin Usaha Hotel Melati Dan Pondok Wisata Di Kabupaten Buleleng menyatakan bahwa: Pondok Wisata adalah rumah atau bagian dari rumah penduduk yang difungsikan sebagai akomodasi wisata dengan fasilitas yang lebih sederhana daripada hotel dan disewakan untuk jangka waktu tertentu.
Badan Pusat Statistik, memberikan pengertian pondok wisata sebagai berikut: Usaha Pondok Wisata adalah suatu usaha perorangan dengan menggunakan sebagian rumah tinggalnya untuk penginapan bagi orang dengan perhitungan pembayaran harian71 71
Badan Pusat Statistik, “Konsep dan Definisi Statistik Hotel dan Akomodasi Lainnya di Indonesia” di unduh dari:URL:http://www.bps.go.id/aboutus.php?id_subyek=16&tabel=1&fl=2, pada tanggal 15 Mei 2010.
53
Direktorat Kebudayaan Pariwisata Pemuda dan Olahraga Bappenas menyatakan bahwa: Pondok wisata (home stay) yaitu usaha penyediaan jasa pelayanan penginapan bagi umum dengan pembayaran harian yang dilakukan perseorangan dengan menggunakan sebagian atau seluruhnya dari tempat tinggalnya.72 Pasal 1 huruf a Keputusan Menteri Pariwisata Pos dan telekomunikasi
Nomor 74/PW.105/MPPT-85 tentang Peraturan Usaha Pondok Wisata Pondok wisata adalah salah satu usaha perorangan dengan mempergunakan sebagian dari rumah tinggalnya untuk penginapan bagi setiap orang dengan perhitungan pembayaran harian. Selanjutnya dalam Pasal 2 disebutkan: Tidak termasuk dalam pengertian pondok wisata menurut peraturan ini adalah: a. Hotel, Losmen, Penginapan Remaja (Youth Hostel) dan Perkemahan; b. Asrama Haji, Asrama, dan Rumah Pemondokan bagi Mahasiswa dan Pelajar; c. Tempat penginapan yang dikelola oleh instansi Pemerintah maupun Swasta yang khusus digunakan sebagi tempat peristirahatan bagi karyawannya. Pasal 4 (1) Pengusahaan Pondok Wisata adalah usaha penyediaan pelayanan penginapan; (2) Pengusahaan pondok wisata dapat menyediakan jasa pelayanan makanan dan minuman sebagai jasa tambahan; (3) Pengusahaan pondok wisata harus memenuhi persyaratan sebagaimana terlampir dalam keputusan ini. Dengan demikian pada dasarnya usaha pondok wisata adalah usaha yang menggunakan rumah atau bagian dari tempat tinggal yang difungsikan sebagai akomodasi wisata dengan fasilitas yang lebih sederhana daripada hotel dan disewakan untuk jangka waktu tertentu dengan perhitungan pembayaran harian. Terdapat beberapa persyaratan yang harus dipenuhi dari sebuah pondok wisata, 72
Direktorat Kebudayaan Pariwisata Pemuda dan Olahraga Bappenas, “Konsep dan Definisi Seputar Pariwisata”, diunduh dari: URL: http://www.budpar.go.id, pada tanggal 15 Mei 2010.
54
persyaratan itu diatur dalam Lampiran Keputusan Menteri Pariwisata Pos dan Telekomunikasi Nomor: KM.74/PW.105/MPPT-85. Adapun lampiran Keputusan Menteri Pariwisata Pos dan Telekomunikasi Nomor: KM.74/PW.105/MPPT-85 menyebutkan persyaratan dari sebuah pondok wisata, yaitu sebagai berikut: Unsur Persyaratan 1. Kamar
Uraian Persyaratan a. Kamar yang disewakan harus merupakan bagian dari rumah tinggal b. Jumlah Kamar yang disewakan maksimal 5 (lima) buah. c. Luas kamar tidur minimal 2,70 m2 per orang. d. Tata Udara diatur dengan baik e. Tersedia Persyaratan Penghunian kamar f. Perlengkapan Kamar tidur: 1) Tempat tidur 2) Bantal dengan sarung bantal 3) seprai 4) Selimut 5) Kaca rias 6) Asbak 7) Keranjang sampah
2. Kamar Mandi
a.
Dilengkapi dengan bak mandi, ember, dan gayung
b.
Ventilasi diatur dengan baik
c.
Tersedia air dengan cukup
3. Lain-lain
a. Lingkungan rumah yang dijadikan pondok wisata harus dijaga kebersihannya b. Tersedia alat pemadam kebakaran c. Tersedia tempat pembuangan sampah yang
55
tertutup Selanjutnya untuk kegiatan yang wajib diselenggarakan dalam usaha pondok wisata diatur dalam ketentuan Pasal 65 Peraturan Pemerintah Nomor 67 Tahun 1996, yang menyatakan bahwa: (1) Kegiatan usaha pondok wisata meliputi : a. penyediaan kamar tempat menginap; b. penyediaan tempat atau pelayanan makan dan minum; dan c. pelayanan pencucian pakaian/binatu. (2) Kegiatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a merupakan pelayanan pokok yang wajib diselenggarakan oleh penyelenggara usaha pondok wisata Sehubungan dengan pengertian, syarat, serta kegiatan yang wajib diselenggarakan oleh sebuah pondok wisata, juga terdapat fasilitas yang dapat dibangun guna menunjang pengusahaan pondok wisata itu sendiri, berikut ini akan diuraikan mengenai fasilitas yang dapat dibangun dalam kaitannya dengan pengusahaan pondok wisata pada kawasan taman wisata alam, ketentuan mengenai fasilitas pondok wisata ini diatur dalam Keputusan Menteri Kehutanan No. 167/Kpts-II/1994 tentang Sarana dan Prasarana Pengusahaan Pariwisata Alam di Kawasan Pelestarian Alam. Adapun beberpa ketentuan yang mengatur mengenai fasilitas yang dapat dibangun guna menunjang usaha pondok wisata pada kawasan taman wisata alam akan diuraikan sebagai berikut: Pasal 6 menyatakan bahwa: Jenis sarana pariwisata alam yang dapat dibangun adalah: a. Sarana akomodasi b. Rumah makan dan minuman c. Sarana wisata tirta d. Sarana wisata budaya e. Sarana angkutan umum f. Kios cinderamata.
56
Pasal 7 ayat (1) menyatakan bahwa: Jenis sarana akomodasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 huruf a meliputi: a. Pondok wisata alam/pondok apung b. Bumi Perkemahan c. Karavan d. Penginapan remaja e. Fasilitas Akomodasi f. Fasilitas pelayanan umum dan kantor. Pasal 7 ayat (2) menyatakan bahwa: Fasilitas akomodasi sebagaimana dimaksud ayat (1) huruf e tersebut di atas meliputi: a. b c. d.
pertemuan Ruang makan dan minum Fasilitas untuk bermain anak Gudang
Pasal 7 ayat (3) menyatakan bahwa: Fasilitas pelayanan umum dan kantor sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf f meliputi: a. Fasilitas pelayanan informasi; b. Fasilitas pelayanan telekomunikasi c. Fasilitas pelayanan administrasi d. Fasilitas pelayanan angkutan e. Fasilitas pelayanan penukaran uang f. Fasilitas pelayanan cucian g. Telepon umum h. Mushola i. Pos PPPk/Poliklinik j. Menara untuk pengintaian dan pemandangan k. Tempat sampah l. Kantor m. Mess karyawan n. Pemadam kebakaran Pasal 13 menyatakan bahwa: Jenis Prasarana untuk menunjang sarana pengusahaan pariwisata alam yang dapat dibangun adalah: a. Jalan b. Jembatan c. Areal parker d. Jaringan listrik e. Jaringan air minum f. Jaringan telepon g. Jaringan drainase/saluran
57
h. Sistem pembuangan limbah i. Dermaga/Pelabuhan tambat j. Helipad. Pasal 22 menyatakan bahwa: Fasilitas pelengkap sarana dan prasarana pengusahaan pariwisata alam yang dapat dibangun adalah : a. Penataan tanaman pada bagian-bagian tertentu; b. Papan-papan petunjuk; c. Ornamen-ornamen, monument, bangku dan meja piknik d. Fasilitas umum
Pasal 24 menyatakan bahwa: Papan-papan petunjuk sebagaimana dimaksud dalam pasal 22 huruf b, yang dibangun dapat berupa: a. Papan nama b. Papan informasi c. Papan petunjuk arah d. Papan larangan/peringatan e. Papan bina cinta alam, dan f. Papan rambu lalulintas. Pasal 25 menyatakan bahwa: Ornamen-ornamen, monument, bangku dan meja piknik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 huruf c, yang dibangun disesuaikan dengan kondisi lingkungan dan budaya setempat. Pasal 26 menyatakan bahwa: Fasilitas umum terdiri atas: a. Toilet b. Hidran air minum 2.3. Kawasan Taman Wisata Alam di Provinsi Bali Selain merupakan destinasi wisata yang diminati karena kebudayaannya, Provinsi Bali juga memiliki potensi daya tarik wisata alam yang memikat. Terdapat beberapa objek yang menyuguhkan panorama alam yang indah dengan keaslian alamnya yang masih terjaga, beberapa objek dengan kriteria tersebut dapat dijumpai dalam suatu kawasan yang disebut sebagai taman wisata alam.
58
Pada kawasan taman wisata alam ini wisatawan bisa menikmati suasana alam yang masih sangat asri dan lingkungan yang relatif masih alami. Penetapan suatu kawasan sebagai kawasan taman wisata alam adalah apabila kawasan tersebut memenuhi kriteria yang ditetapkan sebagai taman wisata alam sebagaimana diatur Pasal 57 ayat (8) PP No. 26 Tahun 2006 jo. Pasal 51 ayat 5 Perda Provinsi Bali No. 16 Tahun 2009 menyatakan bahwa: Taman wisata alam dan taman wisata alam laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (3) huruf h ditetapkan dengan kriteria: a. memiliki daya tarik alam berupa tumbuhan, satwa dan ekosistemnya yang masih asli serta formasi geologi yang indah, unik, dan langka; b. memiliki akses yang baik untuk keperluan pariwisata; c. memiliki luas yang cukup untuk menjamin pelestarian sumber daya alam hayati dan ekosistemnya untuk dimanfaatkan bagi kegiatan wisata alam; dan d. kondisi lingkungan di sekitarnya mendukung upaya pengembangan kegiatan wisata alam. Berdasarkan kriteria tersebut terdapat beberapa kawasan di Provinsi Bali yang ditetapkan sebagai kawasan taman wisata alam, sebaran kawasan taman wisata alam di provinsi Bali dapat ditemukan dalam Penjelasan Pasal 45 ayat 6 yang menyatakan bahwa: Taman Wisata Alam adalah kawasan pelestarian alam di darat maupun di laut yang terutama dimanfaatkan untuk pariwisata dan rekreasi alam. Sebaran Taman Wisata Alam di provinsi Bali adalah: 1. TWA Buyan-Tamblingan di Kabupaten Buleleng seluas 1.491,16 ha, 2. TWA Batur-Bukit Payung di Kabupaten Bangli seluas 2.075,00 ha, 3. TWA Penelokan di Kabupaten Bangli seluas 574,27 ha, 4. TWA Sangeh di Kabupaten Badung seluas 13,97 ha; 5. TWA Laut terdapat di Kawasan Taman Nasional Bali Barat di wilayah Kabupaten Buleleng 6. TWA Laut Nusa Lembongan di Kabupaten Klungkung seluas 300 ha. Adapun uraian dari sebaran kawasan taman wisata alam sebagaimana dimaksud Pasal 45 ayat 6 adalah sebagai berikut:
59
1. TWA Buyan-Tamblingan Secara administrative pemerintahan kawasan Taman Wisata Alam Danau Buyan Tamblingan termasuk dalam wilayah Kecamatan Sukasada dan kecamatan Banjar, kabupaten Buleleng dan kabupaten Tabanan, provinsi Bali. Kawasan ini termasuk dalam kelompok hutan Gunung Batukahu (RTK 4) yang telah ditetapkan sebagai hutan tutupan berdasarkan Surat Keputusan Pemerintah Hindia Belanda tanggal 29 Mei 1927 No. 28. Berdasarkan surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 144/Kpts-II/1996 tanggal 4 april 1996 tentang penetapan sebagian kawasan hutan Batukahu (RTK 4) yang terletak di Kabupaten Tabanan dan Kabupaten Buleleng, Provinsi Bali, seluas 1.336,50 Ha sebagai Taman Wisata Alam Danau Buyan-Danau Tamblingan (tidak termasuk danau Buyan). Selanjutnya dengan Surat keputusan Kepala Kantor Wilayah Departemen Kehutanan No. 140/Kwl-5/1997 tanggal 22 Januari 1997 diadakan revisi terhadap luas kawasan taman Wisata Alam Danau Buyan-Danau Tamblingan menjadi 1.703 Ha (sudah termasuk Danau Buyan dan Danau Tamblingan) Dengan terdapatnya dua damau yang cukup luas dikelilingi hutan yang masih asri serta tebing-tebing curam yang menawan, menjadikan kawasan ini mempunyai panorama alam yang menarik. Keadaan peraiaran danau yang tenang dan udara pegunungan yang sejuk dan nyaman memberikan kesempatan untuk melaksanakan kegiatan wisata alam. Di beberapa lokasi pinggir danau terdapat pula beberapa buah pura yang dibangun diantara pepohonan yang besar dan lebat, sehingga dapat menambah potensi yang tidak hanya indah tetapi unik dan khas.
60
2. TWA Sangeh Taman Wisata alam Sangeh terletak di desa Sangeh, kecamatan Abiansemal, Kabupaten Badung. Status kawasan ini sebelumnya adalah cagar alam, namun dengan terbitnya Surat keputusan Menteri Kehutanan Nomor: II/Kpts-II/1993 tanggal 16 Februari tahun 1993 berubah menjadi taman wisata alam dengan luas 13.969 Ha. Daya tarik objek TWA sangeh adalah adanya kehidupan kera abuabu, kemudian terdapat tegakan murni pohon Pala yang sangat khas dan mendominsasi kawasan tersebut, selain itu terdapat pula bangunan pura dalam kawasan tersebut, seperti Pura Bukit Sari dan Pura Melanting. 3. TWA Penelokan Taman Wisata Alam Penelokan terletak di Desa Penelokan, Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli, yang masuk dalam Register Tanah Kehutanan (RTK) 8 Hunung Abang-Agung. Status kawasan ini ditetapkan dengan Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor: 655/Kpts/Um/10/1978 tanggal 29 Oktober 1978 dengan luas 574.275 Ha. Kawasan taman wisata alam ini terletak diketinggian antara 1.200-1.500 m dpl dengan udara yang sejuk dan mempunyai panorama yang sangat indah dan unik karenan dari kawasan ini dapat dilihat keindahan Gunung Batur dan Danaunya. Apabila udara cerah, dapat pula dilihat puncak Gunung Agung yang menjulang di sebelah tenggara. 4. TWA Gunung Batur Bukit Payang Taman Wisata Gunung Batur Bukit Payang terletak di desa Penelokan, Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli. Status kawasan ini ditetapkan dengan
61
Surat Keputusan Menteri Pertamian Nomor:321/Kpts/Um/11/1982 tanggal 10 Nopember 1982 dengan luas 2.075 Ha. Kawasan taman wisata ini memiliki udara yang sejuk, panorama yang indah dan unik karena dari kawasan ini dapat dilihat keindahan Gunung Batur dan danaunya. 5. TWA Laut Nusa Lembongan dan TWA Laut terdapat di Kawasan Taman Nasional Bali Barat Daya Tarik dari taman wisata alam ini adalah pasirnya yang putih, airnya bersih dan jernih,
dan merupakan tempat yang bagus untuk menyaksikan
keindahan matahari terbenam. Aktivitas wisata laut yang bisa dilakukan di TWA ini adalah, kano, banana boat, bahkan diving dan snorkeling dimana terdapat ratusan ikan warna-warni, gundukan batu karang putih, hingga rumput laut, terlihat memesona di kedalaman laut yang jernih. Secara yuridis pengertian taman wisata alam dapat dijumpai dalam beberapa ketentuan, salah satunya dapat dijumpai dalam Pasal 1 angka 16, UU No. 5 Tahun 1990 yang menyatakan bahwa “Taman Wisata Alam adalah kawasan pelestarian alam yang terutama dimanfaatkan untuk pariwisata dan rekreasi alam.” Status taman wisata alam sebagai bagian dari kawasan pelestarian alam juga dapat ditemukan dalam Pasal 29 ayat (1) UU No. 5 Tahun yang menyatakan bahwa: Kawasan pelestarian alam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 13 terdiri dari: d. Taman nasional e. Taman hutan raya f. Taman wisata alam Kawasan pelestarian alam menurut struktur pola penataan ruang merupakan bagian dari kawasan lindung, hal ini dapat dilihat dari ketentuan Pasal 42 ayat (1) Peraturan Daerah Provinsi Bali No. 16 Tahun 2009, yang menyatakan bahwa:
62
Kawasan lindung mencakup: g. Kawasan yang memberikan perlindungan kawasan bawahannya; h. Kawasan perlindungan setempat; i. Kawasan suaka alam, pelestarian alam, dan cagar budaya; j. Kawasan rawan bencana alam; k. Kawasan lindung geologi; l. Kawasan lindung lainnya Dengan demikian taman wisata alam merupakan bagian dari kawasan lindung. Dalam kedudukannya sebagai kawasan lindung, kawasan taman wisata alam berdasarkan Pasal 85 ayat (1) huruf a Perda Provinsi Bali No 16 Tahun 2009 ditetapkan sebagai kawasan strategis provinsi dari sudut kepentingan fungsi dan daya dukung lingkungan hidup, bunyi Pasal 80 ayat (1) huruf a yang menetapkan kawasan taman wisata alam sebagai kawasan strategis provinsi dari sudut kepentingan fungsi dan daya dukung lingkungan hidup adalah sebagai berikut: Kawasan strategis provinsi dari sudut kepentingan fungsi dan daya dukung lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 ayat (1) huruf e, mencakup: a. Taman Nasional Bali Barat di Kabupaten Jembrana dan Buleleng, Kawasan Taman Hutan Raya Prapat Benoa (Ngurah Rai) di Kota Denpasar dan Kabupaten Badung, Taman Wisata Alam (TWA) Daratan yang mencakup TWA Danau Buyan-Tamblingan di Kabupaten Buleleng, TWA Batur-Bukit Payung dan TWA Penelokan di Kabupaten Bangli, TWA Sangeh di Kabupaten Badung; TWA Bawah Laut di Nusa Lembongan Kabupaten Klungkung, TWA Bawah Laut Pulau Menjangan di Kabupaten Jembrana, Cagar Alam atau Hutan Lindung Batukaru di Kabupaten Tabanan; Adapun kriteria taman wisata alam tersebut sehingga ditetapkan sebagai kawasan strategis provinsi dari sudut kepentingan fungsi dan daya dukung lingkungan hidup berdasarkan Pasal 90 adalah sebagai berikut: Kawasan strategis provinsi dari sudut kepentingan fungsi dan daya dukung lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85, ditetapkan dengan kriteria: a. merupakan tempat perlindungan keanekaragaman hayati;
63
b. merupakan aset daerah berupa kawasan lindung yang ditetapkan bagi perlindungan ekosistem; c. memberikan perlindungan terhadap keseimbangan iklim makro; d. memberikan perlindungan keseimbangan tata guna air; e. memberikan perlindungan terhadap kawasan rawan bencana alam; dan f. memberikan perlindungan terhadap daerah pesisir. Terhadap Kawasan yang ditetapkan sebagai kawasan strategis provinsi dari sudut kepentingan fungsi dan daya dukung lingkungan hidup, diperlukan strategi untuk dapat melestarikan dan meningkatkan fungsi dan daya dukung lingkungan hidup dari kawasan tersebut, adapun strategis pelestarian dan peningkatan fungsi daya dukung lingkungan tersebut diatur dalam Pasal 13 ayat (1) yang menyatakan sebagai berikut: Strategi pelestarian dan peningkatan fungsi dan daya dukung lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, mencakup: a. menetapkan kawasan strategis provinsi yang berfungsi lindung; b. mencegah pemanfaatan ruang di kawasan strategis provinsi yang berpotensi mengurangi fungsi lindung kawasan; c. membatasi pemanfaatan ruang di sekitar kawasan strategis provinsi yang berpotensi mengurangi fungsi lindung kawasan; d. membatasi pengembangan sarana dan prasarana di dalam dan di sekitar kawasan strategis provinsi yang dapat memicu perkembangan kegiatan budidaya intensif;
64
BAB III PENGUSAHAAN PONDOK WISATA PADA KAWASAN TAMAN WISATA ALAM DI PROVINSI BALI
3.1. Pengaturan Pengusahaan Pondok Wisata Pada Kawasan Taman Wisata Alam dalam berbagai Peraturan Perundang-undangan. 3.1.1. Pengertian dan Jenis Peraturan Perundang-undangan Peraturan perundang-undangan menjadi sangat penting dan tidak bisa diabaikan terutama dalam suatu negara hukum. Sebagaimana diketahui bahwa salah satu unsur dari negara hukum adalah pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan atau yang sering disebut sebagai asas legalitas, asas legalitas merupakan salah satu prinsip utama yang dijadikan sebagai dasar dalam setiap penyelenggaraan pemerintahan dan kenegaraan di setiap negara hukum. Asas legalitas ini akan menunjang berlakunya kepastian hukum, sebab suatu kepastian hukum akan terjadi karena suatu peraturan dapat membuat setiap tindakan yang akan dilakukan pemerintah itu dapat diramalkan atau diperkirakan yaitu dengan melihat kepada peraturan-perundang-undangan yang berlaku, maka pada asasnya lalu akan dapat dilihat atau diharapkan apa yang akan dilakukan oleh aparat pemerintah yang bersangkutan.73 Istilah peraturan perundang-undangan berasal dari kata dasar undangundang, dimana undang-undang dapat diartikan secara formal maupun materiil. 74 Undang-undang secara formal adalah produk kekuasaan legislatif, sedangkan dari 73
Ridwan HR, Op.Cit., h. 97. Yohanes Usfunan, 2004, “Perancangan Peraturan Perundang-undangan yang baik Manciptakan Pemerintahan yang Bersih dan Demokratis”, Pidato pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap dalam Bidang Hukum Tata Negara FH UNUD, 1 Me1 2004, Denpasar, Universitas Udayana, h. 13 74
64
65
segi materiil kata undang-undang dimaksudkan sebagai peraturan perundangundangan yaitu setiap keputusan yang dikeluarkan oleh yang berwenang dan mempunyai kekuatan mengikat, hal ini sejalan dengan pengertian peraturan perundang-undangan dalam ketentuan Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (LNRI Tahun 2004 Nomor 53) yang menyatakan bahwa “Peraturan Perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang dan mengikat secara umum.” Selain pengertian perundang-undangan yang diuraikan di atas, Maria Farida Indrati Soeprapto mengartikan peraturan perundang-undangan sebagai suatu keputusan dari suatu lembaga pemerintahan yang dibentuk berdasarkan atribusi dan delegasi. Atribusi kewenangan dalam pembentukan peraturan perundangundangan oleh Undang-Undang Dasar atau undang-undang kepada lembaga negara/pemerintah.Kewenangan tersebut melekat terus-menerus dan dapat dilaksanakan atas prakarsa sendiri setiap waktu diperlukan, sesuai dengan batasbatas yang diberikan.75 Sebagai contoh, atribusi yang diberikan oleh Pasal 5 ayat (1) UUD NRI 1945 yang menyatakan Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Disisi lain ada delegasi kewenangan yaitu pelimpahan kewenangan membentuk peraturan perundangundangan yang dilakukan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi kepada peraturan perundang-undangan yang lebih rendah, baik pelimpahan itu dinyatakan secara tegas atau tidak. Berbeda dengan atribusi, pada delegasi 75
Maria Farida Indrati Soeprapto, 2007, Ilmu Perundang-undangan: Dasar-dasar dan Pembentukannya, Kanisius, Yogyakarta, h. 35
66
kewenangan tersebut tidak diberikan melainkan diwakilkan. Selain itu kewenangan delegasi ini bersifat sementara, dalam arti kewenangan ini diselenggarakan sepanjang pelimpahan itu masih ada. 76Contoh delegasi adalah kewenangan pemerintah menetapkan Peraturan Pemerintah untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya. Dengan demikian kata peraturan perundang-undangan mencakup peraturan yang merupakan produk kekuasaan legislatif dan produk kekuasaan eksekutif. Sebagaimana diketahui bahwa seiring dengan perkembangan tugas-tugas pemerintahan, khususnya dalam ajaran welafare state, memberikan kewenangan yang luas kepada administrasi negara
termasuk kewenangan dalam bidang
legislasi, maka peraturan peraturan hukum dalam hukum administrasi negara disamping dibuat oleh lembaga legislatif juga ada peraturan-peraturan yang dibuat secara mandiri oleh administrasi negara77. Bahkan jika diukur dari segi jumlah sebagian besar peraturan perundang-undangan dibentuk oleh administrasi negara, hal tersebut diungkapkan oleh HWR Wade yang menyatakan bahwa “There is no more characteristic asminidtrative activity than legislation. Measured merely by volume, more legislation is produced by the executive government than by legislature”.78 Kewenangan legislasi bagi pemerintah tidak dapat dielakkan dalam suatu negara kesejahteraan, Bagir manan menyebutkan ketidakmungkinan
76
Ibid Ridwan HR, Op.Cit., h. 35 78 H.W.R. Wade, 1986, Administrative Law, Fifth Edition, Oxford University Press, Oxford, 77
h. 733
67
meniadakan kewenangan eksekutf untuk ikut membentuk peraturan perundangundangan, yaitu sebagai berikut:79 1. Paham pembagian kekuasaan yang lebih menekankan pada perbedaan fungsi daripada pemisahan organ terdapat dalam ajaran pemisahan kekuasaan. Dengan demikian, fungsi pembentukan peraturan perundangundangan
tidak
harus
terpisah
dari
fungsi
penyelenggaraan
pemerintahaan. Fungsi pembentukan peraturan perundang-undangan dapat juga dilekatkan pada administrasi negara, baik sebagai kekuasaan mandiri atau sebagai kekuasaan yang dijalankan secara bersama-sama dengan badan legislatif. 2. Dalam suatu negara kesejahteraan diperlukan berbagai instrumen hukum yang tidak mungkin semata-mata diserahkan pada legislatif untuk menyelenggarakan kesejahteraan umum, administrasi negara diperlukan untuk mengatur tanpa mengabaikan asas-asas negara berdasarkan hukum dan asas-asas umum pemerintahan yang layak. Dalam keadaan demikian makin tumbuh kekuasaan administrasi negara di bidang pembentukan peraturan perundang-undangan. 3. Untuk menunjang perubahan masyarakat yang berjalan makin cepat dan kompleks
diperlukan
percepatan
pembentukan
hukum,
hal
ini
mendorong administrasi negara untuk berperan lebih besar dalam pembentukan peraturan perundang-undangan.
79
Bagir Manan, 1995, Peranan Hukum Administrasi Negara dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Makalah pada penataran Hukum Administrasi Negara, Fakultas Hukum Unhas, Ujung Pandang, 31 Agustus 1995, dalam Ridwan HR, Ibid, h.140-141.
68
4. Berkembangnya berbagai jenis peraturan perundang-undangan, mulai dari UUD sampai pada peraturan perundang-undangan tingkat daerah. Badan legislatif tidak membentu segala jenis peraturan perundangundangan melainkan terbatas pada undang-undang dan UUD, jenis lainnya dibuat oleh administrasi negara. Dalam praktek, diakui bahwa organ legislatif tidak memiliki instrumen pelaksana, waktu, dan sumberdaya memadai untuk merumuskan secara detail berbagai hal yang berkenaan dengan undang-undang sehingga diserahkan kepada eksekutif. Meskipun sebagian besar peraturan perundang-undangan itu dibentuk oleh organ eksekutif bukan berarti eksistensi lembaga legislatif dalam suatu negara hukum menjadi tidak perlu. Kewenangan legislasi bagi pemerintah atau organ eksekutif itu pada dasarnya berasal dari undang-undang, sesuai dengan asas legalitas dalam negara hukum, yang berarti berasal dari persetujuan parlemen. Jadi secara singkat dapat dikatakan bahwa peraturan perundang-undangan adalah segala aturan tertulis yang dibuat oleh penguasa yang berwenang. adapun jenis dan hirarki peraturan perundang-undangan di Indonesia dapat ditemukan dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 tahun 2004, dari jenis peraturan perundang-undangan yang ada sebagian besar merupakan produk hukum dari badan eksekutif, adapun bunyi rumusan Pasal 7 ayat (1) tersebut adalah sebagai berikut: Pasal 7: (2) Jenis dan hirarki peraturan perundang-undangan adalah sebagai berikut: a. UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 b. Undang-undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang c. Peraturan Pemerintah d. Peraturan Presiden
69
e. Peraturan daerah. UUD adalah peraturan perundang-undangan yang tertinggi dalam suatu negara, yang menjadi dasar segala peraturan perundang-undangan. Dengan kata lain bahwa semua peraturan perundang-undangan harus tunduk pada UUD atau tidak boleh bertentangan dengan UUD.80 Di sisi lain UUD merupakan dokumen hukum yang mengandung aturan-aturan ketentuan-ketentuan yang pokok atau dasar-dasar mengenai ketatanegaraan daripada suatu negara yang lazim kepadanya diberi sifat luhur dan kekal dan apabila akan mengadakan perubahannya hanya boleh dilakukan dengan prosedur yang berat kalau dibandingkan dengan cara pembuatan atau perubahan bentuk-bentuk peraturan dan ketetapan yang lainnya. 81Dimana perubahan dan penetapan terhadap UUD berdasarkan ketentuan Pasal 3 ayat (1) UUD NRI 1945 merupakan kewenangan MPR. Undang-undang adalah produk hukum yang dibuat oleh DPR bersama dengan presiden, dasar hukum kewenangan DPR bersama dengan presiden membentuk undang-undang dapat dilihat dari Pasal 5 ayat(1) UUD NRI 1945 yang menyatakn bahwa “Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat”, selanjutnya dalam Pasal 20 ayat (1) UUD NRI 1945 yang menyatakan bahwa “Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang”, dan dalam Pasal 1 ayat (3) UU No. 10 Tahun 2004 menyatakan bahwa “Undang-Undang adalah Peraturan Perundang80
K. Wantjik Saleh, Perkembangan perundang-undangan di Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta, h. 10-11 dalam Titik Triwulan Tutik, 2008, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pascaamandemen UUD 1945, Cerdas Pustaka Publisher, Jakarta, h. 51 81 Dasril Radjab, 1994, Selayang Pandang Tentang Sumber-Sumber Hukum Tatanegara di Indonesia, Liberty, Yogyakarta, h. 27
70
undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan persetujuan bersama Presiden.” Perppu merupakan bentuk peraturan atau ketetapan yang dibuat oleh presiden sendiri berdasarkan kewenangan yang diberikan oleh Pasal 22 ayat (1) UUD NRI 1945 yang menyatakan bahwa “Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang”, dan Pasal 1 ayat (4) UU No. 10 tahun 2004 yang menyatakan bahwa “Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang adalah Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa.” Peraturan Pemerintah ialah bentuk peraturan yang menurut UUD NRI 1945 dapat dibuat oleh Presiden untuk melaksanakan lebih lanjut suatu undang-undang sebagaimana mestinya, kewenangan ini diatur dalam Pasal 5 ayat (2) UUD NRI 1945 jo. Pasal 1 ayat (5) UU No. 10 Tahun 2004 yang menyatakan bahwa Peraturan Pemerintah adalah Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden untuk menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya. Peraturan Presiden merupakan peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh presiden berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (6) UU No. 10 tahun 2004 yang menyatakan bahwa “Peraturan Presiden adalah Peraturan Perundangundangan yang dibuat oleh Presiden”, sedangkan dasar kewenangan pembentukan peraturan presiden tidak secara tegas disebutkan dalam UUD NRI 1945, dalam Pasal 4 ayat 1 UUD NRI 1945 menyatakan bahwa “Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-undang Dasar”, sebagai
71
pemegang kekuasaan pemerintahan tertinggi di negara Indonesia, Presiden adalah pemegang
kekuasaan
eksekutif
dan
sekaligus
pemegang
kekuasaan
legislatif.82Menurut Jellinek83 pemerintah dalam arti formal mengandung kekuasaan mengatur dan kekuatan memutus sedangkan pemerintahan dalam arti material mengandung unsur melaksanakan.Dengan kekuasaan mengatur terlihat dari jalur legislatif Presiden harus menempatkan persetujuan DPR yaitu dalam membentuk suatu undang-undang, sedangkan apabila presiden mengatur dalam kekuasaan eksekutif dengan membentuk suatu peraturan presiden berupa penjabaran lebih lanjut dari undang-undang maupun peraturan pemerintah. Peraturan daerah merupakan peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh Pemerintah Daerah atau salah satu unsur Pemerintah Dearah yang berwenang membuat peraturan daerah. Kewenangan Pemerintah Dearah dalam membentuk peraturan daerah adalah konsekuensi dianutnya desentralisasi sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat (1) UUD 1945
yang menyatakan, “Negara Kesatuan
Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang.” Artinya, Negara Kesatuan Republik Indonesia menurut UUD 1945 adalah desentralisasi, bukan sentralisasi
sehingga
desentralisasi.Selanjutnya,
pemerintahan Pasal
18
daerah ayat(6)
diadakan UUD
dalam
1945
kaitan
menetapkan,
“Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturanperaturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan.” Artinya, 82
I Made Subawa, dkk., 2005, Hukum Tata Negara Pasca Perubahan UUD 1945, Bagian Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar, h. 38 83 Jellinek dalam I Made Subawa, dkk, Ibid.
72
peraturan
daerah
merupakan
sarana
legislasi
dalam
penyelenggaraan
pemerintahan daerah.peraturan daerah disini adalah aturan daerah dalam arti materiil yang bersifat mengikat warga dan penduduk daerah otonom. Kewenangan pemerintah daerah dalam membetuk peraturan daerah juga diatur dalam beberapa pasal dalam UU No. 32 Tahun 2004, yaitu Pasal 25 huruf c dinyatakan bahwa “Kepala Daerah mempunyai tugas dan wewenangmenetapkan peraturan daerah yang telah mendapat persetujuan bersama DPRD”, selanjutnya dalam Pasal 42 ayat
(1)
huruf
a
menyatakan
bahwa”DPRD
mempunyai
tugas
dan
wewenangmembentuk peraturan daaerah yang di bahas dengan Kepala Daerah untuk mendapatpersetujuan bersama”, dan kemudian dalam Pasal 136 ayat (1) menyatakan bahwa ”Peraturan daerah ditetapkan oleh Kepala Daerah setelah mendapat persetujuan bersama DPRD” Di samping jenis peraturan perundang-undangan yang telah disebutkan secara eksplisit dalam Pasal 7 ayat (1) sebagaimana diuraikan di atas, masih terdapat jenis peraturan perundang-undangan lain yang diakui dalam Pasal 7 ayat (4) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004. Adapun bunyi ketentuan Pasal 7 ayat (4) menyatakan bahwa “Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.” Selanjutnya dalam Penjelasanya disebutkan bahwa “Jenis Peraturan Perundang-undangan selain dalam ketentuan ini, antara lain, peraturan yang dikeluarkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi,
73
Badan Pemeriksa Keuangan, Bank Indonesia, Menteri, kepala badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk oleh undang-undang atau pemerintah atas perintah undang-undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat”.Dengan demikian setiap lembaga/pejabat negara tertentu dapat saja memiliki kewenangan membentuk peraturan perundang-undangan. Kewenangan yang diberikan atau dipunyai oleh lembaga atau pejabat itu dapat berbentuk kewenangan atributif atau kewenangan delegatif/derivatif. 3.1.2. Konflik Norma Pengaturan Pengusahaan Pondok Wisata pada Kawasan Taman Wisata Alam Peraturan
perundang-undangan
pada
hakikatnya
diperlukan
untuk
mengarahkan dan mengendalikan prilaku warga masyarakat maupun pejabat pemerintah agar sesuai dengan yang ditetapkan dalam ketentuan yang bersangkutan. Agar tujuan tersebut dapat terlaksana tentunya penormaan tindakan pemerintahan yang diformulasikan dalam produk hukum tidak boleh kabur ataupun terjadi suatu konflik norma antara norma yang satu dengan yang lainnya sehingga menimbulkan kebingungan bagi pemerintah dalam mengambil suatu keputusan.84 Namun dalam kenyataannya dalam Pengaturan Pengusahaan Pondok Wisata pada Kawasan Taman Wisata Alam masih dapat ditemukan adanya konflik norma, konflik norma terjadi apabila norma dari suatu peraturan bertentangan dengan norma pada peraturan lainnya, Hans Kelsen menyatakan bahwa “A conflict exist between two norms when that which one of them decrees
84
Ibid, 167
74
to be obligatory is incompatible with that which the other decrees to be obligatory, so that the observance or application of one norm necessarily or possibly involves the violation of the other.”85 Konflik norma ini dapat ditemukan dalam produk hukum yang mengatur mengenai dapat tidaknya dibangun usaha pondok wisata pada kawasan taman wisata alam. Dapat dilaksanakan usaha pondok wisata pada kawasan taman wisata alam tersebut dapat diatur dalam UU tentang Konservasi beserta peraturan pelaksananya, namun ketentuan ini bertentangan dengan pengaturan penataan ruang di Provinsi Bali yang diatur dalam Perda Provinsi Bali No. 16 Tahun 2009. a. Pengaturan terkait Pengusahaan Pondok Wisata Pada Kawasan Taman Wisata Alam dalam Peraturan Perundang-undangan di bidang Penataan Ruang Ruang merupakan sumber daya alam yang harus dikelola bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang menegaskan bahwa “Bumi dan air serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan digunakan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.” Dalam konteks ini ruang harus dilindungi dan dikelola secara terkoordinasi, terpadu, dan berkelanjutan, untuk itu diperlukan suatu penataan ruang. Ruang mengandung pengertian sebagai “wadah yang meliputi ruang daratan, ruang lautan dan ruang udara sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan mahluk lainnya hidup dan melakukan kegiatan serta memelihara kelangsungan hidupnya”.Ruang itu terbatas dan jumlahnya relatif tetap, sedangkan aktivitas
85
Hans Kelsen, General Theory of Norms, Translated by Michael Hartney, Oxford University Press, New York, 1991, Hal 123
75
manusia dan pesatnya perkembangan penduduk memerlukan ketersediaan ruang untuk beraktivitas senantiasa berkembang setiap hari.Untuk itu ruang yang sifatnya terbatas perlu ditata agar dapat dimanfaatkan secara efektif dan efesien. Tata ruang memiliki arti susunan ruang yang teratur, dalam kata teratur terkandung terkandung pengertian serasi dan sederhana sehingga mudah dipahami dan dilaksanakan. Karena itu pada tata ruang yang ditata adalah tempat berbagai kegiatan serta sarana dan prasarananya. 86 Suatu tata ruang yang baik dapat dihasilkan dari kegiatan menata ruang yang baik disebut penataan ruang. Dalam pengertian ini, penataan ruang terdiri dari tiga kegiatan utama, yaitu perencanaan tata ruang, perwujudan tata ruang, dan pengendalian tata ruang.87 Perencanaan tata ruang merupakan kegiatan merumuskan dan menetapkan manfaat ruang dan kaitannya atau hubungan antara berbagai manfaat ruang, berdasarkan kegiatan-kegiatan yang perlu dan dapat dilaksanakan untuk memenuhi kebutuhan manusia di masa yang akan datang. 88 Selanjutnya yang dimaksud perwujudan tata ruang adalah kegiatan di lapangan untuk menetapkan bagian-bagian ruang yang diperlukan untuk berbagai kegiatan sesuai dengan rencana tata ruang.89 Sedangkan pengendalian pemanfaatan ruang adalah setiap kegiatan yang ditujukan untuk menjaga agar kegiatan pemanfaatan ruang, dengan atau tanpa bangunan dilaksanakan sesuai dengan tata ruang, dengan kata lain pengendalian
pemanfaatan
ruang
merupakan
upaya
untuk
megarahkan
pemanfaatan ruang agar tetap sesuai dengan rencana tata ruang yang telah 86
M. Daud Silalahi, 2001, Hukum Lingkungan dalam Sistem Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia, PT. Alumni, Bandung, h. 80 87 Ibid. 88 Ibid. 89 Ibid
76
ditetapkan90. Salah satu instrumen pengendalian pemanfaatan ruang yang populer adalah perizinan. Instrumen perizinan mengendalikan setiap kegiatan pemanfaatan ruang agar sesuai dengan rencana tata ruang yang telah ditetapkan. Dengan demikian untuk mengetahui apakah pemanfaatan ruang telah sesuai dengan peruntukannya dapat dilihat dari peraturan perundang-undangan di bidang penataan ruang. Terkait dengan hal tersebut maka untuk mengetahui apakah dapat diterbitkan izin terhadap usaha pondok wisata pada kawasan taman wisata alam maka perlu diuji kesesuaian antara rencana pemanfaatan kawasan taman wisata alam dengan peraturan perundang-undangan di bidang penataan ruang, diantaranya adalah PP No. 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, dan Perda Provnsi Bali No. 16 Tahun 2009 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi. Pasca diterbitkannya Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang menyebabkan terjadinya perubahan dalam hal penataan ruang, dimana daerah mempunyai hak untuk melaksanakan penataan ruang di daerahnya. Pergantian sistem pemerintahan tersebut berdampak positif terhadap penataan ruang diantaranya adalah Pemerintah Daerah dapat mengawasi pembangunan di daerahnya secara bertanggungjawab penuh sehingga pembangunan sesuai dengan aspirasi masyarakatnya. Dalam upaya pengendalian pemanfaatan ruang perlu ditindaklanjuti melalui pengaturan zona (zone regulation). Peraturan Zonasi (Zoning Regulation) adalah ketentuan yang mengatur tentang klasifikasi zona,
90
Ibid
77
pengaturan lebih lanjut mengenai pemanfaatan lahan, dan prosedur pelaksanaan pembangunan.91 Dengan kata lain peraturan zonasi adalah ketentuan yang harus dan tidak boleh dilaksanakan pada suatu zona pemanfaatan ruang yang dapat berupa ketentuan tentang bangunan, penyediaan sarana dan prasarana, permukiman, dan ketentuan lain yang dibutuhkan dalam mewujudkan ruang yang nyaman, produktif, dan berkelanjutan. Di Provinsi Bali arahan peraturan zonasi ditemukan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi yang baru yaitu dalam Peraturan Daerah Provinsi Bali No. 16 Tahun 2009 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi, diaturnya substansi baru mengenai arahan peraturan zonasi kawasan taman wisata alam. ditemukan dalam Pasal 109 ayat (5) yang menyatakan bahwa: Arahan peraturan zonasi taman wisata alam sebagaimana dimaksud Pasal 106 ayat (4) huruf e, mencakup: a. pengembangan zonasi kawasan menjadi zona inti dan zona pemanfaatan; b. pemanfaatan ruang untuk wisata alam tanpa mengubah bentang alam; c. pelarangan kegiatan selain yang dimaksud dalam huruf b; dan d. pelarangan pendirian pembangunan pada zona pemanfaatan. Mencermati substansi Pasal 109 ayat (5) diketahui bahwa Perda Provinsi Bali No. 16 Tahun 2009 tidak menghendaki adanya pendirian bangunan apapun pada kawasan taman wisata alam, walau pada zona pemanfaatannya sekalipun. Hal ini tercermin dari bunyi ketentuan Pasal 109 ayat (5) huruf b tersebut tersebut yang menyatakan bahwa kawasan taman wisata alam hanya dapat digunakan untuk
91
Agus Parmono, Urgensi Pengaturan Zona Dalam Upaya Pengendalian Pemanfaatan Ruang Daerah Berkelanjutan, dalam http://bulletin.penataanruang.net/index.asp?mod=_fullart&idart=122, diunduh pada tanggal 18 April 2010
78
kegiatan
wisata
alam,
kemudian
dalam
huruf
c
secara
tegas
tidak
memperbolehkan adanya pemanfaatan ruang selain untuk kegiatan wisata alam, yang selanjutnya dalam huruf d menyatakan pelarangan bagi adanya pendirian bangunan pada zona pemanfaatan. Sehingga jelas bahwa Perda No. 16 Tahun 2009 tidak memberikan peluang bagi didirikannya pondok wisata pada zona pemanfaatan di kawasan taman wisata alam. Selanjutnya satu tingkat di atas peraturan Daerah No. 16 Tahun 2009 terdapat peraturan pemerintah yang mengatur pula mengenai pemanfaatan kawasan taman wisata alam yaitu Peraturan Pemerintah No. 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 48), ketentuan mengenai hal tersebut diatur dalam Pasal 101 ayat (6) yang menyatakan bahwa: Peraturan zonasi untuk taman wisata alam dan taman wisata alam laut disusun dengan memperhatikan: a. pemanfaatan ruang untuk wisata alam tanpa mengubah bentang alam; b. ketentuan pelarangan kegiatan selain yang dimaksud pada huruf a; c. pendirian bangunan dibatasi hanya untuk menunjang kegiatan sebagaimana dimaksud pada huruf a; dan d. ketentuan pelarangan pendirian bangunan selain yang dimaksud pada huruf c. Dari uraian bunyi pasal tersebut dapat dilihat bahwa pasal 101 ayat (6) khususnya dalam ketentuan huruf c, memperbolehkan akan adanya pendirian bangunan dalam hal untuk menunjang kegiatan wisata alam. Pondok wisata dapat dikatagorikan sebagai bangunan penunjang kegiatan wisata alam karena pondok wisata dapat dimanfaatkan sebagai tempat peristirahatan bagi mereka yang sedang melakukan kegiatan wisata alam. Dengan diperkenankannya adanya pendirian
79
bangunan penunjang kegiatan wisata alam maka dengan sendirinya PP No. 26 Tahun 2008 ini bertentangan dengan Perda No. 16 Tahun 2009. b. Pengaturan Usaha Pondok Wisata pada Kawasan Taman Wisata Alam pada Peraturan perundang-undangan di bidang Konservasi. Merujuk pada
beberapa
peraturan perundang-undangan di
bidang
konservasi, kawasan taman wisata alam merupakan kawasan pelestarian alam yang salah satu peruntukannya adalah dapat dimanfaatkan sebagai tempat bagi kegiatan wisata alam. Selanjutnya dalam menunjang kegiatan tersebut beberapa peraturan
perundang-undangan
memberikan
kemungkinan
bagi
dapat
diselenggarakannya usaha sarana pariwisata alam pada kawasan tersebut, salah satu usaha yang dapat diselenggarakan adalah usaha pondok wisata. Adapun pengaturan yang menjadi dasar bagi dapat diselenggarakannya usaha pondok wisata pada kawasan taman wisata alam akan diuraikan sebagai berikut: Pasal 31 ayat (1) UU No.5 Thn 1990 menyebutkan bahwa: Di dalam taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam dapat dilakukan kegiatan untuk kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, budaya, dan wisata alam. Hal senada juga disebutkan dalam Pasal Pasal 1 angka 8 PP No.68 Thn 1998 tentang Kawasan Suaka Alam Dan Kawasan Pelestarian Alam (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 132) yang menyatakan bahwa: Kawasan Taman Wisata Alam adalah kawasan pelestarian alam dengan tujuan utama untuk dimanfaatkan bagi kepentingan pariwisata dan rekreasi alam. Dari kedua ketentuan tersebut dinyatakan bahwa kawasan taman wisata alam merupakan kawasan pelestarian alam yang di dalamnya dapat diselenggarakan kegiatan wisata alam / rekreasi alam. Adapun yang dimaksud dengan wisata alam
80
secara yuridis dapat ditemukan dalam pasal 1 ayat (4) PP No. 36 Tahun 2010 yang menyatakan bahwa “Wisata alam adalah kegiatan perjalanan atau sebagian dari kegiatan tersebut dilakukan secara sukarela serta bersifat sementara untuk menikmati gejala keunikan dan keindahan alam di taman nasional, taman hutan raya dan taman wisata alam.” Selanjutnya untuk menunjang kegiatan pariwisata pada kawasan taman wisata alam maka di dalamnya dapat diselenggarakan pengusahaan pariwisata alam. Pasal 1 ayat (1) PP No. 36 Tahun 2010 memberikan pengertian “Pengusahaan pariwisata alam adalah suatu kegiatan untuk menyelenggarakan usaha pariwisata alam di suaka margasatwa, taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam berdasarkan rencana pengelolaan.” Selanjutnya dalam ayat (2) disebutkan apa yang dimaksud dengan Usaha pariwisata alam adalah “usaha yang menyediakan barang dan/atau jasa bagi pemenuhan kebutuhan wisatawan d an
penyelenggaraan
pariwisata
alam.”
Ketentuan lebih lanjut mengenai Pengusahaan Pariwisata alam dijabarkan dalam pasal berikutnya, yang akan diuraikan sebagai berikut: a. Ketentuan Pasal 4 yang menyatakan bahwa: Pengusahaan pariwisata alam dilakukan dalam: a. suaka margasatwa; b. taman nasional; c. taman hutan raya; dan d. taman wisata alam. b. Ketentuan Pasal 5 ayat (2) menyatakan bahwa: Dalam taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf b, huruf c, dan huruf d dapat dilakukan kegiatan mengunjungi, melihat, menikmati keindahan alam, keanekaragaman tumbuhan dan satwa, serta dapat dilakukan kegiatan membangun sarana kepariwisataan.
81
c. Ketentuan Pasal 7 ayat (1) dan (3) menyatakan bahwa: (1) Pengusahaan pariwisata alam meliputi: a. usaha penyediaan jasa wisata alam; dan b. usaha penyediaan sarana wisata alam. (3) Usaha penyediaan sarana wisata alam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat meliputi: a. wisata tirta; b. akomodasi; dan c. sarana wisata petualangan d. Penjelasan Pasal 7 ayat (3) Huruf b menyatakan bahwa: Usaha penyediaan akomodasi dapat berupa hotel, villa, pondok wisata, bumi perkemahan, persinggahan karavan, dan akomodasi lainnya yang digunakan untuk tujuan pariwisata. e. Ketentuan Pasal 8 ayat (1), (2), dan (5) menyatakan bahwa: (1) Pengusahaan pariwisata alam hanya dapat dilakukan setelah memperoleh izin pengusahaan. (2) Izin pengusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh: a. Menteri, untuk pengusahaan pariwisata alam yang dilakukan di dalam suaka margasatwa, taman nasional kecuali zona inti, dan taman wisata alam; atau b. Gubernur atau Bupati/Walikota sesuai kewenangannya, untuk pengusahaan pariwisata alam yang dilakukan di dalam taman hutan raya. (5) Permohonan izin pengusahaan yang diajukan oleh badan usaha dan koperasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b dan huruf c dapat diberikan untuk izin usaha penyediaan jasa wisata alam dan/atau izin usaha penyediaan sarana wisata alam. f. Pasal 9 ayat (3) menyatakan bahwa: Dalam hal izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk usaha penyediaan sarana wisata alam, hanya dapat diberikan pada: a. zona pemanfaatan taman nasional; b. blok pemanfaatan taman wisata alam; dan c. blok pemanfaatan taman hutan raya. g. Pasal 18 huruf d, e, dan f menyatakan bahwa: Izin usaha penyediaan sarana wisata alam diberikan dengan ketentuan: a. luas areal yang diizinkan untuk dibangun sarana wisata alam paling banyak 10% (sepuluh per seratus) dari luas areal yang ditetapkan dalam izin; b. sarana wisata alam yang di bangun untuk wisata tirta dan akomodasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3) huruf a dan huruf b, harus semi permanen dan bentuknya disesuaikan dengan arsitektur budaya setempat; dan
82
c. dalam melaksanakan pembangunan sarana wisata alam disesuaikan dengan kondisi alam dengan tidak mengubah bentang alam. Dari uraian ketentuan Pasal tersebut diketahui bahwa dalam kawasan taman wisata alam dapat dilaksanakan kegiatan pengusahaan pariwisata alam yaitu dengan menyelenggarakan berbagai jenis usaha sarana pariwisata alam, salah satu bentuknya adalah usaha sarana akomodasi berupa pondok wisata. Selanjutnya ditemukan adanya pembatasan kawasan yang dapat dimanfaatkan sebagai tempat diselenggakannya kegiatan pengusahaan pariwisata alam pada kawasan taman wisata alam yaitu dibatasi hanya pada blok pemanfaatannya saja. Kemudian dalam Pasal 18 diatur mengenai ketentuan yang berkenaan dengan luas kawasan yang dapat di bangun, bahan bangunan yang digunakan dan penyesuaian bangunan dengan kondisi dan bentang alam. Induk dari PP No. 36 Tahun 2010 yaitu UU No. 5 tahun 1990 juga memuat ketentuan yang memungkinkan bagi diadakannya kegiatan pengusahaan pariwisata alam berupa usaha pondok wisata pada kawasan taman wisata alam, yaitu dalam Pasal 34 yang menyatakan sebagai berikut: (1) Pengelolaan taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam dilaksanakan oleh Pemerintah. (2) Di dalam zona pemanfaatan taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam dapat dibangun sarana kepariwisataan berdasarkan rencana pengelolaan. (3) Untuk kegiatan kepariwisataan dan rekreasi, Pemerintah dapat memberikan hak pengusahaan atas zona pemanfaatan taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam dengan mengikut sertakan rakyat. (4) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2),dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah. Ketentuan mengenai dapat diselenggarakannya usaha pondok wisata pada kawasan taman wisata alam memang tidak dinyatakan secara ekspisit, namun
83
secara tersirat dapat ditemukan dalam ketentuan ayat (2) dan (3), dari ketentuan ayat tersebut ditentukan bahwa bagi yang telah memperoleh hak pengusahaan dapat memanfaatkan kawasan taman wisata alam untuk membangun sarana kepariwisataan. Jenis dari sarana kepariwisataan yang dimaksud dapat ditemukan dalam Pasal 7 ayat (3) jo. Penjelasan Pasal 7 ayat 3 huruf b PP No. 36 tahun 2010 yang telah diuraikan sebelumnya, yaitu dimana salah satu bentuknya adalah pondok wisata. Pengaturan mengenai dapat dibangunya pondok wisata pada kawasan taman wisata alam selanjutnya dapat ditemukan dalam Surat Keputusan Dirjen PHPA No. 129 Tahun 1996 yang didalamnya memuat beberapa ketentuan, diantaranya adalah mengenai hal-hal yang boleh dilakukan pada kawasan taman wisata alam yaitu 1. Dalam blok pemanfaatan dapat dilakukan kegiatan pemanfaatan kawasan dan potensinya dalam bentuk kegiatan penelitian, pendidikan, dan wisata alam; 2. Kegiatan pengusahaan wisata alam dapat diberikan kepada pihak ketiga, baik koperasi, BUMN, swasta, maupun perorangan; 3. Blok pemanfaatan dapat digunakan sebagai tempat berlangsungnya kegiatan penangkaran jenis sepanjang untuk menunjang kegiatan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, restocking, dan budidaya oleh masyarakat setempat; 4. Dalam blok pemanfaatan dapat dibangun sarana dan prasarana pengelolaan, penelitian, pendidikan dan wisata alam (Pondok wisata, bumi perkemahan, karavan, penginapan remaja, usaha makan dan minuman, sarana wisata tirta, angkutan wisata, wisata budaya, dan penjualan cinderamata) yang dalam pembangunannya harus memperhatikan gaya arsitektur daerah setempat; Setelah menguraikan beberapa peraturan yang memberikan landasan bagi dapat dibangunya pondok wisata pada kawasan taman wisata alam pada ketentuan berikut ini yaitu Pasal 4 Kepmenhut No.167/Kpts-II/1994 memberikan syarat dari
84
bentuk bangunan/sarana yang dibangun pada kawasan taman wisata alam, yaitu dengan ketentuan sebagai berikut: a. Ukuran panjang, lebar dan tinggi bangunan/sarana disesuaikan dengan perbandingan/proporsi untuk setiap bentuk arsitektur daerah/lokal dengan memperhatikan kondisi fisik kawasan tersebut; b. Pembangunan sarana yang diperkenankan maksimum 2 (dua) lantai; c. Tidak mengubah karakteristik bentang alam yang ada. d. Pembangunan sarana dan prasarana pariwisata tersebut tidak memanfaatkan danau, melainkan di luar sempadan danau (radius 50 m dari danau). Berdasarkan uraian peraturan tersebut di atas maka jelas nampak adanya konflik norma. Adapun konflik norma yang terjadi adalah karena disatu sisi Perda No. 16 tahun 2009 menyatakan bahwa pada zona pemanfaatan kawasan taman wisata alam tidak diperkenankan untuk diadakan pembangunan pondok wisata, sedangkan pada beberapa peraturan perundang-undangan yang lain memberikan landasan hukum bagi dapat dilaksanakannya pendirian bangunan pondok wisata. Adanya
konflik
norma
diantara
peraturan
tersebut
menimbulkan
kebingungan dan ketidakpastian hukum bagi pejabat dalam mengambil keputusan terhadap adanya permohonan izin untuk memanfaatkan blok pemanfaatan kawasan taman wisata alam sebagai lokasi
pengusahaan pondok wisata.
Pengaturan penggunaan lahan yang jelas secara hukum tentunya sangat diperlukan untuk menjadi landasan utama dan sebagai acuan untuk menentukan apakah suatu permohonan pemanfaatan akan sesuai dengan rencana atau tidak. Klasifikasi penggunaan lahan yang jelas menentukan izin dapat diberikan atau ditolak hal ini didasarkan pada ketentuan Pasal 37 ayat (7) UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68) menyatakan bahwa “Setiap pejabat pemerintah yang berwenang
85
menerbitkan izin pemanfaatan ruang dilarang menerbitkan izin yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang.” 3.1.3. SinkronIsasi Hukum terkait adanya Konflik Norma Pengaturan Pengusahaan Pondok Wisata Pada Kawasan Taman Wisata Alam. Peraturan
perundang-undangan
pada
hakikatnya
diperlukan
untuk
mengarahkan dan mengendalikan prilaku warga masyarakat maupun pejabat pemerintah. Dalam hal ini kebutuhan akan peraturan perundang-undangan yang harmonis tentunya menjadi sangat diperlukan untuk mewujudkan ketertiban, menjamin kepastian dan perlindungan hukum. Namun penerapan peraturan perundang-undangan dalam jumlah banyak secara bersamaan dalam waktu yang sama dan ruang yang sama, membawa potensi terjadinya konflik norma diantara peraturan perundang-undangan tersebut. Hal ini mengingat masing-masing peraturan perundang-undangan memiliki tujuan, strategi untuk mencapai tujuan, dan pedoman untuk melaksanakan strategi.92 Secara teoritis peraturan perundang-undangan merupakan suatu sistem yang tidak menghendaki adanya pertentangan antara unsur-unsur atau bagian-bagian di dalamnya. Bertallanfy menyatakan bahwa “sistem are complexes of elements in interaction, to which certain law can be applied”.93Menurut Bertallanfy, sistem adalah himpunan unsur-unsur yang saling mempengaruhi, untuk mana hukum tertentu menjadi berlaku. Hukum positif tersusun dalam suatu tatanan, mulai dari
92
Kusnu Goesniadhie, 2010, Harmonisasi Sistem Hukum, Mewujudkan Tata Pemerintahan Yang Baik, A3 dan Nasa Media, Malang, h. 9 93 Bertallanfy dalam Kusnu Goesniadhie, Ibid.h. 21
86
hukum dasar sampai pada hukum yang paling konkrit dan individual, dimana harus bersumber pada tata nilai dasar yang mengandung penilaian-penilaian etis.94 Menurut Kelsen “An order is a sistem of rules. Law is not, as it is sometimes said, a rule. It is a set of rule having the kind of unity weunderstand by sistem”95 Hukum adalah seperangkat peraturan perundang-undangan yang mengatur semacam kesatuan atau daya pengikat yang dipahami sebagai suatu sistem. UUD serta segala peraturan perundang-undangan penjabaran dan pelaksanaannya, juga memiliki kesatuan atau daya pengikat bangsa Indonesia sebagai suatu sistem dalam negara.96Peraturan perundang-undangan saling berkaitan dan merupakan bagian dari suatu sistem, yaitu sistem hukum nasional. Ditinjau dari sistem hukum nasional, peraturan perundang-undangan yang mengatur izin dalam usaha pondok wisata pada kawasan taman wisata alam telah terjadi suatu konflik karena belum sinergisnya peraturan perundang-undangan yang bersifat sektoral. Dalam hal terjadi suatu konflik norma maka perlu diadakan suatu upaya sinkronosasi peraturan perundang-undangan. Sinkronisasi adalah penyelarasan dan penyelerasian berbagai peraturan perundang-undangan yang terkait dengan peraturan perundang-undangan lain yang telah ada yang mengatur suatu bidang tertentu. Maksud dari kegiatan sinkronisasi adalah agar substansi yang diatur dalam produk perundang-undangan tidak tumpang tindih, saling melengkapi (suplementer), saling terkait, dan semakin rendah jenis pengaturannya maka
94
Hans Kelsen dalam Kusnu Goesniadhie, Op.Cit., hal 21 Hans Kelsen, ”General Theory of Law and State”,diunduh dari: URL: http://books.google.co.id/books?id=4dAr24lK4BEC , diunduh pada tanggal 6 Sepetmber 2010 96 Kusnu Goesniadhie, hal 22 95
87
semakin detail dan operasional materi muatannya.97Adapun tujuan dari kegiatan sinkronisasi adalah untuk mewujudkan landasan pengaturan suatu bidang tertentu yang dapat memberikan kepastian hukum yang memadai bagi penyelenggaraan bidang tersebut secara efisien dan efektif. Sinkronisasi peraturan perundang-undangan dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu:98 1. Sinkronisasi Vertikal Dilakukan dengan melihat apakah suatu peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam suatu bidang tertentu tidak saling bertentangan antara satu dengan yang lain dengan peraturan perundang-undangan lain yang lebih tinggi, dalam hal ini harus memperhatikan hirarkhi peraturan perundang-undangan, dalam sinkronisasi vertical harus juga diperhatikan kronologis tahun dan nomor penetapan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan. 2. Sinkronisasi Horisontal. Dilakukan dengan melihat pada berbagai peraturan perundang-undangan yang sederajat dan mengatur bidang yang sama atau terkait. Sinkronisasi horisontal juga harus dilakukan secara kronologis, yaitu sesuai dengan urutan waktu ditetapkannya peraturan perundangan-undangan yang bersangkutan. Sebagaimna telah diuraikan sebelumnya telah terjadi konflik norma terkait dapat tidaknya dibangun pondok wisata pada kawasan taman wisata alam, yaitu konflik antara Perda 16 Tahun 2006 dengan UU No. 5 tahun 1990 jo. PP No. 36
97 Pt Tribina Matra Carya Cipta, Prosedur Penyusunan Sinkronisasi dalam http://www.penataanruang.net/ta/Lapan04/P2/SinkronisasiUU/Bab4.pdf , diunduh pada tanggal 22 Agustus 2010 98 Ibid
88
Tahun 2010 jo. PP No. 26 Tahun 2008. Melihat pada jenis peraturan perundangundangan yang mengalami konflik norma maka dapat disimpulkan telah terjadi konflik norma yang bersifat vertikal. Sehingga dalam pemecahannya perlu memperhatikan asas hirarki peraturan perundang-undangan. Secara teoritis mengenai hirarki peraturan perundang-undangan dapat diikuti pandangan Hans Kelsen dan Hans Nawiasky bahwa norma-norma dalam negara tersusun secara hirarkis, dari yang paling umum yang bersifat abstrak hingga ke jenjang yang lebih khusus. Di puncak dari norma itu terdapat norma dasar (grundnorm, atau ursprungsnorm atau basicnorm) yang merupakan asas-asas hukum yang bersifat abstrak, karena itu disebut pula abstracte norm. Karena bersifat abstrak, norma dasar itu perlu dikonkretkan melalui suatu norma antara (tussennorm) yang tetuang ke dalam peraturan perundang-undangan sehingga menjadi norma yang nyata (concrete norm). Dengan demikian maka norma-norma dalam negara itu tersusun dalam kesatuan yang utuh menurut struktur piramida.Pandangan Hans Kelsen itu dikembangkan oleh Hans Nawiasky yang mengatakan bahwa norma-norma hukum itu tersusun dari atas ke bawah, yaitu99:
Staatsfundamentalnorm (norma fundamental negara)
Staatsgerundgesetz (aturan dasar Negara/aturan Pokok Negara)
Formell Gesetz (undang-undang formal)
Verordnung & Autonome Satzung (Aturan pelaksana dan aturan otonom).
99
Maria Farida Indrati Soeprapto,Op.Cit., h. 44-45.
89
Berdasarkan rumusan Pasal 7 Undang-undang No. 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dinyatakan tentang jenis dan hirarki peraturan perundang-undangan yang dirumuskan sebagai berikut: Pasal 7: (1) Jenis dan hirarki peraturan perundang-undangan adalah sebagai berikut: a. UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 b. Undang-undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang c. Peraturan Pemerintah d. Peraturan Presiden e. Peraturan daerah. Dengan demikian, peraturan perundang-undangan di Indonesia tersusun dari atas ke bawah sebagai suatu pertanggaan yang secara keseluruhan merupakan suatu piramida. Pada posisi puncak terdapat UUD NRI 1945 sebagai norma dasar disusul oleh undang-undang, dan seterusnya dikonkretkan dalam peraturan perunadangan yang normanya lebih riil. Hal itu mengandung arti bahwa peraturan perundnag-undangan yang lebih tinggi merupakan pedoman dalam pembentukan peraturan perundangan di bawahnya.Sebaliknya peraturan perundangan yang ada di bawahnya tidak boleh bertentangan dengan yang ada di atasnya. Dalam hal terjadi konflik norma sebagaimana yang diuraikan di atas, maka tedapat beberapa asas yang dapat dapat dipilih sesuai dengan konflik antar peaturan mana yang terjadi, adapun asas-asas yang dapat digunakan dalam menyelesaikan konflik norma yaitu:100 1. Asas lex superior derogat legi inferiori, yaitu peraturan yang lebih tinggi akan melumpuhkan peraturan yang lebih rendah. Jadi jika ada suatu peraturan yang lebih rendah bertentangan dengan peraturan yang
100
Soeroso, 2002, Pengantar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, h. 135
90
lebih tinggi, maka yang digunakan adalah peraturan yang lebih tinggi tersebut. 2. Asas lex specialis derogat legi generali, yaitu pada peraturan yang sederajat, peraturan yang lebih khusus melumpuhkan peraturan yang umum. Jadi dalam tingkatan perundang-undangan yang sederajat yang mengatur mengenai materi yang sama, jika ada pertentangan diantara keduanya maka yang digunakan adalah peruran yang lebih khusus. 3. Asas lex posteriori derogat legi priori, yaitu pada peraturan yang sederajat, peraturan yang paling baru melumpuhkan peraturan yang lama. Jadi peraturan yang telah diganti dengan peraturan yang baru, secara otomatis dengan asas ini peraturan yang lama tidak berlaku lagi. Berdasarkan jenis pertentangan perundang-undangan yang terjadi maka adapun asas yang dapat digunakan untuk menentukan peraturan perundang-undangan mana yang berlaku adalah asas lex superior derogat legi inferiori, yaitu dimana peraturan yang lebih tinggi akan melumpuhkan peraturan yang lebih rendah. Dengan diberlakukannya asas ini maka ketentuan yang berlaku
dari adanya
konflik norma yang sedang berlangsung adalah peraturan perundang-undangan yang memiliki kedudukan yang lebih tinggi yaitu UU No. 5 tahun 1990 jo. PP No. 36 Tahun 2010 jo. PP No. 26 Tahun 2008, dengan berlakunya substansi dari peraturan perundang-undangan trsebut maka pada kawasan taman wisata alam dapat diselenggarakan usaha pondok wisata.
91
3.2. Perlindungan Kelestarian Lingkungan beserta Fungsi dari Kawasan Taman Wisata Alam melalui Instrumen Perizinan. 3.2.1. Urgensi Perizinan sebagai Instrumen Pengendalian Usaha Pondok Wisata Pada Kawasan Taman Wisata Alam Segala sesuatu di dunia ini erat hubungannya satu dengan yang lain, antara manusia dengan manusia, antara manusia dengan hewan, antara manusia dengan tumbuh-tumbuhan dan bahkan antara manusia dengan benda mati sekalipun. Manusia adalah sebagian dari ekosistem, manusia adalah pengelola dari sistem tersebut. Alam dipengaruhi oleh manusia dan manusia dipengaruhi oleh alam.101 Atas dasar peranan manusia tersebut, khususnya terkait dengan pembangunan perlu adanya upaya yang dapat dapat dilakukan untuk mencegah kerusakan maupun pencemaran lingkungan. Manusia melakukan usaha untuk meningkatkan kesejahteraan hidupnya melalui kegiatan pembangunan. Pembangunan pada hakikatnya adalah perubahan, dalam suatu pembangunan keseimbangan lingkungan dirubah ke keseimbangan yang baru. Sebagai salah satu tujuan wisata, Provinsi Bali sudah sejak lama menitikberatkan pembangunannya pada bidang pariwisata. Pembangunan di bidang pariwisata seperti sarana akomodasi pariwisata kini mulai merambah kawasan lindung, salah satunya adalah kawasan taman wisata alam. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990, taman wisata alam merupakan kawasan pelestarian alam, selanjutnya berdasarkan struktur pola ruang kawasan pelestarian alam merupakan bagian dari kawasan lindung, sebagai kawasan lindung Perda Provinsi Bali Nomor 16 Tahun 2009 tentang RTRW Provinsi Bali menetapkan 101
Koesnardi Hardjosoemantri, 1994, Hukum Lingkungan, Cet.2, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, h. 2. Lihat juga R. M. Gatot P. Soemartono, 2004, Hukum Lingkungnan Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, h.12
92
taman wisata alam sebagai kawasan strategis provinsi dari sudut kepentingan fungsi dan daya dukung lingkungan hidup, adapun latar belakang taman wisata alam ditetapkan sebagai sebagai kawasan strategis provinsi dari sudut kepentingan fungsi dan daya dukung lingkungan hidup karena berdasarkan Pasal 42 ayat (1) kawasan tersebut merupakan: a. merupakan tempat perlindungan keanekaragaman hayati; b. merupakan aset daerah berupa kawasan lindung yang ditetapkan bagi perlindungan ekosistem; c. memberikan perlindungan terhadap keseimbangan iklim makro; d. memberikan perlindungan keseimbangan tata guna air; e. memberikan perlindungan terhadap kawasan rawan bencana alam; dan f. memberikan perlindungan terhadap daerah pesisir. Ditetapkannya kawasan taman wisata alam dengan berbagai status tersebut tidak menutup kemungkinan bagi adanya pembangunan sarana wisata di dalamnya, hal ini dipertegas dalam Keputusan Presiden Nomor 32 tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1990 Nomor 49) yang tidak menentang adanya kegiatan budidaya pada kawasan lindung,
dalam ketentuan
Pasal 37 ayat (1) Keppres tersebut
menyatakan bahwa “Di dalam kawasan lindung dilarang melakukan kegiatan budi daya, kecuali yang tidak mengganggu fungsi lindung.” Formulasi rumusan pasal yang demikian dapat ditafsirkan bahwa pada kawasan lindung dapat diselenggarakan
kegiatan
pengusahaan
pondok
wisata
sepanjang
tidak
mengganggu fungsi lindung. Pembangunan sarana wisata tentu diperlukan untuk memenuhi kebutuhan para wisatawasan, namun perlu disadari bahwa adanya perubahan-perubahan dalam lingkungan akibat pembangunan tersebut tidak hanya memberi dampak
93
positif dari segi ekonomis tapi juga mengandung risiko adanya pencemaran dan kerusakan lingkungan yang dapat mengakibatkan turunya kualitas lingkungan hidup. Dalam lingkungan hidup terdapat suatu hubungan timbal balik antara komponen-komponen pembentuk lingkungan hidup. Hubungan timbal balik tersebut dapat dilihat antara manusia dengan lingkungan, dimana aktivitas manusia mempengaruhi lingkungan, sebaliknya kelangsungan hidup dan kesejahteraan manusia dipengaruhi oleh keadaan lingkungannya. 102 Demikian pula yang terjadi dalam kaitannya dengan aktivitas manusia berupa pengusahaan sarana wisata pada kawasan taman wisata alam. Dalam hal adanya pengusahaan srana wisata pada kawasan taman wisata alam, maka antara manusia dengan semua komponen baik hidup dan tak hidup di kawasan tersebut akan terjadi suatu hubungan timbal balik. Aktivitas manusia tersebut sedikit tidaknya akan mempengaruhi lingkungan dimana usaha pondok wisata tersebut dilangsungkan. Dampak dari pengaruh yang diterima oleh lingkungan terhadap adanya usaha tersebut, nantinya tidak hanya mempengaruhi komponen biotik dan abiotik pembentuk lingkungan, namun dalam jangka panjang juga akan mempengaruhi kelangsungan hidup manusia. Lingkungan sebagai sumber daya alam merupakan aset yang dapat dipergunakan untuk mensejahterakan masyarakat. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 33 ayat (3) UUD NRI 1945 yang menyatakan bahwa “Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dipergunakan untuk sebesar102
M. Daud Silalahi, 2001, Hukum Lingkungan dalam Sistem Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia, Alumni, Bandung, h. 9
94
besarnya kemakmuran rakyat.” Begitu pentingnya peran lingkungan bagi kesejahteraan dan kemakmuran rakyat, maka manusia didalam hidupnya harus melindungi dan mengamankan lingkungan agar terjaga kelestariannya dan dimanfaatkan secara berkesinambungan, untuk itu diperlukan perlindungan dan pengelolaan yang baik terhadap lingkungan agar terhindar dari pencemaran dan kerusakan, selanjutnya bentuk perlindungan dan pengelolaan tersebut perlu dituangkan dalam bentuk peraturan. Peraturan tersebut ditujukan untuk mengatur tingkah laku manusia tentang apa yang seharusnya dilakukan atau tidak dilakukan terhadap lingkungan, yang pelaksanaan peraturan tersebut dapat dipaksakan dengan suatu sanksi oleh pihak yang berwenang. Keseluruhan peraturan yang mengatur berbagai aspek lingkungan tersebut disebut sebagai hukum lingkungan. Menurut Danusaputro103 hukum lingkungan adalah hukum yang mendasari penyelenggaraan perlindungan dan tata pengelolaan serta peningkatan ketahanan lingkungan hidup. Beliau membedakan antara hukum lingkungan modern yang berorientasi kepada lingkungan atau environment-oriented law dan hukum lingkungan klasik yang berorientasi pada penggunaan lingkungan atau useoriented law, hal ini didasari oleh perkembangan pemikiran manusia terhadap lingkungan. Zaman dahulu manusia percaya dan yakin akan kemampuan sistem alam untuk menanggulangi gangguan atau bahaya lingkungan secara alamiah, begitu pula halnya dengan manusia, mereka mempunyai daya penyesuaian diri atas perubahan-perubahan yang terjadi pada lingkungan atas dasar terapan ilmu dan 103
St. Munajat Danusaputro, 1980, Hukum Lingkungan, Buku V;Sektoral jilid 5, Binacipta , Bandung, h. 35-36.
95
teknologi ciptaannya sendiri. Sehingga hukum yang tercipta pada masa itu adalah hukum lingkungan klasik yang hanya berorientasi pada penggunaannya saja yaitu menetapkan ketentuan-ketentuan dan norma-norma dengan tujuan terutama sekali untuk menjamin penggunaan dan eksploitasi sumber-sumber daya lingkungan dengan berbagai akal dan kepandaian manusia guna mencapai hasil semaksimal mungkin, dan dalam jangka waktu sesingkat-singkatnya.104 Seiring dengan kenyataan bahwa lingkungan tidak bisa begitu saja merehabilitasi keadaanya sendiri maka anggapan manusia akan kebebasannya terhadap alam lingkungannya mulai pudar.105 Karena hubungan yang terjadi adalah hubungan timbal balik antara manusia dengan lingkungannya untuk memperoleh keseimbangan, keserasian, dan keselarasan. 106 Maka kemudian berubahlah pola pemikiran menuju ke arah environment oriented sehingga memunculkan aturan-aturan yang berorientasi kepada kepentingan alam. Hukum tersebut juga dikenal sebagai hukum lingkungan modern dimana didalamnya menetapkan ketentuan dan norma-norma guna mengatur tindak perbuatan manusia dengan tujuan untuk melindungi dan mengamankan kepentingan alam artinya berupa keharusan untuk melindungi dan mengamankan alam terhadap kemerosotan mutu dan kerusakaannya untuk menjamin kelestariannya agar dapat secara terus menerus digunakan oleh generasi sekarang maupun generasi mendatang. Sebenarnya di Indonesia peraturan yang mengatur tentang masalah lingkungan hidup bukan merupakan hal yang baru, karena cukup banyak 104
M. Daud Silalahi, Op.Cit., h. 6-8 Ibid 106 Barry Commoner dalam M. Daud Silalahi, Ibid, h. 8 105
96
peraturan hukum di bidang lingkungan hidup yang telah berlaku baik pada zaman Hindia Belanda, Jepang maupun zaman kemerdekaan. Hasil inventarisasi hukum lingkungan pada tahun 1976 telah menghasilkan Himpunan Peraturan Perundangundangan di bidang Lingkungan Hidup yang terdiri atas:107 1. 22 Undang-undang dan Ordonansi 2. 38 Peraturan Pemerintah dan verordening 3. 5 Keputusan Presiden 4. 2 Instruksi Presiden 5. 45 Keputusan/Peraturan Menteri 6. 4 Keputusan Direktur Jendral;dan 7. Sejumlah Peraturan Daerah Tingkat I dan II Setelah zaman kemerdekaan, produk hukum pemerintah kolonial ini masih berlaku berdasarkan ketentuan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945. Setiap peraturan perundang-undangan hasil inventarisasi tersebut masing-masing berdiri sendiri dan tidak ada ikatan antara yang satu dengan lainnya, sehingga keefektivitasannya menjadi berkurang. Berbagai peraturan tentang lingkungan hidup tersebut masih bersifat sektoral, tersebar dan tidak lengkap serta banyak yang tidak bisa dijalankan karena sudah tidak sesuai lagi dengan prinsip-prinsip lingkungan hidup. Untuk itu kemudian dipandang perlu diadakan suatu penyempurnaan dari berbagai peraturan tersebut yang masih berlaku, disamping pembentukan ketentuan pokok yang dapat merangkum segala macam peraturan
107
R.M. Gatot P. Soemartono, Op.Cit., h. 60
97
yang ada ke dalam satu wadah yang secara konsisten menerapkan prinsip-prinsip pengelolaan lingkungan hidup yang sudah digariskan. Alasan lain perlunya disusun Undang-Undang Lingkungan Hidup adalah adanya petunjuk di dalam Repelita III, Bab 7 tentang “Sumber Alam dan Lingkungan Hidup” yang menyatakan bawa “Sementara itu, bersamaan dengan pembuatan peraturan perundang-undangan secara sektoral
sesuai dengan
kepentingan perlindungan dan pembangunan lingkungan hidup di masing-masing bidang, begitu pula segera digarap suatu undang-undang yang memuat ketentuanketentuan pokok tentang masalah lingkungan yang menyangkut pengaturan:108 (a) Permukiman manusiawi dan lingkungan hidup; (b) Pengelolaan sumber daya alam; (c) Pencemaran lingkungan hidup;dan (d) Yurisdiksi departemen-departemen di bidang lingkungan hidup. Undang-Undang yang memuat asas serta prinsip-prinsip pokok tentang perlindungan dan pengembangan lingkungan hidup ini beserta sanksi-sanksinya akan merupakan dasar bagi semua peraturan perundang-undangan yang lainnya yang diciptakan secara sektoral.” Berdasarkan hal tersebut maka dibentuklah suatu Undang-Undang tentang Lingkungan Hidup (UULH) yang diundangkan pada tanggal 11 Maret 1982, yaitu UU Nomor 4 Tahun 1982 tentang Lingkungan Hidup. Dengan lahirnya UU Nomor 4 Tahun 1982 tercipta suatu sistem yang ‘memayungi’ semua peraturan perundang-undangan yang bersifat sektoral. UULH bertindak sebagai ‘umbrela
108
Ibid, h.61
98
act’ atau payung hukum yaitu payung bagi penyusunan peraturan perundangundangan yang akan dibentuk, selain daripada itu ia juga berfungsi sebagai payung untuk menilai dan menyesuaikan semua peraturan perundang-undangan yang memuat segi-segi lingkungan hidup yang kini telah berlaku. Dengan demikian, UULH dapat dikatakan sebagai tonggak pemisah antara peraturan lama (yaitu sebelum berlakunya UULH)
dan peraturan baru, serta menjadikannya
sebagai suatu kesatuan yang bulat dan utuh dalam suatu sistem. UU Nomor 4 Tahun 1982 telah mengalami beberapa pergantian, yaitu melalui UU Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, dan yang terakhir dengan UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Undang-Undang ini merupakan salah satu alat yang kuat dalam melindungi lingkungan hidup. Di dalamnya diatur berbagai upaya dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup untuk menjamin kelestarian lingkungan hidup beserta fungsinya ditengah maraknya pembangunan yang mengatasnamakan tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Undangundang ini dalam penerapannya ditunjang dengan peraturan perundang-undangan sektoral. Hal ini mengingat pengelolaan lingkungan hidup memerlukan koordinasi dan keterpaduan secara sektoral dilakukan oleh departemen dan lembaga pemerintah non-departemen sesuai dengan bidang tugas dan tanggungjawab masing-masing. Yang kemudian keseluruhan peraturan perundang-undangan tersebut disebut sebagai hukum lingkungan. Pembangunan tidak selalu hanya membawa dampak positif, oleh karena itu konsep pembangunan yang akan diselenggarakan haruslah memperhatikan
99
dampak lingkungan, jauh ke depan, demi generasi masa depan. Untuk mengantisipasi hal tersebut telah diatur upaya perlindungan dan pengelolaan lingkungan dalam peraturan perundang-undangan lingkungan hidup di Indonesia. Terhadap kegiatan pembangunan sarana wisata pada kawasan taman wisata alam tersebut dapat dilakukan upaya pengendalian agar fungsi lindung dari kawasan taman wisata alam tetap dapat berjalan sebagaimana mestinya. Upaya pengendalian dapat dilakukan melalui pengitegrasian studi kelayakan lingkungan terhadap rencana usaha dan/atau kegiatan. Sejak awal perencanaan usaha dan/atau kegiatan sudah harus diperkirakan perubahan rona lingkungan hidup akibat pembentukan suatu kondisi lingkungan hidup yang baru, baik yang menguntungkan maupun yang merugikan, yang timbul sebagai akibat diselenggarakannya usaha dan/atau kegiatan pembangunan, Dengan diintegrasikanya studi kelayakan lingkungan dalam suatu rencana usaha dan/atau kegiatan diharapkan dapat mencegah atau meminimalisir dampak negatif yang ditimbulkan terhadap lingkungan hidup. Namun untuk mencapai sasaran tersebut studi kelayakan lingkungan tidak berdiri sendiri, agar berjalan efektif maka dalam pelaksanaanya dikaitkan dengan instrumen perizinan. Persyaratan yang terkait dengan perlindungan lingkungan hidup berupa studi kelayakan lingkungan dibebankan sebagai syarat dalam suatu permohonan izin suatu usaha dan/atau kegiatan.
Dikaitkannya studi kelayakan lingkungan dalam system
perizinan karena izin dipandang sebagai instrumen yang efektif dalam mengendalikan tingkah laku masyarakat
100
3.2.2. Kewenangan Pemerintah dalam Mengendalikan Usaha Pondok Wisata Pada Kawasan Taman Wisata Alam melalui Instrumen Perizinan. Izin merupakan instrument hukum administrasi negara yang paling sering digunakan pemerintah dalam mengandalikan tingkah laku warganya.
Izin
dipandang dapat mengendalikan setiap usaha dan/atau kegiatan yang berpotensi menimbulkan dampak pencemaran dan kerusakan lingkungan, hal ini didasarkan pada esensi dari izin itu sendiri yang melarang seseorang atau suatu badan hukum tertentu
melakukan suatu
kegiatan dan/atau
usaha
tanpa mendapatkan
persetujuan/perkenan terlebih dahulu dari badan atau pejabat tata usaha negara yang berwenang.109 Izin memiliki fungsi yang bersifat preventif karena instrumen izin tersebut tidak bisa dilepaskan dari perintah dan kewajiban yang harus ditaati oleh pemegang izin.110 Hal tersebut juga berlaku bagi orang atau badan usaha yang akan menyelengggarakan usaha pondok wisata pada kawasan taman wisata alam, ketentuan Pasal 8 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2010 melarang adanya usaha pondok wisata pada kawasan taman wisata alam tanpa mendapatkan izin terlebih dahulu dari pejabat yang berwenang, sehingga usaha tersebut baru bisa dilaksanakan apabila telah diberi perkenan terlebih dahulu oleh badan atau pejabat yang berwenang. Adapun bunyi dari ketentuan Pasal 8 ayat (1) PP No. 36 Tahun 2010 menyatakan bahwa “Pengusahaan pariwisata alam hanya dapat dilakukan setelah memperoleh izin pengusahaan”, dan izin pengusahaan untuk menyelenggarakan usaha akomodasi disebut dengan izin penyediaan sarana wisata alam.
109 110
NM Spelt, dan JBJM Ten Berge,Op.Cit, h.2 N.H.T Siahaan, 2009, Hukum Lingkungan, Pancuran Alam, Jakarta, h.239.
101
Izin merupakan otoritas dan monopoli dari penguasa atau pemerintah, tidak ada lembaga lain di luar pemerintah yang bisa memberikan izin. Hal ini berkaitan dengan prinsip kekuasaan negara atas semua sumber daya alam demi kepentingan hidup orang banyak. 111 Izin merupakan salah satu bentuk turut campur pemerintah dalam kehidupan rakyatnya, dalam perspektif hukum penyelenggaraan perizinan berbasis pada teori negara hukum modern (negara hukum demokratis) yang merupakan perpaduan antara konsep negara hukum dan konsep negara kesejahteraan. 112 Sejak ditinggalkannya negara ‘penjaga malam’, yang menempatkan pemerintah hanya selaku penjaga ketertiban dan keamanan serta tidak diperkenankannya campur tangan dalam kehidupan masyarakat, negara melalui pemerintah beserta perangkatnya terlihat aktif dalam kehidupan masyarakat.113 diketahui
bahwa
kegagalan
implementasi
Sebagaimana
nachtwachtersstaat
kemudian
memunculkan gagasan yang menempatkan pemerintah sebagai pihak yang bertanggungjawab atas kesejahteraan rakyatnya, yaitu welfare state.114 Pemerintah mempunyai tugas dan tanggungjawab untuk mengusahakan kesejahteraan bagi warganya. Sejak itu negara turut serta secara aktif dalam pergaulan kemasyarakatan, sehingga lapangan pekerjaan pemerintah makin lama makin luas. Administrasi negara diserahi tugas untuk menyelenggarakan kesejahteraan umum dengan cara ikut serta secara aktif dalam berbagai kehidupan rakyatnya di bidang
111
N.H.T Siahaan, Loc.Cit. Adrian Sutedi, 2010, Hukum Perizinan, dalam Sektor Pelayanan Publik, SInar Grafika, Jakarta, h. 1 113 I Gde Pantja Astawa dan Suprin Na’a, 2009, Memahami Ilmu Negara dan Teori Negara, Refika Aditama, Bandung, h. 121 114 Ridwan HR, Op.Cit., h. 15 112
102
ekonomi, sosial, budaya, medis, perpajakan dan sebagainya. Peran pemerintah dalam berbagai kegiatan masyarakat semakin nyata. Salah satu campur tangan pemerintah terhadap aktivitas masyarakat yang begitu terasa dalam hal ini adalah melalui instrumen perizinan. Melalui perizinan pemerintah mencampuri, mengarahkan, mengendalikan berbagai aktivitas dan sepak terjang warganya. 115 Pemerintah
dalam
melakukan
suatu
perbuatan
termasuk
dalam
mengeluarkan suatu izin harus didukung oleh suatu kewenangan. Berdasarkan Prajudi Atmosudirdjo kewenangan biasanya terdiri dari beberapa wewenang (kekuasaan terhadap segolongan orang-orang tertentu atau kekuasaan terhadap suatu bidang pemerintahan atau bidang urusan) tertentu yang bulat, sedangkan wewenang
hanya
mengenai suatu
mengemukakan, bahwa kemampuan
yang
onderdil
tertentu
saja. 116
Indroharto
dalam arti yuridis, pengertian wewenang adalah
diberikan
oleh
peraturan
perundang-undangan
untuk
menimbulkan akibat-akibat hukum.117 Kewenangan di dalamnya terkandung hak dan kewajiban sebagaimana yang diungkapkan oleh P. Nicolai sebagai berikut: Het vermogen tot het verrichten van bepalde rechtshandelingen (handelingen die op rechtsgevolg gerichtzijn dus ertoe strekken dat bepaalde rectshtsgevolgen onstaan of teniet gaan). Een recht houdt in de (rechtens gegeven) vrijheid om een bepalde feitelijke handeling te verichten van een of n ate laten, of de (rechtens gegeven) aanspraak op vet verrichten van een handeling door een ander. Een plicht impliceert een verplichting om een bepalde hendeling te verichten of n ate laten.118 (kemampuan untuk melakukan tindakan hukum tertentu {yaitu tindakantindakan yang dimaksudkan untuk menimbulkan akibat hukum, dan 115 Y. Sri Pudyatmoko, 2009, Perizinan, Problem dan Upaya Pembanahan, PT. Grasindo Jakarta, h. X 116 Prajudi Atmosudirdjo, 1981, Hukum Administrasi Negara, Ghalia Indonesia, Jakarta, hal. 73-74. 117 Indroharto, 1993, Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara; Buku I; Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, hal.68. 118 P Nicolai dalam Ridwan HR, hal. 102
103
mencakup mengenai timbul dan lenyapnya akibat hukum}. Hak berisi kebebasan untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan tertentu atau menuntut pihak lain untuk melakukan tindakan tertentu, sedangkan kewajiban memuat keharusan untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan tertentu) Dalam negara hukum, wewenang pemerintahan itu berasal dari peraturan perundang-undangan yang berlaku. R.J.H.M. Huisman menyatakan pendapat sebagai berikut: Een bestuurorgan kan zich geen bevoegdheid toeeigenen. Slechts de wet kan bevoeghdhen verlenen. De wetgever kan een bevoegdheid niet alleen attribueren aan een bestuurorgaan, maar ook aan ambtenaren (bijvoorbeeld belastinginspecteur voor het milieu enz.), of zelf aan privaatrechtelijke rechtspersonen.119 (Organ pemerintahan tidak dapat menganggap bahwa ia memiliki sendiri wewenang pemerintahan. Kewenangan hanya diberikan oleh undangundang. Pembuat undang-undang dapat memberikan wewenang pemerintahan tidak hanya kepada organ pemerintahan tetapi juga terhadap para pegawai {misalnya inspektur pajak, inpektur lingkungan, dan sebagainya} atau terhadap badan khusus (seperti dewan pemilihan umum, pengadilan khusus untuk perkara sewa tanah} atau bahkan terhadap badan hukum privat). Pemikiran yang diungkapkan oleh Huisman bahwa suatu kewenangan lahir melalui peraturan perundangan adalah sejalan dengan konsep negara hukum yang dianut Indonesia, dimana salah satu unsur dari negara hukum adalah pemerintah berdasarkan peraturan perundang-undangan atau yang sering disebut sebagai asas legalitas, berdasarkan asas ini maka wewenang pemerintah berasal dari peraturan perundang-undangan, artinya sumber wewenang bagi pemerintah adalah peraturan perundang-undangan. Alenia keempat Pembukaan UUD Negara RI 1945 adalah kaidah dasar yang melandasi pembangunan dan perlindungan lingkungan hidup Indonesia.
119
R.J.H.M. Huisman, Algemeen Bestuursrecht, een Inleiding, Kobra, Amsterdam, h. 7
104
Ketentuan yang terdapat didalamnya menegaskan kewajiban negara dan tugas pemerintah untuk melindungi segenap sumber-sumber insani Indonesia dalam lingkungan hidup Indonesia guna kebahagiaan seluruh rakyat Indonesia dan segenap umat manusia. 120 Karena Pembukaan UUD Negara RI 1945 menjiwai batang tubuh UUD Negara RI 1945, maka UUD Negara RI 1945 menciptakan tujuan-tujuan itu dalam pasal-pasalnya, seperti dalam ketentuan Pasal 33 ayat (3) yang menyatakan bahwa “Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.” Kata dikuasai dalam ketentuan Pasal 33 ayat (3) tersebut bukanlah berarti dimiliki oleh negara, melainkan harus diartikan memberikan wewenang kepada negara sebagai organisasi kekuasaan dari bangsa Indonesia untuk pada tingkat tertinggi mengatur dan mengawasi pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam.121 Hal ini kemudian menjadi dasar kewenangan bagi pemerintah maupun pemerintah daerah untuk mengawasi pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam yang dapat dilakukan melalui instrumen perzinan. Dalam kaitannya dengan izin yang diperlukan dalam usaha pondok wisata pada kawasan taman wisata adalah menjadi kewenangan dari Pemerintah Pusat. Izin tersebut berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 menjadi urusan pemerintahan di bidang kehutanan hal tersebut disebabkan karena usaha yang akan dilakukan memanfaatkan kawasan hutan. Berdasarkan ketentuan Pasal 29 ayat (1) Undang-undang No. 5 Tahun 1990 jo. Pasal 6 dan Pasal 7 UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, kawasan taman wisata alam merupakan 120
Rachmadi Usman, 2003, Pembaharuan Hukum Lingkungan Nasional, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 34. 121 Ibid.
105
kawasan pelestarian alam yang masuk dalam katagori hutan konservasi. Adapun bunyi ketentuan tersebut adalah sebagai berikut: Pasal 29 ayat (1) Undang-undang No. 5 Tahun 1990 menyatakan bahwa: Kawasan pelestarian alam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 13 terdiri dari: a. Taman nasional b. Taman hutan raya c. Taman wisata alam. Pasal 6 ayat (2) Undang-undang No. 41 Tahun 1999 menyatakan bahwa: Pemerintah menetapkan hutan beradasarkan fungsi pokok sebagai berikut: a. Hutan konservasi b. Hutan lindung, dan c. Hutan produksi. Pasal 7 Undang-undang No. 41 Tahun 1999 menyatakan bahwa: Hutan konservasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) huruf a terdiri atas: a. Kawasan hutan suaka alam b. Kawasan hutan pelestarian alam c. Taman buru Karena kawasan taman wisata alam merupakan kawasan pelestarian alam yang masuk dalam katagori hutan konservasi, maka dalam pemanfaatannya berhubungan dengan urusan pemerintahan di bidang kehutanan. Berdasarkan Lampiran Peraturan Pemerintah No. 38 tahun 2007 huruf aa tentang pembagian urusan pemerintahan bidang kehutanan, pada No. 49, Sub bidang Pengusahaan Pariwisata Alam pada Kawasan Pelestarian Alam, dan Pengusahaan Taman Buru, Areal Buru dan Kebun Buru, adapun pembagian urusan pemerintahan bidang kehutanan yang terkait dengan izin dalam pemanfaatam kawasan taman wisata alam bagi terselenggaranya usaha pondok wisata adalah sebagai berikut:
106
Kewenangan pemerintah pusat adalah Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria serta pemberian perizinan usaha pariwisata alam pada kawasan pelestarian alam dan pengusahaan taman buru. Kewenangan pemerintah provinsi adalah Pertimbangan teknis pengusahaan pariwisata alam dan taman buru serta pemberian perizinan pengusahaan kebun buru skala provinsi. Kewenangan Pemerintah Kabupaten Kota adalah Pertimbangan teknis pengusahaan pariwisata alam dan taman buru serta pemberian perizinan pengusahaan kebun buru skala kabupaten/kota. Dari ketentuan pembagian urusan pemerintahan tersebut dapat diketahui bahwa pemberian izin bagi usaha pondok wisata pada kawasan taman wisata alam menjadi kewenangan dari pemerintah pusat. Sedangkan kewenangan pemerintah daerah baik provinsi maupun kabupaten hanyalah memberikan pertimbangan teknis terhadap adanya permohonan izin pengusahaan pariwisata alam tersebut. Penjabaran lebih lanjut mengenai kewenangan pemerintah pusat dalam memberikan izin pengusahaan pariwisata alam pada kawasan taman wisata alam dapat dilihat dalam ketentuan Undang-Undang Nomor. 5 tahun 1990, yaitu dalam Pasal 34 yang menyatakan sebagai berikut: (1) Pengelolaan taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam dilaksanakan oleh Pemerintah. (2) Di dalam zona pemanfaatan taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam dapat dibangun sarana kepariwisataan berdasarkan rencana pengelolaan. (3) Untuk kegiatan kepariwisataan dan rekreasi, Pemerintah dapat memberikan hak pengusahaan atas zona pemanfaatan taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam dengan mengikut sertakan rakyat. Dari ketentuan tersebut diketahui bahwa pengelolaan kawasan taman wisata alam merupakan kewenangan dari pemerintah pusat. Dimana untuk kepentingan pariwisata, dalam kawasan taman wisata alam dapat diselenggarakan usaha sarana
107
pariwisata dan untuk menyelenggarakan usaha sarana pariwisata tersebut perlu terlebih dahulu memperoleh hak pengusahaan atas kawasan taman wisata alam dari pemerintah. Pemerintah dalam hal ini adalah Menteri Kehutanan, hal tersebut diatur dalam ketentuan Pasal 8 ayat 2 huruf a PP No. 36 Tahun 2010 menyatakan bahwa “Izin pengusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh Menteri, untuk pengusahaan pariwisata alam yang dilakukan di dalam suaka margasatwa, taman nasional kecuali zona inti, dan taman wisata alam”. Selanjutnya dalam Pasal 1 angka 12 menyatakan bahwa “Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kehutanan.” Sehubungan dengan hal tersebut berikut ini akan diuraikan mekanisme perizinan dalam permohonan Izin pengusahaan yang diatur dalam PP No. 36 Tahun 2010. Pasal 13 menyatakan bahwa: (1) Permohonan izin usaha penyediaan sarana wisata alam diajukan oleh pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) huruf b dan huruf c kepada Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai kewenangannya. (2) Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai kewenangannya berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melakukan penilaian atas persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (3) dan ayat (4). (3) Dalam hal permohonan yang diajukan tidak sesuai dengan persyaratan, Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai kewenangannya mengembalikan permohonan kepada pemohon. (4) Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah memenuhi persyaratan, Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai kewenangannya memberikan persetujuan prinsip usaha penyediaan sarana wisata alam kepada pemohon. (5) Persetujuan prinsip sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diberikan untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun sejak diterbitkan oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai kewenangannya.
108
Pasal 10 (1) Permohonan izin pengusahaan pariwisata alam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) harus dilengkapi dengan persyaratan administrasi dan teknis. (2) Persyaratan administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi pemohon perorangan meliputi: a. identitas pemohon; b. nomor pokok wajib pajak; dan/atau c. sertifikasi keahlian. (3) Persyaratan administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi pemohon badan usaha dan koperasi meliputi: a. akte pendirian badan usaha atau koperasi; b. surat izin usaha perdagangan; c. nomor pokok wajib pajak; d. surat keterangan kepemilikan modal atau referensi bank; e. profile perusahaan; dan f. rencana kegiatan usaha jasa yang akan dilakukan. (4) Persyaratan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang harus dipenuhi oleh pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) berupa pertimbangan teknis dari: a. pengelola kawasan konservasi pada areal yang dimohon; dan b. satuan kerja perangkat daerah yang membidangi urusan kepariwisataan di daerah. Pasal 14 ayat (1) menyetakan bahwa: (1) Berdasarkan persetujuan prinsip sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5), pemohon wajib: a. membuat peta areal rencana kegiatan usaha yang akan dilakukan dengan skala paling besar 1:5.000 (satu banding lima ribu) dan paling kecil 1:25.000 (satu banding dua puluh lima ribu); b. melakukan pemberian tanda batas pada areal yang dimohon; c. membuat rencana pengusahaan pariwisata alam; d. menyusun dan menyampaikan dokumen upaya pengelolaan lingkungan dan upaya pemantauan lingkungan; dan e. membayar iuran usaha pariwisata alam sesuai ketentuan peraturan perundangundangan. Berdasarkan uraian tersebut izin usaha penyediaan sarana wisata alam diterbitkan diawali dengan adanya permohonan tertulis yang disertai pemenuhan syarat izin usaha oleh pemrakarsa usaha. Pemrakarsa usaha dalam hal ini dibatasi, dimana berdasarkan Pasal 8 ayat 5 pihak yang dapat menyelenggarakan usaha sarana wisata alam di batasi hanya dapat dilakukan oleh Badan Usaha dan
109
Koperasi. Kemudian dilanjutkan dengan pemeriksaan dan penilaian permohonan, penilaian pertama ialah penilaian untuk memperoleh persetujuan prinsip yaitu dilakukan terhadap pemenuhan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (3) dan (4), selanjutnya setelah memperoleh persetujuan prinsip pemohon dibebankan kewajiban untuk memenuhi ketentuan pasal 14 ayat (1). Dalam hal pemegang persetujuan prinsip telah menyelesaikan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai kewenangannya memberikan izin usaha penyediaan sarana wisata alam. 3.2.3. Peran Perizinan dalam menjaga Kelestarian Lingkungan beserta Fungsinya terkait adanya Pengusahaan Pondok Wisata pada Kawasan Taman Wisata Alam Pembangunan yang mempunyai tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat tidak terhindar dari resiko yang dapat ditimbulkan oleh pembangunan itu sendiri yaitu berupa turunya kemampuan daya dukung lingkungan yang mengakibatkan merosotnya kualitas lingkungan.122 Untuk itu upaya untuk mendayagunakan sumber daya yang terkandung dalam lingkungan hidup dengan tujuan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat hendaknya dilakukan dengan tetap memperhatikan kelestarian fungsi dan keseimbangan lingkungan hidup melalui pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup. Prinsip pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup pada hakikatnya merefleksikan makna yang sarat harapan untuk memadukan lingkungan hidup ke dalam proses pembangunan untuk menjamin kemampuan, kesejahteraan dan mutu hidup generasi masa depan. Prinsip ini secara teoritis
122
Niniek Suparni. 1994. Pelestarian, Pengelolaan dan Penegakan Hukum Lingkungan, Sinar Grafika, Jakarta, h. 125
110
merupakan kebutuhan pembangunan yang sulit terelakan dalam dinamika pembangunan dewasa ini. Esensi dari prinsip ini adalah berupaya memadukan lingkungan hidup dan pembangunan sebagai dua hal yang tidak terpisahkan satu sama lain dalam rutinitas pembangunan nasional. 123 Filosofi yang digunakan kalangan ahli seperti Emil Salim mendeskripsikan bahwa unsur lingkungan itu melarut dalam pembangunan. Unsur lingkungan tidak terpisah dari pembangunan sebagaimana dipisahkannya gula dari air teh, tetapi lingkungan dilarutkan dalam pembangunan berkelanjutan seperti gula melarut dalam air the manis.124 Menyadari adanya potensi dampak negatif yang mungkin dapat ditimbulkan dari usaha sarana wisata terhadap lingkungan hidup, begitu pula lingkungan yang tidak bisa begitu saja merehabilitasi dirinya sendiri, maka diperlukan upaya pengendalian terhadap usaha dan/atau kegiatan yang dapat menimbulkan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan salah satunya adalah dengan mendayagunakan instrumen hukum administrasi negara berupa izin. Agar tujuan perizinan sebagai instrument pengendalian dalam mencegah kerusakan dan pencemaran lingkungan dapat dicapai, maka pelaksanaanya dikaitkan dengan studi kelayakan lingkungan yang dicantumkan sebagai syarat dalam permohonan izin tersebut. Studi kelayakan tersebut berupa AMDAL dan UKL-UPL.
123
Syamsutarya Bethan, 2008, Menerapkan Prinsip Hukum Pelestarian Fungsi Lingkungan Hidup dalam Aktivitas Industri Nasional, sebuah Upaya Penyelamatan Lingkungan Hidup dan Kehidupan antar Generasi, Alumni, Bandung, hal. 132 124 Emil Salim, 1991, “Pembangunan berkelanjutan (Strategi Alternatif dalam Pembangunan Dekade Semilan Puluhan)” Artikel pada Prisma (Majalah Pemikiran Sosial Ekonomi) LP3ES, Jakarta, dalam Syamsutarya Bethan, Ibid.
111
1. AMDAL Pengaturan mengenai AMDAL dapat ditemukan dalam berbagai pengaturan seperti: a. UU No. 32 Tahun 2009 b. PP No. 27 Tahun 1999 c. Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 40 Tahun 2000 d. Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 41 Tahun 2000 e. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No. 11 Tahun 2006 f. Keputusan Bapedal No. 56 Tahun 1994 g. Keputusan Bapedal No. 8 Tahun 2000 h. Keputusan Bapedal No. 9 Tahun 2000 Pasal 22 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2009 mengatur bahwa “Setiap rencana usaha dan/atau kegiatan yang kemungkinan dapat menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup wajib memiliki analisis mengenai dampak lingkungan hidup”, adapun pengertian dari analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal) dapat ditemukan dalamPasal 1 angka 1 PP No. 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan hidup menyatakan bahwa: “Analisis mengenai dampak lingkungan hidup (Amdal) adalah kajian mengenai dampak besar dan penting suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan”
112
Dengan demikian AMDAl merupakan hasil studi mengenai dampak suatu kegiatan yang direncanakan terhadap lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan.125 Adapun kriteria yang digunakan sebagai acuan dari dampak penting yang dimaksud dalam pasal 22 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2009 dapat ditemukan dalam Pasal 22 ayat (2) UU No. 32 Tahun 1999 jo. Pasal 5 ayat (1) PP No. 27 Tahun 1999, menyatakan bahwa: Dampak penting ditentukan berdasarkan kriteria: a. besarnya jumlah penduduk yang akan terkena dampak rencana usaha dan/atau kegiatan; b. luas wilayah penyebaran dampak; c. intensitas dan lamanya dampak berlangsung; d. banyaknya komponen lingkungan hidup lain yang akan terkena dampak; e. sifat kumulatif dampak; f. berbalik atau tidak berbaliknya dampak; dan/atau g. kriteria lain sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Selanjutnya adapun kriteria jenis kegiatan dan/atau usaha yang ditenggarai dapat menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan diatur dalam Pasal 23 ayat (1) jo. Pasal 3 ayat (1) PP No. 27 Tahun 1999 menyatakan bahwa: Usaha dan/atau kegiatan yang kemungkinan dapat menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup meliputi : a. pengubahan bentuk lahan dan bentang alam; b. eksploitasi sumber daya alam baik yang terbaharui maupun yang tak terbaharui; c. proses dan kegiatan yang secara potensial dapat menimbulkan pemborosan, pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup, serta kemerosotan sumber daya alam dalam pemanfaatannya; d. proses dan kegiatan yang hasilnya dapat mempengaruhi lingkungan alam, lingkungan buatan, serta lingkungan sosial dan budaya; e. proses dan kegiatan yang hasilnya akan dapat mempengaruhi pelestarian kawasan konservasi sumber daya dan/atau perlindungan cagar budaya; 125
Muhammad Erwin, 2008, Hukum Lingkungan dalam Sistem Kebijaksanaan Pembangunan Lingkungan Hidup , Refika Aditama, Bandung, h. 44
113
f. introduksi jenis tumbuh-tumbuhan, jenis hewan, dan jenis jasad renik; g. pembuatan dan penggunaan bahan hayati dan non hayati; h. penerpan teknologi yang diperkirakan mempunyai potensi besar untuk mempengaruhi lingkungan hidup; i. kegiatan yang mempunyai resiko tinggi, dan atau mempengaruhi pertahanan negara. Selenjutnya pada Lampiran I Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No. 11 Tahun 2006 tentang Jenis Usaha dan/atau Kegiatan yang Wajib Dilengkapi dengan Amalisis Mengenai Dampak Lingkungan merinci berbagai jenis usaha atau kegiatan yang wajib dilengkapi AMDAL, adapun bidang usaha dan/atau kegiatan tersebut meliputi: a. b. c. d. e. f. g. h. i. j. k. l. m.
Bidang Pertahanan Bidang Pertanian Bidang Perikanan Bidang Kehtanan Bidang Perhubungan BIdang Teknologi Satelit Bidang Perindustrian Bidang Pekerjaan Umum Bidang Sumber daya Energi dan Miniral Bidang Pariwisata Bidang Pengembangan Nuklir Bidang Pengelolaan Limbah B3 Bidang Rekayasa Genetika
Untuk bidang Pariwisata, pada umumnya dampak penting yang ditimbulkan adalah gangguan terhadap ekosistem, hidrologi, bentang alam, dan potensi konflik social, adapun jenis usaha dan/atau kegiatan yang wajib AMDAL bidang pariwisata menurut Kepmen LH No 11 tahun 2006 akan diuraikan sebagai berikut: No. Jenis Kegiatan 1. a. Kawasan Pariwisata
Skala/Besaran Semua Besaran
Alasan Ilmiah Khusus Berpotensi menimbulkan perubahan fungsi lahan/kawasan,gangguan lalu lintas, pembebasan lahan, dan
114
sampah b. Taman Rekreasi 100 ha Lapangan Golf Semua Besaran (tidak termasuk driving range)
2.
Berpotensi menimbulkan dampak dari penggunaan pestisida/herbisida, limpasan air permukaan (run off), serta kebutuhan air yang relative besar.
Amdal adalah sebuah proses perencanaan yang digunakan untuk memprediksi, menganalisa dan mengartikan dampak nyata dari sebuah proposal atau rencana pembangungan terhadap lingkungan serta untuk menyediakan informasi yang bisa digunakan dalam proses pengambilan keputusan apakah proposal tersebut akan disetujui atau tidak. Dokumen AMDAL terdiri dari: •
Dokumen Kerangka Acuan Analisis Dampak Lingkungan Hidup (KAANDAL)
•
Dokumen Analisis Dampak Lingkungan Hidup (ANDAL)
•
Dokumen Rencana Pengelolaan Lingkungan Hidup (RKL)
•
Dokumen Rencana Pemantauan Lingkungan Hidup (RPL)
Tiga dokumen (ANDAL, RKL dan RPL) diajukan bersama-sama untuk dinilai oleh Komisi Penilai AMDAL. Hasil penilaian inilah yang menentukan apakah rencana usaha dan/atau kegiatan tersebut layak secara lingkungan atau tidak dan apakah perlu direkomendasikan untuk diberi ijin atau tidak. Adapun prosedur AMDAL terdiri dari : a. Proses penapisan (screening) wajib AMDAL Proses penapisan atau kerap juga disebut proses seleksi kegiatan wajib AMDAL, yaitu menentukan apakah suatu rencana kegiatan wajib menyusun AMDAL atau tidak
115
b. Proses pengumuman dan konsultasi masyarakat Berdasarkan Keputusan Kepala BAPEDAL Nomor 08/2000, pemrakarsa wajib mengumumkan rencana kegiatannya selama waktu yang ditentukan dalam peraturan tersebut, menanggapi masukan yang diberikan, dan kemudian melakukan konsultasi kepada masyarakat terlebih dulu sebelum menyusun KA-ANDAL c. Penyusunan dan penilaian KA-ANDAL (scoping) Proses penyusunan KA-ANDAL. Penyusunan KA-ANDAL adalah proses untuk menentukan lingkup permasalahan yang akan dikaji dalam studi ANDAL (proses pelingkupan).
Setelah selesai disusun, pemrakarsa
mengajukan dokumen KA-ANDAL kepada Komisi Penilai AMDAL untuk dinilai. Berdasarkan peraturan, lama waktu maksimal untuk penilaian KA-ANDAL adalah 75 hari di luar waktu yang dibutuhkan oleh penyusun untuk memperbaiki/menyempurnakan kembali dokumennya. d. Penyusunan dan penilaian ANDAL, RKL, dan RPL Proses penyusunan ANDAL, RKL, dan RPL. Penyusunan ANDAL, RKL, dan RPL dilakukan dengan mengacu pada KA-ANDAL yang telah disepakati (hasil penilaian Komisi AMDAL). Proses penilaian ANDAL, RKL, dan RPL. Setelah selesai disusun, pemrakarsa mengajukan dokumen ANDAL, RKL dan RPL kepada Komisi Penilai AMDAL untuk dinilai. Berdasarkan peraturan, lama waktu maksimal untuk penilaian ANDAL, RKL dan RPL adalah 75 hari di luar waktu yang dibutuhkan oleh penyusun untuk memperbaiki/menyempurnakan kembali dokumennya.
116
2. UKL-UPL Dasar huum bagi UKL-UPL dapat ditemukan dalam berbagai peraturan perundang-undangan sebagai nerikut: a. UU No. 32 Tahun 2009 b. Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 86 Tahun 2002 Bagi kegiatan dan/atau usaha yang tidak memenuhi kriteria dampak besar dan penting sebagaimana dimaksud Pasal 23 ayat (1) jo. Pasal 3 ayat (1) PP No. 27 Tahun 1999, kepadanya diwajibkan untuk melakukan upaya pengelolaan lingkungan hidup dan upaya pemantauan lingkungan hidup. Hal ini diatur dalam Pasal 34 ayat (1) UU No. 32 Tahun 1999 jo. Pasal 3 ayat 4 tahun 1999 menyatakan bahwa: Setiap usaha dan/atau kegiatan yang tidak termasuk dalam kriteria wajib Amdal wajib melakukan upaya pengelolaan lingkungan hidup dan upaya pemantauan lingkungan hidup yang pembinaannya berada pada instansi yang membidangi usaha dan/atau kegiatan. Kewajiban UKL-UPL diberlakukan bagi kegiatan yang tidak diwajibkan menyusun AMDAL dan dampak kegiatan mudah dikelola dengan teknologi yang tersedia. UKL-UPL merupakan perangkat pengelolaan lingkungan hidup untuk pengambilan keputusan dan dasar untuk menerbitkan ijin melakukan usaha dan atau kegiatan Proses dan prosedur UKL-UPL tidak dilakukan seperti AMDAL tetapi dengan menggunakan formulir isian yang berisi : 1) Identitas pemrakarsa 2) Rencana Usaha dan/atau kegiatan
117
Uraian secara singkat rencana usaha
atau kegiatan yang akan
dilaksanakan oleh pemrakarsa, yang mencakup antara lain: a. Jenis rencana usaha atau kegiatan b. Rencana lokasi yang tepat dari rencana usahanatau kegiatan, dan apakah telah sesuai dengan Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) atau tidak. c. Jarak rencana lokasi usaha dengan sumber daya atau kegiatan lain di sekitarnya, seperti hutan, sungai, pemukman, industry, dan lain-lain serta hubungan keterkaitanya. d. Sarana/fasilitasyang direncanakan mencakup: a) Luas areal yang digunakan untuk usaha atau kegiatan b) Peralatan yang digunakan termasuk jenis dan kapasitasnya c) Jenis bahan baku serta bahan tambahan maupun bahan lain yang dipergunakan d) Sumber air dan penggunaannya e) Sumber energy f) Tenaga kerja yang digunakan 3) Komponen Lingkungan Uraian singkat mengenai sumber/sumber alam/komponen lingkungan yang diperkirakan terkena dampak, seperti: sungai, udara, flora, fauna, dan lainlain. 4) Dampak Lingkungan yang akan terjadi
118
Dampak-dampak yang akan muncul baik yang berupa limbah atau polusi maupun benuk lainnya yang mencakup: a. Sumber dampak; b. Jenis dampak dan ukurannya; c. Sifat dan tolak ukur dampak. 5) Program pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup a. Upaya pengelolaan lingkungan yang memuat uraian rinci mengenai upaya pengelolaan lingkungan yang harus dilaksanakan oleh pemrakarsa b. Upaya pemantauan lingkungan yaitu uraian secara rinci mengenai upaya pemantauan lingkungan yang harus dilaksanakan oleh pemrakarsa, khususnya yang berkaitan langsung dengan sifat kegiatan utamanya atau khasnya yang mencakup antara lain: 6) Jenis dampak yang dipantau; 7) Lokasi pemantauan; 8) Waktu pemantauan 9) Cara Pemantauan. 6) Pelaporan Uraian secara rinci mengenai mekanisme laporan dari pelaksanaan upaya pengelolaan lingkungan dan upaya pemantauan lingkungan pada saat rencana usaha atau kegiatan dilaksanakan (Instansi Pembina, BAPEDAL, Pemprov,Pemkab/Pemkot setempat).
119
7) Pernyataan pelaksanaan Pernyataan
pemrakarsa
untuk
melaksanakan
upaya
pengelolaan
lingkunganatas rencana usaha atau kegiatan yang dilengkapi dengan tanda tangan pemrakarsa. Terhadap usaha dan/atau kegiatan yang tidak wajib AMDAL atau UKL UPL maka wajib membuat surat pernyataan kesanggupan pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup, hal ini diatur dalam Pasal 35 ayat (1) UU No. 32 Tahun 1999 dinyatakan bahwa “Usaha dan/atau kegiatan yang tidak wajib dilengkapi UKLUPL sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (2) wajib membuat surat pernyataan kesanggupan pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup.” Upaya pencegahan terhadap potensi kerusakan dan/atau pencemaran yang ditimbulkan dari usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup melalui pengkajian atau studi kelayakan secara cermat terhadap usaha pondok wisata yang akan dilakukan pada kawasan taman wisata alam merupakan tindakan yang sangat penting dalam rangka mencegah adanya pencemaran dan kerusakan lingkungan dari kawasan taman wisata alam. studi kelayakan tersebut diselipkan sebagai syarat yang harus dipenuhi untuk mendapatkan izin bagi pengusahaan pondok wisata pada kawasan taman wisata alam tersebut. Pengintegrasian studi kelayakan lingkungan dalam proses memperoleh izin terkait usaha pondok wisata pada kawasan taman wisata alam telah dilakukan, hal ini dapat dilihat dari syarat yang diwajibkan untuk dipenuhi dalam memperoleh izin usaha penyediaan sarana wisata. Adapun ketentuan mengenai syarat ysng memuat kewajiban studi kelayakan lingkungan sebagai syarat dalam permohonan
120
izin penyediaan sarana usaha wisata alam diatur dalam ketentuan Pasal 14 ayat (1) huruf d PP No. 36 Tahun 2010 yang menyatakan bahwa: Pasal 14 (1) Berdasarkan persetujuan prinsip sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5), pemohon wajib: a. membuat peta areal rencana kegiatan usaha yang akan dilakukan dengan skala paling besar 1:5.000 (satu banding lima ribu) dan paling kecil 1:25.000 (satu banding dua puluh lima ribu); b. melakukan pemberian tanda batas pada areal yang dimohon; c. membuat rencana pengusahaan pariwisata alam; d. menyusun dan menyampaikan dokumen upaya pengelolaan lingkungan dan upaya pemantauan lingkungan; dan e. membayar iuran usaha pariwisata alam sesuai ketentuan peraturan perundangundangan. (2) Biaya yang diperlukan dalam melakukan pemberian tanda batas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dibebankan pada pemohon. (3) Iuran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e dihitung berdasarkan luas areal yang diizinkan untuk usaha penyediaan sarana wisata alam atau jenis kegiatan usaha penyediaan jasa wisata alam. (4) Dalam hal pemegang persetujuan prinsip telah menyelesaikan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai kewenangannya memberikan izin usaha penyediaan sarana wisata alam. Dari uraian ketentuan Pasal 14 ayat (1) huruf d dapat dilihat dicantumkannya dokumen UKL-UPL sebagai kewajiban yang harus dilampirkan dalam permohonan izin usaha penyediaan sarana wisata alam, namun hal ini bertentangan dengan Pasal 2 Peraturan Menteri Lingkungan Hidup jo. angka I.7. Keputusan Kepala Bapedal No. 56 tahun 1994 jenis yang menyatakan bahwa studi kelayakan yang seharusnya wajib dimiliki terhadap usaha dan atau kegiatan yang akan dilangsungkan pada kawasan lindung adalah AMDAL. Adapun bunyi ketentuan Pasal 2 Peraturan Menteri Lingkungan Hidup jo. angka I.7. Keputusan Kepala Bapedal No. 56 tahun 1994 akan diuraikan sebagai berikut:
121
a. Pasal 2 Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No. 11 Tahun 2006 yang menyataka bahwa: Jenis rencana usaha dan/atau kegiatan yang tidak termasuk dalam lampiran I Peraturan Menteri ini tetapi lokasinya berbatasan langsung dengan kawasan lindung sebagaimana tercantum dalam Lampiran II Peraturan Menteri ini wajib dilengkapi dengan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup, b. Angka I.7 Keputusan Kepala Bapedal No. 56 Tahun 1994 Tentang Pedoman Mengenai Dampak Penting yang menyatakan bahwa: Suatu rencana usaha atau kegiatan yang akan dibangun di kawasan lindung yang telah berubah peruntukkannya atau lokasi rencana usaha atau kegiatan tersebut berbatasan langsung dengan kawasan lindung, termasuk dalam kategori menimbulkan dampak penting. Yang dimaksud dengan kawasan lindung menurut Penjelasan Pasal 7 UU Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang adalah sebagai berikut : a. Kawasan Hutan Lindung b. Kawasan Bergambut c. Kawasan Resapan Air d. Sempadan Pantai e. Sempadan Sungai f. Kawasan Sekitar Danau/Waduk g. Kawasan Sekitar Mata Air h. Kawasan Suaka Alam (terdiri dari Cagar Alam, Suaka Margasatwa, Hutan Wisata, Daerah Perlindungan Plasma Nutfah, dan Daerah Pengungsian Satwa) i. Kawasan Suaka Alam Laut dan Perairan lainnya (termasuk perairan laut, perairan darat, wilayah pesisir, muara.sungai, gugusan karang atau terumbu karang, dan atol yang mempunyai ciri khas berupa keragaman dan/atau keunikan ekosistem) j. Kawasan Pantai Berhutan Bakau (mangrove) k. Taman Nasional l. Taman Hutan Raya m. Taman Wisata Alam n. Kawasan Cagar Budaya dan ilmu Pengetahuan (termasuk daerah karst berair, daerah dengan budaya masyarakat istimewa, daerah lokasi situs purbakala atau peninggalan sejarah bernilai tinggi) o. Kawasan Rawan Bencana Alam Pengintegrasian Amdal sebagai syarat memperoleh izin bagi usaha pondok wisata pada kawasan taman wisata alam pernah dilakukan oleh peraturan pelaksana dari PP sebelumnya yang saat ini digantikan oleh PP No. 36 Tahun
122
2010. Pencantuman Amdal sebagai syarat memperoleh izin bagi usaha pondok wisata pada kawasan taman wisata alam ditemukan dalam Pasal 7 dan Pasal 8 Kep.Menhut.No.446/Kpts-II/1996 Tentang Tata Cara Permohonan, Pemberian, Dan Pencabutan Izin Pengusahaan Pariwisata Alam dan yang akan diuraikan berikut ini. Pasal 6 Menteri berdasarkan saran dan pertimbangan dimaksud dalam pasal 5, menyatakan menerima atau menolak permohonan izin pengusahaan pariwisata alam tersebut selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak diteriamnya saran dan pertimbangan dari Ketua Tim Pertimbangan. Pasal 7 Dalam hal Menteri memberikan persetujuan untuk proses lebih lanjut atas permohonan izin pengusahaan pariwisata alam tersebut, Ketua Tim Pertimbangan selambat-lambatnya dalam waktu 10 (sepuluh) hari kerja sejak menerima persetujuan Menteri, memberitahukan kepada pemohon untuk menyusun rencana karya pengusahaan pariwisata alam yang dilengkapi dengan rencana tapak (site plan) dan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Direktur Jendral Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam.
Pasal 8 (1) Penyusunan Rencana Karya Pengusahaan Pariwisata Alam serta kelengkapanya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dilakukan atas biaya pemohon, dan harus selesai serta diserahkan kepada Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam selambat-lambatnya dalam waktu 90 (sembilan puluh) hari kerja setelah dikeluarkannya surat pemberitahuan dari Ketua Tim Pertimbangan. (2) Dalam penilaian Rencana Karya Pengusahaan Pariwisata Alam tersebut apabila dipandang perlu dapat dilakukan peninjauan lapangan oleh instansi struktural yang terkait. (3) Hasil penilaian Rencana Kerja Pengusahaan Pariwisata Alam dan AMDAL oleh Ketua Komisi Pusat AMDAL Departemen Kehutanan disampaikan oleh Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam kepada Menteri, selambat-lambatnya dalam waktu 14 (empat belas) hari kerja setelah diterimanya rencana karya pengusahaan pariwisata alam dari permohonan.
123
Pengintegrasian studi kelayakan lingkungan hidup berupa Amdal dalam proses permohonan izin yang diperlukan dalam usaha pondok wisata pada kawasan taman wisata alam merupakan langkah preventif dalam memberikan perlindungan terhadap lingkungan telah dilakukan oleh
Keputusan Menteri
Kehutanan Nomor: 446/Kpts-II/1996. Namun melalui PP no 36 Tahun 2010 kewajiban Amdal sebagai syarat memperoleh izin usaha ini telah diganti dengan kewajiban melampirkan dokumen UKL UPL
124
BAB IV UPAYA PEMERINTAH PUSAT DAN/ATAU PEMERINTAHAN DAERAH MEMBERI KEPASTIAN HUKUM TERKAIT ADANYA KONFLIK NORMA PENGATURAN IZIN PENGUSAHAAN BAGI PONDOK WISATA PADA KAWASAN TAMAN WISATA ALAM
4.1. Pentingnya
Harmonisasi
Hukum
dalam
Proses
Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan Perizinan sebagai dokumen hukum tentunya bersumber dan/atau sebagai penjabaran produk hukum yang sifatnya lebih umum dan berkedudukan lebih tinggi.126 Produk hukum seperti peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum dari suatu perizinan memiliki fungsi untuk mewujudkan kepastian hukum (rechtszekerheid, legal certainty). Untuk berfungsinya kepastian hukum suatu peraturan perundang-undangan harus memenuhi syarat-syarat tertentu, yang diantaranya adalah konsisten dalam perumusan, dimana dalam peraturan perundang-undangan yang sama harus terpelihara hubungan sistematik antara kaidah-kaidahnya. Namun kondisi tidak harmonis (disharmoni) dalam bidang peraturan perundang-undangan sangat besar potensinya, adanya konflik norma ini kemudian dapat menimbulkan kebingungan bagi Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dalam membuat suatu keputusan terkait suatu permohonan izin yang menjadi kewenangannya. Adanya konflik norma pada peraturan perundang-undangan yang menjadi landasan hukum bagi izin usaha penyediaan sarana wisata alam memang sangat
126
I Made Arya Utama, Op.Cit., h. 105
124
125
potensial terjadi karena begitu banyaknya peraturan perundang-undangan di negara kita yang mengatur satu objek atau substansi yang sama. Pada umumnya ada 6 (enam) faktor yang menyebabkan disharmoni hukum, yaitu sebagai berikut:127 a. Pembentukan dilakukan oleh lembaga yang berbeda dan sering dalam kurun waktu yang berbeda; b. Pejabat yang berwenang untuk membentuk peraturan perundangundangan berganti-ganti baik karena dibatasi oleh masa jabatan, alih tugas atau penggantian; c. Pendekatan sektoral dalam pembentukan peraturan perundang-undangan lebih kuat dibanding pendekatan sistem; d. Lemahnya koordinasi dalam proses pembentukan peraturan perundangundangan yang melibatkan berbagai instansi dan disiplin hukum; e. Akses masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan masih terbatas; f. Belum mantapnya cara dan metode yang pasti, baku dan standar yang mengikat semua lembaga yang berwenang membuat peraturan perundang-undangan. Adanya konflik norma antara suatu peraturan dengan peraturan perundangundangan yang lain, baik secara vertical maupun horizintal seharusnya tidak akan terjadi apabila dilakukan upaya pencegahan sejak dini. Oleh karena itu, pengharmonisasian suatu rancangan peraturan perundang-undangan sebelum ditetapkan menjadi langkah yang sangat penting dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Pengharmonisasian merupakan
salah
satu
dari rangkaian proses
pembentukan peraturan perundang-undangan disamping perencanaan, persiapan, teknik penyusunan, perumusan, pembahasan, pengesahan, pengundangan, dan penyebarluasan. Diantara rangkaian proses tersebut, proses pengharmonisasian 127
A.A. Oka Mahendra, 01 April 2010 Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan diunduh dari URL: http://www.djpp.depkumham.go.id/htn-dan-puu/421-harmonisasi-peraturanperundang-undangan.html, diunduh pada tanggal 14 Juni 2010
126
mempunyai peran yang sangat penting yaitu dimaksudkan agar tidak terjadi atau mengurangi tumpang tindih peraturan perundang-undangan. Untuk itu dapat dikatakan pengharmonisasian peraturan perundang-undangan adalah128 proses yang diarahkan untuk menuju keselerasan dan keserasian antara satu peraturan perundang-undangan dengan peraturan perundang-undangan lainnya, sehingga tidak terjadi tumpang tindih, inkonsistensi atau konflik/perselisihan dalam pengaturan. Dalam kaitannya dengan sistem asas hierarki peraturan perundangundangan sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya maka proses tersebut mencakup harmonisasi semua peraturan perundang-undangan termasuk peraturan daerah baik secara vertikal maupun horisontal. Upaya pengharmonisasian peraturan perundang-undangan dilakukan selain untuk memenuhi amanat Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, juga terdapat 3 (tiga) alasan lain yang menjadi dasar pertimbangan, yaitu:129 1.
Peraturan perundang-undangan merupakan bagian integral dari sistem hukum; Peraturan perundang-undangan sebagai suatu sistem atau sub sistem dari sistem yang lebih besar tentu harus memenuhi ciri-ciri tertentu, yang antara
128
Murti, Muhammad Sapta, “Harmonisasi Peraturan Daerah dengan peraturan perundangundangan lainnya (Analisis Urgensi, Aspek Pengaturan,dan Permasalahan)”, diunduh dari URL: http://www.djpp.depkumham.go.id/htn-dan-puu/422-harmonisasi-peraturan-daerah-denganperaturan-perundang-undangan-lainnya.html diunduh pada tanggal 13 Juni 2010 129 Wicipto Setiadi, “Proses Pengharmonisasian Sebagai Upaya Meningkatkan Kualitas Peraturan Perundang-undangan”, diunduh dari URL: http://www.djpp.depkumham.go.id/htn-danpuu/232-proses-pengharmonisasian-sebagai-upaya-meningkatkan-kualitas-peraturan-perundangundangan.html
127
lain: ada saling keterkaitan dan saling tergantung serta merupakan satu kebulatan yang utuh, disamping ciri-ciri lainnya. Dalam sistem peraturan perundang-undangan yang tersusun secara hierarkis, ciri-ciri tersebut dapat diketahui dari ketentuan Pasal 2, Pasal 3 dan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004. Pasal 2 Undang Nomor 10 Tahun 2004 menentukan bahwa “Pancasila merupakan sumber dari segala sumber hukum negara”. Penjelasan pasal tersebut menjelaskan bahwa “Penempatan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum negara adalah sesuai dengan Pembukaan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menempatkan Pancasila sebagai dasar ideologi negara serta sekaligus dasar filosofi bangsa dan negara, sehingga setiap materi muatan peraturan perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila”. Kemudian Pasal 3 ayat (1) Undang Nomor 10 Tahun 2004 menyatakan bahwa “Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan hukum dasar peraturan perundang-undangan”. Penjelasan Pasal 3 ayat (1) menjelaskan bahwa “Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang memuat hukum dasar negara merupakan sumber hukum bagi pembentukan peraturan perudang-undangan di bawah UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia 1945”. Selanjutnya Pasal 7 ayat (5) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 menentukan bahwa “Kekuatan hukum peraturan perundang-undangan adalah
128
sesuai dengan hierarki peraturan perundang-undangan”. Penjelasan Pasal 7 ayat (5) menentukan bahwa yang dimaksud dengan “hierarki” adalah penjenjangan setiap jenis peraturan perundang-undangan yang didasarkan pada asas bahwa peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Adapun hierarki peraturan perundang-undangan dapat dijumpai dalam Pasal 7 ayat (1), (2), (3) dan (4) yang menyatakan bahwa: (1) Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan adalah sebagai berikut: a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; c. Peraturan Pemerintah; d. Peraturan Presiden; e. Peraturan Daerah. (2) Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e meliputi: a. Peraturan Daerah provinsi dibuat oleh dewan perwakilan rakyat daerah provinsi bersama dengan gubernur; b. Peraturan Daerah kabupaten/kota dibuat oleh dewan perwakilan rakyat daerah kabupaten/kota bersama bupati/walikota; c. Peraturan Desa/peraturan yang setingkat, dibuat oleh badan perwakilan desa atau nama lainnya bersama dengan kepala desa atau nama lainnya. (4) Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi (5) Kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan adalah sesuai dengan hierarki sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Pasal ini merupakan pasal yang terpenting dalam kaitannya dengan harmonisasi peraturan perundang-undangan, terkait dengan peraturan daerah, pasal ini kemudian bertalian dengan ketentuan Pasal 136 ayat (4) UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004 yang menyatakan bahwa “Peraturan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang bertentangan dengan
129
kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi”. Pasal 7 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 ini memberikan gambaran tentang heirarki peraturan perundang-undangan yang merupakan jawaban dari ketentuan Pasal 136 ayat (4) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. Dari hierarki yang ditetapkan dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 10 tahun 2004 maka keberadaan dan substansi peraturan daerah tidak boleh bertentangan
dengan
UUD
NRI
1945,
Undang-Undang,
Peraturan
Pemerintah, dan Peraturan Presiden. Selain itu berkaitan pula dengan Pasal 12 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 menyatakan bahwa “Materi muatan Peraturan
Daerah
adalah
seluruh
materi
muatan
dalam
rangka
penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan, dan menampung kondisi khusus daerah serta penjabaran lebih lanjut peraturan perundangundangan yang lebih tinggi”. Karena peraturan daerah merupakan penjabaran dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi maka materi yang diatur dalam peraturan daerah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan tersebut. Berdasarkan asas hierarki, yang dimaksud dengan peraturan perundangundangan merupakan satu kesatuan sistem yang memiliki ketergantungan, keterkaitan satu dengan yang lain. Untuk itu peraturan daerah dilarang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Dengan demikian hal yang mendasar dalam penyusunan rancangan peraturan daerah adalah kesesuaian dan kesinkronannya dengan peraturan perundangundangan lainnya. Dalam hal terjadi pertentangan antara peraturan daerah
130
dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi maka diperlukan suatu pengharmonisasian. Dari ketentuan di atas, maka dapat dikatakan bahwa terjadi saling keterkaitan dan saling ketergantungan satu peraturan perundang-undangan dengan peraturan perundang-undangan lain yang merupakan satu kebulatan yang utuh. Nilai-nilai Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum negara harus mengalir dalam materi muatan peraturan perundang-undangan. Demikian pula Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan sumber hukum bagi pembentukan peraturan perundangundangan di bawah Undang-Undang Dasar. Peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundangundangan yang lebih tinggi. Pengharmonisasian dilakukan untuk menjaga keselarasan, kemantapan, dan kebulatan konsepsi peraturan perundangundangan sebagai sistem agar peraturan perundang-undangan berfungsi secara efektif. 2.
Peraturan perundang-undangan dapat diuji (judicial review) baik secara materiel maupun formal. Pasal 24 A ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menentukan antara lain bahwa “Mahkamah Agung berwenang menguji peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang terhadap Undang-Undang. Kemudian Pasal 24 C ayat (1) antara lain menentukan bahwa “Mahkamah Konstitusi berwenang menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang
Dasar”.
Berhubung
dengan
itu,
pengharmonisasian
131
rancangan peraturan perundang-undangan sangat strategis fungsinya sebagai uapaya preventif untuk mencegah diajukannya permohonan pengujian peraturan
perundang-undangan
kepada
kekuasaan
kehakiman
yang
berkompeten. Putusan kekuasaan kehakiman dapat menyatakan bahwa suatu materi muatan pasal, ayat, dan/atau bagian dari peraturan perundangundangan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat atau tidak mempunyai dampak yuridis, sosial dan politis yang luas. Karena itu pengharmonisasian suatu peraturan perundang-undangan perlu dilakukan secara cermat dan tepat. 3.
Menjamin proses pembentukan peraturan perundang-undangan dilakukan secara taat asas demi kepastian hukum. Proses pembentukan peraturan perundang-undangan perlu dilakukan secara taat. Asas dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik harus memenuhi berbagai persyaratan yang berkaitan dengan sistem, asas, tata cara penyampaian dan pembahasan, teknis penyusunan serta pemberlakuannya dengan membuka akses kepada masyarakat untuk berpartisipasi. Setidak-tidaknya ada 2 (dua) aspek yang diharmonisasikan pada waktu
menyusun peraturan perundang-undangan, yaitu yang berkaitan dengan aspek konsepsi materi muatan dan aspek teknik penyusunan peraturan perundangundangan.130 1.
Yang berkenaan dengan konsepsi materi muatan peraturan perundangundangan mencakup:
130
Ibid
132
a) Pengharmonisasian konsepsi materi muatan rancangan peraturan perundang-undangan dengan Pancasila. Nilai-nilai Pancasila harus menjadi sumber dalam setiap peraturan perundang-undangan, sehingga nilai-nilai tersebut menjadi aktual dan memberikan batas kepada peraturan perundang-undangan yang bersangkutan. Setiap peraturan perundang-undangan secara substansial semestinya menjabarkan nilainilai Ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan dan keadilan sosial. Pancasila merupakan cita hukum (rechtsidee), cita hukum tidak hanya berfungsi sebagai tolok ukur yang bersifat regulatif, yaitu yang menguji apakah suatu hukum positif adil atau tidak, melainkan juga sekaligus sebagai dasar yang bersifat konstitutif, yaitu yang menentukan bahwa tanpa cita hukum, hukum akan kehilangan maknanya sebagai hukum. b) Pengharmonisan
konsepsi
materi
muatan
rancangan
peraturan
perundang-undangan dengan Undang-Undang Dasar. Materi muatan rancangan peraturan perundang-undangan harus diselaraskan dengan ketentuan Undang-Undang Dasar sebagai hukum dasar negara. Pengharmonisasian rancangan peraturan perundang-undangan dengan Undang-Undang Dasar selain berkaitan dengan pasal-pasal tertentu yang dijadikan dasar pembentukannya dan pasal-pasal yang terkait, juga dengan prinsip-prinsip negara hukum dan negara demokrasi baik di bidang social, politik maupun ekonomi. c) Pengharmonisasian rancangan peraturan perundang-undangan dengan asas pembentukan dan asas materi muatan peraturan perundang-
133
undangan. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 menggolongkan asas peraturan perundang-undangan menjadi 3 (tiga) golongan yaitu: asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, asas materi muatan, dan asas lain sesuai dengan bidang hukum peraturan perundangundangan yang bersangkutan. Ketentuan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 menentukan bahwa “Asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik adalah sebagai berikut: kejelasan tujuan, kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat, kesesuaian antara jenis dan materi muatan, dapat dilaksanakan, kedayagunaan dan kehasilgunaan, kejelasan rumusan, dan keterbukaan”. Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 menentukan bahwa “asas materi muatan peraturan perundang-undangan adalah sebagai berikut: kemanusiaan, kebangsaan, kekeluargaan, kenusantaraan, bhineka tunggal ika, keadilan, kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan, ketertiban kepastian hukum, dan/atau keseimbangan, keserasian, dan kesejahteraan”. Disamping itu masih ada asas lain sesuai dengan bidang hukum yang diatur, misalnya asas legalitas dalam hukum pidana, asas kebebasan berkontrak dalam hukum perdata. Asas hukum adalah penting untuk dapat melihat jalur “benang merah” dari sistem hukum positif yang ditelusuri dan diteliti. Melaluai asas-asas tersebut dapat dicari apa yang menjadi tujuan umum aturan tersebut.
134
Asas peraturan perundang-undangan sangat bermanfaat bagi penyiapan, penyusunan dan pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik. Asas tersebut berfungsi untuk memberi pedoman dan bimbingan dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan. d) Pengharmonisasian materi/muatan rancangan peraturan perundangundangan secara horizontal agar tidak tumpang tindih dan saling bertentangan, karena hal tersebut akan menimbulkan ketidakpastian hukum dan ambiguitas dalam penerapannya. Dalam pelaksanaan pengharmonisasian secara horizontal sudah tentu berbagai peraturan perundang-undangan sederajat yang terkait perlu dipelajari secara cermat agar konsepsi materi muatan peraturan perundang-undangan yang erat berhubungan satu sama lain selaras. Pembentuk peraturan perundangundangan tentu perlu melakukan koordinasi dengan instansi yang terkait, yang secara substansial menguasai materi muatan suatu peraturan perundang-undangan dan keterkaitannya dengan peraturan perundangundangan lain. e) Pengharmonisasian materi muatan rancangan peraturan perundangundangan dengan konvensi/perjanjian internasional. Konvensi/ perjanjian internasional juga harus diperhatikan agar peraturan perundang-undangan nasional tidak bertentangan dengan konvensi/perjanjian internasional, terutama yang telah diratifikasi oleh Negara Indonesia. f)
Pengharmonisasian rancangan peraturan perundang-undangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi atau Mahkamah Agung atas pengujian
135
terhadap peraturan perundang-undangan. Putusan Mahkamah Konstitusi atau Mahkamah Agung atas pengujian terhadap peraturan perundangundangan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap harus dipertimbangkan oleh perancang peraturan perundang-undangan dalam menyusun peraturan perundang-undangan. g) Hal yang tidak kalah pentingnya adalah pengharmonisasian rancangan peraturan perundang-undangan dengan teori hukum, pendapat para ahli (dogma), yurisprudensi, hukum adat, norma-norma tidak tertulis, rancangan peraturan perundang-undangan, rancangan pasal demi pasal dalam peraturan perundang-undangan yang bersangkutan, dan kebijakankebijakan yang terkait dengan peraturan perundang-undangan yang akan disusun. 2.
Teknik penyusunan peraturan perundang-undangan baik menyangkut kerangka peraturan perundang-undangan, hal-hal khusus, ragam bahasa dan bentuk peraturan perundang-undangan. Teknik penyusunan peraturan perundang-undangan tertuang dalam lampiran Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004. Pengabaian terhadap teknik penyusunan peraturan perundangundangan akibatnya memang tidak sefatal pengabaian keharusan harmonisasi atas susbtansi peraturan perundang-undangan. Pengabaian terhadap teknik penyusunan peraturan perundang-undangan, tidak dapat menjadi alasan batalnya peraturan perundang-undangan atau alasan untuk melakukan yudicial review. Apabila kita mengabaikan teknik penyusunan peraturan
136
perundang-undangan, maka peraturan perundang-undangan tersebut kurang baik dalam segi penyusunan. Dengan demikian dalam proses harmonisasi diperlukan ketelitian, kecermatan, dan keakuratan dalam mengidentifikasikan peraturan perundangundangan yang terkait, analisis norma-norma yang dinilai bersesuaian atau bertentangan. Dalam proses tersebut perlu dipastikan prinsip-prinsip peraturan perundang-undangan yang harus dipegang teguh oleh para penyusun misalnya bahwa Rancangan Peraturan daerah dibuat untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah maka rancangan peraturan daerah tidak dapat mengatur sesuatu hal yang melebihi amanat peraturan pemerintah tersebut. Internalisasi pengharmonisasian hukum dalam proses pembetukan peraturan perundang-undangan tingkat pusat telah diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan, diantaranya diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 68 Tahun 2005 yang mengatur tentang pembentukan Panitia Antardepartemen, pengajuan surat permintaan keanggotaan Panitia Antardepartemen kepada Menteri dan menteri/pimpinan lembaga terkait; dan penegasan keikutsertaan wakil dari Kementerian yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang peraturan perundang-undangan dalam setiap Panitia Antardepartemen dimaksudkan untuk melakukan
pengharmonisasian
Rancangan
Undang-Undang
dan
teknik
perancangan perundang-undangan. Dalam Peraturan Presiden tersebut juga diatur mengenai teknik-teknik pelaksanaan pengharmonisasian termasuk mekanisme penyelesaian dalam hal terdapat perbedaan. Dalam Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2005 diatur mengenai pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan
137
konsepsi Rancangan Undang-Undang dalam Pasal 14 sampai dengan Pasal 17, yang pada intinya menentukan bahwa Rancangan Undang-Undang sebelum dimintakan persetujuan Presiden sebagai Prolegnas terlebih dahulu dilakukan pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi Rancangan UndangUndang. Berbeda hal nya dengan peraturan di tingkat daerah yang hingga saat ini belum memiliki landasan hukum tentang internalisasi pengharmonisasian dalam proses pembentukan peraturan daerah. Hal ini tentunya membawa potensi besar bagi adanya peraturan daerah yang bertentangan dengan peraturan perundangundangan yang lebih tinggi. Dengan demikian harmonisasi Rancangan peraturan daerah dengan peraturan perundang-undangan perlu didukung oleh aturan yang jelas dan tegas apabila dikehendaki untuk senantiasa diintergrasikan sebagai syarat
formal
penyusunan
peraturan
daerah
seperti
halnya
proses
pengharmonisasian, pemantapan, dan pembulatan konsepsi Rancangan UndangUndang, Rancangan Peraturan Pemerintah, Rancangan Peraturan Presiden, termasuk Rancangan Instruksi Presiden yang dilaksanakan sesuai Peraturan Presiden Nomor 68 Tahun 2005 tentang Tata Cara Mempersiapkan RUU, Rperppu, RPP, dan RanPrepres, dan Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2005 tentang Prolegnas. Model pengharmonisasian peraturan perundang-undangan ditingkat Pusat dapat diadaptasi dalam proses penyusunan peraturan daerah dan dimungkinkan untuk dibuatkan payung hukumnya berdasar pada ketentuan Pasal 18 ayat (3) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 bahwa tata cara mempersiapkan
138
rancangan perda yang berasal dari gubernur, bupati/walikota diatur dengan Peraturan Presiden.131 Perpres ini semestinya segera dibentuk karena ada kemungkinan daerah mengabaikan harmonisasi Raperda dengan peraturan perundang-undangan lainnya dengan alasan tidak ada dasar hukum dan pedoman teknis yang cukup kuat selama Perpres tersebut belum ditetapkan.132 Pentingnya pengaturan pengharmonisasian bagi Raperda diatur dalam Perpres tersebut agar selaras dengan pengaturan di DPRD dalam Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2010 dimana Pasal 53 Peraturan Pemerintah tersebut mengatur bahwa Badan Legislasi Daerah bertugas melakukan pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi rancangan peraturan daerah yang diajukan anggota, komisi dan/atau gabungan komisi sebelum rancangan peraturan daerah tersebut disampaikan kepada pimpinan DPRD. Ketentuan Pasal 53 Peraturan Pemerintah tersebut
sesuai
dengan
ketentuan
pengharmonisasian,
pembulatan,
dan
pemantapan konsepsi di DPR sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 dimana proses tersebut melekat dalam tugas dari Badan Legislasi. 4.2. Upaya Pemerintahan Daerah dalam Memberi Kepastian Hukum terkait Adanya Konflik Norma dalam Pengaturan Izin Pengusahaan Bagi Pondok Wisata pada Kawasan Taman Wisata Alam Peraturan perundang-undangan sebagai hukum tertulis yang sangat penting dalam sistem hukum kita dan mengikat publik haruslah mengandung kepastian, sehingga akibat dari tindakan tertentu yang sesuai atau yang bertentangan dengan hukum dapat diprediksi. Dengan demikian peraturan perundang-undangan dapat 131 Supriadi, “Harmonisasi Perda Dengan Peraturan Perundang-undangan Lainnya”, diunduh dari URL: http://excellent-lawyer.blogspot.com/2010/04/harmonisasi-perda-denganperaturan.html, diunduh pada tanggal 16 Juni 2010 132 Ibid
139
menjadi sarana yang penting untuk menjaga hubungan yang sinergis antarwarga masyarakat dan antara warga masyarakat dengan pemerintah untuk mewujudkan tujuan bersama secara dinamis, tetapi tertib dan teratur. Namun pada kenyataanya disharmonisasi hukum berupa konflik norma masih dapat dijumpai yaitu dalam peraturan perundang-undangan yang terkait dengan izin usaha penyediaan sarana wisata alam. Terhadap adanya pertentangan/konflik norma antara suatu peraturan dengan peraturan perundang-undangan lain yang lebih tinggi maka dapat dilakukan pengujian peraturan perundang-undangan. Pengujian peraturan perundangundangan secara terminologi bahasa terdiri dari perkataan pengujian dan peraturan perundang-undangan. Pengujian berasal dari kata ‘uji’ yang memiliki arti percobaan untuk mengetahui mutu sesuatu, sehingga ‘pengujian’ diartikan sebagai proses, cara, perbuatan menguji. Sedangkan peraturan perundangundangan berdasarkan Pasal 1 angka 2 UU No. 10 Tahun 2004 diartikan sebagai peraturan tertulis yang dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang yang mengikat secara umum. Dengan demikian, pengujian peraturan perundang-undangan dapat diartikan sebagai proses untuk menguji peraturan tertulis baik yang dibentuk oleh lembaga negara maupun pejabat yang berwenang yang memiliki kekuatan mengikat secara umum. Dalam perspektif pengujian peraturan perundang-undangan di Indonesia dikenal adanya 2 (dua) peristilahan, yaitu toetsingsrecht dan kontrol normatif. Pada umumnya istilah toetsingsrecht diartikan sebagai hak atau kewenangan untuk menguji atau hak uji. Pengertian menguji atau melakukan pengujian
140
merupakan proses untuk memeriksa, menilai, dan memutuskan objeknya. Pemahaman menguji atau melakukan pengujian dalam perspektif toetsingsrecht adalah memeriksa, menilai dan memutuskan terhadap tingkat konstitusionalitas suatu peraturan perundang-undangan terhadap peraturan perundang-undangan yang derajatnya lebih tinggi oleh suatu lembaga negara yang oleh undang-undang dasar dan/atau oleh undang-undang diberikan kewenangan.133 Pengertian toetsingsrecht memang cukup luas sehingga peristilahan yang timbul tergantung dengan subjek dan objek dalam pengujian tersebut. Jika hak atau kewenangan menguji diberikan kepada lembaga kekuasaan kehakiman maka proses pengujiannya disebut sebagai judicial review atau pengujian oleh lembaga judicial atau pengadilan. Namun jika pengujian dilakukan bukan oleh lembaga peradilan maka hal itu tidak dapat disebut dengan judicial review. Sebutan yang tepat tergantung kepada lembaga yang melakukan pengujian.134 Apabila pengujian itu dilakukan oleh lembaga legislatif maka proses pengujian tersebut disebut sebagai legislative review. Demikian pula jika pengujian tersebut dilakukan oleh lembaga eksekutif maka pengujian semacam itu disebut sebagai executive review. Oemar Seno Adjie mengartikan legislative review sebagai peninjauan kembali produk hukum oleh lembaga pembuatnya, yaitu Presiden bersama-sama dengan DPR. Dalam praktik ketatanegaraan Indonesia legilatif review ini pernah dilakukan melalui ketetapan MPRS No. XIX/MPR/1966 yang menugaskan 133
Sri Soemantri Martosoewignjo dalam Zainal Arifin Hoesein, 2009, Judicial Review Mahkamah Agung RI, Tiga Dekade Pengujian Peraturan Perundang-undangan, Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 39 134 Jimly Asshiddiqie, 2006, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, Konstitusi Press, Jakarta Pusat, h. 1-2
141
kepada Pemerintah bersama-sama DPR untuk mengadakan peninjauan kembali (legislative review) terhadap produk hukum legislatif (Presiden dan DPR). Dalam hal executive review, hak atau kewenangan untuk menguji diberikan kepada lembaga eksekutif atau kepada pemerintah. Hal ini misalnya UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004 yang menentukan bahwa “Menteri diberi kewenangan untuk membatalkan peraturan daerah yang dinilai bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi”,135 dimana dalam rangka pengawasan Menteri Dalam Negeri diberikan kewenangan untuk menguji peraturan daerah terhadap peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Pemerintah Pusat dalam hal ini Menteri Dalam Negeri, diberi kewenangan untuk menyatakan batal atau membatalkan berlakunya peraturan daerah yang dibentuk oleh Kepala Daerah (Gubernur, Bupati, atau Walikota) dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Provinsi, Kabupaten/Kota). Mekanisme ini disebut sebagai mekanisme pengujian juga, tetapi tidak dilakukan oleh lembaga kehakiman (judiciary) ataupun legislator melainkan oleh lembaga pemerintahan eksekutif tingkat atas (pusat). 136 Selanjutnya toetsingsrecht dalam arti judicial review dapat dilakukan manakala prinsip kekuasaan negara menganut pemisahan kekuasaan atau separation of power dan checks and balances. Judicial review merupakan bagian dari prinsip kontrol secara judicial atas produk peraturan perundang-undangan agar tidak bertentangan dengan norma hukum secara hierarkis. Menurut Jimly jika
135 Fatmawati, 2005, Hak Menguji (Toetsingsrecht) yang Dimiliki Hakim dalam Sistem Hukum Indonesia, RajaGrafindo Persada, Jakarta, h. IX 136 Jimly Asshiddiqie, 2006, Model-Model Pengujian Konstitusional di Berbagai Negara, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MKRI, Jakarta Pusat, h. 74
142
objek yang diuji adalah undang-undang terhadap UUD maka hal tersebut disebut sebagai constitutional review, tetapi jika peraturan di bawah undang-undang terhadap undang-undang maka disebut sebagai legal review. Berdasarkan Pasal 24C UUD NRI 1945 pengujian undang-undang terhadap UUD dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi, sedangkan berdasarkan Pasal 24A UUD NRI pengujian peraturan di bawah undang-undang terhadap undang-undang dilakukan oleh Mahkamah Agung. Pengujian peraturan perundang-undangan dalam perspektif kontrol normatif diartikan sebagai suatu mekanisme penyelarasan norma hukum oleh lembaga negara karena adanya usulan atau desakan masyarakat terhadap berbagai produk hukum yang dihasilkan oleh lembaga negara yang diberikan kewenangan oleh konstitusi untuk melakukan tugas itu. Sebagai kontrol normatif, maka pengujian dapat dilakukan oleh lembaga pembuatnya sendiri atau juga dapat dilakukan oleh lembaga di luar lembaga pembuat peraturan tersebut. Apabila pengujian dilakukan oleh lembaga pembuatnya dapat disebut pengujian internal atau pengawasan internal, tetapi jika yang melakukan pengujian adalah lembaga di luar lembaga pembuatnya dapat disebut pengujian eksternal atau pengawasan eksternal.137 Lembaga pembuat peraturan perundang-undangan dimungkinkan menguji produk hukumnya sendiri. Apabila kewenangan pembentukan peraturan perundang-undangan dilekatkan pada legislatif maka kontrol normatif pengujian tersebut disebut legislative review. Apabila kewenangan pembentukan peraturan
137
Paulus Effendi Lotulung dalam Zainal Arifin Hoesein h. 57
143
tersebut adalah eksekutif atau pemerintah, maka kontrol normatif pengujian tersebut disebut executive review. Dalam kaitannya dengan pengujian peraturan perundang-undangan dalam pespektif toetsingsrecht maka terhadap konflik norma yang terjadi antara Perda Provinsi Bali Nomor 16 Tahun 2009 dengan Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2010 jo. Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2007 jo. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 maka pengujian dapat dilakukan oleh 2 (dua) lembaga yaitu Mahkamah Agung dan Menteri Dalam Negeri, a. Executive Review oleh Departemen Dalam Negeri Executive review perda dilakukan oleh pemerintah c.q Departemen Dalam Negeri merupakan pengujian peraturan (toetzingrecht)
yang
lahir
dari
kewenangan pengawasan pemerintah pusat terhadap penyelenggaraan (otonomi) pemerintahan daerah. Sebagai konsekuensi dari penerapan asas desentralisasi adalah daerah memiliki kebebasan dan kemandirian dalam mengatur dan mengurus urusan pemerintahan yang telah menjadi kewenangannya. Namun demikian,
kebebasan dan kemandirian daerah dalam mengatur urusan
pemerintahan itu harus tetap dalam ikatan negara kesatuan. Untuk menjaga agar kebebasan itu tidak keluar dari ikatan negara kesatuan maka diperlukan pengawasan sebagai media kontrol terhadap pemerintah daerah. Pengawasan dilaksanakan sebagai suatu usaha preventif atau juga untuk memperbaikinya apabila terjadi kekeliruan sebagai tindakan represif. Dalam hal pengawasan represif Pemerintah Pusat mempunyai kewenangan untuk menguji dan membatalkan peraturan yang dibentuk oleh pemerintah daerah apabila
144
bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Dengan demikian pengujian yang dilakukan oleh pemerintah pusat terhadap suatu peraturan daerah adalah dalam rangka pengawasan pemerintah pusat terhadap pemerintahan daerah. Dalam rangka pengawasan terhadap peraturan daerah, pemerintah pusat dapat melakukan 2 (dua) macam pengawasan yaitu pengawasan preventif dan pengawasan represif. 138 Pengawasan preventif dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri disebut dengan executive preview, sedangkan dalam hal pengawasan represif disebut sebagai executive review. Executive preview adalah pengujian yang dilakukan oleh pemerintah eksekutif terhadap rancangan peraturan daerah. Jadi, dalam hal executive preview, yang menjadi bahan pengujian adalah rancangan peraturan daerah yang belum diberlakukan atau belum diundangkan. Sedangkan executive review adalah pengujian yang dilakukan pemerintah eksekutif terhadap peraturan daerah yang sudah berlaku. Pengawasan preventif dilakukan terhadap rancangan perda yang bermuatan APBD, pajak daerah dan retribusi daerah serta perda tata ruang.139 Pengawasan preventif terhadap rancangan perda APBD, pajak daerah dan retribusi daerah serta tata ruang kabupaten/kota dilakukan oleh gubernur, sedangkan Pengawasan preventif terhadap rancangan perda APBD, pajak daerah dan retribusi daerah serta tata ruang provinsi dilakukan oleh pemerintah (pusat).140 Selanjutnya pengawasan
138
Irawan Soejito, 1984, Hubungan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, Bina Aksara, Jakarta, h. 201 139 Nazad na Komunitas Hukum Tata Negara Indonesia, “Analisis Normatif Evaluasi Dan Pengujian Peraturan Daerah Oleh Pemerintah Pusat”, diunduh dari URL: http://bsba.facebook.com/group.php?gid=68003490816 diunduh pada tanggal 17 September 2010. 140 Hanif Nucholis, Op.Cit., h. 325
145
represif dilakukan terhadap seluruh perda yang sudah dibuat oleh pemerintah daerah, termasuk perda yang pada dasarnya sudah dilakukan pengawasan preventif. Pengujian peraturan daerah oleh pemerintah ini dilakukan dengan melibatkan beberapa lembaga, yaitu Departemen Dalam Negeri, Departemen Keuangan terhadap perda bermuatan keuangan, Kementerian Pekerjaan Umum terhadap perda tata ruang, serta departemen sektoral sumberdaya alam terhadap perda yang bermuatan sumberdaya alam. Tidak jarang proses evaluasi/pengujian perda oleh pemerintah dilakukan lintas departemen yang dikoordinasikan oleh Departemen Dalam Negeri selaku ‘pembina’ pemerintah daerah. Pengujian peraturan daerah merupakan kewenangan pemerintah dalam rangka pengawasan terhadap penyelenggaraan otonomi daerah oleh pemerintah daerah. Pengujian peraturan daerah oleh pemerintah atau yang dalam pengujian peraturan dikenal dengan istilah executive review lahir dari kewenangan pengawasan pemerintah pusat terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah. Dalam rangka pengawasan daerah Pasal 145 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 memberikan perintah bahwa peraturan daerah yang dibuat oleh DPRD bersama Kepala Daerah agar disampaikan kepada Pemerintah paling lama 7 (tujuh) hari setelah ditetapkan. Selanjutnya Pasal 145 ayat (2) menyatakan bahwa “Peraturan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dapat dibatalkan oleh Pemerintah.” Kemudian dalam Pasal 145 ayat (3) menyebutkan bahwa “Keputusan pembatalan Peraturan daerah sebagaimana dimaksud ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Presiden paling lama 60 (enam
146
puluh) hari sejak diterimanya Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)”.
Selanjutnya
Pasal
145
ayat
(4)
menyebutkan
bahwa
“Apabila
provinsi/kabupaten/kota tidak dapat menerima keputusan pembatalan Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dengan alasan yang dapat dibenarkan
oleh
peraturan
perundang-undangan,
Kepala
Daerah
dapat
mengajukan keberatan kepada Mahkamah Agung”. b. Judicial Review oleh Mahkamah Agung Erat kaitannya dengan fungsi Mahkamah Agung yang bersifat yudisial, kewenangan Mahkamah Agung melakukan pengujian peraturan perundangundangan lahir dari kewenangan yang disebut judicial review. Dalam keadaan demikian, maka Mahkamah Agung adalah lembaga kehakiman yang diberi tugas menyelesaikan konflik norma yang timbul dari lahirnya suatu produk peraturan perundang-undangan. Dalam menjalankan fungsi demikian itu, Mahkamah Agung bersifat pasif menunggu diajukannya permohonan keberatan dari para pihak yang berkepentingan di daerah. Pengujian peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang terhadap Undang-Undang, dilakukan oleh Mahkamah Agung dalam menjalankan kekuasaan kehakiman sebagai kewenangan atributif yang ditentukan dalam: 1. Pasal 24A ayat (1) UUD 1945; 2. Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan; 3. Pasal 11 ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman; 4. Pasal 31 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No.14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung;
147
5. Pasal 31A Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung; dan 6. Pasal 1 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2004 tentang Hak Uji Materiil. Dalam ketentuan aturan tersebut, Mahkamah Agung berwenang melakukan pengujian terhadap peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang yang mengalami konflik norma dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Kewenangan melakukan pengujian peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang terhadap Undang-Undang oleh Mahkamah Agung tersebut kemudian dikenal dengan istilah judicial review atau pengujian peraturan perundang-undangan oleh lembaga kehakiman. Apabila dikaitkan dengan jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan yang diatur dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004, maka Mahkamah Agung memiliki kewenangan menguji terhadap Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, dan Peraturan Daerah.
Kewenangan Mahkamah Agung
melakukan pengujian terhadap tiga jenis peraturan di atas didasarkan atas standar atau ukuran yaitu adanya pertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, atau pembentukannya tidak memenuhi ketentuan yang berlaku. Ketentuan mengenai hal tersebut dapat dilihat dalam Pasal 31 A ayat (3) huruf b Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas UndangUndang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, yang menyatakan bahwa: Uraian mengenai perihal yang menjadi dasar permohonan dan menguraikan dengan jelas bahwa:
148
1) materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian peraturan perundangundangan di bawah undang-undang dianggap bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi; dan/atau 2) pembentukan peraturan perundang-undangan tidak memenuhi ketentuan yang berlaku;” Dasar permohonan pada bagian pertama dikenal dengan istilah pengujian aspek materiil (materiele toetsingsrecht).
Dalam hal ini Mahkamah Agung
mempunyai wewenang untuk menyelidiki dan kemudian menilai, apakah suatu produk hukum isinya sesuai dengan Peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi derajatnya. Sedangkan pada bagian kedua, dikenal dengan istilah pengujian aspek formil (formele toetsingsrecht) dalam hal ini Mahkamah Agung memiliki wewenang untuk menilai apakah suatu produk hukum telah dibuat melalui caracara (procedure) sebagaimana telah ditentukan/diatur dalam peraturan perundangundangan. Terkait dengan adanya suatu konflik norma yang terjadi maka apabila suatu materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dari isi suatu peraturan bertentangan dengan perundang-undangan yang lebih tinggi, sesuai dengan ketentuan Pasal 31 ayat (2) dan ayat (4) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 peraturan perundangundangan tersebut tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Adapun bunyi ketentuan Pasal 31 ayat (2) menyatakan bahwa “Mahkamah Agung menyatakan tidak sah peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang atas alasan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau pembentukannya tidak memenuhi ketentuan yang berlaku.” Selanjutnya dalam ayat (4) menyatakan bahwa “Peraturan perundang-undangan yang dinyatakan tidak sah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak mempunyai
149
kekuatan hukum mengikat.” Dimungkinkan dapat terjadi dalam proses pengujian Mahkamah Agung hanya menemukan satu ayat, atau satu pasal, atau satu bagian materi muatan dalam peraturan perundang-undangan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Apabila hal ini terjadi, maka seluruh materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dari Peraturan Daerah dianggap tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Untuk
melaksanakan
kewenangan
pengujian
peraturan
perundang-
undangan, Mahkamah Agung telah menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2004 tentang Hak Uji Materiil. Dalam pasal 2 ayat (4) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2004 ditentukan bahwa “Permohonan keberatan diajukan dalam tenggang waktu 180 hari (seratus delapan puluh) hari sejak ditetapkan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan.” Batasan waktu membawa konsekuensi terbatasnya hak warga negara untuk mengajukan permohonan pengujian peraturan perundang-undangan yang dianggap bermasalah di kemudian hari setelah 180 hari yang dibatasi oleh Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2004 tersebut. Hal yang perlu dicermati sebagai kelemahan dari penyelesaian konflik norma melalui judicial review di Mahkamah Agung. Dari uraian tersebut diketahui bahwa baik executive review yang dilakukan oleh Departemen Dalam Negeri maupun judicial review oleh Mahkamah Agung masing-masing memiliki tenggang waktu pengujian, dalam rangka pengawasan represif ditetapkan bahwa Peraturan Daerah yang dibuat oleh DPRD bersama Kepala Daerah agar disampaikan kepada Pemerintah paling lama 7 (tujuh) hari setelah
ditetapkan,
selanjutnya
keputusan
pembatalan
peraturan
daerah
150
sebagaimana dimaksud ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Presiden paling lama 60 (enam puluh) hari sejak diterimanya peraturan daerah. Sehingga setelah batas waktu yang ditetapkan tersebut pemerintah pusat tidak lagi mempunyai kewenangan untuk menguji peraturan daerah. Demikian pula dengan judicial review oleh Mahkamah Agung juga memiliki batas waktu pengajuan permohonan keberatan kepada Mahkamah Agung yaitu dalam tenggang waktu 180 hari sejak ditetapkan peraturan perundang-undangan yang akan diajukan permohonan judicial review. Dengan adanya batas waktu tersebut maka telah tertutup upaya pengujian baik terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2010 maupun terhadap Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 16 Tahun 2009. Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2010 ditetapkan pada tanggal 12 Februari 2010, sehingga tidak dapat diajukan permohonan keberatan kepada Mahkamah Agung. Demikian pula terhadap Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 16 Tahun 2009 yang ditetapkan pada tanggal 28 Desember 2009 telah melewati batas waktu untuk dapat diuji melaui executive review maupun judicial review. Keadaan yang demikian tidak dapat dibiarkan, karena dari adanya konflik norma peraturan perundang-undangan ini dapat mengakibatkan beberapa dampak berupa: a. Terjadinya perbedaan penafsiran dalam pelaksanaannya; b. Timbulnya ketidakpastian hukum; c. Peraturan perundang-undangan tidak terlaksana secara efektif dan efisien; d. Disfungsi hukum, artinya hukum tidak dapat berfungsi memberikan pedoman berperilaku kapada masyarakat.
151
Selain
pengujian
peraturan
perundang-undangan
dalam
pespektif
toetsingsrecht maka terhadap Perda Provinsi Bali No. 16 Tahun 2009 juga dapat dilakukan upaya kontrol normatif. Kontrol normatif secara internal dilakukan oleh lembaga pembuat perda itu sendiri, yaitu Gubernur bersama DPRD. Sedangkan control normatif secara eksternal dapat dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri dan Mahkamah Agung, namun sebagaimana telah diuraikan sebelumnya telah tertutup upaya pengujian Perda No. 16 Tahun 2009 oleh Menteri Dalam Negeri maupun Mahkamah Agung karena terbentur dengan adanya batas waktu untuk dapat diujinya Perda tersebut. Oleh karena itu dibutuhkan adanya upaya pro aktif dari pemerintahan daerah untuk mengevaluasi produk hukumnya sendiri yang tengah mengalami konflik norma dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau yang disebut sebagai kontrol internal. Dalam pengujian peraturan yang dilakukan oleh lembaga yang membuatnya sendiri, maka perlu dibedakan antara legislative act dan executive act. Yang pertama, yaitu legislative act, adalah peraturan-peraturan yang ditetapkan oleh lembaga legislatif atau melalui proses legislasi, sedangkan yang kedua (executive act) merupakan peraturan-peraturan yang murni ditetapkan oleh lembaga atau instansi pemerintah eksekutif. Dalam struktur peraturan perundang-undangan berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004, yang dapat disebut sebagai produk legislatif adalah Undang-Undang dan peraturan daerah. Sementara itu, peraturan dibawah undang-undang seperti peraturan pemerintah, peraturan presiden, peraturan menteri, peraturan gubernur dan lainnya merupakan bentuk peraturan yang ditetapkan oleh lembaga eksekutif (executive
152
act). Legislative act dapat dinilai, diuji, dan direvisi oleh lembaga yang membuatnya sendiri sesuai dengan keperluan melalui prosedur legislative review. Begitu pula terhadap executive act dapat dinilai, diuji, dan direvisi oleh lembaga yang membuatnya sendiri sesuai dengan keperluan melalui prosedur executive review.141 Adapun tidak lanjut yang dapat dilakukan terkait mekanisme executive review maupun legislative review adalah dengan merubah atau mencabut peraturan perundang-undangan yang mengalami konflik norma. 1.
Perubahan Peraturan Perundang-undangan. Perubahan suatu perundang-undangan dilakukan apabila terdapat ketentuan-
ketentuan dalam peraturan perundang-undangan tersebut yang telah tidak sesuai lagi dengan situasi atau kondisi yang berlaku dalam masyarakat. Perubahan suatu peraturan perundang-undangan dapat meliputi hal-hal sebagai berikut:142 a. Menambah atau menyisipkan ketentuan baru, menyempurnakan atau mengapus ketentuan yang sudah ada baik yang berbentuk Bab, Bagian, Paragraf, Pasal, ayat, maupun perkataan, angka, huruf, tanda baca dan lain-lainnya. b. Mengganti suatu ketentuan dengan ketentuan lain, baik yang berbentuk Bab, Bagian, Paragraf, Pasal, ayat, maupun perkataan, angka, huruf, tanda baca dan lain-lainnya. Perlu diperhatikan pula bahwa perubahan terhadap suatu peraturan tidak boleh mengakibatkan: 141
Fatmawati, Op.Cit., h. X-XII Maria Farida Indrati Soeprapto, 2007, Ilmu Perundang-undangan, Proses dan Teknik Perubahannya, Buku 2, Kanisius, Yogyakarta, h179 142
153
a. perubahan sistematika peraturan yang dirubah; b. perubahan terhadap lebih dari 50% materi peraturan atau perubahan terhadap esensi peraturan yang dirubah. Bila terjadi perubahan seperti butir a dan b, maka sebaiknya peraturan tersebut dicabut dan disusun kembali dalam peraturan perundang-undangan yang baru mengenai masalah tersebut. 2.
Pencabutan Peraturan Perundang-undangan Berdasarkan Lampiran Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 suatu
pencabutan perundang-undangan dilakukan jika peraturan perundang-undangan yang lama tidak diperlukan lagi dan diganti dengan peraturan perundangundangan yang baru, peraturan perundang-undangan yang baru harus secara tegas mencabut peraturan perundang-undangan yang tidak diperlukan itu. Ada 2 (dua) jenis pencabutan peraturan perundang-undangan, yaitu:143 a. Pencabutan dengan penggantian. Suatu pencabutan dengan penggatian terjadi apabila suatu peraturan perundang-undangan yang ada digantikan dengan suatu peraturan perundangundangan yang baru dan sederajat. b. Pencabutan tanpa penggantian Pencabutan tanpa penggantian adalah mencabut peraturan perundangundangan yang ada melalui peraturan perundang-undangan yang sederajat tanpa disertai dengan penggantian terhadap peraturan yang dicabut.
143
Ibid
154
Terkait uraian tersebut maka upaya yang dapat dilakukan oleh Pemerintah Pemerintahan Daerah untuk menjamin adanya suatu kepastian hukum adalah dengan melakukan legislative review oleh Gubernur dan DPRD terhadap Perda Provinsi Bali No. 16 Tahun 2009, dimana hasil dari legislative review tersebut berupa perubahan terhadap ketentuan Pasal yang mengalami konflik norma. Perubahan dilakukan dengan mengganti bunyi ketentuan pasal yang mengalami disharmonisasi dengan menerapkan asas preferensi, yaitu dengan merubah ketentuan Pasal 109 ayat (5) Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 16 Tahun 2009.
Dalam mengadakan perubahan terhadap suatu perundang-undangan,
terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan adalah sebagai berikut:144 a. Perubahan suatu perundang-undangan dilakukan oleh pejabat yang berwenang membentuknya, berdasarkan pada prosedur yang berlaku, dan dengan suatu peraturan-perundang-undangan yang sejenis (atau setingkat); b. Perubahan suatu peraturan perundang-undangan diharapkan dilakukan secara baik tanpa mengubah sistematika dari peraturan perundangundangan yang diubah; c. Dalam suatu perubahan, perumusan Judul hendaknya disebut peraturan perundang-undangan mana yang diubah dan untuk perubahan yang kedua kali dan selanjutnya disebutkan dengan jelas perubahan yang keberapa kalinya.
144
Ibid, h. 180-181
155
d. Dalam konsiderans dari peraturan perundang-undangan yang diubah harus dikemukakan alasan-alasan atau pertimbangan-pertimbangan lainnya mengapa peraturan yang bersangkutan perlu diadakan perubahan; e. Batang tubuh suatu peraturan perundang-undangan yang diubah hanya terdiri dari 2 (dua) pasal yang ditulis dengan angka romawi. Dalam kedua pasal tersebut dimuat ketentuan sebagai berikut: 1) Pasal I memuat segala sesuatu perubahan dengan diawali penyebutan peraturan perundang-udangan yang diubah dan urutan perubahan-perubahan tersebut hendaknya ditulis dengan angka arab 1, 2, 3 dan selanjutnya; 2) Pasal II memuat ketentuan mengenai mulai berlakunya peraturan perubahan tersebut. f. Apabila suatu peraturan perundang-undangan sudah mengalami perubahan berulang lagi, maka sebaiknya peraturan perundang-undangan tersebut dicabut dan diganti dengan peraturan perundang-undangan yang baru; g. Apabila pembuat peraturan perundang-undangan berniat mengubah suatu peraturan
perundang-undangan
secara
besar-besaran,
maka
demi
kepentingan pemakai peraturan perundang-undangan tersebut dipandang lebih baik apabila dibentuk peraturan perundang-undangan yang baru.
156
BAB V PENUTUP
5.1. Simpulan Berdasarkan uraian pembahasan yang telah dikemukakan sebelumnya, maka simpulan yang dapat ditarik terhadap kedua permasalahan yang di bahas adalah: 1. Usaha pondok wisata dapat dilaksanakan hanya pada blok pemanfaatan
kawasan taman wisata alam. Usaha tersebut dapat diselenggarakan apabila pemrakarsa usaha (pemohon izin dalam hal ini dibatasi hanya Badan Hukum dan Koperasi) telah memperoleh izin usaha penyediaan sarana wisata alam dari Menteri Kehutanan. Untuk memperoleh izin tersebut pemrakarsa usaha harus mengajukan permohonan yang telah dilengkapi dengan persyaratan yang telah ditetapkan oleh pemerintah. 2. Bahwa adapun upaya yang dapat dilakukan oleh Pemerintahan Daerah untuk memberi kepastian hukum terkait adanya konflik norma dalam pengaturan izin pengusahaan bagi pondok wisata pada kawasan taman wisata alam adalah dengan melakukan legislative review oleh Gubernur dan DPRD terhadap Perda Provinsi Bali No. 16 Tahun 2009. Hasil legislative review tersebut berupa perubahan ketentuan pasal yang bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi yaitu terhadap Pasal 109 ayat (5) Perda Provinsi Bali No. 16 Tahun 2009 dan Pasal 14 ayat (1) huruf d PP No. 36 Tahun 2010.
156
157
5.2. Saran Beberapa saran yang dapat disampaikan berkenaan dengan hasil pembahasan terhadap kedua permasalahan yang dikaji dalam tesis ini adalah:. 1. Untuk menghindari potensi terjadinya konflik norma antara perda dengan peraturan di atasnya maka perlu segera dibentuk peraturan presiden
yang
memberi
landasan
hukum
bagi
internalisasi
pengharmonisasian dalam proses pembentukan perda. 2. Hendaknya pemerintah memiliki konsep paradigma berpikir yang peduli terhadap lingkungan yang dicerminkan dalam pembentukan regulasi yang tepat terkait pengelolaan kawasan taman wisata alam, dimana pemanfaatan kawasan seharusnya sesuai dengan fungsi dari kawasan tersebut, sehingga dalam kawasan taman wisata alam yang memiliki kedudukan sebagai kawasan lindung sebaiknya tidak diperbolehkan adanya kegiatan pembangunan sarana akomodasi pariwisata.
158
DAFTAR PUSTAKA 1.BUKU Anonim, 2003, Pedoman Penulisan Usulan Penelitian dan tesis Program Studi Magister Ilmu Hukum Program Pasca Sarjana Universitas Udayana, Program Pasca Sarjana Universitas Udayana, Denpasar Asshiddiqie, Jimly 2006, Model-Model Pengujian Konstitusional di Berbagai Negara, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MKRI, Jakarta Pusat __________, 2006, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, Konstitusi Press, Jakarta Pusat Astawa, I Gde Pantja dan Suprin Na’a, 2009, Memahami Ilmu Negara dan Teori Negara, Refika Aditama, Bandung Atmosudirdjo, Prajudi, 1981, Hukum Administrasi Negara, Ghalia Indonesia, Jakarta Bethan, Syamsutarya, 2008, Menerapkan Prinsip Hukum Pelestarian Fungsi Lingkungan Hidup dalam Aktivitas Industri Nasional, sebuah Upaya Penyelamatan Lingkungan Hidup dan Kehidupan antar Generasi, Alumni, Bandung Brouwer, Bob, et.al., Editor, Coherence and Coflict in Law, Procceedings of the 3rd Benelux-Scandinavian Symposium in Legal Theory Danusaputro, St. Munajat, 1980, Hukum Lingkungan, Buku V;Sektoral jilid 5, Binacipta , Bandung, Ekatjahjana, Widodo, 2008, Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Dasar-dasar dan Teknik Penyusunannya, Citra Aditya Bakti, Bandung
Erwin, Muhamad, 2008, Hukum Lingkungan, dalam Sistem Kebijaksanaan Pembangunan Lingkungan Hidup, Refika Aditama, Bandung. Fatmawati, 2005, Hak Menguji (Toetsingsrecht) yang Dimiliki Hakim dalam Sistem Hukum Indonesia, RajaGrafindo Persada, Jakarta Faure, Michael and Niessen, Nicole, Editor, 2006,Environmental Law in Development, Lessons from the Indonesian Experience, Edward Eglar Publishing, USA Ginther, Konradet.all., Editor, 1994, Sustainable Development and Good Governance, Martinus Nijhoff Publisher, London.
159
Goesniadhie, Kusnu, 2009, Harmonisasi Sistem Hukum, Mewujudkan Tata Pemerintahan yang baik, A3, Malang Hadjon, Philipus M., 1985, Pengertian-Pengertian Dasar Tentang Tindak Pemerintahan (Bestuurshandeling), Djumali, Surabaya __________, 1995, Aspek-Aspek Hukum Administrasi dari KTUN, Bandung. __________, 2007, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia, sebuah studi tentang Prinsip-Prinsipnya, Penanganannya oleh Pengadilan dalam Lingkungan Peradilan Umum dan Pembaentukan Peradilan Administrasi, Peradaban, Hardjosoemantri, Koesnardi, 1994, Hukum Lingkungan, Cet.2, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta Hoesein, Zainal Arifin, 2009, Judicial Review Mahkamah Agung RI, Tiga Dekade Pengujian Peraturan Perundang-undangan, Raja Grafindo Persada, Jakarta. H.W.R. Wade, 1986, Administrative Law, Fifth Edition, Oxford University Press, Walton street Indroharto, 1993, Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara; Buku I; Pustaka Sinar Harapan, Jakarta Joeniarto, 1979, Perkembangan Pemerintahan Lokal, Alumni, Bandung, Juanda, 2008, Hukum Pemerintahan Daerah – Pasang Surut Hubungan Kewenangan antara DPR dan Kepala Daerah, PT.Alumni, Bandung Kelsen, Hans, 1991,General Theory of Norms, Translated by Michael Hartney, Oxford University Press, New York, Koesoemahatmadja, RDH., 1979, Pengantar Ke Arah Sistim Pemerintahan Daerah Di Indonesia, Binacipta, Bandung Manan, Bagir, 2001, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, Pusat Studi Hukum (PSH) Fakultas Hukum UII, Yogyakarta, Martosoewignjo, Sri Soemantri, 1992, Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia, Alumni, Bandung Marzuki, Peter Mahmud, 2005, Penelitian Hukum, Prenada Media, Jakarta Muslimin, Amrah, 1978 Aspek-aspek Hukum Otonomi Daerah, Alumni, Cetakan ke-1, Bandung.
160
N.H.T Siahaan, 2009, Hukum Lingkungan, Pancuran Alam, Jakarta NM Spelt, dan JBJM Ten Berge, 1993, Pengantar Hukum Perizinan, disunting oleh Philipus M.Hadjon, Yuridika, Surabaya Nurcholis, Hanif, 2007Teori dan Praktik Pemerintahan Dan Otonomi Daerah, PT.Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta Perwani, Yayuk Sri, 1992, Teori dan Petunjuk Praktek Housekeeping untuk akademi Perhotelan, Make a Room, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Pudyatmoko, Y. Sri, 2009, Perizinan, Problem dan Upaya Pembanahan, PT. Grasindo Jakarta Poerwadarminta, 1987, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta Radjab, Dasril, 1994, Selayang Pandang Tentang Sumber-Sumber Hukum Tatanegara di Indonesia, Liberty, Yogyakarta Rangkuti, Siti Sundari, Hukum lingkungan dan Kebijakan Publik, Airlangga University Press, Surabaya Ridwan, H. Juniarso dan Sodich, Achmad, 2008, Hukum Tata Ruang dalam Konsep Kebijakan Otonomi Daerah, Nuansa Bandung. Ridwan,HR, 2003, Hukum Administrasi Negara, Cet.Kedua, UII Press, Yoyakarta, Santoso, Taufik Iman, 2008, Amdal, Setara Press, Malang Sastrawijaya, A. Tresna, 2000, Pencemaran Lingkungan, Rineka Cipta, Jakarta. Silalahi, M. Daud, 2001, Hukum Lingkungan dalam Sistem Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia, PT. Alumni, Bandung, Soeroso, 2002, Pengantar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta Soejito, Irawan, 1984, Hubungan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, Bina Aksara, Jakarta Soekanto, Soerjono, 1986,Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta Soekanto, Soerjono dan Mamuji, Sri, 2001, Penelitian Hukum Normatif suatu tinjauan singkat, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta
161
Soemartono, R. M. Gatot P., 2004, Hukum Lingkungnan Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, Soeprapto, Maria Farida Indrati, 2007, Ilmu Perundang-undangan: Dasar-dasar dan Pembentukannya, Buku 1, Kanisius, Yogyakarta
__________, 2007, Ilmu Perundang-undangan, Perubahannya, Buku 2, Kanisius, Yogyakarta
Proses
dan
Teknik
Subawa, I Made, dkk., 2005, Hukum Tata Negara Pasca Perubahan UUD 1945, Bagian Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar Suparni. Niniek, 1994. Pelestarian, Pengelolaan dan Penegakan Hukum Lingkungan, Sinar Grafika, Jakarta Sutedi, Adrian, 2010, Hukum Perizinan, dalam Sektor Pelayanan Publik, SInar Grafika, Jakarta Sulistiyono, Adi, 2007, Negara Hukum: Kekuasaan, Konsep, dan Paradigma Moral, Cetakan ke I, Lembaga Pengembangan Pendidikan (LPP) dan UPT Penerbitan dan Percetakan UNS (UNS Press) Universitas Sebelas Maret, Surakarta. Tutik, Titik Triwulan, 2008, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Usman, Rachmadi, 2003, Pembaharuan Hukum Lingkungan Nasional, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung Utama, I Made Arya, 2007, Hukum Lingkungan, Sistem Hukum Perizinan Berwawasan Lingkungan Untuk Pembangunan Berkelanjutan, Pustaka Sutra, Bandung. Utrecht, 1994, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia; Pustaka Tinta Mas, Surabaya
2. MAKALAH Atmoredjo, Sudjito bin, Negara Hukum dalam Perspektif Pancasil, dalam Kongres Pancasila kerjasama dengan Mahkamah Konstitusi RI dan Gadjah Mada, Balai Senat UGM, Yogyakarta, 30, 31, dan 1 Juni
162
Amsyari, Fuad, “Problematika Pengendalian Pencemaran Lingkungan” dalam Kumpulan Materi Kursus Perizinan Lingkungan Sebagai Instrumen Pencegahan
Pencemaran
Lingkungan,
PPLH Lembaga Penelitian
Universitas Airlangga, Surabaya, 6-7 Juni 2000 Hadjon, Philipus
M,. “Fungsi
Normatif
Hukum Administrasi Dalam
Mewujudkan Pemerintahan Yang Bersih”, Pidato penerimaan jabatan Guru Besar Dalam Ilmu Hukum Universitas Airlangga, Senin, 10 Oktober 1994 Manan, Bagir, 1995, “Peranan Hukum Administrasi Negara dalam Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan,
Makalah
pada
penataran
Hukum
Administrasi Negara”, Fakultas Hukum Unhas, Ujung Pandang, 31 Agustus 1995 Usfunan, Yohanes, 2004, “Perancangan Peraturan Perundang-undangan yang baik Manciptakan Pemerintahan yang Bersih dan Demokratis”, Pidato pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap dalam Bidang Hukum Tata Negara FH UNUD, 1 Me1 2004, Denpasar, Universitas Udayana
3. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1990 Nomor 49) Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-undang No.14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 9) Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 53) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125)
163
Undang-undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undangundang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 3) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140) Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam Dan Kawasan Pelestarian Alam (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 132) Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 59) Peraturan Pemerintah Nomor 36 tahun 2010 tentang Pengusahaan Pariwisata Alam di Suaka Margasatwa, Taman nasional, Taman Hutan Raya, dan Taman Wisata Alam (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 25) Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 48) Keputusan Presiden Nomor 32 tahun 1990 tentang Pengelolaan kawasan Lindung (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1990 Nomor 49) Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 11 Tahun 2006 tentang Jenis Rencana Usaha dan/atau Kegiatan yang Wajib Dilengkapi Dengan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2004 tentang Hak Uji Materiil Keputusan Kepala Bapedal No. 56 Tahun 1994 mengenai Pedoman Dampak Penting. Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 16 Tahun 2009 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Bali Tahun 2009-2029 (Lembaran Daerah Provinsi Bali Tahun 2009 Nomor 16)
164
4. ARTIKEL DALAM FORMAT ELEKTRONIK Mahendra, A.A. Oka, “Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan” diunduh dari http://www.djpp.depkumham.go.id/htn-dan-puu/421-harmonisasiperaturan-perundang-undangan.html, diunduh pada tanggal 14 Juni 2010 Parmono, Agus, “Urgensi Pengaturan Zona Dalam Upaya Pengendalian Pemanfaatan Ruang Daerah Berkelanjutan,” diunduh dari http://bulletin.penataanruang.net/index.asp?mod=_fullart&idart=122 diunduh pada tanggal 18 April 2010 Badan Pusat Statistik, “Konsep dan Definisi Statistik Hotel dan Akomodasi Lainnya di Indonesia” di unduh dari: URL:http://www.bps.go.id/aboutus.php?id_subyek=16&tabel=1&fl=2, pada tanggal 15 Mei 2010. Direktorat Kebudayaan Pariwisata Pemuda dan Olahraga Bappenas, “Konsep dan Definisi Seputar Pariwisata”, diunduh dari: URL: http://www.budpar.go.id, diunduh pada tanggal 15 Mei 2010 Indrawati, Yayu, “Persepsi Wisatawan Lanjut Usia pada Fasilitas Akomodasi dan Aktivitas Pariwisata Bernuansa Seni Budaya di Desa Sanur”diunduh dari URL: http://www.isi-dps.ac.id/download/6-Yayu-Pariwisata.pdf, pada tanggal 21 April 2010 Murti, Muhammad Sapta, “Harmonisasi Peraturan Daerah dengan peraturan perundang-undangan lainnya (Analisis Urgensi, Aspek Pengaturan,dan Permasalahan)”, diunduh dari URL: http://www.djpp.depkumham.go.id/htn-dan-puu/422-harmonisasiperaturan-daerah-dengan-peraturan-perundang-undangan-lainnya.html diunduh pada tanggal 13 Juni 2010 Nazad na Komunitas Hukum Tata Negara Indonesia, “Analisis Normatif Evaluasi Dan Pengujian Peraturan Daerah Oleh Pemerintah Pusat”, diunduh dari URL: http://bs-ba.facebook.com/group.php?gid=68003490816, diunduh pada tanggal 10 September 2010.
PT Tribina Matra Carya Cipta, “Prosedur dan Penyusunan Sinkronisasi” diunduh dari http://www.penataanruang.net/ta/Lapan04/P2/SinkronisasiUU/Bab4.pdf, diunduh pada tanggal 22 Agustus 2010 Setiadi, Wicipto, “Proses Pengharmonisasian Sebagai Upaya Meningkatkan Kualitas Peraturan Perundang-undangan” diunduh dari URL: http://www.djpp.depkumham.go.id/htn-dan-puu/232-proses-pengharmonisasiansebagai-upaya-meningkatkan-kualitas-peraturan-perundang-undangan.html, diunduh pada tanggal 20 juni 2010
165
Sudarmadji, “Pembangunan Berkelanjutan, Lingkungan Hidup, dan Otonomi Daerah”, dalam http://geo.ugm.ac.id/archives/125, diunduh pada tanggal 20 Juni 2010 Supriadi, “Harmonisasi Perda Dengan Peraturan Perundang-undangan Lainnya”, diunduh dari http://excellent-lawyer.blogspot.com/2010/04/harmonisasiperda-dengan-peraturan.html, diunduh pada tanggal 16 Juni 2010