BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Bagi para pendidik, pengaruh kebudayaan yang berasal dari luar menjadi tantangan tersendiri untuk memberikan pendidikan yang bermanfaat bagi kehidupan generasi mendatang. Institusi pendidikan berfungsi sebagai pewaris nilai dan ilmu selain itu berperan juga dalam membentuk budaya dan membantu mengembangkan kemampuan berfikir anak didik. Pada era reformasi, Kemendikbud merumuskan visi Pembangunan Pendidikan Nasional Jangka Panjang (PPNJP) 2005-2025 : “Menghasilkan insan Indonesia cerdas dan kompetitif”. Visi ini dibentuk oleh pemerintah berdasarkan misi kedua dari Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2025 yaitu “Mewujudkan Bangsa yang berdaya saing”. Sebagai respon terhadap tantangan globalisasi, agenda pembangunan pada akhirnya dimaknai sebagai kompetisi. 1 Kebijakan pendidikan pun berkembang mulai dari munculnya gagasan sekolah bertaraf internasional, seperti yang tertera dalam UU No.20/2003 tentang Sisdiknas, Pasal 50 ayat (3), yang mengharuskan adanya satuan pendidikan bertaraf internasional pada semua jenjang pendidikan di setiap daerah. Ketetapan ini memicu berdirinya Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) dan berbagai universitas kelas dunia yang menyebabkan pemborosan anggaran pendidikan. Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) kemudian banyak digunakan 1
Pendidikan untuk Transformasi Bangsa. 2014. Halaman10-11.
1
2
oleh keluarga ekonomi kelas menengah keatas yang mampu mengakses pendidikan yang berkualitas sehingga menyebabkan akses pendidikan yang justru semakin tidak merata. Meski telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi, ide mengenai daya saing ini sempat berkembang dan “menjamur” di kota-kota besar. Kebijakan-kebijakan pendidikan kemudian berfokus pada pencapaian siswa/siswi yang distandarisasi melalui berbagai ujian dan pencapaian nilai-nilai. Pencapaian nilai-nilai yang tak jelas arah tujuannya atau justru mengintimidasi pelajar dalam menyelesaikan pendidikan di sekolah. Pemikiran tentang daya saing dan kompetisi
telah
menjadikan
pendidikan
di
Indonesia
disorientasif
dan
menyebabkan banyak pemborosan pada anggaran pendidikan negara. Berbagai ide-ide pendidikan yang timbul dalam mengatasi era globalisasi kemudian memunculkan juga gejala rasa terancam akan hilangnya atau punahnya kebudayaan lokal. Pendidikan mengenai “ke-lokal-an” atau berbasis pada kebudayaan lokal pun bermunculan sebagai usaha dalam memperkuat identitas bangsa. Pendidikan mengenai kebangsaan dan ke-lokal-an dirasa mampu menanggulangi dan menyaring berbagai pengaruh informasi dan perkembangan Iptek yang pesat, yang mungkin berakibat negatif bagi kebudayaan dan tradisi lokal. Pendidikan yang berusaha menggalang ketahanan agar entitas dan nilainilai yang dianut dan identitas yang dimiliki komunitas tetap ada dan berkembang. Ditengah masih ‘menjamurnya’ sekolah-sekolah yang mengusung tema internasional seperti mengajarkan berbagai bahasa dan kebudayaan asing, terdapat juga sebuah institusi pendidikan yang mengusung tema pendidikan yang juga
3
mengangkat ke-lokalan-nya. Seperti Kelompok Bermain Among Siwi di Bantul, Daerah
Istimewa
Yogyakarta
yang
menilik
peninggalan
budaya
dan
memanfaatkannya. Institusi pendidikan ini selain mengenalkan permainan dan lagu tradisional di daerahnya, juga mengajarkan bahasa daerah kepada anak didiknya. Era globalisasi di pandang menjadi masa anak-anak mudah terpengaruh nilai-nilai negatif sehingga degradasi nilai moral. Merasakan perubahan yang mengkhawatirkan di era globalisasi, para guru di Kelompok Bermain ini terdorong untuk memanfaatkan daya ke-lokal-an dalam mendidik. Ada nilai-nilai lokal yang ingin tetap dipertahankan oleh para guru dengan mengajarkan permainan dan mainan tradisional. Pendidikan moral menjadi landasan para guru untuk mempertahankan dan mentransfer nilai-nilai dan budaya lokal ke anak didiknya. Sejarah pendidikan di Indonesia yang berawal dari kebijakan politik etis (etische politiek) pada masa pemerintahan kolonial Belanda bertujuan mempersiapkan tenaga kerja terlatih yang dapat membantu beragam perkerjaan teknis. 2 Tujuan utama pendidikan pada saat itu adalah untuk mencetak tenaga kerja, bukan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Perkembangan dalam menentukan kebijakan pendidikan mulai beradaptasi dengan kondisi zaman. Seperti
pembangunan pendidikan yang dirumuskan oleh pemerintah untuk
mencetak generasi cerdas dan kompetitif. Pembagian jenjang pendidikan dan
2
Pendidikan untuk Transformasi Bangsa. 2014:9.
4
kebijakan pendidikan di tiap jenjang pendidikan pun ditentukan berdasarkan kompetensi yang mungkin dicapai oleh anak dalam suatu masa umurnya. Program Pendidikan Anak Usia Dini misalnya, dimana pemerintah memberikan ketentuan satu desa/kelurahan satu PAUD. Pembagian kewenangan pemerintahan
atau
pada
masa
desentralisasi
mendukung
perkembangan
pendidikan di daerah-daerah seperti perkembangan PAUD. Besarnya dukungan pemerintah pada pendidikan anak usia dini ini ditunjukkan dengan anggaran pada tahun 2014 yang masuk pada Ditjen PAUD, nonformal dan Informal sendiri mengalokasikan anggaran penyediaan layanan PAUD sebesar Rp 608,128 miliar, penyediaan layanan kursus dan pelatihan Rp197,983 miliar, dan penyediaan layanan pendidikan masyarakat Rp275,628 miliar 3. Besarnya anggaran tampaknya sangat pengaruhi perkembangan jumlah PAUD atau intitusi yang sederajat di daerah-daerah. Kelompok Bermain merupakan institusi pendidikan yang mengajar anak pra-taman kanak-kanak, atau sederajat dengan PAUD. Kelompok Bermain (KB) dan bentuk lain yang sederajat, dibatasi untuk anak usia dua hingga empat tahun. Kelompok Bermain Among Siwi yang merupakan bentukan dari semangat dan perhatian yang ditularkan pemerintah dalam pembangunan pendidikan anak usia dini di daerah-daerah. Kandungan nilai moral yang ada dalam permainan dan lagu tradisional menjadi motivasi pengajar dalam perkembangan psikis dan
3
http://news.okezone.com/read/2013/12/19/373/914522/2014-kemendikbud-dapat-jatah-anggaranrp80-661-t pukul 1:55 WIB
5
pendidikan moral anak. Setiawan (2011) dalam Jurnal penelitian PAUDIA menjelaskan bahwa dalam kegiatan bermain, seluruh tahapan perkembangan anak dapat berfungsi dan berkembang dengan baik. 4 Pada anak usia dini aktifitas bermain merupakan kegiatan yang tidak dapat lepas dari kehidupan anak-anak. Sebagai bagian dari jenjang pendidikan yang ada, pendidikan anak usia dini kini juga mendapatkan perhatian yang besar tidak hanya dari pemerintah tetapi juga dari masyarakat luas. I.2
Permasalahan Anak-anak dipersiapkan untuk menghadapi kehidupan ketika dewasa.
Oleh karenanya institusi pendidikan sebagai salah satu yang bertanggung jawab dalam mempersiapkan kedewasaan anak-anak dipandang penting untuk selalu mengembangkan kerangka pembelajaran yang mampu mencetak generasi bangsa yang cerdas, berperilaku baik dan berbudaya. Ngalim (2009:10) menegaskan bahwa pendidikan sebagai segala usaha orang dewasa dalam pergaulannya dengan anak-anak untuk memimpin perkembangan jasmani dan rohaninya kearah kedewasaan. Kelompok Bermain Among Siwi mengenalkan permainan dan lagu tradisional sebagai cara menangani kekhawatiran dari perubahan zaman. Seperti masuknya kebudayaan dari luar dan berubahnya nilai-nilai moral. Institusi sekolah merupakan sarana penting dalam mentransfer nilai-nilai dan ilmu kepada generasi mendatang. Oleh karenanya budaya yang diciptakan disekolah merupakan 4
Jurnal Paudia, Volume 1 No. 1. 2011. Permainan Tradisional sebagai Media Stimulasi Aspek Perkembangan Anak Usia Dini. mengutip dari Semiawan Conny R, Belajar dan pembelajaran dalam taraf usia dini (pendidikan prasekolah dan sekolah dasar), Prehalindo, Jakarta,2002.
6
pertimbangan penting orang tua untuk memasukkan anak didiknya. Pentingnya peran sekolah dan situasi yang ‘tradisional’, yang mengajarkan lagu, permainan dan bahasa daerah, yang diciptakan di Among Siwi, penulis tertarik untuk meneliti sekolah ini. Untuk mengetahui bagaimana dan mengapa Among Siwi dalam melestarikan bagian dari kebudayaan lokalnya pada kegiatan belajar, serta mengetetahui proses pembelajaran tersebut berlangsung di sekolah. Berikut pertanyaan yang akan menjadi kunci utama dalam penulisan penelitian ini adalah: 1. Bagaimana sejarah terbentunya Kelompok Bermain Among Siwi? 2. Apa permainan dan lagu tradisional yang diajarkan di Kelompok Bermain Among Siwi? 3. Bagaimana Kelompok Bermain Among Siwi melestarikan budaya? I.3
Tujuan Penelitian Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui prespektif pendidik Kelompok
Bermain Among Siwi menanggapi perlunya ruang edukatif yang mengajarkan anak-anak pada nilai-nilai budaya yang terkandung dalam permainan dan mainan tradisional serta mendeskripsikan bagaimana peran permainan dan lagu tradisional dalam melestarikan kebudayaan tradisisional masyarakat Jawa. Penelitian ini juga bertujuan untuk menambah pengetahuan dan referensi bagi pembaca mengenai eksistensi muatan lokal seperti permainan dan mainan tradisional dalam dunia pendidikan. Referensi ini diharapkan mampu menarik minat para ilmuwan sosial budaya untuk mempelajari mengenai keberadaan dan pelestarian permainan tradisional dalam masyarakat saat ini.
7
I.4
Kerangka Pemikiran Pendidikan formal pada umumnya hanya fokus pada kebutuhan manusia
untuk bekerja pada sektor-sektor pekerjaan yang banyak dibutuhkan. Pekerjaan yang secara umum dikenal luas seperti dokter, perawat, teknisi, guru, tentara, pegawai negeri, dan lain sebagainya. Pelajaran di sekolah pun diarahkan kepada pengetahuan yang mencetak manusia untuk menguasai dan fokus pada kemampuan tertentu. Pelajaran juga berfokus pada pendidikan ilmu pengetahuan yang mengantarkan anak menjadi seorang pekerja. Pada era globalisasi tema pelestarian budaya menjadi wacana yang umum berkembang di kalangan masyarakat. Perubahan era dan pola-pola kebudayaan tampaknya berdampak pada timbulnya kekhawatiran dari generasi tua pada generasi muda. Muncul pandangan bahwa generasi muda saat ini mengalami kemerosotan nilai moral dan karakter bangsa. Hingga terdapat ungkapan anak muda zaman sekarang yang biasa merujuk pada hal negatif yang dilakukan oleh generasi muda. Ungkapan ini biasa ditujukan pada anak muda yang dianggap tidak berlaku sopan atau tidak tahu etika. Gejala kemerosotan nilai moral menjadi perhatian tidak hanya orang tua tetapi juga sekolah, sebagai sesama pemilik peran mendidik dan mewarisi nilai-nilai pada anak. Orang tua memberikan kepercayaan yang besar terhadap institusi pendidikan dengan menitipkan anaknya di sekolah. Sekolah diberikan kepercayaan dalam mendidik dan mendukung perkembangan anak dalam segala bidang.
8
Sekolah kini memiliki peran yang lebih besar dibandingkan dengan orang tua dalam mendidik anak. Selain berfungsi sebagai tempat belajar, juga memiliki peran sebagai penerus tradisi. Seperti halnya fungsi keluarga, besarnya peran sekolah dapat dilihat dari intensitas anak di sekolah yang lebih besar dibanding di rumah. Hal ini tergambar dari perubahan usia anak masuk sekolah yang semakin muda atau semakin dini. Seperti keberadaan sekolah pra-Taman Kanak-Kanak atau playgroup yang mengajar anak mulai dari usia dua hingga lima tahun, sebelum usia sekolah Taman Kanak-Kanak (5-6 tahun). Selain itu juga, kini bukan hal yang aneh lagi ketika anak-anak menghabiskan banyak waktu di institusi pendidikan atau sekolah dibandingkan dengan di rumah. Pendidikan formal atau yang dikenal dengan sekolah adalah sebuah sistem pendidikan yang disusun secara hierarki dan berjenjang, mulai dari Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, Sekolah Menengah Atas, hingga Perguruan Tinggi. Pendidikan pada dasarnya ditujukan untuk mencetak genrasi penerus bangsa yang cerdas dan berkarakter. Pengajaran dan pewarisan nilai-nilai dilakukan sebagian besar melalui institusi pendidikan formal yaitu sekolah. Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Nasional Republik Indonesia telah menetapkan Rencana Induk Pengembangan Pendidikan Karakter Bangsa No. 23 Tahun 2003. Pada pasal 3 menyebutkan “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
9
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.” Pasal ini menganjurkan untuk mendidik anak tidak hanya berfokus pada pengembangan kemampuan tetapi juga watak atau mendidik karakter anak. Pasal ini mengingatkan bagaimana nilai-nilai baik yang perlu di transmisikan atau diajarkan pada seorang anak. Peran sebagai pengajar atau guru merupakan peran sentral yang bertanggung jawab dalam mengajarkan baik ilmu pengetahuan juga nilai moral yang berlaku, agama, dan wawasan lainnya. Pada waktu proses belajar mengajar di kelas mungkin terjadi secara agak dipaksakan oleh guru selama awal masa kanak-kanak, karena anak-anak berada dalam pengawasan dan pengarahan yang penuh oleh guru. Namun, seiring bertambah usia dan dewasanya anak didik belajar secara lebih sadar untuk menerima atau menolak nilai-nilai atau anjurananjuran yang pernah diterimanya. Oleh karenanya, nilai moral yang ditanamkan oleh guru diharapkan mampu membantu anak-anak dalam merespon sikap atau nilai baru secara lebih bijak dan sesuai norma yang telah mereka ajarkan semenjak dini. Rutinitas belajar di sekolah seperti mendengarkan guru dan membaca buku dapat membuat murid bosan karena murid menerima pelajaran secara pasif. Suasana bermain dianggap membantu dan mempermudah seseorang dalam belajar bersama karena tanpa kebersamaan hampir tak mungkin permainan tradisional dapat dimainkan. Jika tesis Huizinga (1990) benar bahwa permainan asal dari
10
kebudayaan, maka tidak mengherankan bila permainan tradisional Jawa diwarnai oleh kerjasama dan dimainkan oleh banyak orang yang mana sesuai dengan karakter orang Jawa yang hidup dalam kebersamaan dan kegotongroyongan. Enkulturasi atau proses pewarisan budaya bersifat kompleks dan berlangsung terus-menerus, proses tersebut juga berbeda-beda pada tiap masyarakat. Pengetahuan lokal yang terdapat pada permainan tradisional dan nyanyian rakyat misalnya, diturunkan kepada generasi mendatang melalui pengenalan yang dilakukan oleh orang tua. Sebagai bagian dari peninggalan budaya, permainan dan juga lagu tradisional diajarkan untuk membantu dalam menanamkan nilai moral terhadap anak-anak. Selain berfungsi dalam melatih perkembangan sosial, lagu-lagu/nyanyian dalam permainan tradisional juga berfungsi sebagai media sosialisasi (sosialisation functional sonos) atau penyampai
pesan
(Depdikbud,
1993:3). 5
Media
sosialisasi
membantu
penyampaian nilai-nilai yang ada dalam lingkungan masyarakat kepada anakanak. Permainan juga merupakan kegiatan berpola dan merupakan hasil karya manusia. Koentjaraningrat (1987) merumuskan tiga wujud kebudayaan yaitu ide atau gagasan, kelakuan berpola dari masyarakat, dan hasil karya manusia (artefak). Permainan tradisional dilihat dalam konsep wujud budaya merupakan sistem dari pengetahuan yang didalamnya terdapat unsur-unsur yang memiliki
5
Pengukuhan nilai-nilai budaya melalui lagu-lagu permainan rakyat (pada masyarakat sunda). 1993. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Halaman 2-3.
11
makna yang berasal dari berkebudayaan leluhur. Pewarisan budaya salah satunya dilakukan melalui permainan dan lagu tradisional. Pendekatan pewarisan budaya melalui media permainan dan lagu tradisional lazim digunakan di Indonesia yang masyarakatnya cenderung memiliki tradisi lisan. Misalnya: berbagai tembang (lagu) diciptakan dan oleh Sunan Kalijaga untuk mengajarkan agama Islam, nilai-nilai rohani dan pengetahuan umum. Tembang menjadi media yang dapat dinikmati siapa saja dan mudah diingat. Pewarisan lagu ini untuk menanamkan pengetahuan Islam ke dalam kehidupan masyarakat Jawa secara halus. Keberadaan lagu tradisional tersebut hingga kini merupakan bagian dari pewarisan budaya yang dipelihara keberadaannya. Kandungan nilai moral yang ada dalam permainan dan lagu tradisional menjadi motivasi pengajar dalam perkembangan psikis dan pendidikan moral anak. Secara antropologis permainan dapat diartikan sebagai pembentuk kebudayaan. Huizinga (1990), dalam thesisnya yang berjudul Homo Ludens menjelaskan bahwa permainan bukan sekedar data dari kultur, bukan juga kultur yang melahirkan permainan. Baginya permainan memiliki posisi penting sebagai pembentuk
kebudayaan
dan
peradaban.
Dalam
permainan
komunitas
mengungkapkan penafsirannya mengenai dunia. Permainan dipandang dari segi bentuknya merupakan suatu perbuatan bebas, tidak berkaitan dengan kepentingan materi atau kegunaan, berlangsung dalam ruang dan waktu secara khusus, yang dilakukan secara tertib menurut aturan-aturan tertentu, dan yang melahirkan
12
ikatan-ikatan kebersamaan, dan memainkan peran diluar dari dunia sehariharinya. 6 Permainan dengan demikian adalah suatu kegiatan yang dilakukan oleh manusia dengan bebas dan berfungsi mempererat hubungan kebersamaan. Bebas dalam berekspresi dan tidak memikirkan kepentingan materi. Seperti Huzinga (1990) mempercayai bahwa setiap manusia memiliki naluri untuk bermain. Sementara itu dalam dunia pendidikan, permainan dipandang sebagai media yang dapat dimanfaatkan dalam proses belajar mengajar. Kata media berasal dari bahasa Latin, medius yang secara secara harfiah dapat diartikan sebagai perantara atau pengantar. Media dalam proses pembelajaran merujuk pada perantara atau pengantar sumber pesan dengan penerima pesan, merangsang pikiran, perasaan, perhatian dan kemauan sehingga terdorong serta terlibat dalam pembelajaran. Proses pembelajaran pada dasarnya juga merupakan proses komunikasi, sehingga media yang digunakan dalam pembelajaran disebut media pembelajaran. 7 Seperti yang telah disebutkan di atas bahwa dalam permainan tradisional tergambar karakter masyarakatnya. Permainan dan lagu tradisional pun menjadi perantara dari nilai-nilai lampau yang dibawa secara simbolik. Pengulangan secara konstan dan pengingatan kembali melalui kegiatan belajar menjadi sebuah strategi dalam melestarikan keberadaan identitas masyarakat tersebut. Bagian dari memori
6
Shindunata. 2012. Hidup Hanyalah Permainan dalam Ilir-ilir: Ilustrasi Tembang Dolanan Anak. http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/Nurhidayati,%20S.Pd.%20M.%20Hum./MEDI A%20PEMBELAJARAN.pdf diunduh pada 12/11/2014 pukul 15.00 WIB 7
13
masa lalu tersebut diteruskan oleh rantai transmisi melalui belajar. Shills (1981) juga menjelaskan bahwa budaya membawa pola dan keyakinan yang ada pada zaman dahulu. Nenek moyang memberikan pengarahan kepada generasi di bawahnya untuk menghadapi masa depannya. ““Culture” contains beliefs and patterns discovered in the past; it is not just shared contemporaries, it is shared with ancestors and other predecessor. The instruction given to the child looks towards the future; some of it is intended to serve the immediate present and proximate future but much of it looks towards the remote future of youth and adulthood. It is a provision for the future from the past.” (Shill,. 1981:170) Memori lebih dari tindakan perenungan oleh ingatan orang yang meninggalkan simpanan/endapan obyektif dalam tradisi. Seperti yang dijelaskan oleh Shills (1981) keyakinan di masa lalu mewujud dalam pola simbolik yang terkandung dalam kata-kata dan gerakan, lebih bervariasi diterima dan diulang. Sehingga kebudayaan masa lampau yang masih bertahan hingga kini adalah bagian dari perulangan bentuk simbolik yang ada. “the past of beliefs, of symbolic patterns embodied in words and movements, is more variably received and repeated. It is a past which is presented to its prospective recipients in various orders of generality. The first contact the newborn infant has with the past experience, and with the past of the cultural creations of human beings, occurs whitin the family. The past that entered is showed in and by the parents.” (Shills, 1981:169) Nilai-nilai pada masa lalu diteruskan atau di belajarkan kepada generasi selanjutnya. Bila dijelaskan dalam analisa Shills (1981), mengenai memori masa lalu, pengetahuan yang diajarkan kepada calon penerima disajikan dalam berbagai bentuk simbolik yang mewujud baik dalam kata ataupun gerakan. Seperti salah
14
satunya yang penulis lihat terdapat dalam lirik dan gerakan permainan tradisional yang merupakan bahasan dalam penelitian ini. Permainan memiliki aturan dan makna yang tersimpan dalam berbagai bentuk simbolisasi bahasanya atau pola permainannya. Secara kultural permainan mengandung makna-makna yang lekat dengan fungsinya dalam kehidupan manusia, di dalamnya terdapat pengetahuan manusia, yang kemudian diwariskan kepada generasi setelahnya. Melalui pewarisan permainan dan lagu tradisional, simbol tersebut dilestarikan keberadaannya. Spradley (1972: 8) mengungkapkan bahwa pengetahuan merupakan tanggapan manusia dan pembentukan dari konsep-konsep yang ada kemudian disimbolkan. Sehingga konsep yang berasal dari pembelajaran manusia, yang dianggap bermanfaat, adalah pengetahuan yang dianggap perlu untuk di wariskan keberadaannya. Antropologi pendidikan adalah suatu ilmu yang mengkaji tentang pendidikan yang dilihat dari sudut pandang budaya. Dalam hal ini pendidikan juga masuk dalam kajian-kajian mengenai masalah pembudayaan, sosialisasi, dan transmisi budaya. Seperti enkulturasi yang dapat diartikan sebagai pembudayaan dalam suatu masyarakat, misalnya: membiasakan makan dengan tangan kanan merupakan salah satu budaya yang ditanamkan pada seorang anak sejak kecil, dengan harapan ketika individu menjadi dewasa ia sudah terbiasa dengan aturan seperti ini, terlebih lagi karena anggapan masyarakat makan dengan menggunakan tangan kanan adalah suatu hal yang wajar dan dianggap sopan sehingga perlu diterapkan.
15
Menyoroti kembali mengenai lunturnya nilai moral pada masa ini, maka pendidikan sebagai salah satu lembaga yang berfungsi sebagai pewaris dari kebudayaan dan nilai-nilai memikul tanggung jawab besar. Sesuai dengan misi Kelompok Bermain Among Siwi yang membahas mengenai penempatan kembali moral dan etika sebagai unsur pendidikan yang sehat. Lembaga pendidikan ini juga bertujuan menjadi lembaga dapat menyelenggarakan pendidikan anak yang berkualitas serta komprehensif terhadap permasalahan biaya pendidikan. Ide ini diterapkan melalui isi kurikulum dan media pembelajaran dalam pelaksanaan kegiatan belajar yang diatur agar mencapai harapan atau visi dari Kelompok Bermain Among Siwi. Dalam tulisan ini Kelompok Bermain Among Siwi menjadi sorotan sebagai salah satu sekolah alternatif yang memberikan muatan pendidikan budaya. Sekolah ini memiliki misi melestarikan nilai budaya yang dihadirkan melalui permainan dan lagu tradisional. Penelitian ini ingin melihat fungsi mendidik yang ada pada permainan dan lagu tradisional yang kembali digunakan dan dikombinasikan sebagai kegiatan mengajar di sekolah. Kelompok Bermain Among Siwi memperkenalkan kepada anak-anak akan permainan, mainan dan lagu tradisional, selain itu juga anak diajarkan untuk ‘bersahabat’ dengan alam. Mereka diajarkan sedini mungkin untuk berinteraksi dengan alam dengan belajar di ruang terbuka. Selain itu, anak-anak dibiasakan menggunakan bahasa lokal yaitu Bahasa Jawa. Inisiator sekolah ini menyadari kegunaan nilai-nilai budaya yang ada pada permainan dan mainan tradisional sehingga mereka berkeinginan
16
untuk meneruskan keberadaan permainan dan mainan tradisional di masa modern. Permainan, lagu tradisional, dan Bahasa Jawa menjadi wujud atau wadah institusi pendidikan ini untuk meneruskan memori masa lampau. Hal tersebut adalah rantai memori dan tradisi yang melalui proses asimilasi dan memungkinkan masyarakat atau generasi penerus untuk kembali mereproduksi sendiri. I.5
Metode Penelitian 1. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Wilayah Dusun Pandes, Desa Panggungharjo,
Sewon, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Wilayah ini sedang giat mengembangkan potensi wisatanya dengan mengusung tema dolanan atau mainan tradisional sebagai ikon wisata. Penelitian dari tulisan ini berfokus ke institusi pendidikan yang ada di wilayah tersebut. Kelompok bermain Among Siwi atau yang setara dengan Pendidikan Anak Usia Dini adalah institusi yang peneliti jadikan tempat riset. Hidup di wilayah ini, Kelompok Bermain Among Siwi juga menerapkan penggunaan permainan dan lagu tradisional serta Bahasa Jawa dalam kegiatan belajar mengajar. 2. Pemilihan Informan Pertanyaan diajukan kepada pihak-pihak yang terkait untuk memperoleh dan mengumpulkan data informasi mengenai masalah yang diteliti dalam penelitian ini. Wawancara mendalam pada informan kunci dapat mengantarkan peneliti mengetahui makna di balik perilaku mereka sehari-hari. Informan kunci dalam penelitian ini adalah orang-orang yang terlibat atau berhubungan dengan sekolah
17
seperti penggagas dan pengajar. Pendiri dan guru dipilih sebagai informan kunci karena dasar kurikulum yang digunakan di sekolah ini dibuat dan ditentukan oleh informan tersebut. Budaya belajar yang tercipta di sekolah ini mendapat pengaruh besar dari peran penggagas dan guru di Among Siwi. Ada pula informan pendukung sebagai informan yang melengkapi data dari informan kunci. Informan pendukung atau pelengkap data pada penelitian ini yaitu orang tua murid yang anaknya belajar di Kelompok Bermain Among Siwi dan orang yang berkompetensi dalam memberikan informasi sesuai dengan isu. 3. Teknik Pengumpulan dan Analisis Data Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode pengumpulan data kualitatif. Berkaitan dengan hal ini Taylor (1993) mengemukakan penelitian kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati (Arifin 2012 : 140-141). Spradley (1997:11) menuturkan bahwa dalam melakukan kerja lapangan, seorang etnografer membuat kesimpulan yang berasal dari tiga sumber yaitu dari cara orang bertindak, dari yang dikatakan orang, dan dari artefak yang digunakan orang. Proses penelitian kualitatif tersebut dengan melakukan pengamatan terhadap orang dan kehidupannya sehari-hari, berinteraksi dengan mereka, dan berusaha memahami bahasa dan sudut pandang mereka. Penelitian kualitatif pada penelitian ini melibatkan pengumpulan dan penggunaan data yang berasal dari observasi. Pengamatan atau observasi dalam penelitian ini bertujuan untuk memperoleh suatu gambaran yang lebih jelas
18
melalui pengamatan teratur yang dilakukan secara langsung terhadap objek penelitian. Melalui observasi data dapat dikumpulkan secara lebih cermat dan terinci. Pada penelitian ini observasi dilakukan dengan mengamati proses belajar mengajar yang rutin dilakukan. Proses belajar mengajar yang dilakukan baik di dalam maupun di luar kelas. Selain observasi, melibatkan juga metode wawancara atau interview. Metode ini digunakan dengan tujuan mendapatkan keterangan secara lisan dari seorang responden dengan bercakap-cakap dan berhadapan muka dengan orang tersebut. Wawancara bertujuan untuk mengumpulkan keterangan, informasi dan pendapat tentang kehidupan informan. Setelah memperoleh data melalui observasi dan wawancara, tahapan selanjutnya adalah studi pustaka. Kajian pustaka dilakukan antara lain berkaitan dengan sumber data catatan/teks dari lagu Jawa, juga literatur yang mengulas tentang proses pewarisan budaya, fungsi pendidikan, dan permainan tradisional. Sumber dari pustaka ini digunakan sebagai pendukung dalam sebuah penulisan penelitian dan penopang gagasan-gagasan dari temuan data yang ada. Pada tahapan penulisan digunakan penulisan yang deskriptif atau menggambarkan fenomena yang ada, yang kemudian akan dianalisis. Dalam analisis, peneliti mengolah data yang diperoleh dengan kajian berhubungan dengan media pendidikan permainan dan lagu tradisional dalam perannya melestarikan budaya. Pada tahapan terakhir adalah menarik kesimpulan dari jawaban atas pertanyaan penelitian.