BAB I PENDAHULUAN
Bab Pendahuluan ini memuat empat uraian utama. Pertama, Latar Belakang. Didalamnya dibicarakan tentang perkembangan arsitektur pada umumnya sampai dengan arsitektur di Kota Denpasar yang semakin padat, plural, dan multikultur. Beragamnya penduduk Kota Denpasar juga mewarnai keragaman arsitekturnya. Arsitektur bangunan ibadah bagi umat Muslim yang tampil dengan corak Arsitektur Tradisional Bali (ATB) menjadi fokus penelitian ini. Kedua, Rumusan Masalah. Didalamnya disajikan tiga rumusan masalah yang menjadi titik berangkat serta dicarikan jawabnya dalam penelitian ini. Ketiga, Tujuan Penelitian. Didalamnya dijelaskan dua macam tujuan, yaitu tujuan umum dan tujuan khusus. Keempat, Manfaat Penelitian. Didalamnya dijelaskan tentang manfaat teoretis dan manfaat praktis. Uraian tentang latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, dan manfaat penelitian disajikan secara lebih rinci dalam empat subbab dibawah ini.
1.1 Latar Belakang Hollingsworth (1995: i) menyatakan bahwa Arsitektur abad ke-20 bagi para arsitek yang dalam posisinya berperan sebagai penentu dalam membentuk lingkungan tempat mereka tinggal, memiliki kesempatan yang berlebihan untuk meniadakan paham sejarah dan melakukan pencaharian langgam sebagai simbol era modern. Mereka bereksperimen dengan bahan–bahan baru dan metode 1
2
konstruksi yang berbeda, kaya dengan kreasi di pelbagai macam bangunan. Beberapa di antaranya dibuat dengan selera yang amat tinggi, dan ada pula yang hanya menampilkan fungsi belaka. Arsitektur
Posmodern
melihat
kegagalan
Arsitektur
Modern
yang
menekankan konsep kesatuan dan keseragaman, gagal meningkatkan harkat manusianya. Desain arsitektur terpasung oleh adanya standar dan produksi massal oleh kaum industri-kapitalis di era modernisme yang ditolak oleh posmodernisme. Arsitektur terhempas ke dalam era kekuasaan para produsen yang melahirkan produk akibat kemajuan IPTEK. Arsitektur kembali ke pangkuan industri. Jika di era modernisme, fungsi menjadi yang terutama dengan bentuk yang seragam, kini di posmodernisme, fungsi dan bentuk semakin beragam. Sebuah bangunan mempunyai kekuatan untuk menjadi apa yang diinginkannya, mengatakan apa yang ingin dikatakannya sehingga terdengar apa yang ingin disampaikan oleh bangunan tersebut, demikian ujar arsitek dunia Charles Moore (1973:243). Arsitektur
posmodern
memberikan
kebebasan
manusia
dalam
mengekspresikan petanda dan penanda yang akhirnya kesulitan dalam penafsiran makna. Kepalsuan menjebak panca indra manusia karena rasionalitas dieliminasi oleh pragmatisme. Dengan demikian, perbincangan arsitektur tidak hanya mengenai ranah bentuk dan fungsi saja namun juga tentang tanda, simbol, dan makna. Intinya adalah menuju kemajemukan yang dimaknai dari keberadaan manusia sebagai makhluk individu yang memiliki beragam keinginan dan kebutuhan. Itulah yang terjadi di seputar arsitektur posmodern. Kebebasan yang
3
diperoleh, yaitu pengulangan masa lalu “klasik” dengan modern atau modern dengan neomodern dengan muatan klasik, dan sebagainya. Arsitektur di Indonesia, (Wijayanti, 2009:58) pada awal abad ke-21 adalah hiruk pikuk. Maksud dari hiruk pikuk tersebut adalah bahwa perkembangannya sangat beragam, ada yang berkembang dari potensi sendiri (arsitektur tradisi), ada pula yang dicomot atau diboyong dari luar negeri. Pangarsa (2009:89) menggambarkan bahwa perkembangan arsitektur di Indonesia tidak ditentukan oleh dunia pendidikan atau keilmuan tetapi oleh kekuasaan, dunia dagang, dan politik. Bahkan menurut pendapatnya, pada masa yang lalu proses arsitektur juga memiliki persamaan. Tradisi vernakular di seluruh nusantara menerima difusi praksis arsitektur melalui penyebaran Hindu dan Budha yang dianut oleh para raja yang terwujud dalam bangunan candi sebagai contohnya. Mencermati deskripsi di atas, Bali mengalami perkembangan arsitektur yang sama dengan wilayah-wilayah lainnya di Indonesia. Percampuran karena pengaruh berbagai kebudayaan yang singgah ke Bali diolah dan dikemas sesuai dengan tuntutan ruang dan waktunya. Kreativitas sekaligus inovasi yang dilakukan dibingkai oleh adat dan agama yang diyakini, yaitu Hindu dan para raja yang berkuasa.
Kekuasaan yang berpusat pada raja meninggalkan warisan
arsitektur yang hingga kini masih dapat dijumpai dan dikembangkan oleh masyarakat di Bali. Arsitektur hingga saat ini masih dijumpai dengan sedikit perubahan yang disebut sebagai ATB. ATB sebagai proses dan produk sejarah dan budaya merupakan rangkaian sistem yang saling berhubungan di antara ke tiga wujud kebudayaan (sistem
4
budaya, sistem sosial, dan wujud fisik). Pernyataan tersebut di atas dapat diartikan bahwa arsitektur di Bali tumbuh dan berkembang karena adanya saling-silang hubungan di antara ketiga wujud kebudayaan yang dilakukan oleh manusia. Manusia merupakan objek sekaligus subjek dalam menghadapi berbagai tantangan akibat dari ketiga wujud kebudayaan. Perkembangan
sekaligus
perubahan adalah upaya manusia untuk mempertahankan hidupnya. Salah satunya adalah melalui arsitektur. Perubahan demi perubahan, baik yang dilakukan secara sadar maupun secara tidak sadar melalui proses adaptasi, akulturasi, negosiasi, dan oleh manusia yang telah lama atau yang baru tinggal di Bali. Di satu pihak, manusia sebagai individu dan kelompok yang hidup dan tinggal di Bali menjadi pembela, penerus nilai-nilai ATB dan perlu dipertanyakan apakah karena bentuk, fungsi, estetika, dan keunikannya. Sejalan dengan pandangan Koentjaraningrat (1996:118) yang menyebutkan bahwa tingkah laku manusia bukan disebabkan oleh ciri ras yang berbeda, melainkan oleh tempat manusia itu bergaul dan beriteraksi. Atau dapat pula disebutkan bahwa ATB bukan hanya menerima pengaruh budaya lainnya tetapi juga memberi pengaruh kepada budaya lainnya. Saling silang ini menjadikan berbagai kekhasan dan “keunikan” atau juga lahirnya bentuk, fungsi, dan makna baru. Arsitektur bukanlah sekedar wujud fisik belaka. Arsitektur juga dapat menggambarkan gagasan, nilai, sistem sosial, serta dapat juga merupakan tanda sekaligus simbol kebudayaan, zaman, dan langgam atau gaya. Pandangan senada disampaikan oleh Danesi (2010:326) bahwa bangunan sebagai produk arsitektur antara lain merupakan tanda identitas, status, dan kekuasan.
5
Di era bebas batas ini saling silang pengaruh semakin deras dan menjadi sulit dibendung. Memperkuat budaya lokal yang cenderung minoritas dalam menghadapi budaya dunia yang mayoritas adalah sebuah upaya agar tidak tercerabut dari peta budaya dunia. Arsitektur pascamodern memberi peluang kepada para arsitek untuk menengok dan mengangkat kembali arsitektur tradisi. Dengan demikian, arsitektur menjadi duta bagi bangsa, negara, bahkan juga etnis tertentu. Akan tetapi, yang jauh lebih penting adalah identitas sekaligus simbol Arsitektur adalah media yang paling mudah untuk menampilkan atau mengenalkan identitas. Pencarian identitas atau jati diri dalam arsitektur oleh Budihardjo (2009:7-8) disebutkan pada hakikatnya bukanlah merupakan proses divisive, melainkan integrative, bagaikan jejak yang ditinggalkan oleh peradaban sepanjang sejarah masyarakatnya. Selanjutnya, dijelaskan pula bahwa dalam pencarian identitas ada usaha untuk menggali makna dan simbol dari aspek-aspek yang teraga (tampak) dan yang nir-teraga (tidak tampak) untuk diungkap dan diolah kembali dalam perwujudan baru. Dengan kata lain, dapat disebutkan bahwa dinamika arsitektur adalah juga dinamika identitas. Problematik yang selalu muncul adalah ketika persoalan pencarian identitas tersebut akan selalu berjumpa dengan ranah milik. Pengakuan terhadap milik dari suatu komunitas terhadap identitas, seperti simbol, tanda, dan lainnya dalam masyarakat plural akan menjadi arena konflik. Terlebih-lebih bila menyentuh wilayah kepercayaan, agama, dan etnis. Arsitektur yang diyakini sebagai salah satu media yang memuat simbol dan makna sekaligus sebagai suatu identitas
6
menjadi ladang pencaharian tiada henti. Kata kuncinya terletak pada kreativitas dan inovasi yang tiada henti. Saling mempengaruhi dalam arsitektur tersebut apakah dari milik komunitas minoritas ke mayoritas atau sebaliknya, telah mampu memberi warna ATB hingga kini. Berbagai pengaruh Arsitektur Asing dalam ATB, seperti China, Belanda, Arab, India, Thailand, dan lain-lainnya melalui wujud, struktur, bahan, pewarnaan, dan ornamen, dari waktu ke waktu seolah-olah telah menjadi miliknya. Sebaliknya demikian pula, beberapa unsur ATB ada yang memengaruhi fungsi– fungsi baru terhadap bangunan perkantoran, sekolah, hotel, vila, dan bangunan ibadah. Khusus pada bangunan ibadah, seperti gereja sebagai representasi komunitas Kristiani dan masjid yang dipandang sebagai representasi dari komunitas Muslim khususnya di Bali perkembangannya sangat beragam. Masuknya pengaruh berupa diterimanya unsur-unsur ATB merupakan pertemuan berbagai unsur kebudayaan atas dasar ruang dan waktu. Fenomena divergen-disintegratif dan konvergensi-integratif kian nyata dalam keseharian hidup bermasyarakat dan berbangsa, berupa rasa kedaerahan, identitas kesukuan, kelompok, dan agama yang menguat, menimbulkan fragmentasi kelompok dan konflik-konflik horizontal yang sebelumnya tidak muncul ke permukaan sekaligus juga rasa keuniversalan di mana visi satu dunia baru yang benar-benar multikultural. Penggunaan nama-nama, simbol di antara pengusung atau pelaku budaya kadang-kadang saling pinjam; kadang-kadang ditiru seperti aslinya, dimodifikasi,
7
atau melalui destilasi kreativitas masing-masing. Bahkan tidak jarang di antara nama atau simbol-simbol tersebut, setelah ditransfer ke dalam wujud fisik, ditiru dengan muatan fungsi lainnya. Contohnya adalah
ketika nama sekolah
Swastyastu menjadi polemik sekitar tahun 2000 yang lalu di Bali, atau bentuk bangunan lobi Hotel Nusa Dua yang mengambil bentuk bangunan suci di Bali menjadi permasalahan. Contoh lainnya juga terjadi ketika lambang swastika tidak hanya dimiliki dan digunakan sebagai lambang umat Hindu, tetapi juga oleh Nazi-Hitler, olah raga bela diri Kempo, dan sebagainya. Bentuk dan namanya sama tetapi penggambarannya yang berbeda. Simbol Agama Hindu dengan garis silang tegak lurus yang dikenal sebagai tanda tambah, sedangkan Nazi dengan visualisasi tanda silang yang dikenal sebagai tanda kali. Begitu pula jika dibandingkan simbol bela diri Kempo dengan Simbol Swastika Hindu, Kempo menunjukkan tanda tambah yang bergerak ke kiri sedangkan Hindu bergerak ke kanan. Kejadian lainnya yang merupakan pantulan dari cermin politik yang lebih tinggi, misalnya pandangan mengenai ketidaksetaraan jender dalam agama, instrumentasi politik melalui etnisitas, agama, dan asal daerah terjadi di beberapa belahan wilayah Indonesia.
Patji (2001:10) dengan jelas menuliskan bahwa
realitas objektif bangsa Indonesia sebagai masyarakat pluralistik oleh karena kepentingan politik nasionalisme lebih mengedepankan kemanunggalan daripada keberagamannya. Bhineka Tunggal Ika sebagai semboyan nasional-kultural dimaknai dengan lebih menonjolkan ketunggalannya..
8
Demikian pentingnya arsitektur dalam membentuk lingkungan buatan sekaligus sebagai cermin dari kebudayaan, pemerintah Propinsi Bali menuangkan peraturan untuk melestarikan arsitektur tradisi sekaligus sebagai pemertahanan identitas. Diterbitkanlah untuk pertama kalinya Perda No.4/PD/DPRD/1974 yang mengatur tentang Bangun-Bangunan ‘arsitektur’. Perda tersebut kemudian diperkuat atau dipertegas lagi dengan Perda Propinsi Bali No.5 Tahun 2005 tentang Persyaratan Arsitektur Bangunan Gedung. Hakikat dari diterbitkannya Perda yang mengatur tentang arsitektur bangunan gedung karena adanya pemikiran kritis setelah dibangunnya bangunan Hotel Bali Beach dan perluasan Bandara Ngurah Rai yang berdampak pada dibangunnya berbagai fasilitas pelayanan pariwisata yang dikhawatirkan akan menghilangkan identitas ATB. Seiring dengan perjalanan waktu, berbagai perubahan tatanan dunia dengan spirit global, atau dari dalam negeri melalui otonomi daerah, serta berbagai perubahan yang diakibatkan oleh pembangunan di Propinsi Bali sejak Pariwisata, ditetapkan menjadi garda depan pembangunannnya. Demikian juga dampak dari mewabahnya kecanggihan informasi teknologi, bermuara pada semakin tipisnya batas–batas bangsa dan negara. Bali kini menjadi sebuah pulau tempat bermukimnya aneka suku, ras, dan bangsa, termasuk kaya dengan aneka ragam kebudayaan. Percampuran dan perkembangan masyarakat Bali oleh jumlah dan kualitas, berakibat pada berbagai perubahan yang akhirnya menyentuh lingkungan buatannya “arsitektur”. Arsitektur di Bali yang melestarikan Arsitektur Tradisi
9
diperkuat dengan terbitnya Perda No.5 Tahun 2005 memperkokoh kehendak melestarikan ATB sebagai salah satu puncak budaya daerah. Namun, tidak dipungkiri di beberapa kasus terdapat pelanggaran yang menggunakan pembenar dari semangat reformasi, demokrasi, HAM, pasca modern, bahkan juga berlindung di balik kepentingan multikultural. Kekacauan penandaan, selain dalam kalimat juga terdapat dalam gambar, teks, atau objek. Dengan demikian pemahaman arsitektur juga dapat dianalogikan melalui pendekatan bahasa. Artinya, arsitektur bukan gambar dan objek semata, tetapi juga sebuah teks. Dengan demikian, berbagai dialog dari elemen–elemen yang terputus, atau tidak terhubungkannya satu elemen dengan elemen lainnya dalam arsitektur berdampak pada kesulitan pada penafsiran maknanya. Kesimpangsiuran bentuk yang direfleksikan oleh penggunaan garis dan bidang, bahan, warna, bahkan juga fungsi yang seolah-olah menikmati keanekaragaman, berdampak pada riuh-rendahnya makna. Perkembangan arsitektur di Bali atas dasar perkembangan
ruang dan
waktunya, menjadikan Bali bagaikan ladang arsitektur yang sangat kaya dengan berbagai bentuk dan langgam. Harus diakui pula bahwa berbagai tampilan ATB merupakan proses panjang melalui dialog ekonomi “perdagangan”, politik “kekuasaan”, keyakinan “agama”, mitos, IPTEK, dan lain-lainnya. Akibatnya, ATB dipandang sebagai arsitektur asli Bali, tidak dapat melepaskan diri dengan kemiripan-kemiripan yang ada di Arsitektur Asia (perhatikan bangunan candi, meru, wantilan, dan lain-lainnya). Dari kasus ini kiranya arsitektur bukan hanya refleksi sosial belaka, tetapi juga merupakan cermin dinamika kebudayaan dunia.
10
Dengan demikian, arsitektur juga menjadi duta bangsa, negara, dan tentunya budaya. Penerapan ATB khususnya di bangunan ibadah bagi umat Islam “Masjid” di Bali sangat variatif dan tersebar di kota–kota besar atau desa-desa tua yang menjadi awal atau pusat pertumbuhan Islam di Bali. Banyak di antaranya justru tidak tersentuh oleh ATB. Walaupun tidak ada ketentuan yang mengikat dalam wujud arsitektur Masjid, para arsitek dan masyarakat Muslim berupaya mencari identitas bagi bangunan ibadahnya sebagai suatu tanda tempat mereka melakukan persembahyangan. Pencaharian ini sangat dimungkinkan diawali dari pendekatan kesejarahan, solidaritas, bahkan mungkin juga melalui adaptasi, atau produk kekuasaan yang ditransformasikan melalui peraturan. Banyak kemungkinan yang dapat ditelusuri. Namun, yang pasti adalah mereka membangun rumah ibadah yang paling indah bagi yang Mahakuasa dan juga indah bagi umat dan lingkungannya. Produk ATB sebagai ikon Bali diyakini melalui proses waktu yang panjang menerima bahkan juga mengadopsi pengaruh budaya dari luar dirinya.. Namun atas dasar ruang dan waktunya, unsur-unsur ATB sebagai presentasi Kebudayaan Hindu yang diterima atau dipergunakan oleh kebudayaan lainnya, khususnya Kebudayaan Islam melalui cerminan arsitektur masjidnya. Fenomena ini kian menarik manakala kedua pengusung kebudayaan yang berbeda keyakinan menafsirkan tanda dan makna yang diemban oleh sosok masjid di Kota Denpasar, yaitu Masjid Al Hikmah.
11
Kini Masjid Al Hikmah di Kertalangu, Denpasar yang dibangun pada tahun 1978 menjadi sebuah tanda sekaligus simbol bagaimana dua kebudayaan menjadi satu dalam sebuah teks arsitektur yang menyiratkan penghormatan, kebersamaan dalam bingkai keindahan. Diplomasi kebudayaan melalui tanda dan simbol arsitektur menjadi bukti kerukunan dan kedamaian bagi masyarakat Kota Denpasar yang plural dan multi kultural.
1.2 Rumusan Masalah Dari latar belakang tersebut di atas diketahui ada tiga masalah yang diteliti. Ketiga masalah tersebut dirumuskan dalam bentuk pertanyaan dibawah ini. 1) Unsur-unsur ATB apa sajakah yang diterapkan pada Masjid Al Hikmah di Kertalangu, Denpasar? 2) Faktor-faktor apakah yang menyebabkan ATB diterapkan pada Masjid Al Hikmah di Kertalangu, Denpasar? 3) Bagaimanakah dampak dan makna penerapan ATB pada Masjid Al Hikmah di Kertalangu, Denpasar?
1.3 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini terdiri atas tujuan umum dan tujuan khusus. Tujuan umum ditujukan untuk memperoleh jawaban atas permasalahan dari penelitian secara umum. Sedangkan tujuan khusus ditujukan guna memperoleh jawaban dari rumusan masalah.
12
1.3.1 Tujuan Umum Secara umum tujuan penelitian ini adalah untuk memahami diterapkannya ke-arifan lokal berupa unsur-unsur ATB pada Masjid Al Hikmah di Kertalangu, Denpasar. Melalui pemahaman penerapan kearifan lokal sebagai presentasi Hindu pada objek fisik arsitektural masjid sebagai presentasi Budaya Islam dipandang sebagai peristiwa budaya antara mayoritas dengan minoritas yang memposisikan dirinya dalam kesetaraan. Ketika unsur-unsur ATB sebagai salah satu puncak Kebudayaan Indonesia yang diterapkan pada Masjid Al Hikmah dapat menjadi tanda adanya penerimaan yang memperkaya kebudayaan nasional dan pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya hubungan antara Kajian Budaya dengan Kajian Arsitektur.
1.3.2 Tujuan Khusus Penelitian ini secara khusus bertujuan untuk mendapatkan jawaban atas pertanyaan mengenai masalah-masalah tersebut di atas. Jadi, tujuan khusus penelitian ini adalah sebagai berikut : 1) untuk memahami unsur-unsur ATB yang diterapkan pada Masjid Al Hikmah di Kertalangu, Denpasar; 2) untuk memahami faktor-faktor yang menyebabkan ATB diterapkan pada Masjid Al Hikmah di Kertalangu, Denpasar; dan 3) untuk memahami dampak dan makna diterapkannya ATB pada Masjid Al Hikmah di Kertalangu, Denpasar.
13
Di samping itu, tentu juga penelitian ini diupayakan agar
diperoleh
deskripsi tambahan, yaitu gambaran tentang hubungan umat Hindu dan Islam di lokasi Masjid Al Hikmah yaitu di lingkungan komunitas Kertalangu dan Kota Denpasar pada umumnya sebagai kota yang berwawasan budaya.
1.4 Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat teoritis yang sangat penting dan diperlukan untuk pengembangan ilmu pengetahuan bagi perguruan tinggi; sedangkan manfaat praktis adalah manfaat
1.4.1 Manfat Teoretis Manfaat teoretis penelitian ini diharapkan dapat membentang sekaligus menjembatani pengetahuan arsitektur bahwa bentuk tidak semata-mata lahir karena fungsi belaka. Bahwa bentuk yang tampil melalui beragam wujud tidak dengan segera dapat dikenali dan dimaknai. Ada maksud-maksud yang tersimpan di balik bentuk tersebut, khususnya bagi kelompok masyarakat tradisi. Pemakaian bentuk atau simbol setempat sebagai upaya hibridisasi menjadi tidak sederhana, sengaja atau tidak multi kultural berlangsung
bukan hanya
melalui teks atau bahasa dan aspek budaya lainnya, melainkan dapat juga melalui teks berupa gambar (arsitektur). Dengan demikian, manfaat kritis utama bagi pengembangan arsitektur dari sudut pandang kajian budaya adalah bahwa bentuk yang dihegemoni dan didekonstruksi pada kasus bangunan Masjid Al Hikmah di Kertalangu, Denpasar
14
merupakan perkawinan atau penyatuan atau percampuran dua budaya yang tidak saling menghilangkan. Diplomasi antar arsitektur adalah jembatan pemersatu bagi masyarakat yang plural dan multikultur. Artinya adalah bahwa arsitektur menjadi tanda sekaligus simbol pemersatu dan persatuan.
Proses semacam ini dapat
dikembangkan menjadi metodologi disain arsitektur di masa mendatang. Dengan demikian arsitektur bukan hanya bentuk fisik yang fungsional belaka akan tetapi memiliki jiwa yang dihidupkan oleh pemaknaan yang menyertainya.
1.4.2 Manfaat Praktis Manfaat praktis dari penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai rujukan sekaligus kontribusi bahan pemikiran, keputusan, dan titik tolak dalam merancang peraturan arsitektur bangunan ibadah bagi umat Muslim di Kota Denpasar dan Bali pada umumnya. Demikian pula bagi para pengambil keputusan, perizinan, arsitek, dan masyarakat pengguna kiranya dapat menjadikannya sebagai pijakan dalam perancangan masa kini dan masa mendatang sebagai sebuah pendekatan perekat multikultur melalui bahasa arsitektur “simbol” di tataran setempat, regional, hingga nasional. Kepada para peneliti diharapkan hasil penelitian ini bermanfaat sebagai inspirasi untuk mengembangkan penelitian lanjutan serta memperkaya khasanah Kajian Arsitektur dan Kajian Budaya.