1
BAB I PENDAHULUAN
Bab ini terdiri dari empat subbab, setiap subbab memiliki penjelasan mengenai pemilihan penelitian. Berisikan latar belakang yang menjelaskan mengapa peneliti memilih kajian penelitian mengenai interaksi masyarakat multietnik ini. Selanjutnya, terdapat rumusan masalah yang merupakan masalahmasalah yang timbul dalam penelitian ini. kemudian akan dilanjutkan dengan subbab yang memaparkan tujuan dilakukannya penelitian ini yang dimana tujuan tersebut dapat dibagi menjadi dua, yaitu tujuan secara umum dilakukannnya pembahasan ini dan tujuan khusus guna memecahkan masalah yang ada. Subbab terakhir adalah manfaat yang akan didapatkan oleh berbagai pihak dari diadakannya penelitian ini.
1.1 Latar Belakang Keberagaman etnik yang ada di Indonesia dapat menjadi suatu kesatuan apabila ada interaksi sosial yang positif di antara setiap etnik tersebut dengan syarat kesatuan antar etnis harus dapat terus dijaga karena keberagaman masyarakat itu sangat memungkinkan terjadinya benturan antar etnik. Hal ini disebabkan berbedanya kebudayaan dari masing-masing etnik yang ada, sehingga terjadinya perilaku yang berbeda pula. Terdapat sebuah paham mengenai etnik yang pertama kali diperkenalkan oleh Sumner pada tahun 1906 (dalam Liliweri, 2005: 15), yaitu etnosentrisme 1
2
(ethnocentrism).
Etnosentrisme
merupakan
sikap
emosional
sekelompok
golongan, etnik atau agama yang merasa etniknya lebih superior daripada etnik lain. Etnosentrisme membuat kebudayaan suatu kelompok sebagai patokan untuk mengukur baik buruknya, tinggi rendahnya dan benar ganjilnya kebudayaan lain dalam proporsi kemiripannya dengan kebudayaan kelompok tersebut (Horton, 1984: 79). Menurut Sumner, seorang antropolog beraliran interaksionisme, manusia pada dasarnya individualistis, namun karena mereka harus berhubungan antar manusia, maka terbentuklah sifat hubungan yang antagonistis (pertentangan yang menceraiberaikan). Pertentangan tersebut dicegah dengan membentuk pola tertentu. Pola-pola itu merupakan kebiasaan yang menjadi adat istiadat, kemudian menjadi norma-norma susila dan akhirnya menjadi hukum. Kerjasama antar individu dalam masyarakat pada umumnya bersifat antagonictic cooperation (kerjasama antar pihak yang berprinsip pertentangan). Dengan sikap tersebut, manusia mementingkan kelompok dan setiap kelompok merasa folkways-nya yang paling unggul dan benar, sementara kelompok lain diremehkan (Liliweri, 2005: 15-16). Konflik pertentangan etnis di beberapa daerah di Indonesia yang beberapa tahun ini terjadi, diantaranya konflik antara etnis Dayak dengan Madura yang terjadi di Sampit pada tahun 2001, konflik etnis Madura dan Toraja yang terjadi pada tahun 2009 di Malang, konflik antara masyarakat Betawi dengan Madura pada tahun yang sama di Jakarta (Jayalina, 2011), serta konflik antara etnis Dayak (Tidung) dengan etnis Letta pada tahun 2010 di Kalimantan Timur (Nurman,
3
2010). Konflik-konflik ini seharusnya dapat diselesaikan dengan sikap yang lebih bertanggung jawab. Sekelompok etnik yang bermukim dalam suatu wilayah tidak selamanya saling bersifat berlawanan seperti yang terjadi di Sampit, Malang, Jakarta dan daerah lainnya. Terdapat beberapa daerah di Indonesia yang dapat menerima keberagaman antar etnik dengan melakukan interaksi yang saling menghargai dikarenakan masyarakat memiliki sifat toleransi yang sangat tinggi, sehingga tercipta hubungan yang harmonis. Beberapa daerah di Indonesia yang menunjukkan interaksi antar etnik yang terjalin dengan baik dari dulu hingga sekarang, diantaranya di Kecamatan Sungai Ambawang, salah satu daerah di Kabupaten Pontianak. Kecamatan ini telah puluhan tahun bahkan ratusan tahun dihuni oleh tiga etnis yang berbeda budaya, yaitu etnis Madura, Dayak dan Melayu. Ketiga etnis yang merupakan masyarakat Ambawang menunjukkan bentuk hubungan sosial multi etnis yang harmonis yaitu bentuk kerjasama, asimilasi, akomodasi di berbagai bidang dan berlangsung secara sehat, terbuka, dan jujur. Hubungan sosial ini tidak ada sifat saling membenci dan melecehkan antar mereka yang berbeda etnik, sehingga tidak pernah terjadi pertikaian antar ketiga etnik yang berbeda ini di kawasan ini (Nazarudin dkk, 2007). Kota di Indonesia lainnya dan menjadi salah satu kota yang sangat menghargai sikap hidup yang toleran, rukun, terbuka dan dinamis adalah Manado. Kota Manado memiliki lingkungan sosial yang kondusif dan dikenal sebagai salah
4
satu kota yang relatif aman dari pertentangan antar etnis yang tinggal di daerah ini (Sutanja, 2012). Bali adalah satu dari puluhan pulau di Indonesia yang memiliki masyarakat yang multi-etnik, dan dikenal akan penerimaan keberagaman etnik tersebut dengan sifat saling menghargai terbukti dari minimalnya pemberitaan mengenai pertikaian atau konflik antar etnik yang terjadi. Sebutkan saja, hubungan yang terdapat di desa adat Blahbatuh, Gianyar, antara etnis Tionghoa dengan etnis Bali, dapat dilihat dalam odalan misalnya di Pura Kahyangan Tiga Desa Adat Blahbatuh, umat yang beragama Buddha yang umumnya warga keturunan Tionghoa yang tinggal di Desa Adat Blahbatuh ikut membantu membuat banten dan mengikuti proses persembahyangan umat Hindu dan sebaliknya (Dewi dkk, 2011). Selain itu etnis Bali membantu menjaga lancarnya persembahyangan etnis Tionghoa di Vihara Amurva Bhumi dengan menyediakan beberapa pecalang di kawasan vihara dan sebaliknya. Dari banyaknya kawasan selatan di pulau Dewata ini, peneliti tertarik dengan suatu kawasan di bagian ujung dari pulau ini yang memiliki keberagaman etnik, yaitu kawasan Tanjung Benoa yang didiami oleh lima masyarakat etnik yang terdiri dari etnis Bali, Tionghoa, Bugis, Jawa dan Palue. Kelima etnis di kawasan dengan luas 524 hektar (Ery, 2002) ini dapat menciptakan suatu integrasi antar etnik yang baik, sehingga kenyamanan dan kerukunan dapat dirasakan dalam melakukan interaksi di antara masyarakat multi-etnik tersebut. Integrasi di Tanjung Benoa dapat terwujud karena sifat solidaritas yang tinggi antar etnik dan
5
komunikasi yang terjalin dengan baik dari masing-masing etnis yang ada di kawasan tersebut. Sifat solidaritas yang tinggi yang dimiliki oleh masyarakat multi-etnik di Tanjung Benoa yaitu etnis Bali, Tionghoa, Bugis, Jawa dan Palue (Flores), dapat dilihat dari letak lokasi tempat ibadah di kawasan ini. Tempat peribadatan seperti Pura untuk umat Hindu, Klenteng untuk umat Buddha dan Masjid untuk umat Islam, dibangun saling berdekatan dan aktivitas yang dilakukan oleh masingmasing umat tidak ada yang saling menggangu. Selain itu contoh lain dapat dilihat dari lokasi pemakaman yang saling bersebelahan. Pemakaman untuk masyarakat etnis Bugis dan yang beragama Islam diletakkan bersebelahan dengan Pura Dalem, sedangkan di samping Pura Dalem terdapat setra untuk etnis Bali dan diikuti dengan pemakaman untuk etnis Tionghoa. Contoh-contoh inilah yang dapat dijadikan sebagai indikator bahwa hubungan antar etnik di kawasan tersebut terjalin dengan baik. Integrasi sosial sudah terbina dengan baik sejak puluhan bahkan ratusan tahun yang lalu di Tanjung Benoa. Integrasi yang terbina ini tidak menyebabkan penggabungan area tempat tinggal, tetapi terdapat area-area tertentu untuk setiap etnis yang ada. Hal ini terjadi bukan akibat dari sifat anti terhadap etnik lain karena telah diketahui sifat antar etnik yang begitu dekat di kawasan ini, tetapi pada awal kedatangan masing-masing etnik mereka tinggal secara berkelompok, sehingga terbentuk suatu pola permukiman masyarakat multi-etnik pada kawasan ini. Tempat tinggal yang berkelompok ini tidak menghalangi terjadinya hubungan
6
antar etnik yang ada karena terdapat ruang-ruang yang digunakan sebagai ruang bersama. Ruang bersama pada umumnya terbentuk apabila terdapat aktivitas dari masyarakat pada suatu tempat yang membutuhkan wadah untuk dapat menampung aktivitas tersebut. Wadah tersebut berdasarkan kesadaran dari masing-masing individu diusahakan untuk dijadikan suatu ruang bersama. Ruang bersama secara otomatis menjadi salah satu pusat interaksi antar masyarakat. Pusat-pusat interaksi ini kemudian menciptakan suatu pola ruang interaksi masyarakat pada suatu wilayah. Hal serupa mungkin juga terjadi pada kawasan Tanjung Benoa yang memiliki masyarakat multi-etnik. Pusat-pusat interaksi masyarakat yang terbentuk pastilah mempengaruhi elemen-elemen permukiman, karena hubungan interaksi sosial masyarakat memiliki peran yang sangat besar terhadap permukiman atau lingkungannya dan sebaliknya.
Kehidupan
manusia
atau
perilakunya
akan
mempengaruhi
permukiman yang berkembang pada kawasan tersebut. Elemen pemukiman masyarakat yang biasanya dijadikan pusat interaksi untuk masyarakat umumnya terjadi di tempat beribadatan, banjar dan jalan atau jalur pencapaian yang ada di kawasan tersebut. Tanjung Benoa juga memiliki elemen permukiman yang dapat dijadikan sebagai pusat-pusat interaksi multi-etnik, seperti bale banjar, pos kamling, sekolah, pantai dan fasilitas umum lainnya. Tidak semua ruang bersama yang disebutkan di atas akan dijadikan fokus pada penelitian ini. Ruang bersama yang akan dijadikan fokus adalah ruang-ruang yang dimiliki oleh etnik-etnik tertentu. Dengan kata lain, ruang yang merupakan
7
teritorialitas dari suatu etnik yang ada di Tanjung Benoa. Selain merupakan territorial suatu etnik, ruang yang dipilih merupakan ruang yang dapat digunakan bersama dalam berinteraksi atau memiliki zona-zona yang dapat digunakan bersama (profan) dan ruang sakral. Dengan demikian, ruang yang diteliti dan dikaitkan dengan interaksi multi-etnik adalah ruang peribadatan, pemakaman, bale banjar dan pasar desa. Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan tersebut, diangkat penelitian yang berjudul Teritorialitas dan Interaksi Multi-etnik di Tanjung Benoa, Bali. Penelitian ini diangkat karena dianggap menarik, dimana dicoba untuk dikaji lebih mendalam bagaimana perilaku antar masyarakat multi-etnik khususnya dalam berinteraksi secara sosial dan pengaruhnya terhadap pemanfaatan ruang yang ada pada kawasan di Tanjung Benoa.
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, maka penelitian ini terdapat rumusan masalah yang dijelaskan dengan tiga poin pertanyaan, yaitu sebagai berikut: 1. Bagaimana perilaku dan waktu terjadinya aktivitas interaksi multi-etnik di Tanjung Benoa, Bali? 2. Bagaimana gambaran aktivitas interaksi multi-etnik pada ruang teritorialitas satu etnik di Tanjung Benoa, Bali? 3. Bagaimana dan apa faktor-faktor yang melatarbelakangi aktivitas interaksi multi-etnik pada ruang teritorialitas satu etnik di Tanjung Benoa, Bali?
8
1.3 Tujuan Penelitian Penelitian ini dilakukan untuk mencapai tujuan penelitian yang dapat dibagi dua, yaitu tujuan umum dan tujuan khusus, seperti berikut: 1.3.1 Tujuan umum Mengetahui dan memahami hubungan sosial antar masyarakat multi-etnik yang ada di Tanjung Benoa. Hubungan sosial ini dapat dilihat dari berbagai hal, peneliti melihat dari segi kegiatan atau perilaku dan wadah (ruang yang merupakan teritorial suatu etnik, yaitu tempat peribadatan, pemakaman, bale banjar dan pasar desa yang ada di Tanjung Benoa) yang digunakan untuk menampung aktivitas interaksi tersebut, sehingga akhirnya dapat diketahui dan dipahami penggunaan ruang teritorialitas etnik pada kawasan Desa Adat Tanjung Benoa ini. Penggunaan teritorialitas etnik dan hubungannya dengan perilaku multi-etnik inilah yang menjadi fokus utama dari penelitian ini. 1.3.2 Tujuan khusus Adapun tujuan khusus yang diharapkan tercapai pada penulisan tesis ini, yaitu: 1. Memahami dan mengetahui perilaku dan waktu terjadinya aktivitas interaksi multi-etnik di Tanjung Benoa, Bali. 2. Memahami dan mengetahui gambaran aktivitas interaksi multi-etnik pada ruang teritorialitas satu etnik di Tanjung Benoa, Bali. 3. Memahami dan mengetahui faktor-faktor yang melatarbelakangi aktivitas interaksi multi-etnik pada ruang teritorialitas satu etnik di Tanjung Benoa, Bali.
9
1.4 Manfaat Penelitian Penulisan penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pembaca baik yang bersifat teoritis maupun manfaat yang bersifat praktis. Berikut akan dipaparkan manfaat yang mungkin dapat diberikan dari penelitian Teritorialitas dan Interaksi Multi-etnik di Tanjung Benoa, Bali ini. 1.4.1 Manfaat teoritis Secara akademis, penelitian ini diharapkan dapat memperkaya data mengenai hubungan antara ilmu arsitektur dengan ilmu sosial yang berkaitan dengan interaksi sosial masyarakat multi-etnik. Di samping memperkaya data pembahasan ini dapat dijadikan referensi, khususnya sebagai studi kasus terhadap pengaruh hubungan sosial terhadap ruang-ruang yang merupakan pusat interaksi sosial. Pusat interaksi yang dimaksud adalah wadah untuk menampung kegiatan berupa hubungan masyarakat multi-etnik di Tanjung Benoa, Bali. Wadah tersebut merupakan ruang bersama yang merupakan teritorialitas suatu etnik yang ada di kawasan ini. Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu penelitian yang menambah pengetahuan dalam bidang arsitektur dan bidang ilmu sosial. 1.4.2 Manfaat praktis Diharapkan penelitian ini dapat berguna untuk masyarakat dalam menambah pemahaman dan pengetahuan mengenai penggunaan ruang bersama oleh masyarakat multi-etnik yang penuh dengan keberagaman kebudayaan. Bagaimana masyarakat yang begitu beragam dapat menciptakan suatu kesatuan yang sangat kuat walaupun berbeda dalam banyak hal dan mampu berinteraksi dengan
10
menggunakan ruang-ruang bersama yang ada pada kawasan Tanjung Benoa, walaupun ruang bersama tersebut merupakan teritorialita dari suatu etnik yang ada di desa adat ini. Penelitian ini juga dapat bermanfaat untuk etnik yang ada di Tanjung Benoa untuk mengetahui penggunaan pusat interaksi yang ada dengan maksimal. Selain itu, tidak menutup kemungkinan dengan penelitian ini masyarakat yang ada dapat menambah pusat-pusat interaksi lainnya yang sesuai dengan kegiatan bersama. Dengan terbangunnya ruang-ruang interaksi yang sesuai, maka secara otomatis akan banyak masyarakat yang datang dan memanfaatkannya. Pemanfaatan secara bersama ini akan secara tidak langsung menciptakan hubungan yang lebih harmonis dalam hidup bermasyarakat di Desa Adat Tanjung Benoa ini. Penelitian ini juga membuka peluang bagi penelitian lain baik dalam bidang arsitektur ataupun bidang sosial yang mungkin dapat memperkaya data. Data yang akan diperlukan untuk penelitian mengenai masyarakat multi-etnik baik pada kawasan yang sama ataupun di kawasan lain. Diharapkan penelitian bermanfaat bagi pemerintah khususnya pemerintah Kabupaten Badung, agar pengambil kebijakan dapat menjadikan penelitian ini sebagai data awal mengenai pemanfaatan fasilitas umum oleh masyarakat multietnik. Dan apabila akan dilakukan pengembangan (reklamasi) kawasan penelitian, konflik antar etnik dapat diminimalisir. Manfaat ini juga tidak menutup kemungkinan dapat diterapkan pada daerah lain agar hubungan harmonis yang tercipta di Tanjung Benoa ini juga dapat terjadi di kawasan lain yang multi-etnik.
11
BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN
Bab ini terdiri dari empat subbab, yaitu pertama adalah kajian pustaka yang berisi tentang penelitian-penelitian sebelumnya yang relevan dengan penelitian yang akan dilakukan saat ini. Kedua merupakan konsep yang merupakan batasanbatasan terminologi teknis berdasarkan judul penelitian dan rumusan masalah. Ketiga, berupa landasan teori yang merupakan teori-teori yang digunakan untuk memecahkan rumusan masalah yang ada dalam penelitian ini. Terakhir adalah model penelitian yang menjelaskan mengenai abstraksi dan sintesis antara teori dan permasalahan penelitian yang digambarkan dalam bentuk gambar (bagan).
2.1 Kajian Pustaka Kajian pustaka merupakan kajian mengenai penelitian–penelitian yang relevan terhadap penelitian yang akan dilakukan saat ini. Kajian pustaka ini bertujuan untuk menghindari duplikasi dan menjadi bahan pertimbangan dalam meneliti topik yang diteliti nantinya serta dapat menambah wawasan baik dalam segi pemanfaatan metode ataupun landasan teori yang relevan, sehingga hasil penelitian dapat menjadi lebih baik. Terdapat dua macam cara penulisan kajian pustaka, pertama kajian pustaka yang berorientasi pada peneliti dan yang kedua yang berorientasi kepada tema penelitian (tematik). Dalam penelitian ini digunakan cara kedua, yaitu penulisan yang berdasarkan pada tema penelitian. 11
12
Penelitian-penelitian yang telah ada sebelumnya akan dipaparkan secara tematik adalah sebagai berikut: 2.1.1 Penelitian Mengenai Hubungan Ruang dan Perilaku Penelitian ini melihat bagaimana hubungan antara ruang atau seting dengan perilaku manusia, sehingga dapat ditemukan kesamaan penelitian ini yang melihat bagaimana hubungan masyarakat dan pengaruhnya terhadap pola ruang di Tanjung Benoa. Terdapat dua penelitian mengenai hubungan ruang dan perilaku yang dapat dijadikan sebagai kajian pustaka. Penelitian dengan judul “Telaah Toleransi Penduduk Kampung Kota di Daerah Aliran Sungai Code Berdasarkan Perilaku Dalam Berhubungan Sosial Dengan Tetangga” (Setiawan, 1987) dan penelitian kedua “Perilaku Pemukim Terhadap Lahan Permukiman Sekitar Sungai Di Kawasan Pusat Kota” (Najib, 2005) sama-sama membahas mengenai bagaimana hubungan interaksi manusia pada suatu tempat dapat mempengaruhi lingkungan atau permukimannya. Kedua penelitian mengenai hubungan ruang dan perilaku sama-sama menggunakan metode kualitatif, tetapi pendekatan yang berbeda. Penelitian yang dilakukan oleh Setiawan menggunakan pendekatan fenomenologi dan penelitian oleh Najib menggunakan pendekatan naturalistik. Kedua pendekatan, pendekatan fenomenologi dan naturalistik ini mirip karena sama-sama melihat fenomena yang terjadi di lapangan tanpa berbekal kerangka berpikir yang jelas. Selain itu, teknik pengumpulan data yang digunakan oleh kedua peneliti juga tidak berbeda, yaitu dengan cara observasi, survei, dan dokumentasi. Teknik pengumpulan data
13
dengan tiga cara ini merupakan teknik yang paling sesuai dengan penelitian mengenai hubungan ruang dan perilaku. Materi bahasan yang sama pada kawasan yang berbeda menemukan hasil penelitian yang sama. Masyarakat selalu memanfaatkan lingkungan mereka dengan semaksimal mungkin dan dibuat suatu tempat yang dijadikan ruang bersama untuk menampung interaksi sosial yang ada di Sungai Code dan di sekitar sungai di kawasan pusat kota. Ruang bersama yang ada tidak selalu digunakan oleh orang yang tinggal dekat dengan ruang bersama tersebut. Penggunaan ruang bersama tidak berdasarkan dekat jauhnya ruang tersebut dengan tempat tinggal karena alasan kecocokan hubungan sosial. Hubungan sosial suatu masyarakat tidak terlihat dari jauh dekatnya tempat tinggal, sehingga terkadang orang menggunakan ruang bersama yang jauh dari rumahnya, tetapi hubungan sosial dengan orang di tempat jauh tersebut sangat dekat. Persamaan antara penelitian yang dilakukan oleh Setiwan dan Najib dengan penelitian Pola Ruang Interaksi Multi Etnis di Tanjung Benoa, Bali, adalah materi yang dibahas. Materi yang dihasilkan oleh Setiawan dan Najib sama dengan materi yang ingin ditemukan di Tanjung Benoa, yaitu ditemukan suatu ruang atau pembentukan ruang dalam suatu kawasan dipengaruhi oleh aktivitas interaksi sosial masyarakatnya. 2.1.2 Penelitian Mengenai Penggunaan Ruang Penelitian mengenai penggunaan ruang ini dipergunakan untuk melihat bagaimana menentukan suatu pola ruang dalam suatu kawasan dan metode yang
14
yang paling efektif digunakan untuk menemukan suatu pola penggunaan ruang pada suatu wilayah. Untuk penelitian mengenai penggunaan ruang terdapat dua penelitian, kedua penelitian sama-sama mengkaji arus perkembangan menyebabkan kebutuhan ruang semakin bertambah. Pertambahan kebutuhan ruang akan menciptakan pemanfaat ruang dan menimbulkan pola yang berbeda dengan pola semula. Terdapat dua penelitian yang membahas mengenai pola ruang, penelitian pertama dilakukan oleh Haryanti (2008) yang berjudul “Kajian Pola Pemanfaatan Ruang Terbuka Publik Kawasan Bundaran Simpang Lima Semarang”. Penelitian kedua dilakukan oleh Kasuma dan Iwan (2011) yang berjudul “Karakteristik Ruang Tradisional Pada Desa Adat Penglipuran, Bali”. Penelitian pertama melihat bagaimana pola pemanfaat ruang berdasarkan ruang terbuka publik, ruang terbuka hijau, pola pedestrian dan pola jalur lambat. Penelitian kedua yang berjudul “Karakteristik Ruang Tradisional Pada Desa Adat Penglipuran, Bali” melihat kebutuhan ruang yang semakin bertambah dapat mengancam pola ruang yang seharusnya tetap lestari pada Desa Adat Penglipuran. Penelitian pertama lebih condong untuk meneliti pola ruang dalam bidang perkotaan, sedangkan penelitian kedua meneliti dalam kajian etnik. Metode yang digunakan oleh kedua penelitian untuk dapat mengetahui pola ruang suatu kawasan adalah menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan rasionalistik. Teknik pengumpulan data yang digunakan sama dengan penelitian yang ada sebelumnya, observasi, survei dan dokumentasi. Teknik pengumpulan
15
data inilah yang akan digunakan untuk penelitian Teritorialitas dan Interaksi Multi-etnik di Tanjung Benoa, Bali. 2.1.3 Penelitian Mengenai Teritorialitas Kajian pustaka ketiga membahas mengenai teritorialitas. Penelitian mengenai teritorialitas yang telah ada sebelumnya perlu untuk dibahas, selain membuktikan terdapat penelitian yang hampir serupa dengan penelitian ini dan tidak meniru dari penelitian lain yang serupa. Terdapat tiga penelitian mengenai teritorialitas. Pertama dilakukan oleh Nuraini (2010) yang berjudul “Studi Awal Teritorialitas dan Sistem Seting Permukiman di Sekitar Candi Sukuh” dan yang kedua melihat penelitian teritorialitas di Yogyakarta yang dilakukan oleh Burhanuddin (2009) yang berjudul “Karakteristik Teritorialitas Ruang Pada Permukiman Padat Di Kampung Klitren Lor Kecamatan Gondokusuman, Yogyakarta”. Dan penelitian berjudul “Konsep Perilaku Teritorialitas di Kawasan Pasar Sudirman Pontianak” (Kurniadi, dkk, 2012). Hasil dari penelitian yang dilakukan oleh Nuraini berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Burhanuddin dan Kuradi. Penelitian yang dilakukan Nuraini menunjukkan bahwa teritorialitas permukiman di sekitar Candi Sukuh dapat dibedakan atas dua bagian, yaitu teritorialitas desa dan teritorialitas rumah. Teritorialitas desa di tandai dengan batas desa, penduduk, pola aktivitas masyarakat serta zonifikasi dan hierarki aktivitas masyarakat. Teritorialitas rumah di bedakan atas, teritorialitas dalam satu area hunian dan teritorialitas dalam rumah. Teritorialitas dalam satu area hunian ditandai dengan adanya tingkat atau
16
hierarki area kepemilikan. Teritorialitas dalam rumah dinyatakan dengan perletakan elemen bangunan. Hasil penelitian Barhanuddin dan Kurniadi menyatakan terdapat faktorfaktor penentu yang mempengaruhi pembentukan teritorialitas ruang. Pada penelitian teritorialitas Barhanuddin, hasil penelitian menunjukkan faktor-faktor penentu yang mempengaruhi pembentukan teritorialitas ruang pada Kampung ini adalah berdasarkan status tanah dan jumlah aktivitas warga pengguna ruang pada tiap-tiap kasus, hal ini dapat dilihat pada saat sore dan malam hari. Faktor penentu dapat mempengaruhi pembentukan teritorialitas ruang adalah keterkaitan dengan keterlibatan personal, involvement, kedekatan individu atau kelompok penguna dalam membentuk seting ruang, sehingga terbentuk teritori masyarakat berdasarkan kategori teritori yaitu primary territory, secondary territory dan public territory. Penelitian teritorialitas yang dilakukan di Pontianak menghasilkan terjadinya peluasan teritori diakibatkan oleh kebutuhan, ketika ancaman dari pihak lain dirasakan semakin besar, akibatnya mereka berusaha memperkuat dan memperjelas teritorialitasnya itu dengan menggunakan batas-batas fisik hasil ketiga menunjukkan karena merupakan teritori publik maka pengguna hanya berusaha menyesuaikan diri terhadap keadaan di lapangan dengan mamanfaatkan ruang yang ada untuk bersirkulasi.
Penelitian pertama yang diteliti oleh Nuraini dapat dijadikan pedoman untuk menandakan dan mengetahui teritorialitas dari ruang-ruang yang ada di Tanjung Benoa. Berbeda dengan kedua penelitian yang dilakukan oleh Barhanuddin dan Kurniadi di atas dapat dijadikan pertimbangan dan untuk membantu menjawab
17
rumusan masalah ketiga yang ingin memahami dan mengetahui faktor-faktor atau hal yang melatarbelakangi terjadinya aktivitas interaksi multi-etnik pada ruang publik yang merupakan teritorialitas dari suatu etnik yang ada pada Desa Adat Tanjung Benoa. Secara keseluruhan ketiga penelitian di atas dibedah dengan menggunakan teori utama berupa teori teritorialitas. Teori teritorial juga akan digunakan juga dengan penelitian ini, sehingga dapat dijadikan bahan pertimbangan. Selain itu, teknik pengumpulan data berupa mapping atau pemetaan aktivitas juga dapat dijadikan contoh untuk memecahkan masalah kedua pada penelitian dengan judul “Teritorialitas dan Interaksi Multi-etnik di Tanjung Benoa, Bali”. Metode yang digunakan oleh seluruh penelitian mengenai teritorialitas menggunakan metode yang sama, yaitu metode penelitian kualitatif. Teknik pengumpulan data yang dilakukanpun sama, yaitu melalui observasi, wawancara secara mendalam dan dokumentasi. 2.1.4 Penelitian Mengenai Pola Interaksi Sosial Multi-etnik Banyak penelitian mengenai multi-etnik karena hubungan antar etnis menjadi salah satu fenomena yang cukup menarik untuk dibahas. Penelitian mengenai interaksi sosial multi-etnik inipun dapat diteliti dari berbagai sudut pandang yang berbeda. Penelitian mengenai interaksi multi-etnik umumnya lebih condong melihat bagaimana bentuk dari pola interaksi sosial suatu komunitas atau daerah yang terdiri dari beberapa etnis. Penelitian lain juga ada yang melihat dari perspektif yang berbeda, yaitu mengenai bentuk dari interaksi sosial masyarakat dalam suatu
18
daerah yang dihuni oleh lebih dari satu etnis. Penelitian yang melihat bentuk interaksi sosial menjadi menjadi urutan kedua pilihan penelitian yang paling banyak dikaji di samping mengenai pola interaksi. Selain itu, terdapat penelitian mengenai interaksi multi-etnik yang mengkaji lebih mendalam dengan melihat akibat munculnya globalisasi yang dapat menimbulkan hegemoni budaya pada masyarakat etnis yang minoritas pada suatu daerah. Penelitian mengenai interaksi sosial multi-etnik yang melihat dari sudut pandang bagaimana pola yang dari interaksi sosial masyarakat multi-etnik dan bentuk interaksi dalam suatu kawasan tertentu yang terdiri dari beberapa etnik, adalah penelitian dengan judul “Pola Interaksi dan Integrasi Masyarakat Multi Etnis: Studi Kasus Di Kecamatan Sungai Ambawang, Kabupaten Pontianak” (Nazarudin dkk, 2007) dan penelitian dengan judul “Pola Interaksi Sosial Masyarakat Etnis Jawa Dengan Etnis Cina: Studi di Desa Gurah Kecamatan Gurah Kabupaten Kediri” (Astutik, 2007). Penelitian lain yang dapat menjadi kajian pustaka adalah penelitian “Suku Bajo Dalam Lintas etnik di Kepulauan Karimunjawa Analisis Interaksi Sosial Antar Etnis” (Indiatmoko, 2004). Penelitian ini mengkaji lebih mendalam mengenai munculnya globalisasi yang mengakibatkan hegemoni budaya pada masyarakat etnis yang minoritas pada suatu daerah. Secara keseluruhan ketiga penelitian mengenai interaksi sosial multi etnis di atas dibedah dengan menggunakan teori utama berupa teori interaksi sosial. Teori interaksi sosial digunakan karena hanya teori ini yang membahas mengenai jenis interaksi sosial, proses sosial yang ada dan bentuk-bentuk interaksi dari proses
19
sosial tersebut. Berdasarkan hal inilah ketiga penelitian menggunakan teori interaksi sosial karena paling memegang peranan penting untuk melihat hubungan dan bentuk dari interaksi antar etnis pada suatu wilayah. Metode yang digunakan oleh seluruh penelitian mengenai interaksi sosial multi-etnik ini menggunakan metode yang sama, yaitu metode penelitian kualitatif. Seluruh penelitian di atas bersifat deskriptif, dilihat berdasarkan masalahnya. Teknik pengumpulan data yang dilakukanpun sama, yaitu melalui observasi, wawancara secara mendalam dan dokumentasi. Teknik pengumpulan data yang digunakan pada semua penelitian dalam penelitian pola interaksi sosial multi-etnik merupakan teknik yang paling tepat untuk memecahkan hubungan interaksi sosial masyarakat multi-etnik. Terakhir akan dilihat dari hasil dari seluruh penelitian mengenai interaksi sosial multi-etnik. Penelitian yang dilakukan oleh Nazarudin dkk (2007) dan Astutik (2007) yang ingin melihat bagaimana bentuk interaksi sosial pada suatu wilayah yang dihuni oleh lebih dari satu etnik menghasilkan hal yang sama. Kedua penelitian menghasilkan kesimpulan bahwa agar tercipta interaksi sosial yang baik dan kehidupan bermasyarakat yang harmonis, terdapat bentuk interaksi, seperti kerja sama, asimilasi dan akomodasi yang merupakan proses assosiatif. Penelitian yang dilakukan oleh Idiatmoko (2004) dan Nazarudin dkk (2007) mengenai pola interaksi juga menghasilkan suatu kesimpulan yang sama. Hasil penelitian keduanya menunjukkan bahwa pola interaksi sosial masyarakat antar etnik merupakan interaksi yang saling menghargai, sehingga tercipta hubungan yang harmonis. Integrasi tercipta dengan baik antar etnis ini dikarenakan setiap
20
anggota masyarakat memiliki sifat toleransi yang sangat tinggi terhadap etnis lain tanpa adanya sifat saling merendahkan antar etnis. Kesimpulan yang didapatkan kedua peneliti ini sama, walaupun pola interaksi yang diteliti sedikit berbeda. Idiatmoko melihat pola interaksi antar etnis mayoritas dan minoritas di Kepulauan Karimunjawa. Penelitian Nazarudin dkk melihat pola interaksi antar masyarakat multi-etnik di Kecamatan Sungai Ambawang tanpa adanyanya etnis mayoritas dan minoritas. Pemaparan tiga penelitian mengenai interaksi sosial masyarakat multi-etnik di atas memberikan masukan terhadap penelitian ini, Pola Ruang Interaksi Multi Etnis di Tanjung Benoa, Bali. Peneliti dapat menggunakan teori yang sama, teori interaksi sosial untuk memecahkan rumusan masalah pertama mengenai perilaku interaksi sosial yang terjadi antara lima etnis yang ada di Tanjung Benoa. Lima etnis tersebut adalah etnis Bali, Tionghoa, Bugis, Jawa dan Palue (Flores). Apabila ketiga penelitian di atas menggunakan teori interaksi sosial, maka dalam penelitian ini terdapat teori lain yang digunakan seperti teori perilaku sosial dan behavioral setting. Teknik pengumpulan data yang digunakan memang harus observasi, wawancara yang mendalam dan dokumentasi. Teknik pengumpulan data sudah sesuai untuk mendapatkan gambaran keseluruhan hubungan atau interaksi yang terjadi di Tanjung Benoa serta tempat yang digunakan untuk mewadahi interaksi tersebut. Hasil penelitian antara Idiatmoko, Nazzarudin dkk dan Astutik berbeda dengan penelitian dengan Judul Pola Ruang Interaksi Multi Etnis di Tanjung
21
Benoa, Bali. Ketiga penelitian yang menjadi kajian pustaka memiliki tujuan untuk memahami dan mengetahui pola interaksi, intergritas dan bentuk interaksi sosial antar multi-etnik di kawasan penelitian masing-masing. Sedangkan penelitian di Tanjung Benoa ingin memahami dan mengetahui tidak hanya bentuk interaksi sosial multi-etnik saja, tetapi juga tempat serta waktu dilakukannya interaksi serta penggunaan ruang akibat interaksi sosial tersebut.
Berdasarkan beberapa kajian pustaka di atas, maka dibuatkan suatu kesimpulan secara ringkas (lihat lampiran 1) mengenai penelitian pada kajian pustaka. Kajian pustaka dibagi menjadi empat tema penelitian, yaitu penelitian mengenai hubungan ruang dan perilaku, mengenai penggunaan ruang, teritorialitas serta penelitian mengenai pola interaksi sosial multi-etnik. Berdasarkan keempat tema ini peneliti dapat menjadikannya sebagai bahan pertimbangan. Penelitian mengenai teritorialitas dapat menjadi dijadikan pedoman untuk menandakan dan mengetahui teritorialitas dari ruang-ruang yang ada di Tanjung Benoa dan untuk membantu menjawab rumusan masalah ketiga yang ingin memahami dan mengetahui faktor-faktor atau hal yang melatarbelakangi terjadinya aktivitas interaksi multi-etnik pada ruang publik yang merupakan teritorialitas dari suatu etnik yang ada pada Desa Adat Tanjung Benoa. Penelitian mengenai pola interaksi sosial multi-etnik membantu peneliti dalam menentukan teori yang sesuai untuk membedah rumusan masalah yang ada dalam penelitian mengenai Teritorialitas dan Interaksi Multi-etnik di Tanjung
22
Benoa, Bali. Teori interaksi sosial membantu untuk menjawab rumusan masalah pertama. Terdapat persamaan penggunaan metode dalam keseluruhan penelitian dengan penelitian yang dilakukan di Tanjung Benoa, yaitu penggunaan metode kualitatif. Metode kualitatif digunakan karena penelitian mengenai hubungan interaksi sosial dengan ruang membutuhkan perkembangan dari topik kajian selama dilakukan penelitian di lapangan. Teknik pengumpulan data yang digunakan oleh seluruh penelitian pada kajian pustaka dengan penelitian lima etnik ini sama, yaitu dengan cara observasi, survei (wawancara secara mendalam) dan dokumentasi.
2.2 Konsep Dalam penelitian konsep dapat berupa bagian untuk menjelaskan arti dari potongan kalimat yang terdapat dalam judul penelitian atau rumusan masalah. Sama halnya dalam penelitian ini konsep yang digunakan berasal dari penggalan kata pada judul penelitian dan dari rumusan masalah. Konsep digunakan untuk menyamakan persepsi antara peneliti dengan pembaca, sehingga maksud peneliti atau penulis dapat tersampai dengan benar terhadap pembaca. 2.2.1 Konsep Teritorialitas Teritorialitas berasal dari kata teritori. Teritori berarti wilayah atau daerah dan teritorialitas adalah wilayah yang dianggap sudah menjadi hak seseorang. Teritorialitas merupakan perwujudan “ego” seseorang karena orang tidak ingin diganggu atau dapat dikatakan sebagai perwujudan dari privasi seseorang.
23
Menurut Julian Edney pada tahun 1974 (dalam Laurens, 2004: 124) teritorialitas sebagai sesuatu yang berkaitan dengan ruang fisik, tanda, kepemilikan, pertahanan, penggunaan yang eksklusif, personalisasi dan identitas. Teritorialitas juga terdapat dominasi, kontrol, konflik, keamanan, gugatan akan sesuatu dan pertahanan. Teritorialitas merupakan suatu tempat yang nyata, yang relatif tetap dan tidak berpindah mengikuti gerakan individu yang bersangkutan. Secara singkat teritorialitas dapat dikatakan sebagai suatu pola tingkah laku yang ada hubungannya dengan kepemilikan atau hak seseorang atau sekelompok orang atas suatu tempat atau suatu lokasi geografis. Pengertian teritorialitas yang dimaksudkan oleh penulis berhubungan dengan penelitian yang berjudul Teritorialitas dan Interaksi Multi-etnik di Tanjung Benoa, Bali, adalah suatu pola tingkah laku yang ada hubungannya dengan kepemilikan atau hak seseorang atau sekelompok orang atas suatu tempat di kawasan penelitian ini. Dalam hal ini teritorialitas yang ingin dilihat adalah teritori atau tempat yang dikuasai atau dimiliki oleh suatu etnik di Tanjung Benoa atau teritorialitas etnik. 2.2.2 Konsep Interaksi Multi-etnik Untuk menjelaskan kepada pembaca mengenai interaksi multi-etnik ini, setidaknya perlu dikaji terlebih dahulu mengenai interaksi dan multi-etnik tersebut terlebih dahulu agar lebih mudah untuk menyamakan persepsi mengenai interaksi multi-etnik. Terdapat beberapa pengertian dari interaksi. Menurut Homans, interaksi merupakan suatu kejadian ketika suatu aktivitas yang dilakukan oleh seseorang
24
terhadap individu lain diberi ganjaran atau hukuman dengan menggunakan suatu tindakan oleh individu lain yang menjadi pasangannya. Konsep yang dikemukakan oleh Homans ini mengandung pengertian bahwa interaksi adalah suatu tindakan yang dilakukan oleh seseorang atau individu dalam interaksi merupakan suatu stimulus bagi tindakan individu lain yang menjadi pasangannya (Alimah, 2012). Pengertian interaksi yang dimaksud oleh peneliti dengan tiga pengertian yang dipaparkan di atas memiliki persamaan, tetapi untuk melengkapi pengertian dari interaksi, peneliti menggabungkan pengertiannya dengan pengertian yang ada. Interaksi pada penelitian ini memiliki pengertian hubungan yang terjadi secara timbal balik baik antar individu, antar kelompok, maupun antar individu dengan kelompok manusia dan masing-masing dari individu atau kelompok yang terlibat di dalam hubungan tersebut memainkan peran secara aktif atau saling mempengaruhi satu sama lain. Berikutnya akan dibahas sedikit mengenai pengertian multi yang memiliki arti, banyak; lebih dari satu; lebih dari dua dan berlipat ganda. Etnik sendiri memiliki arti yang sangat ambigu dan banyak sekali pengertian mengenai etnik, antara lain: 1. Kata etnik (ethnic) berasal dari bahasa Yunani ethnos, yang merujuk pada pengertian bangsa atau orang. Ethnos sering diartikan sebagai kelompok sosial yang ditentukan oleh ras, adat istiadat, bahasa, nilai dan norma budaya dan lain sebagainya (Liliweri, 2005: 8).
25
2. Istilah etnik adalah himpunan manusia karena kesamaan ras (lebih kepada perbedaan fisik), agama, asal-usul bangsa ataupun kombinasi dari kategori tersebut yang terikat pada sistem nilai budayanya (Frederich Barth, 1988 dan Zastrow, 1989 dalam Liliweri, 2005: 9). 3. Etnik sebagai kelompok sosial atau kesatuan hidup manusia yang mempunyai sistem
interaksi,
sistem
norma
yang
mengatur
interaksi
tersebut
(Koentjaraningrat, 1989 dalam Liliweri, 2005: 9-10) Pengertian etnis di atas memiliki pengertian yang hampir sama dengan pengertian etnis menurut penulis. Guna melengkapi pengertian etnik menurut penulis, maka dilakukan penggabungan pengertian yang ada dan disesuaikan dengan pengertian penulis. Etnik menurut penulis adalah hal yang berhubungan dengan suatu kelompok manusia yang berkaitan dengan ras atau suku, asal usul, adat, agama, bahasa, dan kebudayaan tertentu yang sama. Jadi, multi-etnik adalah beberapa kelompok atau aneka kelompok manusia yang memiliki ras, suku, asal usul, adat, agama, bahasa dan kebudayaan yang berbeda-beda. Pengertian interaksi multi-etnik dalam judul penelitian Teritorialitas dan Interaksi Multi-etnik di Tanjung Benoa, Bali adalah hubungan yang terjadi secara timbal balik baik antar individu, antar kelompok utama (etnis Bali, Tionghoa, Bugis, Jawa dan Palue), maupun antar individu dengan kelompok manusia yang memiliki kebudayaan yang berbeda satu dengan lainnya dan masing-masing dari individu atau kelompok yang terlibat di dalam aktivitas tersebut saling mempengaruhi satu sama lain.
26
2.2.3 Tanjung Benoa Tanjung Benoa merupakan salah satu kelurahan yang terdapat di Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten Badung. Kelurahan Tanjung Benoa ini terdiri dari dua desa Adat, yaitu Desa Adat Tengkulung yang terdiri dari satu banjar, yaitu Banjar Tengkulung dan Desa Adat Tanjung Benoa yang terdapat lima lingkungan banjar. Kelima lingkungan banjar adalah Lingkungan Banjar Kertha Pascima, Lingkungan Banjar Purwa Santhi, Lingkungan Banjar Anyar, Lingkungan Banjar Tengah dan Lingkungan Banjar Panca Bhinneka. Sebagian besar sisi kelurahan ini berbatasan langsung dengan laut, kecuali bagian selatan yang berbatasan dengan Kelurahan Benoa. Desa adat ini terdapat lima etnik utama yang tinggal di Tanjung Benoa, yaitu etnik Bali, Tionghoa, Bugis, Jawa dan Palue (Flores). Jadi, penelitian dengan judul “Teritorialitas dan Interaksi Multi-etnik di Tanjung Benoa, Bali” membahas mengenai bagaimana pola ruang yang dapat terbentuk dari wadah yang tercipta guna menampung aktivitas interaksi antar multi etnis, yaitu antar etnik Bali, Tionghoa, Bugis, Jawa dan Palue (Flores) di salah satu desa adat yang ada di kelurahan ini yaitu Desa Adat Tanjung Benoa.
2.3 Landasan Teori Dalam suatu penelitian, landasan teori memegang peranan yang cukup penting karena dapat dimanfaatkan untuk menjawab atau memecahkan masalah yang ada dalam penelitian. Untuk mengkaji permasalahan dalam penelitian ini, teori yang digunakan adalah teori behavioral setting (seting perilaku), teori
27
teritorialitas, teori seting, teori sakral dan profan, teori perilaku sosial dan teori interaksi sosial. 2.3.1 Behavioral Setting (Seting Perilaku) Istilah behavioral setting atau dalam bahasa Indonesia disebut dengan seting perilaku, pertama kali diperkenalkan oleh Roger Barker, pelopor kajian ecological psychology, sekitar tahun 1950-an bersama dengan Wright dalam studi mereka tentang perilaku anak-anak di berbagai lokasi yang berbeda. Penelitian studi oleh Barker dan Wright menemukan pola perilaku yang unik dan spesifik terkait secara khusus dengan unsur-unsur fisik atau seting yang ada. Berdasarkan studi ini, Barker dan Wright mengembangkan metode behavioral setting untuk mangkaji kaitan antara perilaku dan sistem seting. Hasil-hasil kajian ini dituangkan oleh Barker dalam suatu buku yang cukup monumental di bidang kajian arsitektur lingkungan dan perilaku, yaitu Ecological Psychology yang terbit pada tahun 1969. Dalam buku ini dijelaskan penekanan dalam kajian seting perilaku adalah bagaimana cara mengidentifikasikan perilaku-perilaku yang secara konstan atau berkala muncul pada suatu tempat atau seting tersebut (Haryadi, 2010: 28). Behavioral setting didifinisikan oleh Roger Barker pada tahun 1968 dalam dalam bukunya yang berjudul Ecological Psychology sebagai kombinasi yang stabil antara aktivitas, tempat dan kriteria sebagai berikut: (1) Terdapat suatu aktivitas yang berulang, berupa suatu pola perilaku. Dapat terdiri atas satu atau lebih pola ekstra individual; (2) Dengan tata lingkungan tertentu, milieu (lingkungan pergaulan) ini berkaitan dengan pola perilaku; (3) Membentuk suatu
28
hubungan yang sama antar keduanya; (4) Dilakukan pada periode waktu tertentu (Laurens, 2004: 175). Behavioral setting dapat diartikan secara sederhana sebagai suatu interaksi antara suatu kegiatan dengan tempat dan waktu yang spesifik. Dengan demikian, behavioral setting mengandung unsur-unsur sekelompok orang yang melakukan sesuatu kegiatan, aktivitas atau perilaku dari sekelompok orang tersebut dan tempat serta waktu dimana kegiatan tersebut dilaksanakan. Manusia dan obyek adalah komponen primer. Manusia adalah bagian yang paling paling utama bagi behavioral setting, tanpa keberadaan manusia sebagai pengguna, behavioral setting tidak akan terwujud. Meskipun demikian, hubungan antara manusia dan obyek fisik mewujudkan keberadaan behavioral setting. Contoh dari behavioral setting dapat kita temui di sekeliling kita dalam kehidupan sehari-hari (Haryadi, 2010: 27). Dalam banyak kajian arsitektur lingkungan dan perilaku istilah behavioral setting dijabarkan dalam dua istilah, yaitu system of setting dan system of activity, keterkaitan antara kedua istilah ini membentuk suatu behavior setting tertentu. System of setting atau sistem ruang diartikan sebagai rangkaian unsur-unsur fisik atau spasial yang mempunyai hubungan tertentu dan terkait hingga dapat dipakai untuk suatu kegiatan tertentu. System of activity atau sistem aktivitas diartikan sebagai suatu rangkaian perilaku yang secara sengaja dilakukan oleh satu atau beberapa orang. Kedua istilah ini menegaskan bahwa di antara beberapa unsur ruang atau di antara beberapa kegiatan tersebut, terdapat suatu struktur atau rangkaian yang menjadikan kesatuan kegiatan atau perilakunya mempunyai
29
makna, terlepas dari apakah makna ini dapat diartikan oleh orang lain yang tidak terkait dengan kegiatan tersebut. Behavioral setting mempunyai spektrum yang sangat luas, mulai dari sesuatu yang mikro seperti kamar hingga yang berskala makro dalam hal ini contohnya adalah kota. Setiap spektrum mempunyai batasan area tersendiri yang dikenal dengan teritorial, karena setiap sekelompok manusia dapat membentuk suatu behavior setting yang berbeda tergantung nilai-nilai, kesempatan dan keputusan yang dibentuk oleh kelompok tersebut (Haryadi, 2010: 28-29). Teknik yang sering digunakan untuk mengamati kegiatan dalam suatu lingkungan adalah behavioral mapping. Teknik ini mempunyai kekuatan utama dalam aspek spasialnya. Dengan teknik ini akan didapatkan sekaligus suatu bentuk informasi mengenai fenomena (terutama perilaku individu dan sekelompok manusia) yang terkait dengan sistem spasialnya (Ittelson, 1970 dalam Haryadi, 2010: 81). Behavioral mapping digambarkan dalam sketsa atau diagram mengenai suatu area dimana manusia melakukan berbagai kegiatannya. Tujuannya adalah untuk menggambarkan perilaku dalam peta, mengidentifikasikan jenis dan frekuensi perilaku serta menunjukkan kaitan antara perilaku tersebut dengan wujud perancangan yang spesifik (Sommer dalam Haryadi, 2010: 81). Jenis perlaku yang biasa dipetakan adalah pola perjalanan, migrasi, kegiatan rumah tangga serta penggunaan berbagai fasilitas publik. Terdapat dua cara dalam melakukan pemetaan perilaku, yaitu place-centered mapping dan person-centered mapping (Haryadi, 2010: 82-83).
30
1. Pemetaan berdasarkan tempat (place-centered mapping) Teknik ini digunakan untuk mengetahui bagaimana manusia atau sekelompok manusia memanfaatkan, menggunakan atau mengakomodasikan perilakunya dalam suatu situasi waktu dan tempat yang tertentu. Dengan kata lain, perhatian dari teknik ini adalah salah satu tempat yang spesifik, baik kecil maupun besar. Dalam teknik ini langkah pertama yang harus dilakukan adalah membuat sketsa dari tempat atau seting, meliputi seluruh unsur fisik yang diperkirakan mempengaruhi perilaku pengguna ruang tersebut. Berikutnya membuat daftar perilaku yang akan diamati serta menentukan simbol atau tanda sketsa atas setiap perilaku. Kemudian, dalam kurun waktu tertentu, peneliti mencatat perilaku yang terjadi dalam tempat tersebut dengan menggambarkan simbol-simbol pada peta dasar yang telah disiapkan. 2. Pemetaan berdasarkan pelaku (person-centered mapping) Teknik ini menekankan pada pergerakan manusia pada suatu periode tertentu. Dengan demikian, teknik ini akan berkaitan dengan beberapa tempat atau lokasi. Pada pengamatan ini peneliti hanya mengamati seseorang yang telah ditentukan sebelumnya. Tahap pertama yang harus dilakukan adalah memilih seseorang yang akan diamati perilakunya lalu mulai mengikuti pergerakan atau aktivitas yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang yang diamati. Pengamatan dapat dilakukan secara berlanjut atau hanya pada waktu-waktu tertentu tergantung dari tujuan dari penelitian.
31
Berdasarkan pemaparan mengenai behavioral setting dapat diketahui bahwa teori ini akan membantu dalam meneliti bagaimana aktivitas masing-masing kelompok etnik dapat mempengaruhi seting yang menampung aktivitas tersebut. Behavioral mapping akan sangat membantu dalam meneliti fokus dari penelitian ini yang ingin melihat suatu aktivitas dan wadah dari aktivitas dan bagaimana hubungan antara aktivitas dan wadahnya begitupula sebaliknya, sehingga ini merupakan salah satu teori yang baik untuk digunakan untuk menemukan jawaban dari permasalahan yang ada. Dengan teknik pemetaan perilaku, dapat dilihat bagaimana masing-masing etnik di Tanjung Benoa, etnik Bali, Bugis, Jawa, Palue (Flores) dan Tionghoa berperilaku di suatu seting yang ada di daerah Tanjung Benoa ini, seperti pada bale banjar, sekolah, pasar dan fasilitas umum yang ada. Setelah meneliti perilaku masyarakat multi etnis, selanjutnya penelitian dilakukan secara terbalik, yaitu untuk melihat bagaimana seting yang ada di Tanjung Benoa tersebut dapat mempengaruhi aktivitas dari masing-masing etnik yang ada. Setelah melakukan penelitian dengan menggunakan teknik behavioral mapping, maka dapat diketahui bagaimana pola ruang yang terjadi di Tanjung Benoa. 2.3.2 Teori Teritorialitas 1. Pengertian Teritorialitas Teritori berarti wilayah atau daerah dan teritorialitas adalah wilayah yang dianggap sudah menjadi hak seseorang. Teritorialitas merupakan perwujudan “ego” seseorang karena orang tidak ingin diganggu, atau dapat dikatakan sebagai perwujudan dari privasi seseorang. Teritorialitas manusia dapat dilihat dalam
32
kehidupan sehari-hari, seperti papan nama, pagar pembatas atau papan kepemilikan suatu lahan. Julian Edney pada tahun 1974 (dalam Laurens, 2004: 124) mendefinisikan teritorialitas sebagai sesuatu yang berkaitan dengan ruang fisik, tanda, kepemilikan, pertahanan, penggunaan yang eksklusif, personalisasi dan identitas. Teritorialitas juga terdapat dominasi, kontrol, konflik, keamanan, gugatan akan sesuatu dan pertahanan. Teritorialitas merupakan suatu tempat yang nyata, yang relatif tetap dan tidak berpindah mengikuti gerakan individu yang bersangkutan. Misalnya, kamar tidur seseorang adalah wilayah yang dianggap sudah menjadi hal milik seseorang. Meskipun individu yang bersangkutan tidak sedang berada di dalam ruang tersebut dan apabila terdapat orang yang memasuki kamar tersebut tanpa meminta izin, pemilik ruang akan merasa teritorialitasnya telah diganggu dan akan merasa tidak nyaman atau marah. Selain ruang dalam lingkup yang besar, ruang yang tidak dimiliki permanen juga dapat menjadi teritorialitas seseorang apabila terdapat tanda. Misalnya, bangku-bangku di kantin. Apabila ada orang yang menempati bangku tersebut, kemudian ingin pergi sebentar untuk keperluan lain, dia akan meninggalkan sesuatu seperti buku atau tas di atas meja. Individu lain yang melihat buku atau tas di tempat tersebut akan tahu bahwa bangku tersebut sudah menjadi teritorinya, sehingga tidak diduduki. Dari contoh tersebut, teritorialitas dapat diartikan sebagai suatu pola tingkah laku yang ada hubungannya dengan kepemilikan atau hak seseorang atau
33
sekelompok orang atas suatu tempat atau suatu lokasi geografis. Pola tingkah laku ini mencakup personalisasi dan pertahanan terhadap gangguan dari luar. Fisher mengatakan bahwa kepemilikan atau hak dalam teritorialitas ditentukan oleh persepsi orang yang bersangkutan sendiri. Persepsi ini bisa aktual, yaitu memang pada kenyataannya dia benar memiliki, seperti kamar tidur, tetapi bisa juga hanya merupakan kehendak untuk menguasai atau mengontrol suatu tempat, seperti meja makan atau bangku di kantin. Teritorialitas memiliki lima ciri, yaitu (1) ber-ruang, (2) dikuasai, dimiliki atau dikendalikan oleh seorang individu atau kelompok, (3) memuaskan beberapa kebutuhan (misalnya status), (4) ditandai baik secara konkrit atau simbolik, (5) dipertahankan atau setidaknya orang merasa tidak senang bila dimasuki atau dilanggar dengan cara apapun oleh orang asing. Menurut Lang (1987 dalam Wulandari, 2011), terdapat empat karakter dari teritorialitas, yaitu kepemilikan atau hak dari suatu tempat, personalisasi atau penandaan dari suatu area tertentu, hak untuk mempertahankan diri dari gangguan luar, dan pengatur dari beberapa fungsi, mulai dari bertemunya kebutuhan dasar psikologis sampai kepada kepuasaan kognitif dan kebutuhan-kebutuhan estetika. 2. Kriteria Teritorialitas Terdapat berbagai teritori, ada yang berukuran besar, ada yang berukuran kecil. Terkadang ada yang bersarang dalam teritori lainnya atau saling berbagi satu sama lain. Mengenal klasifikasi teritori merupakan salah satu cara untuk mengerti bagaimana teritorialitas ini terjadi.
34
Dalam usahanya membangun suatu model yang memberi perhatian secara khusus pada desain lingkungan, maka Husesein El-Sharkawy (dalam Wulandari, 2011) mengidentifikasikan empat tipe teritori, yaitu attached, central, supporting dan peripheral. (1) Attached territory adalah gelembung ruang atau batas maya yang mengelilingi diri seseorang; (2) Central territory, seperti rumah seseorang, ruang kelas, ruang kerja, dimana kesemuanya itu kurang memiliki personalisasi: Oscar Newman menyebutnya ruang privat; (3) Supporting territory adalah ruangruang yang bersifat semi-privat dan semi-publik pada semi-privat terbentuknya ruang terjadi pada ruang duduk asrama, ruang duduk atau santai di tepi kolam renang, atau area-area pribadi pada rumah tinggal seperti pada halaman depan rumah yang berfungsi sebagai pengawasan terhadap kehadiran orang lain. Ruang semi publik, antara lain adalah salah satu sudut ruangan dalam toko, kedai minuman. Semi privat cenderung untuk dimiliki, sedangkan semi publik tidak dimiliki oleh pemakai; (4) Peripheral territory adalah ruang publik, yaitu areaarea yang dipakai oleh individu-individu atau suatu kelompok, tetapi tidak dapat memiliki dan menuntutnya. Tingkah laku teritorialitas manusia mempunyai dasar yang berbeda dengan binatang karena teritorialitas manusia berintikan pada privasi. Sedangkan untuk hewan lebih kepada pertahanan diri, dorongan untuk pertahanan hidup dan mempertahankan jenis. Teritorialitas manusia mempunyai fungsi yang lebih tinggi daripada sekedar fungsi mempertahankan hidup. Pada manusia, teritorialitas ini tidak hanya berfungsi sebagai perwujudan privasi saja, tetapi lebih jauh lagi teritorialitas juga memiliki fungsi sosial dan fungsi komunikasi.
35
Fungsi sosial dari teritorialitas dapat dilihat dalam pertemuan-pertemuan resmi ketika sudah ditentukan tempat duduk setiap orang sesuai dengan kedudukan, jabatan dan pangkat yang bersangkutan. Seorang pegawai biasa tidak akan berani duduk di daerah terdepan meskipun bangku tersebut kosong. Bangku kosong tersebut dianggap merupakan bangku untuk para pejabat. Dengan demikian, teritorialitas juga mencerminkan lapisan sosial dalam masyarakat. Sebagai media komunikasi, teritori juga dapat dibagi menjadi beberapa golongan. Klasifikasi teritori lain yang terkenal dan lebih sering digunakan adalah klasifikasi yang dibuat Altman pada tahun 1980 (dalam Laurens, 2004: 126) yang didasarkan pada derajat privasi, afiliasi dan kemungkinan pencapaian. Terdapat tiga golongan, yaitu teritori primer, teritori sekunder dan teritori publik. Teritori primer adalah tempat-tempat yang sangat pribadi sifatnya, hanya bisa dimasuki oleh orang-orang yang sudah sangat akrab atau sudah mendapat izin khusus. Teritori ini dimiliki oleh perorangan atau sekelompok orang yang juga mengendalikan penggunaan teritori tersebut secara relatif tetap, berkenaan dengan kehidupan sehari-hari ketika keterlibatan psikologis penghuninya sangat tinggi. Misalnya, ruang tidur atau ruang kantor. Meskipun ukuran dan jumlah penghuninya tidak sama, kepentingan psikologis dari teritori primer bagi penghuninya selalu tinggi. Teritori sekunder merupakan tempat-tempat yang dimiliki bersama oleh sejumlah orang yang sudah cukup saling mengenal. Kendali pada teritori ini tidaklah sepenting teritori primer dan terkadang berganti pemakai atau berbagi
36
penggunaan dengan orang asing. Misalnya ruang kelas, kantin kampus dan ruang olahraga. Terakhir adalah teritori publik. Teritori ini merupakan tempat-tempat yang terbuka untuk umum. Pada prinsipnya, setiap orang diperkenankan untuk berada di tempat tersebut. Misalnya, pusat perbelanjaan, tempat rekreasi, lobi hotel dan ruang sidang pengadilan yang dinyatakan terbuka untuk umum. Terkadang terjadi teritori publik yang dikuasai oleh kelompok tertentu dan tertutup bagi kelompok lain, seperti bar yang hanya untuk orang dewasa atau tempat-tempat hiburan yang tebuka untuk dewasa umum, kecuali anggota ABRI, misalnya. Berdasarkan pemakaiannya, teritorial publik atau umum dapat dibagi menjadi tiga (Wulandari, 2011), yaitu (1) Stalls merupakan suatu tempat yang dapat disewa atau dipergunakan dalam jangka waktu tertentu, biasanya berkisar antara jangka waktu lama dan agak lama. Contohnya adalah kamar-kamar dihotel, kamar-kamar di asrama, ruangan kerja, lapangan tenis, sampai ke bilik telepon umum. Kontrol terhadap stalls terjadi pada saat penggunaan saja dan akan berhenti pada saat penggunaan waktu habis; (2) Turns mirip dengan stalls, hanya berbeda dalam jangka waktu penggunaannya saja. Turns dipakai orang dalam waktu yang singkat, misalnya tempat antrian karcis, antrian bensin dan sebagainya; (3) Use space adalah teritori yang berupa ruang yang dimulai dari titik kedudukan seseorang ke titik kedudukan objek yang sedang diamati seseorang. Contohnya adalah seseorang yang sedang mengamati objek lukisan dalam suatu pameran, maka ruang antara objek lukisan dengan orang yang sedang mengamati tersebut adalah “Use Space” atau ruang terpakai yang dimiliki oleh
37
orang itu, serta tidak dapat diganggu gugat selama orang tersebut masih mengamati lukisan tersebut. Selain pengklasifikasian tersebut, Altman pada tahun 1975 (dalam Laurens, 2004: 127) juga mengemukakan dua tipe teritori lain, yaitu objek dan ide. Meskipun keduanya bukan berwujud tempat, diyakini juga memenuhi kriteria teritori. Karena seperti halnya dengan tempat, orang juga menandai, menguasai, mempertahankan dan mengontrol barang mereka, seperti buku-buku, pakaian, motor dan objek lain yang dianggap miliknya. Ruang kerja seseorang bisa menjadi teritori sekunder ketika dia masih mengizinkan orang lain, seperti tamunya masuk. Demikian pula dengan ide, orang mempertahankannya melalui hak paten atau hak cipta; pemilik perangkat lunak memasang kunci dengan kode-kode tertentu pada program mereka agar tidak dikuasai orang lain. Selain tipologi tersebut, Lyman dan Scott pada tahun 1967 (dalam Laurens, 2004: 128) juga membuat klasifikasi tipe teritorialitas yang sebanding dengan klasifikasi Altman. Namun, terdapat dua tipe yang berbeda, yaitu teritori interaksi (interactional territories) dan teritori badan (body territory). Teritori interaksi ditujukan pada suatu daerah yang secara temporer dikendalikan oleh sekelompok orang yang berinteraksi. Misalnya, sebuat tempat perkemahan yang sedang dipakai oleh sekelompok remaja untuk kegiatan perkemahan, ruang kuliah yang dipakai oleh sejumlah mahasiswa peserta mata kuliah tertentu, lapangan sepakbola yang dipakai untuk pertandingan oleh sekelompok klub sepakbola. Apabila terjadi intervensi ke dalam daerah ini, tentu
38
dianggap sebagai gangguan. Misalnya, sekelompok anak yang masuk ke dalam lapangan bola ketika sedang dilakukannya pertandingan bola orang dewasa atau seorang anak kecil masuk ke dalam ruang kuliah yang tidak diperuntukkan baginya. Sementara itu, teritori badan dibatasi oleh badan manusia (kulit manusia) artinya segala sesuatu mengenai kulit manusia tanpa izin dianggap gangguan. Orang akan mempertahankan diri terhadap gangguan tersebut. 3. Pelanggaran dan Pertahanan Teritori Bentuk pelanggaran teritori yang dapat diindikasikan adalah invasi ruang. Seseorang secara fisik memasuki teritori orang lain, biasanya dengan maksud mengambil kendali atas teritori tersebut dari pemiliknya. Hal ini dapat terjadi pada berbagai tingkatan dari antar individu hingga suatu wilayah kenegaraan. Bentuk kedua adalah kekerasan. Suatu bentuk pelanggaran yang bersifat temporer atas teritori seseorang. Biasanya hal ini bukan untuk menguasai teritori orang lain, melainkan suatu bentuk gangguan. Terkadang gangguan terjadi tanpa disengaja, misalnya seorang anak laki-laki memasuki toilet wanita karena dia belum bisa membaca. Namun, ada juga gangguan yang terjadi dengan sengaja tanpa harus memasuki teritori secara fisik. Contohnya terlihat pada saat pencurian atau gangguan pada data computer di sebuah perusahaan atau memasuki gelombang radio tertentu tanpa izin. Bentuk ketiga adalah kontaminasi, yaitu seseorang mengganggu teritori orang lain dengan meninggalkan sesuatu yang tidak menyenangkan, seperti sampah, coretan atau bahkan merusak barang atau teritori tersebut. Pertahanan yang dapat
39
dilakukan untuk mencegah pelanggaran teritori adalah (1) Pencegahan, seperti memberi lapisan pelindung, memberi rambu-rambu atau pagar batas sebagai antisipasi sebelum terjadinya pelanggaran; (2) Reaksi, sebagai respon terhadap terjadinya pelanggaran, seperti langsung menindak atau menghadapi si pelanggar; (3) Batas sosial yang digunakan pada tepi teritori internasional. Pertahanan ini terdiri atas suatu kesepakatan yang dibuat oleh tuan rumah dan tamunya. Batas sosial ini dapat dilihat saat seseorang menggunakan paspor untuk memasuki wilayah negara tertentu. 4. Pengaruh pada Teritorialitas Beberapa faktor yang mempengaruhi keanekaan teritori adalah karakteristik personal seseorang, perbedaan situasional baik berupa tatanan fisik maupun situasi sosial budaya seseorang (Laurens, 2004: 130-133). a. Faktor personal Karakteristik seseorang, seperti jenis kelamin, usia dan kepribadian yang diyakini mempunyai pengaruh terhadap sikap teritorialitas. Penelitian yang dilakukan di sebuah asarama mendapatkan bahwa pria menggambarkan teritori mereke lebih besar daripada wanita. Penghuni asrama diminta menggambarkan teritori mereka dalam ruang tidur bersama dan menandai mana yang dianggap teritorinya dan mana yang dianggap teritori milik teman sekamarnya. Pria menggambarkan teritori yang diklaim sebagai miliknya lebih besar daripada yang digambarkan wanita (Mercer dan Benyamin, 1980 dalam Laurens, 2004: 131). Pada umumnya, pria menganggap dirinya mempunyai status yang lebih tinggi di tempat kerjanya dan mengklaim teritori yang lebih besar dari wanita.
40
Sementara itu, pria akan beranggapan bahwa rumah adalah teritori bersama, tetapi dapur adalah teritori wanita. Dari hal ini disimpulkan bahwa gender dan kepribadian merupakan dua hal yang saling terkait dalam penentuan teritori. b. Faktor Situasi Perbedaan situasi berpengaruh pada teritorialitas, ada dua aspek situasi, yaitu tatanan fisik dan sosial budaya yang dianggap mempunyai peran dalam menentukan sikap teritorialitas seseorang. Oscar Newman dalam teorinya (dalam Laurens, 2004: 131) mengenai defensible space mengemukakan bahwa kriminalitas di perumahan dan ketakutan akan kriminalitas merupakan dua gejala yang berkaitan dengan invasi teritori. Bentuk desain tertentu, seperti penghalang yang nyata ataupun barrier simbolis dapat digunakan untuk memisahkan teritori publik dan pribadi. Dengan demikian memberikan peluang bagi pemilik untuk melakukan pengamatan daerahnya akan meningkatkan rasa aman dan mengurangi kriminalitas dalam teritori tersebut. Desain tata letak bangunan atau desain jalan dapat mempengaruhi perilaku penghuni atau penggunanya. c. Faktor Budaya Faktor budaya dapat mempengaruhi sikap teritorialitas. Secara budaya terdapat perbedaan sikap teritori yang dilatarbelakangi oleh budaya individu yang sangat beragam. Apabila seseorang mengunjungi ruang publik yang jauh berada di luar kultur budayanya pasti akan sangat berbeda sikap teritorinya. Pada sebuah contoh penelitian yang dilakukan oleh Smith pada tahun 1980 (dalam Laurens, 2004: 132) mengenai teritori pantai pada orang Jerman dan Prancis, ditemukan hal
41
yang sama, yaitu kelompok yang lebih besar mengklain area perorang yang lebih kecil dibandingkan kelompok kecil. Secara budaya terdapat perbedaan sikap teritorial. Orang Prancis mempunyai sikap teritorial terendah. Mereka menganggap pantai itu milik semua orang. Sementara itu, orang Jerman lebih banyak memberi tanda-tanda kepemilikan dengan membuat istana pasir atau hal lainnya untuk membatasi teritori mereka. 5. Teritorialitas dan Perilaku Teritorialitas berfungsi sebagai proses sentral dalam personalisasi, agresi, dominasi, menenangkan, koordinasi dan control (Laurens, 2004: 135-136). a. Personalisasi dan Penandaan Personalisasi dan penandaan, seperti memberi nama, tanda atau menempatkan di lokasi strategis, bisa terjadi tanpa kesadaran akan teritorialitas. Seperti membuat pagar batas, memberi papan nama yang merupakan tanda kepemilikan. Perilaku personalisasi dapat juga dilakukan secara verbal. Penandaan juga dipakai seseorang untuk mempertahankan haknya di teritori publik, seperti kursi di ruang publik. Personalisasi dan penandaan kadang juga dibuat dengan sengaja dengan maksud tertentu, seperti tulisan “dilarang parkir di depan pintu” dan tulisan lainnya yang menandakan teritorialitas. b. Agresi Pertahanan dengan kekerasan yang dilakukan seseorang akan semakin keras bila pelanggaran terjadi di teritori primernya dibandingkan dengan pelanggaran yang terjadi di ruang publik. Pada tingkat yang lebih luas, misalnya teritori daerah
42
atau Negara, perang sudah sangat sering terjadi karena adanya agresi. Agresi biasanya terjadi karena batas teritori tidak jelas. c. Dominasi dan Kontrol Dominasi dan kontrol umumnya banyak terjadi di teritori primer. Kemampuan suatu tatanan ruang untuk menawarkan privasi melalui kontrol teritori menjadi penting. Hal ini berarti tatanan tersebut mampu memenuhi beberapa kebutuhan dasar manusia, yaitu kebutuhan akan identitas yang berkaitan dengan kebutuhan akan kepemilikan harga diri dan aktualisasi diri. 6. Teritorialitas dalam Desain Arsitektur Terdapat banyak cara dalam mengolah penggunaan elemen fisik untuk membuat demarakasi teritori.
Semakin banyak
sebuah desain mampu
menyediakan teritori primer bagi penghuninya, desain itu akan semakin baik dalam memenuhi kebutuhan penggunanya. Sebuah ruang terbuka, sebuah ruangan atau ruang arsitektural dapat diklaim sebagai teritori yang bersifat publik ataupun bersifat pribadi, bergantung pada pencapaian, bentuk pengawasan, pengguna ruangan tersebut, orang yang merawat dan bertanggung jawab atas ruang tersebut. Sebuah ruang tidur dianggap lebih pribadi sifatnya daripada dapur. Ruang tidur memiliki kunci sendiri untuk bisa masuk, merawat dan menata sesuai dengan kehendak pemilik ruang. Berbeda dengan ruang keluarga atau dapur yang pemeliharaannya ditanggung bersama seluruh penghuni rumah.
43
a. Publik dan Privat Gradasi teritori dalam desain arsitektur bersifat primer, sekunder dan publik. Dapat kita lihat contohnya dalam sebuah hunian di Bali yang dibatasi oleh dinding keliling dan pintu masuk melalui sebuah candi bentar sebagai penanda teritori. Ruang-ruang fungsi ditata sesuai dengan adat istiadat Bali. Sebuah fungsi berupa sebuah bangunan, seperti ruang tidur dan dapur sebagai bangunan yang berdiri sendiri, sehingga jika seseorang telah melewati candi bentar, dia tidak langsung masuk dalam ruangan yang bersifat privat. Dia tidak merasa berada dalam teritori hunian yang sifatnya pribadi, karena tidak dengan sendirinya mempunyai akses ke ruang-ruang fungsi tersebut. Untuk menuju ruang yang bersifat lebih intim, tidak dapat dicapai dengan mudah. Dengan demikian, rumah Bali ini membentuk gradasi teritori melalui urutan aksesibilitas. Pada kompleks perumahan real estate di perkotaan juga diberi penanda teritori kompleks. Biasanya berupa pos penjaga dengan portal, sehingga meskipun jalan yang ada di dalam kompleks perumahan tersebut adalah jalan umum atau teritori publik, tidak mudah bagi orang asing untuk memasukinya. Seseorang yang bukan penghuni akan merasa asing atau setidaknya merasa sebagai tamu di kawasan tersebut. Sebaliknya sebagai penghuni, orang merasa telah berada dalam teritorinya, meski sesungguhnya dia merasa di teritori publik. Ruang publik adalah area yang terbuka. Ruang ini dapat dicapai oleh siapa saja pada waktu kapan saja dan tanggung jawab pemeliharaannya adalah kolektif. Sementara itu, ruang privat adalah area yang aksesibilitasnya ditentukan oleh seseorang atau oleh sekelompok orang dengan tanggung jawab ada pada mereka.
44
Apabila seseorang atau sekelompok orang mendapat ruang untuk memakai sebagian area publik untuk kepentingannya dan hanya secara tidak langsung berguna bagi orang lain, akan terbentuk semacam kesepakatan umum bahwa penggunaan itu dibenarkan secara temporer ataupun permanen. Dalam perancangan ruang-ruang arsitektural, apabila disadari adanya derajat teritori yang berkaitan dengan aksesibiltas menuju ruang tertentu, arsitek dapat mengekspresikan perbedaan teritori ini baik melalui batas nyata ataupun batas simbolik melalui artikulasi bentuk, penggunaan material, permainan cahaya atau warna, sehingga dapat terbentuk suatu tatanan yang utuh. b. Ruang Peralihan Apabila teritori primer individual tidak dimungkinan dalam desain, arsitek bisa merancang adanya teritori primer atau sekunder bagi sekelompok orang. Merancang adanya peluang mengatur diri bagi pengguna, seperti membuat “saran” bagi seseorang atau sekelompok pengguna, memberi kenyamanan agar pengguna merasa nyaman, tidak terganggu dan mempunyai lingkungan sesuai dengan kebutuhannya. Daerah peralihan dibuat sebagai penghubung berbagai teritori yang berbeda sifatnya. Sebagai daerah peralihan dari teritori primer yang bersifat privat ke teritori publik, perwujudan arsitekturalnya hendaknya ramah, karena merupakan daerah penyambutan atau perpisahan. Area peralihan semacam ini juga dipakai sebagai wadah melakukan kontak sosial, sehingga secara administratif bisa termasuk teritori publik ataupun teritori privat.
45
Arsitek dapat memberi kontribusi dalam merancang suatu lingkungan. Lingkungan tersebut dapat menawarkan peluang bagi individu untuk membuat identifikasi dan tanda-tanda personal, sehingga bisa bersinergi dengan kepentingan publik membentuk suatu tempat yang sungguh menjadi teritori mereka. Suatu tempat yang dikontrol dan dikelola oleh setiap individu, sehingga bisa menghindari kriminalitas. 2.3.3 Teori Seting Menurut Rapoport (1982: 4-5), seting merupakan tata letak dari suatu interaksi antara manusia dengan lingkungannya, seting mencakup lingkungan tempat manusia (komunitas) berada (tanah, air, ruangan, udara, pohon, makhluk hidup lainnya), yaitu untuk mengetahui tempat dan situasi dengan apa mereka berhubungan sebab situasi yang berbeda mempunyai tata letak yang berbeda pula. Dalam konteks ruang, seting dapat dibedakan atas seting fisik dan seting aktifitas. Berdasarkan elemen pembentuknya, seting dapat dibedakan atas (Rapoport, 1982): 1. Elemen fixed, merupakan elemen yang pada dasarnya tetap atau perubahannya jarang. Secara spasial elemen-elemen ini dapat di organisasikan ke dalam ukuran, lokasi, urutan dan susunan. Tetapi dalam suatu kasus fenomena, elemen-elemen ini bisa dilengkapi oleh elemn-elemen yang lain, meliputi: bangunan dan perlengkapan jalan yang melekat. 2. Elemen semi fixed, merupakan elemen-elemen agak tetap tapi tetap berkisar dari susunan dan tipe elemen, seperti elemen jalan, tanda iklan, etalase toko
46
dan elemen-elemen urban lainnya. Perubahannya cukup cepat dan mudah, meliputi parkir dan sistem penanda. 3. Elemen non fixed, merupakan elemen yang berhubungan langsung dengan tingkah laku atau perilaku yang di tujukan oleh manusia itu sendiri yang selalu tidak tetap, seperti posisi tubuh dan postur tubuh serta gerak anggota tubuh, seperti pejalan kaki, pergerakan kendaraan. Aktivitas
manusia
sebagai
wujud
dari
perilaku
yang
ditujukan
mempengaruhi dan dipengaruhi oleh tatanan (seting) fisik yang terdapat dalam ruang yang menjadi wadahnya, sehingga untuk memenuhi hal tersebut di butuhkan adanya: 1. Kenyamanan, menyangkut keadaan lingkungan yang memberikan rasa sesuai dengan panca indra 2. Aksesibilitas, menyangkut kemudahan bergerak melalui dan menggunakan lingkungan sehingga sirkulasi menjadi lancar dan tidak menyulitkan pemakai. 3. Legibilitas, menyangkut kemudahan bagi pemakai untuk dapat mengenal dan memahami elemen-elemen kunci dan hubungannya dalam suatu lingkungan yang menyebabkan orang tersebut menemukan arah atau jalan. 4. Kontrol,
menyangkut
kondisi
suatu
lingkungan
untuk
mewujudkan
personalitas, menciptakan teritori dan membatasi suatu ruang. 5. Teritorialitas, menyangkut suatu pola tingkah laku yang ada hubungannya dengan kepemilikan atau hak seseorang atau sekelompok orang atas suatu tempat. Pola tingkah laku ini mencakup personalisasi dan pertahanan terhadap gangguan dari luar.
47
6. Keamanan, menyangkut rasa aman terhadap berbagai gangguan yang ada baik dari dalam maupun dari luar. Ruang yang menjadi wadah dari aktivitas di upayakan untuk memenuhi kemungkinan kebutuhan yang diperlukan manusia, yang artinya menyediakan ruang yang memberikan kepuasan bagi pemakainya. Seting terkait langsung dengan aktivitas atau kegiatan manusia, sehingga dengan mengidentifikasi sistem aktivitas yang terjadi dalam suatu ruang akan teridentifikasi pula sistem setingnya yang terkait dengan keberadaan elemen dalam ruang. 2.3.4 Teori Sakral dan Profan Seluruh kebudayaan manusia memecahkan dunia mereka ke dalam dua kelompok, yaitu sakral dan profan. Sakral dan profan merupakan dua hal yang sangat berbeda. Perbedaan sakral dan profan terbentuk dari pikiran orang (Eliade, 1957: 14). Menurut Emile Durkheim, seluruh keyakinan manapun, baik yang sederhana maupun yang kompleks, memperlihatkan satu karakteristik umum yaitu memisahkan antara ”yang sakral” dan ”yang profan” yang terkadang dikenal dengan ”natural” dan ”supernatural”. Durkheim menambahkan bahwa hal-hal yang bersifat sakral selalu diartikan sebagai sesuatu yang superior, berkuasa, yang dalam kondisi normal hal-hal tersebut tidak tersentuh dan selalu dihormati. Halhal yang bersifat profan merupakan bagian keseharian dari hidup dan bersifat biasa-biasa saja (Durkheim, 1995: 44). Durkheim mengatakan, konsentrasi utama keyakinan terletak pada ”yang sakral”, karena memiliki pengaruh luas, menentukan kesejahteraan dan
48
kepentingan seluruh anggota masyarakat. Yang profan tidak memiliki pengaruh yang begitu besar dan hanya merupakan refleksi keseharian dari setiap individu. Maka, Durkheim mengingatkan bahwa ”yang sakral” dan ”yang profan” hendaknya tidak diartikan sebagai sebuah konsep pembagian moral, bahwa yang sakral sebagai kebaikan dan yang profan sebagai keburukan. Menurut Durkheim, kebaikan dan keburukan sama-sama ada dalam ”yang sakral” ataupun ”yang profan”. Hanya saja yang sakral tidak dapat berubah menjadi profan dan begitupula sebaliknya yang profan tidak dapat menjadi yang sakral (Pals, 1996: 91-92). Eliade menyatakan pada awalnya mitos dianggap sebagai kebenaran yang mutlak dan pada saat inilah sakral pertama kali muncul. Atau sakral sejalan dengan mitos. Sakral dianggap jauh melebihi dari pengertian manusia (Eliade, 2013). Kata sakral (sacred) berasal dari bahasa Latin “sacrum” yang berarti para dewa atau apa pun yang termasuk kekuasaan mereka, imam, suci. Dilihat secara spasial, hal ini merujuk ke daerah sekitar kuil. Pendapat ini sesuai dengan yang dikatakan oleh Eliade saat membahas tempat suci. Ia mencontohkan dengan gereja, pintu yang merupakan ambang batas antara profan di luar dan bagian dalam adalah sakral. Setara dengan gereja dalam budaya kuno adalah kandang suci, yang dibuka ke atas menuju langit, dunia para dewa. Tempat-tempat suci yang diturunkan kepada manusia religius melalui tanda-tanda berbagai macam, diakui sebagai berasal dari ilahi (Eliade, 1957: 25).
49
Sakral berarti dihormati karena hubungannya dengan kesucian. Kesakralan atau kesucian, pada umumnya keadaan menjadi suci (dirasakan oleh individu agama terkait dengan ilahi) atau sakral (merupakan hal spiritual yang dianggap layak untuk dihormati). Dalam konteks lain, benda yang sering dianggap 'suci' atau 'sakral' digunakan untuk tujuan spiritual, seperti ibadah. Sakral sering dianggap berasal dari orang (orang suci, pendudukan agama atau nabi suci yang dihormati oleh para pengikutnya), obyek (artefak suci yang diberkati), waktu ("hari suci" introspeksi spiritual, seperti selama liburan musim dingin), atau tempat ("tanah suci"). Biasanya, kelompok sosial atau agama menganggap wilayah yang sakral atau suci, di mana ada kehadiran manusia, misalnya pemakaman atau bangunan atau tempat untuk ibadah. Namun, ada daerah alami di setiap daerah, seperti lembah, gunung, sungai, hutan, gurun, dan lain sebagainya yang terkadang dianggap sakral. Profan merupakan kebalikan dari segala hal yang berhubungan dengan sakral. Profan tidak bersangkutan dengan agama atau tujuan keagamaan. Sakral dikatakan berhubungan dengan kesucian atau kekudusan dan profan merupakan hal yang tidak kudus (suci) karena tercemar, kotor, dan lain sebagainya. Secara umum profan disebut dengan keduaniawian. Polaritas sakral-profan sering dinyatakan sebagai pertentangan antara yang nyata dan tidak nyata atau nyata semu. Terkadang perbedaan nampak dari waktu, waktu sakral kembali ke awal, sedangkan waktu profan adalah linear. Sakral berorientasi kepada dunia. Profan tidak memiliki orientasi yang terkandung di
50
dalamnya. Secara keruangan, ruang sakral menuntut respon tertentu dari manusia, sedangkan ruang profan tidak memberi manusia pola atas perilakunya atau tidak menuntut respon (Eliade, 1957: 68). Arsitektur sakral (juga dikenal sebagai arsitektur religius) adalah praktek arsitektur religius yang berkaitan dengan desain dan konstruksi tempat ibadah atau ruang suci, seperti gereja, masjid, kuil, pura ataupun klenteng. Struktur sakral, religius atau suci selalu berkembang selama berabad-abad dan merupakan bangunan terbesar di dunia, sebelum adanya gedung pencakar langit modern. Dengan munculnya monoteisme, bangunan sakral semakin menjadi pusat ibadah, berdoa dan meditasi (Anonim, 2013). Teori sakral dan profan digunakan pada penelitian ini untuk membedakan fasilitas publik yang bersifat sakral dan profan. Dengan mengetahui zona yang bersifat sakral pada bangunan publik, maka akan diketahui penggunaan ruang masyarakat multi-etnik di Tanjung Benoa, Bali. 2.3.5 Teori Perilaku Sosial Perlu diketahui mengenai pengertian sosiologi sebelum membahas mengenai teori perilaku sosial. Sosiologi menurut Max Weber adalah ilmu yang memusatkan perhatiannya pada pemahaman interpretatif atas tindakan sosial pada penjelasan kausal pada proses dan konsekuensi dari tindakan tersebut (Ritzer dan Goodman, 2010 dalam Mahira, 2011: 2). Dapat disimpulkan bahwa sosiologi itu mencakup tiga hal yaitu sosiologi merupakan ilmu, sosiologi memusatkan perhatian pada kausalitas (hubungan sebab akibat) dan sosiologi menggunakan pemahaman interpretasi.
51
Kata perikelakuan atau perilaku digunakan oleh Weber untuk perbuatanperbuatan yang bagi si pelaku mempunyai arti subjektif, pelaku dalam ingin mencapai suatu tujuan didorong oleh motivasi. Perikelakuan menjadi sosial menurut Weber terjadi hanya kalau dan sejauh mana arti maksud subjektif dari tingkah laku membuat individu memikirkan dan menunjukkan suatu keseragaman yang kurang lebih tetap. Pelaku individual mengarahkan kelakuannya kepada penetapan-penetapan atau harapan tertentu yang berupa kebiasaan umum atau dituntut dengan tegas atau bahkan dibekukan dengan undang-undang (Veeger dalam Mahira, 2011: 3). Terkait dengan tindakan sosial, Weber menjadikan individu sebagai fokus kajian. Manusia sebagai makhluk hidup melakukan sesuatu karena mereka memutuskan untuk melakukannya guna mencapai apa yang dikehendaki yang akhirnya dapat memilih tindakan (Jones, 2009 dalam Mahira, 2011: 3). Dalam hal ini masyarakat merupakan hasil akhir dari interaksi manusia yang berasal dari interaksi individual. Tindakan sosial menurut Weber terbagi menjadi dua, yaitu reactive behavior berupa reaksi perilaku spontan yang memiliki subjective meaning atau tindakan yang dilakukan sekedar spontanitas belaka berikut tak berkelanjutan. Tindakan semacam ini adalah tindakan yang tak bertujuan atau tak disadari sebelumnya oleh seseorang. Kedua adalah social action yang muncul dari respon terhadap perilaku manusia yang menjalankan fungsinya sebagai anggota dalam masyarakat. Secara tidak langsung, tindakan ini lebih bersifat subjektif pada tindakan yang dilakukan aktor dalam lingkungan masyarakat. Mereka reaktif dan dikondisikan
52
bukan produk pengambilan keputusan kreatif yang sukarela (Wirawan, 2012: 103). Selain dua tindakan sosial, Weber juga mengkaji empat tipologi tindakan sosial, yaitu pertama adalah traditional action (tindakan tradisional) adalah tindakan yang diulang secara teratur, menjadi kebiasaan, tidak menjadi persoalan kebenaran dan keberadaannya. Tindakan semacam ini adalah tindakan warisan yang diturunkan dari generasi yang lalu atau berlaku secara turun temurun. Tindakan tradisional tidak menghasilkan suatu masalah besar bagi pelakunya. Kedua adalah affectual action (tindakan afeksi) merupakan tindakan yang didasarkan pada sentimen atau emosi yang dimiliki seseorang, tergambar dari beberapa tindakan, seperti gembira, marah atau takut. Hal ini akan mempengaruhi tindakan atau respon orang dalam melakukan tindakan. Tindakan ketiga adalah instrumentally rational action (tindakan rasional instrumental), tindakan yang pada dasarnya dilakukan mengingat eksisnya kepentingan maupun tujuan tertentu. Dengan kata lain tindakan rasional instrumental merupakan tindakan yang dilakukan oleh seseorang didasarkan pada pertimbangan dan pilihan yang secara sadar dipilih untuk mencapai sebuah tujuan. Tindakan terakhir adalah value rational action (tindakan rasional nilai), tindakan sosial ini mirip dengan tindakan rasional instrumental. Perbedaannya tindakan ini dengan tindakan rasional instrumental terletak pada tujuan dan manfaat. Tindakan rasional instrumental lebih memperhitungkan tujuan daripada manfaatnya. Tindakan rasional nilai lebih memperhitungkan manfaat dan berorientasi kepada nilai, sedangkan tujuan yang ingin dicapai tidak terlalu
53
dipertimbangkan. Tindakan ini dilakukan dengan penuh kesadaran serta tak terlepas dari nilai-nilai dasar yang berlaku dalam masyarakat, seperti nilai agama dan sosial budaya (Wirawan, 2012: 101). Tindakan sosial serupa dengan perbuatan sosial. Tindakan sosial ini akan menimbulkan tanggapan atau reaksi, hal inilah yang disebut dengan perilaku sosial. Penelitian ini membahas bagaimana tindakan sosial dalam konteks spasial, berbicara tentang spasial (ruang) tidak terlepas dari bidang arsitektur. Arsitektur yang menggarap sebuah ruang untuk masyarakat dan mempertimbangkan kebutuhan masyarakat, sebenarnya melakukan rekayasa sosial (sosiologi terapan). Dalam hal ini sosial (sosiologi) diperlukan untuk menjadi bahan pertimbangan di dalam memperkirakan pola perilaku masyarakat (Hariyono dalam Mahira, 2011: 6). Relasi antara sosiologi dan arsitektur dapat dilihat dari penataan tata ruang yang dipengaruhi oleh faktor budaya masyarakatnya, seperti di rumah masyarakat Tionghoa. Tindakan sosial orang Tionghoa, seperti yang selalu berkumpul bersama keluarga pada saat-saat tertentu (Tahun Baru Imlek atau Capgome dan acara besar masyarakat Tionghoa lainnya) dan selalu dilakukan secara berulang dengan teratur dan menjadi kebiasaan termasuk ke dalam tindakan sosial. Tindakan ini merupakan sesuatu yang tanpa disadari selalu akan dilaksanakan. Akibat dari tindakan tradisional ini menimbulkan perilaku sosial, yaitu berkumpul bersama untuk merayakan suatu acara, makan bersama atau hanya berkumpul tanpa ada alasan yang jelas. Perilaku sosial inilah yang rumah orang Tionghoa
54
(totok) pada umunya terdapat ruang tengah yang dibuat luas sebagai tempat berkumpul keluarga. Dari hal di atas dapat diketahui, dalam penataan suatu bangunan ataupun kawasan, perlu dilihat bagaimana pola aktivitas dari masyarakat yang tinggal dalam kawasan tersebut. Pola aktivitas masyarakat dapat menjadi pertimbangan dalam merencanakan panataan suatu kawasan, termasuk peruntukannya. Teori perilaku sosial perlu menjadi salah satu landasan teori karena aktivitas yang terjadi sangat dipengaruhi oleh perilaku sosial masyarakat tersebut. Teori ini dapat digunakan untuk memecahkan rumusan masalah pertama, yaitu untuk memahami dan mengetahui perilaku dari aktivitas interaksi multi-etnik di Tanjung Benoa, Bali. 2.3.6 Teori Interaksi Sosial Interaksi sosial memiliki arti yang sangat beragam dari masing-masing ahli mengenai ilmu sosial budaya, sehingga untuk menyimpulkan apa yang dimaksud dengan interaksi sosial harus dilihat secara menyeluruh pengertian interaksi dari masing-masing ahli. Pengertian interaksi dari beberapa sumber, antara lain: 1. Menurut Shaw (dalam Alimah, 2012), interaksi sosial adalah suatu pertukaran antar pribadi yang masing-masing orang menunjukkan perilakunya satu sama lain dalam kehadiran mereka, dan masing-masing perilaku mempengaruhi satu sama lain. Hal yang serupa juga dikemukan oleh ahli sosial Thibaut dan Kelley bahwa interaksi sosial sebagai peristiwa saling mempengaruhi satu sama lain ketika dua orang atau lebih hadir bersama. Pelaku interaksi menciptakan suatu hasil satu sama lain atau berkomunikasi satu sama lain.
55
Jadi, dalam kasus interaksi, tindakan setiap orang bertujuan untuk mempengaruhi individu lain. 2. Menurut Gillin dan Gillin (dalam Alimah, 2012), interaksi sosial merupakan hubungan-hubungan sosial yang dinamis menyangkut hubungan antar orang, antar kelompok, maupun antar individu dengan kelompok manusia. Interaksi sosial dapat diartikan sebagai hubungan timbal balik. Hal ini disebabkan dalam interaksi sosial terdapat aksi dan reaksi dari individu yang berinteraksi. Interaksi sosial terjadi apabila satu individu melakukan tindakan sehingga menimbulkan reaksi dari individu-individu lain. 3. Pengertian interaksi sosial menurut Bonner merupakan suatu hubungan antara dua orang atau lebih. Dimana kelakuan suatu individu akan mempengaruhi atau mengubah kelakuan individu lain dan sebaliknya (Saripudin, 2010: 4). Berdasarkan tiga pengertian interaksi sosial di atas dapat disimpulkan bahwa, interaksi sosial adalah hubungan timbal balik antar individu, antar kelompok, maupun antar individu dengan kelompok manusia. Individu ataupun kelompok yang terlibat di dalamnya memainkan perannya secara aktif. Dalam interaksi terjadi lebih dari sekedar hubungan antara pihak-pihak yang terlibat. Hubungan yang terjadi memberikan pengaruh signifikan terhadap pihak-pihak yang terlibat di dalamnya. Dalam definisi interaksi yang telah disimpulkan di atas, interaksi sosial selalu melibatkan dua orang atau lebih. Terdapat tiga jenis interaksi sosial (Hendra, 2009), yaitu interaksi antara individu dengan individu, antara kelompok dengan kelompok dan antara individu dengan kelompok. Interaksi antara individu
56
dengan individu terjadi pada saat dua individu bertemu, walaupun tidak melakukan kegiatan apa-apa. Sebenarnya interaksi sosial telah terjadi apabila masing-masing pihak sadar akan adanya pihak lain yang menyebabkan perubahan dalam diri masing-masing, seperti minyak wangi, bau keringat, bunyi sepatu ketika berjalan, dan hal-hal lain yang bisa mengundang reaksi orang lain. Wujud lain dari interaksi antara individu dengan individu yang lebih nampak jelas terjadi pada saat berjabat tangan, saling bercakap-cakap, saling menyapa, dan lain sebagainya. Jenis interaksi sosial yang kedua adalah interaksi antara kelompok dengan kelompok, interaksi jenis ini terjadi pada kelompok yang bersifat sebagai satukesatuan. Kepentingan individu dalam kelompok merupakan satu-kesatuan yang berhubungan dengan kepentingan individu dalam kelompok lain, contohnya pada pertandingan antar-tim kesebelasan sepak bola. Pada pertandingan sepak bola setiap individu bermain untuk kepentingan kesebelasannya (kelompok). Jenis yang ketiga adalah interaksi antara individu dengan kelompok, interaksi ini menunjukkan bahwa kepentingan individu berhadapan dengan kepentingan kelompok. Bentuk interaksi dalam suatu aktivitas berbeda-beda sesuai dengan keadaan (Nitihardjo, 2010). Secara teoritis, terdapat dua syarat terjadinya interaksi sosial, yaitu terdapat kontak sosial dan komunikasi (Syarbaini, 2009: 26). Kontak sosial merupakan suatu usaha pendekatan baik dengan pertemuan fisik ataupun rohaniah. Kontak pada dasarnya merupakan aksi individu atau kelompok dan mempunyai makna bagi pelakunya yang kemudian ditangkap oleh individu atau kelompok.
57
Kontak sosial dapat dibagi menjadi dua (Syarbaini, 2009: 26-27), yaitu berdasarkan tingkat hubungannya dan berdasarkan sifatnya. Kontak sosial yang berdasarkan tingkat hubungannya, dibagi lagi menjadi dua. Pertama kontak sosial yang bersifat primer (face to face), seperti bertemu secara langsung dengan individu atau kelompok lain. Kedua kontak sosial yang bersifat sekunder, kontak antara individu tidak saja terjadi pada jarak yang dekat misalnya dengan berhadapan, muka juga tidak hanya pada jarak sejauh kemampuan panca indra manusia. Tetapi alat-alat kebudayaan manusia memungkinkan individu-individu berkontak pada jarak yang amat jauh, misalnya hubungan yang dilakukan melalui berbagai media seperti media komunikasi, baik perantara orang maupun alat, seperti telepon, surat kabar, TV, radio dan lainnya. Kontak sosial berdasarkan sifatnya, juga dibagi menjadi dua, yaitu bersifat positif atau negatif. Kontak sosial positif merupakan hubungan sosial yang mengarah pada suatu kerjasama. Kontak sosial yang bersifat negatif adalah hubungan sosial yang mengarah pada pertentangan atau bahkan tidak terdapat interaksi sosial sama sekali (Syarbaini, 2009: 28). Syarat kedua terjadinya interaksi sosial adalah komunikasi. Komunikasi adalah usaha penyampaian informasi kepada individu lainnya. Komunikasi hampir sama dengan kontak, namun adanya kontak belum tentu berarti terjadi komunikasi. Komunikasi menuntut adanya pemahaman makna atas suatu pesan dan tujuan bersama antara masing-masing pihak. Tanpa adanya komunikasi tidak mungkin terjadi proses interaksi sosial. Dalam komunikasi terdapat perbedaan interpretasi terhadap tingkah laku orang lain akibat perbedaan konteks sosialnya.
58
Karakter komunikasi manusia dapat menggunakan isyarat fisik sederhana ataupun dengan kata-kata. Dalam komunikasi terdapat empat unsur, yaitu pengirim, penerima, pesan, dan umpan balik. Unsur pertama adalah pengirim (sender) atau yang biasa disebut communicator adalah pihak yang mengirimkan pesan kepada orang lain. Unsur kedua, penerima (receiver) yang biasa disebut communicant adalah pihak yang menerima pesan dari pengirim. Selanjutnya, terdapat pesan (message) yang merupakan isi atau informasi yang disampaikan pengirim kepada penerima. Unsur terakhir terdapat umpan balik (feed back) berupa reaksi dari penerima atas pesan yang diterima lihat Gambar 2.1 (Nitiharjo, 2010). Primer
Face to face
Tingkat Sekunder
Dengan perantara orang atau alat
Kontak Sosial Positif
Kerjasama
Negatif
Pertentangan (Tidak ada interaksi)
Sifat
Sender Isyarat Fisik
Receiver Empat unsur
Komunikasi
Message
Kata-kata Feed back Gambar 2.1 Syarat Interaksi Sosial (Dokumen Ongelina, 2013)
59
Terdapat konsep jarak dalam berkomunikasi yang dikemukakan oleh Edward T. Hall pada tahun 1963 (dalam Laurens, 2004: 112-113). Menurut Hall, dalam situasi sosial, manusia cenderung menggunakan empat macam jarak, yaitu jarak intim, jarak personal atau pribadi, jarak sosial dan jarak publik. Masingmasing dari keempat jarak ini memiliki dua fase, fase dekat dan fase jauh. Dalam satu jenis jarak terdapat fase paling dekat dan terdapat fase terjauh yang masih termasuk dalam jenis jarak tersebut.
Gambar 2.2 Jarak Komunikasi (Laurens, 2005: 109)
Jarak intim, dengan fase dekat antara 0,00 hingga 0,15 meter dan fase jauh antar 0,15 hingga 0,50 meter. Pada jarak ini kehadiran seseorang sangat jelas. Masing-masing pihak dapat saling mendengar, mencium atau merasakan nafas yang lain. Fase dekat digunakan bila sedang melakukan kontak fisik (otot dan kulit saling bersentuhan), seperti bergulat, bertinju atau untuk melindungi dan menenangkan. Jarak ini sering dilakukan pada saat merangkul kekasih, sahabat atau anggota keluarga. Pada jarak ini tidak diperlukan usaha keras seperti
60
berteriak atau menggunakan gerak tubuh untuk berkomunikasi, cukup dengan berbisik. Jarak personal atau jarak pribadi dengan fase dekat dari 0,50 hingga 0,75 meter dan fase jauh antara 0,75 sampai 1,20 meter. Jarak pribadi merupakan daerah yang melindungi diri dari sentuhan orang lain. Jarak ini terjadi pada percakapan antara dua sahabat atau antara orang yang sudah saling akrab. Gerakan tangan diperlukan untuk berkomunikasi normal. Bila ruang pribadi diganggu, seseorang sering merasa tidak nyaman dan tegang. Dalam berbincang dengan jarak yang dekat, pembicaraan akan terganggu, tidak mantap dan biasa terputus-putus. Pada saat tertentu seorang individu tidak merasa terganggu saat jarak pribadinya dimasuki oleh individu lain. Sebagai contoh, apabila individu lain memasuki ruang pribadi dalam pesta atau orang yang disukai yang memasukinya, tidak ada rasa terganggu (DeVito, 1997: 197). Jarak sosial memiliki fase dekat antara 1,20 hingga 2,10 meter dan fase jauh antar 2,10 hingga 3,60 meter. Jarak sosial merupakan batas normal bagi individu dengan kegiatan serupa atau kelompok sosial yang sama. Pada jarak ini komunikasi dapat terjadi dengan baik apabila seseorang berbicara dengan suara agak keras dan gerak anggota badan disengaja untuk membantu maksud dalam berkomunikasi. Jarak sosial membutuhkan kontak mata agar komunikasi tidak terputus (DeVito, 1997: 197). Jarak sosial sering terjadi pada hubungan yang bersifat formal seperti bisnis dan sebagainya. Jarak publik memiliki dengan fase dekat dari 3,60 sampai 7,50 meter dan fase jauh dengan jarak lebih dari 7,50 meter. Jarak publik biasa terjadi pada
61
hubungan yang lebih formal lagi seperti penceramah di depan kelas atau aktor dengan hadirin atau penontonnya. Suatu jarak yang tidak dilakukan dalam interaksi antara dua individu, tetapi dalam suatu pembicaraan antara satu individu dengan suatu kelompok orang. Semakin besar jarak, semakin keras pula suara yang harus dikeluarkan. Pada jarak ini diperlukan usaha keras untuk bisa berkomunikasi dengan baik. Dalam melakukan suatu interaksi, manusia sebagai anggota masyarakat pada hakikatnya mempunyai beberapa ciri sehingga hal tersebut dikatakan interaksi, (Nitihardjo, 2010), yaitu (1) Jumlah pelaku lebih dari satu orang, artinya dalam sebuah interaksi, setidaknya ada dua orang yang sedang bertemu dan mengadakan hubungan, (2) Ada komunikasi antar pelaku dengan menggunakan simbol-simbol, artinya dalam sebuah interaksi sosial di dalamnya terdapat proses tukar menukar informasi. Informasi yang diberikan melalui proses komunikasi menggunakan isyarat atau tanda yang dimaknai dengan simbol-simbol yang hendak diungkapkan dalam komunikasi itu, (3) Ada dimensi waktu (masa lampau, masa kini, dan masa mendatang) yang menentukan sifat aksi yang sedang berlangsung. Artinya dalam proses interaksi dibatasi oleh dimensi waktu, sehingga dapat menentukan sifat aksi yang sedang dilakukan oleh orang-orang yang terlibat dalam interaksi, (4) Ada tujuan-tujuan tertentu, terlepas dari sama atau tidaknya tujuan tersebut dengan yang diperkirakan oleh pengamat, artinya dalam sebuah interaksi sosial, orang-orang yang terlibat di dalamnya memiliki tujuan yang diinginkan oleh mereka. Tujuan tersebut ada yang berguna untuk menggali informasi, atau sekedar beramah-tamah atau yang lainnya.
62
Teori ini akan sangat menunjang atau membantu untuk penelitian di lapangan untuk mengetahui interaksi sosial yang terjadi antar masyarakat multi-etnik di Tanjung Benoa. Dari kedua teori sosial yang digunakan, dapat dilihat relasi antara perilaku atau tindakan sosial dengan interaksi sosial. Perilaku atau tindakan sosial mempunyai hubungan yang tidak terpisahkan dengan interaksi sosial. Tindakan sosial adalah perbuatan yang dipengaruhi oleh orang lain untuk mencapai tujuan dan maksud tertentu. Interaksi sosial adalah hubungan yang terjadi sebagai akibat dari tindakan individu atau kelompok dalam masyarakat. Tidak semua tindakan yang dilakukan oleh manusia dikatakan sebagai interaksi sosial. Misalnya tabrakan yang terjadi di jalan raya. Tabrakan itu bukan merupakan interaksi sosial karena tidak ada aksi dan reaksi. Namun apabila setelah terjadinya tabrakan itu mereka saling menolong atau justru saling berkelahi, maka tindakan itu menjadi interaksi sosial. Disebutkan sebagai interaksi sosial karena terjadi hubungan timbal balik yang disebabkan oleh adanya tindakan (aksi) dan tanggapan (reaksi) antara dua pihak. Tanpa tindakan, tidak mungkin ada hubungan. Jadi, tindakan merupakan syarat mutlak terbentuknya hubungan timbal balik atau interaksi sosial.
1.4 Model Penelitian Model penelitian merupakan abstraksi dan sintesis antara teori dan permasalahan penelitian yang digambarkan dalam bentuk bagan. Latar belakang utama dalam penulisan tesis ini adalah melihat fenomena sosial dalam masyarakat dan perwujudan penggunaan ruang yang merupakan teritori dari suatu etnik, dua
63
hal inilah yang menjadi permasalahan utama yang terdapat dalam penelitian ini. Fenomena sosial di penelitian ini adalah aktivitas interaksi sosial yang dilakukan multi-etnik, untuk mencari pengaruh interaksi terhadap perwujudan penggunaan ruang terdapat beberapa aspek yang perlu diperhatikan seperti aktivitas, waktu, frekuensi dan tentunya tempat terjadinya interaksi sosial tersebut. Selanjutnya dari interaksi sosial masyarakat dilihat pengaruhnya terhadap perwujudan penggunaan ruang yang tercipta dalam melihat hal ini diperlukan juga beberapa aspek penting, seperti ruang yang dapat digunakan bersama, tetapi merupakan teritorialitas dari suatu etnik. Ruang tersebut adalah sarana peribadatan, pemakaman, bale banjar dan pasar desa. Fenomena sosial dan teritorialitas etnik yang akan diteliti dilakukan pada kawasan Tanjung Benoa, Bali. Berdasarkan hal-hal inilah, maka dilakukan penelitian Teritorialitas dan Interaksi Multi-etnik di Tanjung Benoa, Bali. Ketiga rumusan masalah yang ada saling berhubungan. Jawaban dari rumusan masalah pertama sangat dibutuhkan untuk menjawab rumusan masalah kedua dan begitu pula pada rumusan masalah ketiga dapat dijawab dengan mengetahui jawaban dari rumusan masalah pertama dan kedua, dapat dilihat dari Gambar 2.3. Penelitian ini menggunakan beberapa teori atau pendekatan untuk dijadikan pedoman bentuan untuk menemukan hal yang baru di lapangan. Sehingga akhirnya didapatkan suatu temuan atau kesimpulan. Keenam teori tersebut adalah teori behavioral setting, teori teritorialitas, teori seting, teori sakral dan profan,
64
teori perilaku sosial, dan yang terakhir merupakan teori interaksi sosial. Karena teori perilaku dan interaksi sosial tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Teori behavior setting digunakan untuk membantu memecahkan rumusan masalah pertama dan kedua, yaitu untuk memahami dan mengetahui perilaku dan waktu terjadinya aktivitas interaksi dan gambaran aktivitas interaksi multi-etnik pada ruang teritorialitas satu etnik di Tanjung Benoa. Teori kedua, yaitu teori teritorialitas digunakan untuk mengetahui ruang yang merupakan teritorialitas suatu etnik, sehingga akan sangat membantu menjawab masalah kedua, yaitu gambaran aktivitas interakasi multi-etnik pada ruang teritorialitas satu etnik dan rumusan masalah ketiga, faktor-faktor yang melatarbelakangi aktivitas interaksi multi-etnik pada ruang teritorialitas satu etnik di Tanjung Benoa, Bali. Teori seting yang digunakan untuk membentu peneliti mengetahui pengaruh ruang terhadap interaksi yang terjadi di desa adat ini. Dengan demikian, teori ini digunakan untuk dijadikan acuan dalam memecahkan rumusan masalah kedua. Teori sakral dan profan juga akan sangat membantu untuk memecahkan rumusan masalah kedua karena teori ini membentu peneliti untuk mengetahui mana ruang teritori yang bersifat sakral dan ruang yang bersifat profan. Teori perilaku sosial digunakan untuk memecahkan rumusan masalah pertama yaitu memahami dan mengetahui perilaku dari aktivitas interaksi multietnik. Teori interaksi sosial digunakan untuk mengetahui apakah interaksi yang terjadi di Tanjung Benoa merupakan suatu interaksi multi-etnik atau bukan.
65
Gambar 2.3 Model Penelitian Teritorialitas dan Interaksi Multietnik di Tanjung Benoa, Bali
Bagaimana perilaku dan waktu terjadinya aktivitas interaksi multi-etnik di Tanjung Benoa, Bali?
Teori Perilaku Sosial
Bagaimana gambaran aktivitas interaksi multi-etnik pada ruang teritorialitas satu etnik di Tanjung Benoa, Bali?
Teori Behavioral Setting
Bagaimana dan apa faktorfaktor yang melatarbelakangi aktivitas interaksi multi-etnik pada ruang teritorialitas satu etnik di Tanjung Benoa,
Teori Teritorialitas Teori Seting
Teori Interaksi Sosial
Teori Sakral dan Profan
Temuan (Analisis Penulis, 2013)
66
BAB III METODE PENELITIAN
Bab III merupakan metode penelitian, terdiri dari delapan subbab yaitu rancangan penelitian, lokasi penelitian, jenis dan sumber data, instrumen penelitian, teknik sampling, teknik pengumpulan data, analisis data serta penyajian hasil analisis data. Pada bab III ini peneliti dapat menjadikannya sebagai pedoman yang saat bermanfaat pada saat turun ke lapangan. Bab ini menunjukkan langkah-langkah yang harus diambil oleh peneliti agar penelitian menjadi lebih mudah dilakukan dan berjalan dengan cepat.
3.1 Rancangan Penelitian Secara garis besar, penelitian ini akan mencermati fenomena interaksi sosial antar multi-etnik di Tanjung Benoa dan berpengaruh terhadap penggunaan ruang teritorialitas etnik oleh masyarakat etnik tersebut. Pendekatan penelitian dapat dilihat berdasarkan beberapa pengkategorian, yaitu berdasarkan rancangan penelitian, pendekatan, tujuan dan masalah. Berdasarkan rancangan penelitian, penelitian menggunakan metode penelitian kualitatif. Penerapan metode adalah penelitian kualitatif etnografi, yaitu untuk memahami secara mendalam mengenai interaksi sosial dengan pengaruhnya terhadap pola ruang interaksi di Tanjung Benoa. Metode ini juga menuntun peneliti untuk terjun langsung ke lapangan tanpa berbekal kerangka teori yang
66
67
jelas, sehingga memberikan peluang terjadinya perkembangan dari topik kajian selama dilakukan penelitian (Nuraini, 2004: 7-8). Pendekatan yang digunakan pada penelitian ini adalah pendekatan survei yang akan membantu untuk mendapatkan gambaran menyeluruh meliputi kondisi fisik, keadaan sosial dan letak ruang interaksi di Tanjung Benoa. Berdasarkan tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengekploratif fenomena yang ada di lapangan. Berdasarkan masalahnya, maka penelitian bersifat deskripsi (memotret) fenomena sosial dan hubungannya dengan ruang. Digunakan metode penelitian kuantitatif untuk memecahkan atau menjawab semua rumusan masalah yang ada. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 3.1. Gambar 3.1 Rancangan Penelitian
Rancangan Penelitian
Pendekatan Survei
Rumusan Masalah 1 Bagaimana perilaku dan waktu terjadinya aktivitas interaksi multi-etnik di Tanjung Benoa, Bali?
Kualitatif Etnografi
Rumusan Masalah 2 Bagaimana gambaran aktivitas interaksi multi-etnik pada ruang teritorialitas satu etnik di Tanjung Benoa, Bali?
Rumusan Masalah 3 Bagaimana dan apa faktorfaktor yang melatarbelakangi aktivitas interaksi multi-etnik pada ruang teritorialitas satu etnik di Tanjung Benoa, Bali?
(Analisis Penulis, 2013)
3.2 Lokasi Penelitian Tanjung Benoa terletak di kaki Pulau Bali, tepatnya di Kelurahan Tanjung Benoa, Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten Badung.
68
U
U
Peta Tanpa Skala
Gambar 3.2 Peta Pulau Bali (Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah Penelitian dan Pengembangan, 2012) U
Peta Tanpa Skala
Gambar 3.4 Kecamatan Kuta Selatan (Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah Penelitian dan Pengembangan, 2012)
Gambar 3.3 Peta Kabupaten Badung (Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah Penelitian dan Pengembangan, 2012)
Kelurahan ini memiliki luas kawasan 524 hektar (Data Monografi Desa dan Kelurahan, 2012), dengan total penduduk 5.463 jiwa dengan jumlah 1.150 kepala keluarga, sehingga kelurahan ini cukup padat (Data Monografi Desa dan Kelurahan, 2012). Jarak kelurahan ini dari ibukota propinsi adalah 30 km (Data Monografi Desa dan Kelurahan, 2012) dan dapat ditempuh sekitar 60 menit dari Pusat Kota Denpasar dan 25 menit dari Bandara Internasional Ngurah Rai dan sekitarnya (Damarayanthi, 2011).
69
Batas-batas dari wilayah dari Kelurahan Tanjung Benoa adalah batas sebelah utara adalah Pantai Tanjung Benoa, sedangkan batas sebelah timur adalah Pantai Tanjung Benoa Timur, area selatan berbatasan dengan Kelurahan Benoa dan barat berbatasan dengan Pantai Tanjung Benoa Barat (Data Monografi Desa dan Kelurahan, 2012). U
U
U
Peta Tanpa Skala
Gambar 3.5 Peta Wilayah Kelurahan Tanjung Benoa (Kelurahan Tanjung Benoa, 2012)
Peta Tanpa Skala
Gambar 3.6 Lokasi Penelitian Di Desa Adat Tanjung Benoa (Kelurahan Tanjung Benoa, 2012)
Kelurahan Tanjung Benoa dapat dibagi menjadi dua desa adat, yaitu Desa Adat Tanjung Benoa di Utara dan Desa Adat Tengkulung di Selatan. Lokasi penelitian yang dipilih adalah Desa Adat Tanjung Benoa karena lokasi permukiman masyarakat multi-etnik yang masih banyak terdapat di daerah ini dibandingkan dengan permukiman yang terdapat di Desa Adat Tengkulung. Dari Gambar 3.6, dapat dilihat batas-batas dari wilayah Desa Adat Tanjung Benoa yang menjadi lokasi penelitian, yaitu batas sebelah utara dari lokasi
70
penelitian adalah Selat Badung atau Pantai Tanjung Benoa, sedangkan batas sebelah timur adalah Selat Nusa Penida atau Pantai Nusa Dua, area selatan berbatasan dengan Desa Adat Tengkulung dan barat berbatasan dengan Pantai Barat Tanjung Benoa. Banjar Panca Bhinneka Banjar Tengah
Banjar Kertha Pascima
U
Banjar Purwa Santhi
Banjar Anyar
Peta Tanpa Skala
Gambar 3.7 Letak Lima Banjar di Tanjung Benoa yang Menjadi Kawasan Penelitian (Dokumentasi Ongelina, 2012)
Pada desa adat ini terdapat lima agama yang berkembang di Tanjung Benoa adalah: (1) Agama Hindu, (2) Agama Islam, (3) Agama Kristen, (4) Agama Katolik dan (5) Agama Buddha.
71
Terdapat lima etnik utama yang tinggal di Tanjung Benoa, yaitu etnik Bali, Tionghoa, Bugis, Jawa dan etnis Palue (Flores), yang menjadi lokasi penelitian adalah area dari permukiman masyarakat multi-etnik tersebut, yang terdiri dari lima lingkungan banjar yaitu: (1) Lingkungan Banjar Kertha Pascima, (2) Lingkungan Banjar Purwa Santhi, (3) Lingkungan Banjar Anyar, (4) Lingkungan Banjar Tengah dan (5) Lingkungan Banjar Panca Bhinneka.
3.3 Jenis dan Sumber Data Jenis dan sumber data digunakan untuk memecahkan rumusan masalah yang ada, sehingga tujuan dari penelitian dengan judul Teritorialitas dan Interaksi Multi-etnik di Tanjung Benoa, Bali dapat tercapai. 3.3.1 Jenis Data Jenis data yang digunakan untuk penelitian ini adalah data kualitatif. Data kualitatif merupakan data dalam bentuk teks atau naratif, deskriptif, dokumen, gambar, rekaman yang didapatkan langsung melalui observasi dan survei di lapangan. Data kualitatif digunakan untuk menjawab keseluruhan rumusan masalah yang ada pada penelitian ini. Terdapat tiga tujuan khusus dari penelitian, yaitu (1) Memahami dan mengetahui perilaku dan waktu terjadinya aktivitas interaksi multi-etnik di Tanjung Benoa, Bali; (2) Memahami dan mengetahui gambaran aktivitas interaksi multi-etnik pada ruang teritorialitas satu etnik di Tanjung Benoa, Bali; (3) Memahami dan mengetahui faktor-faktor yang melatarbelakangi aktivitas interaksi multi-etnik pada ruang teritorialitas satu etnik di Tanjung Benoa, Bali.
72
3.3.2 Sumber Data Terdapat dua jenis sumber data dalam penelitian ini, yaitu data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang didapatkan langsung oleh peneliti sendiri pada lokasi penelitian (Desa Adat Tanjung Benoa). Sumber data yang didapatkan berasal dari obyek di kawasan ini dan dari narasumber yang tinggal di kawasan Tanjung Benoa. Narasumber yang menjadi sumber didapatkannya data berasal dari kawasan penelitian karena mereka mengenal daerah desa adat ini dengan baik. Data primer dapat diperoleh dengan beberapa cara, yaitu dengan cara observasi dan survei oleh peneliti. Survei dalam hal ini adalah melalui wawancara. Kegiatan observasi adalah melakukan pengamatan dan mencatat secara sistematis suatu peristiwa, kegiatan sosial, dan segala hal yang berhubungan dengan penelitian yang dapat dilihat langsung oleh peneliti. Observasi yang dilakukan berhubungan dengan penelitian ini adalah melihat serta mencatat kondisi fisik lingkungan Tanjung Benoa. Kondisi fisik yang dilihat berupa area permukiman masing-masing etnik dan menandakan titik-titik tempat terjadinya aktivitas interaksi antar etnik yang berbeda. Selain itu, digambarkan ruang-ruang yang merupakan teritorialitas dari suatu etnik. Selanjutnya harus diamati aktivitas (interaksi sosial) yang terjadi, wadah yang menampung kegiatan tersebut serta waktu dilakukannya kegiatan atau aktivitas tersebut. Batas observasi adalah kawasan Desa Adat Tanjung Benoa yang dinaungi oleh lima lingkungan banjar yang telah disebutkan di atas.
73
Untuk mengetahui aktivitas, tempat, waktu interaksi antar etnik yang berbeda, dilakukan survei. Survei pada penelitian ini dilakukan melalui wawancara secara mendalam dengan masyarakat multi-etnik yang terdapat di Tanjung Benoa. Narasumber yang dipilih sebaiknya merupakan tokoh-tokoh masyarakat yang mengetahui mengenai konsisi fisik dan non fisik lingkungan Desa Adat Tanjung Benoa, seperti kepala lurah, bendesa adat, kelian adat serta kepala lingkungan. Wawancara dilakukan dengan tidak terstuktur, sehingga peneliti hanya mempersiapkan pedoman wawancara saja. Pedoman wawancara berisi pokok dari pertanyaan yang akan berkembang sesuai dengan alur diskusi peneliti dengan pihak informan. Cara ini sangat efektif karena dengan begini informasi yang didapatkan akan bersifat lebih mendalam dan kemungkinan informasi yang didapatkan akan lebih banyak dan lebih terperinci. Semakin banyak dan terperincinya data akan lebih mudah untuk menjawab rumusan masalah yang ada dan data yang didapatkanpun menjadi sangat lengkap. Sumber data sekunder adalah data yang didapatkan dari penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti lain dan dapat dijadikan referensi untuk mendukung penelitian ini. Data sekunder dapat diperoleh dari buku, jurnal, makalah, tesis, disertasi, artikel, majalah, koran, maupun dari internet dan lain sebagainya. Contoh, untuk mencari jumlah penduduk di Kelurahan Tanjung Benoa, peneliti harus menggunakan data monografi dari Kelurahan Tanjung Benoa. Data yang diperoleh melalui dokumen dari instansi-instansi terkait, baik pihak pemerintah maupun swasta yang berhubungan dengan Tanjung Benoa selain jumlah populasi adalah luas wilayah kawasan penelitian, jumlah dari masing-masing masyarakat
74
multi-etnik, jumlah fasilitas umum yang tersedia di kawasan penelitian dan lain sebagainya. Sumber data sekunder tersebut diharapkan dapat membantu dalam memecahkan rumusan masalah yang ada, yaitu memahami dan mengetahui perilaku dan waktu terjadinya kegiatan interaksi antar multi-etnik; gambaran kegiatan interaksi multi-etnik pada ruang teritorialitas satu etnik; serta faktorfaktor yang melatarbelakangi kegiatan interaksi multi-etnik pada ruang teritorialitas satu etnik di Tanjung Benoa, Bali. Berikut ini terdapat Tabel 3.1 yang menjelaskan lebih mengenai jenis dan sumber data. Tabel 3.1 Jenis dan Sumber Data JENIS DATA
SUMBER DATA
Wawancara (Pedoman Wawancara)
Masyarakat etnik Tanjung Benoa dan beberapa tokoh masyarakat (kepala lurah, bendesa adat dan kelian adat) dan instansi terkait.
Primer
Data Kualitatif
Sekunder
(Analisis Penulis, 2012)
Observasi
Lapangan (Tanjung Benoa).
Studi Pustaka
Buku, jurnal, makalah, artikel dan sumber internet.
DATA Sejarah Tanjung Benoa Sosial budaya (agama dan adat istiadat) dan interaksi sosial antar multietnik Gambaran kondisi fisik Tanjung Benoa dan fisik serta letak ruang publik (fasilitas ibadah, pemakaman, bale banjar dan pasar desa) Struktur organisasi sosial, monografi Kelurahan Tanjung Benoa serta fasilitas umum (untuk berinteraksi)
75
3.4 Instrumen Penelitian Berdasarkan pendekatan penelitian, penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Instrumen yang digunakan apabila menggunakan pendekatan kualitatif adalah manusia, yang dalam hal ini adalah peneliti sendiri. Peneliti harus dapat merasakan dan mengalami sebanyak mungkin keadaan objek yang diteliti dengan melakukan pengamatan langsung, sehingga peneliti dapat memahami dengan baik segala ekspresi wajah, bahasa tubuh informan pada saat dilakukan wawancara. Dengan mengetahui gerak tubuh dan ekspresi wajah peneliti dapat mengetahui kebenaran informasinya, dan kebenaran informasi ini tidak dapat dijelaskan hanya dengan mendengarkan rekaman suara dari tape recorder ataupun foto. Selain itu, hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti perlu dikonfirmasikan kepada informan secara langsung agar diperoleh kesamaan persepsi tentang temuan penelitian (Nuraini, 2004: 7). Untuk mempermudah proses wawancara disiapkan pertanyaan-pertanyaan inti (pedoman wawancara) yang akan ditanyakan berdasarkan parameter yang telah ditentukan dan dapat dikembangkan secara spontan. Perkembangan pertanyaan yang dilakukan oleh peneliti pada saat mewawancarai informan sangat membantu untuk mendapatkan informasi yang lebih mendalam. Informan pada penelitian ini adalah masyarakat multi-etnik, tokoh masyarakat yang memiliki wawasan mengenai keadaan fisik dan non fisik kawasan Tanjung Benoa. Alat-alat yang akan digunakan oleh peneliti untuk pengumpulan data yang dapat digunakan adalah (1) recorder, sebagai alat perekam saat mewawancarai informan,
(2)
kamera
(digital)
dan
handycam,
digunakan
untuk
76
mendokumentasikan objek penelitian (ruang territorial setiap etnik di Tanjung Benoa) dan kejadian penting yang sesuai dengan topik penelitian, (3) notebook dan alat tulis, untuk sketsa kasar lokasi ataupun tempat terjadinya kegiatan interaksi ataupun catatan hasil dari jawaban informan.
3.5 Teknik Sampling Setelah mengamati keadaan lapangan dan mengetahui jumlah penduduk dan agama yang dapat menunjukkan jumlah masing-masing etnis, selanjutnya dilakukan pemilihan sampel. Jumlah sampel yang diambil disesuaikan dengan kemampuan peneliti untuk melakukan penelitian dalam waktu yang tersedia. Teknik sampling yang digunakan adalah non random sampling. Pemilihan non random sampling dipergunakan untuk memecahkan seluruh rumusan masalah yang menggunakan pendekatan kualitatif. Penelitian kualitatif menerapkan non random sampling dan sampel diambil dengan menggunakan dua teknik sampling, yaitu purposive sampling, sampel yang diambil harus dengan pertimbangan tertentu. Dalam penelitian ini informan yang dipilih harus diketahui etnisnya dan dianggap memiliki informasi yang berguna untuk peneliti. Misalnya, Bendesa Adat Tanjung Benoa yang telah lama tinggal dan memahami keadaan di kawasan penelitian dan mengetahui sejarah serta keadaan lingkungan sekitarnya. Setelah menentukan narasumber dengan purposive sampling, teknik selanjutnya adalah digunakan teknik snow ball sampling. Pemilihan informan dengan teknik snow ball sampling merupakan teknik terbaik. Snow ball sampling, dimulai dengan menetapkan satu atau beberapa orang informan kunci (key
77
informants) untuk dimintai informasi. Teknik ini dilakukan dari jumlah yang kecil, sumber pertama yang dipilih diminta arahan, saran atau petunjuk siapa sebaiknya yang menjadi informan berikutnya yang menurut mereka memiliki pengetahuan, pengalaman, informasi yang dicari (Iskandar, 2009: 116). Menurut (Spradley, 1985 dalam Iskandar, 2009: 116-117) situasi sosial untuk informan awal penelitian sangat disarankan situasi sosial yang di dalamnya menjadi semacam muara dari banyak domain yang lainnya. Informan sebagai sumber data hendaknya memenuhi kriteria, seperti individu yang menguasai atau memahami masalah yang diteliti, informan yang sedang berkecimpung atau terlibat pada kegiatan yang sedang diteliti, memiliki waktu yang memadai untuk memberikan
informasi,
tidak cenderung menyampaikan
informasi hasil
kemasannya sendiri dan informan yang pada mulanya tergolong asing dengan peneliti, sehingga menggairahkan untuk dijadikan semacam
guru atau
narasumber. Informan awal yang dipilih adalah bendesa adat. Selanjutnya akan menunjukkan siapa lagi rekan atau kenalan yang dapat memberikan informasi yang lebih kepada peneliti. Bendesa adat mungkin akan menunjuk masing-masing kelian adat dan kepala lingkungan masing-masing banjar yang ada di Desa Adat Tanjung Benoa. Selanjutnya penentuan informan berikutnya dilakukan dengan cara yang sama, dari kelian adat ataupun kepala lingkungan ini diminta pula untuk menunjukkan rekan mereka berikutnya dan begitu seterusnya. Sehingga akan diperolah jumlah informan yang semakin lama semakin besar. Pemilihan sampel dengan teknik snow ball sampling dapat digambarkan seperti bola salju yang
78
menggelinding dan semakin lama semakin membesar, dalam hal ini semakin lama semakin banyak anggota sampel yang dapat memberikan informasi sehingga pengetahuan yang didapatkan oleh peneliti semakin bertambah pula (Nasution, 2007: 101-102). Informan yang dipilih untuk menjadi informan pertama adalah masyarakat Tanjung Benoa yang mengetahui kondisi kawasan Tanjung Benoa. Selanjutnya untuk lebih mengetahui mengenai Desa Adat Tanjung Benoa akan mewawancarai bendesa adat dan secara snow ball, bendesa adat akan menunjuk orang-orang yang mungkin memiliki jawaban yang lebih terperinci.
3.6 Teknik Pengumpulan Data Terdapat beberapa langkah dalam teknik pengumpulan data. Teknik ini dapat dilakukan dengan tiga cara, yaitu observasi, survei dan dokumen. 3.6.1 Observasi Kegiatan observasi meliputi melakukan pengamatan, pencatatan secara sistematis kejadian, perilaku, obyek yang dilihat dan hal lainnya yang diperlukan dalam mendukung penelitian yang sedang dilakukan. Pada tahap awal observasi dilakukan secara umum, peneliti mengumpulkan data atau informasi sebanyak mungkin. Tahap selanjutnya peneliti harus melakukan observasi yang terfokus. Observasi atau pengamatan langsung ke lapangan (Desa Adat Tanjung Benoa) dapat dibantu dengan menggunakan kamera digital untuk mendapatkan data yang bersifat eksternal berupa dokumentasi foto-foto dan gambar.
79
Data yang dihasilkan berupa gambar (foto ataupun sketsa) atau rekaman (video) meliputi rekaman lokasi (lingkungan fisik), gambar atau sketsa letak teritorialitas etnik. Observasi yang dilakukan dengan merekam data melalui foto atau rekaman harus dapat dipertanggungjawabkan dan disesuai dengan kebutuhan untuk mendukung setiap pembahasan. Teknik pengumpulan data dalam penelitian kualitatif dengan menggunakan observasi digunakan untuk mengumpulkan beberapa informasi atau data yang berhubungan dengan kawasan penelitian, kegiatan interaksi sosial yang terjadi pada masyarakat multi-etnik serta waktu kejadian dan ruang-ruang teritori etnik terjadinya interaksi sosial masyarakat multi-etnik yang berada di lokasi penelitian. Alasan peneliti melakukan observasi adalah untuk menyajikan gambaran realistik perilaku untuk menjawab pertanyaan untuk membantu mengerti perilaku multietnik. 3.6.2 Survei Survei bertujuan untuk mendapatkan data internal (pendapat, sikap dan persepsi) dari civitas di daerah penelitian mengenai masyarakat multi-etnik. Survei dapat dilakukan dengan dua cara yaitu dengan menyebar questioner (kuantitatif) dan dengan wawancara (kualitatif). Teknik survei yang digunakan adalah wawancara karena penelitian ini merupakan penelitian dengan metode kualitatif. Teknik wawancara merupakan teknik pengumpulan data dengan menggunakan pedoman wawancara. Wawancara ini dilaksanakan untuk memperoleh masukan dari pihak-pihak yang terkait untuk memperoleh data yang akan dibutuhkan untuk pembahasan penelitian.
80
Wawancara dilakukan terhadap tokoh masyarakat yang dinilai memiliki pengetahuan atau wawasan yang luas tentang aspek fisik dan non fisik Tanjung Benoa yang dijadikan lokasi penelitian mengenai interaksi masyarakat multietnik. Wawancara dilakukan secara tidak terstuktur agar wawancara tidak kaku dan kegiatan ini dapat mengalir dengan sendirinya, sehingga peneliti mendapatkan pengetahuan yang lebih mendalam dan luas. Dengan mengalirnya wawancara secara alami informan akan lebih mudah dan santai dalam memberikan jawaban. Dalam melakukan wawancara sebaiknya peneliti harus terampil dalam melakukannya agar dapat menjaga perasaan informan, seperti terlihat antusias dalam mendengarkan informan berbicara, sabar, tidak memotong pada saat informan memberikan jawaban dan berusaha bersikap sebagaimana yang harus dimiliki oleh pewawancara yang baik. Pewawancara juga harus dapat mengemas pertanyaan dengan baik dan mampu mengolaborasi secara harus apa yang sedang ditanyakan juka dirasa yang diwawancarai belum cukup memberikan informasi yang diharapkan. Bentuk data yang dihasilkan dari wawancara adalah rekaman pembicaraan antara peneliti dengan informan. 3.6.3 Dokumen Dokumen merupakan dokumentasi yang sudah ada yang merupakan hasil penelitian yang telah dibuat oleh pihak lain dan biasanya berbentuk teks. Dokumen tersebut harus memiliki relevansi dengan penelitian. Pada penelitian ini yang termasuk data dokumen adalah jumlah penduduk masyarakat etnik, jumlah penganut masing-masing agama, ruang-ruang fisik yang terdapat di kawasan
81
penelitian Tanjung Benoa. Dokumen juga dapat berupa studi literatur. Studi literatur adalah suatu tahapan setelah permasalahan diidentifikasi secara tepat dan benar, kemudian dicari acuan dan bahan pembanding dari buku yang telah ada sebagai penunjang. Untuk lebih jelas melihat bagaimana teknik pengumpulan data untuk menjawab rumusan masalah yang ada dapat dilihat pada Tabel 3.2 di bawah ini. Tabel 3.2 Teknik Pengumpulan Data RUMUSAN MASALAH (DATA) Perilaku aktivitas Interaksi Rumusan Masalah I Aktivitas Interaksi Waktu interaksi Gambaran umum kondisi fisik dan non fisik Tanjung Benoa
Rumusan Masalah II
Peta lokasi penelitian Ruang terjadinya aktivitas interaksi multi-etnik khususnya ruang teritorialitas etnik Perilaku multietnik (pergerakan multi-etnik)
Rumusan Masalah III
Faktor-faktor yang melatarbelakangi aktivitas interaksi multi-etnik.
(Analisis Penulis, 2013)
TEKNIK PENGUMPULAN DATA Teknik Sumber Masyarakat multi-etnik di Survei Tanjung Benoa dan tokoh (Wawancara) masyarakat Tanjung Benoa Observasi Desa Adat Tanjung Benoa Observasi, Desa Adat Tanjung Benoa Masyarakat multi-etnik di Survei Tanjung Benoa dan tokoh (wawancara) masyarakat Tanjung Benoa Dokumen (Instransi terkait Desa Adat Tanjung Benoa dan artikel) Dokumen Kelurahan (Instransi terkait) Tanjung Benoa Observasi Desa Adat Tanjung Benoa Dokumen (Instransi terkait) Observasi Survei (Wawancara)
Survei (Wawancara)
Kelurahan Tanjung Benoa Desa Adat Tanjung Benoa Masyarakat multi-etnik di Tanjung Benoa dan tokoh masyarakat Tanjung Benoa Masyarakat multi-etnik di Tanjung Benoa dan tokoh masyarakat Tanjung Benoa
82
3.7 Analisis Data Analisis data merupakan upaya untuk mencari dan menata dan menyajikan secara sistematis catatan hasil observasi dan hasil survei yang dalam penelitian ini melalui wawancara. Teknik analisis data dapat diartikan sebagai proses penyederhanaan data ke dalam bentuk yang lebih mudah diinterpretasikan dengan tujuan untuk menjawab rumusan permasalahan. Pada penelitian ini, data yang dianalisis adalah data hasil observasi, data hasil survei (wawancara) serta data dokumen yang sudah dikumpulkan pada tahapan sebelumnya. Adapun penjabaran analisis dari masing-masing data tersebut adalah: 3.7.1 Analisis Data Observasi Data observasi pada penelitian ini terdiri dari gambar (foto dan sketsa) lapangan baik foto tempat-tempat aktivitas interaksi terjadi serta sketsa titik-titik teritorialitas etnik yang merupakan tempat terjadinya interaksi sosial pada peta. Data observasi juga dapat berupa rekaman (video) lingkungan atau kawasan penelitian serta interaksi yang terjadi pada saat penelitian. Hasil foto dan rekaman dari observasi tersebut kemudian diinterpretasikan. 3.7.2 Analisis Data Wawancara (Analisis Isi) Dalam analisis data wawancara terdiri dari beberapa tahapan, yaitu pertama data hasil wawancara yang dalam bentuk rekaman diubah ke dalam bentuk tertulis (teks). Dari bentuk teks tertulis tersebut, diklasifikasikan sesuai dengan sumber informasi seperti kepala lurah, bendesa adat, masyarakat multi-etnik dan sebagainya. Langkah berikut teks tertulis yang sudah diklasifikasi diberikan tanda (kode) untuk mendapatkan jawaban inti dari informan yang terkadang disamarkan
83
dalam kata-katanya pada saat diwawancarai atau disebut dengan sistem pengkodingan, yaitu untuk mencari kata-kata kunci dari hasil wawancara. Tahap akhir adalah menginterpretasi kata-kata kunci dari hasil wawancara. 3.7.3 Analisis Data Dokumen Dokumen yang dimaksudkan di sini seperti data dari Kelurahan Tanjung Benoa. Selain data dari Kelurahan Tanjung Benoa terdapat dokumen lainnya yang didapatkan untuk dijadikan pegangan untuk membantu menjawab masalah yang ada dalam penelitian. Data ini merupakan data sekunder. Teknik analisis data dokumen dilakukan dengan tiga alur kegiatan, yaitu reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan atau verifikasi (Miles dan Huberman, 1992 dalam Susilo, 2010: 78). Langkah awal yang dilakukan pada proses analisis data adalah mereduksi data, yaitu menajamkan, mengkoding, menggolongkan dan menyortir data yang didapatkan dari hasil studi pustaka, sehingga nantinya akan didapatkan kesimpulan. Langkah awal dari mereduksi data adalah mengkoding, yaitu dokumen yang berbentuk teks ini kemudian diberikan penomoran dan pengkodean setelah itu dibaca kembali untuk menemukan tema atau kata kunci yang berkaitan dengan penelitian. Setelah proses pengkodingan tahap berikutnya dilakukan perbandingan hasil dari dokumen satu dengan dokumen lainnya agar dapat diklasifikasikan ke dalam kategori tertentu. Kegiatan berikutnya adalah menyortir data mana yang diperlukan dan mana yang tidak diperlukan, data yang tidak diperlukan dapat disingkirkan agar tidak membingungkan.
84
Langkah kedua setelah proses reduksi data adalah penyajian data. Data yang telah didapatkan ditabulasi baik ke dalam teks naratif, tabel, gambar, bagan ataupun grafik. Dengan tabulasi yang sesuai, selain memudahkan untuk dimengerti juga lebih mudah untuk dilakukan langkah ketiga, penarikan kesimpulan untuk diverifikasi. Hasil kesimpulan dapat bersifat tentatif (masih dapat berubah), akan tetapi dengan melakukan proses verifikasi secara terus-menerus selama dan sesudah penelitian maka pada akhirnya akan diperoleh kesimpulan yang bersifat ”grounded”. Grounded adalah temuan dari hasil penelitian dengan pasti yaitu berupa memahami dan mengetahui perilaku dan waktu terjadinya aktivitas interaksi multi-etnik; gambaran aktivitas interaksi multi-etnik pada teritorialitas satu etnik; serta faktor-faktor yang melatarbelakangi aktivitas interaksi multi-etnik pada teritorialitas satu etnik di Tanjung Benoa, Bali. Data inilah yang akan membantu dalam menemukan tujuan dari penelitian yang berjudul Teritorialitas dan Interaksi Multi-etnik di Tanjung Benoa, Bali.
3.8 Panyajian Hasil Analisis Data Teknik penyajian hasil analisis data merupakan salah satu cara untuk menata data yang telah dianalisis sebelumnya. Teknik ini digunakan untuk menunjukkan pemahaman peneliti tentang pola ruang interaksi masyarakat multi-etnik dan menyajikan temuannya kepada orang lain. Untuk memudah pemahaman hasil kepada orang lain (pembaca), maka teknik ini dilakukan.
85
Teknik penyajian hasil analisis data ini dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu dengan penyajian hasil analisis data dalam bentuk teks atau penjelasan naratif, tabel, gambar, bagan, grafik. Dapat juga berupa cuplikan dokumentasi video dari objek penelitian yang didapatkan langsung oleh penulis selama proses penelitian di Desa Adat Tanjung Benoa. Penyajian hasil analisis data pada penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 3.3. Tabel 3.3 Penyajian Hasil Analisis Data JENIS DATA Perilaku aktivitas interaksi masyarakat multietnik. Aktivitas interaksi masyarakat multi-etnik. Waktu terjadinya aktivitas interaksi masyarakat multi-etnik. Pembagian ruang teritorialitas untuk interaksi masyarakat multi-etnik. Gambaran aktivitas interaksi pada ruang teritorialitas etnik Pola pergerakan perilaku multi-etnik Gambaran aktivitas interaksi dilakukan pada teritorialitas etnik Faktor yang melatarbelakangi aktivitas interaksi multi-etnik Pemanfaat ruang oleh lima etnik pada teritorialitas etnik lain yang tercipta. (Analisis Penulis, 2013)
TEKNIK PENYAJIAN HASIL ANALISIS DATA Tabel dan teks atau penjelasan naratif Tabel, teks atau penjelasan naratif Tabel, teks atau penjelasan naratif Gambar (peta) dan teks atau penjelasan naratif Gambar (peta) dan teks atau penjelasan naratif Gambar (peta) dan teks atau penjelasan naratif Gambar (peta) dan teks atau penjelasan naratif Teks atau penjelasan naratif Gambar (peta) dan teks atau penjelasan naratif