BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah UUD 1945 dalam konstitusinya mengakui bahwa Kesehatan merupakan salah satu hak dasar manusia di Indonesia. Sebagai perwujudan dari perlindungan hak atas dasar tersebut, Negara juga bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan Kesehatan yang layak termasuk ketersediaan atau pengadaan obat. Berdasarkan Undang-undang kesehatan No.36 tahun 2009
disebutkan bahwa pemerintah akan menjamin atas pemerataan,
ketersediaan, dan keterjangkauan perbekalan kesehatan terutama dalam obat esensial. Ketersediaan perbekalan kesehatan ini dilakukan melalui kegiatan salah satunya pengadaan obat-obatan. Undang Undang No. 22 tahun 1999 dan Undang-Undang No. 32 tahun 2004 yang dikutip oleh (Iswahyudi 2007) tentang Pemerintahan Daerah, menyatakan bahwa bidang kesehatan adalah salah satu dari enam belas urusan yang merupakan urusan wajib yang menjadi kewenangan Pemerintah Kabupaten/Kota dan Pemerintah Propinsi. Dalam surat edaran Menteri Kesehatan No 1107/Menkes/E/VII/2000 menyebutkan bahwa kewenangan minimal yang wajib dilaksanakan oleh Kabupaten/Kota dalam suatu bidang Kesehatan yang salah satunya adalah perencanaan dan pengadaan obat pelayanan kesehatan dasar essensial.
1
2
Pengadaan obat-obatan didasarkan pada Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah yang sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun 2012, yang saat ini Pemerintah sedang mempertimbangkan untuk mengubah penunjukan langsung dalam pengadaan obat-obatan, alat kesehatan dan distribusi bahan obat di Departemen Kesehatan
karena dasar penunjukan langsung menutup
kompetensi dan efisiensi pengadaan barang dan jasa Pemerintah. Tetapi dalam prakteknya terjadi banyak kasus-kasus yang muncul berkaitan dengan pengadaan salah satunya pengadaan obat-obatan, bahkan korupsi dalam bidang kesehatan ini juga menjadi sorotan bagi suatu lembaga melalui Global Corruption Report 2006 dengan special focus: “Corruption and Health”. Transparency International
menyoroti
karakteristik
dalam sistem
kesehatan yang bisa menyebabkan terbukanya peluang dan potensi terhadap terjadinya suatu korupsi, antara lain: 1. An Imbalance of Information, antara tenaga kesehatan dengan pasien maupun antara perusahaan obat dan perbekalan kesehatan dengan panitia pengadaan obat. 2. The uncertainty in health market, misalnya dalam suatu situasi “darurat” dapat menyebabkan Pejabat Pemerintah yang berwenang akan mengambil kebijakan untuk pengadaan barang dan jasa tetapi tidak mengikuti aturan yang berlaku. 3. The complexity of health system, dimana terjadi hubungan saling menguntungkan dan keterkaitan kepentingan antara rekanan pengadaan
3
perbekalan kesehatan dan obat dengan penyedia pelayanan kesehatan dan pengambil keputusan (pejabat Pemerintah). 4. Transparency International juga menggambarkan bentuk-bentuk korupsi di sektor kesehatan sebagai berikut : a. embezzelement and theft, misalnya penggelapan di berbagai titik alokasi anggaran atau pencurian terhadap logistik obat dan perbekalan kesehatan serta digunakannya peralatan medis milik Pemerintah untuk kepentingan pribadi atau untuk praktek swasta. b. Corruption
in
procurement,
penggelembungan anggaran,
suap,
misalnya
adanya
kolusi,
tidak terpenuhinya spesifikasi
perbekalan kesehatan dan logistik obat yang dipersyaratkan sesuai program yang telah ditetapkan. c. corruption in payment system, misalnya memanipulasi dan pemalsuan dokumen asuransi untuk kepentingan pasien-pasien tertentu, tidak sahnya tagihan biaya perawatan, obat dan alat kesehatan fiktif dan lain sebagainya. d. corruption in the pharmaceutical chain, misalnya pelanggaran etika pemasaran obat dengan memberikan insentif tertentu kepada institusi rumah sakit atau dokter. e. corruption at the point of health service delivery, misalnya memberi atau menerima pemberian untuk pelayanan kesehatan yang seharusnya gratis, memberi atau menerima suap untuk kepentingan keluarnya izin, sertifikasi dan akreditasi bagi fasilitas suatu pelayanan kesehatan.
4
Rentannya dalam kegiatan pengadaan untuk menjadi suatu ladang KKN membutuhkan perhatian khusus terlebih dikarenakan kegiatan pengadaan ini menggunakan berbagai sumber anggaran seperti : 1. APBN : Program Kesehatan, Program Pelayanan Keluarga Miskin 2. APBD I 3. Dana Alokasi Umum (DAU)/ APBD II 4. Sumber-sumber lain Sehingga menjadi bagian dari penggunaan keuangan Negara yang harus dipertanggungjawabkan, maka BPK juga melakukan pemeriksaan atas kegiatan pengadaan salah satunya pengadaan obat-obatan. Kurang adanya pengawasan yang cukup baik terhadap pengadaan obat-obatan yang dapat memungkinkan terjadinya tindakan korupsi. Bertitik tolak dari uraian diatas, maka penulis tertarik untuk mengangkat sebuah judul mengenai: “Analisis Sistem dan Prosedur Pengadaan Obat-Obatan Pada Dinas Kesehatan Kabupaten Jepara”. 1.2 Ruang Lingkup Masalah Pembatasan masalah dilakukan agar permasalahan yang diteliti lebih terfokus pada tujuan penelitian. Hal ini dilakukan agar pembaca dapat memahami masalah yang dimaksud, sehingga tidak menyimpang pada masalah yang lain. Ruang lingkup masalah dalam penulisan ini yang akan diteliti adalah Sistem dan prosedur pengadaan obat-obatan pada Dinas Kesehatan Kabupaten Jepara.
5
1.3 Perumusan Masalah Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan sebelumnya, maka permasalahan pokok yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah “Bagaimanakah penerapan
sistem dan prosedur pengadaan obat-obatan pada Dinas
Kesehatan Kabupaten Jepara ?” 1.4 Tujuan Penelitian Berdasarkan dengan perumusan masalah diatas, maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dan memperoleh gambaran mengenai kesesuaian antara aktivitas dengan sistem dan prosedur pengadaan obat-obatan pada Dinas Kesehatan Kabupaten Jepara dengan tujuan sistem pengendalian intern. 1.5 Kegunaan Penelitian 1. Kegunaan Teoritis Secara teoritis diharapkan dapat menambah informasi dan wawasan yang lebih konkrit bagi lembaga legislatif, pemerintah, para praktisi ekonomi, praktisi kesehatan dan masyarakat mengenai sistem dan prosedur pengadaan obat. 2. Kegunaan Praktis a. Bagi peneliti diharapkan untuk menerapkan pengetahuan yang diperoleh mengenai semua informasi yang telah diberikan dinas terkait, khususnya masalah yang berkaitan dengan penelitian yang dilakukan.
6
b. Diharapkan hasil penelitian ini bagi dinas terkait dapat dijadikan informasi dan masukan bagi dinas terkait, sebagai penentuan kebijakan diperiode yang akan datang. 1.6 Sistematika Penulisan Untuk memberikan gambaran menyeluruh mengenai skripsi akan penulis jelaskan sistematika secara singkat. Bab I :
Pendahuluan Merupakan
awal
dari
penyusunan
Skripsi
yang
menguraikan tentang Latar Belakang Masalah, Ruang Lingkup Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian dan Sistematika Penulisan Skripsi. Bab II :
Tinjauan Pustaka Menguraikan Landasan Teori yang dipakai acuan penulis dalam membahas masalah yang diteliti dan bahasan hasil penelitian sebelumnya yang sejenis, ditambah kerangka penelitian.
Bab III :
Metode Penelitian Meliputi : Jenis dan Sumber Data, Metode Pengumpulan Data dan Metode Analisis Data.
Bab IV :
Hasil Penelitian dan Pembahasan Berisi tentang Gambaran Umum Organisasi, Penyajian Data, Analisis Data dan Pembahasan.
7
Bab V :
Kesimpulan dan saran Bab ini merupakan bab terakhir dari penulisan skripsi yang berisi kesimpulan dan saran yang dapat menjadi bahan pertimbangan bagi perusahaan serta penutup.