BAB I PENDAHULUAN
3.1 Latar Belakang Luka bakar didefinisikan sebagai suatu trauma pada jaringan kulit atau mukosa yang disebabkan oleh pengalihan termis baik yang berasal dari api, listrik, atau benda-benda panas lainnya ke tubuh (Smeltzer & Bare , 2002). Luka bakar dapat diklasifikasikan menurut dalamnya kerusakan jaringan yang terjadi yaitu superficial partial-thickness, deep partial-thickness, dan full-thickness. Istilah lain yang juga digunakan dalam mengklasifikasikan luka bakar adalah luka bakar derajat I, derajat II, dan derajat III (Smeltzer & Bare , 2002). Data di Amerika Serikat menunjukkan kurang lebih 2,5 juta penduduk mengalami luka bakar setiap tahunnya dengan 100.000 diantaranya memerlukan perawatan intensif di rumah sakit dan sekitar 12.000 lainnya meninggal akibat luka bakar dan cedera inhalasi yang terkait dengan luka bakar. Data statistik The National Institute of Burn Medicine menunjukkan bahwa 75% insiden luka bakar yang terjadi di Amerika disebabkan oleh perbuatan sendiri seperti tersiram air panas, arus listrik, dan lain-lain (Smeltzer & Bare , 2002). Di Eropa tercatat 300.000 orang meninggal pertahunnya akibat luka bakar dengan presentase 94% kasus terjadi di rumah atau gedung perkantoran dan fasilitas umum, dan sisanya sebanyak 6% kasus terjadi di transportasi umum (World Health Organization, 2009) Di India, tercatat lebih dari 100.000 orang mengalami luka bakar dan 20.000 diantaranya meninggal dunia. Survei yang dilakukan pada 3500 rumah
1
2
sakit di India selama kurun waktu 30 tahun menunjukkan tingkat kematian sebesar 25% hingga 49% pada dewasa dan 6% hingga 20% pada anak-anak usia 0 tahun10 tahun. Sedangkan ribuan lainnya mengalami kecacatan akibat luka bakar setiap tahunnya ( Sabarahi, 2010 ) Di Indonesia sendiri belum ada data statistik yang menunjukkan jumlah insidensi luka bakar secara nasional, namun data yang diperoleh dari unit luka bakar Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta menunjukkan jumlah kejadian luka bakar sebanyak 107 kasus pada tahun 1998 dengan 37,38% angka kematian terjadi selama menjalani perawatan. Data dari unit luka bakar Dr. Sutomo menunjukkan bahwa 50% kematian disebabkan karena luka bakar yang luas atau disertai dengan cedera saluran nafas (Tim Bantuan Medis 110, 2011). Sedangkan di Bali sendiri, data insidensi luka bakar merujuk kepada Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah yang menunjukkan angka kejadian 217 kasus terjadi pada tahun 2011 dengan angka kematian sebesar 39% (Artawan, 2012). Presentase kejadian luka bakar didominasi oleh luka bakar derajat II (deep partial-thickness) yaitu sebesar 73%, luka bakar derajat I (superficial partial-thickness) sebanyak 17%, dan sisanya sebanyak 10% adalah luka bakar derajat III (full-thickness) (Artawan, 2012). Luka bakar dapat menimbulkan respon sistemik berupa hipoperfusi jaringan dan hipofungsi organ yang terjadi sekunder akibat penurunan curah jantung. Pasien yang luas luka bakarnya kurang dari 20% biasanya akan memperlihatkan respon yang terutama bersifat sistemik, sedangkan pada pasien dengan luas luka bakar mencakup 60% atau lebih dapat menimbulkan
3
ketidakstabilan hemodinamika akibat hilangnya integritas kapiler sehingga terjadi perpindahan cairan, natrium, dan protein ke ruang interstisial (Smeltzer & Bare , 2002). Pada luka bakar derajat II, respon tubuh cenderung bersifat lokal akibat kerusakan epidermis dan lapisan atas dermis sehingga timbul nyeri yang berat, kulit tampak merah dan mengalami eksudasi cairan. Pemutihan jaringan diikuti dengan pengisian kapiler di jaringan yang mengalami luka bakar (Smeltzer & Bare, 2002). Manajemen luka bakar secara modern yang telah berkembang saat ini diantaranya debridement dan epitelisasi. Debridement dilakukan pada luka bakar sedang yaitu dengan menghilangkan jaringan kulit yang mati sehingga mempercepat pembentukan jaringan granulasi. Epitalisasi sendiri secara umum memiliki tujuan yang sama dengan debridement, yaitu mempercepat pertumbuhan jaringan granulasi yang berimplikasi pada proses penyembuhan luka. Epitelisasi dilakukan dengan memberikan suasana yang lembab dan aseptik pada luka sehingga memungkinkan perkembangan jaringan baru lebih cepat (Sabarahi, 2010). Epitelisasi dapat dilakukan dengan menggunakan balutan konvensional dan balutan moderen. Pada metode balutan konvensional digunakan kasa yang dibasahi dengan NACl 0,9% kemudian kasa ditempel pada luka dengan tujuan memberikan suasana lembab. Sedangkan balutan moderen memiliki beragam bentuk diantaranya hydrocolloid dressing , hydrogel dressing, alginate dressing, semi permeable film dressing (Morris, 2006). Balutan moderen mempunyai cara
4
kerja yang kurang lebih sama, yaitu menciptakan suasana moist atau lembab pada luka dan menyerap eksudat yang diproduksi pada luka (Morris, 2006). Manajemen luka bakar derajat II sendiri tetap berfokus pada proses pembentukan jaringan granulasi dan penggantian jaringan kulit yang rusak. Metode yang sering digunakan adalah metode konvensional baik dengan perawatan terbuka maupun perawatan tertutup. Perawatan terbuka dilakukan pada luka bakar yang terjadi di lokasi yang sempit seperti muka, leher, dan perineum. Sedangkan perawatan tertutup yaitu luka dibalut dengan kasa steril dilakukan pada luka bakar derajat II yang luas (Smeltzer & Bare, 2002). Perawatan luka bakar derajat II memerlukan waktu yang cukup lama terutama pada luka bakar yang luas tentu memerlukan biaya yang tidak sedikit mengingat penggantian balutan yang dilakukan setiap hari untuk menjaga kondisi luka tetap steril dan lembab. Selain itu, penggunaan balutan saja ternyata masih memakan waktu yang cukup panjang untuk proses penyembuhan luka bakar derajat II, terutama luka bakar yang luas. Untuk luka bakar derajat I memerlukan waktu penyembuhan 8-15 hari sedangkan pada luka bakar derajat II memerlukan waktu penyembuhan selama 14 hingga 21 hari. Sedangkan perawatan menggunakan obat topikal menunjukkan waktu penyembuhan yang dibutuhkan pada luka bakar derajat II adalah 10 hingga 14 hari (Adrianto, 2003). Hal ini mendasari diperlukannya inovasi terkait metode perawatan luka bakar yang mengkombinasikan konsep moist dan agen yang mampu menstimulasi epitelisasi sehingga proses penyembuhan luka dapat berjalan lebih cepat namun tetap dengan biaya yang terjangkau.
5
Di masyarakat sendiri banyak jenis tanaman tertentu yang biasa digunakan secara empiris untuk menangani luka bakar secara alami. Berbagai penelitian tentang perawatan luka bakar menggunakan tumbuhan Indonesia telah dilakukan diantaranya daun pegagan, lidah buaya, madu, coconut oil, dan lain-lain. Salah satu tanaman yang sering digunakan untuk menangani luka bakar adalah daun pisang (Syamsuhidayat et al, 1991). Daun pisang (Musa paradisiaca) telah dikenal sejak lama sebagai salah satu tanaman yang dapat digunakan dalam perawatan luka bakar. Kelebihan daun pisang dibandingkan tanaman lain diantaranya daun pisang memiliki lapisan lilin, memberikan sensasi dingin, sangat mudah ditemukan dan dikembangbiakan, dan murah (Robmatun, 2008). Sensasi yang dingin mencegah penyebaran termal melalui dermis sehingga mengurangi luas area luka bakar (Akolekar, 2003). Lapisan lilin yang terdapat pada permukaan daun pisang mampu mengurangi penguapan melalui luka bakar. Hal ini merupakan poin penting dalam penatalaksanaan luka bakar akut (Evi, 2008). Penggunaan daun pisang sebagai balutan pada luka bakar sangat mudah. Daun pisang biasanya ditempelkan langsung pada luka setelah dibersihkan menggunakan larutan alkohol atau NaCl 0,9% (Akolekar, 2003). Prinsip sterilisasi tetap diutamakan mengingat luka bakar akut memiliki potensi infeksi yang sangat besar. Sensasi dingin yang ditimbulkan akan memberikan rasa nyaman bagi pasien sehingga mengurangi nyeri yang dirasakan oleh pasien (Gore, 2003). Karena diaplikasikan langsung pada luka tanpa melalui proses kimiawi, maka biaya yang diperlukan sangatlah murah terlebih daun pisang mudah ditemui di Indonesia karena populasinya yang berlimpah.
6
Di India, daun pisang telah digunakan sejak tahun 1996 sebagai salah satu alternatif balutan untuk perawatan luka bakar karena sifatnya yang ideal sebagai balutan dan murah. Akolekar (2003) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa penggunaan daun pisang sebagai balutan membutuhkan biaya yang paling sedikit dibandingkan penggunaan balutan konvensional lainnya. Gore (2003) juga menyatakan bahwa balutan dengan daun pisang 11 kali lebih murah dibandingkan balutan dengan daging kentang, salah satu alternative balutan yang digunakan di departemen bedah di India (Gore, 2003). Terlepas dari kelebihan daun pisang secara fisik, daun pisang ternyata memiliki kandungan senyawa yang dibutuhkan dalam proses penyembuhan luka bakar. Alisi (2008) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa daun pisang mengandung senyawa glikosida, antosianin, tannin, flavonoid, dan karbohidrat (Alisi, 2008). Senyawa ini berhubungan dengan aktifitas antimikrobial dalam proses penyembuhan luka (Alisi, 2008). Dalam lingkup klinik, prinsip penanganan pasien salah satunya adalah nonmaleficience yaitu tidak merugikan pasien. Penggunaan daun pisang sebagai alternative balutan dapat mendukung prinsip ini karena harganya yang paling murah dibandingkan balutan lainnya. Namun dibalik manfaat dan kelebihan daun pisang sebagai alternatif balutan yang telah dipaparkan diatas, ada beberapa kelemahan yang perlu ditemukan solusinya terkait dengan aplikasi daun pisang sebagai balutan. Beberapa diantaranya yaitu daun pisang tidak dapat disimpan lebih dari 7 hari karena memungkinkan berkembangnya jamur pada lapisan daun (Gore, 2003). Selain itu, karakteristik daun yang mudah robek membuat petugas kesehatan yang
7
menggunakannya harus ekstra hati-hati agar permukaan daun dapat menutupi seluruh area luka terutama pada luka bakar yang luas. Balutan yang tidak menutupi seluruh permukaan luka akan meningkatkan resiko infeksi pada luka (Gore, 2003). Idealnya perawatan luka bakar dilakukan dengan menggunakan balutan, baik berupa balutan konvensial maupun balutan moderen. Penggunaan balutan bertujuan untuk menciptakan lingkungan yang kondusif bagi proses penyembuhan luka, memberikan rasa nyaman, mencegah perdarahan dengan memberikan tekanan pada vena disekitar luka, dan mencegah terjadinya infeksi (Carville, 2005). Balutan yang ideal harus memenuhi beberapa kriteria berikut ini yaitu menyerap eksudat, menjaga kondisi luka tetap lembab, memberikan barier bagi invasi patogen, dapat dilepaskan tanpa menimbulkan trauma pada jaringan baru, mudah digunakan, dan efisien dari segi biaya (Carville, 2005). Sedangkan Gore (2003) dalam jurnalnya yang berjudul Banana Leaf Dressing
for Partial
Thickness Burn Wounds menyatakan bahwa balutan yang ideal untuk luka bakar haruslah terbuat dari bahan yang tidak menempel pada luka, tidak menimbulkan alergi, tidak bersifat toksik, memberikan sensai nyeri yang minimal saat digunakan, murah, dan mudah diaplikasikan (Gore, 2003). Rohmatun (2008) meneliti efek dari daun pisang dalam bentuk salep dalam mempercepat proses penyembuhan luka. Bentuk salep dipilih karena praktis, tidak lengket, dan nyaman saat digunakan (Evi, 2008). Namun bentuk salep tidak memberikan suasana lembab pada luka yang merupakan suasana optimal pada
8
proses penyembuhan luka. Sehingga perlu dikembangkan sediaan yang praktis, nyaman, murah, dan tentunya memberikan suasana yang lembab pada luka bakar. Hydrogel merupakan salah satu balutan yang sering digunakan di klinik karena memberikan beberapa keuntungan yaitu mampu menyerap eksudat, menciptakan suasana lembab yang memfasilitasi proses penyembuhan luka, mengurangi nyeri karena memberikan sensasi dingin (Carville, 2005). Sifat gel ini dapat dijadikan dasar untuk membuat alternative balutan
untuk luka bakar.
Sediaan gel dipilih karena dapat bertahan lebih lama, tidak berbau, tidak mengiritasi kulit, dan praktis (Prasetyo, 2008). Berdasarkan hal tersebut peneliti ingin mengetahui pengaruh pemberian gel ekstrak daun pisang (Musa paradisiaca) terhadap waktu penyembuhan luka bakar derajat II pada mencit.
3.2 Rumusan Masalah Apakah terdapat pengaruh pemberian gel ekstrak daun pisang (Musa paradisiaca) terhadap waktu penyembuhan luka bakar derajat II pada mencit?
3.3 Tujuan Penelitian
1.3.1
Tujuan Umum
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian gel ekstrak daun pisang (Musa paradisiaca) terhadap waktu penyembuhan luka bakar derajat II pada mencit
1.3.2
Tujuan Khusus
9
a. Mengidentifikasi waktu penyembuhan luka bakar derajat II pada mencit menggunakan NaCl 0,9% pada kelompok kontrol b. Mengidentifikasi waktu penyembuhan luka bakar derajat II pada mencit yang diberikan gel ekstrak daun pisang (Musa paradisiaca) pada kelompok perlakuan c. Menganalisa waktu penyembuhan luka bakar antara perawatan menggunakan NaCl 0,9% dengan gel ekstrak daun pisang (Musa paradisiaca).
3.4 Manfaat Penelitian
1.4.1
Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khasanah ilmu pengetahuan terkait pengobatan alternatif dalam pelayanan kesehatan dan dapat dijadikan acuan dalam penelitian selanjutnya.
1.4.2
Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai salah satu metode perawatan luka bakar bagi masyarakat.