BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Berdasarkan trend beberapa tahun ini, perhatian masyarakat terhadap Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) semakin besar. Publik semakin sadar bahwa APBN merupakan representasi program-program Pemerintah, terutama Presiden terpilih, yang massif dan terstruktur. Besarnya dana yang dikelola pemerintah melalui Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN), terutama penerimaan Perpajakan, menjadi salah perhatian publik yang sering disoroti media. Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) merupakan cerminan kredibilitas dan akuntabilitas Pemerintah dalam mengelola uang yang dihimpun dari masyarakat maupun sumber-sumber pembiayaan. Oleh karena itu, kinerja pelaksanaan anggaran, dalam hal ini Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN), semakin besar pengaruhnya dalam rangka Pertanggung jawaban kepada rakyat. Sebagaimana dikutip dari Okezone Finance, Selasa (29/03/2011) Wakil Presiden Boediono dalam pidato rapat rencana kerja pemerintah (RKP) dan pagu indikatif 2012 di Istana Bogor pada tanggal 29 Maret 2011 menyatakan bahwa sampai saat ini Indonesia belum memiliki evaluasi dan monitoring yang terpadu sehingga akan sulit untuk memberikan penilaian dan koreksi jika ada penyimpangan terhadap langkah-langkah untuk mencapai outcome. Pernyataan ini menjadi salah satu cikal bakal lahirnya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 249 Tahun 2011 tentang Pengukuran dan Evaluasi Kinerja atas Pelaksanaan
1 http://digilib.mercubuana.ac.id/
2
Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara / Lembaga (RKA-K/L). Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 249 tahun 2011 diharapkan menjadi salah satu solusi dalam penilaian kinerja pemerintahan secara kuantitatif dan real-time. Peraturan ini sejalan dengan hasil penelitian Adah dan Mamman (2013: 107) menyimpulkan bahwa peraturan dan pengawasan internal tertutup oleh sebuah komite yang sama dapat mempengaruhi kinerja anggaran. Dalam tataran teoritis, Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 249 tahun 2011 sudah cukup komprehensif dalam menilai kinerja Kementerian/ Lembaga (K/L) dari aspek implementasi, aspek konteks, dan aspek manfaat. Ironisnya, dalam tataran teknis pelaksanaan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) tersebut masih jauh dari harapan. Jeda waktu dua tahun untuk masa transisi tidak dapat terlaksana dengan baik. Hasilnya hingga tahun 2016, penilaian kinerja atas Rencana Kerja Anggaran Kementerian/Lembaga (RKA-K/L) hanya berdasarkan aspek implementasi saja. Pada masa awal pemberlakuan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) tersebut, aplikasi e-Monev sebagai instrumen input data pengukuran kinerja juga belum tersosialisasi dengan baik ke tataran Satuan Kerja (Satker) Kementerian/ Lembaga (K/L). Pada tahun 2016, Direktorat Jenderal Anggaran (DJA) bekerja sama dengan Sekretaris Kabinet (Seskab) dalam rangka pengimplementasian monitoring dan evaluasi kinerja Kementerian/ Lembaga (K/L) berbasis aplikasi online. Komitmen kerja sama ini juga menandai transformasi aplikasi e-Monev menjadi Aplikasi SMART. Sosialisasi yang intens dari Direktorat Jenderal Anggaran (DJA), Kementerian Keuangan mampu memperbaiki trend Satuan Kerja (Satker) yang melakukan input data pengukuran kinerja pada Aplikasi
http://digilib.mercubuana.ac.id/
3
SMART. Aplikasi
SMART
merupakan
salah
satu
instrumen
yang dapat
dipertimbangkan saat pengelola fiskal akan mengambil keputusan/ kebijakan yang berpengaruh pada struktur belanja pemenntah pusat. Diskresi fiskal umumnya dilakukan pemenntah dalam menyikapi perkembangan asumsi-asumsi ekonomi makro dan realisasi penerimaan negara, khususnya penerimaan perpajakan. APBN Perubahan (APBN-P) merupakan produk hukum diskresi fiskal, dapat berupa Penghematan Belanja, Koreksi Target Penerimaan, maupun Realokasi Belanja Pemerintah. APBN-P menjadi salah satu bentuk koreksi atas perencanaan tahun sebelumnya dalam menyikapi perkembangan ekonomi yang ada. Pengambilan keputusan diskresi fiskal harus dilakukan dengan cermat. Diskresi fiskal yang dilaksanakan di penghujung tahun anggaran berpotensi memperbesar varians realisasi anggaran belanja Kementerian/ Lembaga (K/L), yang pada gilirannya mempengaruhi nilai kinerja penganggaran Satuan Kerja (Satker). Realisasi belanja pemerintah yang rendah seolah-olah mengindikasikan kelemahan dalam proses perencanaan. Padahal hal ini terjadi karena lambatnya respons pemerintah menyikapi perubahan kondisi ekonomi yang ada. Berdasarkan
Lampiran
III
Peraturan
Menteri
Keuangan
Nomor
127/PMK.02/2015 tentang Klasifikasi Anggaran, belanja pemerintah terdiri dari delapan jenis belanja, yaitu belanja pegawai, belanja barang, belanja modal, belanja pembayaran kewajiban utang, belanja subsidi, belanja hibah, belanja bantuan sosial, dan belanja lain-lain. Dalam pelaksanaan anggaran, belanja pegawai, belanja barang, dan belanja modal merupakan jenis belanja yang mendapat perhatian
http://digilib.mercubuana.ac.id/
4
khusus dan ada di setiap Kementerian/ Lembaga (K/L). Setiap varians belanja pemerintah ini memiliki karakteristik tersendiri walaupun pengaruhnya secara generiknya terhadap kinerja penganggaran bersifat negatif. Varians belanja yang terlalu lebar akan menekan kinerja penganggaran Kementerian/ Lembaga (K/L), baik di level Kementerian, Unit Organisasi, maupun Satker. Realisasi belanja pegawai yang melewati batas alokasi anggaran sering diidentikkan dengan tidak efisiennya belanja pemerintah. Pasal 13 ayat (3) Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 249 tahun 2011 menyebutkan bahwa efisiensi merupakan salah satu indikator utama dalam penilaian kinerja. Efisiensi memiliki bobot 28,6% dari penilaian aspek implementasi. Ketika efisiensi rendah, bahkan menunjukkan angka negatif, tentu nilai kinerja atas pelaksanaan anggaran Kementerian/ Lembaga (K/L) secara simultan menjadi rendah. Dengan kata lain, varians belanja pegawai secara uraum berkorelasi negatif terhadap kinerja atas pelaksanaan anggaran Kementerian/ Lembaga (K/L). Menurut Pasal 3 ayat (2) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 190/PMK.05/2012 Alokasi dana yang tertuang dalam Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) merupakan batas tertinggi pengeluaran negara. Selanjutnya batasan realisasi dana disebutkan pada Pasal 3 ayat (3) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 190/PMK.05/2012 Pengeluaran negara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak boleh dilaksanakan jika alokasi dananya tidak tersedia atau tidak cukup tersedia dalam Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA). Hal inilah yang menyebabkan pada belanja barang dan belanja modal hanya akan terjadi varians negatif. Realisasi anggaran kedua jenis belanja tersebut tidak diperkenankan
http://digilib.mercubuana.ac.id/
5
melebihi alokasi anggaran yang telah disediakan. Contoh kasus varians belanja barang dapat kita temui pada pemenuhan Bahan Bakar Minyak dan Pelumas (BMP) untuk kepetingan Patroli Kepolisian. Adanya penghematan menyebabkan kontrak pengadaan Bahan Bakar Minyak dan Pelumas (BMP) tersebut tidak sepenuhnya dilaksanakan karena anggaran untuk memenuhi kontrak tersebut harus dihemat sesuai amanat Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 4/2016 dan Nomor 8/2016. Adanya sebagian anggaran yang tidak direalisasikan inilah yang disebut varians belanja barang. Anggaran yang tidak terealisasi ini turut menyebabkan penurunan volume keluaran (output) belanja barang. Misalnya sebelum penghematan, sesuai target pemenuhan bensin untuk patroli, setiap kali patroli diberikan pasokan 20 liter bensin, dengan adanya penghematan, patroli tetap harus dilakukan tetapi pasokan bensin hanya diberikan 10 liter. Hal ini jelas akan menurunkan kinerja patroli tersebut karena cakupan daerah yang dijangkau patroli menjadi lebih sedikit. Penurunan volume keluaran (output) Bahan Bakar Minyak dan Pelumas (BMP) tersebut berakibat pada tidak tercapainya target volume keluaran (output) yang telah ditetapkan. Dalam sudut pandang pelaksanaan anggaran, varians belanja barang menyebabkan target volume keluaran (output) belanja barang tidak tercapai sehingga menurunkan nilai kinerja atas pelaksanaan anggaran. Salah satu contoh kasus dalam realisasi belanja modal yaitu pada pengadaan Alat Penjinak Bahan Peledak (Aljihandak). Pengadaan peralatan tersebut menggunakan pembiayaan dari Pinjaman Luar Negeri (PLN) dengan skema Kredit Ekspor (KE). Adanya klausul pemenuhan dana Rupiah Murni Pendamping (RMP)
http://digilib.mercubuana.ac.id/
6
untuk melakukan penarikan dana Pinjaman Luar Negeri (PLN) menyebabkan pengadaan peralatan tersebut terkendala karena anggaran Rupiah Murni Pendamping (RMP) terbatas tiap tahunnya. Pada akhir 2015, pengadaan ini tidak dapat terealisasi seluruhnya sehingga target keluaran (output) belanja modal tidak tercapai. Dengan tidak terpenuhinya pengadaan ini tentu menyebabkan kinerja Kepolisian dalam pelatihan penjinak bom menurun karena peralatan penjinak bom terbatas. Walaupun pengadaan ini dapat dilanjutkan pada tahun 2016, pada tahun 2015 realisasi belanja modal pun turun drastis. Penurunan realisasi belanja modal menyebabkan target volume keluaran (output) belanja barang tidak tercapai sehingga menurunkan nilai kinerja atas pelaksanaan anggaran. Dalam rangka mengakomodasi perubahan asumsi ekonomi makro dan perubahan terkait pelaksanaan anggaran, Pemerintah dapat melakukan revisi anggaran belanja. Revisi anggaran belanja dalam penelitian ini merujuk pada perubahan rincian anggaran yang disebabkan oleh penambahan atau pengurangan pagu anggaran dan perubahan atau pergeseran rincian anggaran dan/atau pergeseran anggaran dalam hal pagu anggaran tetap. Hal ini tercantum dalam Pasal Pasal 2 Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 62/PMK.02/2016. Diskresi fiskal yang dijalankan pemerintah umumnya direspons oleh Menteri/ Pimpinan Lembaga dengan melakukan perubahan struktur anggaran belanja (realokasi anggaran) pada Satker-satker pada Kementerian / Lembaga tersebut. Dalam merespons kebijakan penghematan belanja pemerintah, Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) umumnya akan melakukan realokasi atas anggaran perjalanan dinas pada Kementerian/ Lembaga yang dipimpinya ke anggaran untuk kegiatan yang lebih
http://digilib.mercubuana.ac.id/
7
prioritas. Ketika revisi anggaran belanja dilakukan dengan tepat, maka perubahan struktur anggaran dapat meningkatkan penyerapan anggaran dan konsistensi terhadap Rencana Penarikan Dana. Kedua indikator tersebut merupakan indikator kinerja pelaksanaan anggaran Kementerian/ Lembaga (K/L) menurut Pasal 13 ayat (3) Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 249 tahun 2011. Artinya, revisi anggaran belanja berpengaruh positif terhadap kinerja atas pelaksanaan anaggran. Salah satu kasus revisi anggaran belanja pada level Kementerian/ Lembaga (K/L) yang lazim terjadi adalah pergeseran anggaran dalam rangka penyelesaian pagu minus belanja pegawai. Menurut Pasal 53 ayat (4) Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 62/PMK.02/2016, penyelesaian pagu minus dapat dilakukan dengan melakukan pergeseran anggaran Program, antar Satuan Kerja (Satker), maupun tambahan dari Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara (BABUN). Peraturan ini memberikan keleluasaan pada Pengguna Anggaran (PA) Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) untuk melakukan revisi anggaran belanja belanja modal dan belanja barang yang masih tersisa guna menutupi pagu minus belanja pegawai yang terjadi. Dalam hal terjadi pagu minus, penyerapan anggaran akan lebih besar dari 100%, konsistensi anggaran akan menurun, pencapaian keluaran (output) tetap, tetapi tingkat efisiensi akan menurun drastis. Jika Kementerian/ Lembaga (K/L) tidak mengimbanginya dengan pencapaian keluaran (output) dari belanja barang dan belanja modal yang baik, kinerja pelaksanaan anggaran Kementerian/ Lembaga (K/L) akan menurun karena indikator efisiensi dan konsistensi anggaran menurun. Hal ini terjadi pada Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri), pada tahun 2015 nilai kinerjanya turun menjadi 64,82
http://digilib.mercubuana.ac.id/
8
dari sebelumnya 72,53 pada tahun 2014 akibat terjadi pagu minus belanja pegawai sebesar Rp. 4,221 triliun yang tidak terselesaikan (sumber: DJA, Kemenkeu). Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 8 tahun 2016 Diktum Kedua menyebutkan bahwa Dalam rangka penghematan belanja Kementerian /Lembaga Tahun Anggaran 2016 sebagaimana dimaksud dalam Diktum Pertama, masing-masing Kementerian/Lembaga melakukan identifikasi secara mandiri terhadap
program/kegiatan
di
dalam
Rencana
Kerja
dan
Anggaran
Kementerian/Lembaga Tahun Anggaran 2016, yang akan dihemat dan memastikan anggarannya tidak dicairkan melalui blokir mandiri (self blocking). Menurut Pasal 24 ayat (5) Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 163/PMK.02/2016 Catatan dalam Halaman IV DIP A Petikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e memuat informasi mengenai: alokasi anggaran yang ditunda (self blocking) sebagai akibat kebijakan pemerintah pusat dalam rangka pengendalian dan pengamanan pelaksanaan anggaran. Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 8 tahun 2016 melakukan penghematan dengan skema blokir anggaran yang mekanismenya diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 163/PMK.02/2016, yang artinya tidak terjadi perubahan alokasi anggaran pada Kementerian/ Lembaga (K/L) terkait, tetapi dana tersebut tidak dapat dicairkan. Adanya blokir anggaran akan menyebabkan penurunan tingkat penyerapan anggaran, penurunan tingkat konsistensi terhadap Rencana Penarikan Dana, dan penurunan realisasi volume keluaran (output). Ketiga indikator tersebut merupakan indikator kinerja pelaksanaan anggaran Kementerian/ Lembaga (K/L) menurut Pasal 13 ayat (3) Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 249 tahun 2011. Dengan kata lain,
http://digilib.mercubuana.ac.id/
9
adanya blokir anggaran dapat menurunkan kinerja atas pelaksanaan anggaran. Berdasarkan penelitian Paat (2013) dan Assidiqi (2014), varians belanja akan berkorelasi positif terhadap kinerja anggaran dengan asumsi varians belanja dirumuskan sebagai persentase realisasi terhadap pagu. Jika rumusan varians belanja merupakan selisih antara realisasi dengan pagu belanja sebagaimana penehtian Palilingan et al. (2015), Daling (2013), Karinda et al. (2013), maka varians belanja akan berkorelasi negatif terhadap kinerja anggaran. Perbedaan hash penehtian tersebut disebabkan oleh perbedaan rumusan varians belanja yang dipergunakan. Hasil yang berbeda ditemui pada penehtian Adah dan Mamman (2013) yang menyatakan bahwa incremental budget (varians dalam anggaran) tidak berpengaruh pada kinerja anggaran. Dalam istilah penganggaran, kegiatan realokasi tersebut merupakan bagian dari spending reviews. Spending reviews erat kaitannya dengan kinerja belanja pemerintah pusat (kinerja atas pelaksanaan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian/ Lembaga/ RKA-K/L). Menurut Hawkesworth dan Klepsvik (2013: 124) spending reviews menjadi ukuran yang lebih sering digunakan untuk manuver anggaran baik dalam jangka pendek dan panjang. Menurut penehtian Lestari et al. (2014) alokasi belanja perubahan/ realokasi (rebudgeting) berpengaruh positif terhadap serapan anggaran. Serapan anggaran merupakan salah satu indikator kinerja pelaksanaan anggaran Kementerian/ Lembaga (K/L) menurut Pasal 13 ayat (3) Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 249 tahun 2011. Secara umum, revisi anggaran meliputi perubahan anggaran dan realokasi anggaran. Berdasarkan pengamatan penulis, banyak penehtian atau referensi yang
http://digilib.mercubuana.ac.id/
10
hanya membahas tentang perubahan anggaran saja atau realokasi anggaran saja. Hal ini dikarenakan luasnya cakupan definisi revisi anggaran sebagaimana dijelaskan Pasal 2 Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 62/PMK.02/2016. Fenomena yang terjadi antara revisi anggaran belanja dan varians belanja pemerintah dapat kita temui juga pada penelitian Daw et al. (2016: 23) menyatakan bahwa ada hubungan negatif yang signifikan antara perubahan anggaran dan underspending oleh lembaga/ program. Temuan ini menunjukkan bahwa administrator anggaran pemerintah federal Malaysia menyesuaikan anggaran agensi mereka/ program saat ke atas dalam menanggapi overspending di tahun sebelumnya. Namun, jika ada revisi ke bawah dari anggaran saat ini dengan lembaga/ program revisi tersebut tidak selalu atau diperoleh dari respon terhadap underspending tahun sebelumnya. Hal ini menandakan bahwa realokasi dan varians belanja pegawai dalam hubungannya dengan kinerja pelaksanaan angaran memiliki dimensi lebih dari satu tahun. Hasil penelitian Lestari et al. (2014) Penambahan atau
pergeseran
anggaran
dimaksudkan
untuk
membantu
realisasi
anggaran/memperkecil varian anggaran, sehingga perubahan anggaran akan semakin mendekatkan antara anggaran dengan realisasinya. Penelitian ini menuatkan adanya hubungan mediasi antara perubahan anggaran belanja terhadap kinerja pelaksanaan anggaran oleh varians belanja Pemerintah. Hal yang berbeda terjadi pada penelitian Anessi-Pessina et al. (2011) menyatakan bahwa varians belanja berdasarkan tujuan penggunaanya tidak berpengaruh terhadap perubahan anggaran belanja dan varians belanja berdasarkan sifatnya berpengaruh tetapi tidak signifikan terhadap realokasi belanja.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
11
Penelitian Paat (2013) dan Assidiqi (2014) menggunakan variabel varians belanja Pemerintah terhadap variabel kinerja, dengan asumsi varians belanja dirumuskan sebagai persentase realisasi terhadap pagu. Penelitian ini menggunakan variabel yang sama yaitu varians belanja pemerintah, tetapi menggunakan rumusan selisih realisasi anggaran terhadap alokasi anggarannya. Rumusan ini dipergunakan dalam penelitian Palilingan et al. (2015), Daling (2013), Karinda et al. (2013). Penelitian ini menggunakan variabel varian belanja Pemerintah, tetapi lebih dispesifikasikan pada varians belanja pegawai, varians belanja barang, dan varians belanja modal terhadap kinerja atas pelaksanaan anggaran. Penelitian ini juga meneliti pengaruh perubahan anggaran belanja terhadap kinerja yang sejalan dengan penelitian Hawkesworth dan Klepsvik (2013). Akan tetapi, penelitian ini meneliti lebih lanjut hubungan varians belanja pegawai, varians belanja barang, dan varians belanja modal dalam memediasi hubungan revisi anggaran belanja terhadap kinerja pelaksanaan anggaran. Penelitian Herri yanto (2012) faktor perencanaan yang salah satu indikatornya adalah anggaran yang terblokir merupakan salah satu faktor yang menyebabkan keterlambatan penyerapan anggaran pada Satuan Kerja (Satker). Kementerian/ Lembaga (K/L). Hash penelitian ini sesuai dengan hash penelitian Priatno (2013) Faktor perencanaan mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap penyerapan anggaran satuan kerja. Faktor-faktor perencanaan pada penelitian Priatno (2013) antara lain masa penyusunan dan penelaahan anggaran terlalu pendek, pejabat pengelola keuangan sering mutasi, pelaksanaan kegiatan tidak melihat jadwal dalam DIPA, adanya blokir (tanda bintang) pagu alokasi anggaran,
http://digilib.mercubuana.ac.id/
12
dan keterlambatan penunjukan panitia pengadaan barang dan jasa. Berdasarkan Pasal 13 ayat (3) Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 249 tahun 2011, penyerapan anggaran merupakan salah satu indikator kinerja. Jika penelitian Herriyanto (2012) dan Priatno (2013) menjadikan blokir anggaran hanya sebagai indikator faktor perencanaan dan menggunakan instrumen kuesioner sebagai pengumpul data, penelitian ini akan mengkaji lebih mendalam karena mengkaji jumlah blokir anggaran dan hubungannya dengan kinerja pelaksanaan anggaran. Pola realisasi anggaran yang sering menyimpang jauh dari Rencana Penarikan Dana mengindikasikan belum adanya monitoring dan evaluasi kinerja yang memadai. Kebijakan revisi anggaran belanja yang dilakukan Pemerintah Pusat maupun internal Kementerian/ Lembaga (K/L) turut memicu pelebaran varians belanja pemerintah, baik belanja pegawai, belanja barang, dan belanja modal. Selain itu, adanya anggaran yang terblokir hingga akhir tahun tentu akan memperlebar varians belanja pemerintah, baik belanja pegawai, belanja barang, dan belanja modal. Berdasarkan hasil penelitian-penelitian terdahulu dan fenomena yang ada, maka penelitian ini perlu dilakukan untuk meneliti pengaruh realisasi belanja pemerintah, revisi anggaran belanja, dan blokir anggaran terhadap nilai
kinerja
atas
pelaksanaan
Rencana
Kerja
dan
Anggaran
Kementerian/Lembaga (RKA-K/L) di Indonesia periode 2012 - 2016.
B. Rumusan Masalah Penelitian Berdasarkan fenomena dan hasil penelitian terdahulu, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan yang akan diteliti, yaitu:
http://digilib.mercubuana.ac.id/
13
1.
Bagaimanakah pengaruh realisasi belanja pemerintah terhadap nilai kinerja atas pelaksanaan Rencana Kerja Anggaran Kementerian/ Lembaga (RKA-K/L) pada Kementerian/ Lembaga (K/L) di Indonesia periode 2012 -2016?
2.
Bagaimanakah pengaruh revisi anggaran belanja terhadap nilai kinerja atas pelaksanaan Rencana Kerja Anggaran Kementerian/ Lembaga (RKA-K/L) pada Kementerian/ Lembaga (K/L) di Indonesia periode 2012 -2016?
3.
Bagaimanakah pengaruh blokir anggaran terhadap nilai kinerja atas pelaksanaan Rencana Kerja Anggaran Kementerian/ Lembaga (RKA-K/L) pada Kementerian/ Lembaga (K/L) di Indonesia periode 2012 -2016?
C.
Tujuan dan Kontribusi Penelitian
1.
Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini antara lain:
a.
Untuk mengetahui pengaruh realisasi belanja pemerintah terhadap nilai kinerja atas pelaksanaan Rencana Kerja Anggaran Kementerian / Lembaga (RKA-K/L) pada Kementerian/ Lembaga (K/L) di Indonesia periode 2012 -2016.
b.
Untuk mengetahui pengaruh revisi anggaran pemerintah terhadap nilai kinerja atas pelaksanaan Rencana Kerja Anggaran Kementerian / Lembaga (RKA-K/L) pada Kementerian/ Lembaga (K/L) di Indonesia periode 2012 -2016.
c.
Untuk
mengetahui
pengaruh
blokir
anggaran
terhadap
nilai
kinerja atas pelaksanaan Rencana Kerja Anggaran Kementerian / Lembaga
http://digilib.mercubuana.ac.id/
14
(RKA-K/L) pada Kementerian/ Lembaga (K/L) di Indonesia periode 2012 -2016. 2.
Kontribusi Penelitian Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi beberapa kalangan,
antara lain a.
Bagi akademisi Hasil penelitian dapat memperkaya khasanah dalam bidang akuntansi sektor
publik, terutama keterkaitan antara varians belanja pemerintah, blokir anggaran, dan revisi anggaran belanja terhadap kinerja pelaksanaan RKA-K/L. b.
Bagi Kementerian/ Lembaga Hasil penelitian ini dapat menjadi salah satu bahan pertimbangan ketika
melakukan penyusunan RKA-K/L, pemantauan capaian realisasi anggaran, dan evaluasi atas kebijakan realokasi belanja pemerintah yang akan dilakukan. c.
Bagi Kementerian Keuangan Sebagai
pemegang
otoritas
fiskal,
Kementerian
Keuangan
dapat
mempertimbangkan hash penelitian ini sebagai salah satu masukan ketika akan melakukan kebijakan diskresi fiskal maupun revisi anggaran belanja. Kementerian keuangan dapat secara cepat memperkirakan pengaruh kebijakan fiskal yang diambil terhadap kinerja atas pelaksanaan Rencana Kerja Anggaran Kementerian/ Lembaga (RKA-K/L) pada tahun yang bersangkutan. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu bahan pertimbangan agar penghematan anggaran dilaksanakan secara tepat sehingga tidak mengorbankan kinerja atas pelaksanaan Rencana Kerja Anggaran Kementerian/ Lembaga (RKA-K/L).
http://digilib.mercubuana.ac.id/