1
BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG Indonesia dengan kekayaan alamnya memiliki berbagai jenis tumbuhan, di antaranya tumbuhan yang berkhasiat sebagai obat. Penggunaan tumbuhan untuk mengobati berbagai macam penyakit dan peningkat daya tahan tubuh seperti suplemen makanan dan suplemen kesehatan sudah banyak digunakan di Indonesia. Secara empiris, masyarakat lebih senang menggunakan tumbuhan untuk mengobati penyakit dan memelihara kesehatan. Salah satu tumbuhan yang berkhasiat sebagai obat adalah purwoceng gunung atau Artemisia lactiflora Wall.ex DC., anggota suku Asteraceae. Menurut Taufani (2012), purwoceng gunung masih belum diketahui oleh banyak orang karena tumbuhan purwoceng (Pimpinella pruatjan Molk.) lebih dikenal secara umum berkhasiat afrodisiak atau sebagai peningkat vitalitas laki-laki. Vitalitas adalah salah satu aspek kesehatan yang penting untuk dijaga. Vitalitas berarti kondisi tubuh seseorang dalam keadaan serta stamina yang baik. Vitalitas yang tidak terjaga dengan baik dapat menyebabkan kondisi kesehatan menurun, bahkan gangguan fungsi seksual seperti impotensi dan infertilitas yang persentasenya lebih banyak pada laki-laki (Syamsul, 2011). Vitalitas dapat dijaga dengan mengkonsumsi obat, makanan, atau tumbuhan yang mengandung senyawa afrodisiak. Purwoceng gunung memiliki khasiat yang cukup berbeda, seperti diuretik, pelancar haid, dan anti radang (Depkes RI, 1999). Purwoceng gunung merupakan
2
tumbuhan liar yang tumbuh di dataran menengah sampai pegunungan pada ketinggian 800 m sampai 2300 m di atas permukaan laut (Depkes RI, 1999). Keberadaannya lebih mudah diperoleh berbeda dengan purwoceng yang kebanyakan dibudidayakan di pegunungan Dieng (Syamsul, 2011). Purwoceng
gunung
memiliki
kandungan
kimia
berupa
saponin,
kardenolin, flavonoid, dan minyak atsiri (Depkes, 1999). Pada akar purwoceng (Pimpinella pruatjan Molk.), senyawa yang bertanggungjawab terhadap aktivitas afrodisiak adalah stigmasterol. Suzery dkk., (2004) telah melakukan isolasi senyawa aktif dari tanaman purwoceng dan ditemukan senyawa stigmasterol. Hal ini didukung oleh Dewick (2009) bahwa senyawa tersebut diperkirakan sebagai salah satu pemicu timbulnya perilaku seksual. Izzatunnafis (2008) dalam penelitiannya menyebutkan kadar rata-rata stigmasterol yang merupakan senyawa afrodisiak pada akar purwoceng sebesar 0,73 ± 1,51 % b/b (Izzatunnafis, 2008). Akar
purwoceng
gunung
memiliki
kadar
senyawa
stigmasterol
berdasarkan hasil uji pendahuluan yang dilakukan di LPPT UGM, yaitu sebesar 0,75 % b/b. Kadar tersebut tidak berbeda jauh jika dibandingkan dengan kadar stigmasterol yang dimiliki oleh akar purwoceng (Pimpinella pruatjan Molk.). Adanya senyawa stigmasterol yang juga terdapat pada akar purwoceng gunung (Artemisia lactiflora Wall. ex DC.) dapat mendasari penggunaannya sebagai bahan baku herbal peningkat vitalitas pada laki-laki. Senyawa afrodisiak dari akar purwoceng gunung, yakni stigmasterol mempunyai kelarutan yang rendah di dalam air sehinggga absorbsinya dalam saluran cerna tidak optimal (Jannah, 2013). Kelarutan senyawa stigmasterol dalam air adalah 1,12 x 10 -5 mg/L
3
(Anonim, 2015). Salah satu pengatasannya adalah memformulasikan ekstrak akar purwoceng gunung, minyak, surfaktan, dan kosurfaktan terpilih dalam bentuk SNEDDS (Self-Nano Emulsifying Drug Delivery System). Menurut Nazzal dkk., (2002) dalam Dash dkk., (2015), SNEDDS akan membentuk nanoemulsi secara spontan ketika bercampur dengan fase air atau cairan lambung ketika diminum oleh pasien. SNEDDS adalah campuran isotropik yang terdiri atas obat, minyak, surfaktan, dan kosurfaktan yang akan membentuk nanoemulsi ketika berada dalam air dengan bantuan agitasi yang lembut menghasilkan ukuran partikel 20200 nm (Mou dkk., 2008). SNEDDS dapat meningkatkan bioavailibilitas oral dengan cara meningkatkan kelarutan obat, permeasi obat melewati membran intestinal karena ukuran partikelnya yang kecil, dan menurunkan efek dari makanan (Wang dkk., 2010). Sediaan dalam bentuk SNEDDS secara termodinamik lebih stabil dengan kemampuan melarutkan obat lipofilik lebih tinggi dibandingkan sediaan emulsi pada umumnya. Sediaan ini dapat dimasukkan ke dalam kapsul lunak atau kapsul keras untuk penggunaan secara oral yang lebih nyaman (Zhao dkk., 2009). SNEDDS yang secara fisik lebih stabil dibandingkan formulasi lain pada umumnya memberikan keuntungan yakni mudah dalam hal pembuatannya (Balakumar dkk., 2013). Pada penelitian ini, asam oleat digunakan sebagai fase minyak. Asam oleat dipilih karena merupakan asam lemak tak jenuh tunggal. Kurakula dan Miryala (2013) dalam Surya (2014) menyatakan bahwa asam oleat banyak dipilih sebagai fase minyak dalam formulasi SNEDDS karena kemampuan self-emulsifyingnya
4
yang tinggi dan kapasitas drug loading yang besar. Tween 20 dan tween 80 dipilih sebagai bahan awal pada skrining surfaktan karena memiliki HLB yang tinggi, yaitu 16,7 dan 15. Berbeda dengan span 20 dan span 80 yang memiliki HLB rendah, yaitu 4,7 dan 4,3. HLB yang tinggi akan mempermudah turunnya tegangan antar muka minyak dengan air saat formula SNEDDS bertemu dengan cairan lambung. Propilen glikol dan PEG 400 yang biasa digunakan sebagai kosurfaktan dipilih sebagai bahan awal pada skrining kosurfaktan.
B. RUMUSAN MASALAH 1.
Apakah formula SNEDDS (Self-Nano Emulsifying Drug Delivery Systems) dengan komponen asam oleat, surfaktan dan kosurfaktan terpilih, serta ekstrak akar purwoceng gunung yang homogen dapat dibuat?
2.
Apakah formula SNEDDS (Self-Nano Emulsifying Drug Delivery System) ekstrak akar purwoceng gunung optimum memenuhi karakter seperti ukuran tetesan nanoemulsi kurang dari 200 nm, emulsification time kurang dari 1 menit, stabil selama 4 jam dalam cairan lambung buatan, dan memuat ekstrak sebanyak 50 mg/mL?
C. TUJUAN 1.
Memperoleh formula SNEDDS (Self-Nano Emulsifying Drug Delivery Systems) dengan komponen asam oleat, surfaktan dan kosurfaktan terpilih, serta ekstrak akar purwoceng gunung yang homogen.
5
2.
Mengetahui karakter formula SNEDDS ekstrak akar purwoceng gunung optimum, seperti ukuran tetesan nanoemulsi kurang dari 200 nm, emulsification time kurang dari 1 menit, stabil selama 4 jam dalam cairan lambung buatan, dan memuat ekstrak sebanyak 50 mg/mL.
D. MANFAAT Penelitian
ini
bermanfaat
karena
dapat
menjadi
informasi
pengembangan produk herbal ekstrak akar purwoceng gunung dalam bentuk formula SNEDDS (Self-Nano Emulsifying Drug Delivery System) kaitannya dengan peningkat vitalitas laki-laki.
E. TINJAUAN PUSTAKA 1.
Purwoceng Gunung a.
Taksonomi purwoceng gunung (Sumber : Depkes RI, 1999) Divisi
: Spermatophyta
Sub divisi : Angiospermae
b.
Kelas
: Dicotyledoneae
Ordo
: Ranales
Famili
: Asteraceae
Genus
: Artemisia
Spesies
: Artemisia lactiflora Wall.
Nama Daerah Purwoceng gunung (Jawa)
6
c.
Deskripsi purwoceng Habitus
: Terna, menahun, tegak atau agak sedikit melata, tinggi 20-50 cm.
Akar
: Serabut berwarna putih kekuningan.
Batang
: Bulat, beruas-ruas, licin, berwarna hijau keunguan.
Daun
: Majemuk, berbentuk oval, lonjong, panjang 10-18 cm, lebar 6-15 cm, ujung runcing, pangkal tumpul, tepi beringgir, anak daun bentuk oval, tepi bergerigi, pertulangan daun tegas, warna ungu kehijauan, hijau.
Bunga
: Majemuk, bentuk tandan, terletak di ujung batang, panjang mencapai 30 cm, kelopak hijau, bentuk bintang, berlekuk 5, mahkota halus mengelilingi cawan bunga tempat benang sari dan putik, diameter 2-3 mm, warna putih gading.
Biji
: Bentuk lanset, kecil, berwarna cokelat
Adapun gambar purwoceng gunung terdapat pada Gambar 1.
Gambar 1. Purwoceng gunung
7
d.
Kandungan kimia Saponin, kardenolin, flavonoid, minyak atsiri (Depkes RI, 1999).
e.
Kegunaan Anti radang, pelancar haid, peluruh air seni.
2.
Stigmasterol
H
H H H
HH HO
Gambar 2. Struktur molekul stigmasterol (Anonim, 2015)
Rumus molekul stigmasterol adalah C29H48O. Bobot molekul stigmasterol adalah 412,69802 g/ mol. Stigmasterol seperti yang terdapat pada Gambar 2 mempunyai kelarutan yang rendah di dalam air sehinggga absorbsinya dalam saluran cerna tidak optimal (Jannah, 2013). Kelarutan senyawa stigmasterol dalam air sebesar 1,12 x 10-5 mg/L. Stigmasterol sangat larut dalam benzen, etil eter, dan etanol (Anonim, 2015). Berdasarkan hasil uji pendahuluan di LPPT, ekstrak akar purwoceng gunung memiliki kandungan stigmasterol sebesar 0,75 % b/b. Kadar tersebut tidak berbeda jauh jika dibandingkan dengan kadar
8
stigmasterol yang dimiliki oleh akar purwoceng (Pimpinella pruatjan Molk.), yakni 0,73 ± 1,51 % b/b (Izzatunnafis, 2008). Senyawa stigmasterol sebagai afrodisiak dapat berguna untuk meningkatkan vitalitas laki-laki sebab kemampuannya meningkatkan level testosteron di dalam tubuh akan mempengaruhi spermatogenesis yang secara tidak langsung akan meningkatkan vitalitas laki-laki (Sangat dan Larashati, 2002; Taufiqurrachman, 1999).
3.
Prinsip pembuatan ekstrak akar purwoceng gunung a.
Pembuatan simplisia Tahap pertama adalah pengumpulan bahan baku. Umumnya, panen akar dilakukan saat proses pertumbuhan berhenti atau sudah cukup umur. Tahap kedua adalah sortasi basah atau pemilahan tumbuhan hasil panen saat masih segar dari tanah, rumput-rumputan, bagian tanaman lain, dan bagian yang rusak. Tahap ketiga adalah pencucian dengan mata air, air sumur, atau air ledeng yang bertujuan untuk membersihkan kotoran yang melekat, terutama bahan yang berasal dari dalam tanah. Tahap keempat adalah pengubahan bentuk seperti perajangan, pengupasan, pemotongan, atau penyerutan. Tahap kelima adalah pengeringan, salah satunya dapat menggunakan oven pada suhu 50°C. Pengeringan menggunakan oven bertujuan menurunkan kadar air yang lebih baik sehingga bahan tidak mudah ditumbuhi kapang dan bakteri dan menghilangkan aktivitas enzim
9
yang dapat menguraikan lebih lanjut kandungan zat aktif. Tahap keenam adalah sortasi kering atau pemilahan bahan setelah mengalami proses pengeringan (Gunawan dan Mulyani, 2004). Tahap ketujuh adalah pembuatan serbuk dengan bantuan mesin serbuk. Hasilnya berupa serbuk kasar. Tanpa proses pengayakan, serbuk kasar selanjutnya akan dimaserasi. Semakin halus serbuk yang dihasilkan maka proses ekstraksi semakin efektif tapi proses filtrasi secara teknologi peralatan menjadi lebih sulit.
b.
Maserasi Maserasi adalah salah satu macam ekstraksi cara dingin. Prinsip maserasi yaitu melarutkan dan menarik senyawa yang diinginkan dengan pelarut yang tepat. Maserasi pada penelitian ini dilakukan dengan cara 1 bagian serbuk akar purwoceng gunung dilarutkan dalam 10 bagian pelarut (etanol 70 %), kemudian diaduk setiap 2 jam sekali agar homogen serta tidak jenuh, dan didiamkan selama 24 jam. Etanol mampu menyari senyawa non polar hingga polar dan toksisitasnya lebih rendah dibanding pelarut lain (Khairani, 2013). Pelarut yang diperbolehkan hingga saat ini adalah air dan alkohol (etanol) serta campurannya, sedangkan pelarut lain seperti metanol, toluen, kloroform, heksana, dan aseton digunakan untuk separasi dan fraksinasi (Depkes RI, 2000). Ekstrak etanol 70 % dari akar purwoceng dengan dosis 83,25 mg/kg bobot badan mampu menaikkan bobot badan tikus betina bunting (Pribadi, 2012). Proses
10
yang terjadi selama maserasi adalah penetrasi pelarut ke dalam sel tumbuhan, disolusi pelarut ke dalam sel tumbuhan, dan difusi bahan yang terekstraksi ke luar sel. Proses tersebut akan berulang hingga terjadi kesetimbangan (Emilan dkk., 2011).
c.
Penyaringan dan penguapan ekstrak Hasil maserasi disaring dengan kertas saring yang dibantu alat vacuum Buchner. Hasil penyaringan kemudian diuapkan. Penguapan sebaiknya dilakukan dengan rotary evaporator terlebih dahulu hingga volume cukup berkurang dan ekstrak masih dapat dituang, selanjutnya diuapkan menggunakan waterbath pada suhu 78°C hingga diperoleh ekstrak kental.
4.
SNEDDS Self Emulsifying Drug Delivery System atau SEDDS merupakan
pendekatan teknologi yang akhir-akhir ini diterapkan pada obat-obat yang kelarutannya di dalam air rendah. Tujuannya adalah meningkatkan kelarutan, disolusi, dan absorbsi per oral obat-obat tersebut (Joshi dkk., 2013). SNEDDS atau Self-Nano Emulsifying Drug Delivery System merupakan salah satu jenis SEDDS berupa campuran minyak, surfaktan, kosurfaktan, dan substansi obat yang secara spontan akan membentuk nanoemulsi di dalam jalur gastrointestinal setelah pemberian secara oral (Joshi dkk., 2013). SNEDDS yang terbentuk di jalur gastrointestinal memberikan hasil berupa partikel nano yang berukuran 20 nm sampai 200 nm (Balakumar dkk., 2013). Nanopartikel
11
dapat dibuat dengan dua cara, yaitu milling of large particles (pengecilan partikel-partikel besar) dan precipitation from solution (penggabungan partikel-partikel kecil menjadi partikel yang lebih besar). Milling of large particles membutuhkan energi yang besar yakni menggunakan alat dalam pembuatan nanopartikel, berbeda dengan precipitation from solution yang membutuhkan energi lebih rendah yakni hanya dengan mengembangkan formulasi dalam pembuatan nanopartikel dengan bantuan alat seperti vortex dan stirrer. Metode pembuatan yang kedua dipilih untuk membuat SNEDDS dalam penelitian ini sebab lebih mudah dilakukan dalam skala laboratorium dibandingkan metode pembuatan yang pertama.
a.
Minyak Minyak adalah salah satu bahan penting dalam pembuatan nanoemulsi karena berfungsi sebagai pembawa obat lipofilik yang mampu melarutkan obat dalam jumlah cukup banyak, membantu proses self emulsification, meningkatkan fraksi obat lipofilik yang ditranspor melalui sistem intestinal limpatik sehingga absorbsi di dalam jalur gastrointestinal dapat ditingkatkan (Gursoy dkk., 2004). Minyak dengan rantai trigliserida panjang dan medium yang memiliki derajat saturasi berbeda umum digunakan dalam formulasi SEDDS (Sapra dkk., 2012). Pemilihan minyak yang tepat dalam formulasi SNEDDS ditentukan oleh kelarutan obat di dalam minyak (Azeem dkk., 2009). Minyak yang digunakan dalam penelitian ini adalah asam oleat. Asam oleat dipilih karena merupakan asam lemak tak jenuh
12
tunggal. Kurakula dan Miryala (2013) dalam Surya (2014) menyatakan bahwa asam oleat banyak dipilih sebagai fase minyak dalam formulasi SNEDDS karena kemampuan self-emulsifyingnya yang tinggi dan kapasitas drug loading yang besar (Surya, 2014).
b.
Surfaktan Surfaktan adalah komponen lain yang juga penting dalam formulasi SNEDDS karena berperan mengurangi tegangan antar muka minyak dengan air. Surfaktan dapat dibagi menjadi surfaktan ionik (kationik dan anionik), surfaktan non ionik, dan surfaktan amfolitik (Nigade dkk., 2012). Surfaktan non ionik lebih banyak dipilih dalam formulasi SNEDDS karena lebih tidak toksik dibandingkan surfaktan ionik. Surfaktan non ionik dengan nilai HLB yang relatif tinggi merupakan pilihan tepat dalam formulasi. Keamanan menjadi pertimbangan utama dalam pemilihan surfaktan. Surfaktan yang berasal dari bahan alam lebih aman dibandingkan surfaktan sintetis walaupun mempunyai keterbatasan dalam proses self emulsification. Konsentrasi surfaktan yang umumnya dipilih untuk membuat formulasi SNEDDS yang stabil adalah 30-60% w/w. Peningkatan konsentrasi tidak direkomendasikan sebab kemungkinan mengiritasi gastrointestinal lebih besar (Gursoy dkk., 2004). Surfaktan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tween 20 dengan nilai HLB 16,7 dan tween 80 dengan nilai HLB 15.
13
c.
Kosurfaktan Kosurfaktan membantu pembentukan nanoemulsi secara spontan dan mengurangi penggunaan surfaktan jika keduanya digunakan
bersama-sama.
Surfaktan
dan
kosurfaktan
akan
bekerjasama untuk menurunkan tegangan antar muka. Pemilihan kosurfaktan
merupakan
menentukan
partikel
tahapan
formula
penting
SNEDDS
karena yang
membantu
terbentuk
dan
melarutkan substansi obat dalam formula SNEDDS (Nigade dkk., 2012). Kosurfaktan yang digunakan dalam penelitian ini adalah PEG 400 dengan nilai HLB 14 dan propilen glikol dengan nilai HLB 3,4.
5. Asam Oleat O
OH
Gambar 3. Struktur Molekul Asam Oleat (Rowe dkk., 2009)
Struktur molekul asam oleat seperti terdapat pada Gambar 3 adalah asam lemak tak jenuh tunggal yang memiliki bobot molekul 282,47 g/mol, berwarna kuning hingga kecokelatan. Asam oleat memiliki fungsi sebagai agen pengemulsi yang biasa digunakan dalam sediaan farmasetika. Selain itu, asam oleat mampu meningkatkan bioavailibilitas obat atau senyawa yang sukar larut air dalam formulasi tablet (Rowe dkk., 2009). Kurakula dan Miryala (2013) dalam Surya (2014) menyatakan bahwa asam oleat
14
banyak dipilih sebagai fase minyak dalam formulasi SNEDDS (Self-Nano Emulsifying
Drug
Delivery
System)
karena
kemampuan
self-
emulsifyingnya yang tinggi dan kapasitas drug loading yang besar.
6. Tween 20
O HO
O
R
O
y
z O
O
O HO
x O HO
w Gambar 4. Struktur Molekul Tween 20 (Rowe dkk. 2009) w + x + y + z = 20; R = asam laurat
Tween 20 atau polisorbat 20 (C26H50O10) yang struktur molekulnya terdapat pada Gambar 4 memiliki berat molekul 1128 g/mol (Rowe dkk., 2009). Tween 20 adalah ester laurat dari sorbitol dan anhidridanya berkopolimerisasi dengan sekitar 20 molekul etilen oksida untuk setiap molekul sorbitol dan anhidrida sorbitol. Penampilan fisik tween 20 berupa cairan, berwarna kuning muda hingga coklat muda, dan berbau khas lemah. tween 20 larut di dalam air, etanol, etil asetat, metanol, dioksan, dan tidak larut dalam minyak mineral (Depkes RI, 1995).
15
7. Propilen Glikol
OH OH H3C Gambar 5. Struktur molekul propilen glikol (Rowe dkk., 2009)
Propilen glikol dengan struktur molekul seperti terdapat pada Gambar 5 memiliki bobot molekul 76,09 g/mol (Rowe dkk., 2009). Wujud dari propilen glikol berupa cairan kental, jernih, tidak berwarna, berasa khas, praktis tidak berbau, dan menyerap air pada udara lembap. Propilen glikol dapat bercampur dengan air, aseton, dan kloroform. Selain itu, propilen glikol juga larut dalam eter dan beberapa minyak esensial tetapi tidak dapat larut dengan minyak lemak. Bobot jenis dari propilen glikol berkisar antara 1,035 dan 1,037 (Depkes RI, 1995).
F. LANDASAN TEORI Purwoceng gunung adalah salah satu tumbuhan obat Indonesia yang memiliki kegunaan anti radang, pelancar haid, dan peluruh air seni (Depkes RI, 1999). Tumbuhan purwoceng gunung memiliki kandungan kimia berupa saponin, kardenolin, flavonoid, dan minyak atsiri (Depkes RI, 1999). Akar purwoceng gunung memiliki kadar senyawa stigmasterol berdasarkan hasil uji di LPPT UGM, yaitu sebesar 0,75 % b/b. Kadar tersebut tidak berbeda jauh jika dibandingkan dengan kadar stigmasterol yang dimiliki oleh akar purwoceng
16
(Pimpinella pruatjan Molk.), yakni 0,73 ± 1,51 % b/b (Izzatunnafis, 2008). Adanya senyawa stigmasterol yang juga terdapat pada akar purwoceng gunung dapat mendasari penggunaannya sebagai bahan baku herbal peningkat vitalitas pada laki-laki. Senyawa stigmasterol sebagai afrodisiak dapat berguna untuk meningkatkan vitalitas laki-laki sebab kemampuannya meningkatkan level testosteron di dalam tubuh akan mempengaruhi spermatogenesis yang secara tidak langsung akan meningkatkan vitalitas laki-laki (Sangat dan Larashati, 2002; Taufiqurrachman, 1999). Stigmasterol memiliki kelarutan yang rendah dalam air (Jannah, 2013). Kelarutan stigmasterol dalam air adalah 1,12 x 10-5 mg/L (Anonim, 2015). Kelarutan dan ketersediaan obat tersebut di dalam tubuh jika dikonsumsi harus ditingkatkan. Salah satu metode yang efektif untuk mengatasi masalah ini adalah memanfaatkan teknologi nano, yakni SNEDDS (Self-Nano Emulsifying Drug Delivery Systems). SNEDDS merupakan campuran isotropik minyak, surfaktan, kosurfaktan dan obat yang akan membentuk nanoemulsi secara spontan ketika bertemu dengan cairan lambung melalui pemberian per oral. Secara in vitro, SNEDDS akan membentuk nanoemulsi secara spontan ketika bertemu dengan air dengan bantuan agitasi yang lembut. Secara visual, nanoemulsi akan tampak jernih. Minyak sebagai pembawa obat dapat berupa minyak mineral maupun minyak nabati. Umumnya minyak nabati lebih banyak digunakan karena aman untuk penggunaan secara oral. Surfaktan memiliki fungsi untuk menurunkan tegangan muka dan membentuk lapisan antarmuka antara air dan minyak sehingga
17
minyak yang berisi obat mampu terdispersi di dalam air (Nigade dkk., 2012). Tipe nanoemulsi seperti minyak dalam air (O/W), air dalam minyak (W/O), dan bikontinu sangat ditentukan oleh jenis dan jumlah surfaktan yang digunakan. Kerja surfaktan dalam pembentukan nanoemulsi sering dibantu dengan penambahan kosurfaktan. Kosurfaktan berperan membantu menurunkan tegangan antar muka air dan minyak (Nigade dkk., 2012). Keberhasilan pembentukan nanoemulsi dapat dilihat dari ukuran diameter tetesan dan distribusi ukurannya. Sebagai pengujian awal, keberhasilan pembentukan nanoemulsi dapat dilihat dari nilai transmittance yang mendekati transmittance akuades. Nanoemulsi memiliki ukuran 20 sampai 200 nm (Balakumar dkk., 2013). Distribusi ukuran partikel yang sempit menunjukkan keseragaman tetesan nanoemulsi yang dihasilkan dan reliabilitas metode pembuatan. Karakterisasi distribusi ukuran partikel ini diketahui dengan bantuan alat PSA (Particle Size Analyser). Kecepatan SNEDDS membentuk nanoemulsi dikarakterisasi melalui uji emulsification time. SNEDDS yang baik akan memiliki emulsification time yang sebentar atau cepat mendispersikan fase minyak di dalam air. Pengamatan stabilitas nanoemulsi diperlukan agar dapat dipastikan nanoemulsi stabil dalam cairan lambung buatan (AGF).
G. HIPOTESIS 1.
Formula SNEDDS (Self-Nano Emulsifying Drug Delivery Systems) dengan komponen asam oleat, surfaktan dan kosurfaktan terpilih, serta ekstrak etanol akar purwoceng gunung yang homogen berhasil didapat.
18
2.
Formula SNEDDS (Self-Nano Emulsifying Drug Delivery Systems) ekstrak akar purwoceng gunung optimum memenuhi karakter seperti ukuran tetesan nanoemulsi kurang dari 200 nm, emulsification time kurang dari 1 menit, selama 4 jam dalam cairan lambung buatan, dan memuat ekstrak sebanyak 50 mg/mL.