BAB I PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Pasar modal merupakan wahana yang mempertemukan pihak yang kelebihan
dana (investor) dan pihak yang membutuhkan dana (peminjam) dengan cara memperjualbelikan sekuritas. Pasar modal juga merupakan bagian dari indikator perekonomian suatu negara. Keberadaan pasar modal diharapkan dapat menjadi alternatif pendanaan dan investasi bagi masyarakat. Krisis keuangan global yang masih berlangsung hingga kini, mengakibatkan kondisi pasar keuangan dunia menjadi terpuruk, termasuk pasar modal di Indonesia. Hingga saat ini pasar modal Indonesia masih bergulat di tengah krisis global yang menyebabkan pertumbuhan pasar modal melambat dan penundaan Initial Public Offering (IPO) dari sejumlah perusahaan akibat kondisi pasar modal yang belum menentu. Rontoknya indeks bursa di hampir seluruh dunia pada Oktober 2008 lalu turut menghempaskan Indeks Harga Saham gabungan (HSG) hingga level terendah, yang mengakibatkan BEI terpaksa disuspend sebab mengalami penurunan signifikan. Puncaknya terjadi pada 8 Oktober 2008, IHSG terkoreksi sebesar 10,38% hingga menyentuh level 1.451,669. Namun dibuka kembali pada 13 Oktober 2008. Suspensi tersebut untuk memberikan perlindungan kepada investor dan pasar. Kemudian pasar modal kembali bergerak naik, namun hal tersebut hanya disebabkan oleh dana jangka pendek.
Universitas Sumatera Utara
Namun optimisme bahwa bursa saham akan kembali membaik terlihat dari rencana IPO pada 2009 di mana tercatat sekitar 19 perusahaan. Termasuk diantaranya perusahaan yang gagal melakukan IPO pada 2008. Beberapa perusahaan yang gagal melakukan IPO pada 2008 akan merealisasikan pada tahun ini. Seperti diketahui, beberapa perusahaan yang gagal menggelar IPO pada 2008 lalu adalah PT Prime Petroservices, PT Power Telecom, PT Mitrasurya Cemerlang, PT Wahanaartha Harsaka, dan PT Garuda Food. Kemudian juga PT Bank Tabungan Negara (BTN), PT Krakatau Steel, PT Pembangunan Perumahan, PT Waskita Karya, PT Garuda Indonesia, dan PT Perkebunan Nusantara (PTPN) III, IV, dan VII. Sejumlah BUMN yang akan masuk bursa, saham BUMN sangat ditunggu investor di pasar modal. Kementerian BUMN melepas 11 BUMN melakukan privatisasi melalui program IPO, sebagai upaya menyehatkan kinerja keuangan perusahaan. Perusahaan yang benar-benar siap untuk melaksanakan IPO ada tiga perusahan, yaitu PT Krakatau Steel, PT Perkebunan Nusantara (PTPN) VII, dan Bank Tabungan Negara (BTN). Sementara itu, kinerja emiten sepanjang triwulan I/2009 relatif lebih baik dibanding triwulan akhir 2008. Hal ini didukung oleh kinerja emiten berbasis pasar domestik yang masih tumbuh menjadi faktor utama pertumbuhan positif ditengah krisi global yang masih berlangsung. Dilihat dari sisi jumlah emiten maupun kapitalisasinya, Bursa Efek Indonesia (BEI) masih tertinggal dibandingkan dengan pasar modal di negara lain di kawasan regional Asia. Menurut data World Federation of Exchange per Maret 2009, emiten di BEI hanya 396 emiten. Jumlah ini relatif kecil
Universitas Sumatera Utara
dibandingkan dengan emiten bursa Malaysia yang tercatat mencapai 968 emiten, Singapura (765 emiten) dan Thailand (527 emiten). Sedangkan dari sisi nilai kapitalisasi, dengan nilai US$ 113 miliar, kapitalisasi di BEI masih berada di bawah kapitalisasi bursa regional khususnya negara tetangga. Bursa Singapura mencatat nilai kapitalisasi mencapai US$ 249 miliar, kemudian disusul oleh Malaysia sebesar US$ 197 miliar. Minimnya jumlah emiten di BEI dan masih terbatasnya jumlah investor yang berinvestasi di pasar modal, menyebabkan jika terjadi gejolak eksternal, pasar modal Indonesia lebih mudah terguncang. Karena dari sisi `supply` (emiten) dan `demand` (investor) masih terbatas, sehingga jika terjadi guncangan dari luar, misalnya dampak krisis global sejak tahun lalu dampaknya sangat terasa di bursa Indonesia. Pasar modal sebagai salah satu instrumen penggalang dana juga menghadapi goncangan yang kuat. Goncangan tersebut berupa penurunan Indeks Harga saham Gabungan (IHSG) dari 637,40 di tahun 1997 menjadi 401,70 di tahun 1998. Kapitalisasi pasar juga mengalami hal serupa, yaitu di tahun 1997 Rp. 215,10 trilyun turun menjadi Rp. 159,90 di tahun 1998, sedangkan total transaksi menurun dari 120,40 triliun pada tahun 1997 menjadi 99,60 triliun untuk tahun 1998 (Bursa Efek Indonesia 2002). Dampak serius yang dialami sektor perbankan akibat krisis ekonomi berimbas pada dilikuidasinya 16 bank pada tahun 1997, disusul dengan pembekuan 10 bank di tahun 1998 dan penutupan sendiri 2 bank campuran pada tahun 1999. Dalam laporan tahunan yang tertuang dalam fact book IDX, tergambar jelas bahwa kinerja BEI terus memperlihatkan peningkatan yang signifikan. Meningkatnya
Universitas Sumatera Utara
data dan angka tersebut menandakan bahwa pasar modal sebagai wahana investasi dan sebagai pintu gerbang masuk ke industri ini terus digemari kalangan investor. Indeks harga saham gabungan (IHSG) yang merupakan salah satu indikator perdagangan mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Perbandingan indeks harga saham gabungan beberapa tahun terakhir dapat dilihat pada Tabel 1.1 berikut. Tabel 1.1. Daftar IHSG Tahun 2002-2007
High Low Close
2002 551,607 337,475 424,945
2003 693,033 379,351 691,895
2004 1.004,430 668,477 1.000,233
2005 1.192,203 994,770 1.162,635
2006 1.805,523 1.171,709 1.805,523
2007 2.810,962 1.678,044 2.745,826
Sumber: www.bei.co.id, diolah (17 Agustus 2008)
Pada Tabel 1.1 dapat dilihat bahwa IHSG tahun 2007 mengalami kenaikan 52 persen dibandingkan penutupan tahun 2006. Sementara penutupan tahun 2006 IHSG lebih tinggi, dibandingkan tahun 2005, demikian juga dengan 2004 dan 2003. Kenaikan
IHSG
tersebut
merupakan
cerminan
dari
keberhasilan
investor
menanamkan modalnya di pasar modal, karena emiten atau perusahaan yang menjual sahamnya tidak kesulitan dalam mencari modal guna pengembangan usaha. Peningkatan tersebut tentunya dapat mendorong investor untuk berinvestasi di Pasar Modal Indonesia. Fenomena tersebut disebabkan tingginya suku bunga perbankan, yaitu mencapai 77,63% di tahun 1998. Suku bunga yang tinggi dan tidak adanya dukungan dari sektor riil membuat banyak kredit pinjaman mengalami penundaan pembayaran sehingga dikategori sebagai kredit macet.
Universitas Sumatera Utara
Setiap investasi tentu memiliki risiko dan return yang berbeda-beda. Para investor sendiri tentu selalu berharap dapat memaksimalkan return atas investasinya berdasarkan tingkat toleransinya terhadap risiko. Investor yang berani mengambil risiko (risk taker) cenderung memilih saham-saham dengan tingkat risiko yang tinggi dengan pengharapan akan menuai return yang tinggi pada akhirnya. Sebaliknya, investor yang kurang berani (risk averse) cenderung memilih saham-saham dengan return yang normal. Salah satu tujuan investor dalam berinvestasi adalah memperoleh deviden. Tujuan lain adalah memperoleh capital gain, yaitu selisih lebih antara harga investasi saat ini dengan harga investasi di masa lalu. Perilaku investor seperti itu mengindikasikan bahwa mereka membeli saham pada saat harga saham turun dan menjualnya kembali pada saat harga saham meningkat. Indikasi ini menyimpulkan bahwa seorang calon investor yang ingin membeli saham di pasar sekunder harus senantiasa memperhatikan pergerakan harga saham tersebut. Analisis terhadap saham secara umum terbagi dua, yaitu: analisis teknikal dan analisis fundamental. Analisis teknikal menggunakan data harga saham di masa lalu, sedangkan analisis fundamental menggunakan faktor yang diidentifikasikan sehingga dapat mempengaruhi harga saham di masa mendatang. Dasar dari analisis fundamental adalah faktor fundamental suatu perusahaan. Faktor fundamental perusahaan secara umum dapat diartikan sebagai faktor internal perusahaan yang digambarkan sebagai kinerja keuangan perusahaan yang dituangkan dalam bentuk laporan keuangan (Halim, 2003: 5). Pengukuran kinerja
Universitas Sumatera Utara
keuangan suatu perusahaan membutuhkan suatu alat ukur, biasanya berbentuk rasio. Analisis rasio keuangan mampu memberikan manajemen gambaran tentang perubahan-perubahan pokok trend, jumlah dan hubungan serta alasan perubahan tersebut. Hasil analisis laporan keuangan diharapkan dapat membantu manajemen dalam menginterprestasikan berbagai hubungan kunci dan kecenderungan sehingga dapat memberikan dasar pertimbangan mengenai potensi keberhasilan perusahaan di masa depan. Setiap investasi tentu memiliki risiko dan return yang berbeda-beda. Para investor sendiri tentu selalu berharap dapat memaksimalkan return atas investasinya berdasarkan tingkat toleransinya terhadap risiko. Investor yang berani mengambil risiko (risk taker) cenderung memilih saham-saham dengan tingkat risiko yang tinggi dengan pengharapan akan menuai return yang tinggi pada akhirnya. Sebaliknya, investor yang kurang berani (risk averse) cenderung memilih saham-saham dengan return yang normal. Tingkat keuntungan (return) merupakan motivasi investor dalam berinvestasi, karena itu, return seringkali dijadikan sebagai ukuran dalam membandingkan berbagai alternatif investasi. Pengukuran return historis memberikan dua keuntungan bagi investor. Hal yang pertama, pengukuran return historis yaitu memungkinkan investor mengetahui keberhasilan mereka dalam melakukan suatu investasi. Hal yang kedua, pengukuran return historis juga ikut berperan dalam memperkirakan return masa depan.
Universitas Sumatera Utara
Salah satu tujuan investor dalam berinvestasi adalah memperoleh deviden. Tujuan lain adalah memperoleh capital gain, yaitu selisih lebih antara harga investasi saat ini dengan harga investasi di masa lalu. Perilaku investor seperti itu mengindikasikan bahwa mereka membeli saham pada saat harga saham turun dan menjualnya kembali pada saat harga saham meningkat. Indikasi ini menyimpulkan bahwa seorang calon investor yang ingin membeli saham di pasar sekunder harus senantiasa memperhatikan pergerakan harga saham tersebut. Kekuatan analisis investor dalam menilai dan memperkirakan harga saham akan berpengaruh terhadap capital gain yang akan diterimanya. Hal tersebut dikarenakan kekuatan analisis ini akan memberikan informasi kepada investor waktu yang tepat untuk membeli atau menjual saham yang dimilikinya. Kewajaran harga saham yang terbentuk di pasar modal dapat dinilai oleh investor melalui pendekatan fundamental, sedangkan risiko sistematis (market risk) dapat mengurangi besarnya tingkat keuntungan yang akan diperoleh investor. Pendekatan fundamental bermula dari pemikiran bahwa harga saham yang wajar ditentukan oleh ekspektasi atas deviden, pertumbuhan keuntungan dan tingkat bunga diskon di masa mendatang. Ekspektasi-ekspektasi ini dipengaruhi oleh kondisi makro ekonomi terhadap suatu perusahaan. Investment Opportunity Set (IOS) merupakan pengukuran atas pertumbuhan perusahaan yang diwakilkan atau diproksikan dengan harga, investasi dan varian, di mana IOS yang memiliki level yang tinggi cenderung untuk membagikan deviden yang rendah serta IOS yang memiliki level rendah akan membagikan deviden yang
Universitas Sumatera Utara
tinggi sehingga investor akan melihat perusahaan yang memiliki IOS rendah karena akan memberikan deviden yang tinggi dan akan menaikkan harga saham dan tentunya akan memberikan capital gains yang besar sebagaimana diteliti oleh I Ketut Jati (2003). Penelitian yang dilakukan oleh Rudy Santoso pada tahun 2001 tentang pengaruh rasio profitabilitas terhadap harga saham pada perusahaan property dan real estate di Bursa Efek Surabaya di mana secara simultan ROE, NPM dan EPS berpengaruh terhadap harga saham sedangkan secara parsial EPS dan ROE tidak berpengaruh terhadap harga saham. Penelitian ini menggunakan variabel ROA, ROE, EPS, PER dan IOS. Motivasi peneliti dengan menambahkan variabel IOS yang merupakan variabel yang diproksikan dengan harga, investasi dan varian yang sangat berpengaruh terhadap perubahan harga saham. Variabel IOS mengukur pertumbuhan perusahaan. Bagi investor, variabel ini penting untuk memprediksi tingkat pengembalian di masa mendatang yang berupa pembagian deviden di akhir tahun, sehingga investasinya tidak sia-sia. Tingkat keuntungan (return) suatu investasi selalu berjalan beriringan dengan risiko. Risiko dalam investasi umumnya terbagi dua, yaitu risiko tidak sistematis dan risiko sistematis. Risiko tidak sistematis merupakan risiko yang tidak berkorelasi dengan perusahaan lain dan dapat dihilangkan dengan diversifikasi portofolio yang baik. Risiko sistematis (beta) merupakan risiko yang tidak dapat dihilangkan dan berkorelasi antar perusahaan karena variabel yang mempengaruhinya sama, yaitu
Universitas Sumatera Utara
variabel makro ekonomi antara lain nilai tukar mata uang (misalnya, Rupiah), tingkat inflasi, dan tingkat suku bunga. Peneliti tertarik untuk mengadakan penelitian lebih lanjut dengan judul: Pengaruh Faktor Fundamental dan Investment Opportunity Set (IOS) terhadap Harga Saham Emiten Manufaktur di Bursa Efek Indonesia. Dengan demikian akan dapat diketahui faktor-faktor apa saja dari aspek fundamental yang berdampak pada saham seluruh perusahaan.
1.2.
Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah di muka, maka rumuskan masalah
sebagai berikut: Apakah faktor fundamental dan IOS berpengaruh secara simultan dan parsial terhadap harga saham manufaktur di Bursa Efek Indonesia?
1.3.
Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menganalisis
pengaruh faktor fundamental dan IOS secara simultan dan parsial terhadap harga saham manufaktur di Bursa Efek Indonesia.
1.4.
Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini adalah:
a.
Bagi penulis, penelitian ini bermanfaat untuk memberikan wawasan dan pemahaman mendalam tentang pendekatan fundamental dan IOS yang
Universitas Sumatera Utara
digunakan untuk menganalisis return saham manufaktur di Bursa Efek Indonesia. b.
Bagi praktisi, hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai informasi ilmiah untuk menyusun perencanaan investasi.
c.
Bagi akademisi, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan referensi untuk penelitian selanjutnya.
1.5.
Originalitas Penelitian ini merupakan penelitian berbentuk replikasi dan kelanjutan dari
penelitian terdahulu, yaitu mereplikasi dari penelitian Jati (2003) dengan judul: Relevansi Nilai PER dan Deviden Yield dan Moderasi Investment Opportunity Set (IOS) dalam penilaian harga saham dengan data dari Bursa Efek Jakarta dan Santosa (2001) yang berjudul pengaruh ROE, NPM dan EPS terhadap harga saham. Perbedaannya dengan peneliti ini adalah menggunakan variabel independen dengan ROA, ROE dan PER yang berbeda dari penelitian sebelumnya serta menggunakan variabel IOS, di mana IOS diproksikan dengan harga saham dan jenis perusahaan yang diteliti yaitu pada perusahaan manufaktur di Bursa Efek Indonesia.
Universitas Sumatera Utara