BAB I PENDAHULUAN
I.1
Latar Belakang Sejak dibentuknya ASEAN sebagai organisasi regional pada tahun 1967,
negara-negara anggota telah meletakkan kerjasama ekonomi sebagai salah satu agenda utama yang perlu dikembangkan. Pada awalnya kerjasama ekonomi difokuskan
pada
program-program
pemberian
preferensi
perdagangan
(preferential trade), usaha patungan (joint ventures), dan skema saling melengkapi (complementation scheme) antar pemerintah negara-negara anggota maupun pihak swasta di kawasan ASEAN, seperti ASEAN Industrial Projects Plan (1976), Preferential Trading Arrangement (1977), ASEAN Industrial Complementation scheme (1981), ASEAN Industrial Joint-Ventures scheme (1983), dan Enhanced Preferential Trading arrangement (1987). Pada dekade 80-an dan 90-an, ketika negara-negara di berbagai belahan dunia mulai melakukan upaya-upaya untuk menghilangkan hambatan-hambatan ekonomi, negara-negara anggota ASEAN menyadari bahwa cara terbaik untuk bekerjasama adalah dengan saling membuka perekonomian mereka, guna menciptakan integrasi ekonomi kawasan 1. KTT ke-9 ASEAN di Bali tahun 2003 menyepakati pembentukan komunitas ASEAN yang salah satu pilarnya adalah ASEAN Economic community (AEC). AEC bertujuan untuk menciptakan pasar tunggal dan basis produksi yang ditandai dengan bebasnya aliran barang, jasa, investasi, tenaga kerja terampil dan perpindahan barang modal secara lebih bebas. 1
Hapsari Indira, Liberalisasi di sektor jasa keuangan dan dampaknya terhadap negara-negara anggota ASEAN.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Dalam cetak biru AEC telah disepakati jaminan kebebasan mobilitas bagi tenaga kerja terampil di kawasan ASEAN melalui serangkaian tahapan yang disepakati dalam ASEAN Framework Agreement on Services (AFAS) tahun 1995. Untuk memfasilitasi liberalisasi jasa dan mempermudah mobilisasi tenaga kerja profesional lintas negara di ASEAN, maka dipandang perlunya kesepakatan pengakuan tenaga profesional di bidang jasa yang diwujudkan dalam Nota Saling Pengakuan (Mutual Recognition Arrangements - MRA's). Sejauh ini Nota Saling Pengakuan sudah dilakukan untuk jasa arsitektur, jasa akuntansi, kualifikasi survei, praktisi medis tahun 2008, dan praktisi gigi tahun 2009. Liberalisasi jasa lainnya baik pada sektor maupun subsektor diharapkan dapat diberlakukan pada 2015. Indonesia merupakan salah satu Negara yang mempunyai jumlah penduduk terbesar ke-3 di dunia setelah negara China dan India. Melimpahnya jumlah
penduduk
merupakan
aset
penting
yang
menguntungkan
bagi
pembangunan suatu bangsa. Penduduk berperan sebagai subjek pembangunan dan dengan jumlah penduduk yang besar berperan sebagai tenaga kerja yang akan melakukan pembangunan. Hal tersebut akan menjadi suatu masalah apabila jumlah penduduk yang besar tersebut tidak disesuaikan dengan jumlah lapangan kerja yang memadai. Sebagai akibat atas tingginya pertumbuhan angkatan kerja di satu sisi dan rendahnya pertumbuhan lapangan kerja di sisi
lain akan
menimbulkan tingginya tingkat pengangguran. Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang bekerja di Luar Negeri bukan hanya penting sebagai subyek yang melakukan segala kegiatan pembangunan, akan tetapi juga pentingkarena pendapatan yang mereka peroleh dari pekerjaan akan
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
memberikan pemasukan Negara dengan adanya devisa. Nantinya devisa tersebut akan digunakan sebagai modal peningkatan kesejahteraan TKI. Memperluas kesempatan kerja ke luar negeri akan memberikan peluang yang besar untuk perkembangan masyarakat serta mengurangi jumlah pengangguran. Banyak negara yang menjadi tujuan dari TKI , antara lain adalah negara-negara ASEAN. Kita ketahui bersama dari negara anggota ASEAN Malaysia adalah tujuan terbanyak dari TKI. Dalam hal penempatan tenaga kerja Indonesia di Malaysia merupakan suatu upaya untuk mewujudkan hak dan kesempatan yang sama bagi tenaga kerja untuk memperoleh pekerjaan danpenghasilan yang layak, yang pelaksanaannya dilakukan dengan tetap memperhatikan harkat, martabat, hak asasi manusia dan perlindungan hokum serta pemerataan kesempatan kerja dan penyediaan tenaga kerja yang sesuai dengan kebutuhan nasional. Pada fase pra penempatan tenaga kerja di Malaysia, sering dimanfaatkan calo tenaga kerja untuk maksud menguntungkan diri calo sendiri, yang sering mengakibatkan calon tenaga kerja yang akan bekerja di luar negeri menjadi korban dengan janji berbagai kemudahan untuk dapat bekerja diluar
negeri,
termasuk yang melanggar prosedur serta ketentuan pemerintah, akhirnya sering memunculkan kasus tenaga kerja Indonesia ilegal. Pada fase selama penempatan sangat sering persoalan tenaga kerja Indonesia yang berada di Malaysia, mengakibatkan permasalahan yang cukup memprihatinkan berbagai pihak. Pemerintah indonesia kedepan harus siap dalam menghadapi kesepakatan AEC sebagai sebuah keharusan untuk melindungi TKI yang bekerja di luar negri. Liberalisasi tenaga kerja adalah sebuah keharusan dari pilihan pemerintah untuk berperan aktif dalam perekonomian dan kesepakatan ASEAN. Oleh karena itu,
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Pemerintah harus mampu membuat kebijakan-kebijakan yang berpihak kepada kepentingan internal negara yang mampu melindungi TKI di daerah ASEAN terlebih di Malaysia. Dari pemaparan diatas maka penulis tertarik untuk Dari paparkan diatas penulis tentang latar belakang penulis tertarik untuk melakukan penelitian yang lebih condong kearah ekonomi politik dan lebih mengarah lagi kearah kebijakan oleh karena itu penulis meneliti tentang, ”Peran ASEAN Economic Community Terhadap Kebijakan Liberalisasi Tenaga Kerja Indionesia (Studi Kasus : Tenaga Kerja Indonesia yang berada di Malaysia).”
I.2
Rumusan Masalah Agar penelitian ini dapat dilaksanakan dengan terarah dan tepat sasaran,
maka permasalahan harus dirumuskan dengan jelas. Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah : 1. Apakah ASEAN Economic Community mendorong adanya kebijakan liberalisasai tenaga kerja Indonesia yang bekerja di Malaysia? 2. Bagaimanakah dampak ASEAN Economic Community terhadap pengaturan tenaga kerja Indonesia di Malaysia?
I.3
Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian
I.3.1
Tujuan Penelitian Adapun yang menjadi tujuan penulis dalam meneliti permasalahan ini
adalah : 1. Untuk lebih memahami tentang Kerjasama Indonesia dalam Asean.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2. Untuk lebih memahami tentang Kebijakan ketenagakerjaan Indonesia . 3. Untuk lebih memahami tentang dampak liberalisasi tenaga kerja indonesia. 4. Menemukan dan menjelaskan
perdagangan jasa tenaga kerja setelah
kesepakatan ASEAN Economic Community.
I.3.2
Manfaat Penelitian Penelitian yang dilakukan untuk mengetahui dampak Asean Free Trade
Area memberi manfaat sebagai berikut : 1. Penelitian ini diharapkan mampu memberi pemahaman dan kemampuan berfikir secara akademis dan ilmiah dalam memandang kerjasama luar negeri Indonesia. 2. Menambah khasanah ilmu pengetahuan terutama masalah liberalisasi dan kebijakan luar negeri. 3. Sebagai literatur baru bagi kepustakaan ilmu politik FISIP USU. 4. Menambah pengetahuan dan kemapuan penulis dalam menyelesaikan karya ilmiah.
I.4
Pembatasan Masalah Penelitian membutuhkan pembatasan masalah dengan tujuan untuk dapat
menghasilkan uraian yang sistematis dan tidak melebar. Maka batasan masalah dalam penelitian ini adalah : 1. Hal-hal yang diteliti adalah Kebijakan mengenai tenaga kerja Indonesia di Malaysia.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2. Proses pengaturan tenaga kerja Indonesia di Malaysia setelah munculnya kesepakatan ASEAN Economic Community. 3. Secara Fokus penulis akan meneliti tentang keberpihakan kebijakan liberalisasi tenaga kerja Indonesia dan keterkaitannya dengan kesepakatan indonesia dalam ASEAN Economic Community.
I.5
Kerangka Teori
I.5.1
Kebijakan
I.5.1.1 Tahapan Proses Kebijakan Proses pengambilan kebijakan merupakan proses yang kompleks karena melibatkan banyak proses maupun variabel yang harus dikaji. Oleh karena itu, proses pengambilan kebijakan tersebut perlu dikelompokkan ke dalam beberapa tahapan. Hal ini akan memudahkan kita dalam memahami proses pengambilan kebijakan publik 2. a. Tahap Penyusunan Agenda (Agenda Setting) Di sekitar lingkungan pemerintahan terdapat berbagai persoalan yang harus diselesaikan, namun masalah-masalah tersebut tidak langsung mendapatkan perhatian dari para pengambil kebijakan. Setiap masalah publik harus mendapatkan pengorganisasian agar masalah tersebut menjadi isu kebijakan yang akan dibahas para pembuat kebijakan. Setelah suatu masalah diorganisasikan dengan baik, selanjutnya isu tersebut diteruskan pada para pembuat kebijakan. Maka masalah itu kemungkinan akan mendapat perhatian dari para pejabat publik, untuk dicarikan penyelesaiannya. Pada tahapan inilah dibutuhkan peranan partai
2
Charles Lindblom, Proses Penetapan Kebijakan Publik, Jakarta: Airlangga, 1986.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
pilitik, kelompok kepentingan, maupun masyarakat secara umum untuk mengangkat suatu permasalahan yang sedang dihadapi oleh masyarakat untuk menjadi isu kebijakan. Setelah berbagai isu kebijakan sampai di tangan para pembuat kebijakan, berbagai isu tersebut harus bersaing untuk mendapatkan perhatian yang lebih besar dari para pejabat publik. Hal ini dikarenakan banyaknya
persoalan
(isu
kebijakan)
yang
sama-sama
membutuhkan
penyelesaian. Pada tahapan ini suatu masalah (isu kebijakan) mungkin tidak disentuh oleh para pengambil kebijakan, ada masalah yang pembahasannya ditunda untuk beberapa waktu, dan ada masalah yang langsung ditanggapi /dibahas oleh para pengambil kebijakan. b. Tahap Formulasi Kebijakan (Policy Formulation) Masalah (isu kebijakan) yang telah masuk dalam agenda setting kemudian dibahas oleh para pembuat kebijakan. Sejumlah permasalahan itu dirumuskan melalui proses analisa yang cermat tentang pendefinisian masalah tersebut, alternatif cara penanggulangannya apa, dan bagaimana dampaknya. Pemecahan masalah tersebut, berasal dari berbagai alternatif kebijakan yang telah disediakan. Alternatif-alternatif kebijakan inilah yang nantinya akan dipilih sebagai kebijakan yang diambil untuk memecahkan masalah tersebut. Pada tahap ini, pembuat kebijakan akan berusaha semaksimal
mungkin untuk memanifestasikan
kepintingannya di dalam subsitansi kebijakan. c. Tahap Penetapan Kebijakan (Policy Adoption) Pada tahap ini para pengambil kebijakan akan mempertimbangkan berbagai alternatif kebijakan, bagaimana dampak (untung-rugi) suatu alternatif kebijakan, bagaimana cara menerapkan alternatif. Setelah melakukan penelahaan
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
yang sangat cermat, para pengambil kebijakan akan menetapkan salah satu alternatif kebijakan dari sejumlah alternatif yang ditawarkan para perumus kebijakan. d. Tahap Implementasi Kebijakan (Policy Implementation) Pada
tahap ini,
suatu
kebiajakan
yang telah
ditetapkan
harus
diimplemetasikan agar kebijakan itu tidak hanya sebagai catatan elit semata. Penerapan kebijakan ini membutuhkan keseriusan para pelaksana kebijakan (birokrat ) agar kebijakan tersebut dapat berfungsi secara optimal di dalam masyarakat. Di dalam tahapan ini biasanya terjadi perbedaan sikap dari para pelaksana kebijakan, ada yang mendukung dan ada pula yang menentang pelaksanaan kebijakan tersebut. e. Tahap Evaluasi Kebijakan (Policy Evaluation) Pada tahap ini, kebijakan yang telah diimplementasikan akan dievaluasi atau dihakimi (judged), untuk melihat sejauh mana suatu kebijakan yang telah ditetapkan dan diimplementasikan, mampu memberikan solusi pada masyarakat. Suatu kebijakan tersebut bisa
dinyatakan berhasil apabila kebijakan tersebut
mampu menjawab persoalan yang sedang dihadapi masyarakat. Sebaliknya, suatu kebijakan bisa saja dinyatakan gagal apabila penerapan suatu kebijakan justru mendatangkan persoalan yang baru yang lebih kompleks dari sebelumnya.
I.5.1.2 Pendekatan-Pendekatan dalam Pengambilan Kebijakan 1.5.1.2.1 Pendekatan Kelompok Menurut James A. Anderson pendekatan kelompok secara garis besar menyatakan bahwa pembuatan kebijakan pada dasarnya marupakan hasil dari
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
perjuangan antar kelompok-kelompok dalam masyarakat 3. Suatu kelompok merupakan kumpulan individu-individu yang diikat oleh tingkah laku dan kepentingan yang sama, mereka mempertaruhkan dan membela tujuan-tujuan dalam persaingan dengan kelompok lain. Menurut Winarno, pendekatan kelompok mempunyai anggapan dasar bahwa interaksi, dan perjuangan antar kelompok merupakan kenyataan dari kehidupan politik 4. Individu-individu hanya akan memiliki arti penting jika ia merupakan partisan dalam atau menjdi wakil kelompok-kelompok. Hanya melalui kelompoklah individu-individu berusaha mendapatkan pilihan-pilihan politik yang mereka inginkan. Kebijakan publik pada suatu waktu merupakan equilibrium yang dicapai dalam perjuangan kelompok. Equilibrium ini ditentukan oleh pengaruh relatif dari kelompok kepentingan yang diharapkan akan menghasilkan perubahan-perubahan dalam proses pembuatan kebijakan publik. Besar kecilnya pengaruh kelompokkelompok tersebut ditentukan oleh jumlah kekayaan, kekuatan organiosasi, kepemimpinan, akses terhadap para pembuat kebijakan, dan kohesi dalam kelompok.
1.5.1.2.2 Pendekatan Elit Anderson menyatakan bahwa; The essential argument of elite theory was not the people or masses who determine public policy through their demands in actions; rather the public policy was decided by a rulling elite, and carried into
3 4
James A. Anderson, Public Policy-Making, New York: Holt Rine Hart and Winstone, 1984. Budi Winarno, Teori dan Proses Kebijakan Publik, Jakarta: Media Presindo, 2002.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
effect by public official and agencies 5. “Pandangan (argument) utama dari teori elit bahwa kebijakan publik bukanlah ditentukan oleh masyarakat atau massa, tetapi ia lebih ditentukan oleh elit politik yang sedang memerintah yang dilaksanakan oleh pejabat-pejabat dan badan-badan pemerintah yang ada dibawahnya”. Pendekatan ini berasumsi bahwa kebijakan publik dapat dipandang sebagai nilai-nilai dan pilihan-pilihan dari elit yang memerintah. Dye dan Harmon memberikan suatu ringkasan pemikiran tentang pandangan elit 6. •
Masyarakat terbagi dalam suatu kelompok kecil yang mempunyai kekuasaan, dan kelompok besar yang tidak mempunyai kekuasaan. Hanya sekelompok kecil saja orang mengalokasikan nilai-nilai untuk masyarakat, sementara masyarakat (publik) tidak dapat memutuskan (membuat) kebijakan.
•
Kelompok kecil masyarakat yang memerintah itu bukan tipe massa yang diperintah (governed). Para elit biasanya berasal dari lapisan masyarakat yang ekonominya sudah makmur.
•
Perpindahan
dari
kedudukan
non
elit
ke
elit
sangat
pelan
dan
berkesinambungan untuk memelihara stabilitas dan menghindari revolusi. Hanya kalangan yang non elit yang telah menerima konsensus elit yang mendasar yang dapat diterima dalam lingkungan yang memerintah. •
Elit memberikan konsensus pada nilai-nilai dasar sistem sosial pemeliharaan sistem.
•
Kebijakan publik tidak merefleksikan tuntutan-tuntutan massa, tetapi nilainilai elitlah yang berlaku.
5 6
Anderson, op. cit., hal. 12. Thomas R. Dye and Harmon Zeigler, The Iron of Democracy, Cliff: Wad Worth, 1970.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
•
Para elit secara relatif memperoleh pengaruh langsung yang kecil dari massa yang apatis, sebaliknya para elit memberikan pengaruh yang besar terhadap masyarakat (massa). Pendekatan elit lebih memusatkan perhatian pada peranan kepemimpinan
dalam pembentukan krbijakan-kebijakan publik. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa dalam suatu sistem politik, hanya sekelompok kecil orang yang memerintah masyarakat umum; para elit politiklah yang mempengaruhi masyarakat umum, dan massa yang mempengauhi elit. Lebih lanjut Robert Dahl menyatakan bahwa orang harus mengidentifikasi kelompok yang mengendalikan dibandingkan dengan ukuran mayoritas yang bukan merupakan artefak dari peraturan-peraturan
demokratik,
suatu
mayoritas
individu-individu
yang
mempunyai pilihan-pilihan tentang masalah-masalah politik pokok 7.
1.5.1.2.3
Pendekatan Kelembagaan
Anderson mengemukakan bahwa; The study of government institution is one of the oldest concern of political science. Political life generally revolves around governmental institution such as legislature, executive, courts, and political parties; public policy, more over, is initially authoritatively determined and
implemented
by
governmental
institution 8.“Kajian
ilmu
politik
mempfokuskan studi pada lembaga-lembaga pemerintahan. Kegiatan-kegiatan politik secara umum berpusat di sekitar lembaga-lembaga pemerintahan tertentu seperti badan legislatif, eksekutif, dan badan peradilan, dan partai-partai politik
7 8
Robert Dahl, Critique of the Rulling Elite Model, American Science Review, LII, 1958. Anderson, op., cit., hal. 17.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
dan biasanya kebijakan publik secara otoritatif dibuat dan diimplementasikan oleh lembaga-lembaga pemerintahan”. Hubungan antara kebijakan publik dengan lembaga-lembaga pemerintah dilihat sebagai suatu hubungan yang sangat erat 9. Suatu kebijakan tidak akan menjadi kebijakan publik sebelum kebijakan itu ditetapkan dan dilaksanakan oleh lembaga-lembaga pemerintahan.
1.5.1.2.4
Pendekatan Rasionalitas
Menurut Parson, pendekatan rasionalitas dalam proses pembuatan kebijakan publik bertumpu pada dua hal, yaitu rasionalitas ekonomis, dan rasionalitas birokratis 10. Rasionalitas ekonomis berpijak pada pandangan bahwa pada dasarnya manusia itu adalah mahluk ekonomis (homo economicus). Oleh karenanya, kebijakan publik sebagai instrument negara yang akan hidup di lapangan dalam pembuatannya harus memiliki dasar yang kuat atas rasionalitas ekonomis ini. Dengan kata lain, pembuatan kebijakan publik harus didahului oleh pembacaan yang mendalam atas perhitungan dampak-dampak ekonomis bila kebijakan itu diterapkan. Rasionalitas birokratis adalah pendekatan yang bertumpu pada efisiensi dan efektivitas kinerja birokrasi seperti yang dikemukakan oleh Max Weber. Oleh karenanya, pembuatan kebijakan publik haruslah mengacu pada pertimbangan rasionalitas birokratis. Artinya, pembuatan kebijakan publik harus mengacu pada kaidah-kaidah ideal birikrasi.
9
Winarno, op., cit., hal. 42. Wayne Parson, Public Policy, Pengantar Teori dan Praktek Analisis Kebijakan, Jakarta: Kencana, 2005. 10
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
1.5.1.2.5
Pendekatan Pilihan Publik
Pendekatan pilihan publik (public choice) merupakan suatu pendekatan dalam pengambilan kebijakan yang berpijak pada pandangan (pendekatan) kekuasaan. Pendekatan kekuasaan memberikan indikasi adanya kecenderungan birokrasi menjadi pelayan bagi dirinya sendiri, bukan menjadi pelayan masyarakat (baca : publik). Hal ini sebagaimana dikemukakan Gordon Tullock dalam penelitiannya terhadap departemen Negara di Amerika Serikat 11. Tullock menyaksikan betapa pemerintah yang ada di Amerika Serikat bekerja untuk kepentingan sendiri. Hal ini diperparah oleh posisi partai-partai politik yang menjadikan janji-janji politiknya hanya sebagai instrument pemenangan pemilu semata, sehingga saat pemerintahan terbentuk, birokrasinya hanya menjadi pelayan bagi dirinya sendiri, dan partai politiknya. Para politisi kemudian melakukan kontrol, namun hanya pada alokasi dana pembangunan yang selalu hanya menjadi bingkai pertarungan politik. Oleh karena itu, Tullock menganggap pandangan-pandangan seperti privatisasi, kompetisi, dan liberalisasi, barada dalam lembaga pemerintahan.
1.5.1.2.6
Pendekatan Peran Serta Warga Negara
Menurut Winarno, pendekatan peran serta warga negara dalam proses kebijakan publik berpijak pada pemikiran demokrasi klasik Jhon Locke dan Jhon Stuart Mill yang menekankan pengaruh yang baik dari warga Negara dalam perkembangan kebijakan publik 12. Melalui keikutsertaannya dalam masalahmasalah sosial, warga negara akan memperoleh pengetahuan dan pemahaman 11
Gordon Tullock, The Politic of Bureaucracy, Washington DC: Public Affairs Press, 1965, dalam Parson, op., cit., hal. 280. 12 Winarno, op., cit., hal. 21.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
tentang masalah-masalah yang sedang dihadapi masyarakat, mengembangkan rasa tanggung jawab yang penuh, dan menjangkau perspektif mereka di luar batasbatas kehidupan pribadi. Pendekatan peran serta warga negara didasarkan pada harapan yang tinggi tentang kualitas warga Negara dan keinginan mereka untuk terlibat dalam kehidupan publik. Pendekatan ini membutuhkan warga negara yang memiliki struktur-struktur kepribadian yang sesuai dengan nilai-nilai dan fungsi-fungsi demokrasi. Setiap warga negara memiliki kebebasan yang cukup untuk berperan serta dalam masalah-masalah politik (publik), mempunyai sikap kritis yang sehat dan harga diri yang cukup dan yang lebih penting adalah perasaan mampu dari warga negara. Di atas segalanya warga negara harus tertarik dalam politik dan terlibat di dalamnya secara bermakna 13. Bebearapa penelitian terdahulu tentang pendekatan ini mengungkapkan bahwa para pembuat kebijakan lebih responsif terhadap warga negara yang berpartisipasi ketimbang warga negara yang tidak partisipastif.
1.5.1.2.7
Pendekatan Pluralisme
Sebagai suatu pendekatan dalam ilmu poltik, pendekatan pluralisme dikembangkan dengan berpijak pada pendekatan institusionalisme dan pendekatan behavioralisme. Pendekatan pluralisme menekankan peran partai sebagai mata rantai yang menghubungkan rakyat dengan pemerintah, dan melahirkan hubungan yang dinamis di antara keduanya. Keharmonisan hubungan antara rakyat dan pemerintah terwujud dalam keterlibatan politik dalam jumlah atau dalam 13
Louis W. King, An Introduction to Public Policy, Engelwood Cliffs: Prentice Hall, 1986, dalam Winarno, op., cit., hal. 45.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
efektivitas yang pada akhirnya akan membawa perubahan yang cukup besar dalam proses pembuatan kebijakan publik. Pluralisme menekankan segi yang aktif, pengetahuan politik yang cukup dan adaptif melalui sarana peran serta umum pada berbagai tingkatan politik dan dalam keragaman lembaga-lembaga politik. Penggabungan antara pendekatan kelembagaan dan pendekatan tingkah laku telah melahirkan tinjauan tentang proses yang terjadi di dalam struktur. Pendekatan ini kurang memperhatikan bagaimana badan-badan pemerintah, badan pembuat kebijakan, badan pekerja (aparat pemerintah biasa) bekerja, ketimbang bagaimana kekuasaan dibagi di antara berbagai macam kelompok, baik swasta maupun pemerintah. Kelompok-kelompok tersebut bisa saja berupa kelompok kepentingan etnis seperti persatuan suku, agama, dan lain-lain. Dari sudut pandang pluralisme menurut David E. Apter, politik merupakan proses interaksi warga negara untuk mempengaruhi arah maupun substansi kebijakan publik 14. Pendekatan ini melahirkan dua pokok yang menjadi perhatian kaum pluralis itu sendiri. Yang pertama adalah non-partisan yakni warga negara yang tidak berperan aktif, yang diasingkan atau mengasingkan diri dari proses politik, yang kedua, boleh dikatakan sebagai paradoks pluralis, yang berkenaan dengan peran serta yang berlimpah. Tingkat partisipasi yang tinggi dari masyarakat bisa mengakibatkan para pembuat kebijakan tidak bisa berbuat banyak, karena pertentangan kebijakan yang hendak dibuat, dengan isu-isu kebijakan yang ditawarkan kelompok-kelompok masyarakat.
14
David E. Apter, Pengantar Analisa Kebijakan Politik, Jakarta: CV. Rajawali Press, 1988.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Semakin banyak masyarakat yang berperan serta dalam politik dan semakin beragamnya pola dan cara berperan serta, maka semakin tajam pula persaingan antar kelompok. Jika tidak ditemukan cara mengkoordinasi dan mengontrol, atau cara mengarahkan persaingan yang demikian, maka sistem politik akan kelebihan beban, yang nantinya akan menyebabkan ambruknya sistem tersebut. Maka peran serta masyarakatpun menjadi tidak berarti. Dalam analisisnya, kaum pluralis memanfaatkan dan mengembangkan dua pokok pemikiran institusional, yaitu “ kontrol legislatif terhadap eksekutif”, dan kedaulatan rakyat. Artinya, bagaimana kekuasaan negara dikendalikan oleh rakyat, dan bagaimana rakyat diwakili sebagai warga negara. Merujuk pada prinsip ini, kaum pluralis beranggapan bahwa, karena berbagai pelayanan dan kegiatan pemerintah dibiayai oleh warga negara, maka adalah hak warga negara untuk ikut serta dalam mengelola pemerintahan.
I.5.2
Liberalisasi Ilham Nyak menyebut liberalisasi sebagai penggunaan mekanisme harga
yang lebih intensif sehingga dapat mengurangi bias dari anti ekspor dari rezim, perdagangan. Disebutkan pula bahwa liberalisasi menunjukkan kecendrungan makin berkurangnya intervensi pasar sehingga liberalisasi dapat menggambarkan situasi semakin terbukanya pasar domestic untuk produk-produk luar negeri. Percepatan perkembangan liberalisasi pasar terjadi karena dukungan revolusi di bidang teknologi, telekomunikasi dan transportasi yang mengatasi kendala ruang dan waktu. 15 15
Gatoet S. handono, dkk, Liberalisasi perdagangan, sisis teori, dampak empiris dan perspektif ketahanan pangan, diakses dari
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Menurut pendapat sebahagian pakar, perdagangan antar Negara sebaiknya dibiarkan secara bebas dengan pengenaan seminimum mungkun pengenaan hambatan tariff dan hambatan lainnya. Hal ini didasari dengan argumentasi bahwa perdagangan yang lebih bebas akan lebih menguntungkan kedua Negara pelaku dan bagi dunia, serta meningkatkam kesejahteraan yang lebih besar dari pada tidak ada perdagangan. Kemudian, selain meningkatkan distribusi kesejahteraan antar Negara liberalisasi perdagangan, juga akan meningkatkan kuantitas perdagangan dunia serta efisiensi perdagangan. Pada kondisi semakin kuatnya tekanan untuk meliberalisasikan pasar, efektifitas pemberlakuan kendala atau hambatan tersebut dalam perdagangan akan menentukan derajat keterbukaan pasar. Keterbukaan semakin tinggi bila pemerintah menurunkan tariff (bea masuk) produk ysng diperdagangkan dan menghilangkan hambatan-hambatan
non-tarif.
Hal sebaliknya terjadi bila
pemerintah cenderung menaikkan tariff dan meningkatkan hambatan non-tarif. 16
I.5.3
Perjanjian Internasional Perjanjian Internasional adalah sebuah perjanjian yang dibuat di bawah
hukum internasional oleh beberapa pihak yang berupa negara atau organisasi internasional. Sebuah perjanjian multilateral dibuat oleh beberapa pihak yang mengatur hak dan kewajiban masing-masing pihak. Perjanjian bilateral dibuat antara dua negara. Sedangkan, perjanjian multilateral adalah perjanjian yang dibuat oleh lebih dari dua negara.
http://www.google.co.id/search?q=+pengertian+liberalisasi+perdagangan&btnG, diakses tanggal 02 Desember 2011 16 Ibid., Gatoet S
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Adapun tahap-tahap dalam membuat sebuah perjanjian internasional adalah : 1. Penunjukan para Negosiator, Kuasa Penuh dan Surat-surat Kepercayaan. Suatu negara memutuskan untuk memulai negosiasi-negosiasi dengan negara atau negara-negara lain untuk pembuatan perjanjian tertentu, maka langkah pertama yang dilakukan adalah mengangkat wakil-wakil untuk melakukan negosiasi-negasiasi. Dalam prakteknya wakil suatu negara diberi kewenangan dengan instrumen yang sangat resmi yang diberikan oleh kepala negara atau menteri luar negeri yang memperlihatkan kewenangan dalam berbagai hal. Instrumen ini disebut Kuasa Penuh (Full Power) atau Pleins Pou'voir. 2. Negosiasi dan Adopsi Negosiasi-negosiasi mengenai suatu perjanjian yang dilakukan baik melalui pembicaraan dalam hal perjanjian bilateral maupun melalui Konferensi Diplomatik, prosedur ini lebih lazim jika suatu perjanjian multilateral akan diadopsi. Dalam kedua hal tersebut para delegasi tetap memelihara hubungan dengan pemerintahnya, mereka boleh mengadakan konsultasi dengan pemerintahpemerintahnya serta, dipandang perlu, meminta instruksi-instruksi baru. 3. Penandatanganan dan Pertukaran Instrumen-instrumen Apabila rancangan akhir perjanjian telah disepakati, maka instrumen tersebut siap untuk dilakukan penandatanganan. Naskah itu dapat diumumkan untuk
jangka
waktu
tertentu
sebelum
penandatanganan.
Tindakan
penandatanganan biasanya lebih merupakan hal formalitas, juga dalam kasus perjanjian-perjanjian
bilateral.
Mengenai
konvensi-konvensi
multilateral,
penandatanganan umumnya dilakukan pada waktu sidang penutupan resmi (sance de cloutur) pada saat mana setiap delegasi menghampiri sebuah meja dan membubuhkan tanda tangan atas nama kepala negara atau kepala pemerintahan yang mengangkat mereka 4. Ratifikasi Tahap selanjutnya adalah para delegasi yang menandatangani perjanjian itu, menyerahkan kembali naskah kepada pemerintah-pemerintah mereka untuk persetujuan, apabila tindak lanjut konfirmasi demikian secara tegas atau implisit
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
disyaratkan. Secara teori, ratifikasi adalah persetujuan oleh kepala negara atau kepala pemerintahan dari negara penandatangan yang dibubuhkan pada perjanjian itu wakil-wakil yang berkuasa penuh yang telah diangkat sebagaimana mestinya. Namun dalam praktek modern ratifikasi lebih penting daripada hanya konfirmasi saja, yang dianggap merupakan pernyataan resmi oleh suatu negara tentang persetujuannya untuk terikat oleh traktat. 5. Mulai Berlakunya Perjanjian Mulai
berlakunya
perjanjian
bergantung
atas
ketentuan-ketentuan
perjanjian itu atas apa yang disepakati negara-negara peserta perjanjian (Konvensi Wina Pasal 24 ayat 1). Banyak perjanjian-perjanjian yang berlaku sejak tanggal penandatanganannya, tetapi apabila diperlukan ratifikasi, penerimaan atau persetujuan, maka kaidah umum hukum internasional adalah bahwa perjanjian yang bersangkutan mulai berlaku hanya setelah pertukaran atau penyimpanan ratifikasi, penerimaan atau persetujuan oleh semua negara penandatangan. Saat ini perjanjian-perjanjian
multilateral
biasanya
menentukan
mulai
berlakunya
tergantung pada sejumlah ratifikasi dan persetujuan untuk terikat yang diisyaratkan -biasanya mulai dari enam sampai tiga puluh lima.
I.6
Metodelogi Penelitian Penelitian ini adalah suatu usaha untuk menemukan, mengembangkan dan
menguji kebenaran suatu pengetahuan, usaha mana dilakukan dengan melakukan metode-metode ilmiah. 17
I.6.1
Jenis Penelitian Dalam rangka penyusunan dan penelitian skripsi ini, penulis menggunakan
metode deskriptif analitis. Menurut Masri Singiribuan artinya penelitian dilakukan dengan cara mengembangkan konsep dan menghimpun data-data serta fakta-fakta
17
Surisno Hadi. Metodologi Research, Andi Ofset, Yogyakarta, Jilid I Cetakan keXXI, 1989, hal.
4
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
yang ada kemudian melakukan analisa terhadap data-data dan fakta-fakta tersebut. 18 Penelitian deskriptif juga merupakan sebuah proses pemecahan suatu masalah yang diselidiki dengan menggambarkan atau menerangkan keadaan sebuah objek ataupun subjek penelitian seseorang, lembaga maupun masyarakat pada saat sekarang dengan berdasarkan fakta-fakta yang tampak sebagaimana adanya. 19
I.6.2
Teknik Pengumpulan Data Adapun teknik yang digunakan untuk memperoleh data-data dan fakta-
fakta dalam rangka pembahasan masalah dalam skripsi ini adalah dengan mengumpulkan data sekunder, yaitu dokumen-dokumen berupa artikel-artikel dari koran maupun internet mengenai fokus penelitian serta buku-buku atau literatur yang dapat membantu analisis data.
I.6.3
Teknik Analisa Data Teknik analisa yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisa
kualitatif. Dimana lebih menekankan analisisnya pada sebuah proses pengambilan kesimpulan secara deduktif
dan juga induktif serta pada analisis terhadap
dinamika hubungan antar fenomena yang sedang diamati dengan menggunakan logika ilmiah. 20
18
Masri Singaribuan dan Sofian Efendi, Metode Penelitian Survey, Edisi Revisi, Jakarta:LP3ES,1989. hal.4 19 Hadari Nawawi. Metodologi Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta: Gajahmada University Press, 1987. hal. 63. 20 Burham Bungin. Metode Penelitian Sosial, Surabaya: Airlangga University Press, 2001. hal. 47.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Dalam penelitian kualitatif, data yang terlampir perlu dianalisis dan dimaknai dengan cermat untuk kepentingan interpretasi data sekaligus dalam upaya menarik kesimpulan. Analisis data dilakukan secara terus menerus semenjak data awal dikumpulkan sampai penelitian berakhir. Penafsiran data dan menarik kesimpulan dilakukan dengan mengacu kepada rujukan konsep dan teoritis kepustakaan sesuai dengan permasalahan penelitian yang telah dirumuskan sebelumnya. 21 Disamping menggunakan metode penelitian kulalitatif, penulis juga melakukan penelitian melalui kajian pustaka yaitu dengan mengumpulkan data-data yang bersumber dari buku-buku, koran dan lainnya yang dapat membangun tulisan yang bersifat ilmiah.
I.7
Sistematika Penulisan Sistematika penulisan Skripsi ini adalah sebagai berikut :
BAB I
: PENDAHULUAN Bab ini merupakan pendahuluan dan pengantar dari keseluruhan skripsi. Disini, akan dijelaskan dan diuraikan tentang latar belakang penulisan, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kerangka teori penelitian, metodologi penelitian serta sistematika penulisan.
BAB II
:
SEJARAH DAN PERKEMBANGAN ASEAN ECONOMIC
COMMUNITY Bab ini membahas tentang awal kerjasama ASEAN dan lahirnya ASEAN Economic Community serta perkembangan kekinian.
21
Hadari Nawawi, Op. Cit., hal. 30.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
BAB III
: PENYAJIAN DAN ANALISA DATA Dalam bab ini, akan dimuat data-data mengenai ASEAN Economic Community, menganalisis apa sebenarnya Dampak kebijakan liberalisasi tenaga kerja Indonesia dengan menggunakan teori yang telah dibahas di bab sebelumnya.
BAB IV
: PENUTUP Bab ini adalah bab terakhir dalam penulisan skripsi yang berisikan kesimpulan dan saran-saran dari hasil penelitian dan temuantemuan dalam penyusunan skripsi.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA