I. PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Proses integrasi di berbagai belahan dunia telah terjadi selama beberapa
dekade terakhir, terutama dalam bidang ekonomi. Proses integrasi ini penting dilakukan oleh masing-masing kawasan untuk bisa bersaing dengan kawasan lainnya dalam menghadapi arus globalisasi dan liberalisasi perdagangan dunia (Achsani, 2008). Pembentukan integrasi ekonomi di kawasan ini dilandasi karena manfaat yang akan diperoleh dari integrasi lebih besar dibandingkan dengan resiko yang mungkin dihadapi oleh masing-masing negara dalam kawasan tersebut (Sholihah dan Saichu, 2007). Dalam perkembangannya, berbagai konsep terkait integrasi keuangan dan moneter terus mengalami perkembangan. Inisiatif kerjasama mulai dikembangkan untuk dapat meningkatkan efektifitas pencapaian tujuan bersama yaitu menciptakan stabilitas keuangan regional (BI, 2000). Sejak terjadinya krisis ekonomi di Thailand yang menyebar menjadi krisis Asia tahun 1997 sebagai dampak dari globalisasi dan integrasi ekonomi serta keuangan dunia, semakin meningkatkan kesadaran negara-negara anggota ASEAN mengenai pentingnya memulai kerjasama regional dalam memelihara stabilitas kawasan ASEAN. Faktor lainnya yang memengaruhi perlunya integrasi di kawasan ASEAN didasari oleh kesuksesan Uni Eropa yang membentuk suatu single market dengan mata uang tunggal Euro, dimana perdagangan dilakukan secara bebas, tanpa
2
dibebankan adanya pajak. Hal ini mendorong tumbuh pesatnya perekonomian di wilayah Uni Eropa. Gaya regionalisme Asia yang dinamis dan berorientasi ke luar dapat memberikan dampak yang cukup penting dalam era globalisasi. Regionalisme dapat menjadi faktor stabilisasi ketika timbul kejutan (shock) baik di dalam kawasan maupun di luar kawasan. Regionalisme membawa tanggung jawab akan pengelolaan yang benar, komunikasi yang efektif untuk membantu pasar menyesuaikan diri dan beradaptasi saat munculnya krisis atau potensi krisis. Negara-negara Asia pada prinsipnya dihubungkan melalui pasar, perdagangan internasional, arus keuangan, investasi langsung, dan bentuk-bentuk lain dari pertukaran ekonomi dan sosial. Para pemimpin Asia telah memiliki komitmen untuk bekerja sama lebih erat dan telah mengambil langkah konkret di beberapa tempat. Pencapaian
ASEAN
Community
semakin
kuat
dengan
ditandatanganinya,
Comprehensive Economic Partnership in East Asia (CEPEA) terbentuk pada tanggal 15 Januari 2007 di Cebu. Kesepakatan tersebut dibentuk oleh para pemimpin negaranegara ASEAN dan enam tambahan negara yaitu Australia, China, India, Jepang, Korea Selatan, dan New Zealand. Tujuan CEPEA adalah untuk meningkatkan integrasi ekonomi di Negara ASEAN+6 dan memperkecil gap pembangunan di antara negara-negara tersebut guna mencapai pembangunan yang berkesinambungan (Toh, 2009). Diharapkan dengan tambahan enam negara yang perekonomiannya cukup berpengaruh terhadap perekonomian ASEAN dapat membuat ASEAN Economic Community menjadi single market yang lebih besar, mengingat bahwa
3
populasi CEPEA besarnya 49,6% dari populasi dunia dan tujuh kali lebih besar dari populasi EU (CEPEA report, 2008) Pusat gravitasi ekonomi global kini tengah berpindah ke Asia. Produk Domestik Bruto (PDB) Asia sudah hampir sebesar PDB Eropa dan Amerika Utara, dan pengaruhnya ke dunia terus meningkat. Keberhasilan Asia yang luar biasa telah membawa tantangan baru, sementara pertumbuhan ekonomi yang pesat tetap menjadi prioritas. Asia kini sungguh penting bagi ekonomi dunia sehingga Asia juga harus memainkan peranan yang lebih besar dalam kepemimpinana ekonomi global. Hubungan perdagangan internasional yang tumbuh dan hubungan keuangan dapat ditafsirkan menjadi saling ketergantungan ekonomi makro. Implikasinya bahwa pemerintahan nasional suatu negara kian perlu mendasarkan kebijakan mereka pada kebijakan yang dilakukan oleh negara tetangga di dalam kawasan tersebut. Implikasi lainnya adalah bahwa manfaat pengelolaan kebijakan secara bersama-sama untuk memaksimalkan kinerja bersama menjadi lebih besar. Dari berbagai alasan yang menunjukkan bahwa saling ketergantungan yang lebih besar akan menyebabkan variabel-variabel ekonomi makro ASEAN+6 bergerak bersama-sama lebih erat. Asia yang lebih terintegrasi telah menjadi kian sensitif terhadap shock Asia seiring semakin meningkatnya saling ketergantungan makro. Pada saat yang sama, kepekaan kawasan ini terhadap shock global juga tetap tinggi. Krisis ekonomi Asia tahun 1997 dan krisis keuangan global tahun 2008 memberi pelajaran kepada negaranegara yang tergabung dalam ASEAN+6 bahwa indikator-indikator ekonomi makro yang memuaskan belum menjadi jaminan bahwa kondisi perekonomian ASEAN+6 memang kuat. Pada saat ekonomi dirasakan berjalan terlalu lambat dari yang
4
seharusnya dimana ditandai dengan rendahnya pertumbuhan ekonomi dan tingginya tingkat pengangguran, maka kebijakan fiskal dan moneter yang tepat diharapkan dapat mendorong perekonomian tumbuh lebih cepat dan pengangguran dapat ditekan. Sedangkan pada saat perekonomian dianggap terlalu tinggi (overheating) yang ditandai dengan pertumbuhan yang tinggi dan tingkat inflasi yang juga tinggi, kebijakan fiskal dan moneter diharapkan dapat mengarahkan perekonomian agar terhindar dari dampak negatif. Perkembangan ekonomi yang terkadang sulit diprediksi, pengambil kebijakan harus benar-benar mampu mencermati setiap variabel yang bisa menyebabkan gejolak pada pertumbuhan ekonomi. Pengetahuan terhadap respon suatu kebijakan ekonomi terhadap kebijakan lainnya menjadi sangat penting. Pertumbuhan ekonomi merupakan tolak ukur kinerja perekonomian suatu negara. Untuk mencapai tujuan pendapatan nasional yang tinggi diperlukan serangkaian kabijakan khususnya kebijakan makroekonomi oleh pemerintah. Pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dengan tingkat inflasi dan nilai tukar yang relatif stabil merupakan salah satu komponen penting dari setiap kebijakan stabilisasi makroekonomi.
1.2.
Perumusan Masalah Perkembangan perekonomian yang semakin dinamis dan terintegrasi dengan
perekonomian dunia memberikan implikasi penting bagi para pelaku ekonomi terutama dalam pengambilan kebijakan makroekonomi. Kebijakan fiskal dan kebijakan moneter merupakan bagian integral dari kebijakan maroekonomi yang
5
memiliki target yang harus dicapai baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Pengelolaan kebijakan fiskal dan moneter melalui koordinasi yang baik akan memberikan sinyal positif bagi pasar dan menjaga stabiltas makroekonomi (Indrawati, 2007). Krisis keuangan global yang bermula dari bencana subprime mortgage di Amerika Serikat telah menekan pertumbuhan ekonomi global dari 5,2 persen pada tahun 2007 menjadi 3,0 persen pada tahun 2008, dan menyusut sebesar 0,6 persen pada tahun 2009. Krisis perekonomian ini berpengaruh terhadap keberhasilan perekonomian suatu negara terutama bila diukur dari kinerja makro ekonominya. Krisis global ini, sempat mengguncang beberapa negara ASEAN+6 diantaranya negara Singapura dan Jepang. Namun dukungan domestik yang besar dalam permintaan produk, membuat beberapa negara ASEAN+6 tetap bertahan dan sedikit terkena dampak krisis global (Lee dan Hong, 2010). Standar hidup suatu bangsa di negara maju dan negara berkembang sangat tergantung pada kebijakan makro ekonomi yang dipilih dan dijalankan oleh pemerintahnya. Integrasi ekonomi berdampak pada pertumbuhan ekonomi suatu negara. Beberapa studi empiris menyatakan bahwa faktor eksternal memberikan dampak yang lebih signifikan bagi pertumbuhan ekonomi suatu negara. Secara teori, integrasi ekonomi dapat meningkatkan daya saing regional terhadap perekonomian global, meningkatkan pangsa pasar, mendorong adanya efisiensi ekonomi, memperbesar tingkat mobilisasi tenaga kerja dan modal hingga mempermudah perolehan modal serta meningkatkan penyerapan tenaga kerja (Santoso dkk, 2008).
6
Namun tidak sedikit pula yang meragukan keberhasilan integrasi ekonomi. Integrasi ekonomi hanya akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi negara yang telah siap menerima globalisasi. Negara yang belum siap bersaing dengan negara yang berada dalam integrasi hanya akan menjadi negara konsumsi produk negara lain, sehingga konvergensi akan sulit dicapai. Selanjutnya integrasi ekonomi hanya akan menciptakan negara-negara yang semakin divergen (Achsani, 2008). Hasil studi yang telah dillakukan ADB pada tahun 2008 menununjukkan hasil bahwa meskipun ada konvergensi dalam hasil ekonomi makro regional, hanya ada sedikit bukti akan konvergensi kebijakan ekonomi makro. Kebijakan moneter telah mengikuti tren luas yang serupa, tetapi divergen dalam rincian. Setelah konvergen hingga tahun 2004, kebijakan kawasan ini sejak itu (hingga awal 2008) menjadi beragam. Pengetatan moneter yang terus-menerus di RRC dan Taipei (Cina), hingga pengetatan yang makin tajam yang diikuti dengan pelonggaran moneter di Indonesia dan Malaysia, serta pengetatan bertahap di Thailand dan Republik Korea. Strategi yang dilkukan juga berbeda: Indonesia, Republik Korea, Thailand, dan Fhilipina yang mengikuti kebijakan yang lebih bervariasi dan pada beberapa kasus khusus lebih mentargetkan kestabilan nilai tukar. Perbedaan kebijakan itu turut menyebabkan inflasi dan suku bunga menjadi sangat beragam di kawasan ini. Kebijakan fiskal juga beragam, meskipun tak seberagam kebijakan moneter. Tingkat hutang publik di sebagian besar negara Asia telah turun sejak tahun 2000, tetapi konsolidasi fiskal kurang berhasil di India dan terutama di Jepang, yang hutang publiknya mencapai titik kritis. Tahun 2008, posisis fiskal masih berkisar dari defisit
7
sekitar 6 persen dari PDB untuk India dan Jepang hingga surplus 10 persen di Singapura (ADB, 2008). Selain itu, perlu disadari adanya perbedaan karakteristik antar negara anggota ASEAN+6. ASEAN+6 sebagai bentuk dari integrasi ekonomi masih memiliki keragaman antar anggotanya. ASEAN+6 merupakan gabungan negara ASEAN dan beberapa negara Asia Timur yang terdiri dari negara maju dan negara berkembang. Keragaman antar negara maju dan berkembang cukup besar, sehingga akan berisiko apabila menyamaratakan kondisi negara-negara yang berbeda tersebut. Perbedaan antara negara maju dan negara berkembang dapat dilihat dari struktur politik, struktur pendapatan, standar hidup, produktivitas, pertumbuhan penduduk, dan lain sebagainya. Dengan adanya potensi pertumbuhan ekonomi ASEAN+6 adanya ancaman divergensi pertumbuhan ekonomi, perbedaan karakteristik antar negara anggota ASEAN+6 tentunya hal ini mencerminkan akan kebijakan makroekonomi yang berbeda pula. Perbedaan ini, juga mencerminkan variasi dalam tingkat pembangunan di kawasan ini dan tujuan kebijakan nasional. Perdebatan mengenai efektivitas kebijakan moneter dan kebijakan fiskal dalam menstimulasi pertumbuhan ekonomi masih berlangsung. Perspektif ekonomi arus utama, terutama dari sudut pandang klasik, stimulus fiskal dan kebijakan moneter bukan metode efektif dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi riil. Di sisi lain, terutama pandangan Keynes bahwa stimulus fiskal dan pelonggaran moneter dapat mencegah penurunan output riil. Peningkatan permintaan agregat, yang berasal
8
dari stimulus fiskal dan pelonggran moneter di tengah-tengah kekakuan harga dan kurangnya lapangan kerja, dapat berhasil meningkatkan output riil. Berdasarkan kajian beberapa literatur terbaru, disamping perdebatan mengenai efektivitas kebijakan fiskal dan kebijakan moneter, kebijakan yang perlu dikaji selanjutnya yaitu kebijakan perdagangan dan pengaruhnya terhadap pertumbuhan ekonomi. Peran perdagangan luar negeri (kegiatan ekspor-impor) pada perekonomian di negara-negara ASEAN+6 semakin mendapat perhatian secara intensif, terutama oleh para peneliti dan pengambil kebijakan. Adanya sebaran pola interaksi yang berbeda-beda antarnegara menjadi salah satu alasan perlunya penelitian dilakukan di berbagai negara. Lebih lanjut, pemberlakuan liberalisasi perdagangan yang disertai oleh penguatan kerjasama di tingkat regional diharapkan dapat memberi manfaat yang lebih besar bagi kesejahteraan penduduk setiap negara yang terlibat didalamnya, diantaranya melalui pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan peneyerapan tenaga kerja yang seluas-luanya. Identifikasi dan pemahaman yang baik mengenai dampak kebijakan fiskal, kebijakan moneter dan keterbukaan perdagangan terhadap pertumbuhan ekonomi mutlak diperlukan agar kebijakan-kebijakan tersebut dapat berjalan efektif dan tepat sasaran. Berdasarkan latar belakang dan uraian diatas maka permasalahan pokok yang akan dianalisis dalam penelitian ini adalah : 1. Bagaimanakah
dampak
kebijakan fiskal,
kebijakan moneter, dan
keterbukaan perdagangan dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi bagi seluruh
negara
di
kawasan
ASEAN+6,
kelompok
negara-negara
berkembang serta kelompok negara-negara maju di kawasan ASEAN+6?
9
2. Bagaimanakah pengaruh relatif kebijakan fiskal, kebijakan moneter, dan keterbukaan perdagangan dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi bagi kelompok negara-negara berkembang dan kelompok negara-negara maju di kawasan ASEAN+6?
1.3.
Tujuan Penelitian Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka penelitian ini memiliki tujuan
sebagai berikut: 1. Mengidentifikasi dampak dari kebijakan fiskal, kebijakan moneter, dan keterbukaan perdagangan terhadap pertumbuhan ekonomi di seluruh negara kawasan ASEAN+6, kelompok negara-negara berkembang dan kelompok negara-negara maju di kawasan ASEAN+6. 2. Mengidentifikasi pengaruh relatif dari kebijakan fiskal, kebijakan moneter dan keterbukaan perdagangan terhadap pertumbuhan ekonomi negaranegara berkembang dan maju di kawasan ASEAN+6.
1.4.
Manfaat Penulisan Adapun manfaat dari penelitian ini yaitu: 1. Memperluas wawasan mengenai bukti empiris pengaruh relatif dari kebijakan fiskal, kebiakan moneter dan keterbukaan perdagangan terhadap pertumbuhan ekonomi di kawasan ASEAN+6.
10
2. Sebagai bahan referensi dan acuan para pembuat kebijakan di negeranegara
ASEAN+6
agar
dapat
menyesuaikan
kebijakan-kebijakan
makroekonominya sehingga tercapai pertumbuhan ekonomi yang selaras. 3. Sebagai media implikasi penerapan teori-teori yang telah dipelajari selama perkuliahan serta menambah khazanah ilmu pengetahuan bagi kalangan akademisi sebagai bahan referensi untuk melakukan penelitian-penelitian selanjutnya.
1.5.
Ruang Lingkup Penelitian Fokus dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi dampak dari
kebijakan fiskal, kebijakan moneter dan keterbukaan perdagangan terhadap pertumbuhan ekonomi di negara-negara ASEAN+6. Kawasan ASEAN yang diamati dalam penelitian ini hanya meliputi lima negara yaitu, Indonesia, Singapura, Malaysia, Thailand, dan Filipina. Adanya keterbatasan data menyebabkan penelitian ini tidak memasukkan seluruh Negara anggota ASEAN. Serta enam negara yang tergabung dalam Comprehensive Economic Partnership in East Asia (CEPEA) yaitu Cina, Jepang, Korea Selaatan, India, Australia, dan New Zealand. Periode data yang digunakan dalam analisis ini adalh tahun 2000 sampai 2010.