1
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar belakang Menurut sejarah, masyarakat di dunia yang merokok untuk pertama kalinya
adalah suku bangsa Indian di Amerika, untuk keperluan ritual seperti memuja dewa atau roh. Pada abad 16, ketika bangsa Eropa menemukan benua Amerika, sebagian dari para penjelajah Eropa itu ikut-ikutan mencoba menghisap rokok dan kemudian membawa tembakau ke Eropa. Kemudian kebiasaan merokok mulai muncul di kalangan bangsawan Eropa. Tapi berbeda dengan bangsa Indian yang merokok untuk keperluan ritual, di Eropa orang merokok hanya untuk kesenangan semata-mata. (Jaya, 2004:14) Pada zaman modern saat ini, rokok bukanlah benda asing lagi. Bagi mereka yang hidup di kota maupun di desa umumnya mereka sudah mengenal benda yang bernama rokok ini. Bahkan oleh sebagian orang, rokok sudah menjadi kebutuhan hidup yang tidak bisa ditinggalkan begitu saja dalam kehidupan sehari-hari. Tanpa alasan yang jelas seseorang akan merokok, baik setelah makan, setelah minum kopi atau teh, bahkan sambil bekerja pun seringkali diselingi dengan merokok. Sudah banyak kampanye anti-rokok yang keras digencarkan, bahkan sudah ribuan artikel dan bukti-bukti ilmiah yang membuktikan keburukan dan bahayanya merokok. Namun, kenyataannya sebagian besar bangsa Indonesia telah menjadi konsumen aktif rokok dan sulit dipisahkan dari yang namanya merokok. Berdasarkan Data Kementrian Kesehatan 2010, pada 2001 tercatat perokok aktif
2
berjumlah 31,5 persen dari penduduk, sedang pada 2010 angkanya sudah melonjak menjadi 34,7 persen. Artinya, sepertiga orang Indonesia adalah perokok aktif. (http://www.beritasatu.com/nasional/9712-persentase-jumlah-perokok-usiamuda-meningkat-tajam.html diakses 04 Sepetember 2013). Bagi mereka yang merokok, rokok sudah disetarakan dengan makanan yang mereka konsumsi sehari-hari, bahkan ada yang menempatkan pada urutan pertama dalam kebutuhan hidupnya. Gaya hidup yang tidak sehat ini pernah disinggung oleh seorang penyair, Taufiq Ismail, lewat goresan penanya telah membuahkan puisi yang diberi judul “Indonesia Keranjang Sampah Nikotin”. (Maba, 2008:1). Ini berarti, bahwa racun “nikotin” yang terkandung dalam rokok telah menyelimuti kehidupan bangsa Indonesia, mulai dari anak-anak, remaja, dewasa, dan bahkan bayi yang belum lahir pun sudah terkontaminasi racun yang berasal dari kepulan asap rokok yang dihisap ibu yang mengandungnya baik sang ibu sebagai perokok aktif maupun pasif. Setiap tanggal 31 Mei ditetapkan sebagai World No Tobacco Day. Berbagai kegiatan dan kampanye tentang bahaya rokok dilaksanakan di seluruh dunia dalam rangka memperingati hari tersebut (http://www.organisasi.org.diakses 02 Juni 2012). Peringatan Hari tanpa rokok sedunia, diharapkan menjadi kesempatan bagi kita semua untuk berpikir sejenak dan menyadari kembali akan bahaya dan dampak rokok, baik untuk diri kita sendiri, maupun untuk anggota keluarga dan masyarakat banyak. Jika kita lihat kondisi Negara kita, jumlah orang yang merokok semakin bertambah. Salah satunya disebabkan karena semakin rendahnya usia anak muda yang mulai merokok.
3
Menurut data hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007 dan 2010, terjadi kecenderungan peningkatan umur mulai merokok pada usia yang lebih muda. Menurut Riskedas 2007, umur pertama kali merokok pada usia 5-9 tahun sebesar 1,2%, pada usia 10-14 tahun sebesar 10,3%, pada usia 15-19 tahun sebesar 33,1%, pada usia 20-24 tahun sebesar 12,1%, pada usia 25-29 tahun sebesar 3,4% dan pada usia ≥30 tahun sebesar 4%. Sedangkan menurut Riskedas 2010, umur pertama kali merokok pada usia 5-9 tahun sebesar 1,7%, pada usia 1014 tahun sebesar 17,5%, pada usia 15-19 tahun sebesar 43,3%, pada usia 20-24 tahun sebesar 14,6%, pada usia 25-29 tahun sebesar 4,3% dan pada usia ≥30 tahun sebesar 3,9%. (http://www.infodokterku.com diakses 04 September 2013). Selain itu, bertambahnya jumlah perokok di Indonesia disebabkan juga oleh gencarnya iklan-iklan rokok yang mengindentikkan perokok dengan kejantanan, kesegaran, dan keperkasaan. Karena selama ini ada anggapan yang berkembang di masyarakat bagi seorang pria, bahwa semakin muda usia mereka menghisap rokok, maka semakin tumbuh rasa bangga mereka. Namun sebenarnya mereka tahu dan sadar, dibalik semua kenikmatan dan pamor rokok ada maut yang mengintip mereka. Bukan cuma untuk si perokok, melainkan juga untuk mereka yang ada di sekitar si perokok. Melihat semakin meningkatnya jumlah perokok, membuat salah satu lembaga gerakan Islam di Indonesia yaitu Muhammadiyah, terdorong untuk membantu mengatasi masalah rokok tersebut, dengan mengeluarkan hukum fatwa haram merokok. Gerakan Islam ini beralasan bahwa, merokok lebih banyak mudharatnya (merugikan) dari pada manfaatnya. Rokok juga dianggap sebagai
4
barang yang sangat membahayakan dan merusak, baik untuk diri sendiri maupun orang lain. Merokok juga merupakan sesuatu perbuatan yang mufazir, karena mempergunakan uang hanya untuk membakar kertas yang tidak bermanfaat. Di dalam Muhammadiyah sendiri, kegiatan merokok sudah menjadi barang yang tidak asing lagi bagi kehidupan mereka. Ini dapat kita temui di wilayah Kampung Kauman, Yogyakarta, yang merupakan kampung dimana tempat lahir serta berkembangnya Muhammadiyah. Merokok bagi masyarakat di sana seolah telah menjadi budaya. Rokok telah mereka kenal semenjak para sesepuh mereka terdahulu, bahkan ada fakta yang menarik dibalik rokok tersebut. Hampir sebagian besar para kyai/ulama dalam Muhammadiyah, dulunya adalah pecandu berat rokok. Rokok menjadi menu utama di setiap rumah-rumah kyai tersebut. Dengan ikut serta berpartisipasi dalam mengatasi masalah rokok ini, Muhammadiyah mengharapkan dapat mengupayakan pemeliharaan peningkatan derajat kesehatan masyarakat dan menciptakan lingkungan yang kondusif bagi terwujudnya suatu kondisi hidup yang sehat di masyarakat. Seperti dalam laporan Direktur Jenderal WHO, Dr. Margareth Chan, kalau tidak ada pengendalian yang tepat dilakukan, diperkirakan 8 juta orang aka mengalami kematian setiap tahun akibat rokok menjelang tahun 2030. Selama abad ke-20, 100 juta orang meninggal karena rokok dan selama abad ke-21 diestiminasikan bahwa sekitar 1 miliar nyawa melayang akibat rokok (http://nationalgeographic.co.id. Diakses 02 Juni 2012). Demikianlah rokok, dibalik pamor dan ketenarannya ternyata rokok menyimpan segudang masalah. Salah satunya, dalam upaya untuk mengatasi serta
5
menghentikan kegiatan merokok. Hal tersebut bukanlah usaha yang mudah, terlebih lagi bagi perokok di Indonesia. Karena, meskipun kegiatan merokok telah dilarang keberadaannya, tetapi orang tetap setia terhadap rokok dan sulit untuk meninggalkan rokok.
B. Kajian Pustaka Racikan tembakau dengan olahan gaya modern telah menjadikan rokok sebagai biang racun perusak kesehatan tubuh. Suryo Sukendro dalam bukunya “Filosofi Rokok: Sehat, Tanpa Berhenti Merokok”. Suryo mecoba membahas sejarah dan seluk-beluk tembakau sejak penemuan hingga kini yang telah menjadi bahan baku utama rokok modern. Dia menjelaskan lebih dalam tentang rokok mulai dari manfaat, bahaya dan seputar rokok yang lainnya. Suryo juga mencoba membuka fakta unik yang tidak terduga dan mengejutkan mengenai rokok. Suryo menegaskan (2007: 88); “Bahwasanya rokok telah telah menjadi semacam perantara (dan kemudian dianggap telah menjadi bagian dari kebiasaan dalam masyarakat) dalam sebuah komunikasi formal maupun informal antara dua orang tua atau lebih. Rokok telah biasa dicatut sebagai pencair suasana dalam kelas obrolan ringan hingga negosiasi penting. Dalam kalimat lain, “sebatang rokok adalah negosiator terbaik kedua di dunia”. Berbeda dengan Muhammad Jaya dalam bukunya “Pembunuh Berbahaya Itu Bernama Rokok”, dia mencoba mengupas dengan pendekatan medis (kesehatan) dan agama. Muhammad menegaskan (2009: 6); “Merokok budaya masyarakat dunia, dan hal ini sudah menjadi pemandangan umum jika kita berpapasan dan melihat
6
orang merokok. Tidak terlalu mengejutkan jika MUI mengeluarkan Fatwa pada tanggal 25 Januari 2009 yang lalu seputar pengharaman rokok khususnya bagi anak-anak, remaja, dan ibu hamil, serta merokok di depan umum. Terlalu banyak mudharat (merugikan) yang ditimbulkan oleh rokok, bukan saja dari segi kesehatan tetapi juga dari segi ekonomi dan pendidikan”. Pada tahun 2005, Nurhidayati. S.F melakukan penelitian tentang para perokok dalam judul skripsinya “Hilangnya Kenikmatan Merokok : Studi Kasus Tiga Mantan Perokok Berat yang Sukses Berhenti Merokok.” Dia menjelaskan dampak kesehatan yang diberikan oleh rokok. Selain itu Nurhidayati juga mengkaji tentang masalah-masalah mantan perokok dan memahami kehidupan perokok, khusunya bagaimana mereka sukses berhenti merokok. Terkait dengan fatwa haram rokok, Yunus (2009) mengkaji tentang kitab rokok nikmat dan mudharat yang menghalalkan atau mengharamkan. Dia melihat adanya fakta-fakta unik, ternyata sebagian dari para ulama/kyai yang ada di berbagai pesantren di Jawa, dulunya adalah para pecandu berat rokok. Di setiap rumah kyai, yang menjadi “menu utama” sang kyai pastilah kopi dan rokok. Tanpa kopi dan rokok, mengaji dan belajar terasa hambar dan kurang sreg, serta inspirasi berkarya terasa tumpul. Selanjutnya, dia mengingatkan bagi pengkaji hukum Islam, khususnya para “pejabat resmi” lembaga fatwa agar fatwa yang lahir nanti membawa dampak produktif bagi masyarakat. Bukannya menimbulkan gejolak, kontroversi, dan bahkan sikap apatis terhadap lembaga fatwa dan para ulamanya. Fatwa haram terhadap rokok juga menimbulkan dampak terhadap rakyat Indonesia. Zulkifli (2010) mengkaji tetang kontroversi rokok mulai dari sumbangan rokok, fatwa haram dan politisasi rokok. Dia menjelaskan industri
7
rokok dianggap sebagai industri yang baik hati untuk mensponsori banyak kegiatan. Banyak sumbangan yang telah diberikan oleh industri rokok, selain dari sumbangan kesehatan yang sering menjadi pertimbangan untuk berhenti merokok. Rokok selalu menjadi alternatif pembiayaan. Saat berniaat membuat kegiatan, maka sponsor yang pertama kali disebut adalah perusahaan rokok. Berniat mencari beasiswa, perusahaan rokok juga tidak mau ketinggalan menawarkan bantuannya. Bahkan orang dengan mudah curiga denga Bantuan Langsung Biaya pendidikan seagai kompensasi BBM, tetapi tidak menaruh curiga sedikit pun dengan beasiswa yang berasal dari industri rokok. Wajah inilah yang sering kelihatan di masyarakat, sehingga seakan-akan masyarakat digiring untuk mau mengucapkan “thank you for smoking”. Seperti halnya dalam penelitian skripsi Afriyana yang berjudul “ Studi Analitis Terhadap Keputusan Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa Se Indonesia III Tahun 2009 Tentang Hukum Haram Merokok Dalam Persepektif Hukum Islam.” Sesuai dengan judul tersebut, Afriyana mencoba mengetahui metode MUI dalam penetapan fatwa. Dalam penelitiannya dia membahas faktor-faktor yang melatarbelakangi lahirnya keputusan itjima’ ulama komisi fatwa tentang haram merokok.
C. Permasalahan Berdasarkan latar belakang di atas, maka pokok permasalahan yang menjadi fokus penelitian dalam skripsi ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
8
1. Bagaimanakah usaha Muhammadiyah dalam mengatur perilaku merokok masyarakat di Kauman, Yogyakarta. 2. Bagaimanakah sikap perokok di Kauman terhadap fatwa haram merokok yang dikeluarkan oleh Muhammadiyah.
D. Kerangka Pemikiran Agama merupakan sistem keyakinan yang dipunyai secara individual yang melibatkan emosi-emosi dan pemikiran-pemikiran yang sifatnya pribadi, dan yang diwujudkan dalam tindakan-tindakan keagamaan (upacara, ibadat, dan amal ibadah) yang sifatnya individual ataupun kelompok dan sosial yang melibatkan sebagian atau seluruh masyarakat. Geertz (1966), berpendapat bahwa secara struktural-fungsional agama melayani kebutuhan manusia untuk mencari kebenaran dan mengatasi serta menetralkan berbagai hal buruk dalam kehidupan. Semua agama menyajikan formula-formula tersebut, yang pada hakikatnya bersifat mendasar dan umum berkenaan dengan eksistensi dan perjalanan hidup manusia, yang masuk akal dan rasional sesuai dengan keyakinan keagamaannya, serta mendalam penuh dengan muatan-muatan emosi dan perasaan yang menusiawi. Karena fungsi agama yang dapat menyajikan penjelasan-penjelasan yang masuk akal dan dan cara-cara mendasar dan umum untuk menetralkan serta mengatasi bayangan-bayangan buruk tersebut, maka dengan hal tersebut agama tetap lestari dalam kehidupan manusia, sepanjang zaman selama manusia itu ada.
9
Suparlan (1988) memaparkan kelestarian agama dalam struktur kehidupan manusia juga disebabkan, antara lain, oleh hakikat kehidupan dan kegiatankegiatan kelompok keagamaan. Setiap kelompok keagamaan, kelompok keagamaan apa pun dan di mana pun, serta kapan pun, selalu menaruh perhatian pada peremajaan atau regenerasi bagi kelangsungan kehidupan kelompok agama tersebut serta langsung ataupun tidak langsung tertarik untuk melakukan kegiatankegiatan untuk kelestarian sistem keyakinan keagamaan yang dianut kelompok tersebut. Salah satu bagian dari kelompok keagaman yang melakukan pelestarian terhadap sistem keyakinan keagamaannya adalah Muhammadiyah. Gerakan ini berusaha untuk melakukan perbaikan serta perubahan terhadap ajaran syariat Islam yang mereka anggap menyimpang dari ajaran Islam yang sebenarnya. Contoh perbaikan serta perubahan yang dilakukan Muhammadiyah tersebut adalah menetapkan sebuah peraturan fatwa haram merokok. Merokok merupakan salah satu dari fenomena sosial yang terjadi di masyarakat dan tidak mudah untuk dihindarkan. Adanya kegiatan merokok tersebut mengakibatkan hadirnya sebuah peraturan hukum fatwa haram merokok. Fatwa haram ini merupakan bentuk dari kontrol sosial yang dilakukan oleh Muhammadiyah terhadap masyarakat yang merokok. Polak (1979: 10) berpendapat bahwa kontrol sosial atau pengawasan berfungsi sebagai penekanan pelanggaran terhadap nilai, budaya, norma dan peraturan yang berlaku, sehingga kondisi disiplin masyarakat pada umumnya dan kelompok pada khusunya cenderung dipertahankan. Kontrol sosial juga untuk mendisiplinkan para anggota
10
kelompok dengan cara membatasi adanya penyimpangan dari norma-norma setempat. Ketika orang memilih untuk konsumsi sebuah barang, terkadang yang dipilih dan dikonsumsi bukanlah materi melainkan ide, citra, dan image dari barang tersebut. Seperti hal dalam proses konsumsi rokok, kegiatan konsumsi yang terjadi bukan hanya sebagai konsumsi dari barang, tetapi lebih kepada konsumsi citra. Konsumsi juga tidak hanya merupakan bagian dari fenomena ekonomi, melainkan juga fenomena kultural, karena dalam proses konsumsi terlibat pula prinsip-prinsip dan kategori budaya. Sebab, secara umum makna konsumsi dalam pandangan antropologi adalah sebagai pembangun identitas dan penentu hubungan sosial. Baudriallard dalam Featherstone (1991:201) memberikan pemahaman tentang konsumsi. Pertama, hasrat manusia untuk mengkonsumsi suatu barang adalah keinginan terhadap perbedaan (makna sosial), bukanlah keinginan hanya pada barang tertentu tersebut. Kedua, konsumsi dikontrol oleh tekanan produksi yang memacu dan mengatur sistem hasrat juga oleh tatanan pemaknaan yang mencantumkan prestise dan nilai sosial yang komparatif dari suatu komoditas. Ketiga, konsumsi tidak meliputi konsumsi kegunaan dari barang tersebut, tetapi juga
meliputi
makna-makna
yang
mengiringi
dibelakangnya.
Ide
ini
memungkinkan untuk menganggap sebuah barang sebagai tanda atau sebuah simbol bisa menafsirkan hasrat manusia bukan sebagai hasrat akan sesuatu barang tersebut, melainkan terhadap makna sosialnya. Konsumsi bukan hanya konsumsi
11
sebuah produk, tetapi juga konsumsi sebuah simbol, konsumsi citra yang ditimbulkan oleh produk tersebut. Merokok saat ini bukan lagi sekedar aktifitas menghisap tembakau yang dibakar, namun merokok memiliki nilai budaya yang mempunyai makna, nilai dan komunikasi. Seperti yang diungkapkan Dauglas dan Isher Wood dalam Lury (1998:16) bahwa mereka menyatakan kegunaan benda-benda selalu dibangun oleh konteks budaya, bahkan benda-benda sederhana dalam kehidupan sehari mempunyai makna budaya. Senada dengan hal tersebut (Geertz: 1973) menambahkan bahwa merokok merupakan salah satu bagian dari kebudayaan. Kebudayaan adalah sesuatu yang semiotik, hal-hal yang berhubungan dengan simbol yang tersedia di depan umum dan dikenal oleh warga. Simbol adalah sesuatu yang perlu ditangkap dan ditafsirkan makna dan pada giliran berikutnya dibagikan oleh dan kepada warga masyarakat kemudian diwariskan kepada anakanak dan generasinya selanjutnya. Geertz juga mengatakan bahwa kebudayaan adalah sistem simbol. Semua dimensi, fenomena, dan aspek dalam kehidupan manusia adalah sebuah simbol. Simbol adalah sesuatu yang ada dibelakang sesuatu yang lain, bukan di dalamnya dan simbol tidak bisa kita lihat. Simbol dan pemaknaan ini bisa terjadi secara historis dan karena ada konteks keruangannya. Untuk sebuah kepentingan yang sifatnya simbolik. Kegiatan merokok juga telah menjadi bagian dari gaya hidup di masyarakat. Rokok sudah menjadi kebutuhan yang harus terpenuhi setiap harinya. Dengan merokok mereka ingin menunjukkan individualitas serta selera pilihan konsumsi
12
mereka terhadap benda tersebut. Selain itu, para perokok merasakan bahwa setelah merokok diri mereka merasa lebih dewasa dan lebih jantan dari pada lakilaki yang tidak merokok. Seperti yang diungkapkan oleh Chaney (2009:40) gaya hidup adalah pola-pola tindakan yang membedakan antara satu orang dengan orang lain. Dalam interaksi sehari-hari kita dapat menerapkan suatu gagasan mengenai gaya hidup tanpa perlu menjelaskan apa yang kita maksud dan kita benar-benar tertantang serta mungkin sulit menemukan deskripsi umum mengenai hal-hal yang merujuk pada gaya hidup. Oleh karena itu, gaya hidup membantu memahami (yakni menjelaskan tapi bukan berarti membenarkan) apa yang orang lakukan, mengapa mereka melakukan dan apakah yang mereka lakukan bermakna bagi dirinya maupun orang lain. Menurut Blumer dalam bukunya Symbolic Interactionism (1969:79) karakter khas yang dimiliki oleh interaksi dalam kehidupan manusia adalah fakta bahwa manusia saling menafsirkan atau memberi definisi tindakan satu sama lainnya. Tanggapan mereka tidak muncul secara langsung akibat tindakan tersebut, tetapi berdasarkan pada makna yang memberikan pada tindakan serupa. Seperti yang terjadi pada sebagian perokok di Indonesia yang telah menganggap bahwa merokok merupakan hal biasa terutama bagi kaum anak muda. Merokok merupakan
cara
untuk
mereka
lebih
cepat
bergaul
berinteraksi
serta
berkomunikasi bersama teman-teman serta lingkungannya. Selanjutnya Sitepoe (2000:20) berpendapat merokok adalah membakar tembakau kemudian diisap asapnya baik menggunakan rokok maupun menggunakan pipa. Asap rokok yang diisap atau asap rokok yang dihirup melalui
13
dua komponen. Pertama, komponen yang lekas menguap berbentuk gas. Kedua, komponen yang bersama gas terkondensasi menjadi komponen partikulat. Dengan demikian, asap rokok yang diisap dapat berupa gas sejumlah 85 persen dan sisanya berupa partikel. Asap rokok yang diisap itu mengandung 4000 jenis bahan kimia dengan berbagai jenis bahan kimia dengan berbagai jenis daya kerja terhadap tubuh. Beberapa bahan kimia yang terdapat dalam rokok mampu memberikan efek yang mengganggu kesehatan, antara lain karbonmonoksida, nikotin, tar, dan berbagai logam berat lainnya. Dalam gagasan yang telah dipaparkan di atas, penulis melihat bahwa dibalik kegiatan konsumsi rokok, rokok banyak mengandung makna dan arti bagi perokoknya. Rokok berperan penting dalam kehidupan para perokok, rokok sudah menjadi bagian dari kehidupan dan sangat berarti bagi mereka. Hadirnya fatwa haram merokok sebagai kontrol sosial terhadap rokok, merupakan bentuk upaya yang dilakukan dalam mengatasi serta mengontrol peredaran rokok di masyarakat.
E. Metode Penelitian E.1. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Kampung Kauman, Kelurahan Ngupasan, Kecamatan Gondomanan, Yogyakarta. Langnes dalam Budiwanti (2000:15) menjelaskan, pengamatan terlibat juga tempat tinggalnya dekat dalam satu wilayah yang dipelajari memungkinkan peneliti untuk membangun hubungan yang lebih mendalam. Alasan khusus pemilihan lokasi ini didasarkan pada, kedekatan masyarakat wilayah tersebut dengan organisasi Muhammadiyah yang
14
sangat penting, karena kampung Kauman merupakan tempat lahir dan berkembangnya organisasi tersebut. Dengan kata lain, hubungan antara masyarakat kampung tersebut dengan organisasi Muhammadiyah sangatlah erat. E.2. Pemilihan Informan Spadley (1997:61-70) mengidentikfikasi lima persyaratan untuk memilih informan yang “baik”. Pertama enkulturasi penuh. Enkulturasi merupakan proses alami dalam mempelajari suatu budaya tertentu. Informan yang potensial bervariasi tingkat enkulturasi mereka dan mereka mengetahui budayanya dengan baik. Kedua, keterlibatan langsung. Artinya, ketika informan terlibat dalam suasana budaya, mereka menggunakan pengetahuan mereka untuk membimbing tindakanya. Mereka membuat interpretasi mengenai berbagai kejadian baru dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Ketiga, suasana budaya yang dikenal oleh informan, karena terenkulturasi secara penuh. Keempat, waktu yang cukup untuk wawancara. Setidaknya pendekatan ini membutuhkan enam sampai tujuh kali wawancara. Setiap wawancara berlangsung selama satu jam. Kelima, non-analitis.
Artinya,
informan
menggunakan
bahasa
mereka
untuk
mendeskripsikan berbagai kejadian dan tindakan tanpa analisis dari kejadian dan tindakan itu. Setelah dilakukan pemilihan informan diketahui bahwa informan dalam penelitian ini telah memenuhi kelima syarat di atas sebagai informan yang baik. Beberapa informan antara lain adalah para elit lokal desa, sesepuh desa, Ketua RW maupun Ketua RT. Selain itu juga saya mencari informasi kepada warga lokal maupun pendatang yang telah lama berdomisili di desa tersebut.
15
Kemudian saya juga mencari informasi dari warga yang melakukan kegiatan merokok maupun tidak merokok di sana. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan variasi data dari setiap perokok yang ada disana, selain itu juga untuk mendapatkan data yang lebih mendalam dari setiap informan tersebut. E.3. Metode Pengumpulan Data Dalam penelitian ini digunakan metode observasi partisivasi. Metode ini dilakukan dengan mengamati kondisi lingkungan secara langsung dan mengamati aktivitas-aktivitas yang dilakukan masyarakat. Peneliti harus membaur melibatkan diri dalam aktivitas yang dilakukan masyarakat kampung Kauman. Selain itu, peneliti juga menggunakan metode kualitatif dalam pengumpulan data. Sesuai dengan sifat penelitiannya yang kualitatif, maka dalam pengumpulan data peneliti mengajukan beberapa pertanyaan kepada informan untuk mendapatkan data melalui wawancara. Pengumpulan data ini dimulai dengan wawancara biasa tanpa menggunakan pedoman wawancara. Setelah dilakukan beberapa kali wawancara, kemudian
menggunakan
pedoman
wawancara
yang
lebih
terstruktur.
Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara mendalam (indepth interview) disela-sela kesibukan informan. Wawancara biasanya dilakukan di tempat tinggal informan atau di tempat kerjanya. Data pengalaman individu (individual’s life history) juga dilakukan ketika wawancara berlangsung atau melalui kerabat dekatnya untuk memperoleh suatu pandangan dari dalam melalui reaksi, tanggapan, dan interpretasi (Koentjaraningrat, 1997:158).
16
F. Analisi Data Analisi kualitatif (qualitative analysis) adalah usaha untuk mencapai pengertian tentang suatu gejala sosial dengan menggunakan data yang telah dikumpulkan melalui pengamatan, wawancara, dan kasus (Koentjaraningrat, 1990:6) data yang terkumpul melalui observasi dan wawancara merupakan data primer yang masih “mentah” dari lapangan kemudian dipilah-pilah disesuaikan dengan tema (rekontekstualisasi). Data diurutkan berdasarkan konteks, sehingga menjadi rasional. Selanjutnya, peneliti melakukan interprestasi data tersebut untuk menjadi sebuah tulisan.