BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Masalah Salah satu unsur yang menentukan keberhasilan pembangunan suatu negara
adalah daya saing ekonomi yang merupakan kemampuan suatu negara untuk memproduksi dan mengekspor produk manufaktur secara kompetitif. Semakin baik daya saing ekonomi suatu negara maka semakin baik pula berbagai indikator ekonomi lainnya seperti kinerja produksi dan kinerja perdagangan yang meningkat. Daya saing Indonesia tidak mengalami perkembangan positif sejak tahun 2010 yang ditunjukkan dengan Laporan World Economic Forum (WEF) 2010-2012. Berdasarkan laporan indeks daya saing global (GCI) dalam laporan tersebut, Indonesia menempati posisi ke-44 pada tahun 2010-2011 dan kemudian turun ke posisi 50 pada tahun 2011-2012 dan kemudian stagnan pada posisi ke-50 pada tahun 2012-2013. Jika dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya daya saing Indonesia tertinggal jauh dengan Singapura (posisi ke-1), Malaysia (posisi ke-25), Brunei Darussalam (posisi ke-28) dan Thailand (posisi ke-38) pada tahun 2012-2013. Penurunan daya saing Indonesia juga dipengaruhi daya saing industri khususnya industri manufaktur. Industri manufaktur memiliki kontribusi signifikan terhadap PDB yaitu sekitar 24% sejak tahun 2010. Kajian Ditjen Basis Industri Manufaktur (BIM) Kemenperin pada sektor industri logam, kimia dasar, kimia hilir, tekstil dan aneka menyatakan hanya 1.250 harmonized system (HS) produk yang mempunyai daya saing tinggi dan sangat tinggi dari total 3.998 HS produk. Ini berarti hanya 31,26% produk industri manufaktur yang berdaya saing tinggi dan mampu berkompetisi di ASEAN. Secara garis besar kelemahan industri logam karena belum 1
adanya investasi pengembangan industri yang diantaranya menghasilkan pellet besi, pig iron, green pipe, slab stainless steel, billet stainless steel, atau batang stainless steel. Sementara kelemahan industri kimia dasar disebabkan masih kurangnya pengembangan industri petrokimia yang mengolah sumber daya alam berbasis minyak, gas bumi, dan batu bara serta di sektor industri kimia hilir disebabkan masih kurangnya pengembangan industri hilir berbasis karet. Guna menghadapi ASEAN Economic Community 2015, industri dalam negeri diharapkan dapat mempersiapkan diri secara matang sehingga dapat bersaing dengan produk industri negara ASEAN lainnya. Selain faktor regulasi pemerintah yang mempengaruhi pertumbuhan industri, kinerja internal perusahaan dalam industri tersebut juga berperan penting. Sesuai data di Bursa Efek Indonesia (BEI), pada tahun 2009 Bursa Efek Indonesia melakukan penghapusan pencatatan efek (delisting) terhadap 8 emiten yang tercatat sebagai berikut: PT Jasa Angkasa Semesta Tbk (JASS); PT Courts Indonesia Tbk (MACO); PT Singleterra Tbk (SING); PT Bukaka Teknik Utama Tbk (BUKK); PT Sara Lee Body Care Indonesia Tbk (PROD); PT Sekar Bumi Tbk (SKBM); PT Tunas Alfin Tbk (TALFA dan TALFB) dan PT Infoasia Teknologi Global Tbk (IATG). Keputusan delisting dikeluarkan oleh BEI karena berdasarkan Peraturan Bursa Nomor I-I tentang Penghapusan Pencatatan (Delisting) dan Pencatatan Kembali (Relisting) Saham di Bursa Ketentuan III.3.I.I yang menyebutkan bahwa pihak Bursa Efek Indonesia akan menghapus pencatatan saham Perusahaan Tercatat apabila Perusahaan Tercatat mengalami sekurang-kurangnya satu kondisi, atau peristiwa, yang secara signifikan berpengaruh negatif terhadap kelangsungan usaha perusahaan tercatat sebagai perusahaan terbuka, dan perusahaan tercatat tidak dapat menunjukan indikasi pemulihan yang memadai. Pada tahun 2010 BEI tidak melakukan delisting, 2
namun pada tahun 2011 terdapat 5 perusahaan yang kembali dilakukan delisting yaitu PT New Century Development Tbk (PTRA), PT Aqua Golden Mississippi Tbk (AQUA), PT Dynaplast Tbk (DYNA), PT Anta Express Tour and Travel Sevice Tbk (ANTA), PT Alfa Retailindo Tbk (ALFA). Dari daftar tersebut di atas 3 perusahaan delisting dan 2 perusahaan delisting masing-masing tahun 2009 dan 2011 adalah perusahaan manufaktur. Perusahaan yang tidak mampu bersaing untuk mempertahankan atau bahkan meningkatkan kinerjanya perlahan lahan akan tergusur dari lingkungan industrinya dan akan mengalami kebangkrutan. Segala sumber daya harus dioptimalkan penggunaannya dan harus bisa diukur. Pencapaian kinerja perusahaan salah satunya tercermin dalam laporan keuangan yang dihasilkan. Mengingat besarnya pengaruh yang ditimbulkan jika terjadi kesulitan likuiditas atau bahkan kebangkrutan maka diperlukan analisis laporan keuangan. Laporan keuangan yang diterbitkan oleh perusahaan merupakan salah satu sumber informasi mengenai posisi keuangan perusahaan, kinerja serta perubahan posisi keuangan perusahaan, yang sangat berguna untuk mendukung pengambilan keputusan yang tepat. Agar dapat dianalisis maka data keuangan harus dikonversi menjadi informasi yang berguna dalam pengambilan keputusan ekonomis. George Foster (1986) menyatakan empat hal yang mendorong analisis laporan keuangan dengan model rasio keuangan yaitu : 1. Untuk mengendalikan pengaruh perbedaan besaran antar perusahaan atau antar waktu. 2. Untuk membuat data menjadi lebih memenuhi asumsi alat statistik yang digunakan. 3. Untuk menginvestigasi teori yang terkait dengan rasio keuangan. 3
4. Untuk mengkaji hubungan empirik antara rasio keuangan dan estimasi atau prediksi variabel tertentu (seperti kebangkrutan atau financial distress). Beberapa peneliti terdahulu melakukan pengujian apakah perusahaan mengalami financial distress dengan berbagai cara, seperti:
Lau (1987) menggunakan definisi financial distres bagi perusahaan yang menghilangkan atau mengurangi pembayaran dividen, atau mengalami technical default dan default pembayaran bunga.
Hill, Perry dan Andes (1996) melakukan penelitian atas kejadian historis disamping juga analisis keuangan yang menyebabkan financial distress. Ukuran kinerja keuangan seperti likuiditas, profitabilitas, leverage, ukuran perusahaan, dan opini audit beserta dua indikator ekonomi yaitu tingkat pengangguran dan suku bunga merupakan variabel yang menjelaskan financial distress. Sampel penelitian yang digunakan adalah perusahaan manufaktur dan perusahaan trading serta jasa di Amerika selama tahun 1977-1987 yang mengalami earning negatif selama 3 tahun di waktu waktu tersebut.
Asquith, Gertner dan Scharfstein (1994) Asquith menyatakan bahwa perusahaan dapat mengalami financial distress karena 3 hal yaitu tingginya tingkat bunga,
buruknya kinerja operasional perusahaan
dibandingkan
perusahaan sejenis dalam industri dan penurunan kinerja industri itu sendiri. Asquith meneliti cara perusahaan yang mengalami financial distress untuk menghindari kebangkrutan melalui restrukturisasi utang, penjualan aset, merger dan pengurangan pengeluaran investasi. Struktur utang perusahaan berpengaruh terhadap cara perusahaan menangani financial distress yang dihadapinya.
4
Whitaker (1999) mengukur financial distress dengan cara adanya arus kas yang lebih kecil dari utang jangka panjang saat ini. Selain itu financial distress juga menggarisbawahi pertanyaan bagaimana perusahaan membayar utang jangka pendek. Platt dan Platt (2002) menggunakan model logit untuk menentukan rasio
keuangan yang paling dominan untuk memprediksi adanya financial distress. Penelitian yang dilakukan terhadap 24 perusahaan yang mengalami financial distress dan 62 perusahaan yang tidak mengalami financial distress adalah sebagai berikut: 1. Variabel EBITDA/sales, current assets/current liabilities dan cash flow growth rate memiliki hubungan negatif terhadap kemungkinan perusahaan akan mengalami financial distress. Semakin kecil rasio ini maka semakin besar kemungkinan perusahaan mengalami financial distress. 2. Variabel net fixed assets/total assets, long-term debt/equity dan notes payable/total assets memiliki hubungan positif terhadap kemungkinan perusahaan akan mengalami financial distress. Apabila rasio ini besar maka semakin besar pula kemungkinan perusahaan mengalami financial distress. Dengan melakukan analisis laporan keuangan perusahaan, maka para stakeholder dapat mengetahui keadaan serta perkembangan finansial perusahaan serta hasil-hasil yang telah dicapai baik di masa lalu maupun prediksi di masa mendatang. Bagi Tim Manajemen Perusahaan, analisis ini penting artinya bagi perusahaan dalam menjalankan usahanya, sehingga kemampuan untuk memperoleh laba dapat ditingkatkan serta menghindari adanya potensi kebangkrutan. Perusahaan sebenarnya dapat melihat dan mengukur resiko kebangkrutan melalui laporan keuangan, dengan melakukan analisis rasio terhadap laporan keuangan mereka sendiri.
5
Tabel 1.1: Penelitian Penting Atas Model Prediksi Kebangkrutan Tipe model
Univariate
Multiple Discriminant Analysis
Peneliti Fitzpatrick Merwin Walter Beaver Altman Edmister Deakin Blum Moyer Altman, Halderman & Naarayanan Altman Booth Rose & Giroux Casey & Bertezak Lawrence & Bear Poston, Harmon & Gramlich Grice & Ingram
Tahun 1932 1942 1957 1966 1968 1972 1972 1974 1977 1977 1983 1983 1984 1985 1986 1994 2001
Sumber: Jurnal Business Bankruptcy Prediction Models: A Significant Study of The Altman’s Z-Score Model, Sanobar Anjum
Beberapa rasio diformulasi untuk memprediksi potensi kebangkrutan, yang salah satunya dibuat oleh Dr. Edward I. Altman pada tahun 1968. Hasil dari penelitian Altman menunjukkan bahwa rasio keuangan dapat bermanfaat untuk memprediksi kegagalan atau kebangkrutan suatu perusahaan dengan tingkat ketepatan prediksi kebangkrutan sebesar 94% benar dari total sampel sebanyak 66 perusahaan manufaktur dalam masa 1 tahun sebelum kebangkrutan. Ketepatan prediksi menurun menjadi 72% dalam masa 2 tahun sebelum kebangkrutan dan 48% dalam masa 3 tahun sebelum kebangkrutan. Tabel di bawah ini menunjukkan penelitian Altman yang menggunakan model original di tahun 1968 masih relevan digunakan 30 tahun kemudian. Dengan menggunakan cutoff score kebangkrutan di bawah 2,67, penelitian menunjukkan
6
bahwa prediksi akurasi selama 1997-1999 adalah 94% (113 dari 120). Dengan cutoff score lebih konservatif yaitu 1,81, tingkat akurasinya masih mengesankan yaitu 84%. Tabel 2.2: Klasifikasi dan Akurasi Prediksi Model Kebangkrutan Z-score (1968) Tahun sebelum kebangkrutan 1 2 3 4 5
Sampel original (25) 94% (88%) 72 48 29 36
Sampel holdout (33) 96% (72%) 80 -
1969-1975 Sampel prediktif (86) 82% (75%) 68 -
1976-1995 Sampel prediktif (110) 85% (78%) 75 -
1997-1999 Sampel prediktif (120) 94% (84%) 74 -
Sumber: Buku ”Corporate Financial Distress and Bankruptcy” Third Edition, Edward I. Altman Berikut ini adalah persamaan Z-Score Altman (1968): Z = 1,2X1 + 1,4X2 + 3,3X3 + 0,6X4+ 0,999X5 Keterangan: Z = Bankruptcy Index X1 = Working Capital/Total Asset (WCTA) X2 = Retained Earnings / Total Asset (RETA) X3 = Earning Before Interest and Taxes/Total Asset (EBITTA) X4 = Market Value of Equity/Book Value of Total Liabilities(MVETL) X5 = Sales/Total Assets (STA) Model Altman ini telah menjadi rujukan bagi setiap investor dan manajer investasi di Amerika Serikat dalam proses kajian keputusan investasi mereka untuk menghindari kemungkinan kesalahan investasi pada perusahaan yang bangkrut. Setelah menemukan model kebangkrutan yang pertama Altman kemudian merevisi model kebangkrutan menjadi sebuah model yang dapat digunakan untuk memprediksi kemungkinan kebangkrutan bagi perusahaan manufaktur non publik, yang dikenal sebagai model Altman revisi. Selanjutnya Altman memodifikasi modelnya agar dapat 7
diterapkan pada semua perusahaan seperti perusahaan non manufaktur dan perusahaan non publik lainnya. Model ini disebut sebagai model Altman modifikasi. Dalam Z-score modifikasi ini Altman mengeliminasi variable X5 (sales/total asset) karena rasio ini sangat bervariatif pada industri dengan ukuran asset yang berbedabeda. Berdasarkan uraian di atas maka penulis menentukan judul penelitian ini adalah “Aplikasi Prediksi Financial Distress Menggunakan Metode Altman: Studi Pada Perusahaan Manufaktur Yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia Periode 2010 – 2013”. 1.2
Rumusan Masalah Tujuan berdirinya Perusahaan salah satunya adalah untuk terus maju dan
menghasilkan laba yang pada akhirnya akan memberikan manfaat bagi para stakeholder. Perusahaan yang demikian akan memberikan kontribusi positif bagi industri dan sebaliknya jika rugi, mengalami financial distress atau bahkan bangkrut maka akan berpengaruh kepada stakeholdernya. Industri manufaktur yang cukup berperan dalam pembentukan PDB Indonesia menarik untuk diamati apakah mengalami financial distress atau tidak. Salah satu metode prediksi financial distress adalah Metode Altman yang dapat memberikan memberikan peringatan dini kepada Perusahaan satu atau dua tahun sebelum terjadinya kondisi financial distress. 1.3
Pertanyaan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah seperti yang telah dijelaskan di atas maka
pertanyaan penelitian ini adalah: 1. Apakah rasio Net Working Capital to Total Assets berpengaruh terhadap financial distress?
8
2. Apakah rasio Retained Earning to Total Assets berpengaruh terhadap financial distress? 3. Apakah rasio Earning Before Interest and Tax to Total Assets berpengaruh terhadap financial distress?
4. Apakah rasio Market Value of Equity to Total Liability berpengaruh terhadap financial distress?
5. Apakah rasio Sales to Total Assets berpengaruh terhadap financial distress? 1.4
Tujuan Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk menguji pengaruh rasio Altman
dan ketepatan penggunaan Metode Altman dalam memprediksi financial distress perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia periode 2010-2013. 1.5
Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini yaitu untuk: 1. Memberikan referensi bagi beberapa pihak dalam kaitan dengan financial distress perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia. 2. Memberikan kontribusi kepada perusahaan dalam melakukan tindakan korektif untuk kelangsungan hidup dan kemajuan perusahaan di masa mendatang. 3. Memberikan masukan bagi kreditor dan investor sebagai analisis dasar keputusan investasi dan pinjaman untuk antisipasi kemungkinan terburuk sebelum pengambilan keputusan.
1.6
Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian ini adalah sebagai berikut:
9
1. Penelitian dilakukan terhadap perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia dengan metode purposive sampling. 2. Perusahaan harus memiliki laporan keuangan lengkap dari tahun 2010 sampai dengan 2013 yang telah dipublikasikan di Bursa Efek Indonesia. 3. Data-data laporan keuangan yang digunakan dalam penelitian ini mencakup: neraca, laporan rugi/laba, laporan arus kas, dan laporan perubahan ekuitas. 4. Peneliti melakukan pengukuran prediksi financial distress perusahaan publik manufaktur ini dengan menggunakan variable Rasio Altman tahun 1968.
1.7
Metode Penelitian Populasi penelitian adalah seluruh perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek
Indonesia per 31 Desember 2013 dan memiliki laporan keuangan lengkap yang dipublikasikan pada tahun 2010 - 2013. Sedangkan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah perusahaan manufaktur yang mengalami financial distress dan perusahaan yang tidak mengalami financial distress. Data laporan keuangan tahun 2012 - 2013 digunakan sebagai pedoman penentuan apakah perusahaan mengalami financial distress atau tidak, sementara data laporan keuangan tahun 2010 - 2011 merupakan data yang digunakan untuk perhitungan rasio rasio Altman. Teknik sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah purposive sampling yaitu teknik sampling yang digunakan peneliti jika mempunyai pertimbangan- pertimbangan tertentu dalam pengambilan sampel untuk tujuan tertentu. Kriteria pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah : a. Perusahaan yang mengalami financial distress adalah perusahaan yang mengalami EBT negatif dua tahun berturut-turut pada tahun 2012 sampai dengan 2013 atau delisting dari bursa pada tahun tahun tersebut.
10
b. Perusahaan yang tidak mengalami financial distress adalah perusahaan yang mengalami EBT positif dua tahun berturut-turut pada tahun 2012 sampai dengan 2013. c. Untuk memprediksi perusahaan yang mengalami financial distress akan digunakan data laporan keuangan satu tahun dan dua tahun sebelumnya. Data tahun 2010 (periode 2 tahun sebelum financial distress) dan dan data tahun 2011 (periode 1 tahun sebelum financial distress) digunakan untuk memprediksi kondisi financial distress tahun 2012- 2013. Penentuan kondisi financial distress didasarkan atas argumentasi bahwa apabila perusahaan mengalami rugi sebelum pajak (EBT negatif) selama 2 tahun berturutturut atau delisting dari bursa menandakan kinerja keuangan yang tidak baik, dan harus dijadikan perhatian bagi perusahaan sejak dini agar terhindar dari kebangkrutan. Manajemen perusahaan harus segera melakukan langkah perbaikan, sehingga penelitian ini berusaha untuk memberikan suatu model yang dapat digunakan perusahaan untuk memprediksi kondisi financial distress sebelum sampai pada kondisi kebangkrutan. Peneliti menggunakan proksi financial distress bagi perusahaan yang memiliki EBT negatif dua tahun berturut-turut karena: 1. EBT meniadakan pengaruh pajak yang sebenarnya merupakan ketaatan perusahaan terhadap regulasi pemerintah, bukan karena hasil operasional perusahaan. 2. Peneliti mengadaptasi dari penelitian Elloumi dan Gueyie (2001) yang mengkategorikan perusahaan dengan financial distress apabila selama lima tahun berturut-turut memiliki EPS (earning per share) negatif. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuantitatif, yaitu data yang diukur dalam skala numerik (angka). Sedangkan jenis data yang dikumpulkan oleh 11
peneliti dalam penelitian ini adalah data sekunder yang berupa laporan keuangan dari perusahaan-perusahaan yang dijadikan sampel dalam peneltian yang diperoleh dari situs www.idx.co.id dan atau Indonesian Capital Market Directory (ICMD). Metode pengumpulan data adalah secara dokumenter, yaitu mengumpulkan dokumen yang berupa laporan keuangan perusahaan-perusahaan yang diteliti. 1.8 Sistematika Penulisan Untuk memberikan gambaran secara jelas dan menyeluruh mengenai tesis ini maka pengelompokkan tesis akan dibagi dalam lima bab. Sistematika pembahasan tesis ini adalah sebagai berikut: BAB I PENDAHULUAN Bab ini membahas mengenai latar belakang masalah, rumusan masalah, pertanyaan penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, ruang lingkup penelitian, metode penelitian serta sistematika penulisan. BAB II TINJAUAN PUSTAKA Bab ini berisi landasan teori dan penelitian terdahulu sebagai acuan dasar teori dan analisis serta beberapa penelitian sebelumnya yang akan mendukung penelitian ini dan kerangka pemikiran yang mendasarinya. BAB III METODE PENELITIAN Bab ini membahas mengenai gambaran populasi dan sampel yang digunakan dalam studi empiris, pengidentifikasian variabel-variabel penelitian dan penjelasan mengenai cara pengukuran variabel-variabel tersebut. Selain itu juga dikemukakan teknik pemilihan data dan metode analisis data.
12
BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN Bab ini menyajikan hasil pengolahan data atas penerapan Altman Z score pada perusahaan manufaktur yang dijadikan sampel beserta analisis atas hasil pengolahan data tersebut. BAB V SIMPULAN DAN SARAN Bab ini menjelaskan tentang simpulan penelitian yang berisi jawaban atas rumusan masalah dan pembuktian hipotesis, keterbatasan penelitian yang dilakukan serta saran yang merupakan implikasi dari hasil penelitian.
13