BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Diare hingga saat ini masih merupakan salah satu penyebab utama kesakitan dan kematian hampir di seluruh daerah geografis di dunia dan semua kelompok usia bisa diserang oleh diare, tetapi penyakit berat dengan kematian yang tinggi terutama terjadi pada bayi dan anak balita. Di negara berkembang, anak-anak menderita diare lebih dari 12 kali per tahun dan hal ini menjadi penyebab kematian sebesar 15-34% dari semua penyebab kematian (Zubir dkk., 2006). Kebanyakan kematian pada diare akibat dehidrasi, yang mana kehilangan cairan ini diatasi dengan menggunakan cairan rehidrasi oral pada 90% kasus (Fuchs, 2001). Di negara berkembang, anak balita mengalami rata-rata 3-4 kali kejadian diare per tahun tetapi di beberapa tempat terjadi lebih dari 9 kali kejadian diare per tahun atau hampir 15-20% waktu hidup anak dihabiskan untuk diare (Soebagyo, 2008). Hasil survei Program Pemberantasan (P2) Diare di Indonesia menyebutkan bahwa angka kesakitan diare di Indonesia pada tahun 2000 sebesar 301 per 1.000 penduduk dengan episode diare balita adalah 1,0 – 1,5 kali per tahun. Tahun 2003 angka kesakitan penyakit ini menigkat menjadi 374 per 1.000 penduduk dan merupakan penyakit dengan frekuensi kejadian luar biasa (KLB) kedua tertinggi setelah demam berdarah dengue (DBD). Hasil survei Departemen Kesehatan menunjukkan bahwa penyakit diare menjadi penyebab kematian nomor
1
2
dua pada balita, nomor tiga pada bayi, dan nomor lima pada semua umur (Anonim, 2005). Diare memerlukan penanganan yang komprehensif dan rasional. Secara umum penanganan diare ditujukan untuk mencegah atau menanggulangi dehidrasi serta gangguan kesetimbangan asam basa, kemungkinan terjadinya toleransi, mengobati kausa diare yang spesifik, mencegah untuk menanggulangi gangguan gizi serta mengobati penyakit penyerta (Subijanto dkk., 2005). Meskipun sebagian besar kasus diare pada anak akan sembuh dengan sendirinya (self limiting disease), tetapi diare yang berlangsung terus menerus dengan jumlah tinja yang banyak
sekali
menyebabkan
keadaan
dehidrasi
dan
secara
bermakna
meningkatkan angka kesakitan dan kematian anak (Hegar dkk., 2004). Angka kesakitan diare sekitar 200 – 400 kejadian diantara 1000 penduduk setiap tahunnya. Dengan demikian, di Indonesia dapat ditemukan sekitar 60 juta kejadian setiap tahunnya. Sebagian besar (70 – 80%) dari penderita ini adalah kelompok anak dibawah 5 tahun (balita). Sebagian dari penderita diare (1 – 2%) akan jatuh ke dalam dehidrasi, dan jika tidak segera ditolong 50 – 60% diantaranya dapat meninggal (Suraatmaja, 2010). Untuk menangani diare, dewasa ini direkomendasikan penggunaan oralit/garam rehidrasi oral formula baru yang berisi glukosa dan garam dengan konsentrasi rendah untuk mencegah dehidrasi dan penggunaan terapi infus intravena serta pemberian suplemen zink (MOST Project, 2005). Zink elemental adalah suatu zat mikronutrien yang penting bagi anak-anak yang sedang tumbuh dan berkembang.
3
Pada keadaan diare, terjadi kehilangan zink dalam jumlah besar dan menggantikan kehilangan zink sangat penting untuk membantu kesembuhan dan menjaga kesehatan anak di bulan-bulan yang akan datang. Pemberian suplemen zink selama episode diare dapat mengurangi durasi dan keparahan diare dan memperkecil kemungkinan kekambuhan diare selama 2 – 3 bulan berikutnya (WHO, 2005). Mengingat tingginya angka kejadian diare yang semakin meningkat dari tahun ke tahun, maka perlu dilakukan penelitian mengenai penanganan penyakit diare untuk mengevaluasi tingkat kesesuaian resep yang diterima pasien terhadap formularium rumah sakit di Rumah Sakit Muhammadiyah Taman Puring (RSMTP) Jakarta, melihat gambaran penggunaan obat pasien diare sesuai dengan standar pelayanan medis, serta mengevaluasi penggunaan suplemen zink dalam pengobatan diare pada anak-anak. B. Rumusan Masalah Dari latar belakang di atas, maka dapat diperoleh rumusan masalah sebagai berikut : 1. Bagaimanakah pola penggunaan obat diare pada pasien anak di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Muhammadiyah Taman Puring Jakarta? 2. Bagaimana kegunaan zink sebagai obat antidiare dalam penanganan diare pada pasien anak di instalasi rawat inap Rumah Sakit Muhammadiyah Taman Puring Jakarta periode tahun 2012?
4
3. Bagaimana
kesesuaian
antara
obat
yang
diresepkan
dengan
formularium rumah sakit di Rumah Sakit Muhammadiyah Taman Puring Jakarta? C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk : 1. Mengetahui pola penggunaan obat diare pada pasien anak di instalasi rawat inap Rumah Sakit Muhammadiyah Taman Puring Jakarta. 2. Mengetahui gambaran penggunaan zink dan kegunaannya dalam pengobatan diare anak di instalasi rawat inap Rumah Sakit Muhammadiyah Taman Puring Jakarta. 3. Mengidentifikasi kesesuaian antara obat yang dituliskan dalam resep dengan formularium rumah sakit. D. Manfaat Penelitian Pengetahuan yang diperoleh dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi semua pihak, antara lain : 1. Sebagai salah satu informasi atau data tentang pola penggunaan obat pada
penyakit
diare
di
instalasi
rawat
inap
Rumah
Sakit
Muhammadiyah Taman Puring Jakarta. 2. Sebagai bahan masukan dalam upaya meningkatkan mutu pelayanan medis khususnya pada penyakit diare di instalasi rawat inap Rumah Sakit Muhammadiyah Taman Puring Jakarta.
5
E. Tinjauan Pustaka 1. Penyakit Diare a. Definisi Menurut World Health Organization (WHO) tahun 2005 dan Departemen Kesehatan RI (DepKes) tahun 2011 diare didefinisikan sebagai kejadian buang air besar dengan konsistensi lebih cair dari biasanya, dengan frekuensi 3 kali atau lebih dalam jangka waktu 24 jam. Definisi ini lebih menekankan pada konsistensi tinja daripada frekuensinya. Jika frekuensi buang air besar (BAB) meningkat namun konsistensi tinja padat, maka tidak disebut sebagai diare. Bayi yang hanya menerima Air Susu Ibu (ASI eksklusif) sering mempunyai tinja yang agak cair, atau seperti pasta; hal ini juga tidak disebut diare. Ibu biasanya mengetahui kapan anak mereka terkena diare dan dapat menjadi sumber diagnosis kerja yang penting. Diare menyerang anak pada tahun-tahun pertama kehidupannya. Insidensi diare tertinggi pada anak di bawah umur 2 tahun, dan akan menurun seiring bertambahnya usia. b. Epidemiologi Secara epidemiologi, setiap tahun diperkirakan lebih dari satu milyar kasus diare di dunia dengan 3,3 juta kasus kematian sebagai akibatnya (Irwanto dkk., 2002). Survei morbiditas yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan dari tahun 2000 s/d 2010 terlihat kecenderungan insidens naik. Pada tahun 2000 Incidence Rate (IR) penyakit Diare 301/ 1000 penduduk, tahun 2003 naik menjadi 374/1000 penduduk, tahun
6
2006 naik menjadi 423/1000 penduduk dan tahun 2010 menjadi 411/1000 penduduk. Kejadian Luar Biasa (KLB) diare juga masih sering terjadi, dengan Case Fatality Rate (CFR) yang masih tinggi. Pada tahun 2008 terjadi KLB di 69 Kecamatan dengan jumlah kasus 8133 orang, kematian 239 orang (CFR 2,94%). Tahun 2009 terjadi KLB di 24 Kecamatan dengan jumlah kasus 5.756 orang, dengan kematian 100 orang (CFR 1,74%), sedangkan tahun 2010 terjadi KLB diare di 33 kecamatan dengan jumlah penderita 4204 dengan kematian 73 orang (CFR 1,74 %). Diare pada anak merupakan penyakit yang mahal yang berhubungan secara langsung atau tidak terdapat pembiayaan dalam masyarakat (Anonim, 2011). c. Klasifikasi Klasifikasi diare menurut Depkes meliputi diare tanpa tanda dehidrasi, dehidrasi ringan-sedang, dan dehidrasi berat. Dehidrasi terjadi bila cairan yang keluar lebih banyak daripada cairan yang masuk. Diare tanpa tanda dehidrasi terjadi jika kehilangan <5% BB, diare dehidrasi ringan-sedang jika kehilangan cairan 5-10% BB, dan diare dehidrasi berat jika kehilangan cairan >10% BB (Anonim, 2009). Sedangkan berdasarkan penyebabnya, diare dapat dibedakan menjadi 4 jenis yakni sebagai berikut:
1) Diare akibat virus
7
Contoh diare akibat virus adalah influenza perut dan traveller’s diarrhea yang disebabkan oleh rotavirus dan adenovirus. Rotavirus merupakan penyebab diare akut yang paling sering diidentifikasi pada anak dalam komunitas iklim tropis dan sedang (Smith, 2003). Virus yang masuk melalui makanan
dan
minuman
sampai
ke
enterosit,
akan
menyebabkan infeksi dan kerusakan vili usus halus. Enterosit yang rusak diganti dengan yang baru yang fungsinya belum matang, vili mengalami atropi dan tidak dapat mengabsorpsi cairan dan makanan dengan baik, akan meningkatkan tekanan koloid osmotik usus dan meningkatkan motilitasnya sehingga timbul diare. Diare yang terjadi bertahan terus sampai beberapa hari sesudah virus lenyap dengan sendirinya, biasanya dalam 3-6 hari (Irwanto dkk., 2002). 2) Diare bakterial (invasif) Diare ini agak sering terjadi tetapi mulai berkurang berhubung semakin meningkatnya derajat hygiene masyarakat. Bakteri-bakteri yang terdapat pada makanan yang tidak hygienis menjadi invasif dan menembus sel mukosa usus halus, kemudian bakteri-bakteri tersebut memperbanyak diri dan membentuk toksin-toksin yang dapat diresorpsi kedalam darah dan menimbulkan gejala hebat seperti demam tinggi,
8
nyeri kepala, kejang-kejang, disamping mencret berdarah dan berlendir (Tjay dan Rahardja, 2002). 3) Diare parasiter Diare yang disebabkan oleh parasit yang terutama terjadi di daerah subtropis biasanya bercirikan mencret yang intermiten dan bertahan lebih lama dari 1 minggu. Gejala lainnya dapat berupa nyeri perut, demam, anoreksia, nausea, muntah-muntah dan rasa letih umum (malaise) (Tjay dan Rahardja, 2002). 4) Diare akibat enterotoksin Diare jenis ini jarang terjadi, tetapi lebih dari 50% wisatawan di negara-negara berkembang dihinggapi diare ini. Penyebabnya
adalah
kuman-kuman
yang
membentuk
enterotoksin seperti E. coli dan Vibrio cholerae. Toksin melekat pada sel-sel mukosa dan merusaknya. Diare jenis ini bersifat self limiting disease, artinya akan sembuh dengan sendirinya tanpa pengobatan dalam waktu kurang lebih 5 hari, setelah sel-sel yang rusak diganti dengan mukosa baru (Tjay dan Rahardja, 2002). d. Etiologi Secara fisiologi, menurut Tjay dan Rahardja (2002), dalam lambung makanan dicerna menjadi bubur (chymus), kemudian diteruskan ke usus halus untuk diuraikan lebih lanjut oleh enzim-enzim. Setelah
9
terjadi resorpsi, sisa chymus tersebut yang terdiri dari 90% air dan sisasisa makanan yang sukar dicernakan, diteruskan ke usus besar (colon). Bakteri-bakteri yang biasanya selalu berada di usus besar ini akan mencernakan lagi sisa-sisa (serat-serat) tersebut, sehingga sebagian besar dari padanya dapat diserap pula selama perjalanan melalui usus besar. Airnya juga diresorpsi kembali, sehingga lambat laun isi usus menjadi lebih padat. Adanya peningkatan peristaltik usus hingga perlintasan chymus sangat dipercepat dan masih mengandung banyak air pada saat meninggalkan tubuh sebagai tinja, atau terjadi bertumpuknya cairan di usus akibat terganggunya resorpsi air atau dan terjadinya hipersekresi, maka hal ini dapat menyebabkan terjadinya diare. Menurut Widjaja (2002), diare disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu : 1) Faktor infeksi Infeksi pada saluran pencernaan merupakan penyebab utama diare pada anak. 2) Faktor malabsorpsi Faktor malabsorpsi dibagi menjadi dua yaitu malabsorpsi karbohidrat dan lemak. Malabsorpsi karbohidrat, pada bayi kepekaan terhadap lactoglobulis dalam suatu susu formula dapat menyebabkan diare. Gejalanya berupa diare berat, tinja berbau sangat asam, dan sakit di daerah perut. Sedangkan malabsorpsi lemak, terjadi bila dalam makanan terdapat lemak
10
yang disebut trigliserida. Trigliserida, dengan bantuan kelenjar lipase, mengubah lemak menjadi micelles yang siap diabsorpsi usus. Jika tidak ada lipase dan terjadi kerusakan mukosa usus, diare dapat muncul karena lemak tidak terserap dengan baik. 3) Faktor makanan Makanan yang mengakibatkan diare adalah makanan yang tercemar, basi, beracun, terlalu banyak lemak, mentah (sayuran) dan kurang matang. Makanan yang terkontaminasi jauh lebih mudah mengakibatkan diare pada anak-anak balita. 4) Faktor psikologis Rasa takut, cemas, dan tegang, jika terjadi pada anak dapat menyebabkan diare kronis. Tetapi jarang terjadi pada anak balita, umumnya terjadi pada anak yang lebih besar. e. Patofisiologi Patofisiologi diare akibat infeksi terutama ditularkan secara fecal oral. Hal ini disebabkan masukan minuman dan makanan yang terkontaminasi tinja ditambah dengan ekskresi yang buruk, makanan yang tidak matang atau yang tanpa dimasak. Empat mekanisme patofisiologis terganggunya keseimbangan air dan elektrolit, menyebabkan diare, dan merupakan dasar diagnosis dan terapi, antara lain : 1) Terjadi perubahan dalam transportasi ion aktif, baik penurunan penyerapan natrium atau peningkatan sekresi klorida
11
2) Perubahan motilitas usus 3) Peningkatan osmolalitas luminal 4) Peningkatan hidrostatik jaringan Mekasnisme ini terkait dengan empat kelompok diare klinis yaitu: sekretorik, osmotik, eksudatif, dan mengubah transit usus (Dipiro dkk., 2008). Mekanisme dasar yang menyebabkan timbulnya diare : 1) Gangguan Osmotik Adanya makanan atau zat yang tidak dapat diserap akan menyebabkan tekanan osmotik dalam lumen usus naik sehingga terjadi pergeseran air dan elektrolit kedalam lumen usus. Isi rongga usus yang berlebihan akan merangsang usus untuk mengeluarkannya sehingga timbullah diare. 2) Gangguan Sekresi Akibat rangsangan tertentu (toksin) pada dinding usus akan terjadi peningkatan sekresi air dan elektrolit kedalam lumen usus dan selanjutnya timbul diare karena kenaikan isi lumen usus. 3) Gangguan Motilitas Usus Hiperperistaltik
akan
menyebabkan
berkurangnya
kesempatan usus untuk menyerap makanan, sehingga timbul diare. Sebaliknya, bila peristaltik usus menurun akan
12
mengakibatkan bakteri tumbuh berlebihan, selanjutnya dapat timbul diare pula (Anonim, 2006). f. Manifestasi klinis Diare dapat mengakibatkan hal-hal sebagai berikut : 1) Kehilangan cairan (dehidrasi) Diare menyebabkan hilangnya sejumlah besar air dan elektrolit dan sering sisertai dengan asidosis metabolik karena kehilangan basa. Dehidrasi dapat diklasifikasikan berdasarkan defisit air dan/atau keseimbangan elektrolit (Irwanto dkk., 2002). Dehidrasi ringan bila penurunan berat badan kurang dari 5%, dehidrasi sedang bila penurunan berat badan antara 510% dan dehidrasi berat bila penurunan lebih dari 10%, seperti yang tercantum dalam tabel I. Tabel I. Derajat Dehidrasi (Sandhu, 2001) Gejala Keadaan Mata Mulut/ & Tanda Umum Lidah Tanpa dehidrasi
Baik, sadar
Normal
Basah
Dehirasi ringansedang Dehidrasi berat
Gelisah, rewel
Cekung
Kering
Letargik, kesadaran menurun
Sangat cekung dan kering
Sangat kering
Rasa Haus
Kulit
Minum, normal, tidak haus Tampak kehausan
Dicubit kembali cepat Kembali lambat
Sulit, tidak bisa minum
Kembali sangat lambat
% turun BB <5
Estimasi def. Cairan 50%
5-10
50-100%
>10
>100%
13
2) Malnutrisi Malnutrisi berat dengan dehidrasi berat akibat diare merupakan hal yang umum terjadi di negara-negara tropis dan subtropis (Nelson, 2000). 3) Hipoglikemia Hipoglikemia terjadi pada 2-3% dari anak-anak yang menderita diare Shigellosis. Pada anak-anak dengan gizi cukup atau baik, hipoglikemia ini jarang terjadi, lebih sering terjadi pada
anak
(kekurangan
yang kalori
sebelumnya protein).
sudah Hal
ini
menderita terjadi
KKP karena
penyimpanan atau persediaan glikogen dalam hati terganggu dan adanya gangguan absorpsi glukosa. Gejala hipoglikemia akan muncul jika kadar glukosa darah menurun sampai 40% pada bayi dan 50% pada anak-anak. Gejala hipoglikemia tersebut dapat berupa : lemas, apatis, peka rangsangan, tremor, berkeringat dingin, pucat, syok, kejang sampai koma (Nelson, 2000). 4) Hiponatremia Hiponatremia juga banyak terjadi pada Shigellosis. Hiponatremia muncul karena gangguan reabsorpsi natrium di usus. Manifestasi klinik dari hiponatremia adalah hipotonia, apati, dan jika berat dapat menimbulkan kejang (Anonim, 2004).
14
Menurut Widjaja (2002) gejala diare adalah sebagai berikut: 1) Bayi atau anak menjadi cengeng dan gelisah. Suhu badannya pun tinggi 2) Tinja bayi encer, berlendir atau berdarah 3) Warna tinja kehijauan akibat bercampur dengan cairan empedu 4) Lecet pada anus 5) Gangguan gizi akibat intake (asupan) makanan yang kurang 6) Muntah sebelum dan sesudah diare 7) Hipoglikemia (penurunan kadar gula darah) 8) Dehidrasi (kekurangan cairan) Menurut Fischer (2000), bahwa manifestasi klinik diare pada 1-2 hari pertama yaitu demam (diatas 38°C), muntah, diare dan gejala muntah mulai menurun pada hari kelima. Gejala diare, muntah dan demam mengakibatkan penderita mengalami dehidrasi dan kehilangan banyak elektrolit tubuh. g. Diagnosis Demi
kepentingan
pelayanan
sehari-hari,
diagnosa
diare
berdasarkan gejala klinik seharusnya sudah memadai dan cukup untuk kepentingan terapi. Namun demikian, diagnosis tetap perlu diupayakan demi kepentingan penelitian, dan upaya pencegahan pada masyarakat. Diagnosa
diare
ditegakkan
berdasarkan
gejala
dan
hasil
pemeriksaan fisik. Amati konsistensi tinja dan frekuensi buang air besar
15
bayi atau balita. Jika tinja encer dengan frekuensi buang air besar 3 kali atau lebih dalam sehari, maka bayi atau balita tersebut menderita diare. Langkah-langkah dalam melakukan diagnosis penyakit diare adalah sebagai berikut: 1) Anamnesis Kepada penderita atau keluarganya perlu ditanyakan mengenai riwayat perjalanan penyakit antara lain : a) Lamanya sakit diare b) Frekuensi BAB c) Banyak/ volume BAB d) Warna tinja (biasa, kuning berlendir, berdarah, seperti air cucian nasi, dsb.) e) Baunya (amis, asam, busuk) f) Ada atau tidaknya batuk, panas, flu dan kejang sebelum, selama, dan setelah diare g) Jenis, bentuk, dan banyaknya makana dan minuman yang diberikan sebelum, selama, dan setelah diare h) Ada atau tidaknya penderita diare di sekitar rumah i) Berat
badan
sebelum
sakit
(bila
diketahui)
(Suraatmaja, 2010) 2) Pemeriksaan fisik Perlu diperiksa apakah pada pasien ditemukan tanda-tanda dehidrasi. Tanda dehidrasi antara lain kulit kering, mulut
16
kering, denyut jantung yang cepat, kebingungan, kelemahan, turgor kulit abnormal. Artritis, penyakit hati, fisula perianal dan demam mungkin merupakan komplikasi penyakit usus inflamatorik (kolitis ulseratif, penyakit Crohn). Demam merupakan gejala klinik dari amebiasis, limfoma, dan tuberkulosis. Berat badan yang turun drastis dapat disebabkan malabsorbsi, penyakit usus inflamatorik, kanker, atau tirotoksikosis. Limfadenopati dapat disebabkan oleh limfoma, penyakit Whipple. Neuropati biasanya berhubungan dengan diare diabetik atau amiloidosis. Muka kemerahan (flushing), hati besar berhubungan dengan penyakit seliak. Ulkus peptikum dapat disebabkan oleh sindrom Zollinger-Ellison, fistula gastrokolika (Hefrindal dkk., 2000). h. Terapi Secara garis besar, pengobatan diare dapat dikelompokkan dalam beberapa jenis, yaitu pengobtan cairan, pengobatan kausal, pengobatan simptomatik dan pengobatan dietetik (Suraatmaja, 2010). 1) Pengobatan cairan Penggantian cairan dan elektrolit merupakan elemen yang penting dalam terapi efektif diare akut. Tujuan terapi rehidrasi adalah untuk mengoreksi kekurangan cairan dan elektrolit secara cepat (terapi rehidrasi) kemudian mengganti cairan yang hilang sampai diarenya berhenti. Kehilangan cairan dapat diganti baik melalui oral maupun parenteral (Anonim, 2009).
17
Ada dua jenis cairan yang dapat digunakan dalam pengobatan diare yaitu Cairan Rehidrasi Oral (CRO) seperti oralit dan cairan rumah tangga (larutan garam-gula, larutan tepung beras-garam, air tajin, air kelapa) dan Cairan Rehidrasi Parenteral (CRP) seperti Ringer Laktat, KAEN3A, KAEN3B, Asering, D5%, KCl, dan sebagainya. Keuntungan dari cairan rehidrasi oral adalah relatif murah, tidak invasif, dan dapat diberikan di rumah. Komponen utama dari CRO adalah glukosa, natrium, kalium, klorida dan air. Pemberian CRP dapat dilakukan jika pasien mengalami muntah yang hebat dan tidak memungkinkan untuk diberikan cairan rehidrasi secara oral (Martin dan Jung, 2008). 2) Pengobatan kausal Pengobatan yang tepat terhadap kausa diare diberikan setelah kita mengetahui penyebabnya yang pasti. Jika kausa ini penyakit parenteral, diberikan antibiotik sistemik. Jika tidak terdapat infeksi parenteral, sebenarnya antibiotik baru boleh diberikan jika pada pemeriksaan laboratorium ditemukan bakteri patogen. Karena pemeriksaan untuk menemukan bakteri ini kadang-kadang sulit atau hasil pemeriksaan datang terlambat, antibiotik dapat diberikan dengan memperhatikan umur penderita, perjalanan penyakit, sifat tinja dan sebagainya. Pemberian antibiotik kepada pasien hanya boleh diberikan jika
18
(i) ditemukan bakteri patogen pada pemeriksaan mikroskopis pada biakan, (ii) pada pemeriksaan makroskopis dan mikroskopis ditemukan darah pada tinja, (iii) di daerah endemik kholera (Suraatmaja, 2010). Sebagian besar kasus diare tidak memerlukan pengobatan dengan antibiotika oleh karena pada umumnya sembuh sendiri (self limiting) (Hegar dan Kadim, 2003). Antibiotik hanya diperlukan pada sebagian kecil penderita diare misalnya kholera shigella, karena penyebab terbesar diare pada anak adalah virus (rotavirus). Kecuali pada bayi berusia di bawah 2 bulan karena potensi terjadinya sepsis oleh karena bakteri mudah mengadakan translokasi kedalam sirkulasi, atau pada anak/bayi yang menunjukkan secara klinis gejala yang berat serta berulang atau menunjukkan gejala diare dengan darah dan lendir yang jelas atau segala sepsis. Jenis antimikroba yang sering digunakan pada penanganan kasus diare anak tercantum pada tabel II. Tabel II. Jenis Antimikroba yang Digunakan pada Diare Anak (Armon dkk., 2001) Jenis Diare Jenis Antimikroba yang Digunakan pada Pasien Anak Kolera Tetrasiklin 50 mg/kg/hari dibagi 4 dosis (2 hari), atau Furasolidon 5 mg/kg/hari dibagi 4 dosis (3 hari) Shigella Trimetoprim 5-10 mg/kg/hari Sulfametoksazol 25-50 mg/kg/hari Dibagi 2 dosis (5 hari), atau Asam Nalidiksat 55 mg/kg/hari dibagi 4 dosis (5 hari) Amoebiasis Metronidazol 30 mg/kg/hari dibagi 4 dosis (5-10 hari) Untuk kasus berat : Dehidroemetin hidroklorida 1-1,5 mg/kg (maks 90 mg) (im) s/d 5 hari tergantung reaksi Giardiasis Metronidazol 15 mg/kg/hari dibagi 4 dosis (5 hari)
19
3) Pengobatan simptomatik a) Obat-obat
antidiare
mengehentikan
:
diare
obat-obat secara
yang cepat,
berkhasiat seperti
antispasmodik/spasmolitik atau opium (papaverin, ekstrak belladon, loperamid, kodein dan sebagainya) justru akan memperburuk
keadaan
karena
akan
menyebabkan
terkumpulnya cairan di lumen usus dan akan menyebabkan terjadinya berlipatgandaan (overgrowth) bakteri, gangguan digesti dan absorpsi. Obat-obat ini hanya berkhasiat untuk menghentikan peristaltik saja, tetapi justru akibatnya sangat berbahaya karena baik si pemberi obat maupun penderita akan terkelabui. Diarenya terlihat tidak ada lagi, tetapi perut akan bertambah kembung dan dehidrasi bertambah berat yang akhirnya dapat berakibat fatal untuk penderita (Suraatmaja, 2010). b) Adsorben : obat-obat adsorben seperti kaolin, pektin, charcoal dan sebagainya telah dibuktikan tidak ada manfaatnya (Suraatmaja, 2010). c) Stimulan
:
obat-obat
stimulan
seperti
adrenalin,
nikotinamid, dan sebagainya tidak akan memperbaiki rejatan atau dehidrasi, karena penyebab dehidrasi ini adalah kehilangan cairan (hypovolemic shock) sehingga
20
pengobatan yang paling tepat adalah pemberian cairan secepatnya (Suraatmaja, 2010). d) Antiemetika : obat antiemetika seperti klorpromazin terbukti selain mencegah muntah, juga dapat mengurangi sekresi dan kehilangan cairan bersama tinja. Pemberian dalam dosis adekuat (sampai dengan 1 mg/kgBB/hari) kiranya cukup bermanfaat, tetapi perlu juga diingat efek samping dari obat ini. Penderita akan menjadi ngantuk dan intake cairan akan berkurang (Suraatmaja, 2010) e) Antipiretika : obat antipiretika seperti preparat salisilat (asetosal, aspirin) dalam dosis rendah (25 mg/tahun/kali) ternyata selain berguna untuk menurunkan panas yang terjadi sebagai akibat dehidrasi atau panas karena infeksi penyerta, juga mengurangi sekresi cairan yang keluar bersama tinja (Suraatmaja, 2010). 4) Pengobatan dietetik Selama anak diare,
terdapat
gangguan
gizi
yang
disebabkan intake dan absorpsi yang kurang, dan metabolisme yang terganggu. Untuk memenuhi kebutuhan cairan, selain dari infus juga tetap diberikan ASI karena dengan pemberian ASI akan memperpendek masa diare, mempunyai nilai gizi tinggi dan mudah dicerna, serta mengandung faktor proteksi yaitu antibodi, sel-sel darah putih, enzim dan hormon yang
21
melindungi
permukaan
usus
bayi
terhadap
invasi
mikroorganisme patogen dan protein asing. Selain itu juga dapat ditambah susu rendah laktosa (Low Lactose Milk) tiap kali sesudah buang air besar pada pasien yang mengalami intoleransi laktosa (Anonim, 2009). Pada anak yang lebih besar makanan yang direkomendasikan meliputi tajin, kentang, pisang, gandum dan sereal. Makanan yang harus dihindarkan adalah makanan dengan kandungan tinggi gula sederhana yang dapat memperburuk diare seperti minuman kaleng dan sari buah apel. Juga makanan tinggi lemak yang sulit ditoleransi karena menyebabkan lambatnya pengosongan lambung (Putra, 2008). Selain keempat macam pengobatan diatas, pemberian edukasi kepada keluarga pasien juga penting dilakukan dalam pengobatan diare. Dalam aspek edukasi
dilakukan pemberian informasi mengenai
pentingnya menjaga kebersihan diri dan alat-alat makan/minum (dot) dengan cara cuci tangan sebelum membuat susu dan menggunakan alatalat makan/minum yang sudah dicuci bersih atau direbus dahulu. Perlu pemahaman mengenai tanda-tanda dehidrasi seperti rewel, kehausan, mata cekung, menangis tidak keluar air mata, bibir kering. Bila anak diare disertai muntah berulang, anak tampak kehausan sebaiknya segera dibawa ke rumah sakit atau poliklinik terdekat (penting bila setelah pulang dari RSDK anak sakit lagi). Menganjurkan menjaga kebersihan lingkungan
22
dan kebersihan pribadi contohnya tidak membuang sampah sembarangan, buang air besar di jamban, mencuci tangan sebelum membuat susu atau membuang kotoran. Menganjurkan untuk menggunakan air bersih untuk membuat susu, air harus dimasak sampai mendidih serta memberikan informasi cara melakukan sterilisasi dot yang benar (Anonim, 2009). i. Manfaat zink dalam penanganan diare Penggunaan suplemen zink merupakan strategi baru dalam penanganan diare dan menjanjikan manfaat yang besar dalam manajemen diare. Suplemen zink telah direkomendasikan oleh WHO dan UNICEF dan digunakan dibanyak negara untuk pengobatan diare pada anak-anak (WHO, 2005). Zink merupakan mikronutrien yang sangat penting dalam mempertahankan fungsi normal sistem imun dan merupakan elemen penting yang sangat dibutuhkan untuk fungsi berbagai enzim dan juga untuk pembelahan sel. Zink banyak terkandung di dalam makanan, tapi pada kebanyakan anak-anak di negara berkembang, memiliki intake makanan yang rendah, terutama makanan yang mengandung zink seperti hati, daging, ikan, unggas, tiram dan kepiting. Kekurangan zink dapat mengakibatkan diare kronik, gangguan pertumbuhan dan defisiensi imunitas tubuh (Lukacik dkk., 2008). Pemberian zink sedini mungkin pada saat diare dapat mengurangi durasi dan keparahan dehidrasi, dan dengan meneruskan pemberian suplemen zink selama 10 – 14 hari, kehilangan zink selama diare dapat
23
digantikan dan dapat mengurangi kambuhnya diare pada 2 – 3 bulan berikutnya. Suplemen zink juga bisa meningkatkan nafsu makan dan membantu pertumbuhan (WHO, 2005). 2. Anak (Pediatrik) Pediatric berasal dari bahasa Yunani yakni Paedes = anak dan iztric = pengobatan. Penggunaan obat pada anak merupakan sesuatu yang bersifat khusus karena berkaitan langsung dengan laju perkembangan organ, sistem dalam tubuh juga masih belum sempurna seperti enzim yang bertugas dalam metabolisme serta proses eskresi obat (Aslam dkk., 2003). The
British
Pediatric
Association
(BPA)
membagi
waktu
perkembangan biologis masa anak-anak untuk menentukan dosis obat sebagai berikut : a. Neonatus
: Awal kelahiran sampai usia 1 bulan (dengan
subseksi tersendiri untuk bayi yang lahir saat usia kurang dari 37 minggu dalam kandungan) b. Bayi
: 1 bulan sampai 2 bulan
c. Anak
: 2 sampai 12 tahun (dengan subseksi: anak dibawah
6 tahun memerlukan bentuk sediaan yang sesuai) d. Remaja
: 12 sampai 18 tahun (Aslam dkk., 2003)
Anak-anak terutama neonatus mempunyai respon yang berbeda terhadap pemberian obat dibanding orang dewasa. Perhatian perlu dilakukan pada masa neonatus (umur 0-30 hari) karena dosis harus selalu dihitung dengan cermat (Anonim, 2008a).
24
Identifikasi pelaporan dari reaksi obat yang tidak diinginkan sangat penting mengingat : a. Kerja obat dan profil farmakokinetika obat pada anak mungkin berbeda pada orang dewasa b. Obat tidak secara ekstensif diujikan pada anak sebelum diijinkan untuk beredar c. Formula yang sesuai mungkin tidak tersedia untuk dosis yang tepat yang diperbolehkan untuk anak d. Sifat dan jenis penyakit dan efek samping yang tidak diinginkan mungkin berbeda antara anak dan orang dewasa (Anonim, 2008a). Keberhasilan terapi dengan obat sangatlah bergantung pada rancangan aturan dosis. Aturan dosis yang tepat dirancang untuk mencapai konsentrasi optimum obat pada reseptor, sehingga menghasilkan respon terapetik yang optimal dengan efek merugikan yang minimal (Shargel dan Yu, 2005). 3. Penggunaan Obat Rasional Pengobatan yang rasional adalah pemilihan dan penggunaan obat yang efektifitasnya terjamin serta aman, dengan mempertimbangkan masalah harga, yaitu dengan harga yang paling menguntungkan dan sedapat mungkin terjangkau. Untuk menjamin efektifitas dan keamanan, pemberian obat harus dilakukan secara rasional, berarti perlu dilakukan diagnosis yang akurat, pemilihan obat yang tepat, serta obat dengan dosis, cara, interval serta lama pemberian yang tepat (Anonim, 2002).
25
Pengobatan rasional merupakan suatu tindakan pengobatan terhadap penyakit berdasarkan interpretasi gejala dan pemahaman aksi fisiologik yang benar dari suatu penyakit. Obat yang digunakan harus tepat dosis, tepat cara pemakaian, tepat untuk penyakitnya dan tepat informasi serta waspada terhadap efek sampingnya. Suatu pengobatan yang baik dan benar akan sangat menguntungkan bagi pasien, baik dari kesehatan, kekambuhan penyakit yang diderita, biaya yang harus dikeluarkan, dan kepatuhan pasien dalam mengkonsumsi obat tersebut (Siregar dan Amalia, 2004). Penerapan penggunaan obat yang rasional akan memberi manfaat yaitu
optimalisasi
tujuan
pengobatan
yang
ingin
dicapai
dengan
meminimalkan efek samping obat dengan rasio antara manfaat dan resiko yang optimal serta berkurangnya beban biaya pengobatan (Aslam dkk., 2003). Informasi obat pada dasarnya merupakan awal dari implementasi preskripsi yang rasional maupun penggunaan obat yang rasional melalui formularium maupun standar pengobatan, tanpa informasi obat yang memadai maka penggunaan obat yang rasional tidak akan tercapai. Pemberian informasi obat harus dilakukan secara profesional oleh mereka yang yang memiliki kualifikasi, keahlian, dan terikat kode etik profesi (Sampurno, 2001). Penggunaan obat yang tidak rasional mempunyai beberapa dampak negatif, yaitu berdampak terhadap mutu pengobatan dan pelayanan, dampak terhadap biaya pengobatan dampak terhadap efek samping dan efek lain yang
26
tidak diharapkan, serta dampak psikososial yang berupa ketergantungan pasien terhadap intervensi obat atau persepsi yang keliru, misal kebiasaan memberikan injeksi (Friedman dan Papper, 2000). 4. Formularium Rumah Sakit Formularium Rumah Sakit adalah dokumen berisi kumpulan produk obat yang dipilih oleh Panitia Farmasi dan Terapi (PFT) disertai informasi tambahan penting tentang penggunaan obat tersebut, serta kebijakan dan prosedur berkaitan obat yang relevan untuk rumah sakit tersebut, yang terus menerus direvisi agar selalu akomodatif bagi kepentingan penderita dan staf profesional pelayanan kesehatan, berdasarkan data konsumtif dan data morbiditas serta pertimbangan klinik staf medik rumah sakit itu (Siregar dan Amalia, 2004). Sistem pembuatan formualrium merupakan sarana yang kuat untuk meningkatkan kualitas dan mengawasi biaya obat yang digunakan untuk pengobatan di rumah sakit. Yang menjadi pokok dari pelaksanaan sistem pendataan obat ini ialah adanya Formularium Rumah Sakit, merupakan kumpulan produk obat yang secara terus menerus ditinjau ulang. Obat-obatan tersebut dipilih oleh PFT. Tujuan utama pembuatan formularium tersebut adalah menyediakan sarana bagi para staf rumah sakit, meliputi (Siregar dan Amalia, 2004) : a. Informasi tentang produk obat yang telah disetujui oleh PFT digunakan di rumah sakit. b. Informasi terapi dasar tiap produk obat yang disetujui.
27
c. Informasi tentang kebijakan dan prosedur rumah sakit yang menguasai penggunaan obat. d. Informasi khusus tentang obat seperti pedoman menetapkan dosis dan monogram, singkatan yang disetujui untuk penulisan resep/ order dan kandungan natrium dari berbagai obat formularium. 5. Rumah Sakit Rumah Sakit adalah institusi pelayanan kesehatan bagi masyarakat dengan karakteristik tersendiri yang dipengaruhi oleh perkembangan ilmu pengetahuan kesehatan, kemajuan teknologi, dan kehidupan sosial ekonomi masyarakat yang harus tetap mampu meningkatkan pelayanan yang lebih bermutu dan terjangkau oleh masyarakat agar terwujud derajat kesehatan yang setinggi-tingginya (Anonim, 2009). Sejalan dengan amanah pasal 28H ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945 telah ditegaskan bahwa setiap orang berhak memperoleh pelayanan kesehatan, kemudian dalam pasal 34 ayat (3) dinyatakan negara bertanggungjawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak. Fungsi rumah sakit selain yang diatas juga merupakan pusat pelayanan rujukan medik spesialistik dan sub spesialistik dengan fungsi utama menyediakan dan menyelenggarakan upaya kesehatan yang bersifat penyembuhan (kuratif) dan pemulihan (rehabilitas pasien). Maka sesuai dengan fungsi utamanya tersebut perlu pengaturan sedemikian rupa sehingga
28
rumah sakit mampu memanfaatkan sumber daya yang dimiliki dengan berdaya guna dan berhasil guna (Ilyas, 2000). Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 340/MENKES/PER/III/2010 Tentang Klasifikasi Rumah Sakit, Rumah Sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap rawat jalan, dan gawat darurat. Dimana terbagi atas dua, yaitu : a.
Rumah Sakit Umum Rumah Sakit Umum adalah rumah sakit yang memberikan pelayanan kesehatan pada semua bidang dan jenis penyakit.
b.
Rumah Sakit Khusus Rumah Sakit Khusus adalah rumah sakit yang memberikan pelayanan utama pada satu bidang atau jenis penyakit tertentu, berdasarkan disiplin ilmu, golongan umur, organ atau jenis penyakit. Klasifikasi Rumah Sakit Umum berdasarkan fasilitas dan kemampuan
pelayanan terbagi atas : a.
Rumah Sakit Kelas A Rumah Sakit kelas A adalah rumah sakit yang harus mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik paling sedikit 4 (empat) Pelayanan Medik Spesialis Dasar, 5 (lima) Pelayanan Spesialis Penunjang Medik, 12 (dua belas) Pelayan Medis Spesialis Lain dan 13 (tiga belas) Pelayan Medik Subspesialis Dasar.
b.
Rumah Sakit Kelas B
29
Rumah Sakit Kelas B adalah rumah sakit yang harus mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik paling sedikit 4 (empat) Pelayanan Medik Spesialis Dasar, 4 (empat) Pelayanan Spesialis Penunjang Medikm 8 (delapan) Pelayanan Medik Spesialis Lainnya dan 2 (dua) Pelayanan Medik Subspesialis Dasar. c.
Rumah Sakit Kelas C Rumah Sakit Kelas C adalah rumah sakit yang harus mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik paling sedikit 4 (empat) Pelayanan Medik Spesialis Dasar dan 4 (empat) Pelayanan Spesialis Penunjang Medik.
d.
Rumah Sakit Kelas D Rumah Sakit Kelas D adalah rumah sakit yang harus mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik paling sedikit 2 (dua) Pelayanan Medik Spesialis Dasar (Anonim, 2010). Sekarang ini rumah sakit adalah suatu lembaga komunitas yang
merupakan instrumen masyarakat. Berdasarkan hal tersebut, rumah sakit dapat dipandang sebagai suatu struktur terorganisasi yang menggabungkan bersama – sama semua profesi kesehatan, fasilitas diagnostik, alat dan perbekalan serta fasilitas fisik kedalam suatu sistem terkordinasi untuk penghantaran pelayanan kesehatan bagi masyarakat. Dulu rumah sakit dianggap hanya sebagai suatu lembaga yang giat memperluas layanannya kepada penderita di mana pun lokasinya (Siregar dan Amalia, 2004).
30
Diluar tiga dasar pokok kebutuhan manusia (pangan, sandang, naungan), rumah sakit telah menjadi sebuah instrumen yang perlu untuk mengadakan unsur dasar keempat, yaitu kelangsungan hidup dan kesehatan. Rumah sakit berlaku sebagai suatu instrumen utama yang dengannya profesi kesehatan dapat memberikan pelayanan kesehatan. Disebabkan meningkatnya kerumitan pelayanan kesehatan – diagnosis – pencegahan dan terapi – maka diperlukan personel terlatih, fasilitas dan alat yang digabung menjadi apa yang dikenal sebagai rumah sakit, untuk memberikan pelayanan bermutu yang diharapkan, diminta, dan diperoleh masyarakat. Pelayanan kesehatan sudah ditetapkan menjadi hak bagi semua (Siregar dan Amalia, 2004). F. Keterangan Empirik Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh gambaran dan mengevaluasi gambaran pengobatan diare pada pasien anak rawat inap di Rumah Sakit Muhammadiyah Taman Puring Jakarta selama periode Tahun 2012 ditinjau dari kesesuaian pemberian obat kepada pasien yang dibandingkan dengan formularium pada rumah sakit tersebut dan juga menilai manfaat zink elemental yang cukup penting dan sudah cukup banyak penggunaannya tetapi belum masuk ke dalam standar pelayanan medis Rumah Sakit Muhammadiyah Taman Puring Jakarta.