BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pupuk merupakan kebutuhan penting yang digunakan untuk meningkatkan pertumbuhan tanaman. Tanaman yang tumbuh di Indonesia, terutama jenis tanaman pangan sangat banyak jumlah dan jenisnya. Sebagai negara agrikultur, Indonesia membutuhkan banyak konsumsi pupuk untuk meningkatkan produksi tanaman-tanaman pangan. Pemilihan pupuk yang tepat sesuai dengan kebutuhan tanaman dan kondisi tanah sangat penting dilakukan supaya tidak merusak kondisi tanah dan makhluk hidup di sekitarnya (Budidarmo, 2007). Salah satu pabrik penghasil pupuk di Indonesia adalah PT. Petrokimia Gresik. Pabrik ini merupakan perusahaan berstatus Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dalam lingkup Departemen Perindustrian dan Perdagangan yang bergerak dalam bidang produksi pupuk. Pabrik ini merupakan pabrik pupuk tertua kedua di Indonesia setelah PT. Pupuk Sriwijaya (PUSRI) di Palembang dan juga merupakan pabrik pupuk terlengkap di antara pabrik pupuk lainnya. Jenis pupuk yang diproduksi oleh PT. Petrokimia Gresik antara lain : ZA, Super Phospat, dan Urea. Kapasitas produksi pupuk PT. Petrokimia Gresik sangat besar. Pada tahun 2005, kapasitas produksi pupuk PT. Petrokimia Gresik mencapai 4.430.000 Ton/tahun (Anonim, 2012). Salah satu pupuk produksi PT. Petrokimia Gresik, yaitu pupuk ZA diproduksi dalam jumlah 650.000 Ton/tahun. Proses produksi pabrik ini memiliki potensi bahaya tinggi apabila tidak dikelola dengan baik karena perusahaan ini
1
2
menggunakan dan menghasilkan bahan-bahan kimia yang berbahaya dan beracun dalam jumlah banyak. Dalam proses produksi pupuk ZA, pabrik ini menghasilkan hasil samping berupa campuran senyawa dengan kandungan utama senyawa kapur (CaCO3). Hasil samping ini terproduksi dalam jumlah yang sangat banyak dan belum termanfaatkan dengan optimal. Untuk sementara ini, hasil samping kapur tersebut telah dikelola dengan baik oleh PT. Petrokimia Gresik. Hasil samping yang belum termanfaatkan secara optimal ini akan terus terproduksi dan akan terakumulasi dalam jumlah yang besar sehingga dikhawatirkan dapat mencemari lingkungan di sekitarnya (Anonim, 2012). CaCO3 sendiri merupakan garam kalsium yang banyak digunakan sebagai obat dan bahan tambahan dalam makanan. Efek toksik paling berbahaya apabila terpejankan CaCO3 dalam jangka waktu yang panjang adalah terjadinya hiperkalsemia yang dapat mempengaruhi berbagai sistem dalam tubuh. (European Food Safety Authority, 2011). Berdasarkan hal tersebut di atas, perlu dilakukan berbagai uji untuk menentukan potensi ketoksikan dari hasil samping kapur pada produksi pupuk ZA PT. Petrokimia Gresik ini. Menurut PP 18/1999 jo. 85/1999, berbagai uji karakteristik perlu dilakukan untuk mengevaluasi apakah produk samping ini merupakan limbah B3 atau bukan, salah satunya adalah pengujian toksisitas subkronis. Informasi yang didapat dari uji ketoksikan subkronis bahan tersebut diharapkan dapat berguna untuk PT. Petrokimia Gresik sehingga diharapkan pabrik dapat melakukan pengelolaan hasil samping kapur ini dengan lebih baik lagi.
3
B. Perumusan Masalah Dari uraian pada latar belakang di atas, dapat ditarik permasalahan sebagai berikut : 1. Bagaimanakah wujud, spektrum toksisitas dan gejala klinis yang timbul akibat pemberian produk samping kapur pada pembuatan pupuk ZA PT. Petrokimia Gresik secara berulang selama 90 hari terhadap tikus jantan dan betina galur SD? 2. Bagaimanakah pengaruh pemberian sediaan uji secara berulang selama 90 hari terhadap parameter berat badan, asupan makanan dan minuman tikus jantan dan betina galur SD? 3. Bagaimanakah pengaruh pemberian sediaan uji secara berulang terhadap parameter hematologi (eritrosit, leukosit, platelet, Hb, Hct, MCV, MCH dan MCHC) tikus jantan dan betina galur SD paska perlakuan (hari ke-90)? 4. Bagaimanakah pengaruh pemberian sediaan uji secara berulang terhadap parameter urin (warna, bau, volume dan pH) tikus jantan dan betina galur SD paska perlakuan (hari ke-90)? 5. Bagaimanakah pengaruh pemberian sediaan uji secara berulang terhadap parameter histopatologi organ hepar, ginjal, limpa dan paru-paru tikus jantan dan betina galur SD paska perlakuan (hari ke-90)?
C. Tujuan Penelitian 1. Mengetahui wujud, spektrum toksisitas dan gejala klinis yang timbul akibat pemberian produk samping kapur pada pembuatan pupuk ZA PT. Petrokimia
4
Gresik secara berulang selama 90 hari terhadap tikus jantan dan betina galur SD. 2. Mengetahui pengaruh pemberian sediaan uji secara berulang selama 90 hari terhadap parameter berat badan, asupan makanan dan minuman pada tikus jantan dan betina galur SD. 3. Mengetahui pengaruh pemberian sediaan uji secara berulang terhadap parameter hematologi (eritrosit, leukosit, platelet, Hb, Hct, MCV, MCH dan MCHC) pada tikus jantan dan betina galur SD paska perlakuan (hari ke-90). 4. Mengetahui pengaruh pemberian sediaan uji secara berulang terhadap parameter urin (warna, bau, volume dan pH) pada tikus jantan dan betina galur SD paska perlakuan (hari ke-90). 5. Mengetahui pengaruh pemberian sediaan uji secara berulang terhadap parameter histopatologi organ hepar, ginjal, limpa dan paru-paru tikus jantan dan betina galur SD paska perlakuan (hari ke-90).
D. Manfaat Penelitian 1. Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam pengembangan ilmu bidang pengolahan limbah dan pengetahuan tentang uji toksisitas subkronis. 2. Memberikan informasi kepada PT. Petrokimia Gresik mengenai toksisitas produk samping kapur pada pembuatan pupuk ZA sehingga dapat ditentukan perlu atau tidaknya pengelolaan lebih lanjut dari produk samping tersebut. 3. Meminimalkan pengaruh pencemaran lingkungan akibat pencemaran produk samping kapur pada pembuatan pupuk ZA oleh PT. Petrokimia Gresik.
5
E. Tinjauan Pustaka 1. Toksikologi a. Definisi dan ruang lingkup toksikologi Toksikologi merupakan cabang ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang aksi berbahaya dari racun atau zat kimia berbahaya atas sistem biologi tertentu (Loomis, 1978). Racun sendiri merupakan senyawa-senyawa berbahaya yang dapat mengakibatkan kerusakan apabila dipejankan pada makhluk hidup baik sengaja maupun tidak (Hodgson & Levi, 1997). Selain mengkaji mengenai hakikat dan mekanisme efek toksik, toksikologi juga membahas penilaian kuantitatif mengenai berat dan kekerapan efek toksik dari suatu racun (Lu, 1995). Toksikologi merupakan ilmu antarbidang, meliputi ilmu biologi, kimia, biokimia, fisiologi, imunologi, patologi, farmakologi, dan kesehatan masyarakat. Ilmu-ilmu tersebut dibutuhkan untuk mempelajari aksi zat kimia atas sistem biologi dan untuk menjelaskan secara lengkap mengenai fenomena ketoksikannya (Donatus, 2005). Ruang lingkup toksikologi sangat luas. Oleh karena itu, ruang lingkup toksikologi diklasifikasikan menjadi tiga kajian pokok, yaitu toksikologi lingkungan, toksikologi ekonomi, dan toksikologi kehakiman (forensik). Toksikologi lingkungan mempelajari mengenai pemejanan (exposure) zat kimia pada sistem biologi baik disengaja maupun tidak. Zat kimia yang dimaksud antara lain adalah pencemar lingkungan, makanan, dan air. Toksikologi ekonomi mengkaji tentang pengaruh zat kimia, dalam hal ini
6
contohnya adalah pestisida dan zat tambahan makanan, yang dipejankan dengan sengaja pada sistem biologi dengan maksud untuk mencapai efek khas atau pengaruh tertentu. Sedangkan toksikologi kehakiman merupakan cabang ilmu toksikologi yang menguraikan tentang aspek medis dan aspek hukum atas efek toksik atau pengaruh berbahaya zat kimia pada manusia (Donatus, 2005; Loomis, 1978). Perlu diperhatikan bahwa klasifikasi ruang lingkup toksikologi di atas hanya berdasarkan atas sifat pemejanan pada sistem biologi dan cakupan pokok kajiannya (Donatus, 2005). Walaupun klasifikasi tersebut sangat berguna dalam mempelajari toksikologi, hal tersebut tidak dapat memberikan informasi yang adekuat mengenai dasar-dasar dari terjadinya efek toksik seperti mekanisme aksi dari zat kimia dan lain-lain (Hodgson & Levi, 1997). Oleh karena itu, terdapat asas utama yang perlu dipahami dalam mempelajari toksikologi yang biasa disebut dengan asas umum toksikologi (Donatus, 2005). b. Asas umum toksikologi Efek toksik racun atas makhluk hidup atau sistem biologi terjadi melalui beberapa proses, mulai dari pemejanan racun, absorpsi dari tempat pemejanannya, kemudian distribusi racun atau metabolitnya ke tempat aksi (sel sasaran atau reseptor) tertentu dalam makhluk hidup. Pada tingkat ini, terjadi antaraksi antara sel sasaran atau reseptor dengan racun atau metabolitnya. Hal ini mengakibatkan terjadinya sederetan peristiwa biokimia dan biofisika yang akhirnya menimbulkan efek toksik dengan wujud dan sifat tertentu. Setelah mengalami berbagai alur tersebut, pada akhirnya racun akan mengalami
7
ekskresi. Berdasarkan alur di atas, terdapat empat asas utama yang perlu dipahami dalam mempelajari toksikologi, meliputi kondisi pemejanan dan kondisi makhluk hidup, mekanisme aksi, wujud, dan sifat efek toksik (Donatus, 2005). 1) Kondisi pemejanan dan makhluk hidup Kondisi pemejanan merupakan semua faktor yang menentukan keberadaan (kadar dan jangka waktu) racun di tempat aksi tertentu di dalam tubuh makhluk hidup terkait dengan pemejanannya. Kondisi pemejanan meliputi jenis (akut dan kronis), jalur (antara lain saluran cerna, kulit dan paru-paru), lama dan kekerapan, saat dan takaran (dosis) pemejanan racun (Donatus, 2005). Kondisi makhluk hidup merupakan keadaan fisiologi dan patologi yang dapat mempengaruhi ketersediaan dan nasib racun di dalam tubuh (absorpsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi) serta keefektifan antaraksi antara racun dengan sel sasaran. Keadaan fisiologi meliputi berat badan, umur, suhu tubuh, kecepatan pengosongan lambung, kecepatan aliran darah, status gizi, kehamilan, jenis kelamin, irama sirkadian dan irama diurnal. Keadaan patologi meliputi aneka ragam penyakit seperti penyakit saluran cerna, kardiovaskular, hati, dan ginjal. Penyakit-penyakit ini dapat mempengaruhi
kondisi
fisiologi
dari
makhluk
hidup
sehingga
mempengaruhi ketersediaan dan nasib racun dalam tubuh makluk hidup tersebut pula (Donatus, 2005).
8
2) Mekanisme aksi efek toksik Mekanisme aksi efek toksik merupakan cara bagaimana racun menimbulkan efek toksiknya. Hal ini merupakan peristiwa yang rumit dan melibatkan berbagai macam mekanisme tergantung pada tahapan kejadian yang terlibat dan sifat reaksinya. Dengan mempertimbangkan berbagai konsep toksikologi, mekanisme aksi efek toksik digolongkan menjadi tiga, yaitu berdasarkan sifat dan tempat kejadian awal, sifat antaraksi, dan risiko penumpukan racun dalam gudang penyimpanan tubuh (Donatus, 2005). Berdasarkan sifat dan tempat kejadian awal, mekanisme aksi efek toksik dibagi menjadi dua, yaitu mekanisme luka intrasel (primer atau langsung) seperti kerusakan membran sel, sintesis protein, produksi energi; dan mekanisme luka ekstrasel (sekunder atau tidak langsung) seperti pasokan oksigen, zat hara, cairan, mekanisme pengaturan oleh sistem syaraf, endokrin, dan sistem imun (Donatus, 2005). Berdasarkan
sifat
antaraksi,
mekanisme
aksi
efek
toksik
digolongkan menjadi 2, yaitu terbalikkan dan tak terbalikkan antara racun dan tempat aksinya. Antaraksi yang terbalikkan terjadi antara molekul racun dengan tempat aksi yang khas seperti reseptor-reseptor neurotransmitter, tempat aktif enzim, dan lain-lain. Ciri khasnya adalah dapat dihentikan dengan penghentian pemejanan. Apabila kadar racun pada tempat aksinya habis, maka kondisinya akan segera kembali seperti semula. Antaraksi yang tak terbalikkan terjadi dengan cara pembentukan ikatan kovalen antara senyawa pengalkil atau metabolit elektrofil dan biopolimer yang memiliki
9
gugus SH atau NH2. Selain itu, luka kimia juga dapat disebabkan oleh radiasi pengion (radiasi nuklir dan sinar X), sintesis letal, penyekatan aksi enzim, dan kerusakan sistem pembawa seperti Hb. Ciri khasnya adalah memungkinkan terjadinya penumpukan efek karena kerusakan atau lukanya menetap dan tidak dapat dihilangkan dengan penghentian pemejanan (Donatus, 2005). Berdasarkan risiko penumpukan racun, senyawa-senyawa lipofil dan sulit dimetabolisme tubuh cenderung akan disimpan dalam gudang penyimpanan, yaitu kompartemen lemak dan tulang. Peristiwa penumpukan racun ini relatif tidak membahayakan karena bersifat tidak aktif. Efek toksik akan timbul apabila secara perlahan racun-racun dalam gudang tersebut dilepaskan menuju sirkulasi darah sehingga kadarnya meningkat hingga melebihi KTM (kadar toksik minimal). Hal inilah yang dianggap sebagai risiko penumpukan (Donatus, 2005). 3) Wujud efek toksik Wujud efek toksik merupakan hasil akhir dari aksi dan respon tubuh terhadap racun. Wujud efek toksik digolongkan menjadi tiga, yaitu perubahan biokimiawi, perubahan fisiologi atau fungsional, dan perubahan histopatologi atau struktural (Donatus, 2005). Sebagaian besar racun yang masuk ke dalam tubuh akan ditanggapi dengan berbagai respon biokimia seperti peningkatan sintesis protein, pergeseran sistem hormonal dan lain sebagainya. Respon-respon ini bersifat adaptif, namun apabila berlanjut akan menyebabkan perubahan atau
10
kekacauan biokimia yang bersifat patologis. Pada umumnya, perubahan ini bersifat terbalikkan (Donatus, 2005). Perubahan fungsional merupakan respon fisiologi berkaitan dengan fungsi jasmani seperti bernafas, aliran darah, kontraksi otot, keseimbangan elektrolit dan lain-lain. Perubahannya dapat berkisar dari yang ringan seperti sedasi, sampai yang berat seperti aritmia jantung. Pada umumnya perubahan ini bersifat terbalikkan. Perubahan biokimiawi dan fungsional seringkali merupakan tahap awal terjadinya perubahan struktural (Donatus, 2005; Loomis, 1978). Timbulnya luka selular melalui aksi langsung dan tak langsung dapat menuju ke perubahan morfologi yang pada akhirnya terwujud sebagai kekacauan struktural. Terdapat tiga urutan respon dasar histopatologi sebagai tanggapan luka selular itu, yaitu degenerasi, proliferasi dan inflamasi atau perbaikan. Berbagai respon histopatologi tersebut mendasari berbagai perubahan morfologi atau struktural dalam berbagai wujud seperti nekrosis dan karsinogenesis (Donatus, 2005). 4) Sifat efek toksik Sifat efek toksik racun dapat dibagi menjadi dua, yaitu terbalikkan dan tidak terbalikkan (Donatus, 2005). Efek toksik terbalikkan yang ditimbulkan oleh racun akan hilang setelah pemejanan dihentikan. Sedangkan pada efek toksik tak terbalikkan, efek toksik akan menetap atau bahkan bertambah parah meskipun pemejanan dihentikan. Contoh efek
11
toksik tak terbalikkan adalah karsinoma, mutasi, efek teratogenik dan sirosis hati (Lu & Kacew, 2009). c. Tolok ukur ketoksikan Ubahan (variabel) utama ketoksikan racun terletak pada kondisi pemejanan dan wujud serta sifat efek toksik yang ditimbulkan. Kondisi pemejanan merupakan ubahan bebas, sedangkan wujud dan sifat efek toksik merupakan ubahan tergantung. Di antara kedua ubahan tersebut, terdapat ubahan perantara atau penghubung yaitu mekanisme aksi. Berdasarkan hubungan sebab-akibat tersebut, dapat dikaji berbagai macam tolok ukur ketoksikan. Tolok ukur ketoksikan digolongkan menjadi dua macam, yaitu tolok ukur kualitatif dan tolok ukur kuantitatif. Pemahaman mengenai tolok ukur ketoksikan ini diperlukan dalam uji-uji toksikologi dan kehidupan seharihari (Donatus, 2005). Tolok ukur kualitatif merupakan tolok ukur dari efek toksik yang dapat dilihat dan diperkirakan melalui gejala-gejala klinis yang nampak pada penderita. Tolok ukur ini meliputi mekanisme aksi, wujud, sifat efek toksik dan berbagai gejala klinis yang merupakan akibat dari wujud efek toksik racun (Donatus, 2005). Di sisi lain, tolok ukur kuantitatif merupakan tolok ukur yang menunjukkan kekerabatan atau hubungan antara kondisi pemejanan dengan efek toksik yang timbul. Dalam hal ini, kekerabatan dua ubahan tersebut disajikan dalam bentuk data kuantitatif. Terdapat empat macam kekerabatan antara dua ubahan tersebut, yaitu kekerabatan takaran (dosis) - respon, waktu -
12
respon, takaran - efek, dan waktu - efek. Dari keempat kekerabatan tersebut, yang lebih banyak digunakan adalah takaran - respon dan waktu - respon karena evaluasi ketoksikan lebih ditujukan pada risiko pemejanan, misalnya nilai masukan harian yang dapat diterima (MHDD) atau masukan harian maksimum yang diperbolehkan (MHMD) untuk manusia (Donatus, 2005). d. Uji toksikologi Uji toksikologi merupakan uji yang dilakukan untuk menentukan potensi ketoksikan dari zat-zat kimia, kondisi yang memungkinkan terjadinya efek toksik dan karakteristik dari aksi senyawa tersebut. Tujuan utama dari uji toksikologi adalah mengurangi resiko terjadinya efek toksik pada manusia (Hodgson & Levi, 1997). Pada umumnya uji toksikologi dilakukan pada hewan uji. Walaupun ekstrapolasi dari hewan uji kepada manusia masih sering menimbulkan masalah dan perbedaan, penggunaan hewan uji tentu lebih menguntungkan dan lebih etis dilakukan daripada menggunakan manusia secara langsung (Hodgson & levi, 1997). Uji toksikologi digolongkan menjadi dua, yaitu uji ketoksikan tak khas dan uji ketoksikan khas. Uji ketoksikan tak khas merupakan uji toksikologi yang dirancang untuk mengevaluasi spektrum efek toksik suatu senyawa secara keseluruhan pada berbagai macam hewan uji. Uji ketoksikan tak khas meliputi uji ketoksikan akut, subkronis, dan kronis. Uji ketoksikan khas merupakan uji toksikologi yang dirancang untuk mengevaluasi efek toksik yang khas suatu senyawa pada berbagai macam hewan uji. Uji
13
ketoksikan khas meliputi uji potensiasi, karsinogenik, mutagenik, reproduksi, kulit dan mata, dan perilaku (Loomis, 1978).
2. Uji Ketoksikan Subkronis (OECD guideline nomor 408) OECD
merupakan
organisasi
yang
mempunyai
misi
untuk
mempromosikan kebijakan-kebijakan guna meningkatkan kesejahteraan ekonomi dan sosial seluruh masyarakat dunia. OECD menyediakan sebuah forum di mana pemerintah dapat bekerjasama untuk berbagi pengalaman dan mencari solusi untuk masalah-masalah umum. OECD bekerjasama dengan pemerintah untuk memahami hal-hal yang mendorong perubahan ekonomi, sosial dan lingkungan. Selain itu, OECD juga mengukur produktivitas dan arus perdagangan global dan investasi. Organisasi ini menganalisis dan membandingkan data untuk memprediksi tren masa depan. OECD mempunyai peran penting dalam menetapkan standar internasional tentang berbagai hal, dari pertanian, pajak hingga keamanan bahan kimia. OECD sudah banyak mempublikasikan guideline untuk banyak penelitian, salah satunya adalah OECD Guideline for the Testing of Chemicals. Guideline ini merupakan pedoman standar untuk menguji keamanan dari bahan-bahan kimia yang ada di dunia (OECD, 2013). Uji ketoksikan subkronis merupakan uji ketoksikan suatu senyawa yang diberikan dengan dosis berulang pada hewan uji tertentu selama kurang dari tiga bulan. Uji ini bertujuan untuk mengungkapkan spektrum efek toksik senyawa uji dan untuk memperlihatkan apakah spektrum tersebut berkaitan dengan takaran atau dosis (Donatus, 2005).
14
Dalam penelitian ini, pedoman yang digunakan yaitu OECD 408 Repeated Dose 90-day Oral Toxicity Study in Rodents. Pengamatan yang dilakukan dalam uji ketoksikan subkronis meliputi : a. Perubahan berat badan yang diperiksa paling tidak 7 hari sekali. b. Asupan makanan dan minuman untuk masing-masing hewan atau kelompok hewan uji paling tidak 7 hari sekali. c. Gejala-gejala klinis umum yang diamati setiap hari. d. Pemeriksaan hematologi paling tidak diperiksa dua kali, yaitu pada awal dan akhir uji coba. e. Pemeriksaan kima darah, paling tidak sama dengan butir d. f. Pemeriksaan urin, paling tidak sekali. g. Pemeriksaan histopatologi organ pada hewan yang mati pada masa pengujian dan pada seluruh hewan pada akhir uji coba (Donatus, 2005; Loomis, 1978; OECD, 1998). Hasil uji ketoksikan subkronis dapat memberikan banyak informasi yang bermanfaat tentang efek toksik utama senyawa uji dan organ-organ yang terpengaruh. Informasi lain yang dapat diperoleh yaitu tentang perkembangan efek toksik yang lambat berkaitan dengan takaran dosis yang tidak teramati pada uji ketoksikan akut, hubungan kadar senyawa dalam darah dengan luka toksik jaringan, dan keterbalikan (reversibilitas) efek toksiknya. Hasil uji ketoksikan subkronis ini selanjutnya dapat digunakan untuk merancang uji ketoksikan kronis sebagai penelitian lebih lanjut dan lebih lama (Donatus, 2005; Loomis, 1978; WHO, 1978).
15
3. Limbah Bahan Beracun dan Berbahaya Limbah B3 merupakan sisa suatu usaha dan/atau kegiatan yang mengandung bahan berbahaya dan/atau beracun yang karena sifat dan/atau konsentrasinya dan/atau jumlahnya, baik secara langsung maupun tidak langsung, dapat mencemarkan dan/atau merusakkan lingkungan hidup dan/atau dapat membahayakan lingkungan hidup, kesehatan, kelangsungan hidup manusia serta makhluk hidup lain. Pengelolaan limbah B3 diatur dalam PP 18/1999 jo. 85/1999 tentang pengelolaan limbah B3. Pengelolaan limbah B3 bertujuan untuk mencegah dan menanggulangi pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang diakibatkan oleh limbah B3 serta melakukan pemulihan kualitas lingkungan yang sudah tercemar sehingga sesuai fungsinya kembali. (Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun) Menurut PP 18/1999 jo. 85/1999, limbah B3 dapat diidentifikasi menurut sumber dan/atau uji karakteristik dan/atau uji toksikologinya. Berdasarkan sumbernya, limbah B3 digolongkan menjadi 3 macam : a. Limbah B3 dari sumber tidak spesifik, yaitu limbah B3 yang pada umumnya bukan berasal dari proses utama, melainkan berasal dari kegiatan lain seperti pemeliharaan alat, pencucian, pencegahan korosi, pelarutan kerak, pengemasan, dan lain-lain. b. Limbah B3 dari sumber spesifik, yaitu limbah B3 sisa proses suatu industri atau kegiatan yang secara spesifik dapat ditentukan atau merupakan proses utama
16
c. Limbah B3 dari bahan kimia kadaluwarsa, tumpahan, sisa kemasan atau buangan produk yang tidak memenuhi spesifikasi. Selain berdasarkan sumbernya, suatu limbah dianggap sebagai limbah B3 apabila memenuhi salah satu atau lebih karakteristik sebagai berikut : mudah meledak, mudah terbakar, bersifat reaktif, beracun, menyebabkan infeksi, bersifat korosif dan toksik baik akut maupun kronis. Sifat toksik dari suatu limbah diuji dengan menggunakan uji toksikologi. Uji toksikologi yang umum digunakan adalah uji ketoksikan akut, subkronis dan kronis. Pada uji ketoksikan akut, apabila nilai LD50 lebih besar dari 15 g/kg BB maka limbah tersebut bukan merupakan limbah B3. Untuk mengetahui ketoksikan dari limbah dalam pemejanan jangka panjang dapat digunakan uji ketoksikan subkronis dan/atau kronis. (Peraturan Pemerintah No. 85 Tahun 1999 Tentang : Perubahan atas Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun, Sekretariat Negara).
4. Produk Samping Kapur pada Pembuatan Pupuk ZA PT. Petrokimia Gresik Dalam produksi pupuk ammonium sulfat (ZA), PT. Petrokimia Gresik menghasilkan produk samping kapur kurang lebih 250.000 ton/tahun. Produk samping ini berbentuk powder (200 mesh), berwarna putih kecoklatan dan putih pada kadar air rendah. Produk samping ini memiliki pH 7,6-7,7 ; Bulk density 1,2 Ton/m3 ; dan sedikit larut dalam air. Produk samping kapur ini terdiri atas 75% padatan berupa campuran senyawa dan 25 % air (H2O). Kandungan utama dari padatan produk samping kapur ini adalah kalsium karbonat (CaCO3) yaitu 86,7%.
17
Kandungan lain dalam produk samping kapur ini adalah kalsium sulfat dihidrat (CaSO4.2H2O) 4,7% ; ammonium karbonat ((NH4)2CO3) 0,05% ; innert solid (SiO2) 6,3% ; dan sedikit sisa pupuk ZA ((NH4)2SO4) 2,3% (Anonim, 2012). Saat ini, produk samping kapur telah dimanfaatkan sebagai kapur pertanian (100.000 ton/tahun), Petroklasipalm (10.000 ton/tahun), dan kalsinasi (60.000 ton/tahun). Berdasarkan hal tersebut, masih terdapat sisa produk samping kapur sebanyak 80.000 ton/tahun yang masih disimpan dan dikelola dalam gudang terbuka. Sisa yang belum termanfaatkan telah dikelola dengan baik melalui penataan secara terasering, pengaturan air hujan, penghijauan, sumur pantau, dan lain-lain. Selain itu, pemanfaatan dari produk samping kapur tersebut masih diupayakan hingga saat ini. PT. Petrokimia Gresik berencana untuk memanfaatkan produk samping kapur ini sebagai bahan timbunan reklamasi pantai dan material konstruksi untuk kepentingan pengembangan pabrik (Anonim, 2012). Produk samping kapur ini telah melalui banyak pengujian. Produk ini telah memenuhi baku Toxicity Characteristic Leaching Procedure (TCLP) dan analisis logam berat sesuai batasan SK Mentan nomor 02/2006 yang dilakukan oleh laboratorium Corelab dan Balai Teknik Kesehatan Lingkungan (BTKL). Berdasarkan PP 18/1999 jo. 85/1999, produk ini tidak termasuk limbah B3, namun karena jumlahnya banyak, produk ini dikategorikan sebagai limbah B3. Pengujian yang belum dilakukan adalah uji toksisitas subkronis dan kronis (Anonim, 2012).
18
5. Parameter Hematologi Parameter hematologi sudah banyak digunakan secara luas untuk menetapkan keadaan fisiologis dan patologis tubuh secara sistemik, meliputi kesehatan secara umum, diagnosis dan prognosis dari suatu penyakit (Shah dkk., 2007). Ada banyak faktor yang mempengaruhi nilai dari parameter hematologi, antara lain yaitu umur, jenis kelamin, nutrisi, dan faktor lingkungan. Pada manusia, faktor etnis, bentuk tubuh, dan faktor sosial juga menjadi faktor yang berpengaruh pada parameter hematologi (Evans dkk., 1999; Frerich dkk., 1977; Karazawa & Jamra, 1989; Serjeant dkk., 1980). Pemeriksaan hematologi lengkap meliputi jumlah total eritrosit, platelet, Hb, Hct, MCV, MCH, MCHC, jumlah total leukosit dan diferensialnya meliputi neutrofil, eosinofil, basofil, limfosit dan monosit. Menurut beberapa tenaga kesehatan, tidak semua parameter darah penting untuk diperiksa, hanya beberapa parameter saja yang lebih diutamakan dalam pemeriksaan tertentu (Ciesla, 2007; Feldman dkk., 2000). a. Eritrosit Eritrosit atau sel darah merah (RBC) merupakan komponen sel darah yang paling banyak terdapat dalam sirkulasi darah. Secara umum eritrosit mempunyai karakteristik berbentuk oval dan berwarna merah karena adanya pigmen globin, termasuk Hb. Eritrosit pada vertebrata selain mamalia mempunyai inti sel dan organela dalam sitoplasmanya (Claver & Quaglia, 2009).
19
Masa hidup eritrosit berbeda-beda pada setiap organisme vertebrata, yaitu 120 hari pada manusia, 40 hari pada unggas, 600-800 hari pada reptil, 300-1400 hari pada amfibi, dan 80-500 hari pada ikan. Apabila tubuh kekurangan eritrosit, maka tubuh akan memproduksi eritrosit lebih banyak. Proses produksi eritrosit disebut juga eritropoiesis (Avery dkk., 1992; Claver & Quaglia, 2009; Davies & Johnston, 2000; Fischer dkk., 1998). Jumlah eritrosit dalam sirkulasi darah pada vertebrata berkisar antara 1 sampai 5 x 106 / µL3 (Claver & Quaglia, 2009). Masa hidup dan jumlah eritrosit dalam sirkulasi darah yang berbeda-beda menunjukkan bahwa setiap organisme mempunyai kebutuhan metabolik yang berbeda-beda (Morera & MacKenzie, 2011). Jumlah eritrosit normal pada tikus galur SD jantan adalah 6,7-9,0 x 106 / µL dan pada tikus betina adalah 5,7-9,0 x 106 / µL (Gad, 2007). Fungsi utama dari eritrosit adalah transport oksigen dan karbon dioksida untuk ditukarkan dalam kapiler paru-paru (pertukaran gas). Selain itu, fungsi lain dari eritrosit antara lain adalah transport glukosa, homeostasis kalsium, homeostasis redoks, proliferasi sel T, dan aktivitas antimikrobial (Morera & MacKenzie, 2011). Kondisi yang dapat timbul akibat abnormalitas dari jumlah eritrosit yaitu eritrositosis dan anemia. Eritrositosis atau polisitemia sekunder merupakan penyakit yang ditandai dengan meningkatnya produksi eritrosit sebagai kompensasi dari hipoksia. Hipoksia dapat diakibatkan oleh banyak hal seperti penyakit paru, ginjal, gagal jantung dan pengaruh lingkungan seperti tinggal di dataran tinggi (kadar oksigen rendah). Anemia merupakan suatu
20
kondisi dimana tubuh kekurangan Hb. Salah satu penyebab anemia adalah berkurangnya jumlah eritrosit dalam sirkulasi darah sehingga mengakibatkan berkurangnya kadar Hb. Kurangnya jumlah eritrosit dapat diakibatkan oleh pendarahan, rusaknya eritrosit atau hemolisis (hemolytic anemia) dan kurangnya produksi eritrosit akibat defisiensi asam folat (pernicious anemia) (Greenberg & Glick, 2003). Xenobiotika dapat mempengaruhi produksi, fungsi dan kelangsungan hidup eritrosit. Efek yang sangat sering terjadi adalah perubahan pada sirkulasi sel darah merah, biasanya terjadi penurunan pada kadar eritrosit (Klaassen dkk., 2001). b. Leukosit Leukosit atau sel darah putih (WBC) merupakan komponen dari sel darah yang berperan penting dalam sistem imun tubuh dan melindungi tubuh dari infeksi. Jumlah leukosit adalah yang paling sedikit dibandingkan dengan eritrosit dan platelet, yaitu 4,00-11,00 x 103 / µL (Naushad & Wheeler, 2012). Leukosit dibagi menjadi 2 jenis, yaitu polimorfonuklear atau granulosit (neutrofil, eosinofil, dan basofil) dan mononuklear atau agranulosit (monosit dan limfosit). Granulosit dan monosit merupakan hasil diferensiasi dari sel punca yang sama dalam sumsum tulang, sedangkan limfosit diproduksi di dalam jaringan limfatik (Greenberg & Glick, 2003). Jumlah leukosit total normal pada tikus galur SD jantan adalah 3,0-14,5 x 103 / µL dan pada tikus betina adalah 2,0-11,5 x 103 / µL (Gad, 2007). Granulosit dibagi menjadi 3, yaitu neutrofil, eosinofil dan basofil. Neutrofil merupakan fagosit yang paling dominan dalam sirkulasi darah dan
21
merupakan pertahanan pertama dari serangan bakteri di membran mukosa dan kulit (Malech & Gallin, 1987). Fungsi dari eosinofil dan basofil belum sepenuhnya diketahui. Eosinofil mempunyai kemampuan fagositosis yang lemah dan tidak dapat membunuh bakteri. Eosinofil berfungsi dalam reaksi antigen-antibodi seperti serangan asma dan alergi. Jumlah eosinofil meningkat dalam infeksi yang disebabkan oleh parasit. Basofil bermigrasi menuju jaringan-jaringan dalam tubuh membawa heparin dan histamin serta faktor pengaktivasi platelet. Basofil berperan sebagai sel mast dalam reaksi alergi (Greenberg & Glick, 2003) Agranulosit dibagi menjadi 2, yaitu monosit dan limfosit. Monosit merupakan sel yang belum dewasa (immature) saat berada di dalam sirkulasi darah. Setelah sampai ke jaringan, monosit akan berubah menjadi bentuk dewasanya yaitu makrofag. Makrofag memiliki peran penting dalam sistem imun seperti proses presentasi antigen untuk menginisiasi respon limfosit, sekresi lisosom, komplemen, sitokin, serta aktivasi dan mobilisasi dari leukosit lain. Limfosit merupakan sel utama yang berperan dalam imunitas. Limfosit terbentuk dari sel punca dalam sumsum tulang yang kemudian bermigrasi menuju jaringan limfatik seperti kelenjar limfa, timus, dan lapisan mukosa pada saluran cerna. Ada 2 tipe dari limfosit, yaitu thymus-dependent lymphocyte (Limfosit T) dan non-thymus-dependent lymphocyte (limfosit B) (Greenberg & Glick, 2003). Pemeriksaan jumlah leukosit penting untuk melihat respon tubuh terhadap berbagai hal seperti infeksi, inflamasi, alergi, imunodefisiensi dan
22
kanker (leukimia dan limfoma). Pemeriksaan ini juga dapat digunakan untuk memonitor
respon
terhadap
kemoterapi,
growth
factors
dan
terapi
immunosupresif. Jumlah total leukosit yang kurang dari normal disebut leukopenia, sedangkan jumlah total leukosit yang lebih dari normal disebut leukositosis. Leukopenia dapat diakibatkan oleh terapi seperti kemoterapi atau terapi radiasi. Selain itu, dapat juga disebabkan oleh adanya infeksi yang mengurangi jumlah leukosit dalam darah, atau abnormalitas pada sel punca seperti leukemia atau sindrom myelodisplastik. Leukositosis dapat muncul sebagai respon dari infeksi, stress, gangguan inflamasi, atau produksi berlebihan karena leukemia (Naushad & Wheeler, 2012). c. Platelet Platelet atau trombosit merupakan salah satu sel darah yang ada dalam sirkulasi darah selain eritrosit dan leukosit. Jumlahnya dalam sirkulasi merupakan yang terbanyak kedua setelah eritrosit, yaitu 150-450 x 103 / µL. Platelet manusia mempunyai ukuran kecil, yaitu 2-4 x 0,5 µm dengan volume 7-11 fL. Pada umumnya, umur platelet dalam sirkulasi adalah kurang lebih 10 hari (George, 2000). Jumlah platelet normal pada tikus galur SD jantan dan betina adalah 700-1500 x 103 / µL (Gad, 2007). Platelet merupakan sel yang multifungsi dan terlibat dalam banyak proses fisiologi tubuh seperti hemostasis (pembekuan darah), konstriksi dan perbaikan pembuluh darah, inflamasi pada pembetukan atherosklerosis, bahkan perlindungan terhadap growth factor dan metastasis dari tumor. Ukurannya yang kecil menyebabkan platelet dapat dengan mudah menuju ujung dari
23
pembuluh darah sasaran dan menempatkan diri pada tempat yang optimal dalam pembuluh darah (Harrison, 2005). Abnormalitas dari jumlah platelet dapat menimbulkan 2 kondisi, yaitu trombositosis apabila jumlahnya melebihi normal, dan trombositopenia apabila jumlahnya kurang dari normal. Berdasarkan penyebabnya, trombositosis dibagi menjadi 2, yaitu trombositosis primer, apabila penyebabnya terletak pada abnormalitas hematopoiesis, dan trombositosis sekunder, apabila penyebabnya merupakan penyebab eksternal seperti xenobiotik, inflamasi kronis, kanker, defisiensi zat besi, dan rebound setelah splenectomy (Skoda, 2009). Penyebab dari trombositopenia lebih banyak dibandingkan trombositosis, antara lain adalah autoimun, obat-obatan seperti heparin dan aspirin, kemoterapi, infeksi dan/atau sepsis, dan splenomegali (Sekhon & Roy, 2005). d. Hemoglobin Hb merupakan molekul protein yang terdapat di dalam eritrosit. Fungsi utama dari Hb adalah pertukaran gas dalam tubuh. Hb berfungsi untuk transport oksigen dari paru-paru menuju seluruh jaringan dalam tubuh. Selain itu, Hb juga dapat mengikat karbon dioksida dari jaringan dan dibawa menuju paru-paru untuk ditukarkan dengan oksigen kembali (Loukopoulos, 2002). Kadar Hb normal pada tikus galur SD jantan adalah 13,0-17,0 g/dL dan pada tikus betina adalah 11,0-17,0 g/dL. (Gad, 2007). Abnormalitas bawaan pada Hb disebut juga hemoglobinopati. Hemoglobinopati ada 2, yaitu anemia sel sabit dan talasemia. Kedua penyakit ini disebabkan oleh adanya abnormalitas pada pembentukan senyawa Hb. Pada
24
anemia sel sabit, terdapat abnormalitas pada rantai β dari Hb yang mengakibatkan perubahan struktur dari Hb. Perubahan ini mengakibatkan tekanan oksigen menurun atau peningkatan pH darah kemudian Hb akan membentuk kristal berbentuk sabit dalam eritrosit. Sel sabit ini dapat menyebabkan sumbatan dalam pembuluh darah terutama pada ujung-ujung kapiler darah. Pada talasemia, abnormalitas terletak pada defisiensi sintesis rantai α atau β molekul Hb. Hal ini akan mengakibatkan anemia mikrositik (ukuran eritrosit lebih kecil dari normal) dan hipokromik (jumlah Hb lebih sedikit dari normal). Kedua penyakit tersebut merupakan penyakit bawaan dan dapat diturunkan (Greenberg & Glick, 2003). Penurunan kadar eritrosit yang disebabkan oleh xenobiotik juga dapat mempengaruhi kadar Hb dalam darah (Klaassen dkk., 2001). e. Hematokrit Hct atau PCV menunjukkan proporsi eritrosit dari darah dalam suatu volume, umumnya ditunjukkan dalam nilai persen (%). Nilai Hct sangat penting dalam menentukan viskositas darah (Salazar dkk., 2008). Viskositas darah berbanding terbalik dengan kecepatan aliran darah. Dengan diameter pembuluh darah yang sangat kecil, peningkatan Hct dapat mengurangi aliran darah secara eksponensial (Voerman & Groeneveld, 1989). Walaupun peningkatan nilai Hct dapat meningkatkan kapasitas pengikatan oksigen tetapi viskositas darah yang tinggi akan mengurangi aliran darah dan perfusi menuju jaringan. Hal ini menunjukkan bahwa nilai Hct mempunyai nilai yang optimal. Pada manusia, nilai Hct normal adalah 40-54% untuk laki-laki dan 36-46%
25
untuk perempuan (Fan dkk., 1980). Nilai Hct normal pada tikus galur SD jantan adalah 41-58 % dan pada tikus betina adalah 39-55 % (Gad, 2007). Nilai Hct merupakan parameter yang dinamis dan dapat berubah dengan cepat dan signifikan berdasarkan pengaruh psikologis, patofisiologis dan psikosomatik (Isbister, 1987). Peningkatan nilai Hct secara akut dapat disebabkan oleh berkurangnya volume intravaskular atau fluid loss yang menyebabkan peningkatan jumlah eritrosit secara relatif (Baskurt & Meiselman, 2003). Peningkatan nilai Hct secara kronis dapat disebabkan oleh penyakit seperti polisitemia, yaitu peningkatan produksi eritrosit sehingga kadarnya melebihi normal (Isbister, 1987). f. Mean Corpuscular Volume, Mean Corpuscular Hemoglobin & Mean Corpuscular Hemoglobin Concentration Mean corpuscular volume atau MCV merupakan suatu nilai yang menunjukkan volume rata-rata dari eritrosit (Curry & Staros, 2012). Nilai MCV dapat dihitung menggunakan alat analisis hematologi secara otomatis (Lichtman dkk., 2010) atau dihitung dari nilai hematocrit dan eritrosit dengan rumus : MCV (fl) = (Hct [L/L] / RBC [1012/L]) x 1000. Nilai normal MCV pada manusia dewasa sehat adalah 80-96 fl (McPherson & Pincus, 2011). nilai MCV rendah mengindikasikan mikrositik (ukuran eritrosit kecil), nilai MCV normal mengindikasikan normositik (ukuran eritrosit normal), dan nilai MCV tinggi mengindikasikan makrositik (ukuran eritrosit besar) (Curry & Staros, 2012) Nilai MCV berguna untuk menentukan tipe anemia berdasarkan
26
morfologi dari eritrosit (Lichtman dkk., 2010). Nilai MCV normal pada tikus galur SD jantan dan betina adalah 55-65 fL (Gad, 2007). Mean corpuscular hemoglobin atau MCH merupakan suatu nilai yang menunjukkan bobot rata-rata atau massa dari Hb dalam eritrosit. MCH tidak diukur secara langsung tetapi dihitung menggunakan konsentrasi Hb dan eritrosit dengan rumus : MCH = Hb (g/L) / RBC (1012/L). Nilai MCH normal pada manusia dewasa sehat adalah 27-33 pg (McPherson & Pincus, 2011). MCH dapat digunakan untuk menentukan tipe anemia hipokromik (nilai Hb rendah), normokromik (nilai Hb normal) dan hiperkromik (nilai Hb tinggi). Nilai MCH harus selalu didampingi dengan nilai MCV karena volume sel dapat mempengaruhi konten dari Hb yang terdapat dalam sel, dan nilai MCH dapat berubah tergantung dari MCV (Lichtman dkk., 2010). Dalam hal ini, parameter MCHC lebih baik dalam menentukan jenis anemia (Jones, 2001). Nilai MCH normal pada tikus galur SD jantan adalah 16-22 pg dan pada tikus betina adalah 17-22 pg (Gad, 2007). Mean corpuscular hemoglobin concentration atau MCHC merupakan suatu nilai yang menunjukkan konsentrasi rata-rata dari Hb dalam suatu volume eritrosit. Nilai MCHC dihitung dengan menggunakan konsentrasi Hb dan Hct dengan rumus : MCHC = Hb (g/dL) / Hct (L/L). Nilai normal MCHC pada manusia dewasa sehat adalah 33-36 g/dL (McPherson & Pincus, 2011). Nilai MCHC normal pada tikus galur SD jantan dan betina adalah 28-34 g/dL (Gad, 2007).
27
MCV, MCH dan MCHC merupakan indikator dari eritrosit yang umum digunakan untuk diagnosis diferensial dari anemia (Lichtman dkk., 2010). Secara umum, anemia berdasarkan morfologi eritrosit dibagi menjadi 3, yaitu anemia mikrositik-hipokromik (nilai MCV dan MCH rendah), anemia makrositik (nilai MCV tinggi), dan anemia normositik-normokromik (nilai MCV dan MCH normal). Penyebab dari ketiga penyakit tersebut berbeda-beda. Penyebab umum dari anemia mikrositik-hipokromik antara lain defisiensi besi, penyakit kronis, talasemia dan anemia sideroblastik. Penyebab umum dari anemia makrositik antara lain defisiensi asam folat, defisiensi vitamin B12, penyakit liver, anemia hemolitik, hipotiroidisme, peminum alkohol berat, anemia aplastik dan sindrom myelodisplastik. Penyebab umum dari anemia normositik-normokromik antara lain penyakit kronik, pendarahan akut, anemia hemolitik, penyakit ginjal, dan anemia aplastik (McPherson & Pincus, 2011). Selain karena penyebab-penyebab penyakit di atas, nilai MCV, MCH dan MCHC dapat berubah karena faktor lain. Nilai MCV dapat meningkat karena adanya aglutinasi eritrosit atau hiperglikemia yang menyebabkan eritrosit mengalami peningkatan volume. Nilai MCH dan MCHC dapat berubah karena adanya hiperlipidemia yang dapat mengganggu pengukuran kedua parameter tersebut (Greer dkk., 2009).
6. Parameter Urin Urin merupakan cairan biologis yang dikeluarkan oleh tubuh makhluk hidup untuk mengekskresikan sisa-sisa metabolisme. Urin sering digunakan
28
sebagai parameter uji suatu senyawa karena selain mudah dikoleksi, kandungan metabolit dalam urin dapat menggambarkan kondisi fisiologis makhluk hidup tersebut (Saude, dkk., 2007). Parameter urin yang umum digunakan antara lain adalah warna dan bau, specific gravity, pH, bercak darah, protein, glukosa, bilirubin dan lain-lain. Penyebab-penyebab abnormalitas dari parameter-parameter tersebut dapat dilihat pada Tabel I. Tabel I. Penyebab Non-Patologis dan Patologis Abnormalitas Parameter Urin (Patel, 2006) Parameter Penyebab Non-Patologis Penyebab Patologis Specific Rendah : Polidipsi Rendah : DI, disfungsi tubular Gravity Tinggi : Intake air rendah Tinggi : Deplesi volume Rendah : Diet tinggi protein Rendah : Asidosis pH Tinggi : Diet rendah protein, setelah Tinggi : Asidosis tubular, UTI makan Gangguan glomerular, gangguan Bercak Menstruasi, trauma kateterisasi, olah tubular, UTI, batu ginjal, Darah raga hiperkalsiuria, trauma pada saluran urin, tumor Protein Proteinuria ortostatik, demam, olah raga Gangguan glomerular, gangguan tubular, UTI Glukosa Renal glikosuria DM, Fanconi syndrome Keton Intake karbohidrat yang terbatas DM Bilirubin Tidak ada Hepatitis, obstruksi empedu Urobilinogen Rendah : terapi antibiotik sistemik Hepatitis, hemolisis intravaskular Nitrit Tidak ada UTI UTI, glomerulonefritis, inflamasi LE Demam pelvis
7. Parameter Histopatologi Histopatologi merupakan cabang dari patologi, yaitu ilmu yang dipusatkan untuk menemukan dan mendiagnosis penyakit dari hasil pemeriksaan jaringan. Histopatologi meliputi pemeriksaan jaringan disertai sampel jaringan untuk pemeriksaan mikroskopik. Mayoritas histopatologis dilakukan dari potongan
jaringan
(Underwood, 1994).
blok
parafin
dengan
pewarnaan
hematoksilin-eosin
29
Respon histopatologi dapat berupa perubahan morfologi atau struktural dalam berbagai wujud. Beberapa perubahan yang dapat terjadi antara lain : a. Radang Radang merupakan respon fisiologi lokal terhadap cedera jaringan. Radang bukan suatu penyakit melainkan suatu manifestasi suatu penyakit. Radang
dapat
mempunyai
pengaruh
yang
menguntungkan,
seperti
penghancuran mikroorganisme yang masuk dan pembuatan dinding pada rongga abses sehingga mencegah penyebaran infeksi. Di sisi lain, mekanisme tersebut juga dapat memproduksi penyakit seperti pembentukan fibrosis akibat radang kronis yang dapat mengakibatkan terjadinya distorsi jaringan yang permanen dan menyebabkan gangguan fungsinya. Berbagai penyebab radang antara lain yaitu infeksi mikrobial, reaksi hipersensitivitas terhadap parasit atau basil tuberkulosis, terjadinya trauma, radiasi pengion, respon terhadap panas atau dingin, senyawa kimiawi dan jaringan nekrosis (Underwood, 1994). b. Edema Edema merupakan suatu keadaan dimana terjadi kelebihan cairan dalam ruangan interseluler jaringan. Efusi serosa merupakan kelebihan cairan di dalam rongga serosa atau rongga selomik (misalnya rongga peritoneal dan pleura). Bahan utama cairan selalu air dan mengandung sebagian protein. Edema dan efusi serosa mempunyai patogenesis serupa (Underwood, 1994). c. Nekrosis Nekrosis adalah kematian sel atau jaringan pada organisme hidup tetapi tidak terikat oleh penyebabnya. Nekrosis merupakan proses patologis
30
setelah terjadinya cedera sel dan lebih sering mengenai suatu jaringan yang padat (Underwood, 1994). Organ-organ vital yang sering digunakan untuk analisis histopatologi antara lain adalah hepar, ginjal, limpa dan paru-paru. a. Hepar Hepar merupakan organ terbesar kedua dalam tubuh setelah kulit dan merupakan kelenjar terbesar dengan berat sekitar 1,5 kg. Organ ini terletak dalam rongga perut di bawah diafragma. Hepar merupakan organ tempat pengolahan dan penyimpanan nutrien yang diserap dari usus halus untuk dipakai oleh bagian tubuh lainnya. Hepar menjadi perantara antara sistem pencernaan dan sirkulasi darah. Darah yang menuju hepar 70-80 % berasal dari vena porta, dan sisanya berasal dari arteri hepatika. Seluruh materi yang diserap melalui usus tiba di hati melalui vena porta, kecuali lipid kompleks (kilomikron), yang terutama diangkut melalui pembuluh limfe. Posisi hati dalam sistem sirkulasi sangat cocok untuk menampung, menetralisasi dan mengumpulkan metabolit serta untuk menetralisasi dan mengeluarkan zat toksik. Pengeluaran ini terjadi melalui empedu, yakni suatu sekret eksokrin dari hati yang penting untuk pencernaan lipid. Hepar juga memiliki fungsi penting untuk menghasilkan protein plasma. (Junqueira & Carneiro, 2003). Struktur morfologi sel hepar terdiri dari hepatosit, liposit (sel penyimpan lemak), sel Kupffer (fagosit), sel endotel dan jaringan ikat (Greaves, 2012). Banyak literatur menyebutkan bahwa xenobiotik dapat menyebabkan kerusakan hepar pada manusia dan hewan laboratorium. Hal membuktikan
31
bahwa toksisitas terhadap hepar dari suatu senyawa kimia juga dapat berpotensi menyebabkan ketoksikan pada hepar manusia dengan korelasi hampir 70% (Greaves, 2012). a. Ginjal Ginjal memiliki aliran darah yang banyak sehingga menyebabkan selsel parenkimnya dapat terpejankan senyawa kimia walaupun senyawa tersebut hanya terdapat sedikit dalam sirkulasi darah. Konsumsi oksigen tinggi oleh ginjal menyebabkan organ tersebut sensitif terhadap iskemia dan deplesi volume. Kemampuan ginjal untuk memekatkan senyawa toksik juga merupakan resiko yang lebih besar lagi sebagai penyebab kerusakan (Greaves, 2000) b. Limpa Limpa merupakan organ limfoid terbesar dalam tubuh. Karena banyaknya sel fagositik dan kontak sel-sel ini yang erat dengan darah, limpa menjadi pertahanan penting terhadap mikroorganisme yang berhasil memasuki peredaran darah. Organ ini juga menjadi tempat penghancuran eritrosit yang sudah mencapai batas umurnya (120 hari). Sebagaimana halnya organ limfoid lain, limpa adalah tempat produksi limfosit aktif yang kemudian akan masuk ke dalam darah (Junqueira & Carneiro, 2003). Efek toksik dari senyawa kimia yang mempengaruhi sistem limfoid dan hemopoietik dapat menyebabkan perubahan morfologis pada beberapa kompartmen dari limpa (Greaves, 2012)
32
c. Paru-paru Paru-paru merupakan organ yang elastis dan terletak di dalam rongga dada. Paru-paru pada manusia terdiri dari paru-paru kanan dan paru-paru kiri. Paru-paru sebelah kiri mempunyai 2 lobus (atas dan bawah) dan paru-paru sebelah kanan mempunyai 3 lobus (atas, tengah dan bawah). Paru pada mencit juga terdiri dari paru kanan dan paru kiri dengan jumlah lobus yang berbeda. Hal ini menyebabkan paru-paru kanan mempunyai berat dan ukuran yang lebih besar daripada paru-paru kiri (Haschek & Rousseaux, 1991). Beberapa kelainan yang terdapat dalam paru-paru adalah radang (pneumonia), atelektasis, emfisema dan bronkopneumonia. Pneumonia merupakan suatu radang akut dan menular pada paru-paru. Paru-paru yang mengalami pneumonia ditandai dengan adanya sel-sel radang pada tempat yang mengalami pneumonia. Pneumonia dapat disebabkan oleh bakteri, virus, cacing, jamur atau senyawa kimia. (Haschek & Rousseaux, 1991).
F. Keterangan Empirik Penelitian ini bersifat eksperimental eksploratif untuk mengetahui gambaran toksisitas subkronis pemberian produk samping kapur pembuatan pupuk ZA oleh PT. Petrokimia Gresik pada tikus jantan dan betina galur SD dilihat dari gejala toksik dan wujud efek toksik serta pengaruh dosis terhadap luas spektrum efek toksik ditinjau dari parameter : berat badan, asupan makanan, minuman, hematologi, urin dan histopatologi jika sediaan diberikan sekali sehari secara oral selama 90 hari.