BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan merupakan sekumpulan pohon-pohon atau tumbuhan berkayu lainnya yang pada kerapatan dan luasan tertentu mampu menciptakan iklim setempat serta keadaan ekologis berbeda dengan di luarnya (Spurr 1973). Berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. Luas hutan Indonesia tahun 2013 yaitu 101.753.863 Ha. Hutan tersebut diklasifikasikan sesuai dengan fungsinya menjadi hutan lindung 29.917.582,84 Ha, hutan produksi
terbatas 27.686.675,01
Ha, hutan produksi
tetap
28.897.172,55 Ha dan hutan produksi yang dapat dikonversi 15.252.433 Ha (Kementrian Kehutanan, 2013). Ada berbagai macam manfaat hutan yang dapat diperoleh baik dari segi ekologi, ekonomi dan sosial. Salah satu manfaat dari segi ekologi yaitu terjaganya tata air, memperkecil terjadinya banjir dan erosi. Sedangkan dari segi ekonomi hutan dapat memberikan hasil hutan baik berupa kayu maupun non kayu yang dapat digunakan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidup dan dari segi sosial yaitu masyarakat dapat memiliki pekerjaan dengan cara mengelola hutan yang ada. Di Indonesia terutama di Jawa, pemanfaatan hutan yang paling besar yaitu pemanfaatan berupa kayu. Kayu yang paling banyak diminati oleh masyarakat
1
adalah jenis kayu jati karena kayu ini memiliki berbagai keunggulan, diantaranya yaitu memiliki keawetan dan kekuatan yang tinggi serta mudah dalam pengerjaan. Martawijaya et al. (1989), menggolongkan kayu jati dalam kelas awet II dan kelas kuat II. Kayu jati juga merupakan kayu yang memiliki nilai dekoratif yang indah karena lingkar tahun dari kayu jati terlihat jelas yang menambah keindahan penampilan yang menarik dan berkesan mewah. Kayu jati banyak digunakan oleh masyarakat luas sebagai kusen pintu, meja, dipan, tiang, gelagar maupun segala jenis konstruksi yang lainnya. Perhutani sebagai pengelola hutan di Jawa merupakan salah satu pemasok kayu jati bagi industri perkayuan di Indonesia. Luas hutan Perum Perhutani tahun 1990an mencapai 3.025.992,73 Ha akan tetapi pada tahun 2000 terjadi illegal logging yang mengurangi luas hutan menjadi 1.811.814 Ha (Probo, 2008). Jati (Tectona grandis) telah lama dikenal sebagai kayu yang berkualitas. Dengan kondisi kelas kuat dan kelas awetnya yang tinggi, jati banyak dibutuhkan untuk bahan bangunan, bahan furniture maupun barang kerajinan (Sumarna, 2007). Namun, semenjak terjadinya penjarahan hutan tahun 1998 yang meluluhlantakkan ratusan ribu hektar hutan mengakibatkan struktur hutan yang dikelola Perum Perhutani didominasi oleh tegakan hutan usia muda dan kelas hutan tidak produktif. Hal ini menyebabkan terjadinya penurunan jatah tebangan yang kemudian berpengaruh terhadap berkurangnya pendapatan perusahaan (Yuwono, 2009). Mengingat permintaan akan kebutuhan kayu yang semakin meningkat, maka penggunaan kayu jati yang berasal dari hutan rakyat juga menjadi salah satu
2
alternatif untuk memenuhi kebutuhan kayu khususnya di pulau Jawa. Potensi hutan rakyat di Indonesia sangat besar yaitu 1.271.505,61 Ha, dengan jumlah perkiraan tegakan di dalamnya sebanyak 42.965,51. Jawa tengah mempunyai lahan hutan rakyat yang terluas, yaitu 198.790,02 Ha dengan perkiraan potensi tegakan sebanyak 12.557.702 pohon. (Sahadat dan Sabarui, 2007). Adapun jenis tanaman yang paling banyak di tanam di hutan rakyat, diantaranya adalah tanaman kayu-kayuan seperti Sengon (Albizia falcataria),Mahoni (Swietenia macrophylla), Jati (Tectona gradis), Akasia (Acacia mangium), Sonokeling (Dalbergia latifolia), Gamal (Inocarpus edulis), Mindi (Melia azadarah) (Sahadat dan Sabarui, 2007). Pemanfaatan kayu dari hutan rakyat dilakukan dengan tujuan untuk memenuhi kekurangan kebutuhan kayu bagi masyarakat karena selain jumlah kayu yang terbatas akibat illegal logging, kayu yang berasal dari Perum Perhutani harganya sangat mahal. Di Yogyakarta khususnya di Kabupaten Kulon Progo ada sebuah koperasi yang khusus mengelola hasil kayu dari hutan rakyat yang bernama Koperasi Wana Lestari Menoreh. Koperasi ini awalnya di bentuk melalui program Community Logging. Tujuan utama Koperasi Wana Lestari Menoreh yaitu menciptakan lapangan pekerjaan dan meningkatkan pendapatan masyarakat dengan cara mengupayakan kenaikan harga kayu melalui jaringan pasar baik pasar lokal, nasional dan internasional. Ada tiga aspek yang ingin dicapai oleh Koperasi Wana Lestari Menoreh yaitu meliputi aspek kelestarian produksi, kelestarian ekologi dan aspek sosial. Pengelolaan hutan rakyat dilakukan untuk proses menuju sertifikasi dengan memprioritaskan 3 kecamatan di Kabupaten
3
Kulon Progo yaitu Samigaluh, Kalibawang, dan Giripurwo, yang terdiri dari 15 desa dengan total potensi 8.300 Ha. Saat ini koperasi telah melakukan pengelolaan hutan rakyat seluas 280 Ha. Koperasi Wana Lestari Menoreh telah menyepakati pengelolaan hutan dan pengolahan kayunya untuk 4 jenis pohon yaitu jati, mahoni, sengon, dan sonokeling (Anonim, 2015). Jika dibandingkan dengan kayu Perum Perhutani, kayu yang berasal dari hutan rakyat memiliki harga jual yang lebih murah. Hal ini disebabkan oleh banyak anggapan bahwa kayu yang berasal dari hutan rakyat memiliki kekuatan dan keawetan yang kurang. Akan tetapi sebenarnya tidak semua kayu yang berasal dari hutan rakyat merupakan kayu yang berkualitas rendah karena ada juga kayu dari hutan rakyat yang di tebang ketika sudah mencapai umur daur. Salah satu cara untuk mengetahui kekuatan kayu yang berasal dari hutan rakyat yaitu dengan mengetahui sifat fisika dan mekanika kayu. Sifat mekanika kayu merupakan sifat yang berhubungan dengan kekuatan kayu untuk menahan gaya luar yang bekerja pada kayu tersebut dimana gaya tersebut cenderung untuk mengubah bentuk serta ukuran kayu terseut (Bowyer et al, 2003). Sifat mekanika kayu diantaranya yaitu modulus elastisitas (MoE) dan modulus patah (MoR). Banyak penelitian sebelumnya mengenai berat jenis dan keteguhan lengkung statik kayu jati seperti penelitian Nugroho (2012) tentang kayu jati pada berbagai umur dari KPH Randublatung, Negara dan Marsoem (2010) tentang jati plus Perhutani umur 10 tahun dan Nugroho (2013) tentang kayu jati berbagai umur dari KPH Kendal. Beberapa penelitian sebelumnya belum ada yang melakukan penelitian terhadap berat jenis dan keteguhan lengkung statik
4
kayu jati yang berasal dari hutan rakyat. Mengingat pertimbangan di atas, maka penelitian mengenai berat jenis dan keteguhan lengkung statik kayu dengan membandingkan arah aksial (dari pangkal ke ujung pohon) dan arah radial (dekat kulit, tengah, dan dekat hati) perlu dilakukan. Hasil penelitian tersebut diharapkan menjadi informasi penting dalam menentukan harga jual berdasarkan kualitas kayu di Koperasi Wana Lestari Menoreh. B. Tujuan Penelitian 1. Mengetahui pengaruh arah aksial dan radial terhadap sifat fisika dan sifat mekanika kayu jati yang tumbuh di hutan rakyat Kecamatan Samigaluh Kulon Progo 2. Mengetahui pengaruh interaksi arah aksial dan radial terhadap sifat fisika dan sifat mekanika kayu jati yang tumbuh di hutan rakyat Kecamatan Samigaluh Kulon Progo C. Manfaat Penelitian Memberikan informasi tentang perbedaan sifat fisika dan sifat mekanika kayu pada arah aksial dan arah radial kayu jati dari hutan rakyat di Kecamatan Samigaluh Kabupaten Kulon Progo untuk meningkatkan harga jual kayu.
5