BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Permasalahan Pada masa sekarang ini masalah penyalahgunaan narkoba menjadi sebuah persoalan yang besar dihadapi bangsa Indonesia. Salah satu contoh adalah sebagaimana yang dikemukakan oleh Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Barat, Happy Hariastuti, beliau mengatakan 90 persen kasus yang ditangani kejaksaan adalah berkaitan dengan narkoba.1 Pernyatan dari Kajari Jakarta Barat (Jakbar) ini membuktikan bahwa masalah penyalahgunaan narkoba memang masalah besar yang dihadapi bangsa Indonesia. Setiap bulan sekitar 200 sampai 300 kasus narkoba ditangani kejaksaan, demikian dikatakan Happy, Senin, 14 Mei 2012. Menurutnya, omzet perdagangan narkoba tersebut bernilai miliaran rupiah. Dari Januari 2012 hingga April 2012 kasus yang diperkarakan di Kejari Jakbar berjumlah 668. Dari kasus tersebut 467 merupakan kasus narkoba. Telah ditahan 519 orang berkaitan dengan kasus narkoba tersebut.2 Jadi ada sekitar 69,9 % kasus narkoba yang ditangani Kajari Jakbar. Jumlah kasus narkoba sebesar ini baru dalam satu Kejari di Jakbar. Bagaimana jika kita totalkan dengan Kajari di seluruh Indonesia, tentu sungguh luar biasa besar jumlahnya. Penyalahgunaan narkotika di Indonesia memang dari hari kehari semakin meningkat dan nampaknya semakin sulit dicegah.
Badan Narkotika Nasional (BNN) mencatat
bahwa pengguna NARKOBA (Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif
lainnya) di
Indonesia ada sekitar 3,2 juta orang, atau sekitar 1,5 persen dari jumlah penduduk negeri ini. Dari jumlah tersebut, sebanyak 8.000 orang menggunakan narkotika dengan alat bantu berupa jarum suntik, dan 60 persennya terjangkit HIV/AIDS, serta sekitar 15.000 orang 1 2
Republika, Senin, 14 Mei 2012 Ibid.
1
meninggal setiap tahun karena menggunakan napza (narkotika, psikotropika dan zat adiktif) lain.3 Informasi terbaru yang disampaikan oleh Susanto, dari BNN Jawa Tengah mengemukakan
bahwa menurut data yang diperoleh BNN, dalam tahun 2001-2006
tercatat jumlah kasus narkotika meningkat dari 3.617 kasus menjadi 17.355 kasus, dengan kenaikan rata-rata kasus sebesar 42,4% per tahun. Dari kasus-kasus tersebut, tercatat bahwa jumlah tersangka meningkat dari 4.924 orang pada tahun 2001. Sedangkan, pada tahun 2006 menjadi 31.635 orang atau meningkat rata-rata 49,5% per tahun. Data
dari
tahun 1970–2008 selama 38 tahun sejak narkotika menjadi candu di Indonesia, jumlah penggunanya telah meningkat sebanyak 200 kali lipat lebih atau 20.000%.4 Karena besarnya peningkatan angka pengguna narkoba, maka Indonesia harus memberikan perhatian khusus dalam masalah narkoba. Dalam Sidang Umum ICPO (International Criminal Police Organization) ke-66 tahun 1997 di India yang diikuti seluruh anggota yang berjumlah 177 negara dari Benua Amerika, Asia, Eropa, Afrika, dan Australia, dikatakan Indonesia masuk dalam daftar tertinggi negara-negara yang menjadi sasaran peredaran obat-obatan jenis psikotropika seperti ecstasi, disejajarkan antara lain dengan Jepang, Thailand, Malaysia, Philipina dan Hongkong.5 Terbukti kini, bahwa Indonesia bukan lagi sekedar wilayah transit atau wilayah pemasaran narkoba, ecstasi ataupun zat adiktif lainnya, akan tetapi telah menjadi salah satu negara eksportir pil setan itu. Hal ini terungkap dengan tertangkapnya tiga pria Indonesia di Bandara Hongkong pada tahun 1999, karena terbukti akan menyelundupkan ecstasi buatan Indonesia itu ke Cina.6 3
Sumber: rethacuaemlive.blogspot.com, 2009, Artikel: Jumlah Pengguna Narkoba di Indonesia, di unduh dari http://dunia-narkoba.blogspot.com/2009/03/jumlah-pengguna-narkoba-diindonesia.html 4
Disampaikan dalam acara Studiun General Fak. Hukum UMM, Februari 2012. Hadiman, 1999. Narkoba: Menguak Misteri Maraknya Narkoba di Indonesia, Primer Koperasi Mitra Usaha SBIMMAS POLRI:Jakarta, hal. 1. 6 Ibid. hal. 2. 5
2
Sejak tahun 1998, polisi memperkirakan tiap bulan sekurang-kurangnya 45 kg narkotika dan psikotropika masuk ke wilayah Indonesia. Berdasarkan pengakuan tersangka yang berhasil dijaring polisi, kokain masuk ke Indonesia dari Columbia, sedangkan heroin, morfin dan putauw dari setiga emas Asia melalui Bangkok dan Singapura.7
Kenyataan ini tentu membuat kita semuanya merasa risau dan prihatin
dengan nasib anak bangsa pada masa yang akan datang, karena yang menjadi sasaran empuk penyalahgunaan narkoba adalah mereka. Berkaitan dengan penelitian ini, peneliti telah melakukan survey terhadap kasus narkoba yang sedang ditangani Kepolisian Resor Magelang. Dari survey yang telah dilakukan itu peneliti mendapatkan data, yang mana sejak tahun 2009 hingga Januari 2012 tercatat 97 kasus narkoba sedang ditangani Kepolisian Resor Magelang. Dari 97 kasus narkoba itu berdasarkan analisa singkat yang peneliti lakukan, ternyata tidaklah semua dari pelaku yang dapat dianggap melakukan penyalahgunaan atau melakukan tindak pidana penyalahgunaan narkoba. Ada diantara mereka yang bisa dianggap sebagai korban penyalahgunaan
narkoba,
namun
pihak
kepolisian
nampaknya
memposisikan/mendudukan mereka pada posisi yang sama semuanya, yaitu dijadikan sebagai pihak tersangka.
Hal ini menurut penilaian peneliti tidaklah tepat dan juga
tidaklah adil, karena memang pada kenyataannya ada orang yang benar-benar melakukan perbuatan yang dianggap sebagai tindak pidana, dan ada pula yang bisa dianggap sebagai korban. Memposisikan adanya berbedaan antara pelaku tindak pidana narkoba dengan korban penyalahgunaan narkoba, maka melahirkan suatu konsekuensi tentang pentingnya perlakuan yang berbeda antara keduanya. Supaya kita bisa mengetahui mana perbuatan yang merupakan tindak pidana penyalahgunaan narkoba dan mana yang bukan atau yang
7
Ibid. hal. 7.
3
dianggap korban penyalahgunaan narkoba, maka perlu dilakukan indetifikasi terhadap kasus narkoba yang ada. Dalam rangka mengidentifikasi kasus narkoba di Magelang itulah, penelitian dengan judul: IDENTIFIKASI KASUS NARKOBA DI WILAYAH HUKUM KEPOLISIAN RESOR MAGELANG menjadi penting untuk dilakukan.
B. Rumusan Masalah Bertumpu pada uraian latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan masalah dalam penelitian ini, sebagai berikut: a. Apa saja kategori perbuatan yang dilakukan tersangka penyalahgunaan narkoba yang sedang di tangani Kepolisian Resor Magelang? b. Apakah penerapan pasal dalam undang-undang oleh Kepolisian Resor Magelang sudah tepat untuk menyatakan si pelaku sebagai tersangka penyalahgunaan narkoba?
C. Tujuan Penelitian Sesuai dengan rumusan masalah sebagaimana telah dikemukan di atas, maka tujuan penelitian ini adalah: a. Mengidentifikasi
apa
penyalahgunaan narkoba
saja
kategori
perbuatan
yang
dilakukan
tersangka
dalam kasus yang sedang ditangani Kepolisian Resor
Magelang. b. Menilai/mengevaluasi ketepatan penerapan pasal-pasal dalam undang-undang yang dijadikan dasar oleh Kepolisian Resor Magelang untuk menyatakan si pelaku sebagai tersangka penyalahgunaan narkoba.
4
D. Kontribusi Penelitian Penelitian ini tentu sangat berguna dan penting sekali dilakukan. Hasil penelitian ini akan berguna bagi praktisi hukum (polisi, jaksa, hakim, advokat) dalam penegakan hukum penyalahgunaan narkoba. Hasil penelitian ini akan mengantarkan kita kepada suatu pengetahuan tentang penerapan hukum yang seharusnya diberikan atau dikenakan terhadap seseorang yang dianggap melakukan penyalahgunaan narkoba. Penerapan hukum dan penegakkan hukum harus berpedoman kepada prinsip kepastian, keadilan, dan kemanfaatan.8 Ketiga pilar hukum ini harus menjadi acuan dalam penegakkan hukum. Peneliti meyakini penelitian ini akan memberi kontribusi di dalam mewujudkan ketiga pilar hukum itu. Hukum harus dilaksanakan dan ditegakkan. Setiap orang mengharapkan dapat ditetapkannya hukum dalam hal terjadi peristiwa yang konkrit. Bagaimanya hukumnya itulah yang harus berlaku. Pada dasarnya tidak dibolehkan menyimpang: “Fiat justitia et pereat mundus” (meskipun dunia runtuh hukum harus ditegakkan). Itulah yang diinginkan oleh kepastian hukum. Kepastian hukum merupakan perlindungan yustisiable terhadap tindakan sewenang-wenang. Yang berarti bahwa seseorang akan dapat memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam keadaan tertentu. Masyarakat mengharapkan adanya kepastian hukum, karena dengan adanya kepastian hukum masyarakat akan lebih tertib. Hukum bertugas menciptakan kepastian hukum karena bertujuan ketertiban masyarakat.9
8 9
Sudikno Mertokusumo. 1991. Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Yogyakarta: Liberty, hal. 134. Ibid.
5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Narkoba Narkoba adalah singkatan dari narkotika dan obat/bahan berbahaya. Selain "narkoba", istilah lain yang diperkenalkan khususnya oleh Departemen Kesehatan Republik Indonesia adalah Napza yang merupakan singkatan dari Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif. Semua istilah ini, baik "narkoba" ataupun "napza", mengacu pada kelompok senyawa yang umumnya memiliki risiko kecanduan bagi penggunanya. Menurut pakar kesehatan, narkoba sebenarnya adalah senyawa-senyawa psikotropika yang biasa dipakai untuk membius pasien saat hendak dioperasi atau obat-obatan untuk penyakit tertentu. Namun kini persepsi itu disalahartikan akibat pemakaian di luar peruntukan dan dosis yang semestinya.10 Pada istilah yang lain Hari Sasangka, menyatakan bahwa: “ada beberapa akronim yang berkaitan erat dengan narkoba, misalnya: NAZA (narkotika dan zat adiktif) dan NAPZA (narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif).11 Lebih lanjut dikatakannya bahwa: “Dari akronim NAPZA, yang mempunyai arti lebih lengkap dibanding yang pertama (NAZA), maka obat yang dianggap berbahaya adalah narkotika, psikotropika dan zat adiktif.12 B. Jenis Narkoba Dari uraian di atas sudah diketahui bahwa Narkoba adalah singkatan dari narkotika dan obat/bahan berbahaya atau oleh Departemen Kesehatan Republik Indonesia disebut
10 11
Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas, diakses tgl. 10 Juni 2012.
Hari Sasangka, 2003. Narkotika dan Psikotropika dalam Hukum Pidana Untuk Mahasiswa dan Praktisi serta Penyuluh Masalah Narkoba, Bandung: Mandar Maju, hal. 4. 12 Ibid. Hal. 4-5.
6
dengan istilah Napza, yaitu singkatan dari narkotika, psikotropika dan zat adiktif. Pada uraian sub bab ini penulis akan menjelaskan satu persatu tentang jenis dari narkoba atau napza tersebut. Pertama narkotika, yaitu zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semi sintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan (Undang-Undang No. 22 tahun 1997). Yang termasuk jenis narkotika13 adalah:
1. OPIOID (OPIAD)
Opioid atau opiat berasal dari kata opium, jus dari bunga opium, Papaver somniverum, yang mengandung kira-kira 20 alkaloid opium, termasuk morfin. Nama Opioid juga digunakan untuk opiat, yaitu suatu preparat atau derivat dari opium dan narkotik sintetik yang kerjanya menyerupai opiat tetapi tidak didapatkan dari opium. opiat alami lain atau opiat yang disintesis dari opiat alami adalah heroin (diacethylmorphine), kodein (3-methoxymorphine), dan hydromorphone (Dilaudid). a) Efek Samping yang Ditimbulkan OPIOID Adapun efek samping yang ditimbulkan oleh “opioid” adalah berupa mengalami pelambatan dan kekacauan pada saat berbicara, kerusakan penglihatan pada malam hari, mengalami kerusakan pada liver dan ginjal, peningkatan resiko
13
Sumber : www.bnn.go.id, diakses, 5 September 2012.
7
terkena virus HIV dan hepatitis dan penyakit infeksi lainnya melalui jarum suntik dan penurunan hasrat dalam hubungan sex, kebingungan dalam identitas seksual, kematian karena overdosis.14 b) Gejala Intoksitasi (keracunan) OPIOID Gejala intoksitasi opioid adalah merupakan konstraksi pupil (atau dilatasi pupil karena anoksia akibat overdosis berat ) dan satu (atau lebih) tanda berikut, yang berkembang selama, atau segera setelah pemakaian opioid, yaitu mengantuk atau koma bicara cadel, gangguan atensi atau daya ingat.15 Perilaku maladaptif atau perubahan psikologis yang bermakna secara klinis misalnya: euforia awal diikuti oleh apatis, disforia, agitasi atau retardasi psikomotor, gangguan pertimbangaan, atau gangguan fungsi sosial atau pekerjaan ) yang berkembang selama, atau segera setelah pemakaian opioid.16 c) Gejala Putus Ubat Gejala putus obat dimulai dalam enam sampai delapan jam setelah dosis terakhir. Biasanya setelah suatu periode satu sampai dua minggu pemakaian kontinu atau pemberian antagonis narkotik. Sindroma putus obat mencapai puncak intensitasnya selama hari kedua atau ketiga dan menghilang selama 7 sampai 10 hari setelahnya. Tetapi beberapa gejala mungkin menetap selama enam bulan atau lebih lama.
14
Ibid. Hal. Ibid. Hal. 16 Ibid. Hal. 15
8
d) Gejala Putus Obat dari Ketergantungan OPIOID Gejala putus obat dari ketergantungan IPIOID adalah dalam bentuk kram otot parah dan nyeri tulang, diare berat, kram perut, rinorea lakrimasipiloereksi, menguap, demam, dilatasi pupil, hipertensi takikardia disregulasi temperatur, termasuk pipotermia dan hipertermia. Seseorang dengan ketergantungan opioid jarang meninggal akibat putus opioid, kecuali orang tersebut memiliki penyakit fisik dasar yang parah, seperti penyakit jantung.17 Gejala residual seperti insomnia, bradikardia, disregulasi temperatur, dan kecanduan opiat mungkin menetap selama sebulan setelah putus zat. Pada tiap waktu selama sindroma abstinensi, suatu suntikan tunggal morfin atau heroin menghilangkan semua gejala. Gejala penyerta putus opioid adalah kegelisahan, iritabilitas, depresi, tremor, kelemahan, mual, dan muntah.18 d) Turunan OPIOID (OPIAD) yang sering disalahgunakan adalah : (1) Candu
Getah
tanaman
Papaver
Somniferum
didapat
dengan
menyadap
(menggores) buah yang hendak masak. Getah yang keluar berwarna putih dan dinamai "Lates". Getah ini dibiarkan mengering pada permukaan buah sehingga berwarna coklat kehitaman dan sesudah diolah akan menjadi suatu adonan yang menyerupai aspal lunak. Inilah yang dinamakan candu mentah atau candu kasar. Candu kasar mengandung bermacam-macam zat-zat aktif 17 18
Ibid.hal. Ibid. Hal.
9
yang sering disalahgunakan. Candu masak warnanya coklat tua atau coklat kehitaman. Diperjual belikan dalam kemasan kotak kaleng dengan berbagai macam cap, antara lain ular, tengkorak,burung elang, bola dunia, cap 999, cap anjing, dsb. Pemakaiannya dengan cara dihisap. (2) Morfin
Morfin adalah hasil olahan dari opium/candu mentah. Morfin merupaakan alkaloida utama dari opium ( C17H19NO3 ). Morfin rasanya pahit, berbentuk tepung
halus
berwarna
putih atau
dalam
bentuk
cairan
berwarna.
Pemakaiannya dengan cara dihisap dan disuntikkan.19 (3) Heroin ( putaw )
Heroin mempunyai kekuatan yang dua kali lebih kuat dari morfin dan merupakan jenis opiat yang paling sering disalahgunakan orang di Indonesia pada akhir-akhir ini . Heroin, yang secara farmakologis mirip dengan morfin menyebabkan orang menjadi mengantuk dan perubahan mood yang tidak menentu. Walaupun pembuatan, penjualan dan pemilikan heroin adalah ilegal, tetapi diusahakan heroin tetap tersedia bagi pasien dengan penyakit kanker terminal karena efek analgesik dan euforik-nya yang baik.
19
Ibid. Hal.
10
(4) Codein
Codein termasuk garam / turunan dari opium /candu. Efek codein lebih lemah daripada heroin, dan potensinya untuk menimbulkan ketergantungaan rendah. Biasanya dijual dalam bentuk pil atau cairan jernih. Cara pemakaiannya ditelan dan disuntikkan.20 (5) Demerol
Nama lain dari Demerol adalah pethidina. Pemakaiannya dapat ditelan atau dengan suntikan. Demerol dijual dalam bentuk pil dan cairan tidak berwarna. (6) Methadon
Saat ini Methadone banyak digunakan orang dalam pengobatan ketergantungan opioid. Antagonis opioid telah dibuat untuk mengobati overdosis opioid dan ketergantungan opioid. Sejumlah besar narkotik sintetik
20
Ibid. hal
11
(opioid) telah dibuat, termasuk meperidine (Demerol), methadone (Dolphine), pentazocine (Talwin), dan propocyphene (Darvon). Saat ini Methadone banyak digunakan orang dalam pengobatan ketergantungan opioid. Antagonis opioid telah dibuat untuk mengobati overdosis opioid dan ketergantungan opioid. Kelas obat tersebut adalah nalaxone (Narcan), naltrxone (Trexan), nalorphine, levalorphane, dan apomorphine. Sejumlah senyawa dengan aktivitas campuran agonis dan antagonis telah disintesis, dan senyawa tersebut adalah pentazocine, butorphanol (Stadol), dan buprenorphine (Buprenex). Beberapa penelitian telah menemukan bahwa buprenorphine adalah suatu pengobatan yang efektif untuk ketergantungan opioid. Nama popoler jenis opioid : putauw, etep, PT, putih.21 (7) Kokain
Kokain adalah zat yang adiktif yang sering disalahgunakan dan merupakan zat yang sangat berbahaya. Kokain merupakan alkaloid yang didapatkan dari tanaman belukar Erythroxylon coca, yang berasal dari Amerika Selatan, dimana daun dari tanaman belukar ini biasanya dikunyah-kunyah oleh penduduk setempat untuk mendapatkan efek stimulan.22 Saat ini kokain masih digunakan sebagai anestetik lokal, khususnya untuk pembedahan mata, hidung dan tenggorokan, karena efek vasokonstriksifnya juga membantu. Kokain diklasifikasikan sebagai suatu narkotik, bersama
21 22
Ibid. Hal. Ibid. Hal.
12
dengan morfin dan heroin karena efek adiktif dan efek merugikannya telah dikenali. Nama lain untuk Kokain : Snow, coke, girl, lady dan crack ( kokain dalam bentuk yang paling murni dan bebas basa untuk mendapatkan efek yang lebih kuat ). -
Efek Samping yang Ditimbulkan Kokain digunakan karena secara karakteristik menyebabkan elasi, euforia, peningkatan harga diri dan perasan perbaikan pada tugas mental dan fisik. Kokain dalam dosis rendah dapat disertai dengan perbaikan kinerja pada beberapa tugas kognitif.
-
Gejala Intoksitasi Kokain Pada penggunaan kokain dosis tinggi gejala intoksikasi dapat terjadi, seperti agitasi iritabilitas gangguan dalam pertimbangan perilaku seksual yang impulsif dan kemungkinan berbahaya agresi peningkatan aktivitas psikomotor Takikardia Hipertensi Midriasis.
-
Gejala Putus Zat Setelah menghentikan pemakaian Kokain atau setelah intoksikasi akut terjadi depresi pascaintoksikasi ( crash ) yang ditandai dengan disforia, anhedonia, kecemasan, iritabilitas, kelelahan, hipersomnolensi, kadangkadang agitasi. Pada pemakaian kokain ringan sampai sedang, gejala putus Kokain menghilang dalam 18 jam. Pada pemakaian berat, gejala putus Kokain bisa berlangsung sampai satu minggu, dan mencapai puncaknya pada dua sampai empat hari. Gejala putus Kokain juga dapat disertai dengan kecenderungan untuk bunuh diri. Orang yang mengalami putus
13
Kokain seringkali berusaha mengobati sendiri gejalanya dengan alkohol, sedatif, hipnotik, atau obat antiensietas seperti diazepam (Valium). Kedua, Psikotropika, yaitu zat atau obat, baik alamiah maupun sintetis bukan narkotika, yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan pada aktivitas mental dan perilaku (Undang-Undang No. 5/1997). Zat/obat yang dapat menurunkan aktivitas otak atau merangsang susunan syaraf pusat dan menimbulkan kelainan perilaku, disertai dengan timbulnya halusinasi (mengkhayal), ilusi, gangguan cara berpikir, perubahan alam perasaan dan dapat menyebabkan ketergantungan serta mempunyai efek stimulasi (merangsang) bagi para pemakainya. Pemakaian Psikotropika yang berlangsung lama tanpa pengawasan dan pembatasan pejabat kesehatan dapat menimbulkan dampak yang lebih buruk, tidak saja menyebabkan ketergantungan bahkan juga menimbulkan berbagai macam penyakit serta kelainan fisik maupun psikis si pemakai, tidak jarang bahkan menimbulkan kematian. Sebagaimana Narkotika, Psikotropika terbagi dalam empat golongan yaitu Psikotropika gol. I, Psikotropika gol. II, Psyko Gol. III dan Psikotropik Gol IV. Psikotropika yang sekarang sedang populer dan banyak disalahgunakan adalah psikotropika Gol I, diantaranya yang dikenal dengan Ecstasi dan psikotropik Gol II yang dikenal dengan nama Shabu-shabu.
14
1. ECSTASY
Rumus kimia XTC adalah 3-4-Methylene-Dioxy-Methil-Amphetamine (MDMA). Senyawa ini ditemukan dan mulai dibuat di penghujung akhir abad lalu. Pada kurun waktu tahun 1950-an, industri militer Amerika Serikat mengalami kegagalan didalam percobaan penggunaan MDMA sebagai serum kebenaran. Setelah periode itu, MDMA dipakai oleh para dokter ahli jiwa. XTC mulai bereaksi setelah 20 sampai 60 menit diminum. Efeknya berlangsung maksimum 1 jam. Seluruh tubuh akan terasa melayang. Kadang-kadang lengan, kaki dan rahang terasa kaku, serta mulut rasanya kering. Pupil mata membesar dan jantung berdegup lebih kencang. Mungkin pula akan timbul rasa mual. Bisa juga pada awalnya timbul kesulitan bernafas (untuk itu diperlukan sedikit udara segar). Jenis reaksi fisik tersebut biasanya tidak terlalu lama. Selebihnya akan timbul perasaan seolah-olah kita menjadi hebat dalam segala hal dan segala perasaan malu menjadi hilang. Kepala terasa kosong, rileks dan "asyik". Dalam keadaan seperti ini, kita merasa membutuhkan teman mengobrol, teman bercermin, dan juga untuk menceritakan hal-hal rahasia. Semua perasaan itu akan berangsurangsur menghilang dalam waktu 4 sampai 6 jam. Setelah itu kita akan merasa sangat lelah dan tertekan.
15
2. Shabu-Shabu
Shabu-shabu berbentuk kristal, biasanya berwarna putih, dan dikonsumsi dengan cara membakarnya di atas aluminium foil sehingga mengalir dari ujung satu ke arah ujung yang lain. Kemudian asap yang ditimbulkannya dihirup dengan sebuah Bong (sejenis pipa yang didalamnya berisi air). Air Bong tersebut berfungsi sebagai filter karena asap tersaring pada waktu melewati air tersebut. Ada sebagian pemakai yang memilih membakar Sabu dengan pipa kaca karena takut efek jangka panjang yang mungkin ditimbulkan aluminium foil yang terhirup. Sabu sering dikeluhkan sebagai penyebab paranoid (rasa takut yang berlebihan), menjadi sangat sensitif (mudah tersinggung), terlebih bagi mereka yang sering tidak berpikir positif, dan halusinasi visual. Masing-masing pemakai mengalami efek tersebut dalam kadar yang berbeda. Jika sedang banyak mempunyai persoalan / masalah dalam kehidupan, sebaiknya narkotika jenis ini tidak dikonsumsi. Hal ini mungkin dapat dirumuskan sebagai berikut: MASALAH + SABU = SANGAT BERBAHAYA. Selain itu, pengguna Sabu sering mempunyai kecenderungan untuk memakai dalam jumlah banyak dalam satu sesi dan sukar berhenti kecuali jika Sabu yang dimilikinya habis. Hal itu juga merupakan suatu tindakan bodoh dan sia-sia mengingat efek yang diinginkan tidak lagi bertambah (The Law Of Diminishing Return). Beberapa pemakai mengatakan Sabu tidak mempengaruhi nafsu makan. Namun
sebagian
besar
mengatakan
nafsu
makan
berkurang
jika
sedang
16
mengkonsumsi Sabu. Bahkan banyak yang mengatakan berat badannya berkurang drastis selama memakai Sabu. Apabila dilihat dari pengaruh penggunaannya terhadap susunan saraf pusat manusia, Psikotropika dapat dikelompokkan menjadi : a. Depresant Yaitu bekerja mengendorkan atau mengurangi aktifitas susunan saraf pusat (Psikotropika Gol 4), contohnya antara lain : Sedatin/Pil BK, Rohypnol, Magadon, Valium, Mandrak (MX). b. Stimulant Yaitu yang bekerja mengaktif kerja susan saraf pusat, contohnya amphetamine, MDMA, N-etil MDA & MMDA. Ketiganya ini terdapat dalam kandungan Ecstasi. c. Hallusinogen Yaitu yang bekerja menimbulkan rasa perasaan halusinasi atau khayalan contohnya licercik acid dhietilamide (LSD), psylocibine, micraline. Disamping itu Psikotropika dipergunakan karena sulitnya mencari Narkotika dan mahal harganya. Penggunaan Psikotropika biasanya dicampur dengan alkohol atau minuman lain seperti air mineral, sehingga menimbulkan efek yang sama dengan Narkotika. Ketiga bahan adiktif berbahaya lainnya, yaitu adalah bahan-bahan alamiah, semi sintetis maupun sintetis yang dapat dipakai sebagai pengganti morfina atau kokaina yang dapat mengganggu sistem syaraf pusat, seperti: Alkohol yang mengandung ethyl etanol, inhalen/sniffing (bahan pelarut) berupa zat organik (karbon) yang menghasilkan efek yang sama dengan yang dihasilkan oleh minuman yang beralkohol atau obat anaestetik jika aromanya dihisap. Contoh: lem/perekat, aceton, ether dan sebagainya.
17
Adalah zat, bahan kimia dan biologi, baik dalam bentuk tunggal maupun campuran yang dapat membahayakan kesehatan dan lingkungan hidup secara langsung atau tidak langsung yang mempunyai sifat, karsinogenik, teratogenik, mutagenik, korosif dan iritasi. Bahan berbahaya ini adalah zat adiktif yang bukan Narkotika dan Psikotropika atau Zat-zat baru hasil olahan manusia yang menyebabkan kecanduan, contoh: 1.
Minum-Minuman Keras Adalah semua minuman yang mengandung alkohol tetapi bukan obat.
Minuman keras terbagi dalan 3 golongan yaitu: - Gol. A berkadar Alkohol 01%-05% - Gol. B berkadar Alkohol 05%-20% - Gol. C berkadar Alkohol 20%-50% Beberapa jenis minuman beralkohol dan kadar yang terkandung di dalamnya : - Bir,Green Sand 1% - 5% - Martini, Wine (Anggur) 5% - 20% - Whisky, Brandy 20% -55%. a) Efek Samping yang Ditimbulkan Efek yang ditimbulkan setelah mengkonsumsi alkohol dapat dirasakan segera dalam waktu beberapa menit saja, tetapi efeknya berbeda-beda, tergantung dari jumlah/kadar alkohol yang dikonsumsi. Dalam jumlah yang kecil, alkohol menimbulkan perasaan relax, dan pengguna akan lebih mudah mengekspresikan emosi, seperti rasa senang, rasa sedih dan kemarahan. Bila dikonsumsi lebih banyak lagi, akan muncul efek sebagai berikut: merasa lebih bebas lagi mengekspresikan diri, tanpa ada perasaan terhambat menjadi lebih emosional (sedih, senang, marah secara berlebihan) muncul akibat ke fungsi fisik -
18
motorik, yaitu bicara cadel, pandangan menjadi kabur, sempoyongan, inkoordinasi motorik dan bisa sampai tidak sadarkan diri. Kemampuan mental mengalami hambatan, yaitu gangguan untuk memusatkan perhatian dan daya ingat terganggu, mulut rasanya kering. Pupil mata membesar dan jantung berdegup lebih kencang. Mungkin pula akan timbul rasa mual. Bisa juga pada awalnya timbul kesulitan bernafas (untuk itu diperlukan sedikit udara segar). Jenis reaksi fisik tersebut biasanya tidak terlalu lama. Selebihnya akan timbul perasaan seolah-olah kita menjadi hebat dalam segala hal dan segala perasaan malu menjadi hilang. Kepala terasa kosong, rileks dan "asyik". Dalam keadaan seperti ini, kita merasa membutuhkan teman mengobrol, teman bercermin, dan juga untuk menceritakan hal-hal rahasia. Semua perasaan itu akan berangsur-angsur menghilang dalam waktu 4 sampai 6 jam. Setelah itu kita akan merasa sangat lelah dan tertekan. Pengguna biasanya merasa dapat mengendalikan diri dan mengontrol tingkahlakunya. Pada kenyataannya mereka tidak mampu mengendalikan diri seperti yang mereka sangka mereka bisa. Oleh sebab itu banyak ditemukan kecelakaan mobil yang disebabkan karena mengendarai mobil dalam keadaan mabuk. Pemabuk atau pengguna alkohol yang berat dapat terancam masalah kesehatan yang serius seperti radang usus, penyakit liver, dan kerusakan otak. Kadang-kadang alkohol digunakan dengan kombinasi obat-obatan berbahaya lainnya, sehingga efeknya jadi berlipat ganda. Bila ini terjadi, efek keracunan dari penggunaan kombinasi akan lebih buruk lagi dan kemungkinan mengalami over dosis akan lebih besar.23
23
19
2. NIKOTIN
Adalah obat yang bersifat adiktif, sama seperti Kokain dan Heroin. Bentuk nikotin yang paling umum adalah tembakau, yang dihisap dalam bentuk rokok, cerutu, dan pipa. Tembakau juga dapat digunakan sebagai tembakau sedotan dan dikunyah (tembakau tanpa asap). Walaupun kampanye tentang bahaya merokok sudah menyebutkan betapa berbahayanya merokok bagi kesehatan tetapi pada kenyataannya sampai saat ini masih banyak orang yang terus merokok. Hal ini membuktikan bahwa sifat adiktif dari nikotin adalah sangat kuat. a. Efek Samping yang Ditimbulkan Secara perilaku, efek stimulasi dari nikotin menyebabkan peningkatan perhatian, belajar, waktu reaksi, dan kemampuan untuk memecahkan masalah. Menghisap rokok meningkatkan mood, menurunkan ketegangan dan menghilangkan perasaan depresif. Pemaparan nikotin dalam jangka pendek meningkatkan aliran darah serebral tanpa mengubah metabolisme oksigen serebtral. Tetapi pemaparan jangka panjang disertai dengan penurunan aliran darah serebral. Berbeda dengan efek stimulasinya pada sistem saraf pusat, bertindak sebagai relaksan otot skeletal. Komponen psikoaktif dari tembakau adalah nikotin. Nikotin adalah zat kimia yang sangat toksik. Dosis 60 mg pada orang dewasa dapat mematikan, karena paralisis ( kegagalan) pernafasan.
20
3. VOLATILE SOLVENT atau INHALENSIA
a. Volatile Solvent Adalah
zat
adiktif
dalam
bentuk
cair.
Zat
ini
mudah
menguap.
Penyalahgunaannya adalah dengan cara dihirup melalui hidung. Cara penggunaan seperti ini disebut inhalasi. Zat adiktif ini antara lain : - Lem UHU - Cairan Pencampur Tip Ex (Thinner) - Aceton untuk pembersih warna kuku, cat tembok - Aica Aibon, Castol - Premix b. Inhalansia : Zat inhalan tersedia secara legal, tidak mahal dan mudah didapatkan. Oleh sebab itu banyak ditemukan dan digunakan oleh kalangan sosial ekonomi rendah. Contoh spesifik dari inhalan adalah bensin, vernis, cairan pemantik api, lem, semen karet, cairan pembersih, cat semprot, semir sepatu, cairan koreksi mesin tik ( tip-Ex ), perekat kayu, bahan pembakaran aerosol, pengencer cat. Inhalan biasanya dilepaskan ke dalam paru-paru dengan menggunakan suatu tabung. Dalam dosis awal yang kecil inhalan dapat menginhibisi dan menyebabkan perasaan euforia, kegembiraan, dan sensasi mengambang yang menyenangkan. Gejala psikologis lain pada dosis tinggi dapat merupa rasa ketakutan, ilusi sensorik, halusinasi auditoris dan visual, dan distorsi ukuran tubuh. Gejala neurologis dapat
21
termasuk bicara yang tidak jelas (menggumam, penurunan kecepatan bicara, dan ataksia). Penggunaan dalam waktu lama dapat menyebabkan iritabilitas, labilitas emosi dan gangguan ingatan. Sindroma putus inhalan tidak sering terjadi, Kalaupun ada muncul dalam bentuk susah tidur, iritabilitas, kegugupan, berkeringat, mual, muntah, takikardia, dan kadang-kadang disertai waham dan halusinasi. - Efek yang Merugikan Efek merugikan yang paling serius adalah kematian yang disebabkan karena depresi pernafasan, aritmia jantung, asfiksiasi, aspirasi muntah atau kecelakaan atau cedera. Penggunaan inhalan dalam jangka waktu lama dapat menyebabkan kerusakan hati dan ginjal yang ireversibel dan kerusakan otot yang permanent.
4. ZAT DESAINER
Zat Desainer adalah zat-zat yang dibuat oleh ahli obat jalanan. Mereka membuat obat-obat itu secara rahasia karena dilarang oleh pemerintah. Obat-obat itu dibuat tanpa memperhatikan kesehatan. Mereka hanya memikirkan uang dan secara sengaja membiarkan para pembelinya kecanduan dan menderita. Zat-zat ini banyak yang sudah beredar dengan nama speed ball, peace pills, crystal, angel dust rocket fuel dan lain-lain. C. Tinjauan tentang Kepolisian Kepolisian adalah segala hal ihwal yang berkaitan dengan fungsi dan lembaga polisi sesuai dengan peraturan perundang-undangan.24 Fungsi kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, 24
Lihat Pasal 1 angka 1 UU No. 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
22
penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.25 Jadi fungsi kepolisian adalah pemelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, pelayanan kepada masyarakat. Selanjutnya menurut Pasal 13 UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, tugas pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah: (a) memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat; (b) menegakkan hukum; dan memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Dalam melaksanakan tugas pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 di atas, Kepolisian Negara Republik Indonesia bertugas: (a) melaksanakan pengaturan, penjagaan, pengawalan, dan patroli terhadap kegiatan masyarakat dan pemerintah sesuai kebutuhan; (b) menyelenggarakan segala kegiatan dalam menjamin keamanan, ketertiban, dan kelancaran lalu lintas di jalan; (c) membina masyarakat untuk meningkatkan partisipasi masyarakat, kesadaran hukum masyarakat serta ketaatan warga masyarakat terhadap hukum dan peraturan perundang-undangan; (d) turut serta
dalam pembinaan hukum
nasional; (e) memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum; (f) melakukan koordinasi, pengawasan, dan pembinaan teknis terhadap kepolisian khusus, penyidik pegawai negeri sipil, dan bentuk-bentuk pengamanan swakarsa; (g) melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya. Berkaitan dengan narkoba ada dua institusi yang berwenang melakukan penyidikan, yaitu BNN dan Penyidik dari kepolisian. Hal ini diatur dalam UU No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika.
Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika
mengamanatkan dibentuknya BNN yang lebih operasional dan memiliki kewenangan penyidikan penyalahgunaan narkotika dan prekursor narkotika. Kewenangan penyidikan
25
Lihat Pasal 2 UU No. 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
23
tersebut selama ini menjadi kewenangan Polri. Adanya kewenangan ini selain memperkuat kelembagaan BNN, sekaligus memunculkan kekhawatiran akan adanya kompetisi yang tidak sehat antara penyidik BNN dengan penyidik Polri, paling tidak pada tahap awal pengimplementasiannya. Kekhawatiran ini masuk akal mengingat kejahatan narkotika dan prekursor narkotika memiliki nilai yang cukup strategis. Banyak perwira Polri kariernya bersinar terang ketika sukses menangani kejahatan narkotika dan prekursor narkotika. Bahkan, Kepala BNN yang sedang menjabat saat ini, dahulunya pernah sukses menangani kasus narkoba yang melibatkan artis terkenal tahun 90-an. Wewenang penyidik BNN cukup banyak. Pasal 75 menyebutkan bahwa dalam rangka melakukan penyidikan, penyidik BNN berwenang: (a) melakukan penyelidikan atas kebenaran laporan serta keterangan tentang adanya penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika; (b) memeriksa orang atau korporasi yang diduga melakukan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika; (c) memanggil orang untuk didengar keterangannya sebagai saksi; (d) menyuruh berhenti orang yang diduga melakukan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika serta memeriksa tanda pengenal diri tersangka; (e) memeriksa, menggeledah, dan menyita barang bukti tindak pidana dalam penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika; (f) memeriksa surat dan/atau dokumen lain tentang penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan prekursor narkotika; (g) menangkap dan menahan orang yang diduga melakukan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika; (h) melakukan interdiksi terhadap peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika di seluruh wilayah juridiksi nasional; (i) melakukan penyadapan yang terkait dengan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan prekursor narkotika setelah terdapat bukti awal yang cukup; (j) melakukan teknik penyidikan pembelian terselubung dan penyerahan di bawah pengawasan; (k)
24
memusnahkan narkotika dan prekursor narkotika; (l) melakukan tes urine, tes darah, tes rambut, tes asam dioksiribonukleat (DNA), dan/atau tes bagian tubuh lainnya; (m) mengambil sidik jari dan memotret tersangka; (n) melakukan pemindaian terhadap orang, barang, binatang, dan tanaman; (o) membuka dan memeriksa setiap barang kiriman melalui pos dan alat-alat perhubungan lainnya yang diduga mempunyai hubungan dengan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan prekursor narkotika; (p) melakukan penyegelan terhadap narkotika dan prekursor narkotika yang disita; (q) melakukan uji laboratorium terhadap sampel dan barang bukti Narkotika dan prekursor narkotika; (r) meminta bantuan tenaga ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan tugas penyidikan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika; dan (s) menghentikan penyidikan apabila tidak cukup bukti adanya dugaan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika. Selain sebagaimana disebutkan dalam pasal 75, Penyidik BNN juga berwenang: (a) mengajukan langsung berkas perkara, tersangka, dan barang bukti, termasuk harta kekayaan yang disita kepada jaksa penuntut umum; (b) memerintahkan kepada pihak bank atau lembaga keuangan lainnya untuk memblokir rekening yang diduga dari hasil penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika milik tersangka atau pihak lain yang terkait; (c) untuk mendapat keterangan dari pihak bank atau lembaga keuangan lainnya tentang keadaan keuangan tersangka yang sedang diperiksa; (d) untuk mendapat informasi dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan yang terkait dengan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika; (e) meminta secara langsung kepada instansi yang berwenang untuk melarang seseorang bepergian ke luar negeri; (f) meminta data kekayaan dan data perpajakan tersangka kepada instansi terkait; (g) menghentikan sementara suatu transaksi keuangan, transaksi perdagangan, dan perjanjian lainnya atau mencabut sementara izin, lisensi, serta konsesi
25
yang dilakukan atau dimiliki oleh tersangka yang diduga berdasarkan bukti awal yang cukup ada hubungannya dengan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika yang sedang diperiksa; dan (h) meminta bantuan interpol Indonesia atau instansi penegak hukum negara lain untuk melakukan pencarian, penangkapan, dan penyitaan barang bukti di luar negeri (pasal 80). Sesuai Undang-Undang Nomor 2 tahun 2002 tugas pokok Polri adalah memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat; menegakkan hukum; dan memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat (pasal 13). Penyelidikan and penyidikan merupakan salah satu dari 12 tugas Polri ( Pasal 14). Butir g menyebutkan bahwa Polri memiliki tugas melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya. Dalam rangka menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud dalam dua pasal ini di bidang proses pidana, Polri berwenang untuk : (a) melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan; (b) melarang setiap orang meninggalkan atau memasuki tempat kejadian perkara untuk kepentingan penyidikan; (c) membawa dan menghadapkan orang kepada penyidik dalam rangka penyidikan; (d) menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri; (e) melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat; (f) memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi; (g) mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara; (h) mengadakan penghentian penyidikan; (i) menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum; (j) mengajukan permintaan secara langsung kepada pejabat imigrasi yang berwenang di tempat pemeriksaan imigrasi dalam keadaan mendesak atau mendadak untuk mencegah atau menangkal orang yang disangka melakukan tindak pidana; (k) memberi petunjuk dan bantuan penyidikan kepada penyidik pegawai negeri sipil serta menerima hasil penyidikan penyidik pegawai negeri sipil untuk
26
diserahkan kepada penuntut umum; dan (l) mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab. Jika dibandingkan, poin-poin tugas dan wewenang penyidikan yang dilakukan BNN dan Polri adalah hampir sama. Bedanya, BNN hanya menyidik kejahatan narkotika dan prekursor narkotika. Sementara itu, Polri menyidik semua jenis kejahatan termasuk narkotika dan prekursor narkotika. Untuk melakukan tugas dan wewenang ini, Badan Reserse Kriminal Polri (Bareskrim) membentuk direktorat khusus yang menangani narkotika dan prekursor narkotika. Dengan demikian kedua lembaga ini memiliki wewenang yang sama dalam melakukan penyidikan terhadap penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika, sebagaimana diatur dalam pasal 81 UU nomor 35 tahun 2009. Konsekuensi dari tugas dan wewenang penyidikan BNN adalah bagaimana menyiapkan sumber daya manusia penyidik BNN, sarana dan prasarana penyidikan, dan mekanisme kerjasama antara penyidik BNN dan penyidik Polri atau dengan penyidik lainnya. Sebagai lembaga yang semula hanya sebagai lembaga non-struktural yang bersifat koordinatif, maka secara organik tidak memiliki tenaga penyidik yang khusus. BNN hanya membentuk dan memfasilitasi satuan tugas yang sebenarnya dapat dikatakan sebagai perpanjangan tangan Direktorat IV Narkoba Bareskrim Polri. Tidak mengherankan jika laporan keberhasilan pencegahan dan penanggulangan kejahatan narkotika dan prekursor narkotika diklaim oleh Polri. Oleh karena itu, BNN harus segera membentuk pasukan khusus (strike force) pencegahan dan penanggulangan kejahatan narkotika dan prekursor narkotika. Perekrutan dari awal mungkin tidak efektif karena harus melakukan pendidikan dan pelatihan yang memakan waktu cukup lama. Padahal kejahatan narkotika dan prekursor narkotika cenderung semakin meluas dan prevalensi penyalahgunaan narkotika cenderung
27
meningkat. Akan lebih efektif apabila satuan tugas yang sudah ada dipertahankan, selanjutnya secara bertahap direkrut dan dididik penyidik BNN yang organik. Sarana dan prasarana penyidik BNN juga harus segera disediakan untuk menunjang proses penyidikan. Berbeda dengan Polri, secara prinsip lembaga Polri sudah siap dan dilengkapi berbagai fasilitas penyidikan mulai dari laboratorium forensik, alat penyadap, sarana investigasi, sampai dengan kamar tahanan. Sementara itu, untuk melaksanakan tugas dan wewenang penyidikan BNN, sampai saat ini infrastrukturnyapun belum ada yang dibangun. Selanjutnya terkait dengan mekanisme kerjasama antara penyidik BNN dan penyidik Polri atau dengan penyidik lainnya, sudah diatur dalam UU 35/2009 ini. Dalam melakukan penyidikan terhadap penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan prekursor narkotika, penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia memberitahukan secara tertulis dimulainya penyidikan kepada penyidik BNN begitu pula sebaliknya. Sementara itu, dalam melakukan penyidikan terhadap penyalahgunaan Narkotika dan prekursor narkotika, penyidik pegawai negeri sipil tertentu berkoordinasi dengan penyidik BNN atau penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana. Ketentuan tersebut mengisyaratkan bahwa langkah kerjasama untuk menghindarkan penyalahgunaan wewenang atau penyerobotan wewenang oleh salah satu pihak ke pihak yang lain, khususnya antara penyidik Polri dengan penyidik BNN. Sedangkan untuk penyidik pegawai negeri sipil, segala upaya penyidikan diarahkan untuk membantu dan menyerahkan hasilnya kepada penyidik Polri maupun penyidik BNN. Namun dalam pelaksanaannya nanti, pelaksanaan tugas dan wewenang penyidikan penyalahgunaan narkoba ini berpotensi menimbulkan persaingan diantara penyidik Polri dan penyidik BNN.
28
Tidak mengherankan hal tersebut dapat terjadi karena sebagaimana di sebutkan di atas, kejahatan narkoba memiliki nilai yang cukup strategis baik dalam rangka penitian karier atau terkait dengan tingginya nilai ekonomi penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba. Oleh karena itu, harus dibuat mekanisme yang efektif dan efisien, sehingga persaingan yang tidak sehat dapat ditekan seminimal mungkin. Apabila memungkinkan, Direktorat IV Narkoba Bareskrim Polri digabungkan dengan BNN agar tidak ada kesan overlapping pelaksanaan tugas, meskipun dengan demikian harus mengamandemen peraturan perundang-undangannya.
D. Perbuatan Pidana dalam Kasus Narkoba Sub Bab ini akan menjelaskan mengenai perbuatan mana yang merupakan perbuatan pidana dan mana yang bukan perbuatan pidana dalam kaitannya dengan narkoba. Dalam menjelaskan persoalan ini, akan digunakan bahan hukum yang berasal dari peraturan perundang-undangan yang terkait dengan narkoba. Kedua hal ini penting untuk diberi penjelasan, sehingga kita dapat membedakan mana yang dianggap sebagai pelaku kejahatan dan mana yang bukan. Yang kemudian akan memberi akibat hukum dalam memperlakukan orang yang dianggap sebagai tersangka dan orang yang dianggap sebagai korban. Jika kita berpedoman kepada Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika, dapat diidentifikasi, perbuatan-perbuatan berikut yang disebut sebagai perbuatan pidana dan bukan sebagai perbuatan pidana: Pasal 12 Ayat (1): Narkotika Golongan I dilarang diproduksi dan/atau digunakan dalam proses produksi, kecuali dalam jumlah yang sangat terbatas untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dari ketentuan Pasal 12 Ayat (1) UU Narkotika di atas dapat dijelaskan sebagai berikut:
29
1. Kategori Perbuatan Pidana: Memproduksi dan/atau digunakan dalam proses produksi narkotika golongan I dalam jumlah yang tidak terbatas (banyak). 2. Kategori Perbuatan yang bukan Perbuatan Pidana: Memproduksi dan/atau digunakan dalam proses produksi narkotika golongan I dalam jumlah yang sangat terbatas untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Pasal 13 Ayat (1): Lembaga ilmu pengetahuan yang berupa lembaga pendidikan dan pelatihan serta penelitian dan pengembangan yang diselenggarakan oleh pemerintah ataupun swasta dapat memperoleh, menanam, menyimpan, dan menggunakan Narkotika untuk kepentingan ilmu pengetahuan dan teknologi setelah mendapatkan izin Menteri. Pasal 13 Ayat (1) di atas adalah pasal yang mengatur tentang lembaga yang dapat memperoleh, menanam, menyimpan, dan menggunakan narkotika, yaitu lembaga ilmu pengetahuan berupa lembaga pendidikan dan pelatihan serta penelitian dan pengembangan yang diselenggarakan pemerintah ataupun swasta. Adapun tujuannya adalah untuk kepentingan ilmu pengetahuan dan teknologi. Namun lembaga ilmu pengetahuan tersebut harus mendapat izin Menteri. Pasal 36 Ayat (1): Narkotika dalam bentuk obat jadi hanya dapat diedarkan setelah mendapatkan izin edar dari Menteri. Dari ketentuan Pasal 36 Ayat (1) diketahui bahwa narkotika dalam bentuk obat jadi hanya dapat diedarkan setelah mendapat izin edar dari Menteri. Akan tetapi menurut Pasal 38, setiap kegiatan peredaran Narkotika wajib dilengkapi dengan dokumen yang sah. Pasal 39 (1) Narkotika hanya dapat disalurkan oleh Industri Farmasi, pedagang besar farmasi, dan sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini. (2) Industri Farmasi, pedagang besar farmasi, dan sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memiliki izin khusus penyaluran Narkotika dari Menteri. 30
Pasal 39 di atas mengatur tentang institusi yang dapat menyalurkan narkotika, yaitu: “Industri Farmasi, pedagang farmasi, dan sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah. Walaupun demikian institusi-institusi itu wajib memiliki izin khusus penyaluran narkotika dari Menteri. Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan “industri farmasi, dan pedagang besar farmasi” adalah industri farmasi, dan pedagang besar farmasi tertentu yang telah memiliki izin khusus untuk menyalurkan Narkotika. Ketentuan ini menegaskan bahwa Izin khusus penyaluran Narkotika bagi sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah diperlukan sepanjang surat keputusan pendirian sarana penyimpanan sediaan farmasi tersebut tidak dikeluarkan oleh Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan26. Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan “sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah tertentu” adalah sarana yang mengelola sediaan farmasi dan alat kesehatan milik Pemerintah, baik Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah, TNI dan Kepolisian Negara Republik Indonesia, Badan Usaha Milik Negara, dan Badan Usaha Milik Daerah dalam rangka pelayanan kesehatan. Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan ”rumah sakit” adalah rumah sakit yang telah memiliki instalasi farmasi memperoleh Narkotika dari industri farmasi tertentu atau pedagang besar farmasi tertentu. Pasal 41 Narkotika Golongan I hanya dapat disalurkan oleh pedagang besar farmasi tertentu kepada lembaga ilmu pengetahuan tertentu untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Menurut ketentuan Pasal 41 di atas, narkotika golongan I hanya dapat disalurkan oleh pedagang besar farmasi tertentu.27 Pasal 53 UU Narkotika: 26 27
Penjelasan Pasal 39 UU Narkotika (UU No. 35/2009) Pedagang besar farmasi tertentu maksudnya adalah pedagang farmasi yang mendapat izin dari Menteri.
31
(1) Untuk kepentingan pengobatan dan berdasarkan indikasi medis, dokter dapat memberikan Narkotika Golongan II atau Golongan III dalam jumlah terbatas dan sediaan tertentu kepada pasien sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. (2) Pasien sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat memiliki, menyimpan, dan/atau membawa Narkotika untuk dirinya sendiri. (3) Pasien sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus mempunyai bukti yang sah bahwa Narkotika yang dimiliki, disimpan, dan/atau dibawa untuk digunakan diperoleh secara sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. Dari Pasal 53 di atas diketahui bahwa: 1. Dokter dapat memberikan narkotika golongan II atau golongan III dalam jumlah terbatas dan sediaan tertentu kepada pasien untuk kepentingan pengobatan 2. Pasien dapat memiliki, menyimpan, dan/atau membawa narkotika untuk dirinya sendiri. 3. Narkotika yang dimiliki, disimpan, dan/atau dibawa untuk digunakan adalah diperoleh secara sah. Pasal 54 UU Narkotika: Pecandu Narkotika dan korban penyalahgunaan Narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Jadi menurut Pasal 54 UU Narkotika Pecandu narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Yang dimaksud dengan ”korban penyalahgunaan Narkotika” adalah seseorang yang tidak sengaja menggunakan Narkotika karena dibujuk, diperdaya, ditipu, dipaksa, dan/atau diancam untuk menggunakan Narkotika.28 Pasal 55 UU Narkotika: (1) Orang tua atau wali dari Pecandu Narkotika yang belum cukup umur wajib melaporkan kepada pusat kesehatan masyarakat, rumah sakit, dan/atau lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial yang ditunjuk oleh Pemerintah untuk mendapatkan pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. (2) Pecandu Narkotika yang sudah cukup umur wajib melaporkan diri atau dilaporkan oleh keluarganya kepada pusat kesehatan masyarakat, rumah sakit, dan/atau lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial yang ditunjuk oleh Pemerintah untuk mendapatkan pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Yang menjadi perbuatan pidana menurut Pasal 55 ayat (1) adalah orang tua atau wali pecandu narkotika yang belum cukup umur tidak melaporkan kepada pusat kesehatan,
28
Penjelasan Pasal 54 UU Narkotika
32
rumah sakit, dan/atau lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Sedangkan menurut Ayat (2) Pecandu narkotika yang sudah cukup umur tidak melaporkan diri atau dilaporkan oleh keluarganya kepada pusat kesehatan masyarakat, rumah sakit, dan/atau lembaga rehabiltasi medis dan rehabilitasi sosial. Ketentuan ini menegaskan bahwa untuk membantu Pemerintah dalam menanggulangi masalah dan bahaya penyalahgunaan Narkotika, khususnya untuk pecandu Narkotika, maka diperlukan keikutsertaan orang tua/wali, masyarakat, guna meningkatkan tanggung jawab pengawasan dan bimbingan terhadap anak-anaknya. Yang dimaksud dengan “belum cukup umur” dalam ketentuan ini adalah seseorang yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun.29 Pasal 111 (1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I dalam bentuk tanaman, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah). (2) Dalam hal perbuatan menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I dalam bentuk tanaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 1 (satu) kilogram atau melebihi 5 (lima) batang pohon, pelaku dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga). Menurut Pasal 111, kategori perbuatan pidana adalah tanpa hak atau melawan hukum menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan narkotika golongan I dalam bentuk tanaman. Pasal 119 (1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan Narkotika Golongan II, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah).
29
Penjelasan Pasal 55 UU Narkotika
33
(2)
Dalam hal perbuatan menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan Narkotika Golongan II sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga). Yang merupakan perbuatan pidana menurut Pasal 119 adalah tanpa hak atau melawan
hukum menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam juali beli, menukar, atau menyerahkan narkotika golongan II. Pasal 120 (1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito Narkotika Golongan II, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp.600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). (2) Dalam hal perbuatan membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito Narkotika Golongan II sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 5 (lima) gram maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga). Yang merupakan perbuatan pidana menurut Pasal 120 adalah tanpa hak atau melawan hukum membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito Narkotika Golongan II. Pasal 121 (1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menggunakan Narkotika Golongan II terhadap orang lain atau memberikan Narkotika Golongan II untuk digunakan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah). (2) Dalam hal penggunaan Narkotika terhadap orang lain atau pemberian Narkotika Golongan II untuk digunakan orang lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang lain mati atau cacat permanen, pelaku dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga). Yang merupakan perbuatan pidana menurut Pasal 121 adalah tanpa hak atau melawan hukum menggunakan Narkotika Golongan II terhadap orang lain atau memberikan Narkotika Golongan II untuk digunakan orang lain.
34
Pasal 122 (1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan III, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). Yang dimaksud dengan perbuatan pidana menurut Pasal 122 adalah tanpa hak atau melawan hukum memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan III. Pasal 123 (1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan Narkotika Golongan III, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). Kriteria perbuatan pidana menurut Pasal 123 adalah tanpa hak atau melawan hukum memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan Narkotika Golongan III. Pasal 124 (1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan Narkotika Golongan III, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). Yang menjadi kriteria perbuatan pidana menurut Pasal 124 adalah tanpa hak atau melawan hukum menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan Narkotika Golongan III. Pasal 125 (1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito Narkotika Golongan III, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). Yang menjadi kriteria perbuatan pidana menurut Pasal 125 adalah tanpa hak atau melawan hukum membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito Narkotika Golongan 35
III. Dengan ancaman pidana penjara paling singkat 2 tahun dan paling alama 7 tahun dan pidana denda paling sedikit 400 juta rupiah dan paling banyak 3 milyar rupiah. Pasal 126 (1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menggunakan Narkotika Golongan III terhadap orang lain atau memberikan Narkotika Golongan III untuk digunakan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). Yang disebut dengan perbuatan pidana dalam ketentuan Pasal 126 adalah tanpa hak atau melawan hukum menggunakan Narkotika Golongan III terhadap orang lain atau memberikan Narkotika Golongan III untuk digunakan orang lain. Pasal 128 (1) Orang tua atau wali dari pecandu yang belum cukup umur, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) yang sengaja tidak melapor, dipidana dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah). (2) Pecandu Narkotika yang belum cukup umur dan telah dilaporkan oleh orang tua atau walinya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) tidak dituntut pidana. (3) Pecandu Narkotika yang telah cukup umur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (2) yang sedang menjalani rehabilitasi medis 2 (dua) kali masa perawatan dokter di rumah sakit dan/atau lembaga rehabilitasi medis yang ditunjuk oleh pemerintah tidak dituntut pidana. (4) Rumah sakit dan/atau lembaga rehabilitasi medis sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus memenuhi standar kesehatan yang ditetapkan oleh Menteri. Yang disebut dengan perbuatan pidana menurut Pasal 128 adalah “sengaja tidak melapor. Ketentuan ini khusus berlaku untuk orang tua atau wali dari pecandu narkoba yang belum cukup umur. Ancaman pidananya adalah dengan pidana kurungan paling lama 6 bulan atau pidana denda paling banyak 1 juta rupiah. Sedangkan pecandu narkotika pada hal-hal tertentu tidak dituntut pidana. Syarat untuk tidak dituntut pidana, untuk pecandu narkotika yang belum cukup umur, syaratnya harus dilaporkan oleh orang tua atau walinya, dan bagi pencandu narkotika yang telah cukup umur, syaratnya adalah sedang menjalani rehabilitasi medis 2 kali masa perawatan dokter di rumah sakit atau lembaga rehabilitasi medis yang ditunjuk oleh pemerintah.
36
Pasal 129 Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum: a. memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Prekursor Narkotika untuk pembuatan Narkotika; b. memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan Prekursor Narkotika untuk pembuatan Narkotika; c. menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan Prekursor Narkotika untuk pembuatan Narkotika; d. membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito Prekursor Narkotika untuk pembuatan Narkotika. Yang merupakan perbuatan pidana menurut Pasal 129 adalah tanpa hak atau melawan hukum: 1. 2. 3. 4.
memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Prekursor Narkotika untuk pembuatan Narkotika; memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan Prekursor Narkotika untuk pembuatan Narkotika; menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan Prekursor Narkotika untuk pembuatan Narkotika; membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito Prekursor Narkotika untuk pembuatan Narkotika.
Pasal 131 Setiap orang yang dengan sengaja tidak melaporkan adanya tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111, Pasal 112, Pasal 113, Pasal 114, Pasal 115, Pasal 116, Pasal 117, Pasal 118, Pasal 119, Pasal 120, Pasal 121, Pasal 122, Pasal 123, Pasal 124, Pasal 125, Pasal 126, Pasal 127 ayat (1), Pasal 128 ayat (1), dan Pasal 129 dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). Yang dimaksud dengan perbuatan pidana menurut Pasal 131 adalah dengan sengaja tidak melaporkan adanya tindak pidana narkotika, yang dimaksud dalam Pasal 111, 112, 113, 114, 115, 116, 117, 118, 119, 120, 121, 122, 123, 124, 125, 126, 127 ayat (1), 128 ayat (1), dan pasal 129. Dengan ancaman pidana, pidana pencajara paling lama 1 tahun atau pidana denda paling banyak 50 juta rupiah. Pasal 132 (1) Percobaan atau permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111, Pasal 112, Pasal 113, Pasal 114, Pasal 115, Pasal 116, Pasal 117, Pasal 118, Pasal 119, Pasal 120, Pasal 121, Pasal 122, Pasal 123, Pasal 124, Pasal 125, Pasal 126, dan Pasal 129, pelakunya 37
dipidana dengan pidana penjara yang sama sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal-Pasal tersebut. (2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111, Pasal 112, Pasal 113, Pasal 114, Pasal 115, Pasal 116, Pasal 117, Pasal 118, Pasal 119, Pasal 120, Pasal 121, Pasal 122, Pasal 123, Pasal 124, Pasal 125, Pasal 126, dan Pasal 129 dilakukan secara terorganisasi, pidana penjara dan pidana denda maksimumnya ditambah 1/3 (sepertiga). (3) Pemberatan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku bagi tindak pidana yang diancam dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara 20 (dua puluh) tahun. Yang dimaksud dengan perbuatan pidana menurut Pasal 132 adalah percobaan atau permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana narkotika dan prekursor narkotika. Hal ini merupakan pemberatan pidana, namun tidak berlaku bagi tindak pidana yang diancam dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara 20 (dua puluh) tahun. Untuk ancaman pidananya sama dengan pasal-pasal yang dilanggarnya. Untuk perbautan terorganisir ancaman pidananya ditambah 1/3. Pasal 133 (1) Setiap orang yang menyuruh, memberi atau menjanjikan sesuatu, memberikan kesempatan, menganjurkan, memberikan kemudahan, memaksa dengan ancaman, memaksa dengan kekerasan, melakukan tipu muslihat, atau membujuk anak yang belum cukup umur untuk melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111, Pasal 112, Pasal 113, Pasal 114, Pasal 115, Pasal 116, Pasal 117, Pasal 118, Pasal 119, Pasal 120, Pasal 121, Pasal 122, Pasal 123, Pasal 124, Pasal 125, Pasal 126, dan Pasal 129 dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) dan paling banyak Rp20.000.000.000,00 (dua puluh miliar rupiah). (2) Setiap orang yang menyuruh, memberi atau menjanjikan sesuatu, memberikan kesempatan, menganjurkan, memberikan kemudahan, memaksa dengan ancaman, memaksa dengan kekerasan, melakukan tipu muslihat, atau membujuk anak yang belum cukup umur untuk menggunakan Narkotika, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah). Yang dimaksud dengan perbuatan pidana menurut Pasal 133 adalah menyuruh, memberi atau menjanjikan sesuatu, memberikan kesempatan, menganjurkan, memberikan kemudahan, memaksa dengan ancaman, memaksa dengan kekerasan, melakukan tipu
38
muslihat, atau membujuk anak yang belum cukup umur untuk melakukan tindak pidana narkotika, dan menggunakan narkotika. Pasal 134 (1) Pecandu Narkotika yang sudah cukup umur dan dengan sengaja tidak melaporkan diri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (2) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak Rp2.000.000,00 (dua juta rupiah). (2) Keluarga dari Pecandu Narkotika sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dengan sengaja tidak melaporkan Pecandu Narkotika tersebut dipidana dengan pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah). Yang dimaksud dengan perbuatan pidana menurut Pasal 134 adalah dengan sengaja tidak melaporkan diri sebagai pecandu narkotika atau dengan sengaja tidak melaporkan pecandu narkotika. Perbuatan pidana yang pertama adalah pecandu sendiri tidak melaporkan diri, sedangkan yang kedua keluarga yang tidak melaporkan pecandu narkotika. Ancaman pidana untuk pecandu yang tidak melaporkan diri adalah pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak Rp.2.000.000,00 (dua juta rupiah). Dan untuk keluarga yang dengan sengaja tidak melaporkan diancam pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah). Pasal 135 Pengurus Industri Farmasi yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp40.000.000,00 (empat puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah). Yang merupakan perbuatan pidana menurut Pasal 135 adalah tidak melaksanakan kewajiban mencantumkan label pada kemasan Narkotika. Untuk perbuatan ini ancaman pidananya adalah pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling alam 7 tahun dan pidana denda paling sedikit 40 juta rupiah dan paling banyak 400 juta rupiah. Yang merupakan perbuatan pidana menurut Pasal 137 adalah: a. menempatkan, membayarkan atau membelanjakan, menitipkan, menukarkan, menyembunyikan atau menyamarkan, menginvestasikan, menyimpan, menghibahkan, mewariskan, dan/atau mentransfer uang, harta, dan benda atau aset baik dalam bentuk 39
b.
benda bergerak maupun tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud yang berasal dari tindak pidana Narkotika dan/atau tindak pidana Prekursor Narkotika, menerima penempatan, pembayaran atau pembelanjaan, penitipan, penukaran, penyembunyian atau penyamaran investasi, simpanan atau transfer, hibah, waris, harta atau uang, benda atau aset baik dalam bentuk benda bergerak maupun tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud yang diketahuinya berasal dari tindak pidana Narkotika dan/atau tindak pidana Prekursor Narkotika. Yang merupakan perbuatan pidana merurut Pasal 138 adalah menghalang-halangi atau
mempersulit penyidikan serta penuntutan dan pemeriksaan perkara tindak pidana Narkotika dan/atau tindak pidana Prekursor Narkotika di muka sidang pengadilan. Pasal 139 Nakhoda atau kapten penerbang yang secara melawan hukum tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 atau Pasal 28 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Yang merupakan tindak pidana menurut Pasal 139 adalah secara melawan hukum tidak melaksanakan melaksanakan ketentuan Pasal 27 atau Pasal 28, yaitu: 1. narkotika yang diangkut tidak disimpan dalam kemasan khusus atau di tempat yang aman di dalam kapal dengan disegel oleh nakhoda dengan disaksikan oleh pengirim. 2. Tidak membuat berita acara tentang muatan narkotika yang diangkut 3. Tidak melaporkan narkotika yang dimuat dalam kapalnya kepada kepala kantor pabean setempat setelah tiba dipelabuhan tujuan. 4. Pembongkaran muatan narkotika tidak dilakukan dalam kesempatan pertama oleh nakhoda dengan disaksikan oleh pejabat bea dan cukai. 5. Tidak membuat berita acara, tidak melakukan tindakan pengamanan, dan tidak segera melaporkan dan menyerahkan narkota kepada pihak yang berwenang, untuk narkotika yang diketahui tanpa dokumen atau Surat Persetujuan Ekspor atau Surat Persetujuan Impor. Perbuatan pidana menurut Pasal 140 adalah: (1) Penyidik pegawai negeri sipil yang secara melawan hukum tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88 dan Pasal 89. Perbuatan pidana menrut Pasal 141 adalah: Kepala kejaksaan negeri yang secara melawan hukum tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91 ayat (1). Perbuatan pidana menurut Pasal 142 adalah: Petugas laboratorium yang memalsukan hasil pengujian atau secara melawan hukum tidak melaksanakan kewajiban melaporkan hasil pengujiannya kepada penyidik atau penuntut umum.
40
Yang dimaksud dengan perbuatan pidana menurut Pasal 143 adalah: Saksi yang memberi keterangan tidak benar dalam pemeriksaan perkara tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika di muka sidang pengadilan. Perbuatan pidana menurut Pasal 144 adalah (1) Setiap orang yang dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun melakukan pengulangan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111, Pasal 112, Pasal 113, Pasal 114, Pasal 115, Pasal 116, Pasal 117, Pasal 118, Pasal 119, Pasal 120, Pasal 121, Pasal 122, Pasal 123, Pasal 124, Pasal 125, Pasal 126, Pasal 127 ayat (1), Pasal 128 ayat (1), dan Pasal 129 pidana maksimumnya ditambah dengan 1/3 (sepertiga). Perbuatan Pidana menurut Pasal 147: a. pimpinan rumah sakit, pusat kesehatan masyarakat, balai pengobatan, sarana penyimpanan sediaan farmasi milik pemerintah, dan apotek yang mengedarkan Narkotika Golongan II dan III bukan untuk kepentingan pelayanan kesehatan; b. pimpinan lembaga ilmu pengetahuan yang menanam, membeli, menyimpan, atau menguasai tanaman Narkotika bukan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan; c. pimpinan Industri Farmasi tertentu yang memproduksi Narkotika Golongan I bukan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan; atau d. pimpinan pedagang besar farmasi yang mengedarkan Narkotika Golongan I yang bukan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan atau mengedarkan Narkotika Golongan II dan III bukan untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau bukan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan.
41
BAB III METODE PENELITIAN Dalam pembahasan metode penelitian ada beberapa hal yang perlu dijelaskan, yaitu: jenis penelitian, bahan penelitian, spesifikasi penelitian, jalannya penelitian,
metode
pendekatan dalam penelitian, dan metode analisis penelitian. Untuk lebih jelasnya akan diuraikan secara rinci sebagai berikut: A. Jenis Penelitian Penelitian ini adalah penelitian hukum. Yang diteli adalah bahan hukum yang berasal dari kepolisian berupa berita acara, rekapan dan yang sejenisnya yang berisi hasil penyelidikan/penyidikan terhadap kasus narkoba yang dilakukan oleh kepolisian Resor Magelang. Isu hukum yang diangkat diberi judul: IDENTIFIKASI KASUS NARKOBA YANG DITANGANI KEPOLISIAN RESOR MAGELANG. B. Bahan Penelitian Untuk dapat mejawab atau menyelesaikan isu hukum yang diangkat dalam penelitian ini, peneliti menggunakan bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Bahan hukum primer yang digunakan berupa peraturan perundang-undangan, yaitu undang-undang tentang narkoban dan catatan/rekapan hasil penyelidikan/penyidikan Kepolisian Resor Magelang tentang kasus narkoba. Sedangkan bahan hukum sekunder yang digunakan dalam penelitian ini adalah bahan hukum dalam bentuk karya ilmiah yang dihasilkan melalui tulisan para ilmuawan. Bahan ini dalam bentuk buku, hasil penelitian, jurnal, artikel, opini, makalah, dan yang lainnya. Bahan hukum tersier yang digunakan adalah kamus hukum, Kamus Besar Bahasa Indonesia, dan ensiklopedi.
42
C. Spesifikasi Penelitian Penelitian ini adalah bersifat terapan dan preskriptif. Penelitian terapan maksudnya adalah aturan hukum yang telah diterapkan/dikenakan terhadap pelaku penyalahgunaan narkoba oleh Kepolisian Resor Magelang. Sedangkan bersifat preskriptif maksudnya adalah bagaimana seharusnya atau seyogyanya hukum yang diterapkan/dikenakan terhadap orang-orang yang tersangkut dengan narkoba/pelaku penyalahgunaan narkoba. D. Jalannya Penelitian Penelitian ini dilakukan dalam tiga tahapan, yaitu tahap pendahulun, tahap pelaksanaan, dan tahap akhir. Tahap pendahuluan kegiatannya adalah mencari isu hukum yang akan diangkat dalam penelitian, membuat proposal, dan mengajukan ke LP3M UMM. Tahap pelaksanaan adalah melakukan penelitian itu sendiri. Ini bisa dilaksanakan ketika proposal yang diajukan di ACC oleh LP3M UMM. Jika di-ACC maka kegiatanya adalah mengumpulkan semua bahan penelitian yang diperlukan. Bahan penelitian dapat dikumpulkan dengan mengunjungi perpustakaan UMM, Perpustkaan Kepolisian Resor Magelang, dan melalui internet. Setelah bahan terkumpul, maka bahan akan diolah, dikaji, dan dilakukan pembahasan serta analisa. Sedangkan tahap akhir adalah tahap penyusunan laporan. Laporan hasil penelitian ini kemudian disampaikan ke LP3M sebagai pertanggungjawaban. E. Metode Pendekatan Penelitian Sesuai dengan permasalahan dalam penelitian ini, maka untuk dapat memecahkan isu atau menjawab persoalan yang diajukan, peneliti melakukan pendekatan undang-undang dan pendekatan kasus. Digunakannya pendekatan undang-undang karena yang dilakukan dalam penelitian ini adalah mengenai identifikasi perbuatan orang yang terlibat dalam penyalahgunaan narkoba dilihat dari aturan hukum yang mengaturnya. Sedangkan
43
digunakannya pendekatan kasus adalah karena memang penelitian ini berdasarkan kepada kasus atau orang yang terlibat dalam kasus narkoba di Kepolisian Resor Magelang. F. Metode Analisa Penelitian Penelitian ini akan menggunakan metode analisa bersifat induktif dan deduktif. Metode analisa induktif digunakan adalah dengan cara menampilkan fakta hukum terlebih dahulu, kemudian diidentifikasi aturan hukum apa yang tekait dengan kasus narkoba. Sedangkan analisa deduktif digunakan dengan cara menampilkan aturan hukum terlebih dahulu, kemudian dikemukakan fakta hukumnya, dilihat hubungan sebab akibat dan akhirnya diambil kesimpulan.
44
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Dalam Bab ini akan diuraikan tentang hasil penelitian. Dalam uraian, penulis akan mengelompokkan ke dalam beberapa sub bab, yaitu: 1) kategori perbuatan yang dilakukan tersangka penyalahgunaan narkoba yang sedang di tangani Kepolisian Resor Magelang; (2) Pasal dalam Undang-Undang yang Diterapkan oleh Kepolisian Resor Magelang. A. Kategori Perbuatan Pidana dalam Kasus Narkoba yang Sedang di Tangani Kepolisian Resor Magelang Dalam uraian sub bab ini akan penulis kemukakan hasil penelitian mengenai: 1. Jumlah kasus narkoba yang ditangani Kepolisian Resor Magelang dari tahun 2009 hingga Maret 2012. 2. Tahap penyelesaian proses penyelidikan/penyidikan yang dilakukan Kepolisian Resor Magelang untuk kasus narkoba yang terjadi dari tahun 2009 hingga Maret 2012. 3. Kategori perbuatan yang disangkakan oleh penyidik terhadap si tersangka pelaku tindak pidana narkoba yang terjadi mulai tahun 2009 hingga Maret 2012. Ad.1). Jumlah Kasus Narkoba yang Ditangani Kepolisian Resor Magelang dari Tahun 2009 hingga Maret 2012. Mengenai berapa jumlah kasus narkoba yang sedang ditangani oleh Kepolisian Resor Magelang dari Tahun 2009 hingga Maret 2012, penulis rangkum dalam sebuah tabel, sebagai berikut: Jumlah Kasus Narkoba dari Th. 2009 – Maret 2012 No 1 2 3 4 Sumber
Tahun Jumlah Kasus/tersangka Porsentase 2009 32/38 33,68 2010 33/36 34, 73 2011 24/26 25,26 Maret 2012 8/10 8,42 Jumlah dalam 3 95 tahun 3 bulan : Data Ungkap Kasus TP Narkoba Kepolisian Negara Republik Indonesia Daerah Jawa Tengah Resor Magelang
Dari tabel di atas diketahui pada tahun 2009, terjadi/ada 32 kasus tindak pidana narkoba yang ditangani oleh Kepolisian Resor Magelang, tahun 2010 berjumlah 33 kasus, tahun 2011 ada 24 kasus, dan pada tahun 2012 hingga bulan Maret berjumlah 8
45
kasus. Apabila dicermati dari tahun ke tahun, terjadi peningkatan 1 kasus dari tahun 2009 ke tahun 2010. Akan tetapi pada tahun 2011 terjadi penurunan sejumlah 9 kasus dari tahun 2010, sedangkan untuk tahun 2012 hingga bulan Maret berjumlah 8 kasus, setara dengan 2,66 perbulan. Andaikata dihitung untuk 1 tahun maka dapat diperkirakan untuk tahun 2012 kasus penyalahgunaan narkoba berjumlah 31,92 (dibulatkan menjadi 32) kasus. Dari 32 kasus Narkoba yang terjadi pada tahun 2009, yang dijadikan tersangka adalah sebanyak 38 orang. Jadi untuk 1 kasus ada beberapa orang atau lebih dari 1 orang yang dapat dijadikan tersangka. Untuk tahun 2010, dari 33 kasus, yang menjadi tersangka sebanyak 36 orang. Untuk tahun 2011 dari 24 kasus narkoba, ada 26 orang yang dijadikan tersangka, dan untuk tahun 2012 hingga tanggal 9 Maret 2012, dari 8 kasus, ada 10 orang yang dijadikan tersangka. Jadi dari 95 kasus narkoba yang terjadi di Magelang dari tahun 2009 hingga 9 Maret 2012, yang dijadikan tersangka adalah sebanyak 110 orang. Ad. 2) Tahap penyelesaian proses penyelidikan/penyidikan yang dilakukan Kepolisian Resor Magelang untuk kasus narkoba yang terjadi dari tahun 2009 hingga Maret 2012 Yang dimaksud dengan penyelesaian proses penyelidikan/penyidikan di sini adalah proses di mana Polisi sebagai penyidik
telah selesai menjalankan
tugasnya dalam melakukan penyelidikan/penyidikan terhadap kasus yang ditanganinya. Selesainya pelaksanaan penyidikan berarti semua alat bukti yang mengarah/mendukung untuk tindak lanjut kasus narkoba yang ditangani oleh penyidik kepolisian sudah dianggap lengkap. Jadi kasus narkoba itu sudah siap untuk diserahkan/dilimpahkan kepada Jaksa Penuntut Umum, untuk dilakukan penuntutan. Dari sini, terlihat betapa pentingnya arti dari hasil penyidikan yang dilakukan oleh penyidik kepolisian. Hasil penyidikan akan menentukan lebih
46
lanjut nasib seseorang yang dijadikan tersangka dalam kasus narkoba. Apakah akan dihukum atau dibebaskan dari hukuman, tergantung pada hasil penyidikan kepolisian. Berikut ini akan penulis tampilkan hasil penelitian tentang penyelesaian
penyelidikan/penyidikan
yang
dilakukan
Kepolisian
Resor
Magelang. Data Penyelesaian Penyelidikan/Penyidikan yang dilakukan Kepolisian Resor Magelang Tahun 2009 2010
Jumlah Kasus/tersangka 32/38 33/36
2011 Maret 2012
24/26 8/10
Proses Penyidikan
Selesai
6, 1 limpah Polda, 2 Polwil Kedu -
26, 1 Kirim JPU
Jumlah dalam 3 tahun 3 8 bulan Sumber: Olahan Data Ungkap Kasus TP Narkoba Kepolisian Republik Indonesia Daerah Jawa Tengah Resor Magelang
33 24 -
Dari tabel di atas dapat dijelaskan bahwa untuk 32 kasus narkoba di tahun 2009, 6 kasus berada dalam proses penyidikan. Dari 6 kasus ini, 1 kasus dilimpahkan ke Polda untuk dilanjutkan proses penyidikan, dan 2 kasus dilimpahkan ke Polwil Kedu untuk dilakukan proses penyidikan. Dan 26 kasus sudah selesai dilakukan penyidikan, bahkan 1 kasus sudah dikirim ke JPU (Jaksa Penuntut Umum) untuk dilakukan penuntutan. Untuk 33 kasus narkoba pada tahun 2010, penulis simpulkan proses penyidikan sudah dianggap selesai (tidak ada keterangan). Untuk tahun 2011, dari 24 kasus narkoba, proses penyidikan juga dianggap selesai (tidak ada keterangan). Sedangkan untuk kasus di tahun 2012, dari 8 kasus narkoba yang terjadi hingga tanggal 9 Maret 2012, semua kasus itu masih dalam proses penyidikan. Ad. 3) Kategori perbuatan yang disangkakan oleh penyidik terhadap si tersangka pelaku tindak pidana narkoba yang terjadi mulai tahun 2009 hingga Maret 2012 Yang dimaksud dengan kategori perbuatan tersangka di sini adalah kategori yang dianggap dan ditetapkan sebagai perbuatan tindak pidana oleh penyidik. Jadi perbuatan
47
tersebut telah ditetapkan sebagai tindak pidana oleh penyidik, dan oleh karenanya pelaku dijadikan tersangka. Yang kemudian bahan hasil penyidikan ini akan dijadikan dasar oleh Jaksa Penuntut Umum dalam pembuatan surat dakwaan untuk dilakukan penuntutan. Adapun penyidik yang dimaksud adalah penyidik di Kepolisian Resor Magelang, yang terkait dalam melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap kasus narkoba yang terjadi di wilayah hukum Kepolisian Resor Magelang (Kabupaten Magelang). Di dalam menemukan kategori perbuatan yang dilakukan oleh tersangka penyalahgunaan narkoba yang sedang ditangani ke Kepolisian Republik Indonesia Resor Magelang, penulis menggunakan bahan hukum primer yang ada atau yang berasal atau yang menjadi catatan atau berupa berita acara pemeriksaan penyelidikan/penyidikan yang dilakukan Kepolisian Resor Magelang. Semua bahan penelitian itu terekap dalam bentuk “Data Ungkap Kasus Tindak Pidana Narkoba”. Adapun masa waktu bahan hukum primer yang digunakan dalam penelitian ini adalah bahan hukum yang berasal dari tahun 2009 hingga bulan Maret tahun 2012. Dari bahan hukum primer yang penulis kumpulkan, diperoleh hasil penelitian tentang jumlah tindak pidana narkoba yang sedang ditangani Keplisian Resor Magelang dari tahun 2009 – Maret 2012, sebagai berikut: Tabel Kategori Perbuatan Pidana yang Disangkakan Penyidik Terhadap Pelaku Kategori Perbuatan Pelaku Menanam, memelihara, mempunyai dlm persediaan, memiliki, menyimpan, menguasai narkotika gol. 1. Memiliki, menyimpan dan/atau membawa psikotropika Menyalurkan psikotropika Mengedarkan sediaan farmasi berupa dan atau alat kesehatan yang tidak memenuhi persyaratan penandaan dan iformasi. Menggunakan, memproduksi dan/atau menggunakan, mengedarkan, menyimpan, memiliki, membawa. Menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai atau menyediakan narkotika gol. 1 Menawarkan utk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dlm jual beli, menukar atau menyerahkan narkotika gol. 1 Percobaan atau pemufakatan jahat utk melakukan tindak pidana narkotika Menyelenggarakan kegiatan atau proses produksi, penyimpanan, pengangkutan, dan atau peredaran pangan dalam keadaan yang tidak memenuhi persyaratan sanitasi, menggunakan bahan yang dilarang sbg bahan tambahan pangan, mengedarkan pangang yang dilarang, memperdagangkan pangan yg tidak memenuhi standar
Pasal Yg Disangkakan Pasal 78 (1) a UU No.22/1997 ttg Narkotika Pasal 62 UU No. 5/1997 Ttg Psikotropika Pasal 60 ayat (2) UU No. 5/1997 ttg Psikotropika Pasal 82 ayat (1) Huruf D UU RI No. 23 Tahun 1992 Ttg Kesehatan Pasal 59 ayat (1) huruf e UU No. 5/1997 ttg Psikotropika Pasal 111 UU No. 35/2009 ttg Narkotika Pasal 114 UU No. 35/2009 ttg Narkotika Pasal 132 UU No. 35/2009 ttg Narkotika Pasal 55 UU No. 7/1996 ttg Pangan
48
mutu yg diwajibkan Memiliki, menyimpan, menguasai/ menyediakan narkotika gol. 1 bukan tanaman Melakukan praktek kefarmasian Menjual, menawarkan, menyerahkan atau membagi-bagikan barang yang diketahuinya membahayakan nyawa atau kesehatan Menjual atau memberikan minuman yang memabukan, membikin mabuh seorang anak yang belum berumur 16 th, memaksa orang minum minuman memabukan
Pasal 112 UU No. 35/2009 ttg Narkotika Pasal 198 UU No. 36/2009 ttg Kesehatan Pasal 204 KUHP Pasal 300 KUHP
Dari tabel di atas dapat dijelaskan kategori perbuatan yang dilakukan pelaku yang disangkakan sebagai tindak pidana narkoba oleh penyidik. Uraian berikut akan mendeskripsikan kategori perbuatan tersebut. 1. Kategori perbuatannya adalah menanam, memelihara, mempunyai dalam persediaan, memiliki, menyimpan, menguasai narkotika golongan 1; 2. Kategori
perbuatannya
adalah
memiliki,
menyimpan
dan/atau
membawa
psikotropika. 3. Kategori perbuatannya adalah menyalurkan psikotropika. 4. Kategori perbuatannya adalah mengedarkan sediaan farmasi berupa dan atau alat kesehatan yang tidak memenuhi persyaratan penandaan dan iformasi. 5. Kategori perbuatannya adalah menggunakan, memproduksi dan/atau menggunakan, mengedarkan, menyimpan, memiliki, membawa. 6. Kategori perbuatannya adalah menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai atau menyediakan narkotika gol. 1. 7. Kategorik perbuatannya adalah menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar atau menyerahkan narkotika gol. 1. 8. Kategori perbuatannya adalah percobaan atau pemufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana narkotika. 9. Kategori perbuatannya adalah menyelenggarakan kegiatan atau proses produksi, penyimpanan, pengangkutan, dan atau peredaran pangan dalam keadaan yang tidak
49
memenuhi persyaratan sanitasi, menggunakan bahan yang dilarang sebagai bahan tambahan pangan, mengedarkan pangang yang dilarang, memperdagangkan pangan yang tidak memenuhi standar mutu yang diwajibkan 10. Kategori perbuatannya adalah memiliki, menyimpan, menguasai/menyediakan narkotika gol. 1 bukan tanaman. 11. Kategori perbuatannya adalah melakukan praktek kefarmasian 12. Kategori perbuatannya adalah menjual, menawarkan, menyerahkan atau membagibagikan barang yang diketahuinya membahayakan nyawa atau kesehatan. 13. Kategori perbuatannya adalah menjual atau memberikan minuman yang memabukan, membikin mabuk seorang anak yang belum berumur 16 tahun, memaksa orang minum minuman memabukan. Dari berbagai kategori perbuatan yang disangkakan sebagai tindak pidana narkoba di atas tidak satupun pasal yang menunjuk kepada pengguna narkoba yang bukan sebagai pelaku tindak pidana (pemakai yang bisa dianggap sebagai korban/pecandu). Dengan demikian, dapat dikatakan, hasil penyidikan Kepolisian sudah sejak awal mengarah kepada keinginan untuk menjadikan seseorang menjadi tersangka penyalahgunaan narkoba atau pelaku tindak pidana narkoba. Oleh karenanya sangat sedikit kemungkinan pelaku penyalahgunaan narkoba lepas dari jeratan hukum atau dipidana. Padahal dalam aturan hukum sesungguhnya dimungkinkan ada orang yang dianggap sebagai korban/pecandu. Misalnya: orang yang ketergantungan dengan narkoba/pecandu. Menurut Pasal 1 Angka (1) UU No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika, ketergantungan narkotika adalah kondisi yang ditandai oleh dorongan untuk menggunakan narkotika secara terus-menerus dengan takaran yang meningkat agar menghasilkan efek yang sama dan apabila penggunaannya dikurangi dan/atau dihentikan secara tiba-tiba, menimbulkan gejala fisik dan psikis yang khas.
50
Terhadap orang yang ketergantungan dengan narkoba, menurut hukum ia berhak bahkan wajib untuk mendapatkan rehabilasi medis dan rahabilitasi sosial. Rehabilitasi medis adalah suatu proses kegiatan pengobatan secara terpadu untuk membebaskan pecandu dari ketergantungan Narkotika. Sedangkan rehabilitasi sosial adalah suatu proses kegiatan pemulihan secara terpadu, baik fisik, mental maupun sosial, agar bekas pecandu Narkotika dapat kembali melaksanakan fungsi sosial dalam kehidupan masyarakat.30 Hal di atas didasarkan kepada aturan hukum, Pasal 54 UU No. 35 Tahun 2009 yang menentukan bahwa “Pecandu Narkotika dan korban penyalahgunaan Narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial”. Lebih lanjut Pasal 55 menentukan: (1) Orang tua atau wali dari Pecandu Narkotika yang belum cukup umur wajib melaporkan kepada pusat kesehatan masyarakat, rumah sakit, dan/atau lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial yang ditunjuk oleh Pemerintah untuk mendapatkan pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial; dan (2) Pecandu Narkotika yang sudah cukup umur wajib melaporkan diri atau dilaporkan oleh keluarganya kepada pusat kesehatan masyarakat, rumah sakit, dan/atau lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial yang ditunjuk oleh Pemerintah untuk mendapatkan pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.
B. Pasal dalam Undang-Undang Narkoba yang Diterapkan/Dikenakan Kepolisian Resor Magelang terhadap Tersangka Pada sub bab ini akan dikemukakan hasil penelitian: (1) tentang pasal-pasal dalam undang-undang yang diterapkan atau digunakan oleh Kepolisian Resor Magelang dalam kaitannya dengan kasus narkoba yang ditanganinya atau yang disidiknya; dan (2) Ancaman 30
pidana
terhadap
pelanggaran
pasal-pasal
undang-undang
yang
Lihat Pasal 1 Angka 16 dan 17 UU No. 35/2009 tentang Narkotika.
51
digunakan/diterapkan oleh Kepolisian Resor
Magelang. Hasil penelitian dirangkum
dalam sebuah tabel. 1. Pasal-Pasal dalam Undang-Undang yang Digunakan Kepolisian Pasal-pasal yang digunakan oleh Kepolisian maksudnya adalah pasal-pasal dalam undang-undang yang dianggap dilanggar oleh orang yang menjadi tersangka dalam kasus narkoba. Tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana.31 Perlu dicatat bahwa tersangka belum tentu pelaku tindak pidana atau setidak-tidaknya belum dapat disalahkan atas tindak pidana yang dilakukannya. Untuk itu diperlukan pembuktian melalui proses hukum berikutnya (penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan) untuk membuktikan apakah dugaan kepolisian itu benar atau tidak. Apabila benar maka si tersangka akan dijatuhi pidana dan apabila tidak terbukti bersalah, maka tersangka harus dibebaskan dari hukuman. Tabel berikut ini akan menggambarkan pasal-pasal yang digunakan kepolisian untuk menjerat si tersangka dalam kasus narkoba. Tabel Pasal UU Yang Digunakan Penyidik Terhadap Kasus Narkoba
Pasal Yg Disangkakan
Menanam, memelihara, mempunyai dlm persediaan, memiliki, menyimpan, menguasai narkotika gol. 1. Memiliki, menyimpan dan/atau membawa psikotropika Menyalurkan psikotropika
Pasal 78 (1) a UU No.22/1997 ttg Narkotika
4
Pasal 62 UU No. 5/1997 Ttg Psikotropika Pasal 60 ayat (2) UU No. 5/1997 ttg Psikotropika Pasal 82 ayat (1) Huruf D UU RI No. 23/1992 Tentang Kesehatan
16
Pasal 59 ayat (1) huruf e UU No. 5/1997 ttg Psikotropika
1
Mengedarkan sediaan farmasi berupa dan atau alat kesehatan yang tidak memenuhi persyaratan penandaan dan iformasi. Menggunakan, memproduksi dan/atau menggunakan, mengedarkan, menyimpan, memiliki, membawa. Menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai atau 31
Tahun 2009 32 tersangka
Kategori Pelaku
Pasal 111 UU No. 35/2009 ttg Narkotika
Tahun 2010 33 tersangka
Tahun 2011 24 tersankga
3
3
17 (1 dikenaka
5
Tahun 2012, 8 tersangka hingga Maret 2012
9 2
Pasal 1 Ayat 14 KUHAP.
52
menyediakan narkotika gol. 1 Menawarkan utk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dlm jual beli, menukar atau menyerahkan narkotika gol. 1 Percobaan atau pemufakatan jahat utk melakukan tindak pidana narkotika Menyelenggarakan kegiatan atau proses produksi, penyimpanan, pengangkutan, dan atau peredaran pangan dalam keadaan yang tidak memenuhi persyaratan sanitasi, menggunakan bahan yang dilarang sbg bahan tambahan pangan, mengedarkan pangang yang dilarang, memperdagangkan pangan yg tidak memenuhi standar mutu yg diwajibkan Memiliki, menyimpan, menguasai/ menyediakan narkotika gol. 1 bukan tanaman Melakukan praktek kefarmasian Menjual, menawarkan, menyerahkan atau membagibagikan barang yang diketahuinya membahayakan nyawa atau kesehatan Menjual atau memberikan minuman yang memabukan, membikin mabuh seorang anak yang belum berumur 16 th, memaksa orang minum minuman memabukan
Pasal 114 UU No. 35/2009 ttg Narkotika
n 2 pasal: 111/132) 3
3
Pasal 132 UU No. 35/2009 ttg Narkotika
1
Pasal 55 UU No. 7/1996 ttg Pangan
1
1
Pasal 112 UU No. 35/2009 ttg Narkotika
6
12
Pasal 198 UU No. 36/2009 ttg Kesehatan Pasal 204 KUHP
1
Pasal 300 KUHP
1
8
1 (dikenakan 2 pasal: 204/300) 1
Sumber: Data Ungkap Kasus TP Narkoba Kepolisian Republik Indonesia Daerah Jawa Tengah Resor Magelang
Berdasarkan kepada tabel di atas dapat dijelaskan hal-hal sebagai berikut: Pertama, yang diterapkan adalah Pasal 78 (1) a UU No. 22/1997 Tentang Narkotika. Apabila dilihat dari kasus yang terjadi, tersangka yang diancam dengan pasal ini adalah sebanyak 4 orang, yaitu untuk kasus yang terjadi pada tahun 2009, sedangkan untuk kasus yang terjadi pada tahun 2010, 2011, dan 2012, tidak menggunakan UU No. 22 Tahun 1997. Penggunaan UU No. 22 Tahun 1997 bisa dipahami, karena pada saat itu UU No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika belum berlaku. Kedua, yang disangkakan adalah Pasal 62 UU No. 5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika. Jika dilihat dari kasus yang terjadi, Pasal 62 diterapkan untuk 16 kasus yang terjadi pada tahun 2009, 3 kasus untuk tahun 2010, 3 kasus untuk tahun 2011, dan untuk kasus tahun 2012 kosong atau tidak ada sama sekali.
53
Ketiga, yang disangkakan adalah Pasal 60 ayat (2) UU No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika. Jika dilihat dari kasus berdasarkan tahun, maka Pasal 60 ayat (2) hanya diterapkan untuk kasus yang terjadi pada tahun 2009, yaitu sebanyak 9 tersangka. Keempat, ada 2 tersangka pada tahun 2009, yang diancam dengan Pasal 82 ayat (1) huruf D UU No. 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan. Perbuatannya adalah “mengedarkan sediaan farmasi berupa dan atau alat kesehatan yang tidak memenuhi persyaratan penandaan dan informasi”. Kelima, 1 orang pada tahun 2009, diancam dengan Pasal 59 ayat (1) huruf e UU No. 5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika. Keenam, sebanyak 17 kasus pada tahun 2010 dan 5 kasus untuk tahun 2011 dikenakan atau diancam tersangkanya dengan Pasal 111 UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Ketujuh, sebanyak 3 kasus pada tahun 2010 dan 3 kasus pada tahun 2011 dijadikan tersangka pelaku penyalahgunaan narkoba, yaitu diancam dengan Pasal 114 UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Kedelapan, ada 1 kasus pada tahun 2010 yang diancam dengan Pasal 132 UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Kesembilan, ada 1 kasus untuk tahun 2010 dan 1 kasus untuk tahun 2011 yang diancam dengan pasal 55 UU No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan. Perbuatannya dikategorikan: “Menyelenggarakan kegiatan atau proses produksi, penyimpanan, pengangkutan, dan atau peredaran pangan dalam keadaan yang tidak memenuhi persyaratan sanitasi, menggunakan bahan yang dilarang sbg bahan tambahan pangan, mengedarkan pangang yang dilarang, memperdagangkan pangan yg tidak memenuhi standar mutu yg diwajibkan”.
54
Kesepuluh, pasal yang diancamkan untuk pelaku narkoba adalah Pasal 112 UU No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Untuk tahun 2010 sebanyak 6 orang dijadikan tersangka melanggar pasal ini, 12 orang untuk tahun 2011, dan 8 orang untuk tahun 2012. Kesebelas, sebanyak 1 orang pada tahun 2010, diancam dengan pasal 198 UU No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan. Keduabelas, 1 orang pada tahun 2010, dan 1 orang pada tahun 2011, diancam dengan Pasal 204 KUHP. Ketigabelas, 1 orang pada tahun 2011 diancam dengan Pasal 300 KUHP. Hal yang penting untuk dijadikan perhatian adalah banyak undang-undang yang diterapkan oleh Kepolisian Resor Magelang untuk menjerat para pelaku/tersangka dalam kasus narkoba, diantaranya: UU Narkotika No. 22 Tahun 1997, UU Psikotropika No. 5 Tahun 1997, UU Kesehatan No. 23 Tahun 1992, UU Pangan No. 7 Tahun 1996, KUHP, dan UU Narkotika No. 35 Tahun 2009.
55
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan Setelah melakukan pembahasan dan analisa pada Bab IV, penulis menyimpulkan beberapa hal, yaitu: Pertama, dalam menentukan kategori perbuatan pada umumnya penyelidik/penyidik sudah sejak awal mengarahkan seseorang yang melakukan penyalahgunaan narkoba sebagai tersangka pelaku tindak pidana. Konsekuensi dari sikap yang demikian itu dapat dibaca bahwa setiap orang yang melakukan penyalahgunaan narkoba sudah pasti akan dijatuhi pidana. Padahal dan tidaklah mustahil para penyalahgunaan narkoba diantaranya ada yang bisa dianggap sebagai korban dan ada yang benar-benar bisa dianggap sebagai pelaku tindak pidana. Oleh karena itu tidaklah tepat seorang korban diperlakukan sama sebagai seorang pelaku kejahatan atau tindak pidana. Mengapa hal ini perlu dibedakan? Karena perbedaan ini akan memberi konsekuensi yang berbeda pula dalam penerapan hukumnya. Seseorang yang dikatakan bersalah akan dikenakan/dijatuhi pidana dan seorang korban akan direhabilitasi. Apalagi undang-undang narkotika menganut asas: “pengayoman; kemanusiaan; dan perlindungan”. Kedua, ada 95 kasus narkoba yang ditangani Kepolisian Resor Magelang sejak tahun 2009 hingga bulan Maret 2012. Jika dilihat pertahunnya rata-rata kasus narkoba di wilayah hukum kepolisian Resor Magelang terjadi sekitar 29 – 30 kasus per-tahun. Dengan angka ini dapat dikatakan tidak ada kecenderungan naiknya angka penyalahgunaan narkoba di Kepolisian Resor Magelang. Walaupun demikian kita harus tetap hati-hati dan waspada agar angka sedikit itu tidak terjadi peningkatan dan kapan perlu dikurangi. Ketiga, penulis melihat ada kelemahan dalam undang-undang, misalnya pada satu sisi diatur tentang hak untuk mendapatkan rehabilitasi sementara dalam hal terjadi 56
penyalahgunaan narkoba, tidak satu pun pasal dalam undang-undang yang mengatur, bagaimana orang yang dapat disebut sebagai korban dari penyalahgunaan narkoba itu diarahkan untuk mendapatkan rehabilasi. Undang-Undang lebih cenderung untuk menjadi seseorang penyalahgunaan narkoba menjadi tersangka/terdakwa/terpidana.
B. Saran Dalam kaitannya dengan penelitian ini, penulis ingin menyampaikan saran: Pertama, perlu ada aturan yang jelas dalam suatu undang-undang tentang Narkoba yang mengatur bahwa orang yang menjadi korban penyalahgunaan sejak awal penyidikan dapat ditetapkan sebagai orang yang berhak mendapatkan rehabiltasi bukan orang yang didudukan sebagai tersangka. Kedua, hendaknya penyelidik/penyidik betul-betul secara sungguh-sungguh melakukan identifikasi terhadap kasus narkoba yang ditanganinya. Sehingga dengan demikian sejak awal penyidikan sudah dapat ditentukan mana orang penyalahgunaan narkoba yang dapat dijadikan tersangka dan mana yang berhak mendapatkan rerhabilatasi.
57
Daftar Pustaka Republika, Senin, 14 Mei 2012 Sumber: rethacuaemlive.blogspot.com, 2009, Artikel: Jumlah Pengguna Narkoba di Indonesia, di unduh dari http://dunia-narkoba.blogspot.com/2009/03/jumlah-penggunanarkoba-diindonesia.html Disampaikan dalam acara Studiun General Fak. Hukum UMM, Februari 2012. Hadiman, 1999. Narkoba: Menguak Misteri Maraknya Narkoba di Indonesia, Primer Koperasi Mitra Usaha SBIMMAS POLRI:Jakarta. Sudikno Mertokusumo. 1991. Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Yogyakarta: Liberty Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas, diakses tgl. 10 Juni 2012. Hari Sasangka, 2003. Narkotika dan Psikotropika dalam Hukum Pidana Untuk Mahasiswa dan Praktisi serta Penyuluh Masalah Narkoba, Bandung: Mandar Maju, hal. 4. Sumber : www.bnn.go.id, diakses, 5 September 2012. UU No. 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. UU No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika.
58