BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Intergroup anxiety adalah perasaan cemas dan tidak nyaman yang mungkin dirasakan seseorang ketika berinteraksi dengan kelompok outgroupnya (Stephan, 2014). Perasaan cemas dan tidak nyaman ini dapat dirasakan baik oleh kelompok mayoritas maupun minoritas (Islam & Hewstone, 1993). Seseorang yang memiliki intergroup anxiety tinggi dapat merasa gelisah, distres dan tidak tenang saat melakukan interaksi antarkelompok. Mereka juga memiliki kecemasan akan konsekuensi negatif yang mungkin diterima saat melakukan interaksi antarkelompok seperti dipermalukan, didiskriminasi, dilukai atau menerima penolakan dari outgroup. Secara fisiologis, intergroup anxiety juga dapat meningkatkan level kortisol dan tekanan darah sistolik seseorang ketika mengantisipasi interaksi antarkelompok dengan outgroupnya (Stephan, 2014). Dalam sebuah meta-analisis yang mereview 95 sampel penelitian tentang ancaman antarkelompok (intergroup threat) dan sikap terhadap outgroup (outgroup attitudes), intergroup anxiety juga dinyatakan sebagai prediktor outgroup attitudes yang kuat dan konsisten (Riek, Mania & Gaertner, 2006). Hal ini memiliki arti bahwa seseorang dengan intergroup anxiety yang tinggi cenderung menunjukkan outgroup attitude negatif seperti prasangka atau stereotip yang lebih tinggi terhadap outgroupnya. Sebaliknya, seseorang dengan intergroup anxiety yang rendah juga cenderung menunjukkan tingkat prasangka dan stereotip yang lebih rendah terhadap outgroupnya. Selain itu, beberapa penelitian telah membuktikan peran intergroup anxiety sebagai mediator
yang
menjembatani
banyak
stimulus
dan
respon
dalam
hubungan
antarkelompok. Salah satunya adalah penelitian oleh Paolini, Hewstone, Cairns dan Voci yang melibatkan lebih dari 1000 responden di Irlandia Utara pada tahun 2004. Paolini dkk menemukan bahwa melalui mekanisme penurunan intergroup anxiety, persahabatan 1
2 antarkelompok terbukti dapat mengurangi prasangka antarkelompok. Penelitian ini dilakukan dalam konteks hubungan antarkelompok Protestan dan Katolik di Irlandia yang memiliki sejarah konflik yang panjang. Di negara yang sangat multikultural seperti Indonesia, harmoni hubungan antarkelompok di dalam masyarakat merupakan elemen yang penting bagi persatuan dan stabilitas bangsa. Pentingnya elemen ini terlihat dalam sejarah bangsa Indonesia di mana ada pihak-pihak yang pernah berhasil mengadu domba bangsa ini dengan mengacaukan hubungan antarkelompok dalam masyarakatnya. Dalam hubungan antarkelompok, sikap negatif terhadap outgroup seperti prasangka dan stereotip merupakan salah satu faktor yang dapat merusak harmoni. Oleh karena itulah, intergroup anxiety yang secara konsisten berperan sebagai prediktor sikap terhadap outgroup menjadi sebuah variabel penting yang perlu diperhatikan dalam menjaga dan meningkatkan harmoni hubungan antarkelompok di Indonesia. Intergroup anxiety dapat disebabkan oleh beberapa hal yang dimiliki atau dialami individu seperti trait kepribadian, sikap dan kognisi antarkelompok, pengalaman pribadi dan juga faktor situasional. Riek, Mania & Gaertner (2006) menduga kemunculan intergroup anxiety mungkin dapat disebabkan juga oleh adanya persepsi terhadap ancaman yang berasal dari outgroup atau yang biasa disebut dengan intergroup threat. Secara teoritis, intergroup threat terdiri dari dua komponen yaitu: realistic threat dan symbolic threat. Realistic threat adalah komponen dari intergroup threat yang dirasakan seseorang ketika kelompok lain berada dalam posisi yang dapat membahayakan dirinya secara fisik dan materiil. Sedangkan symbolic threat adalah ancaman yang dirasakan seseorang ketika kelompok lain berada dalam posisi yang dapat membahayakan dirinya secara psikis, simbolis dan non materiil (Stephan, Ybarra & Morrison, 2009) Realistic dan symbolic threat inilah yang diduga Riek, Mania & Gaertner (2006) dapat
meningkatkan
kemungkinan
seorang
individu
untuk
mengalami
emosi
antarkelompok seperti intergroup anxiety. Dugaan ini beberapa kali tampaknya terbukti dalam hubungan antarkelompok Tionghoa dan pribumi di Indonesia. Contohnya, dalam 2
3 kerusuhan di bulan Mei tahun 1998 lalu, terjadi eksodus besar-besaran warga Tionghoa ke
luar negeri. Laporan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) menunjukkan bahwa etnis Tionghoa memang menjadi target utama dalam kerusuhan tersebut (Isnaeni dalam Majalah Historia Online, 25 Mei 2010). Dalam situasi berbahaya seperti itu, wajar saja bila orang-orang Tionghoa merasa terancam. Dari sudut pandang psikologi sosial, eksodus yang dilakukan oleh orang-orang Tionghoa saat itu merupakan bentuk penghindaran (withdrawal) secara ekstrim yang mungkin dimunculkan oleh intergroup anxiety. Peristiwa Mei Kelabu tahun 1998 silam merupakan konflik rasial terkait etnis Tionghoa terkini yang terjadi pasca kemerdekaan. Berdasarkan laporan Tim Gabungan Pencari Fakta (Semanggi Peduli, 2014), awal mula kerusuhan dimulai pada tanggal 12 Mei dini hari dan mencapai puncaknya pada tanggal 13-15 Mei 1998. Pelakunya terdiri dari kelompok provokator yang menggerakkan massa, massa aktif yang terprovokasi menjadi agresif, dan massa pasif yang sebagian besar hanya menonton kerusuhan yang berlangsung. Data tim relawan menemukan sedikitnya 1190 orang meninggal akibat ter/dibakar, 27 orang akibat senjata/dan lainnya, serta 91 orang luka-luka. Jumlah akurat korban kekerasan seksual tidak mudah untuk diperoleh, namun berdasarkan data yang diperoleh di Jakarta, Medan dan Surabaya, perkiraan jumlah korban kekerasan seksual yang terlapor adalah sekitar 52 orang. Meski demikian, sebelum kerusuhan Mei Kelabu, TGPF mendapatkan laporan tentang ratusan korban kekerasan seksual pada kerusuhan 4-5 Mei 1998 di Medan yang berhubungan dengan kerusuhan 13-15 Mei 1998. Tidak semua korban yang menderita kerugian material maupun kekerasan dari kerusuhan ini merupakan etnis Tionghoa, namun sebagian besar kasus memang diderita oleh etnis Tionghoa. Kerusuhan yang mengakibatkan kerugian material dan mengancam nyawa seperti peristiwa Mei Kelabu ini merupakan bentuk nyata realistic threat yang dirasakan oleh etnis Tionghoa di Indonesia. Tiga tahun kemudian, setelah situasi dan kondisi mulai mereda pasca peristiwa Mei Kelabu, KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang ketika itu menjabat sebagai Presiden RI mencabut Inpres Nomor 14 tahun 1967 dan menindaklanjutinya dengan mengeluarkan
4 Keputusan Presiden (Kepres) No. 19 tahun 2001 yang meresmikan Imlek sebagai hari libur fakultatif (Aziz, 2016). Langkah ini merupakan langkah besar pemerintah dalam memberikan hak dan pengakuan serta menghilangkan diskriminasi terhadap etnis Tionghoa sebagai kelompok minoritas. Meski demikian, hal ini tidak seketika memperbaiki hubungan antarkelompok antara etnis Tionghoa dan etnis pribumi di Indonesia. Secara konstitusional, diskriminasi sistemik yang diterima etnis Tionghoa selama berpuluh-puluh tahun kini telah berakhir, namun prasangka dan sikap negatif antarkelompok tidak dapat dihilangkan begitu saja oleh pencabutan peraturan diskriminatif. Buktinya, menjelang pemilihan presiden tahun 2014 hingga akhir tahun 2016, sentimen anti-Tionghoa kembali digunakan oleh oknum-oknum tidak bertanggung jawab untuk memprovokasi masyarakat dan menyudutkan pihak-pihak tertentu khususnya dalam ajang politik dan kekuasaan di Indonesia (Republika Online, 2014; Armando, 2015; Wirawan, 2016). Hal ini menunjukkan masih relevannya sikap dan sentimen negatif terhadap etnis Tionghoa yang mengakar di dalam masyarakat Indonesia. Bila dibiarkan dan tidak ditangani dengan tepat, sikap dan sentimen negatif ini dikhawatirkan dapat memicu konflik antarkelompok lain di masa depan sekaligus menguatkan persepsi terhadap intergroup threat dalam kelompok etnis Tionghoa di Indonesia. Menguatnya persepsi terhadap ancaman ini kemudian dapat berdampak pada semakin menguatnya sikap dan emosi negatif antarkelompok, seperti intergroup anxiety, di Indonesia. Selanjutnya, selain dipengaruhi intergroup threat, intergroup anxiety juga dapat dipengaruhi oleh variabel antarkelompok lain seperti pengalaman kontak seseorang dengan outgroupnya atau lebih dikenal sebagai intergroup contact. Menurut teori intergroup anxiety yang dicetuskan Stephan & Stephan (1985), individu yang sering melakukan kontak dan interaksi dengan outgroup-nya cenderung memiliki intergroup anxiety yang lebih rendah dibandingkan individu yang jarang berinteraksi dengan anggota outgroup.
Hal
ini
membuktikan
adanya
hubungan
antara
pengalaman
kontak
antarkelompok dengan intergroup anxiety. Teori ini senada dengan hipotesis kontak yang
5 dicetuskan Allport (1954) yang menduga intergroup contact dapat mempengaruhi sikap antarkelompok (intergroup attitudes) ke arah yang lebih positif. Berdasarkan temuan-temuan di atas, pengetahuan tentang intergroup anxiety beserta faktor-faktor yang mempengaruhinya adalah hal yang penting untuk diketahui dalam upaya menjaga harmoni antarkelompok. Sementara itu, sentimen anti-Tionghoa merupakan bentuk sikap negatif antarkelompok terhadap etnis Tionghoa yang masih relevan dalam masyarakat Indonesia hingga saat ini. Sentimen ini seringkali digunakan oknum tidak bertanggungjawab untuk memprovokasi konflik antarkelompok yang pada akhirnya menguatkan persepsi terhadap intergroup threat dalam diri etnis Tionghoa. Dalam konteks konflik antara kelompok pribumi dan Tionghoa di Indonesia, mengetahui tingkat intergroup anxiety kelompok Tionghoa dan/atau pribumi Indonesia merupakan usaha yang penting dalam meningkatkan kualitas hubungan antarkelompok Tionghoa dan pribumi di Indonesia yang hingga kini masih sering dinodai oleh sentimen anti-Tionghoa. Dalam penelitian ini, akan diuji apakah intergroup anxiety pada kelompok Tionghoa dipengaruhi oleh intergroup threat serta apakah intergroup contact berkontribusi dalam pengaruh intergroup threat terhadap intergroup anxiety tersebut.
B. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh intergroup threat terhadap intergroup anxiety pada etnis Tionghoa di Indonesia dengan mengontrol positive intergroup contact pada pengaruh tersebut.
C. Manfaat Penelitian Adapun manfaat yang diharapkan diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Manfaat Teoritis: a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah pengetahuan dalam bidang psikologi, khususnya psikologi sosial dan psikologi budaya.
6 2. Manfaat Praktis: a. Bagi masyarakat Indonesia, hasil penelitian ini dapat memberikan wawasan baru
tentang
hubungan
antarkelompok
masyarakat
Indonesia
yang
multikultural serta menjadi pertimbangan bagi masyarakat dalam berperilaku dan
mengambil
keputusan
sehingga
dapat
mendorong
terciptanya
masyarakat Indonesia yang terintegrasi dan tidak mudah dipecah belah. b. Bagi praktisi di bidang psikologi, hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dan masukan dalam proses konseling atau terapi klien dengan kasus yang berkaitan dengan hubungan antarkelompok, khususnya antara etnis Tionghoa dengan etnis lainnya di Indonesia. c. Bagi pembuat kebijakan, hasil penelitian ini dapat menjadi bahan pertimbangan dalam pembuatan kebijakan-kebijakan di masa mendatang serta peninjauan kembali dan perbaikan kebijakan-kebijakan masa lalu yang bersifat diskriminatif dan berpotensi memecah belah persatuan bangsa.