BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Saat ini pemerintah Indonesia tengah berupaya keras mewujudkan target Milenium Development Goals (MDG) terutama tujuan keempat dan kelima terkait kematian ibu melahirkan dan bayi dibawah lima tahun (balita). Penyebab utama kematian pada balita akibat masalah neonatal (asfiksia, berat badan lahir rendah, infeksi neonatal), penyakit infeksi (diare dan pneumonia) sangat terkait erat dengan masalah gizi (gizi buruk/kurang) (BAPPENAS, 2012; Sari, 2012). Berbagai penelitian telah membuktikan bahwa masalah gizi adalah masalah intergenerasi, dimana ibu hamil kurang gizi akan melahirkan bayi kurang gizi dan status gizi janin dalam kandungan dipengaruhi oleh status gizi ibu hamil bahkan saat sebelum hamil. Masalah gizi dapat diselesaikan dalam waktu relatif singkat, dengan pelayanan berkelanjutan pada periode emas kehidupan yang dimulai sejak janin dalam kandungan sampai anak berusia dua tahun (BAPPENAS, 2011). Upaya yang dilakukan pemerintah sejak tahun 2013 berupa gerakan nasional percepatan perbaikan gizi seribu hari pertama kehidupan (1000 HPK) yang dalam tataran global dikenal dengan Scaling Up Nutrition (SUN Movement). Seribu hari pertama kehidupan merupakan periode emas atau waktu kritis, yang jika tidak dimanfaatkan dengan baik akan terjadi kerusakan yang bersifat permanen (window of opportunity) dan tidak dapat dikoreksi sehingga dapat berdampak pada gangguan pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental maupun kecerdasan anak dikemudian hari (BAPPENAS,2011; MENKOKESRA, 2013).).
1
2
Tiga elemen gerakan tersebut adalah (i) Aksi pada tingkat Nasional berdasar data epidemiologi gizi dan kapasitas menangani masalah gizi (ii) Didasarkan atas bukti nyata dan intervensi cost-effective (iii) Pendekatan bersifat multisektor. Implementasi program terdiri atas intervensi gizi spesifik bersifat jangka pendek di sektor kesehatan (prioritas pada ibu hamil, ibu menyusui dan anak usia 0-24 bulan) dan intervensi gizi sensitif yang dijalankan diluar sektor kesehatan (masyarakat umum). Intervensi spesifik berupa pemberian minimal 90 butir tablet besi dan cakupan kunjungan antenatal minimal 4 kali pada ibu hamil, inisiasi menyusui dini, ASI eksklusif hingga bayi usia 6 bulan dan pemberian ASI lanjutan hingga anak dua tahun (WHO, 2002; BAPPENAS, 2012; KEMENKES, 2012, MENKOKESRA, 2013). Masalah gizi pada ibu hamil yang banyak dijumpai di Indonesia bahkan diseluruh dunia adalah anemia pada kehamilan yang sebagian besar diakibatkan oleh defisiensi besi. Berdasar survei WHO tahun 1993-2005, Indonesia dinyatakan WHO sebagai negara yang memiliki masalah kesehatan komunitas berat, oleh karena prevalensi anemia ibu hamil mencapai > 40% (44,3%). Laporan dari Riset Kesehatan Dasar (Riskedas) tahun 2007 didapatkan prevalensi anemia ibu hamil 24,50%, sedangkan tahun 2012 mencapai 37,1% dengan penyebab tertinggi adalah defisiensi zat besi (De Benoist et al., 2008; DEPKES RI, 2009; KEMENKES, 2013). Di Yogyakarta tahun 2011, prevalensi ibu hamil anemia 18,90%, tahun 2010 sebanyak 20,95% dan pada tahun 2012 prevalensi di sebagian besar kabupaten/kota di DIY berada pada kisaran prevalensi 15-39% (DINKES PROV DIY, 2012; DINKES PROV DIY,2013).
3
Defisiensi besi pada kehamilan dapat meningkatkan resiko komplikasi pada ibu, janin maupun bayi yang dilahirkan. Gangguan pada ibu dapat terjadi sejak fase antenatal hingga periode laktasi berupa menurunnya kualitas hidup fisik maupun mental akibat penurunan kapasitas kerja, rentan infeksi, disfungsi persalinan, bahkan turut berperan atas 40% kematian ibu di negara berkembang (Breyman, 2002; Saifudin et al., 2009; Milman 2011). Pada janin dapat meningkatkan
risiko
komplikasi
terkait
kelahiran
prematur,
gangguan
pertumbuhan sel tubuh dan otak janin, berat badan lahir rendah, dan gangguan intelektual, kognitif, perilaku maupun motorik anak dikemudian hari (Okeke, 2011; Milan, 2011). Resiko defisiensi besi pada ibu hamil meningkat sesuai usia kehamilan akibat adanya peningkatan kebutuhan zat besi untuk peningkatan massa eritrosit, volume plasma serta pertumbuhan janin dan plasenta dengan kebutuhan tertinggi pada kehamilan trimester ketiga (Bothwell, 2000; Raza et al., 2011). Penelitian di Amerika Serikat tahun 1999-2006 mendapatkan prevalensi defisiensi besi meningkat tiap trimester yaitu berturut-turut pada trimester pertama, kedua dan ketiga sebesar 6,9 ± 2,2%, 14,3 ± 2,1%, dan 29,5 ±2,7% (Mei et al., 2011). Tingginya prevalensi defisiensi besi pada kehamilan trimester ketiga akan meningkatkan resiko tidak adekuatnya cadangan besi ibu dalam laktasi. Penelitian tahun 2001 di Indonesia, mendapatkan 29% ibu menyusui mengalami defisiensi besi (143 subyek dengan nilai ferritin 6,1-30,4ug/L), sedangkan di Zambia mendapatkan 41% (168 subyek) (Kafwembe, 2001; Djikhuzein et al.,2001).
4
Skrining diperlukan untuk mencari penyakit pada subyek yang asimptomatik jika suatu penyakit memenuhi kriteria: mempunyai prevalensi tinggi, menunjukkan morbiditas/mortalitas yang bermakna jika tidak diobati, terdapat terapi efektif yang dapat mengubah perjalanan penyakit dan adanya pengobatan dini dapat memberikan hasil yang lebih baik daripada kasus yang lanjut. (Pusponegoro et al., 2010). Skrining defisiensi besi pada ibu hamil yang akan melahirkan di Indonesia belum pernah dilaporkan, namun hal ini dirasa perlu oleh karena memenuhi kriteria tersebut. Kegiatan ini dapat digunakan sebagai strategi awal menilai cadangan besi ibu untuk persiapan laktasi, juga sebagai acuan perlu tidaknya pemberian suplementasi besi pada ibu menyusui. WHO merekomendasikan diberikannya suplementasi besi pada 6 bulan selama kehamilan hingga 3 bulan setelah melahirkan pada negara yang mempunyai prevalensi anemia ibu hamil ≥40% (CORE, 2004) Adanya bukti bahwa cakupan pelayanan kesehatan berkualitas yang diterima anak sejak dalam kandungan dan deteksi dini penyakit dapat berpengaruh terhadap membaiknya tingkat kesehatan anak, serta intervensi gizi hanya akan efektif jika dilakukan selama kehamilan dan 2-3 tahun pertama kehidupan anak, akan mendukung pentingnya skrining ini (BAPPENAS, 2011; BAPPENAS, 2012). Diharapkan dengan hal tersebut, dapat memberantas masalah potensial terkait nutrisi pada ibu menyusui, sehingga kegiatan laktasi dapat berlangsung optimal baik pada periode asi eksklusif maupun lanjutan dan gangguan tumbuh
5
kembang anak akibat defisiensi besi dapat dihindarkan (WHO, 2002; Meizen Deer et al., 2006). Penanganan defisiensi besi cukup mudah, namun dalam eradikasinya tidak mudah oleh karena sulitnya diperoleh alat skrining yang simpel dan reliabel untuk mendeteksi seawal mungkin. Terdapat tiga tahapan dalam defisiensi besi yaitu: deplesi simpanan besi, defisiensi besi laten dan anemia defisiensi besi (Al-Toub, 2006; Scholl, 2011). Upaya deteksi dini sangat penting dilakukan sebelum terjadi anemia untuk mencegah timbulnya komplikasi sistemik yang bersifat permanen pada anak (Brugnara, 1999; Thomas, 2002; Miller, 2013). Banyak parameter laboratorium yang telah dikembangkan dalam menilai status besi untuk mendiagnosis defisiensi besi baik secara langsung maupun tidak langsung, namun masing-masing mempunyai keterbatasan yang beragam. Penilaian secara langsung sebagai baku emas identifikasi defisiensi besi adalah dengan pewarnaan Prusian blue biopsi sumsum tulang dengan prosedur pemeriksaan yang bersifat invasif, interpretasi hasil yang sulit dan memerlukan tenaga terlatih, serta adanya resiko perdarahan dan infeksi sehingga tidak mungkin digunakan sebagai metode skrining (Brugnara, 2002; Perkins, 2006; WHO, 2007; Thomas et al., 2013). Pemeriksaan lain yang luas digunakan adalah secara tidak langsung, yaitu dengan pemeriksaan hematologi konvensional melalui penilaian hemoglobin (Hb), hematokrit (Hmt) dan indeks eritrosit. Pemeriksaan ini bersifat tidak sensitif (terdapat pengaruh adaptasi fisiologis kehamilan berupa hemodilusi dan kenaikan MCV) dan tidak spesifik (dapat dijumpai pada penyakit lain) terutama dalam
6
mendeteksi gangguan jangka pendek eritropoesis pada kehamilan. Parameter ini hanya bermanfaat mendeteksi tahap lanjut defisiensi besi, sehingga akan terjadi keterlambatan dalam mencegah komplikasi permanen yang ditimbulkan dan mungkin tidak dapat diperbaiki (Ulrich et al., 2005; Thomas et al., 2013). Pemeriksaan indirek lain yang direkomendasikan WHO berupa parameter biokimiawi adalah serum ferritin (SF) yang merefleksikan cadangan besi dalam tubuh dan saturasi transferin (%sat) yang mencerminkan besi yang ditransport dan serum besi (SI) yang menunjukkan ketersediaan besi di sirkulasi, dan akhirakhir ini dikembangkan parameter soluble Transferrin Receptor (sTfR) yang merefleksikan intensitas eritropoesis dan kebutuhan besi (Thomas et al., 2002; Brugnara, 2003; WHO,2007). Serum iron dipengaruhi oleh variasi diurnal, diet kaya besi juga variasi metode pemeriksaan dan hemolisis, sedangkan kontrasepsi oral berpengaruh menurunkan serum transferin. Feritin berperan juga sebagai protein fase akut, sehingga sulit diinterpretasikan dalam kondisi inflamasi, sedangkan pada trimester akhir kehamilan sering dijumpai keadaan inflamasi ringan yang bersamaan dengan deplesi cadangan besi. Reseptor transferin kadarnya dapat meningkat pada kondisi anemia hemolitik dan thalassemia. Oleh karena hal tersebut, maka parameter ini dinilai kurang praktis digunakan sebagai alat skrining, karena dalam pemeriksaannya memerlukan persiapan khusus, harganya juga relatif mahal dan ketersediaannya terbatas (Brugnara, 2003; WHO, 2007; Schoorl et al., 2012). Adanya perkembangan teknologi pada alat hematologi otomatis dengan sedikit penambahan software dan reagen pada metode flowcytometry dalam
7
dekade terakhir menghasilkan parameter yang dapat menunjukkan kandungan hemoglobin dalam sel eritrosit maupun retikulosit dengan lebih akurat. Parameter tersebut dikenal dengan Content Hemoglobin reticulocyte (CHr) produk dari Bayer yang disetujui penggunaan di Amerika Serikat sejak tahun 1997, dan pada tahun 2005 pabrikan Sysmex mengembangkan parameter yang ekivalen berupa Reticulocyte hemoglobin equivalent (Ret-He) (Brugnara, 2006). Retikulosit merupakan eritrosit yang masih muda, tidak berinti dan berasal dari proses pematangan normoblas di sumsum tulang. Kondisi defisiensi besi akan mengakibatkan penurunan ketersediaan besi di sumsum tulang sehingga akan menyebabkan penurunan produksi Hb pada retikulosit dalam waktu singkat. Retikulosit beredar di sirkulasi selama 24-48 jam, pengukuran secara langsung terhadap rata-rata kandungan Hb dalam retikulosit dapat berfungsi sebagai indikator awal ketersediaan besi yang sebenarnya di sumsum tulang dibandingkan dengan pengukuran Hb dalam eritrosit yang berada dalam sirkulasi selama 90-120 hari (Ulrich et al., 2005; Clark, 2009; Schrool et al., 2010). Melalui pengukuran ini maka tahap dini defisiensi besi akan dapat diidentifikasi, ketika parameter biokimia tradisional tidak informatif (Clark, 2009; Brugnara, 2006; Suega, 2010). Pemeriksaan darah lengkap dengan alat hematologi otomatis umumnya rutin dikerjakan sebagai evaluasi awal pada pasien yang dirawat di rumah sakit termasuk pasien yang akan melahirkan, sehingga dapat dimanfaatkan juga untuk penilaian status besi pada ibu hamil untuk persiapan periode laktasi. Pemeriksaan hemoglobin
dalam
retikulosit
pengumpulan
sampelnya
mudah
karena
menggunakan jenis sampel yang sama, sehingga tidak diperlukan tambahan biaya
8
tabung sampel dan menunjukkan hasil yang konsisten terhadap berbagai variasi biologis (Ulrich et al., 2005). Metode ini dinilai merupakan cara paling praktis dalam mengevaluasi defisiensi besi pada ibu hamil aterm dan mempunyai potensi akurasi diagnostik tertinggi (Ervasti, 2008). Uji diagnostik untuk skrining harus mempunyai sensitivitas yang sangat tinggi (negatif palsu rendah/mendekati 100%), meskipun spesifisitasnya rendah. Dalam uji diagnostik terdapat variabel hasil uji dan hasil akhir (sakit/tidaknya seseorang) yang ditentukan dengan pemeriksaan baku emas dalam bentuk tabel 2x2. Bila hasil uji merupakan variabel berskala numerik, maka harus dibuat titik potong atau cut-off yang merupakan nilai batas hasil uji positif dan hasil uji negatif. Pada penentuan cut-off harus dilakukan tawar-menawar, karena peningkatan sensitivitas akan menyebabkan penurunan spesifisitas dan sebaliknya. Salah satu cara penentuan titik potong adalah dengan kurva Receiving operator curve (ROC), dimana titik potong yang terbaik merupakan titik terjauh disebelah kiri atas garis diagonal menunjukkan nilai yang memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang paling optimal untuk uji diagnostik (Pusponegoro et al., 2010). Penelitian terkait penilaian status besi dan manfaat klinis penggunaan parameter Ret-He dalam skrining defisiensi besi terhadap ibu hamil aterm belum pernah dilakukan di Yogyakarta, sedangkan penelitian yang pernah dilakukan pada ibu hamil di Jakarta dan Medan pada masa gestasi yang berbeda menunjukkan variasi nilai cutt-off Ret-He 31,45-33,65 pg dengan sensitivitas bervariasi antara 63,6 - 67% dan spesifisitas 64,18-79,2%, sedangkan nilai cut-off CHr dari penelitian di Finlandia sebesar 28,8 pg mampu mendapatkan sensitivitas
9
82,6% dan spesifisitas 71,3% (Ervasti, 2008; Primiastanti dan Sukartini, 2013; Surbakti et al., 2013).Penelitian diagnostik defisiensi besi Ret-He pada kondisi lain misalnya pada populasi CKD di Spanyol tahun 2012 mampu memberikan sensitivitas yang tinggi hingga mencapai 90,7% dengan spesifisitas 83,1% pada cut-off 29,8 pg (Urrechaga et al., 2012). Diharapkan penggunaan Ret-He dalam penelitian ini akan dapat memberikan informasi baru terkait alat skrining yang praktis dengan biaya terjangkau dan dapat berkontribusi menjadi salah satu strategi dalam upaya peningkatan kualitas pelayanan kesehatan ibu yang akan melahirkan guna menunjang aksi perbaikan gizi seribu hari pertama kehidupan. B. Permasalahan Berdasarkan latar belakang di atas, dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut : 1. Penyebab kematian balita berhubungan erat dengan masalah gizi yang merupakan masalah intergenerasi, dimana status gizi janin dalam kandungan dipengaruhi oleh status gizi ibu hamil bahkan saat sebelum hamil. Masalah gizi ibu hamil dengan prevalensi cukup tinggi di Indonesia bahkan DIY adalah defisiensi besi. 2. Resiko terbesar defisiensi besi dialami oleh ibu hamil trimester ketiga akibat peningkatan tertinggi kebutuhan besi, sehingga setelah melahirkan dan memasuki periode laktasi dapat berpotensi serius terjadi gangguan kesehatan terhadap ibu maupun periode emas tumbuh kembang bayi yang dilahirkan.
10
3. Agar dampak permanen akibat kurang gizi besi pada anak dapat dicegah, perlu dilakukan skrining defisiensi besi pada ibu hamil aterm yang akan melahirkan guna menilai kecukupan besi ibu untuk persiapan laktasi. Pemeriksaan dengan baku emas bersifat invasif, sedangkan dengan metode standar yang direkomendasikan saat ini dinilai kurang sensitif dan spesifik, kurang praktis, dengan biaya yang relatif lebih mahal dan ketersediaan yang terbatas. 4. Reticulocyte hemoglobin equivalent (Ret-He) bagian dari pemeriksaan hematologi analyzer SYSMEX merupakan parameter baru yang memiliki potensi akurasi diagnostik yang tinggi dan lebih praktis untuk identifikasi defisiensi besi tahap awal pada ibu hamil aterm, namun belum banyak penelitian terkait dan belum ada kesepakatan global nilai cut-offnya dari penelitian yang sudah ada. 5. Perlu dilakukan penelitian sebagai evidence-based medicine untuk menguji penampilan Ret-He dalam mendiagnosis dini defisiensi besi pada ibu hamil aterm yang akan melahirkan dengan menggunakan baku standar parameter yang direkomendasikan WHO di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. C. Pertanyaan penelitian Berapakah nilai cut-off Ret-He yang mempunyai nilai sensitivitas dan spesifisitas yang optimal untuk deteksi dini defisiensi besi pada ibu hamil aterm dalam persalinan ?
11
D. Tujuan Penelitian Menentukan nilai cut-off Ret-He yang mempunyai nilai sensitivitas dan spesifisitas yang optimal sebagai uji skrining defisiensi besi pada ibu hamil aterm yang akan melahirkan. E. Keaslian Penelitian Penelitian ini menggunakan subyek ibu hamil aterm dengan baku emas ferritin kadar < 15 ng/ml untuk diagnosis defisiensi besi, penelitian lain aplikasi klinis parameter Ret He/Chr dalam diagnosis defisiensi besi disajikan dalam tabel 1. Tabel 1. Berbagai Penelitian tentang Ret He/Chr terkait defisiensi besi No 1
Peneliti
Cut-off (pg) 33,45
Sn (%) 67
Sp (%) 64
0,664
68 TM III
31,45
63,6
79,2
0,761
efek suplemen besi pada ibu hamil suspek defisiensi besi Hb≤10g/dl, Zpp/heme ratio >75µmol/mol
25 TM III
29,6
Deviasi hemoglobinisasi ibu hamil
114 TM III
29,6
202 aterm
28,8
82,6
71,4
0,79
Peran ret-he evaluasi eritropoesis dan status besi sTfR >21nm
90 sehat, 85CKD ,65HD,91 ADB
29,8
90,7
83,1
0,935
status besi pasien ESRD dialisis terapi EPO pro switch CERA fe<40g/dl, %sat<20%,SF<200ng/mL
54 CKD on HD
29,4
Miwa
Diagnosis defisiensi besi pada pasien dialisis
74,3
64,9
0,776
%sat<20%, SF<100ng/mL
217 CKD on HD
33
Jepang
69 CKD
30,6
Petriana Jakarta
Tujuan dan baku emas skrining defisiensi besi ibu hamil SF <30ng/mL
Subyek 100 ibu hamil
AUC
TM I-II
2013 2
Surbakti Medan
skrining defisiensi ibu hamil %sat < 16 %
2013 3
School Belanda 2012
4
School Belanda
Zpp/heme ratio >75µmol/mol
2010 5
Ervasti
Diagnosis defiensi besi ibu hamil dengan CHr
Finlandia
%sat<11%
2007 6
Urrechaga Spanyol 2012
7
Jonckheere Belgia 2010
8
2009 9
Butarello
Diagnosis defisiensi besi pada pasien dialisis
Italia
%sat<20%, SF<100ng/mL
0,72
long term HD
2010 10
Brugnara
Diagnosis defisiensi besi pasien kronik dialisis
1500
27,2
93,3
83,2
Amerika
fe<40g/dl, %sat<20%,SF<100ng/mL, Hb<11g/dl
anak-dewasa
Briggs
Diagnosis defisiensi besi fungsional
76,5
77,9
Inggris
sTfR > 2,29 mg/L
245 (sehat, 30,7 pre HD, CKD, defisiensi besi)
67
100
0,913
2006 11
2001 12
Thomas Jerman 2005
13
Van santen Belanda 2011
Diagnosis defisiensi besi fungsional ADB,APK dan kombinasi SF, sTfR, sTfR/log fer ratio (sTfR indeks), CHr<28pg
474 pasien
deteksi ADB-APK dan APK pada rheumotoid artritis %sat<20%, SF<30ng/mL,sTfR index ≥1mg/ug
106 pasien
28,2
anemia dewasa 30,6
0,81
12
F. Manfaat penelitian Diharapkan pada penelitian ini, Ret-He mampu menunjukkan perannya sebagai metode skrining defisiensi besi pada ibu hamil aterm yang akan melahirkan. Kegiatan ini merupakan wujud nyata peran serta peneliti dalam menyumbangkan salah satu strategi peningkatan layanan kesehatan terhadap ibu yang akan melahirkan sesuai standar, cost effective dan berbasis bukti guna mendukung program 1000 HPK demi mempercepat pencapaian target MDGs keempat dan kelima. Manfaat bagi klinisi adalah didapatnya metode yang lebih praktis dan efisien dalam mendiagnosis dini defisiensi besi pada ibu hamil aterm sehingga pengambilan keputusan klinis dapat segera dilakukan. Bagi masyarakat manfaat dari penelitian ini adalah tersedianya uji skrining yang mudah dengan biaya lebih murah. Intervensi terhadap defisiensi besi pada ibu hamil dan laktasi akan dapat segera dilakukan, sehingga timbulnya komplikasi sistemik yang bersifat permanen baik bagi ibu maupun bayi dapat dicegah. Bagi pemerintah, penelitian ini memberi masukan guna menyusun kebijakan perlunya skrining defisiensi besi pada ibu hamil yang akan melahirkan sebagai salah satu strategi penilaian status besi untuk persiapan ibu dalam periode laktasi, dengan metode yang lebih efektif, efisien dan biaya yang relatif lebih rendah dibandingkan dengan penggunaan parameter biokimia, serta sebagai acuan kebijakan terkait perlu tidaknya pemberian suplementasi besi pada ibu menyusui.