BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Protein merupakan salah satu unsur penting yang dibutuhkan oleh tubuh untuk menjalankan fungsi pertumbuhan dan metabolisme (Young, 2001; Pencharz, 2012). Protein sebagian besar diperoleh dari makanan berasal dari hewan. Seiring meningkatnya kebutuhan dan kesadaran masyarakat tentang manfaat gizi, kebutuhan pangan asal pangan hewan dari hari ke hari semakin meningkat. Salah satu bahan pangan yang digemari adalah daging dan produk olahannya, seperti bakso. Hal ini dikarenakan, selain mempunyai cita rasa yang enak, mengandung protein dalam jumlah yang tinggi, terutama asam amino essensial yang tidak dapat dihasilkan sendiri oleh tubuh (FAO/WHO, 2000). Untuk mencukupi kebutuhan masyarakat tersebut, harus dipikirkan tentang pengadaan produk protein hewani secara cerdas, sehat, produktif, dan aman, sehingga kualitas dari sumber daya manusia di Indonesia juga dapat meningkat. Pengadaan produk protein hewani tentunya tidak hanya difokuskan dari segi kuantitasnya saja, tetapi juga segi kualitas, terutama keamanannya. Keamanan pangan didefinisikan sebagai kondisi dan upaya yang diperlukan untuk pencegahan pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia dan bahan lain yang dapat mengganggu, merugikan dan membahayakan kesehatan manusia (PP RI, 2004). Pemerintah merealisasikan penyediaan daging yang aman dengan menetapkan slogan daging
1
2
ASUH, yakni aman, sehat, utuh dan halal. Aman berarti daging tidak mengandung bahaya yang dapat menimbulkan penyakit dan mengganggu kesehatan manusia. Sehat berarti daging memiliki zat-zat yang berguna bagi kesehatan dan pertumbuhan tubuh. Utuh berarti daging tidak dikurangi atau dicampur dengan bagian lain dari hewan tersebut atau bagian dari hewan lain. Halal berarti hewan dipotong dan ditangani sesuai syariat agama Islam. Pangan halal didefinisikan sebagai bahan pangan yang tidak mengandung unsur atau bahan haram atau dilarang untuk dikonsumsi umat Islam serta pengolahannya tidak bertentangan dengan syariat Islam (DEPAG RI, 2001). Adanya peraturan dan undang-undang yang mengatur keamanan dari produk pangan tersebut, seharusnya dapat menimbulkan rasa aman dari konsumen dalam mengkonsumsi daging atau produk olahannya. Namun, pemalsuan produk olahan daging ternyata masih sering kita dengar sampai saat ini. Salah satu modus yang dilakukan adalah mencampurkan daging hewan lain dalam pembuatan produk olahan untuk menekan biaya produksi, sehingga didapat produk yang mirip. Banyak kasus yang diangkat tentang pemalsuan ini di berbagai wilayah tanah air, salah satunya adalah pencampuran daging sapi dengan daging tikus. Tikus merupakan hewan pengerat yang sering kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari, mulai dari tikus rumah (Rattus rattus), tikus sawah (Rattus argentiventer), dan tikus laboratorium (Rattus novergicus). Pada umumnya, tikus dianggap sebagai hewan yang merugikan, karena sering merusak hasil pertanian dan perkebunan (Singleton, 1997) dan sebagai vektor dari berbagai macam penyakit. Penyakit tersebut meliputi leptospirosis (Leptospira interogans), pes (Yersina pestis) (Anonim, 2012), rat bite
3
fever (Streptobacillus monilliforme) (Elliott, 2007). Pencampuran daging secara ilegal juga dapat dikategorikan dalam tindak penipuan konsumen yang dapat dibawa ke ranah hukum. Kesimpulan dari uraian diatas adalah produk olahan dengan campuran daging tikus berpotensi membahayakan kesehatan sehingga perlu dikembangkan metode deteksi agar tidak dikonsumsi masyarakat. Oleh karena itu, teknik deteksi dan identifikasi jenis hewan menjadi sangat penting dalam daging dan produk olahan untuk mengetahui keaslian produk. Hal tersebut dilakukan untuk menjamin keamanan dan kehalalan pangan, serta melindungi konsumen dari pemalsuan informasi. Metode analisis yang akurat dengan prosedur sederhana dan cepat sangat diperlukan untuk pelabelan sumber organisme produk daging. Real-Time Polymerase Chain Reaction (RT-PCR) adalah suatu metode analisis yang dikembangkan dari reaksi PCR (Johansson, 2006). Dalam ilmu biologi molekular, RT-PCR adalah suatu teknik pengerjaan PCR untuk mengamplifikasi (memperbanyak) sekaligus menghitung (kuantifikasi) jumlah target molekul DNA hasil amplifikasi tersebut (Yepihardi, 2009). RT-PCR memungkinkan dilakukan deteksi dan kuantifikasi (sebagai nilai absolut dari hasil perbanyakan DNA atau jumlah relatif setelah dinormalisasi terhadap input DNA) terhadap sekuen spesifik dari sampel DNA yang dianalisis (Vaerman, 2004). Dibandingkan dengan PCR konvensional, teknik ini termasuk lebih cepat. Hal ini karena tidak diperlukannya tahap elektroforesis DNA, serta relatif tidak berbahaya karena penggunaan EvaGreen® dalam pewarnaan DNA mempunyai tingkat mutagenesis yang lebih rendah daripada Etidium Bromide (EtBr), yang merupakan senyawa karsinogenik (Burns et al., 2005).
4
Primer BatL 5310 (Forward primer) dan R6036R (Reverse Primer) yang diadopsi dari penelitian Balakirev dan Rozhnov (2012), dapat digunakan untuk mengamplifikasi DNA target pada sapi dan tikus. Primer yang mempunyai panjang masing-masing 23 basa ini, diperkirakan dapat mengamplifikasi 748 bp fragmen gen cytochrome c oxidase I (COI) yang terdapat dalam mitokondria tikus dan sapi, pada suatu kondisi yang optimum. Penggunaan mtDNA sebagai target sekuen amplifikasi dikarenakan mtDNA mempunyai jumlah kopi yang banyak dalam suatu sel, sehingga keberhasilan amplifikasi dari suatu sampel menjadi lebih baik (Butler, 2005; Galtier et al., 2009). Produk PCR biasanya dianalisis menggunakan teknik elektroforesis dan Melting Curve Analysis (MCA). Akan tetapi, teknik ini tidak cocok digunakan pada penelitian ini. Teknik MCA mempunyai prinsip pemisahan terutama berdasarkan panjang basa produk produk PCR, yang mana pada penelitian ini mempunyai panjang basa yang sama, sehingga tidak dapat digambarkan karakteristik melt-curve sapi dan tikus dari produk yang diperoleh. Analisis produk RT-PCR pada penelitian ini dilakukan dengan teknik High Resolution Melting Analysis (HRMA) yang mempunyai prinsip seperti Melting Curve Analysis (MCA). Pada teknik ini, produk PCR yang dihasilkan akan dicari kurva lelehnya dengan perubahan suhu leleh yang sangat kecil (Applied Biosytem, 2010). Kurva leleh sendiri dipengaruhi oleh panjang basa, persen GC, dan kompleksitas dari produk PCR. Dengan demikian, produk PCR yang mempunyai panjang produk yang sama, tetapi mempunyai urutan basa yang berbeda, dapat memberikan kurva leleh yang
5
berbeda akibat terdapat perbedaan persen GC dan kompleksitas dari produk. Spesifisitas pun dapat diperoleh dengan melihat Tm dari produk yang spesifik pada kurva turunan melt-peak. Tm produk inilah yang dapat dijadikan dasar dalam analisis sumber hewan (sapi dan tikus) dari suatu sampel bakso. Pada penelitian Balakirev dan Rozhnov (2012), primer BatL 5310 dan R6036R digunakan untuk membuat taksonomi tikus Vietnam dan Sundaland menggunakan PCR konvensional. Namun, belum ditemukan publikasi ilmiah bahwa primer ini dapat digunakan untuk mendeteksi daging tikus dalam bakso sapi menggunakan metode Real-Time PCR yang dikombinasi HRMA. Pada penelitian ini, ingin diketahui apakah primer BatL dapat digunakan untuk mendeteksi cemaran daging tikus (Rattus argentiventer) dalam bakso dengan metode Hot-Start Real-Time PCR yang dikombinasikan dengan HRMA. B. Rumusan Masalah 1. Bagaimana kondisi optimum yang harus dicapai dalam amplifikasi DNA tikus dengan primer bertarget gen cytochrome c oxidase I (COI) tikus sehingga mendapatkan target amplifikasi yang optimum? 2. Apakah metode Real-Time PCR yang dikombinasi dengan HRMA dengan primer bertarget gen cytochrome c oxidase I (COI) tikus dapat digunakan untuk mendeteksi cemaran daging tikus pada produk bakso?
6
C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan umum Mengetahui metode analisis yang dapat mendeteksi cemaran daging tikus dalam produk olahan pangan daging sapi. 2. Tujuan khusus a. Mengetahui kondisi optimum yang harus dicapai dalam amplifikasi DNA tikus dengan primer bertarget gen cytochrome c oxidase I (COI) tikus, sehingga didapatkan target amplifikasi yang optimum. b. Mengetahui metode Real-Time PCR yang dikombinasikan dengan HRMA dengan primer bertarget gen cytochrome c oxidase I (COI) tikus dapat digunakan untuk mendeteksi cemaran daging tikus pada produk bakso. D. Manfaat Penelitian Penelitian ini berguna dalam pengembangan metode deteksi cemaran daging tikus pada produk olahan daging yaitu bakso, sehingga nantinya dapat diaplikasikan dalam deteksi daging tikus untuk mengurangi keresahan konsumen tentang keamanan produk pangan asal daging dengan lebih responsif. E. Tinjauan Pustaka 1. Tikus Tikus termasuk dalam kerajaan Animalia, filum Chordata, subfilum Vertebrata, kelas Mamalia, ordo Rodentia, dan famili Muridae. Spesies-spesies utama yang
7
terdapat di Pulau Jawa yaitu Bandicota indica, Mus caroli, kelompok Mus musculus, Rattus argentiventer (tikus sawah), R. rattus (tikus rumah), R. exulans, R. tiomanicus (tikus pohon), dan R. norvegicus (Aplin et al., 2003). Berdasarkan ukuran dan akses, R. argentiventer, R. rattus, dan R. norvegicus adalah spesies-spesies yang berpotensi untuk dimanfaatkan dagingnya. Tikus-tikus ini memiliki bobot yang dapat mencapai 200 g, bahkan R. norvegicus dapat mencapai 500 g (Myers dan Armitage, 2004). Rattus norvegicus R. norvegicus dikenal sebagai tikus got, tikus coklat, tikus rumah besar, atau tikus laboratorium. Jenis tikus ini paling banyak ditemukan di perkotaan, di antara tempat-tempat tinggal manusia. Tikus ini juga dapat ditemukan di daerah persawahan, terutama saat masa panen tiba (Prakash, 1988). Hasil seleksi terhadap hewan ini banyak digunakan sebagai hewan percobaan (dikenal sebagai tikus putih) dan sebagai hewan peliharaan dengan warna bervariasi (Baker et al., 1979). R. norvegicus mempunyai tubuh yang diliputi kulit dan rambut kasar berwarna kecoklatan (terkadang disertai titik-titik hitam atau putih) yang warnanya semakin terang mendekati tubuh bagian bawah. R. norvegicus memiliki telinga dan ekor yang tebal, dengan ukuran panjang ekor lebih pendek dibanding panjang badan. Tikus jenis ini sering salah dikenali sebagai tikus hitam (Rattus rattus) karena kemiripannya. Akan tetapi bila diperiksa lebih lanjut, kedua tikus ini dapat dibedakan berdasarkan kelenturan punggungnya. R. norvegicus memiliki punggung yang kuat dan cenderung kaku, sementara Rattus rattus lentur (Myers dan Armitage, 2004).
8
Hubungan antara tikus dan manusia yang bersifat mutualisme terjadi pada tikus albino (Rattus norvegicus Strain Albino) atau mencit albino (Mus musculus Strain Albino) yang merupakan hewan laboratorium. Jenis tikus ini sering dijadikan hewan percobaan untuk pengujian obat manusia dan tingkat toksisitas racun hama terhadap manusia. Tikus dan mencit laboratorium merupakan jenis albino yang kehilangan pigmen melaninnya, yang mana sifat ini menurun pada anak-anaknya (Barnett dan Anthony, 2002).
Gambar 1. Rattus norvegicus dewasa (Aplin et al., 2003) Rattus argentiventer Rattus argentiventer atau tikus sawah, dikenal sebagai hama utama yang sering ditemui di suatu persawahan. Hewan ini beradaptasi dengan baik pada daerah yang tergenang air dan tersembunyi di balik rerumputan tebal. Penyebaran R. argentiventer adalah daerah Asia Tenggara yang banyak terdapat sawah dan perkebunan. Adanya sumber makanan yang melimpah menyebabkan pertumbuhan yang cepat, bahkan kadang tidak mudah untuk dikendalikan (Aplin et al., 2003).
9
Rattus argentiventer berukuran sedang, dengan bulu oranye-coklat dorsal agak kaku yang kadang mempunyai bercak hitam. Bulu pada perut bervariasi dari warna putih keperakan sampai abu-abu kusam, dan sering ada coret gelap di sepanjang garis tengah perut. Moncongnya cukup panjang dengan telinga besar yang berbulu jarang. Kadang terdapat warna oranye yang berbeda dari bulu, biasanya muncul dari dalam telinga, meskipun kadang hilang pada pada hewan yang lebih tua. Ekor biasanya lebih pendek daripada kepala sampai badan dan gelap (Jacob et al., 2003). Tikus ini kadang salah dikenali dengan Rattus rattus atau tikus hitam yang sering berada di got, rumah, atau tempat gelap lainnya. Adanya corak kuning di telinga Rattus argentiventer menjadi pembeda yang jelas diantara keduanya, yang mana pada Rattus rattus tidak ditemukan hal tersebut (Leung et al., 1999).
Gambar 2. Rattus argentiventer dewasa dari Indonesia (Aplin et al., 2003)
10
2. Metode deteksi cemaran pangan Tuntutan pengembangan metode deteksi dan identifikasi jenis daging dan produk olahannya terus meningkat sebagai suatu upaya perlindungan konsumen, perdagangan dan pelaksanaan undang-undang pelabelan pangan. Teknik identifikasi jenis daging yang cepat, murah dan akurat sangat diperlukan untuk mengetahui sumber daging yang digunakan dalam produk olahan. Pencegahan praktek kecurangan (pemalsuan) dalam produk menjadi bagian penting dalam mengontrol regulasi produk pangan. Menurut Ballin (2010), pemalsuan atau penipuan daging dan produk olahannya dapat dikategorikan ke dalam beberapa kelompok pemalsuan yang paling mungkin terjadi yaitu asal daging, substitusi daging, perlakuan pada saat pengolahan daging dan penambahan bahan lain. Pengelompokan berdasarkan jenis substitusi daging diantaranya substitusi sumber daging lain, lemak dan protein. Beberapa teknik analisis identifikasi substitusi daging dan produk olahannya disajikan pada Tabel I. Suatu organisme hidup mempunyai satu susunan tertentu dari protein atau asam nukleat, sehingga keragaman protein dari organisme dapat dijadikan alat atau penanda untuk menelusuri asal-usul atau kekerabatan suatu jenis hewan. Identifikasi suatu jenis daging dan produk olahannya dapat dilakukan dengan metode berdasarkan pemisahan fraksi molekul (elektroforesis), metode imunologi (single diffusion, double diffusion, ELISA = enzym linked immunosorbent assay, RID = radial immunodiffusion, CIE = counter immunoelectrophoresis), komposisi asam lemak (chromatography gas dan high performance liquid chromatography). Semua metode tersebut mempunyai kelemahan yaitu hanya bisa dilakukan dalam bentuk segar (mentah), memerlukan
11
sampel yang cukup banyak dan keakuratan rendah dalam keadaan matang (daging olahan) (Kesmen et al., 2007). Tabel I. Berbagai jenis teknik analisis dalam deteksi jenis hewan penghasil nutrisi (Ballin, 2010) Substitusi Daging Daging (jenis hewan)
Teknik Analisis ELISA LC Isoelectric focusing Capilary gel electrophoresis PCR Real-time PCR RFLP RAPD Sekuensing SSCA CSGE Daging (jaringan) Mid-infrared spectroscopy ELISA Lemak (nabati) LC-MS/MS HPLC GC-MS APPI LC-MS/MS GC-FID Lemak (hewani) GC Protein (nabati) HPLC ELISA Protein (hewani) Microsphere-based flow cytometric immunoassay LC ELISA Protein (melamin dan urea) Head space GC-MS LC-MS/MS Head space GC-MS Keterangan: APPI (atmospheric pressure photoionization), CSGE (conformation sensitive gel electrophoresis), ELISA (enzyme-linked immuno sorbent assay), FID (flame ionization detector), GC (gas chromatography), HPLC (high performance liquid chromatography), LC (liquid chromatography), MS (mass spectrometry), PCR (polymerase chain reaction), RAPD (random amplified polymorphic DNA), RFLP (restriction fragment length polymorphism).
12
Perkembangan pesat dalam teknologi molekuler memungkinkan teknik analisis berbasis DNA dan menyebabkan perubahan dalam identifikasi jenis daging yang biasanya dilakukan identifikasi dari protein. Degenerasi DNA memiliki keuntungan yang membedakan antara jenis hewan yang berbeda. Dibandingkan dengan protein, DNA memiliki stabilitas termal yang lebih tinggi, terdapat dalam sebagian besar sel dan memungkinkan untuk memperoleh informasi tanpa mengetahui jaringan asal. Metode amplifikasi yang paling populer adalah polimerase chain reaction (PCR). Teknik PCR mampu membuat target yaitu asam nukleat lebih dari satu miliar kali lipat dari sampel DNA yang sangat sedikit atau dalam batas deteksi (Nollet dan Toldrá, 2011). Oleh karena itu, sampel yang dibutuhkan lebih sedikit dibandingkan dengan pengujian berbasis protein. Teknologi DNA (hibridisasi DNA, Polymerase Chain Reaction-Random Amplified Polymorphic DNA = PCR-RAPD, PCRRestriction Fragment Length Polymorphism = PCR-RFLP, PCR dengan primer spesifik), merupakan metode yang sangat praktis dan akurat, mempunyai kelebihan dapat mendeteksi protein yang sudah terdegradasi (matang atau produk olahan) dalam kandungan yang sangat sedikit (μg) (Nuraini, 2004). Beberapa jenis analisis PCR digunakan karena mudah mengamplifikasi daerah target dari template DNA dalam waktu yang lebih singkat sehingga cocok untuk identifikasi daging dan produk olahan daging. Identifikasi jenis hewan merupakan salah satu tujuan penggunaan penanda DNA. Hal ini dilakukan untuk bermacam kepentingan, salah satunya adalah untuk menghindari terjadinya
pencemaran pada produk pangan,
sehingga dapat
13
mengidentifikasi suatu bahan yang tidak seharusnya ada. Identifikasi asal daging pada sampel produk sangat berguna bagi konsumen karena beberapa alasan yaitu kemungkinan kerugian ekonomi dari substitusi daging tersebut yang termasuk penipuan produk, terhadap kesehatan individu yang mungkin dapat mengalami alergi spesifik pada daging tertentu dan alasan keagamaan (Miguel et al., 2004). Deteksi dan identifikasi daging juga sangat bermanfaat dalam pelabelan produk untuk menginformasikan keamanan produk bagi konsumen. 3. Polymerase Chain Reaction (PCR) Polymerase chain reaction (PCR) adalah suatu reaksi in-vitro untuk menggandakan molekul DNA pada target tertentu dengan cara menyintesis molekul DNA baru yang berkomplemen dengan molekul DNA tersebut dengan enzim polimerase dan oligonukleotida pendek sebagai primer. Metode ini berjalan secara enzimatik melalui mekanisme perubahan suhu (Buzdin dan Lukyanov, 2007). Target PCR yaitu asam nukleat (DNA) untai ganda yang diekstraksi dari sel dan terdenaturasi menjadi asam nukleat beruntai tunggal. Komponen reaksi PCR terdiri atas template DNA, pasangan primer berupa oligonukleotida spesifik untuk target gen yang dipilih, enzim (umumnya Taq polymerase, enzim thermostable dan thermoactive yang berasal dari Thermus aquaticus), larutan penyangga dan trifosfat deoxynucleoside (dNTP) yang digunakan untuk amplifikasi target gen secara eksponensial dengan hasil replikasi ganda dari target awal (Muladno, 2010; Gaffar, 2007; Sulistyaningsih, 2007). Reaksi ini dilakukan dalam suatu mesin pemanas yang diprogram secara otomatis
14
disebut thermocycler. Mesin tersebut menyediakan kondisi termal yang diperlukan untuk proses amplifikasi (Nollet dan Toldrá, 2011). a. Template DNA Template DNA adalah molekul DNA untai ganda yang mengandung sekuen target yang akan diamplifikasi. Ukuran DNA bukan merupakan faktor utama keberhasilan PCR. Berapapun panjangnya jika tidak mengandung sekuen yang diinginkan, maka proses PCR tidak akan berhasil. Namun sebaliknya, jika ukuran DNA tidak terlalu panjang tapi mengandung sekuen yang diinginkan maka PCR akan berhasil (Sulistyaningsih, 2007). Konsentrasi DNA juga dapat mempengaruhi keberhasilan PCR. Jika konsentrasinya terlalu rendah maka primer mungkin tidak dapat menemukan target dan jika konsentrasi terlalu tinggi akan meningkatkan kemungkinan mispriming. Perlu diperhatikan kemurnian template karena akan mempengaruhi hasil reaksi (Sulistyaningsih, 2007). b. Primer Susunan primer merupakan salah satu kunci keberhasilan PCR. Pasangan primer terdiri dari 2 oligonukleotida yang mengandung 18-28 nukleotida dan mempunyai 40-60% GC content. Sekuen primer yang lebih pendek akan memicu amplifikasi produk PCR non spesifik. Ujung 3' primer penting dalam menentukan spesifisitas dan sensitivitas PCR. Ujung ini tidak boleh mempunyai 3 atau lebih basa G atau C, karena dapat menstabilkan annealing primer non spesifik. Ujung 3' kedua
15
primer tidak boleh komplementer satu dengan yang lain karena hal ini akan mengakibatkan pembentukan primer-dimer yang akan menurunkan hasil produk yang diinginkan. Ujung 5' primer tidak terlalu penting untuk annealing primer, sehingga memungkinkan untuk menambahkan sekuen tertentu, misalnya sisi restriksi enzim, start codon ATG atau sekuen promoter (Sulistyaningsih, 2007). Konsentrasi primer biasanya optimal pada 0,1-0,5 μM. Konsentrasi primer yang terlalu tinggi akan menyebabkan mispriming (penempelan pada tempat yang tidak spesifik) dan akumulasi produk non-spesifik, serta meningkatkan kemungkinan terbentuk primer-dimer. Sebaliknya, bila konsentrasi primer terlalu sedikit maka PCR menjadi tidak efisien sehingga hasilnya rendah (Sulistyaningsih, 2007). c. Enzim DNA polimerase DNA polimerase adalah enzim yang mengkatalisis polimerisasi DNA. Dalam perkembangannya, banyak digunakan enzim Taq DNA polymerase yang memiliki keaktifan pada suhu tinggi, sehingga penambahan enzim tidak perlu dilakukan di setiap siklus dan proses PCR dapat dilakukan dalam satu mesin (Gaffar, 2007). Enzim Taq DNA polymerase terdiri atas dua macam yaitu enzim alami yang diisolasi dari sel bakteri Thermus aquaticus dan enzim rekombinan yang disintesis di dalam sel bakteri Escherichia coli (Muladno, 2010). Enzim ini masih mempunyai aktivitas eksonuklease dari 5' ke 3' tetapi tidak mempunyai aktivitas eksonuklease dari 3' ke 5'. Konsentrasi enzim yang dibutuhkan untuk PCR biasanya 0,5-2,5 unit. Kelebihan jumlah enzim mengakibatkan akumulasi produk non spesifik, sedangkan
16
jika terlalu rendah maka dihasilkan sedikit produk yang diinginkan (Sulistyaningsih, 2007). d. Larutan buffer Larutan buffer yang biasa digunakan untuk reaksi PCR mengandung Tris-HCL 10 mM pH 8,3, KCl 50 mM dan MgCl2 1,5 mM. Optimalisasi konsentrasi ion Mg2+ merupakan hal yang penting. Konsentrasi ion ini mempengaruhi beberapa hal yaitu annealing primer, suhu pemisahan untai template dan produk PCR, spesifisitas produk, pembentukan primer-dimer serta aktivitas dan ketepatan enzim Taq Polymerase. PCR harus mengandung 0,5-2,5 μM Mg2+ dari total konsentrasi dNTP. Konsentrasi yang lebih tinggi akan meningkatkan produk PCR, tetapi menurunkan spesifisitasnya. Konsentrasi ion ini tergantung pada konsentrasi bahan-bahan yang mengikatnya seperti dNTP, EDTA dan fosfat (Sulistyaningsih, 2007). e. Deoxynucleotide Triphosphate (dNTP) Deoxynucleotide Triphosphate merupakan material utama untuk sintesis DNA dalam proses PCR yang terdiri dari dATP, dGTP, dCTP, dan dTTP. Konsentrasi dNTP yang masing-masing sebesar 20-200 μM dapat menghasilkan keseimbangan optimal antara hasil, spesifisitas dan ketepatan PCR. Konsentrasi masing-masing dNTP harus seimbang
untuk
meminimalkan
kesalahan
penggabungan.
Deoxynucleotide
Triphosphate akan menurunkan Mg2+ bebas, sehingga mempengaruhi aktivitas polimerase dan menurunkan annealing primer. Konsentrasi dNTP yang rendah akan meminimalkan mispriming pada daerah non target dan menurunkan kemungkinan
17
perpanjangan nukleotida yang salah. Dengan demikian, spesifisitas dan ketepatan PCR meningkat pada konsentrasi dNTP yang lebih rendah (Sulistyaningsih, 2007). Proses yang terjadi dalam mesin PCR meliputi tiga tahap utama yaitu denaturasi (pemisahan untai ganda DNA), annealing (penempelan primer), dan ekstensi (pemanjangan primer). Proses yang dimulai dari denaturasi, penempelan dan ekstensi disebut sebagai satu siklus. Produk PCR dapat langsung divisualisasikan melalui proses elektroforesis dan digunakan untuk analisis lebih lanjut (Weissensteiner et al. 2004). Produk PCR dipisahkan dengan elektroforesis gel yang diwarnai dengan etidium bromida dan divisualisasikan dengan sinar ultraviolet (Nollet dan Toldrá, 2011). a. Denaturasi Selama proses denaturasi, DNA untai ganda akan membuka menjadi dua untai tunggal. Hal ini disebabkan suhu denaturasi yang tinggi yang mengakibatkan putusnya ikatan hidrogen diantara basa-basa yang komplemen. Pada tahap ini, seluruh reaksi enzim tidak berjalan (Gaffar, 2007). Denaturasi biasanya dilakukan antara suhu 9095oC selama 3 menit untuk meyakinkan bahwa molekul DNA yang ditargetkan ingin dilipatgandakan jumlahnya benar-benar telah terdenaturasi menjadi untai tunggal. Pada denaturasi berikutnya, hanya diperlukan hanya 30 detik pada suhu 95oC atau 15 detik pada suhu 97oC (Muladno, 2010). Suhu denaturasi dipengaruhi oleh sekuen target. Jika sekuen target kaya akan G-C maka diperlukan suhu yang lebih tinggi. Suhu denaturasi yang terlalu tinggi dan waktu denaturasi yang terlalu lama mengakibatkan hilangnya atau berkurangnya
18
aktivitas enzim Taq polymerase. Waktu paruh aktivitas enzim tersebut adalah >2 jam pada suhu 92,5oC, 40 menit pada 95oC dan 5 menit pada 97,5oC (Muladno, 2010; Sulistyaningsih, 2007). b. Penempelan primer Pada tahap penempelan primer (annealing), primer akan menuju daerah spesifik yang komplemen dengan urutan primer. Pada proses annealing ini, ikatan hidrogen akan terbentuk antara primer dengan urutan komplemen pada template. Proses ini biasanya dilakukan pada suhu 50-60oC. Spesifisitas PCR sangat tergantung pada suhu melting (Tm) primer, yaitu suhu dimana separuh jumlah primer menempel pada template. Temperatur penempelan yang digunakan biasanya 5oC di bawah Tm, yang dihitung dengan formula Tm = 4oC (G+C) + 2oC (A+T). Semakin panjang ukuran primer, semakin tinggi temperaturnya (Muladno, 2010). Selanjutnya, DNA polimerase akan berikatan, sehingga ikatan hidrogen tersebut akan menjadi sangat kuat dan tidak akan putus kembali apabila dilakukan reaksi polimerisasi selanjutnya (Gaffar, 2007). Suhu dan lamanya waktu yang dibutuhkan untuk annealing primer juga tergantung pada komposisi basa, panjang, dan konsentrasi primer (Sulistyaningsih, 2007). c. Reaksi polimerisasi Umumnya reaksi polimerisasi (extension) atau perpanjangan rantai, terjadi pada suhu 72oC karena merupakan suhu optimum Taq polymerase. Primer yang telah menempel tadi akan mengalami perpanjangan pada sisi 3'nya dengan penambahan dNTP yang komplemen dengan template oleh DNA polimerase (Gaffar, 2007).
19
Kecepatan penyusunan nukleotida oleh enzim tersebut pada suhu 72oC diperkirakan antara 35 sampai 100 nukleotida per detik, bergantung pada buffer, pH, konsentrasi garam, dan molekul DNA target. Dengan demikian, untuk produk PCR sepanjang 2000 pasang basa, waktu 1 menit sudah lebih dari cukup untuk tahap pemanjangan primer ini. Biasanya di akhir siklus PCR, waktu yang digunakan untuk tahap ini diperpanjang sampai 5 menit, sehingga seluruh produk PCR diharapkan berbentuk DNA untai ganda (Muladno, 2010).
ULANG SIKLUS
PENEMPELAN PRIMER
Gambar 3. Siklus PCR (Gaffar, 2007) 4. Real-Time PCR (RT-PCR) Real-time PCR merupakan teknologi terkini yang digunakan dalam amplifikasi DNA. Pada real-time PCR, jumlah DNA yang diamplifikasi dapat langsung teramati seketika sehingga tidak memerlukan analisis dengan elektroforesis gel untuk mengetahui produk PCR. Real-time PCR lebih dikenal sebagai quantitative PCR karena kemampuan analisisnya yang sensitif, spesifik dan reproducible sehingga mengurangi kesalahan pada hasil (Burns et al., 2005).
20
Instrumen Real-Time PCR mendeteksi produk PCR dengan mengukur peningkatan pewarna (dye) fluorescent yang berpendar ketika terikat dengan doublestranded DNA. Karena sifat inilah maka pertumbuhan fragment DNA hasil amplifikasi dapat diikuti secara seketika, semakin banyak DNA yang terbentuk semakin tinggi pula intensitas fluorescent yang dihasilkan. Quantitative PCR dimungkinkan dapat mendeteksi secara akurat konsentrasi DNA hingga hitungan pikogram atau setara dengan sel tunggal karena sensitifitas dye yang sangat tinggi. Hasil peningkatan fluorescent digambarkan melalui kurva amplifikasi yang menunjukkan tiga fasa yaitu fasa awal, fasa eksponensial atau puncak dan fasa plateau atau stabil (Vaerman, 2004).
Gambar 4. Bentuk kurva pada Real-Time PCR (Bio-Rad, 2006) Instrument Real-Time PCR memiliki tiga komponen utama yaitu thermal block cycler sebagai akurasi data, optical system sebagai deteksi data, dan software sebagai
21
analisis data. Real-time PCR juga dapat menganalisis banyak sampel dalam waktu bersamaan menggunakan multiwell plates (Rocheb, 2008). Contoh label yang dapat berikatan dengan DNA adalah pewarna (dye) SYBR® green I dan EvaGreen® dimana label tersebut merupakan label yang tidak spesifik dan akan berikatan dengan semua jenis DNA untai ganda. EvaGreen® merupakan label fluoresen yang efektif dari segi biaya jika dibandingkan dengan komponen label kimia lainnya dan juga mudah digunakan. Penentuan konsentrasi primer yang optimum dapat dengan mudah dicapai dengan menggunakan EvaGreen® sebagai bahan fluoresen dibandingkan dengan menggunakan bahan yang lainnya seperti TaqMan dan Molecular Beacon (Pestana et al., 2010). Akan tetapi, EvaGreen® tidak dapat membedakan satu DNA dengan DNA yang lainnya, maka penting untuk menganalisis kurva pelelehan (Melting Curve Analysis) pada akhir pengujian dengan Real-Time PCR (Pestana et al., 2010). 5. Melting Curve Analysis (MCA) MCA adalah suatu analisis untuk memperkirakan karakteristik denaturasi DNA untai ganda menjadi DNA untai tunggal selama mengalami pemanaasan. Suhu dimana 50% dari DNA terdenaturasi dikenal sebagai Tm (melting temperature). Nilai suhu melting point ini sangat bergantung dari panjang sekuen DNA dan komposisi dari basa Guanin dan Sitosin pada DNA. Spesifitas primer dapat ditingkatkan dengan optimasi suhu leleh (melting temperature) dari fragmen DNA. Optimasi dapat dilakukan dengan Melting Curve Analysis (MCA). Prinsip MCA adalah perbedaan suhu leleh suatu fragmen DNA yang
22
dipengaruhi oleh panjang dan sekuen dari fragmen tersebut. Bila hanya ada 1 jenis fragmen DNA untai ganda, maka akan muncul 1 melting curve (Lyon, 2001; Ririe et al., 1997). 6. High Resolution Melting Analysis (HRMA) High Resolution Melting Analysis (HRMA) adalah sebuah teknik analisis yang tergolong baru untuk mendeteksi variasi genetik pada sekuen DNA (Vossen et al., 2009). Teknik ini merupakan pengembangan dari teknik Melting Curve Analysis (MCA) yang mempunyai prinsip perbedaan suhu leleh suatu sekuen dari produk PCR. Teknik ini mulai terkenal sejak ditemukannya dsDNA binding-dye yang lebih baik, serta didukung alat RT-PCR generasi terbaru dan software analisisnya. HRMA ini dapat membedakan sekuen DNA berdasarkan komposisinya, panjang, GC content, dan bentuk komplemen heliksnya (Applied Biosystems, 2010). Jika dibandingkan dengan teknik MCA, HRMA berbeda dalam 3 hal : 1.
Secara kimia, HRMA menggunakan dye yang lebih terang emisinya, dalam konsentrasi yang tinggi.
2.
Secara instrumental, HRMA membutuhkan alat yang dapat mengumpulkan data fluoresensi pada resolusi yang lebih tinggi.
3.
Secara piranti lunak, HRMA membutuhkan software yang dapat menganalisis data fluouresensi dengan algoritma yang agak berbeda. Sebagai teknik yang baru berkembang dalam analisis produk PCR, HRMA
dilaporkan banyak digunakan dalam analisis Single Nucleotide Polymorphism (SNP). Reed dan Wittwer (2004) melihat sensitivitas dan spesifisitas teknik HRMA suatu SNP
23
dengan panjang fragmen yang berbeda. Pereyra et al. (2012), menggunakan HRMA dalam SNP yang terkait inflamasi pada kelahiran bayi prematur. Selain itu, masih banyak kegunaan dari HRMA, seperti DNA fingerprinting, investigasi keragaman populasi bakteri maupun virus, dan identifikasi spesies (Kappa Biosytems, 2010). Banyak hal yang menjadi pertimbangan dalam merancang HRMA untuk mendapatkan hasil yang memuaskan, seperti kualitas dan kuantitas DNA, design primer serta konsentrasi dan kemurniannya, konsentrasi Mg2+, dan panjang amplikon dari hasil PCR (Kappa Biosytems, 2010; Applied Biosytems, 2010). Selain itu, jenis intercalating/binding dye yang digunakan menjadi salah satu hal yang menjadi komponen kunci keberhasilan HRMA. Berikut ini akan dipaparkan beberapa jenis binding dye yang sering digunakan dalam proses Real-Time PCR dan kompabilitasnya dengan HRMA : Non-saturating dyes SYBR® Green I merupakan sebuah contoh dye yang paling sering dipakai dalam penggunaan Real-Time PCR, tetapi sayangnya tidak kompatibel dalam analisis HRMA. Hal ini dikarenakan pada konsentrasi tinggi, SYBR® Green I menstabilkan dupleks dari DNA dan menghambat DNA polimerase, sehingga dalam proses amplifikasi digunakan konsentrasi rendah. Pada konsentrasi rendah, SYBR® Green I dapat terdistribusi ulang di bagian yang sudah terlepas (meleleh) menjadi single-stranded DNA, ke bagian yang belum terlepas, atau masih dalam bentuk double-stranded DNA, sehingga tidak terdapat perubahan dalam fluoresensi (Gambar 5). Saturating dyes Dari kelemahan yang ditunjukkan jenis non-saturating dye, dikembangkan
24
jenis baru yang tidak menghambat DNA polimerase atau merubah Tm dari suatu produk PCR. Dye dengan jenis ini dapat ditambahkan dengan konsentrasi yang lebih tinggi dari jenis sebelumnya. Distribusi ulang tidak dapat terjadi karena dsDNA sudah jenuh (saturated) oleh binding dye. Dengan demikian, pada saat proses melting, bagian yang sudah terlepas akan kehilangan binding dye dan menyebabkan perubahan fluoesensi (Gambar 5). Salah satu contohnya adalah SYTO9® dan LCGreen®. Release-on-demand dyes EvaGreen® merupakan salah satu contoh dari jenis binding dye ini. Penambahan dye dapat dilakukan pada konsentrasi yang lebih rendah. Hal ini disebabkan adanya penemuan metode baru dalam emisi fluoresensi, dimana sinyal flouresensi akan padam (quenched) saat berada dalam kondisi bebas dalam larutan. Saat dye berinterkalasi dengan DNA, faktor pemadaman flouresensi akan hilang lalu berfluoresensi dengan intensitas yang tinggi (Gambar 5).
Gambar 5. Mekanisme beberapa jenis binding dye yang digunakan dalam RealTime PCR dan HRMA (Kappa Biosytems, 2010)
25
7. DNA mitokondria Mitokondria merupakan organel sel penghasil energi yang terdapat dalam sitoplasma. DNA mitokondria (mtDNA) memiliki sejumlah sifat genetik khas yang membedakannya dari genom inti. Genom mitokondria berbentuk sirkuler, beruntai ganda, memiliki panjang sekitar 16,5 kb yang mengandung basa guanine (G) dan cytosine (C) berkisar antara 32-45,6%. Kedua basa tersebut menyebar tidak merata diantara kedua untai DNA. Distribusi asimetrik nukleotida menimbulkan heavy strand (untai berat) dan light strand (untai ringan) ketika molekul mtDNA dipisahkan dalam gradien basa CsCl. Heavy strand atau untai H berisi lebih banyak nukleotida guanin (G) yang mempunyai berat molekul terbesar diantara keempat nukleotida, sedangkan Light strand atau untai L berisi lebih sedikit basa G. Pada Gambar 6 akan diberikan ilustrasi tentang genom yang terkandung dalam mitokondria manusia (Homo sapien). Pada mitokondria susunan genom dan karakteristiknya mirip pada tiap individu, yang membedakan adalah pola dan susunan dari basa nukleotidanya.
Gambar 6. Susunan genom dari mitokondria manusia (Homo sapien) (Taylor & Turnbull, 2005).
26
Genom mitokondria terdiri atas genom penyandi rRNA, tRNA, dan protein sub unit kompleks enzim rantai respirasi, juga memiliki urutan nukleotida daerah control region non penyandi (non-coding region) yang dikenal dengan daerah displacement loop (D-Loop) (Taylor dan Turnbull, 2005). Replikasi mtDNA dimulai dengan untaiH yang terdapat dalam daerah D-loop mitokondria. Sebanyak 28 produk gen dikodekan dari untai-H, sedangkan untai-L mentranskripsi delapan RNA transfer (tRNA) dan enzim yang disebut ND6. Jumlah molekul DNA mitokondria dalam sel sangat bervariasi. Rata-rata terdapat 4-5 salinan molekul mtDNA per mitokondria. Setiap sel dapat berisi ratusan mitokondria yang secara matematis bisa sampai beberapa ribu molekul mtDNA dalam setiap sel seperti dalam sel telur (ovum), namun rata-rata diperkirakan terdapat sekitar 500 mtDNA dalam setiap sel. Hal tersebut menjadikan keberhasilan isolasi mtDNA lebih besar (relatif terhadap penanda DNA nukleus) pada sampel biologis yang mungkin telah rusak karena panas atau kelembaban. Perbandingan karakteristik dasar DNA inti dan DNA mitokondria disajikan pada Tabel II. Tabel II. Karakteristik DNA inti dan DNA mitokondria manusia (Butler, 2005) Karakteristik Ukuran genom Jumlah kopi/sel Total DNA/sel Struktur Diturunkan dari Pasangan kromosom Rekombinasi generasi Replikasi Keunikan
Laju mutasi
DNA inti ~ 3,2 milyar pb 2 (1 alel setiap tetua) 99,75% Linier Ibu dan bapak Diploid Ya Ya Unik untuk setiap individu (kecuali kembar identik) Rendah
DNA mitokondria ~ 16.569 pb Dapat >1000 0,25% Sirkuler Ibu Haploid Tidak Tidak Tidak unik untuk setiap individu (relatif sama dengan ibu) ± 5-10 kali lipat dari DNA inti
27
DNA mitokondria diketahui memiliki laju mutasi yang lebih tinggi, sekitar 510 kali DNA nukleus, terdapat dalam jumlah banyak (lebih dari 1000 kopi) dalam tiap sel, dibandingkan DNA nukleus (kromosomal) hanya berjumlah dua kopi. DNA nukleus merupakan hasil rekombinasi DNA kedua orangtua sementara DNA mitokondria hanya diwariskan dari ibu atau maternally inherited (Butler, 2005). DNA mitokondria pada sel anak seluruhnya disumbangkan oleh ibu dan sperma sama sekali tidak berkontribusi. Keunikan sistem penurunan yang menarik ini telah dimanfaatkan dalam berbagai bidang yaitu penentuan hubungan kekerabatan, studi evolusi dan migrasi, bidang forensic, dan identifikasi penyakit genetik. Kemungkinan memperoleh kembali DNA mitokondria dari sampel biologis dalam jumlah sedikit atau dari sampel biologis yang sudah terdegradasi adalah lebih besar daripada DNA inti karena molekul DNA mitokondria terdapat dalam ratusan sampai ribuan kopi dibanding DNA inti yang hanya dua kopi pada setiap selnya. Oleh karena itu, otot, tulang, rambut, kulit, darah dan cairan tubuh lainnya dapat digunakan sebagai sumber materi untuk penentuan lokus DNA mitokondria apabila terjadi degradasi yang disebabkan oleh peralatan atau karena waktu (Butler, 2005). Penelitian tentang identifikasi jenis daging telah dilakukan oleh beberapa peneliti dengan penggunaan DNA mitokondria. Gen-gen yang paling sering digunakan sebagai penanda jenis hewan atau daging diantaranya adalah sitokrom b (cyt b), 12S dan 16S subunit ribosom RNA dan daerah displacement loop (D-loop) (Fajardo et al., 2010). Kesmen et al. (2007) menggunakan DNA mitokondria untuk mendeteksi adanya daging babi, kuda dan keledai pada sosis. Primer spesifik dirancang pada daerah
28
mitokondria yang berbeda-beda untuk setiap jenis ternak yaitu gen ATPase6/ATPase8 untuk kuda, gen ND2 (NADH dehidrogenase subunit 2) untuk keledai dan gen ND5 (NADH dehidrogenase subunit 5) untuk babi. Panjang fragmen teramplifikasi untuk kuda, keledai dan babi berturut-turut sepanjang 153, 145 dan 227 pb. Kumar et al. (2011) menggunakan teknik PCR tunggal untuk deteksi daging kambing (Capra hircus). Primer spesifik kambing (DAF-01 dan DGR-04) dirancang pada daerah kekal D-loop mitokondria dan dihasilkan produk PCR sepanjang 294 pb. 8. Gen Cytochrome c oxidase I (COI) Cytochorome oxidase I (COI) adalah suatu gen yang menyandi salah satu subunit dari kompleks (IV) protein dalam respirasi. Kompleks (IV) ini sendiri terdiri dari 13 polipeptida, yang mana subunit I, II, dan III dikode oleh DNA mitokondria, sedangkan subunit IV, Va, Vb, VIa, VIb, VIc, VIIa, VIIb, VIIc, dan VIII dikode oleh DNA kromosomal (Kadenbach et al., 1983; Shoffner dan Wallace; 1995). Enzim ini terletak di lapisan membran dalam dari mitokondria dan merupakan enzim ketiga dan terakhir dalam rantai proses transpor elektron dari fosforilasi oksidatif mitokondria (OMIM, 2010). Gen ini sendiri mempunyai divergenitas genotip yang cukup tinggi, bahkan mencapai rata-rata 9,6% dalam filum Chordata (Herbert et al., 2003). Dengan demikian, gen ini sering digunakan dalam penentuan sumber organisme dari suatu sampel DNA, yang berguna dalam barcoding suatu spesies serta penentuan taksonomi dan kekerabatan antar jenis hewan (Balakirev dan Rozhnov, 2012). Sekuen gen COI yang berasal dari tikus spesies Rattus norvegicus mempunyai panjang sekuen 1545 bp (NCBI, 2013) dan pada sapi (Bos Taurus) mempunyai panjang
29
1545 bp (NCBI, 2008). Gen COI dari spesies Rattus norvegicus disajikan pada Gambar 7.
Gambar 7. Daerah gen COI dalam mitokondria Rattus norvegicus (NCBI 2013). Haider et al. (2012) melaporkan suatu metode dalam deteksi berbagai daging menggunakan teknik PCR-RFLP (PCR-Retriction Fragment Length Polymorphism). Jenis daging yang diidentifikasi adalah sapi, ayam, kalkun, kambing, babi, kerbau, unta dan keledai. Sampel yang digunakan adalah daging murni yang masih segar serta sampel darah untuk beberapa spesies. Sepasang primer universal digunakan untuk mengamplifikasi daerah COI yang menghasilkan produk PCR sepanjang 710 bp. Produk ini kemudian dipotong menggunakan berbagai enzim endonuklease, yaitu Hind II, Ava II, Rsa I, Taq I, Hpa II, Tru 1I and Xba I. Dengan teknik ini, terbukti dapat dibedakan jenis daging karena 7 enzim endonuklease yang digunakan mempunyai target spesifik masing-masing, sehingga kombinasi dari potongan yang dihasilkan dari tiap enzim tersebut dapat menjadi informasi jenis daging dari sampel yang diteliti. Spychaj et al. (2009) melaporkan tentang identifikasi daging babi, sapi, dan bebek, dalam berbagai kombinasi campuran daging tersebut dengan ayam, kalkun dan angsa. Che et al. (2007) mengidentifikasi cemaran babi pada produk pangan untuk
30
verifikasi kehalalan pangan. Dalmasso et al. (2004) mengidentifikasi jenis hewan pada bahan pakan dengan metode multipleks PCR. Ghovvati et al. (2009) melakukan identifikasi jenis hewan untuk mendeteksi pemalsuan produk pada industri pangan. Bottero et al. (2003) melakukan penelitian pada produk susu untuk mengidentifikasi asal susu dari sapi, kambing dan domba perah dengan metode Multipleks PCR. Zhang et al. (2007) menggunakan metode Real-Time PCR untuk mengidentifikasi adanya DNA sapi pada daging, susu dan keju. 9. Bakso Bakso (Gambar 8) merupakan olahan daging yang dibentuk menyerupai bola dengan ukuran tertentu. Pembuatan bakso sendiri diolah dengan berbagai bumbubumbuan, garam dapur, dan tepung tapioka (Purnomo and Rahardian, 2008). Terkadang, dalam pembuatan bakso ditambahkan dengan Natrium Trifosfat dan Monosodium Glutamat untuk meningkatkan kapasitas pengikatan air. Selain itu, zat tersebut juga dapat menambah cita rasa makanan (Huda et al, 2010).
Gambar 8. Bakso
31
F. Landasan Teori Bakso merupakan salah satu produk olahan dari daging. Daging sendiri merupakan salah satu bentuk jaringan makhluk hidup yang terdiri dari berbagai sel, yang mengandung DNA. DNA tidak rusak oleh pemanasan dan mempunyai sifat unik kepada setiap organisme (Matsunaga et al. 1999). Adanya perbedaan urutan basa DNA terutama pada gen cytochrome c oxidase I dalam mitokondria sapi dan tikus dapat digunakan sebagai penanda spesifik cemaran daging tikus menggunakan metode RealTime PCR dengan primer BatL 5310 dan R6036R dan analisis HRMA yang memberikan puncak Tm yang spesifik pula. Prinsip dari metode ini adalah sepasang primer akan menempel pada gen cytochrome c oxidase I (COI) mitokondria tikus dan sapi, lalu sekuen DNA tersebut dapat dikenali oleh Taq DNA Polimerase dan dapat diamplifikasi selama beberapa siklus. Hasil pembacaan berupa kurva fluoresensi terhadap siklus yang berasal dari pendaran fluoresen label yang digunakan (dalam hal ini EvaGreen®). Sinyal fluoresensi dari EvaGreen® tidak spesifik karena EvaGreen® berinterkalasi dengan semua dsDNA yang ada. Untuk membedakan satu dsDNA dengan dsDNA yang lainnya, harus dilakukan analisis kurva pelelehan dengan resolusi yang tinggi (High Resolution Melting Analysis) pada akhir pengujian dengan RealTime PCR. HRMA dapat membedakan produk PCR dengan lebih akurat, sehingga dari Tm produk PCR hasil amplifikasi daging sapi dan tikus yang muncul pada puncak yang berbeda dapat dijadikan dasar pembeda kedua jenis daging tersebut.
32
G. Hipotesis Berdasarkan landasan teori tersebut maka dapat ditulis hipotesis sebagai berikut, 1. Dengan kondisi yang optimum pada Real-Time PCR, primer yang digunakan dapat menempel pada gen target cytochrome c oxidase I (COI) sapi dan tikus serta dapat teramplifikasi dengan baik. 2. Adanya puncak spesifik untuk tikus dan sapi pada kurva melt-curve pada metode Real-Time PCR yang dikombinasikan dengan HRMA, dapat dijadikan dasar dalam mendeteksi cemaran daging tikus pada produk olahan daging yaitu bakso.