BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Terdapat berbagai macam lembaga pendidikan di Indonesia, salah satunya adalah pesantren. Pesantren merupakan institusi pendidikan Islam tradisional yang biasanya berfokus pada pengajaran Islam. Meskipun demikian, lembaga ini juga membuka diri dengan cara menggunakan sistem pembelajaran terkini dan menambahkan pelajaran yang tidak berkaitan dengan pengetahuan agama (Turmundi & Sihbudi, 2005). Keberadaan pesantren sudah diakui oleh pemerintah Indonesia. Hal tersebut dibuktikan dengan adanya undang-undang mengenai pesantren seperti UU tahun 2003 pasal 30 mengenai pendidikan keagamaan. Dalam pasal tersebut disebutkan bahwa pesantren merupakan salah satu bentuk pendidikan keagamaan. Pendidikan keagamaan berfungsi untuk menyiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya dan/atau menjadi ahli ilmu agama. Terdapat lima komponen penting pesantren yaitu, pondok, masjid, santri, kiai, dan pengkajian kitab-kitab klasik (Turmundi & Sihbudi, 2005). Santri merupakan sebutan khusus bagi anak-anak yang masuk ke pesantren. Menjadi santri tidak lah mudah, terutama ketika santri berada dalam masa perkembangan remaja. Pada masa ini, individu mengalami krisis antara identity dan identity confusion (Feist & Feist, 2010). Untuk dapat menghadapi krisis tersebut dengan baik, santri perlu memiliki emotion-focussed coping yang baik. Emotion-focussed coping merupakan coping yang diarahkan untuk meregulasi respon emosional yang timbul akibat suatu masalah (Lazarus & Folkman, 1984). Namun, beberapa berita dari media dan juga wawancara terhadap beberapa santri menunjukkan bahwa santri memiliki emotion-focussed coping yang kurang baik. 1
2
Terdapat beberapa hal yang menunjukkan kurang baiknya emotion-focussed coping yang dimiliki oleh santri. Hal pertama adalah kasus yang dialami oleh seorang santri perempuan dari sebuah pondok pesantren di Depok. Santri tersebut bunuh diri karena patah hati. Pacar dari santri berusia 13 tahun ini berselingkuh sehingga ia merasa sakit hati dan memutuskan untuk mengakhiri hidupnya (metro.tempo.co). Kasus yang terjadi pada santri berinisial D ini menunjukkan bahwa ia gagal melakukan emotion-focussed coping yang baik. Karena, ketika seseorang melakukan emotion-focussed coping dengan baik, dampak emosional dari masalah yang sedang dihadapi dapat diregulasi dengan baik. Selain kasus yang terjadi pada D, terdapat kasus lain yang juga berkaitan dengan kurang baiknya emotion-focussed coping yaitu kasus yang terjadi pada santri laki-laki berinisial AD. Seorang santri di sebuah pondok pesantren di Karanganyar dipenjara karena mencuri sepeda motor. Santri berusia 16 tahun ini mencuri motor karena sangat ingin memiliki kendaraan sendiri seperti anak lain seusianya (news.okezone.com). Kasus ini menunjukkan bahwa emotion-focussed coping yang dimiliki oleh AD, terutama untuk aspek self-control, sangat kurang. Self-control merupakan salah satu aspek dari emotionfocussed coping yang berkaitan dengan usaha individu dalam mengatur perasaan dan tindakan (Folkman dkk., 1986). Ketika seseorang memiliki self-control yang baik, dia akan mampu mengatur perasaan dan tindakannya, dan tindakan yang dilakukan oleh AD tidak mencerminkan adanya self-control yang baik. Kurang baiknya emotion-focussed coping juga dialami oleh santri dari Pondok Pesantren Ali Maksum Yogyakarta. Hasil wawancara yang terhadap dua orang santri pondok pesantren ini menunjukkan bahwa santri tersebut memiliki emotion-focussed coping, terutama aspek self-control, yang kurang baik. Wawancara pertama dilakukan terhadap santri perempuan berusia 18 tahun dan duduk di kelas XII Madrasah Aliyah.
3
Santri ini mengaku bahwa dia memiliki kontrol emosi yang kurang baik. Kontrol emosi yang kurang menunjukkan kurangnya aspek self-control pada diri B. Kalau masalah dari diriku sendiri sih itu YA PD-nya kurang. Terus apa ya… mengontrol emosi tuh butuh… butuh apa… mengontrol emosinya itu kurang lah. Gini apa ya… aku tuh kan orangnya mudah emosi, terus kalau mau menahan emosinya tuh butuh, ’Ayolah’. Kayak apa sih Mbak… kayak harus dipaksa ‘Ayo jangan emosi, jangan emosi’. Ditahan sendiri. (SB, K8) Wawancara kedua dilakukan terhadap santri laki-laki berusia 18 tahun dan duduk di kelas XII madrasah aliyah. Santri berinisial D ini secara sadar melanggar peraturan yang terdapat di pondok pesantren, yaitu santri tidak boleh membawa telepon genggam dan juga tidak boleh berpacaran. D sadar bahwa hal yang dia lakukan melanggar peraturan, namun dia tetap melakukannya. Hal tersebut menunjukkan bahwa kontrol diri, terutama kontrol akan tindakan, yang dimiliki oleh D kurang baik. Ya kan dalam peraturan, peraturan pesantren bawa hp, rokok, laptop, yang berhubungan dengan alat elektronik kecuali mp4 itu boleh. Ya itu biasanya… ya namanya anak muda gimana lah. Ya Mbak kan tahu sendirilah. Jadi, kan kalau seumpama sini sms, sms siapa… ke temen atau siapa, terus… yang lebihnya sih mesti sama pacar, yang disukailah. Misalnya sini sms sama pacar, tapi kok nggak dibales… mangkel. Lah dari kemangkelan itu tumbuh pikiran, ‘Mosok aku di pondok sms-an tok. Aku adoh-adoh seko pondok sms-an tok. Wong tua kan neng omah, orang tua kan pesen di rumah suruh belajar, suruh ngaji, suruh nurutin peraturan di pondok. Masa saya di sini disuruh seperti iyu, orang tua sudah mengeluarkan biaya banyak malah yang diidam-idamkan itu malah di pondok malah cuma seneng-seneng doang’. Jadi orang tua itu mengira di rumah, ‘Wah, anak saya lagi belajar, lagi prihatin’. Tapi di sisi lain anaknya itu malah hura-hura.(SD, K3) Setiap orang memiliki pilihannya sendiri terhadap strategi koping apa yang akan digunakan saat menghadapi stres, dan pilihan itu bervariasi antara satu orang dengan orang lain. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pemilihan strategi koping berhubungan dengan optimisme. Optimisme adalah berharap akan terjadinya hal-hal baik dalam kehidupan. Harapan yang positif tersebut diasosiasikan dengan subjective well-being yang
4
lebih tinggi, bahkan dalam keadaan stres dan sengsara. Menurut Scheier dkk, optimisme ditandai dengan adanya harapan yang positif terhadap masa depan dan berkaitan dengan proses koping stres (2001, dalam Krypel & Anderson, 2010). Penelitian yang dilakukan oleh Das (2005) menunjukkan bahwa optimisme menguatkan penggunaan beberapa strategi koping, yaitu koping aktif, positive reappraisal, penerimaan, dan mencari dukungan emosional. Dimana positive reappraisal dan penerimaan termasuk dalam emotion-focussed coping sehingga optimisme menguatkan penggunaan strategi emotion-focussed coping. Hal ini diperkuat oleh penelitian yang dilakukan oleh Ningrum (2011). Ningrum melakukan penelitian dengan subjek mahasiswa di salah satu perguruan tinggi negeri di Indonesia, dimana dari hasilnya diketahui bahwa semakin tinggi tingkat optimisme yang dimiliki oleh subjek, semakin tinggi pula tingkat koping stresnya. Subjek yang memiliki tingkat koping stres tinggi lebih banyak menggunakan strategi emotion-focussed coping. Tingkat koping stres yang tinggi menandakan adanya penanganan stres yang baik. Ketika stres tertangani dengan baik, individu akan terhindar dari dampak negatif yang mungkin timbul dan memiliki kemungkinan untuk berkembang ke arah positif. Penanganan stres yang baik sangat dibutuhkan oleh santri karena banyaknya stresor yang mereka miliki. Diharapkan dengan adanya koping yang baik, santri dapat terhindar dari dampak negatif stres dan mengalami perubahan positif karena stres (Stress-Related Growth). SRG merupakan istilah yang digunakan untuk menyebut perubahan positif yang terjadi akibat perjuangan dalam menghadapi situasi yang penuh tekanan atau trauma (Tedeschi & Calhoun, 2004). SRG terbukti terkait dengan strategi koping, terutama strategi koping yang berkaitan dengan penerimaan dan penilaian ulang secara positif. Penilaian ulang secara positif atau positive reappraisal dan penerimaan merupakan aspek dari emotion-focussed coping. Hubungan yang kuat antara positive reappraisal dengan SRG
5
terjadi karena tujuan strategi koping tersebut adalah tercapainya SRG (Park, Cohen, Murch, 1996). Aspek lain dari emotion-focussed coping adalah distancing, escapeavoidance, dan self-control (Folkman, dkk., 1986). Tidak semua penelitian mengenai optimisme dan emotion-focussed coping menunjukkan adanya hubungan yang positif dari kedua hal tersebut. Hasil beberapa penelitian justru menunjukkan bahwa optimisme berkorelasi secara negatif dengan high emotion-focussed coping (Ben-zur & Debi, 2005; Muhonen & Torkelson, 2011). Dapat disimpulkan bahwa santri membutuhkan penanganan stres yang baik agar dapat menghindari terjadinya hal buruk akibat berbagai masalah yang dihadapi dan mengalami SRG atau pertumbuhan positif dari perjuangannya dalam menghadapi masalahmasalah tersebut. Penanganan dampak emosional stres termasuk di dalam penanganan stres yang baik. Dampak emosional tersebut dapat ditangani dengan menerapkan strategi emotion-focussed coping. Salah satu karakter kepribadian yang dapat mempengaruhi emotion-focussed coping adalah optimisme. Sayangnya, literatur yang membahas mengenai emotionfocussed coping dan optimisme pada santri masih sangat minim. Padahal emotion-focussed coping, jika digunakan dengan tepat dapat membantu santri menghadapi masalah dengan lebih baik dan mendukung pertumbuhan positif dalam diri santri. Beberapa berita dan juga hasil wawancara yang menunjukkan kurangnya emotion-focussed coping pada santri, minimnya literatur yang tersedia serta adanya perbedaan hasil dari beberapa penelitian membuat peneliti tertarik untuk mengetahui lebih lanjut mengenai hubungan antara kedua hal ini. Hipotesis yang diajukan adalah terdapat hubungan positif antara optimisme dengan emotion-focussed coping.
6
B. Tujuan Penelitian Berangkat dari latar belakang di atas, maka tujuan penelitian ini adalah: Untuk mengetahui mengetahui penggunaan strategi emotion-focussed coping dan tingkat optimisme pada santri. Serta untuk mengetahui apakah terdapat hubungan antara optimisme dengan emotion-focussed coping pada santri. C. Manfaat Penelitian Manfaat penelitian yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah: 1.
Manfaat Teoritis Secara teoritis, penelitian ini bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan di
bidang psikologi, khususnya di bidang psikologi klinis. Bahasan mengenai optimisme dan emotion-focussed coping pada santri di Indonesia masih sangat sedikit. Harapannya, dengan peneliti melakukan penelitian ini dapat menambah keilmuan bagi penulis, ilmuwan psikologi, dan peneliti lainnya yang tertarik dengan optimisme dan koping. 2.
Manfaat Praktis Peneliti berharap penelitian ini dapat bermanfaat bagi pengelola pesantren,
pengajar, pemerintah dan juga santri dalam memahami optimisme dan strategi penanganan masalah yang dilakukan santri. Diharapkan
pengelola pesantren, pengajar, dan juga
pemerintah dapat memanfaatkan hasil penelitian ini dalam pengambilan keputusan terkait santri. Santri diharapkan dapat memilih strategi koping yang lebih baik sehingga pengelolaan stres juga menjadi lebih baik.