BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Imunomodulator merupakan salah satu senyawa yang berfungsi untuk meningkatkan pertahanan tubuh dan memperbaiki sistem imun yang melemah. Sebetulnya secara alami tubuh mempunyai sel-sel yang dapat memelihara sistem imunitas, namun pada kondisi tertentu sel-sel tubuh tersebut dapat mengalami penurunan fungsi bahkan dapat memberikan efek yang negatif yang tidak diinginkan apabila jumlah yang diproduksi terlalu banyak. Sehingga tubuh memerlukan suatu senyawa yang dapat membantu memperbaiki kondisi tersebut, senyawa yang diperlukan adalah senyawa yang memiliki sifat imunomodulator. Prinsip imunostimulan adalah memperbaiki kerja sistem imun yang terdapat dalam tubuh. Fungsi utamanya adalah dengan mencegah infeksi yang disebabkan mikroorganisme seperti bakteri, virus, fungi dan parasit (Levinson, 2006). Salah satu indikator respon imun adalah dengan melihat proliferasi limfosit. Proliferasi limfosit dapat dipakai sebagai indikator respon imun dan pengujiannya mudah dilakukan (Zakaria et al., 2003). Selain itu terdapat juga makrofag yang juga merupakan salah satu mononuklear fagosit yang berfungsi sebagai pertahanan terdepan dalam menghadapi serangan mikroorganisme (Karnen, 2001).
1
2
Dewasa ini para dokter sudah mulai banyak yang menyarankan untuk mengunakan senyawa imunomodulator sebagai terapi pendamping atau yang disebut sebagai adjuvan disamping terapi utama. Terapi adjuvan ini dapat membantu mempercepat proses pemulihan kesehatan. Adanya senyawa-senyawa kimia yang dapat meningkatkan aktivitas sistem imun sangat membantu untuk mengatasi penurunan sistem imun dan senyawa-senyawa tersebut dapat diperoleh dari
tumbuh-tumbuhan.
Tumbuhan
yang
dideteksi
berkhasiat
sebagai
imunomodulator, antara lain : Echinacea angustifolia, Andrographispaniculata, Plantago major, Allium sativum, Zingiber officinalis, Curcuma xanthorriza dll., (Mill, 2000; Ebadi, 2002). Masyarakat Indonesia saat ini semakin tertarik dengan pengobatanpengobatan alternatif yang memanfaatkan bahan alami atau tradisional. Beralihnya masyarakat Indonesia ke pengobatan alternatif disebabkan karena efek samping yang kerap ditimbulkan pengobatan kimia. Sedangkan pengobatan alternatif relatif lebih kecil efek samping yang ditimbulkan. Tidak terkecuali yang berasal dari hewan yang salah satunya terbuat dari cacing tanah (Lumbricus rubellus). Produk obat yang berasal dari cacing tanah ini memiliki banyak khasiat, diantaranya untuk terapi tekanan darah tinggi maupun rendah, kencing manis, tipus, rematik, antipiretik, diare dan penyakit kronis lainnya ditambah dengan penelitian yang sudah berlangsung selama sekitar 50 tahun menunjukan bahwa cacing tanah memiliki kekebalan humoral dan mekanisme seluler (Ariani, 2010). Berdasarkan hal tersebut maka peneliti tertarik untuk meneliti apakah serbuk
3
cacing tanah dapat mempengaruhi respon imun tikus dengan melihat aktivitas fagositosis makrofag berdasarkan peningkatan nilai indeks dan rasio fagositosis.
B. Rumusan Masalah Bagaimana pengaruh pemberian serbuk cacing tanah terhadap peningkatan nilai indeks dan rasio fagositosis makrofag peritoneum tikus Wistar jantan ?
C. Tujuan Mengetahui pengaruh serbuk cacing tanah terhadap aktivitas fagositosis sel makrofag tikus Wistar jantan dengan melihat peningkatan indeks dan rasio fagositosis makrofag.
D. Manfaat Penelitian Penelitian diharapkan dapat bermanfaat sebagai : 1.
Memberikan alternatif dalam dunia perobatan bahwa serbuk cacing tanah mampu digunakan sebagai imunomodulator.
2.
Penelitian ini dapat menambah pengetahuan mengenai efek pemberian serbuk cacing tanah dalam meningkatakan sistem imun tubuh yang dapat diketahui melalui peningkatan nilai indeks dan rasio fagositosis pada tikus Wistar jantan.
3.
Dapat dijadikan sebagai bahan acuan/informasi tambahan untuk penelitian lebih lanjut ataupun penelitian yang serupa.
4
4.
Hasil dari penelitian ini dapat dijadikan inovasi untuk pengembangan produk sediaan.
5.
Meningkatkan nilai ekonomi pada sumber hayati Indonesia.
E. Tinjauan Pustaka 1. Sistem imun Sistem imun ialah semua mekanisme yang digunakan badan untuk mempertahankan keutuhan tubuh sebagai perlindungan terhadap bahaya yang dapat ditimbulkan dari lingkungan hidup (Karnen, 2001). Sistem imun ini akan melindungi integritas dan identitas individu dan mencegah invasi organisme zat berbahaya yang dapat merusak dirinya (Munasir, 2001). Antigen dalam usahanya untuk menimbulkan infeksi pada seseorang, setidaknya harus melewati tiga lapisan pertahanan tubuh yaitu lapisan perlindungan terluar tubuh seperti kulit, mukus dan enzim, yang dapat langsung menghambat aksi antigen. Bagi antigen yang dapat menembus lapisan ini, maka mereka akan berhadapan dengan respon imun bawaan seperti makrofag, dan jika terlepas dari respon imun bawaan mereka harus melewati lapisan pertahanan berikutnya yaitu respon imun adaptif (Kresno, 2001). Semakin baik respon imun tubuh, semakin baik status kesehatan seseorang (Roitt dan Delves 2001). Respon imun nonspesifik atau bawaan atau alami (innate immunity) dapat mencegah mikroba yang masuk dalam tubuh dan segera mengeliminasi ketika mikroba tersebut berhasil masuk kedalam jaringan (Abbas dan Lichtman, 2009). Respon
imun
nonspesifik
timbul
sebagai
reaksi
terhadap
serangan
5
mikroorganisme patogen dan zat asing lainnya melalui fagositosis oleh neutrophil, monosit (makrofag) dan sel Natural Killer (NK) (Bellanti 1993). Sistem imun spesifik mempunyai kemampuan untuk mengenal benda yang dianggap asing. Benda asing yang pertama kali terpejan dengan tubuh akan segera dikenal oleh sistem imun spesifik yang menimbulkan sensitasi, sehingga pejanan berikutnya akan dikenal lebih cepat (Baratawidjaja, 2010). 2. Imunomodulator
Imunomodulator adalah zat yang dapat mengatur sistem imun, baik berupa mengembalikan dan memperbaiki sistem imun yang fungsinya terganggu atau untuk menekan yang fungsinya berlebihan. Imunomodulator membantu mengoptimalkan
fungsi
Imunomodulator
ini
sistem
imun
mempengaruhi
untuk
sistem
mempertahankan
imun
dengan
tubuh.
meningkatkan
(imunostimulasi) atau menekan (imunosupresan) respon imun. Imunomodulator terutama
dibutuhkan
untuk
kondisi
dimana
status
sistem
imun
akan
mempengaruhi kondisi pasien dan penyebaran penyakit, seperti halnya untuk terapi adjuvan yang melibatkan infeksi bakteri, fungi atau virus (Tjandrawinata et al., 2005). a.
Imunostimulasi : merupakan cara memperbaiki fungsi sistem imun dengan menggunakan bahan yang merangsang respon imun. Bahannya adalah imunostimulator. Imunostimulator terbagi menjadi 2 yaitu spesifik dan nonspesifik. Imunostimulator spesifik meningkatkan respon imun dengan memacu antigen spesifik sedangkan imunostimulator nonspesifik akan menstimulasi respon imun tanpa berhubungan dengan spesifitsias antigen
6
seperti halnya adjuvan yang digunakan bersama vaksin untuk memperkuat efek perlindungan (Kumar dkk., 2011). b.
Imunosupresan : merupakan tindakan untuk memperbaiki fungsi sistem pertahanan tubuh dengan cara menekan respon imun. Kegunaan di klinik ternyata pada transplantasi dalam mencegah reaksi penolakan dan pada berbagai penyakit inflamasi yang menimbulkan kerusakan atau gejala sistemik (Baratawidjaja, 2010).
3. Fagositosis makrofag Sel yang berperan dalam respon imun alamiah terdiri dari sel fagosit (makrofag dan neutrofil) dan sel NK (natural killer). Respon makrofag terhadap mikroba hampir sama cepatnya dengan neutrofil, tetapi makrofag lebih lama hidup daripada neutrofil. Fagositosis makrofag juga lebih aktif dalam menghadapi patogen seperti mikroorganisme maupun antigen lain bahkan sel atau jaringan sendiri yang mengalami kerusakan atau mati, sehingga makrofag dapat dikategorikan sebagai sel efektor utama pada respon imun alamiah (Abbas dkk., 2012). Sel fagosit dibentuk dalam sumsum tulang. Merupakan 60-70% dari seluruh sel darah putih normal. Sel fagosit merupakan garis pertahanan terdepan dan melindungi tubuh dengan menyingkirkan mikroorganisme yang masuk. Sel ini bersama antibodi dan komplemen berperan dalam inflamasi akut (Baratawidjaja, 2010). Makrofag berperan penting dalam respon imun nonspesifik. Makrofag dikhususkan untuk melaksanakan fungsi penelanan dan penghancuran semua
7
partikel patogen yaitu bakteri, sel yang rusak atau tidak berguna, serta sel tumor dengan proses fagositosis (Paul, 2003 ; Bellanti, 1993). Fungsi makrofag dalam fagositosis meliputi aktivitas membunuh, menghancurkan dan mengeliminasi antigen dari tubuh, selain itu makrofag berfungsi pula sebagai antigen presenting cell (APC) yang menghancurkan antigen dan komponen antigen yang dihancurkan akan berinteraksi dengan sistem imun spesifik atau antibodi (Robinovitch, 1995). Peran utama sistem kekebalan fagositosis adalah menarik sel fagosit dan monosit ke tempat terjadinya interaksi antara antibodi atau limfosit yang kebal dengan mikroorganisme. Bila antigen masuk ke dalam kelenjar getah bening, antigen tersebut akan segera difagositosis oleh makrofag. Daya tarik terjadi oleh faktor kemotaksis yaitu gerakan sel fagosit ke tempat infeksi, kemudian sel fagosit tersebut akan memakan melalui reseptor nonspesifik. Setelah berada dalam sel antigen masuk ke dalam vakuola sitoplasma yang disebut fagosom dan terjadi fusi dengan lisosom yang mengandung enzim hidrolitik menjadi fagolisosom yang selanjutnya akan membunuh mikroorganisme dengan mekanisme mikro-bisidal (Marusin, 2012). Jumlah lisosom meningkat saat fagositosis, sel yang demikian disebut sel yang aktif (Robinovitch, 1995). Makrofag yang teraktifasi juga akan mensekresi ROI untuk menghancurkan antigen yang dimakan (Roit I, et al., 2001). Makrofag yang teraktivasi akan menghasilkan sitokin IL-12 atau IFN-γ yang selanjutnya akan menstimulasi diferensiasi limfosit. Apabila aktivasi dari makrofag tidak berhasil mendegradasi makrofag maka produk aktivasi makrofag akan memodifikasi jaringan lokal dan memulai untuk penghancuran jaringan lokal dan digantikan dengan jaringan ikat lain (Indriyani, 2011).
8
Sifat dasar fungsi makrofag adalah kemampuan mengingesti dan melenyapkan bahan-bahan asing yang sudah rusak, fungsi kedua yang dikaitkan pada makrofag adalah penyajian antigen (antigen presentation). Fungsi tambahan yang dikaitkan pada makrofag adalah produksi dan sekresi berbagai macam faktor-faktor aktif secara biologis yang mempengaruhi aktivitas limfosit (Delves and Roitt, 2000). 4. Lumbricus rubellus Taksonomi Kingdom
: Animalia
Sub kingdom
: Metazoa
Filum
: Annelida
Kelas
: Oligchaeta
Ordo
: Haplotaxida
Sub ordo
: Lumbricina
Famili
: Lumbricidae
Genus
: Lumbricus
Spesies
: Lumbricus rubellus
(Gates, 1972) Sherman (2003) menjelaskan bahwa cacing tanah tidak memiliki kepala, tetapi mempunyai mulut pada ujungnya (anterior) yang disebut prostonium. Prostomium merupakan organ syaraf perasa dan berbentuk seperti bibir. Cacing tanah tidak memiliki indra pendengar dan penglihatan, tetapi sangat peka terhadap sentuhan dan getaran yang menyebabkan cacing tanah cenderung untuk menghindari cahaya. Terdapat segmen yang dinamakan klitelim yang terletak pada bagian
9
belakang mulut. Aktivitas hidup cacing tanah sangat dipengaruhi oleh habitat tempat hidupnya seperti iklim, sifat fisika dan kimia tanah, unsur hara, biota dan pengelolan tanah. Kotoran yang keluar dari anus Lumbricus rubellus terdiri dri berbagai macam komponen biologis seperti giberelin, sitokinin, auxin maupun komponen kimiawi seperti nitrogen, fosfor, kalium, belerang, magnesium, besi yang sangat diperlukan dalam perkembangan dan pertumbuhan tanaman. Oleh karena itu cacing tanah sangat berguna untuk menyuburkan tanah. Cacing tanah termasuk dalam kelas Oligochaeta dengan banyak suku. Spesies yang dikembangkan untuk diproduksi dan dibudidayakan yaitu Lumbricus rubellus, Eisenia foetida, Pheretima asiatica dan Eudrilus eugeuniae. Penelitian yang sudah ada menunjukan bahwa cacing tanah mengandung protein yang sangat tinggi yaitu sekitar 65-84,5%. Protein cacing tanah ini mengandung asam-asam amino esensial yang lengkap dengan kadar yang cukup tinggi. Selain itu juga mengandung auksin yang diketahui dapat merangsang pertumbuhan tanaman (Kuswanto, 2002). Penelitian lain membuktikan bahwa ekstrak cacing tanah dapat menghambat bakteri: Salmonella typhimurium, E. coli, S. aureus, Bacillus cereus dan Listeria monocytogenes. Berdasarkan hal ini ekstrak cacing tanah dapat digunakan sebagai obat untuk menyembuhkan penyakit yang disebabkan oleh bakteri. Selain itu juga mengandung asam arakidonat yang sangat efektif untuk menurunkan suhu tubuh pada saat demam karena infeksi (Waluyo, 2005). Berbagai penelitian menunjukan bahwa cacing tanah Lumbricus Rubellus mengandung enzim fibrinolitik (lumbrokinase), lumbrofebrin, Lumbricin I,
10
peroksidase, katalase, dan selulose, dimana enzim-enzim tersebut berguna bagi tubuh manusia begitu juga untuk pengobatan. Selain itu, kadungan asam arakhidonat dalam lumbrofebrin dapat berperan sebagai antipiretik untuk menurunkan panas tubuh yang disebabkan karena infeksi (Mihara et al., 1991).
Asam Amino Non-Esensial
Komposisi (%)
Asam Amino Esensial
Komposisi (%)
Aspartat
3,41
Arginin
3,01
Glutamat
7,67
Phenilalanin
1,77
Glisin
1,51
Histidin
5,76
Serin
14,52
Isoleusin
4,20
Prolin
1,82
Leusin
4,64
Alanin
1,67
Lisin
8,69
Metionin
3,64
Valin
5,17
Treonin
2,29
Sistin
2,51
Tirosin
3,72
Tabel 1. Asam Amino pada cacing tanah (Sumber : Istiqomah, 2009)
Mekanisme antibakteri dari protein cacing tanah berbeda dengan mekanisme antibiotik. Antibiotik membunuh mikroorganisme dengan dua cara, yaitu dengan
11
menghentikan jalur metabolik yang dapat menghasilkan nutrient yang dibutuhkan untuk oleh mikroorganisme atau menghambat enzim spesifik yang dibutuhkan untuk membantu menyusun dinding sel bakteri. Sedangkan mekanisme yang dilakukan oleh protein yang dimiliki cacing tanah adalah dengan membuat pori atau lubang di dinding sel bakteri sehingga sitoplasma sel bakteri terpapar lingkungan luar yang dapat mengganggu aktivitas dalam sel bakteri dan menyebabkan kematian bakteri. Dengan cara ini bakteri menjadi lebih susah untuk menjadi resisten karena yang dirusak adalah struktur sel milik bakteri itu sendiri. Senyawa antibakteri yang dimiliki oleh L.rubellus dikenal dengan nama Lumbricin-I yang memiliki kemampuan menghambat pertumbuhan bakteri Gram positif dan Gram negatif (Arslan, 2008 ; Cho et al., 1998).
F. Landasan Teori Cacing tanah mengandung berbagai kandungan bahan aktif yang memiliki fungsi dan khasiat berbeda satu sama lain. Salah satunya adalah senyawa alkaloid yang mengandung atom nitrogen dan bersifat basa (pH > 7) yang juga dimiliki tumbuhan lain sebagai antibakteri. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Santoso (2002) yang menyebutkan bahwa uji senyawa metabolit sekunder dan hasil spektrum UV-VIS ataupun IR menunjukan bahwa fraksi aktif ekstrak cacing tanah mengandung senyawa alkaloid. Serbuk cacing tanah juga memiliki komponen bioaktif seperti senyawa fenolik atau polifenol yang diketahui berfungsi sebagai antioksidan. Menurut
12
Vinardell dan Mitjaans (2008) polifenol mempunyai efek sebagai antioksidan, antiradang dan antikanker. Berhubungan dengan sistem imun, senyawa polifenol ini bersifat sebagai imunomodulator yang secara efektif dapat menghambat mitogen dan menstimulasi proliferasi peripheral blood mononuclear cells (PBMC), produksi Ig, IL-2 dan interferon gama (IFN-γ). IFN-γ sangat penting untuk menstimulasi sel NK, sel T sitotoksik (CD8+) dan makrofag yang berperan terhadap proses killing dan apoptosis pada sel-sel kanker (Dewanti dkk., 2012). Senyawa bioaktif lain yang terkandung dalam cacing tanah adalah celomocytes yang berperan dalam imunitas nonspesifik, senyawa ini memainkan peranan penting dalam sistem imun cacing tanah seperti fagositosis dan pelepasan faktorfaktor lisis. Molekul imun yang disintesis dan disekresi dari celomocytes akan merangsang aglutinasi, opsonisasi dan lisis dari molekul asing. Selain itu terdapat protease yang berperan dalam penghancuran antigen (Grdisa et al., 2013).
G. Hipotesis Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah serbuk cacing tanah mempunyai efek imunomodulator karena dapat meningkatkan nilai indeks fagositosis dan rasio fagositosis makrofag peritoneum tikus Wistar.