BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perubahan merupakan hal yang pasti terjadi dalam kehidupan manusia. Perubahan tersebut dibutuhkan manusia agar tetap bertahan dan menjaga eksistensinya sebagai makhluk hidup. Perubahan disini termasuk juga bentuk pengembangan untuk semakin menyesuaikan diri dengan berbagai bentuk tuntutan zaman. Konsep ini juga berlaku sama pada organisasi dan perusahaan. Zaman yang semakin global dan modern semakin memberikan tuntutan pula pada organisasi untuk selalu berinovasi dan bekerja keras untuk bertahan diantara makin banyaknya persaingan. Tuntutan yang dimiliki organisasi tentu mempengaruhi seluruh sumber daya di dalamnya, terutama sumber daya manusianya. Sumber daya manusia yang memegang kunci besar organisasi dituntut untuk selalu menjaga organisasinya unggul atau paling tidak bertahan diantara persaingan global yang sedang berlangsung. Salah satu organisasi yang paling besar adalah negara. Negara sebagai suatu organisasi terbesar juga memegang peranan penting dalam perkembangan globalisasi ekonomi di dunia. Oleh karena itu, negara juga memiliki kewajiban untuk menjalankan tugas dan kewajibannya dalam dunia global dan juga bertahan agar tidak kalah dalam persaingan dunia. Negara dalam menjalankan fungsi tersebut memerlukan unsur-unsur kenegaraan dan sumber daya manusia yang baik dan unggul. Salah satu unsur yang memegang peranan penting di suatu negara adalah pemerintah. Pemerintah dibagi lagi menjadi beberapa lingkup pemerintahan mulai dari tingkat eksekutif yang bertugas memimpin negara dan mengatur fungsi-fungsi kenergaraan hingga pegawai negeri yang
pada dasarnya berhubungan langsung dan memberikan pelayanan pada masyarakat. Berdasarkan UU No. 43 Tahun 1999 Pasal 1 tentang pokok-pokok kepegawaian, yang dimaksud Pegawai Negeri adalah setiap Warga Negara Republik Indonesia yang telah memenuhi syarat yang ditentukan, diangkat oleh pejabat yang berwenang dan diserahi tugas dalam suatu jabatan negeri atau, diserahi tugas Negara lainnya dan digaji berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku. Adapun selanjutnya menurut Pasal 2 ayat (1) disebutkan yang termasuk Pegawai Negeri berdasarkan pengertian pada pasal 1 yaitu Pegawai Negri Sipil (PNS), Anggota Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, dan Anggota Kepolisisan Republik Indonesia. Tugas Pegawai Negeri sendiri seperti disebutkan pada pasal 3 UU No. 43 Tahun 1999 adalah untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat secara profesional, jujur, adil, dan merata dalam penyelenggaraan tugas negara, pemerintahan, dan pembangunan. Sementara itu terkait gaji, kenaikan demi kenaikan terus dialami pegawai negeri sipil (PNS) setiap tahunnya, mulai dari kenaikan tahun 2014 sebesar 7% (kppnternate.net, 2014), di tahun 2015 kembali naik sebesar 6% (newsfarras.com, 2014), kemudian pada tahun 2016 depan akan mengantongi Tunjangan Hari Raya (THR) sebesar gaji sebulan yang mana hal ini menjadi gaji ke-14 mereka dalam satu tahun (Suprayogi dalam liputan6.com, 2015). Tidak hanya itu, saat ini Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi juga telah menyelesaikan draft peraturan pemerintah (PP) tentang sistem gaji dan tunjangan PNS untuk tahun 2018 yang akan naik hingga Rp. 14,3 juta (Djumena dalam kompas.com, 2015). Terkait dengan kenaikan gaji terus menerus sejak tahun 2014 tersebut, bagaimana persepsi PNS mengenai gaji dan tunjangan yang diterimanya belum dapat diketahui. Seperti yang diketahui, gaji yang diterima PNS menurut peraturan pemerintah disesuaikan dengan golongan dan masa kerja yang dimilikinya, tidak peduli dimana dia bekerja dan
beban kerja yang diterimanya. Baik beban kerja itu lebih banyak dibanding rekannya, apabila mereka berada dalam golongan yang sama maka mereka akan tetap mendapatkan pendapatan yang sama. Padahal menurut Siegrist (2014) pendapatan merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi stres kerja secara psikososial. Penelitian yang dilakukan oleh Moutsastsos (2008) menunjukkan bahwa kebanyakan stres kerja psiososial yang dialami pada era globalisasi ini disebabkan oleh intensifikasi kerja, job insecurity, buruknya kualitas kerja, ketidakseimbangan gaji, dan juga persaingan dalam lingkungan pekerjaan. Oleh karena itu, persepsi PNS mengenai pendapatan mereka perlu untuk diteliti, mengingat pendapatan penting dalam memprediksi stres kerja psikososial di era globalisasi. Selain terkait gaji atau pendapatan, PNS tidak luput dari tekanan akibat peningkatan beban kerja yang merupakan dampak dari globalisasi yang saat ini sedang dialami negaranegara di dunia. Negara-negara tidak hanya semakin meningkatkan kualitas namun juga kuantitasnya sebagai respon dari persaingan bebas yang terjadi baik dalam bidang ekonomi, politik, teknologi, pendidikan, dan budaya. Hal ini memberikan dampak kepada seluruh aspek kenegaraannya tidak terkecuali PNS yang merupakan salah satu sumber daya penting dalam keberlangsungan negara. Peneliti berusaha mengungkap beberapa informasi terkait beban kerja yang dimiliki dan stres kerja pada PNS dengan melakukan preleminary research pada 13 Oktober 2015. Penuturan salah satu pegawai pada pra-penelitian tersebut mengungkapkan hal sebagai berikut:
“Beban kerja tinggi, jadi ya stres tinggi.” (interviewee 1, 2015) Berdasarkan pernyataan salah satu PNS tersebut terindikasi bahwa beban kerja yang tinggi merupakan salah satu penyebab stres kerja yang dialami pegawai negeri. Hal ini sesuai dengan pendapat Siegrist (2004) bahwa beban kerja merupakan salah satu komponen yang mempengaruhi effort, yang mana effort merupakan salah satu aspek untuk
mengukur stres kerja. Stres kerja karena disebabkan beban kerja yang tinggi ini juga disebutkan pegawai lain dalam preliminary research ini, yang mana pernyataan lebih dari satu orang menunjukkan bahwa beban kerja dapat dikatakan merupakan salah satu faktor utama penyebab paling banyak pada PNS.
“Ya stres tinggi, karena pekerjaannya tiga: target, fungsi menyatukan data se kabupaten, dan beban berhadapan langsung dengan cutomer yaitu masyarakat dan dewan/politik. Artinya disini ya lumayan stres. Unik lah, kan di kantor ini ada 5 bidang, nah lima bidang ini sudah mewakili seluruh PNS. Saya sudah pindah kerja 9 kali dan sama saja, stres juga.” (Interviewee2, 2015)
Beban kerja merupakan salah satu sumber penentu effort yang dikeluarkan pegawai, yang mana sumber lainnya berasal dari motivasi. Penelitian terkait hal ini pernah dilakukan oleh Ross (2012) yang membuktikan beban kerja berkorelasi dengan performasi kerja yang merupakan manfestasi dari effort. Effort sendiri seperti yang sudah sempat disebutkan sebelumnya merupakan salah satu komponen yang digunakan dalam pengukuran stres kerja psikososial menurut Siegrist (1996). Pengukuran stres kerja baru ini disebut dengan Effort Reward Imbalance (ERI) yang mengukur stres kerja berdasarkan keseimbangan antara effort yang dikeluarkan dengan reward yang diterima. Hal inilah juga yang mendasari mengapa sebelumnya disebutkan bahwa persepsi PNS mengenai pendapatkan juga merupakan hal penting karena digunakan untuk mengukur stres kerjanya, karena pendapatan merupakan salah satu komponen yang terdapat dalam reward. Stres kerja apabila diukur menggunakan instrumen ini dapat terjadi ketika pegawai memiliki ketidaksembangan yang tinggi mengenai persepsi effort yang dikeluarkan dengan reward yang diterima. Pengukuran stres kerja menggunakan dua unsur dalam lingkungan kerja yaitu effort dan reward ini dapat disebut juga sebagai pengukuran stres kerja tidak langsung karena
pengukurannya difokuskan pada lingkungan kerja yang menyebabkan stres kerja secara psikososial (Siegrist, 2008), bukan pada kondisi tingkat stres kerja pegawai seperti pada skala pengukuran stres kerja biasanya. Model ERI melihat kondisi psikososial dengan berfokus pada kondisi reward yang terancam. Kondisi pekerjaan yang ditandai dengan adanya ketidakseimbangan antara high effort dan low reward akan menimbulkan keadaan social reward frustation. Keadaan ini dengan dirangsang oleh salah satu sistem otak yang disebut mesolimbic dopamine system, akan memancing beberapa sumbu stres dalam syaraf organisme (Siegrist, 2008). Kondisi inilah yang kemudian disebut sebagai kondisi stres psikososial karena melibatkan aspek psikologis dan sosial pegawai. Era globalisasi yang menuntut adanya social reciprocity dalam berbagai aspek juga membuat tuntutan akan adanya pengukuran baru dalam penggunaan skala stres kerja yang sesuai. Oleh karena itu Siegrist (2014) menyebutkan bahwa ERI tepat digunakan sebagai alat ukur stres kerja di Era globalisasi yang mana tekanan dan tuntutan pekerjaan semakin meningkat. Era globalisasi yang memungkinkan perubahan sedemikian rupa pada organisasi mengharuskan individu memiliki keunggulan dalam lingkungan kerjanya agar mampu bertahan. Tidak hanya itu, pendapatan dan juga keamanan serta kenyamanan pekerjaan juga menjadi hal penting yang dibutuhkan agar tetap memiliki kualitas kehidupan kerja yang baik dan tidak mengalami stres kerja. Oleh karena itu, penelitian ini akan mengukur stres kerja menggunakan instrumen effort reward imbalance (ERI) yang baru diadaptasi di Indonesia oleh Widanarko, dkk. (2015). Meskipun instrumen ini sudah cukup banyak digunakan di luar negeri dalam berbagai bahasa, literatur yang masih terbatas di Indonesia terkait penggunaan instrumen ini menjadikan penelitian ini penting untuk dilakukan. Penggunaan instrumen ini yang dilakukan oleh Widanarko, dkk. (2015) adalah menggunakan subjek pekerja tambang yang juga dianggap rawan memiliki tingkat stres tinggi karena tuntutan kerja yang berat.
Berbagai macam setting subjek pernah digunakan untuk pengukuran stres kerja. Contoh dari beberapa jenis subjek yang pernah digunakan pada untuk penelitian dengan pengukuran stres kerja misalnya adalah seperti para profesor (Paduraru, 2014), pekerja IT (Sanjeev & Rathore, 2014), kepala sekolah (Hans dkk., 2014), perawat (Fiabane dkk., 2013), pekerja muda dari lingkungan kelembagaan (Gavrila-Ardelean & Moldovan, 2014), hingga Pegawai Akademik dan Kemahasiswaan, dan Keuangan UGM (Brordus, 2010). Selain dalam berbagai subjek tersebut, stres juga banyak dikaitkan dengan variabel lain seperti cyberloafing (Brordus, 2010), work-life balance dan low wage (Paduraru, 2014), komitemen (Sanjeev & Rathore, 2014), work engagement (Fiabane dkk., 2013), dan sebagainya. Penelitian ini akan menggunakan subjek PNS yang mana merupakan salah satu pihak yang terlibat dari adanya globalisasi ekonomi. Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Indonesia diseleksi melalui suatu tes dengan persaingan yang ketat. Pendaftar pada tahun 2014 saja mencapai 2.603.780 jiwa dengan lowongan yang dibuka pemerintah pada saat itu sebesar 100.000 formasi Aparatur Sipil Negara (ASN), yang terdiri atas 65 ribu CPNS, dan 35 ribu Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) (Wahyuni, 2014). Jumlah ini menunjukkan peminat PNS di Indonesia masih sangat banyak yang mana persaingannya pada tahun 2014 tersebut adalah sekitar 1:26. Berdasarkan perbandingan ini dapat dikatakan bahwa satu PNS yang telah lolos seleksi merupakan seseorang yang kompetitif, berpendidikan, memiliki ketrampilan dan kemampuan lebih unggul dibandingkan 26 orang lain yang tidak lolos. Sifat kompetitif, berpendidikan, dan unggul yang membuat seseorang lolos dalam persaingan ketat menurut Ross (2012) merupakan salah satu ciri dari seseorang yang memiliki perfeksionisme tinggi. Perfeksionisme merupakan variabel internal dalam diri individu yang lebih banyak dimiliki oleh individu unggul dengan kapasitas intelektual diatas rata-rata atau berpendidikan tinggi (Peters, 1996; Aditomo & retnowati, 2004). Individu unggul
dimaksudkan adalah seseorang yang lolos dalam kompetisi dan persaingan yang ketat. PNS yang lolos dengan perbandingan 1:26 pada tahun 2014 menunjukkan bahwa PNS yang lolos memiliki sikap kompetitif tinggi dan unggul dalam persaingan, yang mana biasanya dimiliki oleh seorang perfeksionis karena mereka cenderung menerapkan standar tinggi dalam dirinya dan cenderung menghindari kegagalan (Ross, 2012). Penetapan standar tinggi dan menghindari kegagalan tidak hanya mempengaruhi seorang perfeksionis dalam menghadapi suatu kompetisi, namun juga mempengaruhi bagaimana performansi mereka dalam pekerjaan atau akademis. Seorang perfesionis dapat bermasalah dalam memprioritaskan pekerjaan, pembagian tugas atau tanggung jawab, dan hubungan dengan rekan kerja karena mereka tidak hanya menetapkan standar tinggi untuk dirinya sendiri namun juga orang lain (Ross, 2012). Penetapan standar tinggi dalam segala hal ini juga membuat seorang perfeksionis sulit merasa puas dalam suatu pekerjaan dan menyebabkan pekerjaan menjadi terbengkalai. Hal tersebut membuat seorang perfeksionis tidak jarang mengalami prokrastinasi karena menganggap pekerjaan tidak pernah mencapai sempurna (Ross, 2012), depresi karena standar yang ditetapkan sulit dicapai (Aditomo & Retnowati, 2004), atau bahkan stres kerja karena tidak hanya bermasalah dalam performansi kerja namun juga hubungan dengan orang lain ditempat kerja (Ross, 2012). PNS yang merupakan individu unggul dan kompetitif karena berhasil lolos dalam suatu seleksi ketat juga memiliki sifat perfeksionis dalam dirinya yang mana hal ini juga memberikan lebih banyak kemungkinan bagi PNS untuk mengalami stres kerja. Oleh karena itu peneliti menggunakan perfeksionisme sebagai salah satu variabel independen penelitian untuk melihat hubungan antara tingkat perfeksionisme dengan stres kerja pada subjek PNS. Variabel independen selanjutnya adalah leader-member exchange (LMX) yang dipilih karena berdasarkan hasil preliminary research, hubungan dengan pemimpin
merupakan salah satu hal penting yang mempengruhi kinerja pada PNS, seperti yang dinyatakan interviewee di bawah ini:
“Birokrasi itu kan tergantung sama pimpinan stresnya. Jadi bisa saja stres karena pimpinannya nggak dong-an (sulit paham, red) kan ya stres juga. Karena kita itu kan nggak ada target, jadi sangat berbeda dengan coorporate.” (Interviewee2, 2015)
Berdasarkan pernyataan interviewee diatas, pernyataan bahwa birokrasi merupakan sistem yang bergantung dengan pimpinan dalam penentuan stres dan stres dapat disebabkan arena penyampaian informasi yang kurang jelas merupakan kata kunci dalam pemilihan Leader-Member Exchange (LMX) sebagai variabel independen kedua. Peneliti memilih leader-member exchange (LMX) dibandingkan jenis teori kepemimpinan lainnya karena LMX lebih berfokus pada hubungan antara atasan dengan tiap bawahannya (Levy, 2003) yang dapat berbeda satu sama lain, bukan berfokus pada sifat kepemimpinan seperti teori kepemimpinan tradisional. LMX melibatkan berbagai unsur dalam hubungan antara atasan dan bawahan terutama adanya komunikasi dan pertukaran yang lancar diantara keduanya. Pertukaran (exchange) berfokus pada kualitas hubungan dua arah antara atasan dan bawahan sementara komunikasi dapat berupa informasi terkait pekerjaan maupun hubungan komunikasi afektif dalam bentuk dukungan. Oleh karena itu karena atasan merupakan suatu unsur penting dalam sistem kerja birokrasi PNS, maka kualitas hubungan vertikal antara bawahan dengan atasannya menjadi hal yang penting pula. Hubungan tersebut dapat berpengaruh tidak hanya dalam pelaksanaan tugas namun juga dalam kehidupan psikologis pegawai. Misalnya apabila bawahan memiliki kualitas LMX yang buruk dengan atasannya maka akan sulit baginya mendapatkan informasi terkait pekerjaan dan akses dalam organisasi. Kesulitan dalam berkomunikasi dengan atasan, mendapatkan
informasi, dan akses dalam organisasi ini dapat memungkinkan pegawai mengalami stres kerja. Penelitian mengenai LMX dan hubungannya dengan stres kerja pernah dilakukan oleh Harris, dkk. (2005) yang membuktikan bahwa salah satu aspek LMX berhubungan dengan strain, yang mana merupakan respon psikologis dari adanya stres. Penelitian lain menggunakan LMX sebagai variabel independen dalam lingkungan kerja dipasangkan dengan variabel lain seperti intensi turnover (Sanders III, 2015), kepuasan kerja, motivasi kerja, dan komitmen organisasional karyawan (Wijayanto & Sutanto, 2013), creative behavior (Perdhana, 2011), dan loyalitas karyawan (Syafrizal, 2010). Sementara penelitian terkait perfeksionisme sebagai variabel independen dan stres kerja sebagai variabel dependen pernah dilakukan oleh Mustikaningtyas (2001). Penelitian lain dilakukan oleh Kung dan Chan (2014) yang membandingkan hubungan antara perfeksionisme positif dan negatif dengan stres positif dan negatif di tempat kerja. Sementara penelitian yang menggunakan perfeksionisme sebagai variabel independen dengan variabel dependen lain adalah seperti work engagement, psychological well-being, kelelahan emosional (Kanten & Yesiltas (2014), psychological functional (Chang, 2008), penerimaan diri (Flett, dkk., 2003), dan banyak penelitian lain yang menghubungkan dengan depresi (Aditomo & Retnowati, 2004). Meskipun beberapa penelitian banyak yang sudah menghubungkan antara perfeksionisme atau LMX dengan stres kerja, ataupun variabel lain dengan stres kerja, namun masih sedikit sekali penelitian yang meneliti hubungan antara perfeksionisme dan LMX secara bersama-sama terutama menggunakan skala stres kerja secara tidak langsung. Selama ini, pengukuran stres kerja biasanya secara langsung menggunakan skala selfreport yang mengukur kondisi psikologis subjek yang mana subjek sendiri yang menentukan indikasi sejauh mana stres kerja yang dialaminya. Tetapi seiring dengan
perkembangan ilmu pengetahuan dan era globalisasi, stres kerja juga bisa diukur secara tidak langsung dengan melihat kondisi psikososial dengan cara membandingkan effort dan reward. Hal inilah yang menjadi alasan pentingnya penelitian ini untuk dilakukan. Penelitian ini meneliti hubungan antara perfeksionisme dan LMX menggunakan skala stres kerja yang disesuaikan dengan perekonomian global yaitu dengan melihat kondisi psikososial lingkungan kerja. Pengukuran stres kerja secara tidak langsung dengan melihat kondisi psikososial ini dilakukan dengan membandingkan antara persepsi effort dan reward yang dimiliki pegawai. Skala ini disebut dengan Effort-Reward Imbalance (ERI) yang disesuaikan dengan era globalisasi dimana tuntutan pekerjaan, pendapatan, keamanan, dan kenyamanan kerja membuat banyak individu dan organisasi saling bersaing. Era globalisasi yang penuh dengan persaingan dan tuntutan ini juga membuat stres kerja menjadi salah satu kondisi psiologis yang banyak dialami berbagai pihak sehingga membutuhkan penelitian baru dengan alat ukur baru yang sesuai dengan keadaan saat ini. Hal ini berguna sebagai bahan pertimbangan organisasi dalam pencegahan kemunculan stres kerja dan pengelolaan sumber daya manusianya agar organisasi dapat terus bertahan dan meningkatkan eksistensinya.
B. Tujuan Penelitian Penelitian ini memiliki dua tujuan yaitu: 1.
Mengetahui hubungan antara perfeksionisme dan leader-member exchange (LMX) dengan stres kerja secara bersama-sama.
2.
Mengetahui
sumbangan
efektif
kedua
variabel
independen
yaitu
perfeksionisme dan leader member exchange (LMX) terhadap stres kerja. 3.
Mengetahui hasil pengukuran instrumen stres kerja secara tidak langsung dengan melihat perbandingan antara effort dan reward pada subjek.
C. Manfaat Penelitian Penelitian ini memiliki dua manfaat utama. Adapun manfaat dari penelitian ini yaitu: 1. Manfaat Teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan terhadap perkembangan ilmu psikologi khususnya dalam bidang Industri dan Organisasi Sumbangan tersebut dikhususkan terkait dinamika hubungan antara perfeksionisme dan leader-member exchange dengan stres kerja di era globalisasi, yang mana sesuai dengan judul dari penelitian ini. Manfaat lain yang diharapkan dari penelitian ini adalah menambah literatur penggunaan skala pengukuran stres kerja menggunakan effort-reward imbalance (ERI) yang baru saja diadaptasi di Indonesia. 2. Manfaat Praktis Manfaat praktis yang diharapkan dari adanya penelitian ini adalah organisasi memberikan perhatian lebih terhadap kualitas hubungan antara atasan dan bawahan yaitu leader-member exchange (LMX) dan aspek internal individu yaitu perfeksionisme, yang masih jarang mendapatkan perhatian dalam lingkungan kerja. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan saran terkait topik intervensi penanganan stres kerja pegawai dengan memberikan bukti baru terkait variabel lain yang berhubungan dengan stres kerja. Penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan hasil yang berguna sebagai landasan informasi bagi peneliti selanjutnya yang tertarik untuk meneliti dan mengembangkan psikologi Industri dan Organisasi terutama mengenai topik perfeksionisme dan leader-member exchange untuk menurunkan stres kerja yang bersifat negatif dalam kehidupan pekerja.