BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Agresivitas bukan merupakan hal yang sulit ditemukan di dalam kehidupan masyarakat. Setiap hari masyarakat disuguhkan tontonan kekerasan, baik secara langsung maupun tidak langsung seperti pada media massa dan media cetak. Seorang anak sering diperlihatkan bentuk-bentuk agresivitas oleh tetangga atau bahkan orang tuanya sendiri. Anak dapat melihat bagaimana orang lain berinteraksi menggunakan perilaku agresi dan merasa bahwa hal tersebut merupakan hal yang biasa dilakukan. Media cetak memaparkan tingginya perilaku agresi yang dilakukan seseorang ataupun sekelompok orang kepada orang lain dalam kasus-kasus kriminal. Masyarakat juga dipertontonkan adegan-adegan yang mengarah kepada agresivitas oleh media massa, misalnya dalam sinetron atau bahkan pada adegan lawakan. Meskipun sinetron hanyalah sebuah skenario, namun dalam skenario diperlihatkan bahwa tokoh antagonis melakukan hal tersebut benar-benar untuk menyakiti orang lain. Masyarakat sering terbawa perasaan hingga menganggapnya sebagai kejadian sungguhan dan terbiasa dengan hal-hal yang mengarah pada perilaku agresi. Baron dan Byrne (2005) dalam kajian Psikologi Sosial menyatakan bahwa agresi merupakan suatu bentuk penyiksaan yang diberikan dengan sengaja untuk tujuan menyakiti orang lain. Agresi didefinisikan oleh Berkowitz (1993) sebagai suatu bentuk perilaku yang dimaksudkan untuk melukai seseorang, baik secara fisik maupun secara psikologis. Jadi telah disebutkan bahwa agresi merupakan perilaku disengaja yang ditujukan untuk menyakiti orang lain. Agresi dapat berupa agresi yang kelihatan yakni melukai fisik ataupun agresi yang tidak terlihat yakni melukai orang lain secara psikologis, misalnya agresi dalam bentuk kata-kata atau bahasa tubuh.
1
2 Salah satu contoh nyata dari perilaku agresi adalah kasus bullying yang terjadi pada gank SMAN 70 Bulungan, Jakarta Selatan. Via, seorang siswi kelas X dikeroyok dan dianiaya kakak kelasnya karena ia tidak memakai kaus dalam saat ke sekolah. Sebelum mengalami penganiayaan Via mendapatkan sms-sms ancaman, misalnya, “Awas nanti kamu diadili luh,” dan “Hati-hati nanti ada pergerakan anti-Via”. Kalimat-kalimat ancaman seperti ini ialah salah satu bentuk dari perilaku agresi verbal yang berujung pada agresi fisik yakni penganiayaan terhadap Via di kantin sekolah (www.indonesiaindonesia.com). Agresi dapat dilakukan oleh siapa saja kepada siapa saja, tidak terkecuali orang yang sangat dekat. Orang-oranng yang sangat dekat akan memiliki interaksi yang lebih intens dibandingkan dengan orang-orang yang jarang bertemu. Tingginya intensitas dapat menimbulkan berbagai hal, baik hal positif maupun negatif. Hubungan anggota keluarga yang bertemu setiap hari di bawah satu atap juga berpotensi untuk kemunculan perilaku agresi. Keluarga dengan anak tunggal dan keluarga dengan jumlah anak lebih dari satu memiliki dinamika psikologis yang berbeda di dalam rumah. Pada usia 2-3 tahun anak akan mulai bertindak agresif setelah orang tua memarahi mereka. Pada usia ini anak biasanya akan mengeluarkan agresivitasnya dengan cara menendang atau memukul. Terkadang anak juga dapat memiliki temper tantrum yang tidak terfokus dan memuncak pada usia sekitar 4 tahun. Pada usia ini anak juga memiliki konflik dengan saudara atau dengan teman sebayanya (Shaffer, 1989). Pada usia 2-6 tahun anak akan cenderung melakukan agresi instrumental yakni dengan cara merebut mainan milik teman dan bukan dengan tujuan melukai orang lain (Djiwandono, 2005).
3 Mitos yang ada di masyarakat menyatakan bahwa anak tunggal sering diberi label sebagai “anak nakal yang manja”. Hal ini terjadi karena anak tunggal dianggap memiliki karakter yang tidak diinginkan seperti adanya ketergantungan yang tinggi terhadap orang tua, kurang dapat mengendalikan diri, serta mementingkan diri sendiri (Santrock, 2002). Berbeda halnya dengan dinamika psikologis anak yang memiliki saudara di dalam rumah. Anak dapat melakukan interaksi positif maupun negatif dengan saudara kandungnya. Interaksi positif yang dilakukan contohnya ialah diskusi, berbagi cerita, bersenda gurau, atau juga percakapan sehari-hari (Putri, 2013). Sedangkan interaksi negatif contohnya ialah saling berebut sesuatu dan berkelahi. Meskipun begitu, konflik terkadang diperlukan dalam interaksi antarsaudara. Disebutkan oleh Katz, Kramer, dan Gottman (1992) bahwa hubungan persaudaraan merupakan kesempatan yang baik bagi anak untuk dapat belajar mengenai suatu konflik. Melalui sebuah konflik anak dapat belajar untuk mengendalikan diri serta memahami cara bergaul dengan orang lain. Salah satu bentuk konflik yang dapat dialami dalam hubungan antar saudara adalah sibling rivalry. Dalam artikel Jarak Kelahiran Berdekatan Bikin Anak Suka Bertengkar dituliskan bahwa adanya perbedaan usia yang terlalu dekat cenderung dapat meningkatkan adanya perselisihan antarsaudara karena intensitas komunikasi yang terbangun lebih besar dibandingkan saudara dengan jarak kelahiran yang jauh (www.m.tabloidnova.com). Bagi sang kakak, kelahiran adik dianggap terlalu menyita waktu dan merebut perhatian orang tua darinya (Putri, 2013). Ia akan cenderung berbuat agresif demi mendapatkan kembali perhatian orang tua yang telah beralih untuk adiknya.
4 Perilaku agresif yang dilakukan sang kakak bukan merupakan bentuk kebencian kakak terhadap adik namun dianggap sebagai bentuk protes anak terhadap orang tua karena anak merasa orang tua berbuat tidak adil terhadap dirinya (Erikania dan Soelaeman, 2014). Sedangkan bagi sang adik, perlakuan kakak yang cenderung agresif dianggap sebagai bentuk penolakan terhadap keberadaan dirinya. Sang adik menjadi dendam pada sang kakak dan berusaha mendapatkan harga dirinya dengan melakukan kompetisi dan memperlihatkan bahwa ia sanggup menyaingi sang kakak. Hal inilah yang sering disebut dengan persaingan atarsaudara atau sibling rivalry. Sibling rivalry diartikan sebagai kompetisi antara saudara kandung, seringkali dilakukan untuk mendapatkan perhatian dari orang tua. Ketika individu merasa bahwa saudaranya memiliki sesuatu yang lebih dari dirinya, individu akan berusaha untuk mendapatkan perhatian dari orang tua dengan cara yang berbeda dari saudaranya. Individu akan cenderung mencari keunggulan dirinya dalam bidang lain. Fenomena proses individu berusaha menjadi berbeda dengan saudaranya ini disebut dengan sibling deindentification (Steinberg, 2011). Chanda (2007) mengatakan bahwa sibling rivalry dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor, misalnya latar belakang kanak-kanak, pola asuh orang tua, hubungan dengan saudara, serta karakteristik individu. Latar belakang kanak-kanak membawa dampak yang besar bagi kehidupan individu. Meskipun dalam hubungan persaudaraan tersebut anak-anak memiliki latar belakang yang sama dan lingkungan yang sama, namun pengalaman yang mereka dapatkan dapat berbeda. Anak dapat saja berada di sekolah yang sama namun apa yang mereka alami tidak sepenuhnya sama. Begitu pula dengan pola asuh orang tua. Orang tua dapat menjadi salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya sibling rivalry karena memberi perlakuan yang berbeda terhadap anak. Sibling rivalry juga dapat terjadi karena orang tua menganggap semua
5 anaknya sama sehingga anak yang satu harus sama dengan anak lainnya, padahal belum tentu semua anak memiliki keinginan untuk sama dengan saudaranya. Orang tua menginginkan agar semua anaknya menjadi yang terbaik sehingga membandingkan individu dengan adik atau kakaknya dengan tujuan memberikan motivasi. Akan tetapi, proses tersebut justru dapat menjadikan anak merasa bahwa dirinya dibanding-bandingkan dan merasa kurang diterima sebagai pribadi yang unik dan berbeda. Hal ini juga dapat menimbulkan kecemburuan bagi sang anak terhadap saudaranya sendiri. Orang tua adalah kunci bagi lahir atau tidaknya sibling rivalry dalam kehidupan persaudaraan anak-anak (Erikania dan Soelaeman, 2014). Apabila orang tua dapat memberikan kasih sayang kepada semua anaknya dengan adil maka kemungkinan munculnya sibling rivalry dapat semakin mengecil. Karakteristik setiap individu juga memegang peranan penting bagi munculnya sibling rivalry (Santrock, 2002). Individu yang memiliki sifat kompetitif tinggi akan cenderung mengembangkan sibling rivalry karena ia ingin selalu lebih unggul dari siapapun, termasuk juga lebih unggul dari saudaranya. Karakter-karakter tertentu seperti tidak mau mengalah dan cenderung ingin diperhatikan menyebabkan individu mengembangkan sifat kompetitif. Di sini lawan yang terdekat bagi individu adalah saudaranya sendiri. Individu kemudian mengembangkan sibling rivalry agar ia mendapatkan pengakuan serta kasih sayang dari orang tuanya. Woolson, 2004 (dalam Setiawan, 2013) mengatakan bahwa jarak kelahiran yang lazim memicu timbulnya sibling rivalry adalah jarak kelahiran 1-3 tahun dan lebih sering terjadi pada saudara dengan jenis kelamin yang sama. Hal ini terjadi karena adanya kesamaan dapat memunculkan persaingan. Individu tidak ingin merasa sama dengan orang lain. Jarak yang berdekatan biasanya membuat orang lain berpendapat bahwa kedua saudara tersebut harus memiliki kesamaan, apalagi jika
6 ditambah dengan jenis kelamin yang sama. Individu yang selalu disamakan dengan individu lain akan memunculkan sikap ingin tampil berbeda. Hal ini menjadi pemicu munculnya sibling rivalry dalam diri individu. Tanda-tanda terbentuknya sibling rivalry biasanya dimulai sejak individu berada di usia anak-anak. Hal ini disebabkan usia anak belum memiliki empati dan belum dapat melihat dunia dari kacamata orang lain. Individu tersebut hanya melihat dirinya sendiri atau adanya egosentris dalam dirinya. Observasi awal yang dilakukan oleh peneliti di lapangan memperlihatkan bahwa anak-anak sering memperdebatkan barang-barang yang dimilikinya, misal dengan mengatakan, “Ini mainan Kakak, Adek kan sudah punya mainan sendiri.” Lalu sang adik menangis dan mengatakan pada orang tua bahwa kakaknya tidak memperbolehkannya meminjam mainan tersebut. Orang tua ikut menanggapi dengan mengatakan, “Adek dipinjami saja mainannya sebentar, Kakak kan harus mengalah.” Kasus kecil seperti hal tersebut memiliki pengaruh terhadap perkembangan diri anak-anak. Anak akan merasa bahwa orang tua lebih sayang terhadap adiknya. Sang kakak merasa orang tua lebih mengutamakan segala hal untuk sang adik, berbeda dengan ketika ia masih menjadi anak tunggal yang mendapat curahan kasih sayang orang tua secara penuh. Anak kemudian merasa diperlakukan tidak adil dan mengatakan, “Ihh dibela terus. Awas ya lihat besok,” kata-kata semacam ini memperlihatkan bahwa telah muncul bibit persaingan pada diri anak terhadap saudaranya. Interaksi antara saudara kandung lebih banyak dilakukan dengan cara-cara yang negatif jika dibandingkan interaksi anak dengan orang tua (Santrock, 2002). Anak sering melakukan agresi fisik seperti saling menjambak, memukul, mencubit, dan sebagainya sebagai bentuk kemarahan terhadap saudaranya. Minnett, Vandell, dan
7 Santrock, 1983 (dalam Santrock, 2002) menyatakan bahwa agresi dan dominasi lebih sering ditemukan dalam hubungan antarsaudara kandung dengan jenis kelamin yang sama dibandingkan saudara dengan jenis kelamin yang berbeda. Hal ini semakin menunjukkan bahwa adanya sikap untuk saling berkompetensi dengan orang lain yang merupakan saudara kandungnya sendiri. Sikap tersebut sudah ditunjukkan sejak individu berada dalam masa anak-anak dan dapat berkembang sampai pada tahap remaja hingga dewasa. Ketika individu beranjak menuju dewasa, individu harus melewati masa transisi yakni masa remaja. Masa remaja merupakan masa transisi antara masa anak-anak dan masa dewasa, yakni berada di kisaran usia 12-25 tahun. Di masa ini individu menjadi lebih berkembang baik secara fisik maupun mental. Masa remaja memiliki arti bertumbuh menuju arah kematangan, bukan hanya kematangan fisik akan tetapi juga kematangan sosial-psikologis (Sarwono, 2002). Secara fisik, masa remaja adalah masa terjadinya pubertas yang ditandai dengan adanya kematangan organ reproduksi yakni mengalami menstruasi bagi perempuan, dan mengalami mimpi basah pada laki-laki. Kematangan sosial-psikologis ditandai dengan adanya keinginan untuk berusaha melepaskan diri dari ketergantungannya terhadap orang tua serta berusaha membuat keputusan sendiri dalam beberapa hal. Menurut teori dari Piaget, individu juga sudah dapat berpikir secara abstrak dan banyak melihat kejadian dari lingkungan untuk dimaknai sesuai pemikiran rasionalnya (Santrock, 2002). Erikson (Santrock, 2002) menyatakan bahwa masa remaja berada pada tahap kelima teori kehidupan. Tahap kelima ini merupakan masa pencarian jati diri atau juga terjadinya kebingungan identitas (identity versus identity confusion). Individu yang
8 berada di tahap ini memiliki karakter ingin diakui dan dianggap keberadaannya oleh orang-orang di sekitarnya. Remaja memiliki emosi yang berbeda dibandingkan ketika individu berada pada masa anak-anak. Remaja memiliki ekspresi yang berbeda dari anak-anak di saat menunjukkan emosinya. Emosi-emosi yang biasa terjadi di kalangan remaja yakni emosi marah, takut, khawatir, cemburu, iri hati, afeksi, bahagia, dan rasa ingin tahu (Hurlock, 1959). Remaja biasanya menjadi marah ketika diperlakukan seperti anak kecil. Individu pada tahap ini sudah ingin dianggap dewasa, meskipun pada kenyataannya individu belum sepenuhnya memenuhi kriteria untuk menjadi seorang dewasa. Remaja awal juga mengalami marah karena merasa frustrasi jika keinginan atau pemikirannya dihalangi oleh orang lain, termasuk juga oleh orang tua. Bentuk kemarahan remaja biasanya mengarah ke agresi secara verbal. Individu tidak lagi melakukan agresi secara fisik seperti pada masa anak-anak, misalnya memukul dan menendang orang lain (Hurlock, 1959). Sibling rivalry dapat terjadi karena remaja mengalami ketakutan apabila saudaranya menjadi lebih unggul dibandingkan dirinya. Ketakutan pada diri remaja mengarah pada hal-hal yang bersifat abstrak. Remaja akan mengalami ketakutan jika tidak diterima oleh anggota kelompok sehingga ia akan berusaha untuk mendapatkan kesan yang baik dari orang di sekitarnya. Individu yang mengalami ketakutan tersebut akan melakukan usaha yang lebih untuk mendapatkan nilai tambah dirinya di mata orang lain (Hurlock, 1959). Selain ketakutan bahwa saudaranya lebih unggul, salah satu penyebab terjadinya sibling rivalry adalah kekhawatiran remaja yang berkaitan dengan status (Hurlock, 1959). Individu pada masa ini akan berlomba untuk mendapatkan status di
9 sosial pergaulannya, misalnya merasa bangga jika menjadi ketua gank. Sebaliknya, individu akan merasa khawatir jika dirinya tidak diterima dalam pergaulannya dan mendapatkan status yang tidak menyenangkan, misalnya dianggap sebagai anak kurang pergaulan, aneh, jomblo (tidak memiliki pacar), dan masih banyak lagi status lain yang dapat membuat individu menjadi down. Individu akan berlomba mendapatkan status tertentu, tidak terkecuali berlomba dengan saudara kandungnya sendiri. Hal lain yang dapat menjadi penyebab terjadinya sibling rivalry adalah iri hati (envy). Envy diartikan sebagai “melihat” dengan adanya rasa permusuhan yang intens (Stein, 1990). Individu menangkap suatu proyeksi dirinya yang sebenarnya tidak sanggup dimiliki di dalam dirinya. Hal ini juga dapat terjadi dalam hubungan saudara. Anak yang satu dapat merasa iri dengan saudaranya karena secara materi saudaranya memiliki barang yang lebih mahal, uang jajan yang lebih banyak, saudaranya memiliki fisik yang lebih ideal, dan berbagai hal lain. Hurlock (1959) dalam buku Early Adolescence mengatakan bahwa remaja sering mengalami kecemburuan (jealousy). Kecemburuan sangat erat kaitannya dengan proses munculnya sibling rivalry pada usia remaja. Dalam hal ini dijelaskan bahwa cemburu merupakan bentuk dari perasaan tidak aman (insecurity) dalam hubungan individu dengan individu lain yang dicintainya. Dalam hal ini remaja merasa bahwa adanya saudara menyebabkan hubungannya dengan orang tua menjadi tidak aman. Individu yang dulu menjadi pusat dari perhatian orang tua kini tergeserkan oleh posisi orang lain yakni saudaranya sendiri. Individu menganggap bahwa saudaranya telah lebih sukses menjadi pusat perhatian orang tua. Pada usia remaja individu telah berani melakukan penolakan atas lingkungan yang tidak sesuai dengan ego dirinya. Individu yang merasa posisinya terancam oleh
10 saudaranya biasanya akan melakukan berbagai hal negatif terhadap saudaranya. Hal yang sering dilakukan remaja adalah melakukan tindakan agresi, namun agresi yang dilakukan lebih banyak merupakan agresi dalam bentuk serangan komentar sarkasme atau serangan verbal yang lain. Remaja tidak lagi banyak melakukan agresi dalam bentuk fisik namun agresi yang dilakukan remaja adalah agresi secara verbal (Shiebler, 2003). Individu tidak jarang membesar-besarkan suatu hal dengan menceritakan saudaranya secara hiperbola kepada orang tuanya. Hal ini semata untuk mencari simpati dari orang tuanya. Cara lain yang dilakukan individu dalam mencari perhatian orang tua dan orang lain di sekelilingnya adalah menjadi kembali ke masa yang lalu atau melakukan regresi. Regresi yang dimaksud adalah individu kembali ke masa yang pernah dialami pada fase sebelumnya. Contoh dari regresi misalnya individu yang biasanya sudah dapat makan sendiri kini kembali minta disuap oleh ibunya karena ingin bermanjamanja dan merasakan kasih sayang orang tua sama seperti di masa sebelumnya (Setiawan, 2013). Berbagai fakta dan teori yang telah dipaparkan memperlihatkan bahwa terdapat hubungan antara sibling rivalry, agresi verbal, serta adanya jarak kelahiran antarsaudara. Sibling rivalry yang berkembang secara berkelanjutan dalam diri anak dapat memunculkan perilaku negatif, salah satunya diwujudkan dengan perilaku agresi. Bentuk perilaku agresi yang dilakukan remaja cenderung mengarah ke agresi verbal karena individu sudah berada pada tingkat kognitif yang lebih tinggi sehingga individu berusaha menyakiti lawannya dengan cara yang lebih halus. Hal ini dapat menyebabkan suatu kekhawatiran bahwa sibling rivalry antara saudara dapat terus berkembang di usia remaja dan dilakukan dengan tindakan agresi verbal.
11 Berdasarkan fenomena yang telah diuraikan di atas, peneliti ingin mengangkat tema sibling rivalry dan perilaku agresi verbal pada remaja. Peneliti tertarik untuk melihat apakah terdapat hubungan antara sibling rivalry dengan perkembangan emosi remaja yang ditunjukkan melalui perilaku agresi verbal dengan jarak kelahiran saudara yang terpaut dekat.
B. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ada atau tidak adanya hubungan yang positif antara sibling rivalry dengan perilaku agresi verbal yang terjadi pada usia remaja.
C. Manfaat Penelitian 1. Manfaat teoritis Manfaat teoritis dari penelitian ini ialah untuk menambah kajian dalam dunia psikologi, khususnya bidang Psikologi Perkembangan dan Psikologi Sosial mengenai hubungan agresi verbal pada remaja dengan sibling rivalry atau persaingan antarsaudara dengan jarak kelahiran yang dekat. 2. Manfaat praktis Penelitian ini diharapkan memiliki manfaat agar individu di usia remaja dapat lebih mengendalikan diri, baik dalam perkataan maupun tindakannya terhadap saudara kandung agar sibling rivalry yang ada di dalam diri individu tidak semakin berkembang. Remaja diharapkan dapat bertindak dengan tepat karena adanya sibling rivalry tersebut dapat memicu munculnya perilaku agresi verbal pada usia remaja.