BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah 1. Latar belakang Pengobatan herbal menjadi trend baru di masyarakat sebagai alternatif pengobatan konvensional.
Masyarakat berupaya mencari pengobatan dengan
efek samping sekecil mungkin. Oleh karena itu, masyarakat mulai menggunakan obat dari bahan alam. Penggunaan obat tradisional juga sudah lama digunakan masyarakat untuk mencegah dan mengobat penyakit. Keadaan ini menyebabkan permintaan akan bahan baku obat herbal di pasaran meningkat tajam. Rimpang temulawak merupakan bahan baku obat herbal yang tersedia melimpah di Indonesia. Menurut data Badan Pusat Statistik 2010, ada 13 provinsi daerah pengembangan temulawak di Indonesia dengan hasil panen rata-rata meningkat setiap tahun. Pada tahun 2010 panen temulawak mencapai 26. 671 ton/tahun, meningkat di tahun 2011 sebesar 24.106 ton/tahun, selanjutnya pada tahun 2012 mengalami peningkatan hingga mencapai 44.085 ton/tahun. Rimpang temulawak
biasanya dijual dalam bentuk utuh
atau diolah terlebih dahulu
menjadi simplisia. Simplisia adalah bahan alami untuk pengobatan dan belum mengalami perubahan
proses
apa
pun,
dan
kecuali
1
dinyatakan
lain
umumnya
2
berupa bahan telah dikeringkan (Anonim, 1985). Simplisia dikatakan berkualitas apabila memenuhi syarat aman, berkhasiat dan bermutu baik agar pemanfaatannya optimal. Persyaratan keamanan dilihat dari cemaran mikrobiologis, bahaya kimia maupun fisik. Simplisia berkhasiat apabila masih mengandung bahan aktif yang berguna bagi kesehatan. Simplisia bermutu baik adalah kondisinya kering, tidak berjamur serta secara organoleptis menyerupai bahan segarnya (Herawati dkk., 2012) Letak Indonesia berada pada daerah khatulistiwa yaitu pada 60 LU – 110 LS dan 950 BB – 1410 BT dengan peredaran matahari dalam setahun berada pada daerah 23. 50 LU dan 23. 50 LS, maka wilayah Indonesia akan selalu disinari matahari selama 10 - 12 jam dalam sehari (Bakoren, 1991 cit Sudiyono & Bambang, 2008).
Kondisi tersebut membuat kebanyakan petani memilih
menggunakan energi matahari dalam proses pengeringan hasil panen. Metode pengeringan dengan energi matahari
praktis dan tidak memerlukan biaya
sehingga paling banyak digunakan di negara tropis.
Namun, metode ini juga
memiliki kekurangan yaitu: bahan mudah terkontaminasi berbagai
kotoran,
pengeringan bergantung penuh pada pancaran sinar matahari, waktu pengeringan relatif lama sehingga rentan tumbuhnya jamur, kadar air yang rendah sulit diperoleh (Pratomo, 2009). Oleh karena itu, diperlukan suatu inovasi teknologi pasca panen untuk menurunkan kontaminasi mikroba ketika menggunakan metode pengeringan dengan sinar matahari. Masyarakat menggunakan disinfektan kaporit karena harganya relatif murah.
Kaporit berupa serbuk padat, bila bertemu dengan air akan berubah
3
menjadi asam hipoklorit (HOCl) dan ion hipoklorit (OCl-). Asam hipoklorit (HOCl) dan ion OCl- bersifat sangat reaktif terhadap berbagai komponen sel bakteri. Kaporit dapat berikatan dengan protein membran sel dan mengubah sifat membran sel sehingga isi sel keluar (Ma’at, 2009), sehingga berpotensi menurunkan jumlah mikroorganisme. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh kaporit sebagai bahan pencuci rimpang temulawak terhadap kualitas simplisia serta mengetahui konsentrasi efektif sebagai bahan pencuci. 2. Rumusan masalah Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan masalah dalam penelitian ini antara lain: a.
Bagaimana pengaruh pencucian rimpang temulawak dengan kaporit terhadap kualitas simplisia?
b.
Berapa konsentrasi efektif kaporit sebagai bahan pencuci rimpang temulawak?
3. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh kaporit sebagai bahan pencuci temulawak terhadap kualitas simplisia serta mengetahui konsentrasi efektif kaporit.
B. Tinjauan Pustaka 1. Uraian tumbuhan
4
a. Klasifikasi tanaman temulawak Divisi
: Spermatophyta
Subdivisi
: Angiospemae
Kelas
: Monocotyledonae
Bangsa
: Zingiberales
Suku
: Zingiberaceae Gambar 1. Rimpang Temulawak
Marga
: Curcuma
Jenis
: Curcuma
xanthorrhiza Roxb (BPOM, 2009) b. Morfologi.
Tanaman temulawak merupakan tanaman tahunan
yang tumbuh merumpun Tiap rumpun tanaman ini terdiri atas beberapa anakan dan tiap anakan memiliki 2-9 helai daun. Daun tanaman temulawak bentuknya panjang dan agak lebar. Panjang daunnya sekitar 50 – 55 cm dan lebar ± 18 cm.
Tanaman
temulawak berbatang semu dan bisa mencapai ketinggian 2,0 – 2,5 meter.
Warna bunga umumnya kuning dengan kelopak bunga
kuning tua dan pangkal bunganya berwarna ungu.
Tanaman
temulawak menghasilkan rimpang temulawak dengan bentuk bulat seperti telur dengan warna kulit rimpang sewaktu masih muda maupun tua adalah kuning kotor. Warna daging rimpang adalah kuning dengan cita rasa pahit, berbau tajam dan keharumannya sedang.
Untuk sistem perakaran tanaman temulawak termasuk
5
tanaman berakar serabut dengan panjang akar sekitar 25 cm dan letaknya tidak beraturan (Rukmana, 1995). c. Manfaat.
Temulawak secara tradisional digunakan masyarakat
sebagai peluruh batu empedu, pelancar pencernaan, penambah nafsu makan, mengobati luka bakar dan luka bernanah, menurunkan kolesterol, mengobati jerawat, pelancar ASI, penurun panas dan penambah nafsu makan (Sudarsono dkk, 2006). d. Kandungan Kimia.
Rimpang temulawak mengandung dua
komponen utama yaitu senyawa kurkuminoid dan minyak atsiri. Kurkuminoid dalam temulawak terdiri dari 3 komponen yaitu kurkumin,
desmetoksikurkumin
dan
bidemetoksikurkumin.
Kurkumin merupakan kandungan paling tinggi yaitu 61-67%, demetoksikurkumin 22-26%, bidemetoksikurkumin 1-3% dan isomer kurkumin 10-11% (Cahyono dkk., 2011). Minyak atsiri rimpang
temulawak
diidentifikasi
mengandung
senyawa
xanthorrhizol (64,38%), camphene (8, 27%), Ar-kurkumin (5,85%), α-Pinen (1,93%), α-thujon (0,16%), β-pinen (0,14%), mirsen (0,37%), linalol (0,27%), zingiberen (0,10%) (Jeeva et.al., 2012). Menurut Hayani, 2006 kadar minyak atsiri dalam rimpang temulawak kering sebesar 3,81%.
6
e.
Kurkuminoid. Struktur kimia kurkuminoid temulawak dapat
dilihat pada gambar 2.
Gambar 2. Struktur umum kurkuminoid (Cahyono dkk., 2011) Senyawa Kurkumin Desmetoksikurkumin Bisdemetoksikurkumin
R1 OMe H H
R2 OMe OMe H
Kurkuminoid sensitif terhadap perubahan pH lingkungan. Dalam lingkungan asam, kurkuminoid berwarna kuning atau kuning jingga, sedangkan dalam lingkungan basa berwarna merah. Kurkumin dalam suasana basa pH 8,5-10,0 mengalami proses disosiasi
dan
terdegradasi
membentuk
asam
ferulat
dan
ferulloilmetan. Ferulloilmetan, salah satu hasil degradasi kurkumin berwarna kuning coklat yang mempengaruhi warna merah yang seharusnya terbentuk. Sifat kurkuminoid yang lain yaitu sensitif terhadap cahaya. Apabila terpapar cahaya akan terjadi siklisasi atau terjadi degradasi struktur (Tonnesen dan Karsen, 1985).
2. Pencucian
7
Teknologi penanganan pasca panen berpengaruh pada kualitas simplisia yang dihasilkan. Salah satu tahapan penting dalam pasca panen adalah pencucian.
Pencucian dan sortasi basah dimaksudkan untuk
membersihkan simplisia dari benda-benda asing dari luar (tanah, batu dan sebagainya), dan memisahkan bagian tanaman yang tidak dikehendaki. Pencucian dilakukan bagi simplisia utamanya bagian tanaman yang berada di bawah tanah (akar, rimpang), untuk membersihkan bahan dari sisa-sisa tanah yang melekat. Menurut Frazier (1978), pencucian sayur-sayuran satu kali dapat menghilangkan 25% dari jumlah mikroba awal, jika dilakukan pencucian sebanyak tiga kali dapat menghilangkan 48% dari jumlah mikroba awal. Pencucian biasanya menggunakan air bersih seperti air dari mata air, sumur atau PAM. Namun, pencucian tidak dapat membersihkan simplisia dari semua mikroba karena air pencucian biasanya mengandung juga sejumlah mikroba.
Jenis bakteri dalam air umumnya spesies
Chromobacterium,
Proteus,
Micrococcus,
(enterococci), Enterobacter dan Escherichia.
Bacillus,
Pseudomonas, Streptococcus
Oleh karena itu, pada
pencucian dapat ditambahkan detergen, larutan bakterisidal dan lain-lain untuk mengurangi kontaminasi mikroba (Anonim, 1985). 3. Disinfektan kaporit Kaporit atau Kalsium Hipoklorit adalah senyawa kimia berupa padatan putih yang memiliki rumus kimia Ca(ClO)2. Kaporit biasanya digunakan sebagai zat disinfektan karena harganya terjangkau (Sururi dkk., 2008). Kaporit dapat membunuh mikroorganisme patogen, seperti Escherichia coli,
8
Legionella, Pneumophilia, Streptococcus, Facalis, Bacillus, Clostridium, Amoeba, Giardia, Cryptosporidium, dan Pseudomonas (Anonim, 2008). Kaporit ketika dilarutkan dalam air akan berubah menjadi asam hipoklorit (HOCl) dan ion hipoklorit (OCl-) yang memiliki sifat disinfektan. HOCl dan ion OCl- bersifat sangat reaktif terhadap berbagai komponen sel bakteri. Reaksi peruraian kaporit pada persamaan 1. Ca(OCl)2+ H2O
Ca2+ + H2O + 2OCl-
Ca(OCl)2 +2 H2O
Ca(OH)2 + 2HOCl
HOCl
H+ + OCl-
(1)
( (Ma’at, 2009)
Senyawa HOCl dan OCl- dapat berinteraksi dengan berbagai molekul biologi seperti protein (Hawkins & Davies, 1999) asam amino (Nightingale et al., 2000) , peptida (Heinecke et al., 1993), lemak (Spickett et al., 2000), dan DNA (Prutz, 1998) Efisiensi disinfektan kaporit menurun dengan meningkatnya pH. Hasil disosiasi kaporit berupa senyawa HOCl kerja bakterisidalnya lebih kuat dibandingkan OCl-. Berdasarkan penelitian larutan kaporit 100 ppm klorin pada pH 8,2 memiliki efek yang sama untuk mematikan spora dengan larutan 1000 ppm pada pH 11,3 (Ma’at, 2009). Aktivitas antimikroba kaporit dipengaruhi oleh komposisi dari HOCl dan OCl-. Komponen HOCl semakin banyak maka semakin tinggi aktivitas antimikrobanya. Konsentrasi asam hipoklorit menurun seiring dengan kenaikan pH. Pengaruh pH pada disosiasi kaporit dapat dilihat pada gambar 3.
9
Gambar 3. Peruraian kaporit dalam larutan berbagai pH (Fukozaki, 2006)
4. Analisis kuantitatif mikrobiologi Ada beberapa cara untuk menghitung jumlah mikroorganisme di dalam suatu bahan antara lain perhitungan jumlah sel, massa sel secara langsung dan tidak langsung. Salah satu metode untuk menghitung cemaran mikrobiologi pada simplisia adalah perhitungan jumlah sel dengan hitung cawan. Prinsip metode ini adalah apabila ada satu sel mikroorganisme hidup ditumbuhkan pada medium yang sesuai, maka sel tersebut akan berkembang biak setelah masa inkubasi pada suhu dan waktu tertentu. Sel tersebut dapat dilihat dan dihitung dengan mata langsung. Metode ini merupakan metode yang paling sensitif untuk menentukan jumlah mikroorganisme karena antara lain: a. Hanya sel hidup yang dapat dihitung. b. Beberapa jenis organisme dapat dihitung sekaligus. c. Dapat digunakan untuk isolasi dan identifikasi mikroorganisme, karena koloni yang terbentuk mungkin berasal dari sel yang mempunyai penampakan pertumbuhan spesifik.
10
Meskipun memiliki berbagai keuntungan, metode ini juga mempunyai beberapa kelemahan antara lain: a. Hasil perhitungan tidak menunjukan jumlah sel sebenarnya, karena beberapa sel yang berdekatan mungkin membentuk satu koloni. b. Perbedaan
medium
dan
kondisi
inkubasi
kemungkinan
menghasilkan nilai yang berbeda. c. Mikroorganisme yang ditumbuhkan harus dapat tumbuh pada medium padat dan membentuk koloni kompak dan jelas, tidak menyebar d. Memerlukan persiapan dan waktu inkubasi yang relatif lama sehingga pertumbuhan koloni dapat dihitung. Terdapat beberapa cara pengerjaan metode hitung cawan yaitu metode tuang (Pour Plate) dan metode sebar (Spread Plate). merupakan
metode dengan
cara
menuangkan sejumlah
Metode tuang sampel dari
pengenceran ke dalam cawan petri terlebih dahulu kemudian ditambahkan media agar cair sedangkan
metode
sebar adalah
metode dengan cara
menanamkan sampel ke dalam cawan petri yang telah diisi media agar dan disebarkan menggunakan batang gelas yang dilengkungkan dan steril (hocky stick) (Djide & Sartini, 2005) Metode hitung cawan dapat digunakan untuk menghitung total bakteri maupun total kapang dan khamir.
Perhitungan total bakteri dapat
menggunakan Angka Lempeng Total (ALT) sedangkan kapang dan khamir menggunakan Angka Kapang Khamir (AKK).
11
a.
Angka Lempeng Total Angka
lempeng
total
adalah
metode
yang
digunakan
untuk
menghitung jumlah organisme dalam kultur bakteri. Media yang digunakan adalah Plate Count Agar (PCA). Bahan yang diperiksa diperkirakan mengandung lebih dari 300 koloni mikroorganisme per-ml atau per-gram atau per-cm sehingga memerlukan pengenceran sebelum diinokulasikan. Bahan pengencer adalah larutan fisiologis NaCl untuk menjaga agar dinding sel bakteri tidak pecah. Cawan yang dipilih dan dihitung mengandung jumlah koloni 30-300 (Djide & Sartini, 2005) b.
Angka Kapang Khamir Angka kapang khamir
adalah metode untuk menghitung
jumlah kapang dan khamir dalam kultur. Medium yang digunakan adalah Potato Dextrose Agar (PDA), mengandung sumber karbohidrat yang terdiri atas 20 % ekstrak kentang dan 2% dekstrosa sehingga baik untuk pertumbuhan kapang dan khamir tetapi kurang baik untuk pertumbuhan bakteri (Djide & Sartini, 2005). Namun, beberapa jenis bakteri masih dapat tumbuh dalam media PDA sehingga dapat ditambahkan antibiotik kloramfenikol yang relatif tahan terhadap panas (Gandjar dkk., 2006). 5. Kromatografi Lapis Tipis Metode kromatografi sederhana yang masih dipakai hingga saat ini salah satunya adalah kromatografi lapis tipis (KLT). KLT digunakan untuk memisahkan komponen-komponen atas dasar perbedaan adsorpsi atau partisi oleh fase diam (sifat lapisan) dalam fase gerak (larutan pengembang). Fase diam dapat berupa serbuk halus sebagai permukaan penjerap (kromatografi
12
cair-padat) atau sebagai penyangga untuk lapisan zat cair (kromatografi caircair). Empat penjerap paling umum dipakai adalah silika gel (asam silikat), alumina (aluminium oksida), kiselgur (tanah diatome) dan selulosa.
Fase
gerak dapat berupa hampir segala macam pelarut atau campuran pelarut (Gritter, dkk., 1991). Pengamatan visual bercak dilakukan dengan membandingkan jarak bercak dari awal pengembangan senyawa yang dipisahkan.
Jarak ini
dikonversikan dalam nilai Rf (Retardation factor), pada persamaan 2. Rf =
Jarak yang ditempuh komponen
(2)
Jarak yang ditempuh fase gerak Analisis kualitatif dengan cara membandingkan bercak kromatogram sampel dengan bercak reference standar yang dikenal sebagai faktor retensi relatif (Rx) (5) Nilai hRf ditentukan dengan cara nilai Rf dikalikan faktor 100 (h), yang menghasilkan nilai berjangka 0 sampai 100 (Mulja & Suharman, 1995). Deteksi KLT dapat dilakukan secara fisika, kimia dan biologi. Cara fisika dapat dengan pencacahan radioaktif dan fluorosensi sinar ultraviolet. Cara kimiawi dengan mereaksikan bercak dengan suatu pereaksi melalui cara penyemprotan sehingga bercak menjadi jelas (Gandjar & Rohman, 2007). Beberapa reagen spesifik pada KLT dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel I. Reagen spesifik pada deteksi KLT
Metode deteksi
Warna bercak solut
Penggunaan
13
Ninhidrin
Merah muda ke ungu
Asam-asam amino dan amina
2,4-dinitrofenil hidrazon
Oranye / merah
Senyawa-senyawa karbonil
Bromokresol hijau / biru
Kuning
Asam-asam organik
Vanilin/asam sulfat
Merah/hijau/merah muda
Alkohol, keton
Anisaldehid/antimon triklorida
Berbagai macam
Steroid
6. Spektrofotometri UV-Vis Spektrofotometri ultraviolet-visibel adalah pengukuran absorpsi radiasi
elektromagnetik
suatu
senyawa
di
daerah
200-800
nm.
Spektrofotometer untuk pengukuran di daerah spektrum tersebut terdiri dari suatu sistem optik dengan kemampuan menghasilkan cahaya monokromatik dengan alat yang sesuai untuk menetapkan serapan (Anonim, 1995). Serapan cahaya oleh molekul dalam daerah spektrum ultraviolet dan visibel tergantung pada struktur elektronik dari molekul.
Serapan
ultraviolet dan visibel dari senyawa-senyawa organik berkaitan erat transisi-transisi diantara tingkatan-tingkatan tenaga elektronik. Disebabkan karena hal ini, maka serapan radiasi ultraviolet atau terlihat sering dikenal sebagai spektroskopi elektronik. Transisi-transisi tersebut biasanya antara orbital ikatan antara orbital ikatan atau orbital pasangan bebas dan orbital non ikatan tak jenuh atau orbital anti ikatan.
Panjang gelombang
serapan merupakan ukuran dari pemisahan tingkatan-tingkatan tenaga dari orbital yang bersangkutan.
Spektrum ultraviolet adalah gambar antara
panjang gelombang atau frekuensi serapan lawan intensitas serapan
14
(transmitasi atau absorbansi).
Sering juga data ditunjukkan sebagai
gambar grafik atau tabel yang menyatakan panjang gelombang lawan serapan molar atau log dari serapan molar, E max atau log E max (Sastrohamidjojo, 1991). C. Landasan teori Rimpang temulawak banyak digunakan dalam pengobatan herbal karena memiliki beragam khasiat untuk kesehatan. Kandungan kurkuminoid dan minyak atsiri rimpang temulawak terbukti memiliki berbagai aktifitas farmakologis (Sudarsono dkk., 2006). Penggunaan rimpang temulawak sebagai bahan baku obat herbal biasanya berupa simplisia. Simplisia dalam pengobatan harus memenuhi syarat aman, berkhasiat dan bermutu baik.
Tahapan pasca panen seringkali menyebabkan
kualitas simplisia menurun. Pengeringan terbuka dengan bantuan sinar matahari meningkatkan kontaminasi mikroba pada bahan. Kaporit merupakan disinfektan yang banyak digunakan masyarakat karena harganya murah, bila bertemu dengan air akan terurai menjadi OCl- dan HClO.
Senyawa tersebut dapat berinteraksi dengan berbagai molekul biologi seperti protein (Hawkins &
Davies, 1999) asam amino (Nightingale
et al., 2000),
peptida (Heinecke et al., 1993), lemak (Spickett et al., 2000), dan DNA (Prutz, 1998) pada pH fisiologis. Berdasarkan penelitian Rosyidi, 2010 penggunaan klor aktif dalam kaporit mampu menurunkan bakteri koliform.
15
Kaporit merupakan disinfektan yang bersifat basa. Kebasaan dari kaporit bisa mendegradasi senyawa kurkumin pada temulawak. Pada pH diatas 7 kurkumin berwarna merah, menunjukan telah terjadi degradasi pada kurkumin. Stabilitas kurkumin menurun seiring dengan meningkatnya pH (Kumavat et al., 2013). D. Hipotesis Berdasarkan landasan teori diperoleh hipotesis bahwa kaporit dapat digunakan sebagai bahan pencuci rimpang temulawak dengan konsentrasi efektif yang dapat menurunkan cemaran mikroba tetapi bisa mempengaruhi kandungan kimia simplisia.