BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Laju disolusi obat merupakan salah satu aspek yang perlu diperhatikan dalam proses formulasi obat. Umumnya untuk obat-obat peroral, sebelum diabsorbsi melalui dinding usus, bahan obat tersebut harus larut terlebih dulu dalam cairan pencernaan di sekitar tempat absorbsi obat. Obat yang sudah terlarut kemudian diabsorbsi dan diedarkan ke seluruh tubuh (Cartensen, 1974). Obat-obatan dengan sifat sukar larut dalam air umumnya mengalami proses disolusi yang lambat. Zat aktif obat yang sedikit terdisolusi dari sediaan akan diabsorbsi namun dalam laju yang rendah sehingga sering menghasilkan bioavailabilitas yang rendah pula (Abdou, 1989). Pada intinya, karakter kecepatan disolusi dari suatu active pharmaceutical ingredient (API) dari suatu bentuk sediaan sangat tergantung dari kelarutannya (Ali, 2005). Tabel I. Klasifikasi kelarutan obat (Anonim, 2011) Bagian solven per satu bagian solute <1 1-10 10-30 30-100 100-1000 1000-10.000 โฅ10.000
Istilah Sangat mudah larut Mudah larut Larut Agak larut Sukar larut Sangat sukar larut Praktis tidak larut
1
2
Banyak usaha yang dapat dilakukan untuk menaikkan kecepatan disolusi obat-obat yang sukar larut dalam air, di antaranya: 1.
Melalui pembentukan dispersi padat (Ghanem, dkk., 1980; Noviandi, 1998).
2.
Dengan memperkecil ukuran partikel bahan obat (Riswaka, dkk., 1981).
3.
Dengan penambahan surfaktan (Armstrong & Hainess, 1973). Dispersi padat adalah salah satu cara yang dapat dipakai untuk memperbaiki
karakteristik disolusi dan kelarutan obat. Istilah dispersi padat mengacu kepada sebuah komponen padat yang umumnya berisikan matriks yang bersifat hidrofilik dan obat hidrofobik (Datta, dkk., 2011). Metode ini menaikkan kecepatan disolusi obat dengan menambahkan carrier yang bersifat hidrofilik. Pada penelitian ini digunakan nifedipin sebagai zat aktif obatnya dan PEG 4000 sebagai bahan pembawanya. Nifedipin merupakan obat yang sukar larut dalam air dengan bioavailabilitas rendah ketika digunakan secara peroral dalam bentuk kristalnya (Sugimoto, dkk., 1982). Nifedipin umumnya digunakan sebagai antihipertensi dengan mekanisme calcium channel blocker (Moffat, dkk., 2011) dan juga sebagai antiangina. Penyakit-penyakit seperti angina, asma, epilepsi membutuhkan respon obat yang cepat untuk mengontrol kondisi penyakitnya (Jagdale, dkk., 2012). PEG 4000 merupakan polimer yang larut dalam air dan telah digunakan secara luas dan sangat baik untuk meningkatkan laju disolusi dan absorbsi oral untuk obat-obat yang sukar larut dalam air (Chiou & Riegelman, 1971). Metode dispersi dengan penambahan carrier yang hidrofilik dilaporkan menghasilkan laju disolusi yang lebih cepat dibanding hanya komponen obat tanpa carrier (Nagarajan,
3
dkk., 2010). Campuran obat-carrier akan membentuk senyawa komplek dengan terbentuknya ikatan hidrogen di antara kedua senyawa tersebut (Soemardi, 1999). Pada penelitian ini dilakukan pembuatan dispersi padat dengan metode kopresipitasi. Nifedipin dan PEG 4000 masing-masing dilarutkan terlebih dahulu dengan menggunakan pelarut yang sama yaitu etanol 95 %. Setelah itu, keduanya dicampur hingga terbentuk larutan jernih, kemudian dilakukan penguapan pelarut hingga kering. Dispersi padat nifedipin-PEG 4000 yang dihasilkan dilakukan uji disolusi intrinsik. Disolusi intrinsik dipilih untuk menggambarkan proses pelepasan nifedipin-PEG 4000 sebagai senyawa aktif di dalam cairan tubuh. Data yang diperoleh kemudian dihitung jumlah bobot nifedipin terlarut dan tetapan kecepatan disolusi intrinsik.
B. Perumusan Masalah 1. Apakah dispersi padat nifedipin-PEG 4000 memiliki laju disolusi intrinsik yang lebih tinggi dibandingkan dengan nifedipin murni ? 2. Bagaimana pengaruh dari perbedaan jumlah PEG 4000 dalam campuran dispersi padat mempengaruhi laju disolusi intrinsik nifedipin ?
C. Manfaat Penelitian Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada berbagai pihak, di antaranya :
4
1.
Bagi penulis, penelitian ini meningkatkan kemampuan untuk berpikir kritis, pengalaman, dan pengetahuan baru serta dalam rangka menyelesaikan tugas akhir sebagai salah satu syarat mencapai derajat Sarjana Farmasi.
2.
Bagi peneliti lain, memberikan wawasan mengenai pengaruh PEG 4000 dalam meningkatkan laju disolusi nifedipin dengan pembentukan dispersi padat melalui metode kopresipitasi.
3.
Bagi industri farmasi, memberikan alternatif dalam upaya pengembangan dan peningkatan laju disolusi nifedipin.
D. Tujuan Penelitian 1.
Mengetahui apakah dispersi padat nifedipin-PEG 4000 mampu menghasilkan laju disolusi intrinsik nifedipin yang lebih tinggi dibandingkan dengan nifedipin murni.
2.
Mengetahui pengaruh perbedaan konsentrasi PEG 4000 antarsampel dispersi padat nifedipin-PEG 4000 terhadap laju disolusi intrinsik nifedipin yang dihasilkan.
E. Tinjauan Pustaka 1.
Dispersi padat Dispersi padat merupakan merupakan suatu metode yang sering digunakan
untuk meningkatkan kecepatan disolusi suatu obat yang sukar larut dalam air. Dispersi padat adalah dispersi satu atau lebih bahan aktif dalam pembawa inert atau
5
matriks pada keadaan padat yang dilakukan dengan pelelehan, pelarutan, atau pelelehan-pelarutan (Chiou dan Riegelman, 1971).
a.
Metode pelelehan Metode sederhana tetapi tidak semua obat dapat dilakukan dengan metode ini
karena dapat mengalami dekomposisi dan penguapan ketika proses pelelehan (peleburan) berlangsung. Metode ini dilakukan dengan cara mencampur bahan obat dengan bahan pembawa yang larut air, kemudian dipanaskan hingga melebur. Campuran yang terbentuk segera dibekukan dengan cepat dalam wadah berisi es sambil diaduk-aduk. Pada keadaan tersebut, molekul obat terperangkap matriks solven melalui proses pemadatan secara mendadak. Setelah itu padatan yang diperoleh digerus dan diayak hingga mendapat hasil yang diinginkan (Noviandi, 1998). Bahan-bahan obat yang berhasil dibuat dispersi padat dengan metode ini adalah nitrofurantoin dengan PEG 6000 dan etotoin dengan PEG 6000 (Simonelli, dkk., 1970).
b.
Metode pelarutan Pelarutan merupakan rangkaian proses berkesinambungan tetapi saling
berdiri sendiri dimana terdiri dari 3 tahap, yaitu pertukaran partikel pada permukaan zat padat, perubahan zat padat menjadi larutan, perpindahan zat padat yang terlarut ke dalam mediumnya (Tawashi, 1968).
6
Pada metode pelarutan, dekomposisi termal bahan obat dan bahan pembawa dapat dicegah karena metode ini menggunakan pelarut organik dengan temperatur ruangan yang rendah. Kesulitan yang biasa muncul pada metode ini terjadi pada proses penguapan pelarut, pemilihan pelarut, dan kemampuan pelarut dalam mempengaruhi stabilitas obat.
c.
Metode pelarutan-peleburan Pengerjaan metode ini dilakukan dengan melarutkan bahan obat ke dalam
pelarut yang sesuai, kemudian larutan dicampur dengan lelehan PEG 6000 dan dikerjakan pada temperatur di bawah 70oC, tanpa menguapkan pelarutnya. Chiou menggunakan metode ini untuk membuat dispersi padat spinolakton-PEG 6000 dan griseofulvin-PEG 6000 (Chiou & Riegelman, 1971).
Secara umum, tahapan yang terjadi antara obat dan polimer pada dispersi padat adalah, a.
Perubahan obat dan polimer dari bentuk padat menjadi cair
b.
Pencampuran semua komponen dalam bentuk cairan
c.
Perubahan larutan campuran menjadi padat melalui proses seperti pembekuan, penghilangan pelarut (Ronny, 2005)
2.
Kopresipitasi Metode ini dilakukan dengan melarutkan bahan obat dengan bahan pembawa
pada pelarut yang cocok, kemudian pelarutnya diuapkan atau dengan menambah
7
suatu pelarut lain sehingga terjadi suatu kristal yang merupakan dispersi molekuler antara bahan obat dengan bahan pembawa (Noviandi, 1998). Dengan menggunakan metode kopresipitasi, didapatkan material berbentuk padatan (solid) dari presipitatnya yang berbentuk cairan (Zhu, dkk., 2005). Hasil yang diperoleh dari metode ini disebut kopresipitat. Metode kopresipitasi telah banyak diteliti di antaranya alopurinol-PEG 4000 (Buana, 1997), reserpin-PVP (Bates, 1969), dan sulfatiazol-PVP (Simonelli, dkk., 1969). Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa metode kopresipitasi ini dapat meningkatkan kecepatan kelarutan obat yang sukar larut dalam air. Ada 3 mekanisme utama kopresipitasi walaupun perbedaan terjadinya tidak selalu jelas, yaitu inklusi, adsorpsi permukaan, dan oklusi (Hermann & Suttle, 1961). Proses inklusi terjadi ketika serapan ion dengan ukuran dan muatan yang sama dalam suatu larutan mulai mengalami pemadatan dan pengendapan sehingga terbentuk kristal campuran atau larutan padat. Kemudian selama proses adsorpsi permukaan, ion-ion teradsorbsi dari fase larutan menuju permukaan partikel kristal pada endapan yang terbentuk. Hal ini dapat terjadi dengan adanya ion-ion pada permukaan endapan yang belum stabil (belum mencapai batas koordinasi) yang menyebabkan permukaan endapan aktif untuk menarik ion lain dengan muatan yang berlawanan. Sementara proses oklusi terjadi ketika adanya pengotor yang ikut teradsorbsi di dalam kristal sehingga muncul ketidaksempurnaan kristal.
8
3.
Disolusi obat Pada umumnya produk obat mengalami absorbsi sistemik melalui suatu
rangkaian proses liberasi, disolusi dan absorbsi. Secara skematis proses tersebut ditunjukan pada Gambar 1.
Disintegrasi Sediaan
Deagregasi Partikel Halus
Granul
k1
k2
k3
Proses disolusi
Obat larut dalam cairan tubuh
Ka
Proses absorbsi
Obat di dalam darah, cairan tubuh lain, dan jaringan Gambar 1. Skema disintegrasi dan disolusi (Wagner, 1971)
Obat dalam bentuk tablet ketika digunakan secara per oral akan masuk ke dalam saluran pencernaan. Tablet kemudian akan terdisintegrasi menjadi granul. Granul-granul ini kemudian akan terdeagregasi menjadi partikel halus. Tablet, granul, dan partikel halus masing-masing akan terdisolusi dengan kecepatan tertentu. Di sini dinyatakan dalam k1, k2, dan k3. Dalam hal ini k1
>> k1+k2+k3, maka kecepatan disolusi obat tersebut menjadi langkah penentu dalam proses absorpsinya (Gibaldi & Feldman, 1970).
9
Mekanisme masuknya obat ke dalam saluran sistemik adalah melalui mekanisme difusi pasif. Mekanisme difusi pasif memiliki karakteristik dimana kecepatan absorpsi sebanding dengam gradien kadar yang ada. Semakin tinggi kadar obat yang berada di dalam medium disolusi, mengakibatkan gradien kadar obat antar medium semakin besar. Gradien kadar obat yang tinggi mengakibatkan kecepatan disposisi obat yang tinggi pula. Apabila obat yang berada di dalam tubuh kita dapat mencapai sirkulasi sistemik dengan cepat, maka otomatis kadar obat dalam siskulasi sistemik akan cepat mencapai Kadar Efek Minimum (KEM). Hal ini berakibat pada efek obat yang kita harapkan akan semakin cepat tercapai. Kecepatan absorpsi obat juga turut berperan pada efektifitas obat dalam mencapai efek yang diinginkan. Hal ini disebabkan apabila suatu obat memiliki kecepatan eliminasi yang tinggi, bahkan lebih tinggi daripada kecepatan absorpsinya. Hal ini mengakibatkan kadar obat dalam darah tidak dapat mencapai kadar yang optimum. Selain itu, apabila kadar obat tidak dapat mencapai KEM, maka obat tersebut tidak akan memberikan efek seperti yang kita kehendaki (Shargel, dkk., 2007).
4.
Teori disolusi Disolusi adalah hilangnya kohesi suatu zat padat karena pengaruh cairan yang
menghasilkan dispersi homogen dalam bentuk molekul atau ion (Fudholi, 2013). ๐๐ถ ๐๐ก
= ๐. (๐ถ๐ โ ๐ถ๐).................................................................................................(1)
dimana, dC/dt = kecepatan pelarutan obat k = tetapan kecepatan pelarutan
10
Cs = kelarutan jenuh obat dalam medium Cb = banyaknya bahan obat yang larut dalam medium pada waktu t Dari persamaan Noyes-Whitney tersebut setidaknya ada 2 parameter penting sebagai penentu kecepatan pelarutan bahan obat dalam suatu medium, yaitu kelarutan bahan obat tersebut dalam medium disolusi dan luas permukaan bahan obat yang terbasahi oleh medium (Wagner, 1971). Proses disolusi dapat dijelaskan dengan 3 macam teori, yaitu teori film, teori pembaruan permukaan , dan teori kecepatan solvatasi terbatas (Cartensen, 1974).
a. Teori film Teori ini mengasumsikan zat padat yang dicelupkan dalam suatu medium akan membentuk suatu lapisan film yang menyelubungi zat padat tersebut dengan ketebalan h dan merupakan lapisan film yang tidak bergerak. Berdasarkan teori ini kecepatan reaksi antara permukaan zat padat dan medium lebih tinggi dibanding kecepatan perpindahan zat padat ke medium sehingga proses pelepasan yang terjadi pada permukaan yaitu lepasnya molekul menembus lapisan film ditentukan oleh kecepatan difusi molekul melawan lapisan film (Swarbrick, 1970). Hukum Fick 1,
.......................................................................................(2) dimana, ๐๐ถ ๐๐ก
: kecepatan disolusi
11
A
: luas area disolusi
D
: koefisien difusi
Cs
: konsentrasi obat dalam medium disolusi
C
: konsentrasi obat dalam medium disolusi pada waktu t
h
: ketebalan lapisan difusi (Parikh, 2005) Pada kondisi terkontrol maka D dan h mempunyai harga yang konstan
sehingga ada 2 parameter yang mempengaruhi kecepatan pelarutan obat, yaitu konsentrasi pada saat saturasi dan luas permukaan efektif obat.
b. Teori pembaruan permukaan Dankwerts menghilangkan semua kemungkinan adanya lapisan batas stagnant dan menggambarkan adanya lapisan batas turbulen. Pada permukaan padatan terus menerus mengalami pergantian dengan cairan baru. Kemudian padatan melarut dan molekul yang larut bergerak menuju medium sejauh h. Menurut teori ini kecepatan perpindahan zat padat ke medium lebih tinggi daripada kecepatan reaksi antarmuka zat padat (Cartensen, 1974).
c. Teori kecepatan solvatasi terbatas Teori ini mengasumsikan bahwa ada lapisan film yang tetap pada jarak tertentu, dimana kecepatan reaksi antarmuka dan kecepatan perpindahan solut dapat mencapai harga yang sama sehingga jumlah solut yang menuju dan meninggalkan bidang batas (film) pada jarak tertentu dari permukaan zat padat menjadi tetap, dan
12
jumlah solut yang melewati bidang batas sama untuk sembarang waktu, serta kadar solut pada bidang tersebut selalu konstan (Cartensen, 1974).
Menurut Higuchi (1967), ada 3 model yang dapat menjelaskan laju disolusi,yaitu: a.
Model lapisan film Model ini mengasumsikan ada film cair statis di sekeliling permukaan zat
padat. Reaksi antarmuka antara film cair dengan zat padat berlangsung cepat, sehingga kecepatan disolusi tergantung seluruhnya pada difusi molekul obat melalui film cair. Jika molekul obat mampu menembus film cair maka molekul obat akan bercampur dengan cairan medium dan gradien konsentrasinya akan berubah.
b.
Model halangan antarmuka Model ini mengasumsikan bahwa reaksi di permukaan zat padat tidak terjadi
secara cepat dan reaksi tersebut membutuhkan aktivasi energi bebas yang tinggi. Peristiwa yang terjadi di antarmuka cairan dengan zat padat merupakan langkah penentu dan bergantung pada proses perpindahan molekul obat dari permukaan zat padat ke dalam medium. c.
Model Danckwert Model ini mengasumsikan bahwa perpindahan molekul obat dari permukaan
zat padat ke cairan medium terjadi karena molekul obat terabsorbsi ke dalam solven di permukaan zat padat dan kemudian terjadi pergantian solven dengan solven baru
13
(solven yang belum mengabsorbsi obat). Pertukaran molekul obat tersebut berlangsung cepat dan kecepatannya tergantung pada kecepatan perpindahan molekul obat dan disolusinya. Faktor-faktor yang mempengaruhi kecepatan disolusi obat (Leeson & Cartensen, 1974; Wurster & Taylor, 1965; Parrot, 1971; Thuladhar, dkk., 1983), yaitu : a.
Faktor sifat fisika kimia obat 1). Polimorfi Umumnya polimorfi metastabil mempunyai kecepatan pelarutan lebih tinggi
daripada bentuk stabilnya (Thuladhar, dkk., 1983). 2). Bentuk hidrat dan anhidrat Bentuk hidrat dan anhidrat dapat mempengaruhi kecepatan disolusi obat tetapi pengaruhnya tidak dapat dipastikan. Kalsium sulfat bentuk anhidrat mempunyai kecepatan disolusi lebih tinggi daripada bentuk hidratnya, namun pada kondisi tertentu bentuk hidrat mempunyai kecepatan disolusi yang lebih tinggi (Wurster & Taylor, 1965). 3). Ukuran partikel Faktor yang mempengaruhi luas kontak muka padatan cairan yaitu ukuran partikel. Semakin kecil ukuran partikel suatu bahan obat maka luas permukaan obat yang kontak langsung dengan medium semakin besar sehingga kecepatan disolusinya semakin besar (Thuladhar, dkk., 1983).
14
b.
Faktor peralatan dan kondisi percobaan 1). Intensitas pengadukan Semakin cepat pengadukan gerakan cairan semakin cepat sehingga kecepatan
disolusinya semakin besar. 2). Komposisi cairan pelarut Kecepatan pelarutan suatu zat akan berbeda-beda pada medium yang berbeda (Leeson & Cartensen, 1974). 3). Tegangan permukaan Turunnya tegangan permukaan akan menaikkan kecepatan pelarutannya (Leeson & Cartensen, 1974). 4). Temperatur percobaan Kecepatan pelarutan menjadi semakin tinggi dengan naiknya temperatur (Parrot, 1971). 5). pH percobaan Kenaikan pH medium akan menaikkan kecepatan disolusi obat-obat yang bersifat asam lemah (Cartensen, 1974).
c.
Faktor-faktor yang berhubungan dengan formulasi dan pembuatan sediaan 1). Jenis dan kuantitas bahan tambahan yang digunakan sebagai pengisi, pelicin, dan pengikat (Parrot, 1971).
15
2). Tekanan kompresi, apabila tekanan kompresi diperbesar maka kecepatan disolusinya semakin kecil (Leeson & Cartensen, 1974). 5. Disolusi intrinsik Apabila permukaan zat padat per satuan luas bersentuhan langsung dengan medium maka kecepatan disolusi zat padat disebut sebagai kecepatan disolusi intrinsik (Hansen, 1982). Kecepatan disolusi intrinsik didefinisikan sebagai kecepatan disolusi senyawa aktif murni dimana kondisi luas permukaan, suhu, pengadukan, dan pH media semuanya konstan (Sehiฤ, dkk., 2010). Keuntungan dari uji disolusi intrinsik adalah penggunaan jumlah sampel yang sedikit (Steele, 2001). Dalam keadaan yang sangat terkontrol, temperatur, intensitas pengadukan, dan homogenitas cairan medium adalah konstan (Wagner, 1971). Dalam keadaan demikian kecepatan disolusi zat padat sangat dipengaruhi luas kontak muka atau luas permukaan efektif zat padat terhadap pelarutnya. w/s = k.t........................................................................................................(3) dengan w = jumlah zat padat terlarut dalam medium; t = waktu; s = luas kontak zat padat dengan medium; k = kecepatan disolusi intrinsik.
6. Evaluasi hasil a. Perhitungan bobot nifedipin terlarut Perhitungan bobot terlarut dilakukan berdasarkan nilai kadar nifedipin yang diperoleh di setiap waktu pengambilan sampel masing-masing sampel uji. b. Perbandingan kecepatan disolusi intrinsik Perhitungan kecepatan disolusi intrinsik (k) dilakukan dengan cara
16
1). Perhitungan berdasarkan kurva w/s vs t Cara ini dilakukan dengan menghitung bobot terlarut nifedipin dibagi luas kontak pellet dengan medium disolusi selanjutnya dihitung regresi linear vs waktu. Nilai kecepatan disolusi intrinsik (k) dihitung berdasarkan plot kurva antara w/s vs t (Fudholi, 2013).
2). Metode Kitazawa Metode ini mengasumsikan kondisi uji sebagai berikut : a. Luas permukaan solid (s) konstan. b. Volume medium cukup besar untuk menjaga uji penelitian dalam kondisi โsinkโ. c. Kecepatan pelarutan proporsional dengan perbedaan konsentrasi saturasi dan konsentrasi dalam larutan. melalui metode ini dapat dihitung kecepatan disolusi (k) dari plot kurva antara ln ๐คโ ๐คโโ๐ค
vs t (Fudholi, 2013). ๐คโ
Rumus yang digunakan yaitu : ln ๐คโโ๐ค = ๐พ. ๐ก....................................................(4) dimana, wโ = bobot nifedipin mula-mula dalam pellet, w = bobot nifedipin terlarut pada waktu t, K = kecepatan disolusi, dan t = waktu. c.
Uji Statistika Uji statistika dilakukan dengan menggunakan software IBMยฎ SPSSยฎ
Statistics Version 20 dengan taraf kepercayaan 95%. Uji ini bertujuan untuk
17
mengetahui ada atau tidaknya perbedaan signifikan antara nilai k yang dihasilkan dari masing-masing sampel uji.
7. Monografi bahan a.
Nifedipin
Gambar 2. Rumus struktur nifedipin (Moffat, dkk., 2011)
Nifedipin memiliki rumus struktur dimetil 1,4-dihidro-2,6-dimetil-4-(2nitrofenil)piridin-3,5-dikarboksilat seperti pada Gambar 2 dengan BM 346,3. Nifedipin praktis tidak larut air dengan daya larut sekitar 20 ยตg/mL (Hecq, dkk., 2005), sedikit larut dalam etanol, serta larut dalam aseton dan kloroform. Serbuk nifedipin berbentuk kristal berwarna kuning dengan titik lebur 172oC sampai 174oC (Moffat, dkk., 2011). Nifedipin disimpan di tempat kering pada suhu di bawah 30oC dan terlindung dari cahaya langsung.
18
b.
PEG 4000
Gambar 3 : Rumus struktur polietilen glikol (Rowe, dkk., 2009)
PEG atau polietilenglikol merupakan polimer dari etilen oksida. Polietilen glikol 200 โ 600 berbentuk cair dan polietilen glikol 1000 ke atas berbentuk padatan pada suhu kamar. Polietilenglikol memiliki sifat hidrofilik dan tidak mengiritasi kulit (Rowe, dkk., 2009). PEG 4000 mempunyai rumus kimia H(O-CH2-CH2)n OH seperti yang ditunjukkan pada Gambar 3 dengan harga n antara 68 dan 84. Serbuk licin atau putih berwarna kuning gading, praktis tidak berbau, dan tidak berasa. Sangat mudah larut dalam air, etanol (95 %) P, dan kloroform, praktis tidak larut dalam eter P. Bobot molekul rata-rata tidak kurang dari 3000 dan tidak lebih dari 3700, titik lebur zat 53 C (Anonim, 1979). Polietilen glikol harus disimpan pada wadah tertutup baik dan disimpan pada tempat yang sejuk dan kering.
c.
Etanol 95 % Etanol disebut juga dengan alkohol. Memiliki sifat mudah menguap, mudah
terbakar, dan tak berwarna. Etanol (C2H5OH) merupakan pelarut organik yang paling umum digunakan, mempunyai titik lebur -114,3oC dan titik didih 78,4oC.
19
d.
HCl Hidrogen klorida (HCl) berupa gas tidak berwarna pada suhu kamar dan
bersifat higroskopis. Memiliki titik didih -85,1oC dan kelarutan dalam air 72 g/100 mL. Penyimpanan dalam wadah tertutup baik dan terlindung dari cahaya.
e.
Metanol Metanol dikenal juga sebagai spiritus, merupakan bentuk alkohol yang paling
sederhana. Berbentuk cairan yang mudah menguap, tidak berwarna, mudah terbakar, dan bau yang khas. Metanol umumnya juga digunakan sebagai pelarut. Memiliki rumus molekul CH3OH, titik lebur metanol adalah -97oC sedangkan titik didihnya adalah 64,7oC.
F. Landasan Teori Sediaan obat yang masuk ke dalam tubuh secara per oral akan mengalami berbagai tahap sebelum obat tersebut dapat diserap tubuh dan meghasilkan efek terapi yang diharapkan. Cairan tubuh yang membasahi sediaan akan memacu terjadinya disolusi yaitu pelepasan obat dari sediaannya. Kemudian obat akan bercampur dan terlarut dengan cairan tubuh dan diabsorbsi sebelum didistribusikan melalui sirkulasi sistemik. Nifedipin merupakan golongan obat yang sukar larut dalam air. Namun, obat ini memiliki daya permeabilitas yang baik dengan koefisien partisi 2,2 (Moffat, dkk., 2011) sehingga mudah untuk diabsorbsi. Menurut Hiroyuki, dkk. (2009), peningkatan kelarutan obat yang sukar larut dalam air merupakan salah satu faktor
20
penting dalam rangka memperbaiki daya absorbsi dan mendapatkan tingkat bioavailabilitas yang memadai. Maka dari itu perlu dilakukan usaha untuk meningkatkan kelarutan nifedipin agar dapat meningkatkan bioavailabilitas dalam tubuh sehingga dapat memberikan efek terapi yang diinginkan. Penelitian yang dilakukan oleh Sanyoto (1994), menyatakan bahwa dispersi padat dengan bahan PEG 4000 dan PEG 6000 dapat meningkatkan kecepatan pelarutan Sulfadiazina. Demikian juga peningkatan kelarutan Dikumarol melalui pembentukan dispersi padat Dikumarol-PEG 4000 (Ravis, dkk., 1981). Soemardi (1999) juga menyatakan bahwa PEG 4000 mampu meningkatkan kecepatan disolusi intrinsik fenilbutazon melalui peningkatan kelarutan fenilbutazon. Dengan demikian tentunya PEG 4000 diharapkan dapat juga untuk meningkatkan kelarutan nifedipin. Pembentukan dispersi padat nifedipin-PEG 4000 merupakan salah satu solusi untuk meningkatkan laju disolusi intrinsik nifedipin. Penambahan PEG 4000 yang bersifat hidrofilik dapat meningkatkan kelarutan pada obat yang sukar larut dalam air dengan menarik air dari sekitarnya. Keadaan ini tentunya akan semakin mempercepat bercampur dan terlarutnya nifedipin dalam cairan tubuh dengan bantuan PEG 4000 tadi. Hal ini menguntungkan agar proses absorbsi nifedipin dapat berjalan semakin cepat dan optimal sehingga menghasilkan efek terapi yang lebih cepat pula untuk meredakan gejala angina pektoris dan hipertensi. Pembuatan dispersi padat nifedipin-PEG 4000 dapat dilakukan salah satunya dengan metode kopresipitasi. Penelitian yang dilakukan Simonelli, dkk. (1969)
21
kopresipitat antara Sulfatiazol dengan PVP telah terbukti dapat meningkatkan kecepatan pelarutan Sulfatiazol sebagai bahan obatnya. Sementara itu, pada penelitian ini metode kopresipitasi (penguapan pelarut) dilakukan dengan menguapkan pelarut etanol 95% pada larutan nifedipin-PEG 4000 dengan perbandingan konsentrasi 85:15, 90:10, dan 95:5 b/b hingga kering. Selanjutnya serbuk nifedipin-PEG 4000 ini dilakukan uji disolusi intrinsik. Kemudian dihitung bobot terlarut nifedipin dan kecepatan disolusi intrinsiknya.
G. Hipotesis 1.
Sediaan dispersi padat nifedipin-PEG 4000 mampu menghasilkan laju disolusi intrinsik nifedipin yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan nifedipin murni.
2.
Perbedaan konsentrasi PEG 4000 dapat mempengaruhi laju disolusi intrinsik dispersi padat nifedipin-PEG 4000.
H.
Rencana Penelitian
Secara garis besar penelitian ini terbagi dalam 2 tahap, yaitu pembentukan dispersi padat nifedipin-PEG 4000 dan uji disolusi intrinsik. Pembentukan dispersi padat dengan meliputi pembentukan kopresipitat antara nifedipin dan PEG 4000 pada berbagai perbandingan komposisi. Kemudian dispersi padat yang dihasilkan dilakukan uji kecepatan disolusi intrinsik. Percobaan uji kecepatan disolusi intrinsik nifedipin meliputi : 1. Penentuan panjang gelombang serapan maksimum nifedipin dengan spektrofotometer UV-Vis.
22
2. Pembuatan kurva baku nifedipin murni pada panjang gelombang serapan maksimum nifedipin. 3. Uji kecepatan disolusi intrinsik sampel uji yang telah dibuat. 4. Perhitungan bobot nifedipin terlarut dan penentuan kecepatan disolusi intrinsik.
I. Konsep Penelitian
Nifedipin
Murni
Dicampur PEG 5 %
Dicampur PEG 10 %
Uji Disolusi Intrinsik
Hasil
Gambar 4. Konsep penelitian
Dicampur PEG 15 %