BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Cerebral palsy merupakan suatu gangguan cacat motorik yang biasa terjadi pada anak usia dini, biasanya ditemukan sekitar umur kurang dari 2 tahun. Anak dengan cerebral palsy memiliki kondisi yang stabil dan tidak progresif. Oleh karena itu mereka termasuk kedalam anak berkebutuhan khusus (Miller, 2005). Jenis yang paling umum pada cerebral palsy yaitu kejang cerebral palsy. Hal itu dialami pada 70% orang yang mengalami cerebral palsy (Bjorklund, 2006). World
Health
Organization
(WHO)
memperkirakan
jumlah
anak
berkebutuhan khusus di Indonesia sekitar 7-10% dari total jumlah anak. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik Nasional tahun 2007, terdapat 82.840.600 jiwa anak dari 231.294.200 jiwa penduduk Indonesia, dimana sekitar 8,3 juta jiwa diantaranya adalah anak berkebutuhan khusus (Kemenkes, 2010). Menurut data Susenas (2012) anak penyandang disabilitas (berkebutuhan khusus) Daerah Istimewa Yogyakarta sebanyak 3.89% dari total jumlah anak yang tinggal di Yogyakarta (Kemenkes, 2014). Menurut data Susenas tahun 2003, di Indonesia terdapat 679.048 anak usia sekolah berkebutuhan khusus atau 21,42% dari keseluruhan jumlah anak berkebutuhan khusus (Direktorat Bina Kesehatan Anak, 2010). Di Indonesia anak dengan palsi serebral (cerebral palsy) sebanyak 22,5/1000 kelahiran hidup. Insidensi cerebral palsy sebanyak 2 kasus per 1000 kelahiran hidup. Lima puluh persen kasus cerebral palsy termasuk ringan dan 10% termasuk kasus berat. Yang dikategorikan ringan adalah penderita dapat
1
2
mengurus dirinya sendiri dan yang tergolong berat adalah penderita yang membutuhkan pelayanan khusus. Dua puluh lima persen memiliki intelegensia (IQ) rata-rata normal sementara 30% kasus menunjukan IQ dibawah 70. Tiga puluh lima persen disertai kejang dan 50% menunjukan gangguan bicara. Lakilaki lebih banyak dari perempuan (1,4 : 1,0), dengan rata-rata 70 % ada pada tipe spastik, 15% tipe atetotik, 5% ataksia,dan sisanya campuran (Saharso, 2006 cit Utomo, 2013). Anak dengan cerebral palsy sering kali memiliki keterbatasan untuk bersosialisasi karena adanya kekurangan dalam berkomunikasi dengan orang lain (Kn, 2014). Proses sosialisasi dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satunya ialah dukungan sosial keluarga. Anak yang memperoleh dukungan sosial keluarga secara baik, akan meningkat ketrampilan sosialnya. Namun jika dukungan sosial keluarga yang diperoleh itu kurang atau tidak diperoleh sama sekali, maka anak akan merasa tertekan, terabaikan bahkan cenderung merasa ditelantarkan, sehingga ia diselimuti rasa takut dan kecemasan dalam membina interaksi sosial (Zahra, 2007). Dukungan sosial orang tua dan lingkungan sekitarnya merupakan faktor yang mempengaruhi kematangan sosial. Dengan adanya dukungan tersebut akan meningkatkan kepercayaan diri anak, sehingga dapat bersosialisasi dengan lingkungan sekitarnya (Sapariadi, 1982). Dukungan sosial dari orang tua dan keluarga dapat meningkatkan proses kematangan sosial anak dalam berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya, sehingga perkembangan anak akan berjalan optimal. Kurangnya dukungan sosial dari orang tua dapat menyebabkan
3
keterlambatan perkembangan anak khususnya dalam aspek kematangan sosial (Dinkes, 2009). Menurut Doll (1965) kematangan sosial merupakan kemampuan individu untuk mengurus dirinya dan ikut serta dalam kegiatan yang mengarahkan pada kemandirian. Kematangan sosial dipengaruhi oleh beberapa faktor lain. Menurut Hurlock (1998) kematangan sosial dipengaruhi oleh 3 faktor yaitu: emosi, intelegensi dan budaya. Faktor emosi yaitu dapat memberikan dampak pada pengubahan perilaku anak terhadap lingkungannya. Faktor intelegensi yaitu tingkat pengalaman seseorang untuk menyelesaikan suatu masalah dan faktor budaya yaitu tatanan budaya yang berlaku memberi nilai-nilai dan berpengaruh bagi perkembangan anak untuk mencapai kematangan sosialnya. Dalam faktor budaya, dukungan sosial keluarga berperan penting bagi kematangan sosial anak. Menurut Kementrian Kesehatan RI (2014) anak cerebral palsy dengan rentang usia ≥15 tahun lebih rentan untuk mengalami gangguan dalam bersosialisasi. Hal ini terlihat dari hasil penelitian Kementrian Kesehatan RI pada tahun 2007 dan 2013 bahwa anak cerebral palsy mengalami kesulitan untuk merawat dirinya sendiri serta mempunyai gangguan pada fungsi tubuhnya sehingga dalam berinteraksi dengan orang lain mengalami keterbatasan. Masalah kematangan sosial pada anak cerebral palsy secara umum terjadi pada sikapnya dalam menolong diri sendiri. Anak cerebral palsy rata-rata memerlukan bantuan untuk berpakaian, mandi dan makan. Saat berpakaian anak butuh dibantu untuk mengancingkan baju, sedangkan saat mandi anak tidak bisa
4
menjangkau bagian tubuhnya dan saat makan anak butuh disuapi oleh orang tua atau pengasunya (Yuliana, 2013). Secara umum, merawat anak cerebral palsy merupakan beban tersendiri bagi orang tua baik secara fisik, mental, sosial dan ekonomi, oleh karena itu keluarga membutuhkan dukungan yang sangat besar baik dari orang-orang disekitarnya, lingkungan sosial, maupun perawat. Keluarga perlu meningkatkan pengetahuan dan pendapatan, menyediakan waktu serta melibatkan diri dalam perawatan anak cerebral palsy (Herliana, 2010). Orang tua memiliki peranan penting dalam optimalisasi perkembangan seorang anak. Orang tua harus selalu memberi rangsang atau stimulasi kepada anak dalam semua aspek perkembangan baik motorik kasar maupun halus, bahasa dan hubungan sosial. Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan peneliti di SLB N 1 Bantul didapatkan data jumlah keseluruhan anak cerebral palsy sebanyak 75 siswa, yang terbagi dalam beberapa jenjang yaitu dari mulai TK, SD, SMP dan SMA. Menurut informasi yang diperoleh dari guru pengajar anak cerebral palsy, SLB N 1 Bantul merupakan satu-satunya SLB di seluruh Daerah Istimewa Yogyakarta yang memiliki dan memfasilitasi anak tuna daksa (cerebral palsy). Selain itu peneliti mendapatkan data seluruh anak cerebral palsy di SLB N 1 Bantul bahwa rata-rata usia anak cerebral palsy yaitu 10-18 tahun. Hal ini dapat sebagai ketetapan peneliti dalam mengambil sampel penelitian. Peneliti melakukan wawancara kepada 2 orang ibu dengan anak cerebral palsy di SLB N 1 Bantul dan didapatkan hasil bahwa dukungan sosial orang tua
5
dirumah terhadap anak cerebral palsy cenderung kurang. Hal tersebut diketahui ketika sikap dan penerimaan diri orang tua terhadap anak cerebral palsy yang tidak optimal, seperti mengungkapkan sering jengkel dan cenderung tidak sabar ketika anak sedang beraktifitas. Kematangan sosial anak cerebral palsy dirumah juga mengalami gangguan. Hal tersebut diketahui ketika orang tua atau pengasuh mengatakan bahwa anak tersebut kurang dapat menyesuaikan diri dan bergaul dengan lingkungannya. Terkadang anak mengungkapkan merasa kurang percaya diri dengan kondisinya, oleh karena itu dia mengalami kesulitan dalam bersosialisasi dan tidak banyak memiliki teman. Berdasarkan latar belakang dan fakta yang telah dikemukakan serta masih sedikitnya penelitian tentang kematangan sosial anak cerebral palsy, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang dukungan sosial orang tua dengan kematangan sosial anak cerebral palsy di SLB N 1 Bantul. Selain itu sebagai seorang perawat, dukungan sosial orang tua dan kematangan sosial pada anak cerebral palsy merupakan hal yang tidak bisa dianggap remeh. Perawat yang memiliki peran sebagai edukator, harus mampu mengidentifikasi kematangan sosial anak cerebral palsy dan memberikan edukasi kepada orang tua tentang ????, karena dukungan sosial orang tua bisa mempengaruhi kematangan sosial seorang anak. Oleh karena itu, peneliti tersebut.
merasa perlu melakukan penelitian
6
B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah tersebut di atas dapat diangkat suatu rumusan masalah penelitian sebagai berikut: “Apakah terdapat hubungan antara dukungan sosial orang tua dengan kematangan sosial anak cerebral palsy di SLB N 1 Bantul”.
C. Tujuan Penelitian 1.
Tujuan Umum Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara dukungan sosial orang tua dengan kematangan sosial pada anak cerebral palsy di SLB N 1 Bantul.
2.
Tujuan Khusus a.
Mengetahui gambaran dukungan sosial orang tua pada anak cerebral palsy di SLB N 1 Bantul.
b.
Mengetahui gambaran kematangan sosial pada anak cerebral palsy di SLB N 1 Bantul.
7
D. Manfaat Penelitian 1.
Manfaat teoritis: a.
Bagi ilmu pengetahuan: menambah kajian tentang hubungan antara dukungan sosial anak cerebral palsy dengan kematangan sosial di SLB N 1 Bantul.
b.
Bagi peneliti selanjutnya: sebagai acuan dan dapat disempurnakan untuk penelitian selanjutnya mengenai kematangan sosial anak cerebral palsy.
2.
Manfaat praktis: a.
Bagi perawat: terutama bagi perawat anak, penelitian ini diharapkan dapat menambahpengetahuan tentang dukungan sosial orang tua sehingga dapat digunakan dalammemberikan asuhan keperawatan.
b.
Bagi masyarakat: khususnya orangtua atau keluarga dengan anak cerebral palsy, penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang dukungan sosial pada anak cerebral palsy.
c.
Bagi SLB N 1 Bantul: memberikan gambaran mengenai kemampuan sosialisasi anak cerebral palsy dan dukungan sosial orang tua anak cerebral palsy, serta sebagai acuan dalam pengambilan kebijakan terkait program untuk meningkatkan kualitas kemampuan sosialisasi anak cerebral palsy.
8
E. Keaslian Penelitian Penelitian ini dititikberatkan pada hubungan antara dukungan sosial orang tua dengan kematangan sosial anak cerebral palsy di SLB N 1 Bantul. Penelitian yang sama sepengetahuan penulis belum pernah dilakukan. Penelitian yang hampir sama dengan penelitian yang dilakukan oleh peneliti antara lain: 1.
Penelitian yang dilakukan oleh Dwiningsih (2005) yang berjudul “Hubungan antara Dukungan Sosial dengan Kemampuan Merawat diri pada Siswa Penderita Cerebral Palsy Ringan di Sekolah Dasar Luar Biasa Yayasan Pembinaan Anak Cacat Semarang Tahun 2005”. Pengumpulan data penelitian menggunakan dua metode yaitu metode dengan skala psikologis dukungan sosial dan wawancara untuk kemampuan merawat diri. Uji validitas instrumen menggunakan rumus produk momen dan uji reliabilitas instrumen menggunakan rumus alpha. Metode analisis data yang digunakan adalah korelasi Rank Spearman. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa ada hubungan antara dukungan sosial dengan kemandirian pada anak penderita cerebral palsy ringan di Yayasan Pembinaan Anak Cacat Semarang pada tahun 2005. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang saya lakukan terletak pada variabel dependen yaitu pada penelitian Dwiningsih (2005) mengenai kemampuan merawat diri pada siswa cerebral palsy sedangkan variabel dependen yang akan saya teliti mengenai kematangan sosial anak cerebral palsy. Selain itu persamaan juga terlihat pada metode pengambilan data yaitu pada penelitian Dwiningsih
9
(2005) menggunakan metode pengumpulan data dengan skala psikologis dan wawancara. 2.
Penelitian yang dilakukan oleh Ardyanto (2010) yang berjudul “Dukungan Sosial Orang Tua pada Anak Berkebutuhan khusus (Retardasi Mental)”. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode studi kasus. Subyek penelitiannya 3 orang tua yang memiliki anak retardasi mental tingkatan sedang dan metode yang digunakan dalam mengumpulkan data adalah wawancara. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa semua subyek penelitian telah memberikan dukungannya secara maksimal sesuai dengan pemahamannya masing-masing, namun dukungan yang diberikan belum mengarah pada apa yang dibutuhkan oleh anak retardasi mental dan belum dikatakan ideal sebab ada beberapa aspek yang belum terpenuhi. Aspek-aspek tersebut ialah dukungan pada harga diri dan dukungan dari kelompok sosial. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang saya lakukan terletak pada jenis penelitian yaitu kualitatif, sementara yang saya gunakan yaitu kuantitatif. Selain itu perbedaan yang lain terdapat pada jumlah variabel dan responden yang akan digunakan oleh Ardyanto (2010) yaitu anak retardasi mental sementara yang saya gunakan yaitu anak cerebral palsy.
3.
Penelitian yang dilakukan oleh Ismail (2008) yang berjudul “ Hubungan Antara Dukungan Sosial dengan Penerimaan Diri Ibu dari Anak Autis”. Jenis penelitian ini adalah kuantitatif dengan metode analisis stastik non parametik. Dalam penelitian ini subyek yang digunakan adalah ibu yang
10
memiliki anak autis dengan jumlah kurang dari 30 responden. Hasil dari penelitian ini adalah ada hubungan antara dukungan sosial dengan penerimaan diri ibu dari anak autis. Perbedaan dari penelitian ini adalah dari subyek penelitian yang digunakan oleh Ismail (2008) yaitu ibu dengan anak autis sementara subyek yang saya gunakan yaitu ibu dengan anak cerebral palsy. Selain itu perbedaan juga terdapat pada variabel dependen, yaitu pada penelitian Ismail (2008) berupa peneriman diri ibu dari anak autis sedangkan variabel dependen yang saya gunakan yaitu kematangan sosial anak cerebral palsy. 4.
Penelitian yang dilakukan oleh Afifah & Rohmadheny (2014) yang berjudul “Kematangan Sosial Anak Usia Dini Berkebutuhan Khusus”. Jenis penelitian ini adalah kualitatif dengan metode studi kasus. Penelitian ini dilakukan di desa Sidoharjo, Jambon, Ponorogo pada seluruh anak usia dini yang mengalami gangguan fisik. Hasil dari penelitian ini menunjukan bahwa secara umum kematangan sosial responden, khususnya yang berkaitan dengan self help berada dibawah anak-anak seusianya. Artinya subyek cenderung tidak mampu melakukan aktivitas dalam hal menolong diri sendiri. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang saya lakukan terdapat pada jenis penelitian Afifah & Rohmadheny (2014) yaitu kualitatif, sedangkan jenis penelitian yang saya gunakan yaitu kuantitatif. Selain itu perbedaan juga terdapat pada jumlah variabel yang digunakan oleh Afifah & Rohmadheny (2014) yaitu hanya satu variabel, sedangkan yang saya gunakan yaitu dua variabel.